BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1
Beton Beton merupakan bahan bangunan yang memiliki daya tahan terhadap api
yang relatif lebih baik dibandingkan dengan material lain seperti baja, terlebih lagi kayu. Hal ini dikarenakan beton merupakan material dengan daya hantar panas yang rendah, sehingga dapat menghalangi rambatan panas ke bagian dalam struktur beton tersebut. Oleh karena itu, selimut beton biasanya dirancang dengan ketebalan yang cukup yang dimaksudkan untuk melindungi tulangan dari suhu yang tinggi di luar jika terjadi kebakaran.
2.1.1 Pengertian dan Perilaku Beton Beton adalah campuran antara semen portland atau semen hidrolik yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan yang membentuk massa padat (SNI-03-2847-2002). Seiring dengan penambahan umur, beton akan semakin mengeras dan akan mencapai kekuatan rencana (f’c) pada usia 28 hari.
Gambar 2.1 Sampel Beton Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013 Pasta beton yang baik adalah beton yang dapat diaduk, dapat diangkut, dapat dituang, dapat dipadatkan, tidak ada kecenderungan untuk terjadi pemisahan kerikil dari adukan maupun dari pemisahan air dan semen dari adukan. Beton keras yang baik adalah beton yang kuat, tahan lama, kedap air, tahan aus, dan kembang susutnya kecil (Tjokrodimulyo, 1996).
7
8 Secara garis besar, perilaku beton menunjukkan bahwa kuat tekan beton 10 kali lebih besar daripada kuat tarik beton tersebut. Rasio kuat tarik terhadap kuat tekan akan menurun seiring naiknya kuat tekan beton. Tekanan panas pada peningkatan suhu mengakibatkan pertambahan retakan yang lebih mempengaruhi elastisitas beton. Kuat tekan beton (f’c) yang digunakan pada bangunan yang direncanakan tidak boleh kurang dari 17,5 MPa. Untuk beton pada komponen struktur yang merupakan bagian dari sistem pemikul beban gempa, kuat tekan (f’c) beton tidak boleh kurang dari 20 MPa dan kuat tekan beton agregat ringan yang digunakan dalam perencanaan tidak boleh melampaui 30 MPa (SNI-03-2847-2002, pasal 7.1 dan 23.2, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung). 2.1.2 Kelebihan dan Kelemahan Beton Beton memiliki beberapa faktor keunggulan sehingga pemakaiannya begitu luas. Sifat keunggulan beton antara lain (Nugraha, P., 2007): •
Ketersediaan (availability) material dasar Agregat, air dan semen pada umumnya bisa didapat dengan mudah dari lokal
setempat dan harga yang relatif murah. •
Kemudahan untuk digunakan (versatility) Pengangkutan bahan mudah, karena masing-masing bisa diangkut secara
terpisah. Beton bisa dipakai untuk berbagai struktur, seperti bendungan, landasan udara, fondasi. •
Kebutuhan pemeliharaan yang minimal Secara umum ketahanan beton cukup tinggi, lebih tahan karat sehingga tidak
perlu dicat, lebih tahan terhadap bahaya kebakaran. •
Kekuatan tekan tinggi Seperti juga kekuatan tekan pada batu alam, yang membuat beton cocok
untuk dipakai sebagai elemen yang terutama memikul gaya tekan, seperti kolom dan konstruksi. Di samping segala keunggulan di atas, beton sebagai struktur juga mempunyai beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan, yaitu (Nugraha, P., 2007): •
Kuat tariknya rendah, meskipun kekuatan tekannya besar;
•
Bentuk yang telah dibuat sulit diubah;
9 •
Pelaksanaan pekerjaan membutuhkan ketelitian yang tinggi;
•
Berat (bobotnya besar);
•
Beton cenderung retak, karena semennya hidraulis;
•
Beton tidak mampu menahan gaya tegangan (tension) yang tinggi, karena elastisitasnya yang rendah dari beton.
2.1.3 Sifat-sifat Beton Tjokrodimulyo (1996) menjelaskan bahwa beton keras yang baik adalah beton yang kuat, tahan lama, kedap air, tahan aus dan kembang susutnya kecil. Beton keras memiliki sifat-sifat yang dapat diklasifikasikan menjadi sifat jangka pendek seperti kuat tekan, tarik, geser dan modulus elastisitas serta sifat jangka panjang seperti rangkak dan susut. Berikut penjelasan mengenai sifat-sifat beton keras antara lain: •
Kuat tekan Nilai kuat tekan beton didapatkan melalui tata cara pengujian standar
menggunakan mesin uji dengan cara memberikan beban tekan pada benda uji beton sampai hancur. •
Kuat tarik Kuat tarik beton diukur dengan memakai modulus keruntuhan. Kuat tarik
beton yang tepat, sulit sekali untuk diukur. •
Kuat geser Nilai kuat geser pada beton lebih sulit untuk diukur karena sulitnya
mengisolasi geser dari tegangan-tegangan lainnya. Ini merupakan salah satu penyebab banyaknya variasi kekuatan geser yang dituliskan dalam berbagai literatur, mulai dari 20% sampai dengan 85% dari kekuatan tekan yang dilakukan pada pembebanan normal. •
Modulus elastisitas Modulus elastisitas merupakan kemiringan dari bagian awal grafik yang lurus
dari diagram regangan tegangan. Modulus elastisitas berbanding lurus dengan kekuatan beton, semakin besar modulus elastisitas, semakin besar pula kekuatan beton. Besarnya modulus elastisitas dapat dihitung dengan tepat berdasarkan persamaan empiris. •
Rangkak (creep)
10 Rangkak adalah sifat beton keras yang dimana beton mengalami perubahan bentuk (deformasi) permanen akibat beban tetap yang bekerja pada beton tersebut. Besarnya deformasi sebanding dengan besarnya beban dan waktu pembebanan. •
Susut Susut adalah perubahan volume beton yang tidak berhubungan dengan beban.
Pada dasarnya ada 2 jenis susut yaitu susut plastis dan susut pengeringan. Susut plastis terjadi beberapa waktu setelah beton segar dicor ke dalam cetakan, sedangkan susut pengeringan terjadi setelah beton mencapai bentuk akhirnya dan proses hidrasi pasta semen telah selesai. Besarnya susut akan semakin berkurang sesuai dengan umur beton. Semakin beton berumur, semakin sedikit beton mengalami susut. 2.1.4 Kuat Tekan Beton Kekuatan tekan merupakan salah satu kinerja utama beton. Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk dapat menerima gaya per satuan luas (Tri Mulyono, 2004). Nilai kekuatan beton diketahui dengan melakukan pengujian kuat tekan terhadap benda uji silinder ataupun kubus pada umur 28 hari yang dibebani dengan gaya tekan sampai mencapai beban maksimum. Beban maksimum didapat dari pengujian dengan menggunakan alat compression testing machine. Pengujian yang paling umum dilakukan untuk beton yang sudah mengeras adalah uji kuat tekan, hal ini bisa jadi karena pengujian ini mudah untuk dilaksanakan karakteristik beton yang diinginkan berhubungan erat dengan kuat tekannya dan yang paling utama adalah karena kuat tekan menjadi faktor penting dalam desain struktur. (Neville, 2002). Dalam SK SNI M - 14 -1989 - E dijelaskan pengertian kuat tekan beton yakni besarnya beban per satuan luas yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani gaya tekan tertentu, yang dihasilkan oleh mesin tekan. Selanjutnya, Mulyono (2006) mengemukakan bahwa kuat tekan beton mengidentifikasikan mutu sebuah struktur di mana semakin tinggi tingkat kekuatan struktur yang dikehendaki, maka semakin tinggi pula mutu beton yang dihasilkan. Beton
harus dirancang sesuai dengan
proporsi
campurannya
agar
menghasilkan kuat tekan yang telah direncanakan. Berdasarkan PBBI-1989, besarnya kuat tekan beton dapat dihitung dengan rumus berikut ini: ........................................................ (2.1)
11 Dimana, f'c
= Kuat tekan beton (MPa)
P
= Beban tekan maksimum (N)
A
= Luas permukaan benda uji (mm2) Kuat beton karakteristik adalah kuat tekan beton yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan sejumlah besar benda uji, dimana kemungkinan adanya kuat tekan yang diperoleh di bawah nilai kuat tekan beton karakteristik terbatas sampai 5% saja. Dengan adanya kemungkinan didapat kuat tekan di bawah kuat tekan beton karakteristik ini, maka menghasilkan koefisien penyesuaian “k” sebesar 1,64 , sehingga kuat tekan beton karakteristik dapat dinyatakan dalam bentuk: ......................................... (2.2) Dimana : f’bk
= kuat tekan beton karakteristik (kg/cm2)
f’bm
= kuat tekan beton rata-rata (kg/cm2)
1,64
= koefisien penyesuaian “k”
S
= standar deviasi (kg/cm2) Standar deviasi sering disebut dengan simpangan baku atau yang biasanya
dilambangkan dengan huruf S yaitu suatu ukuran yang menggambarkan tingkat penyebaran data dari nilai rata-rata. ....................................... (2.3) Dimana : S
= standar deviasi (kg/cm2)
f’b
= kuat tekan masing-masing benda uji (kg/cm2)
f’bm
= kuat tekan rata-rata (kg/cm2)
n
= jumlah data (buah) Kekuatan tekan karakteristik f’bk dihitung f’bk = f’bm - 1,64 x S dengan taraf
signifikan 5%. Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi mutu kekuatan beton seperti yang dikemukakan oleh Mulyono (2006) yaitu proporsi bahan penyusun, metode pencampuran, perawatan, dan keadaan pada saat pengecoran. Selain itu, terdapat banyak parameter lain yang juga mempengaruhi nilai kuat tekan beton. Berikut adalah beberapa hal yang mempengaruhi nilai kuat tekan pada beton antara lain:
12 •
Faktor air semen (FAS) Faktor air semen harus dihitung sehingga campuran air dan semen menjadi
pasta yang baik, artinya tidak kelebihan air dan tidak kelebihan semen. Apabila nilai faktor air semen tinggi maka berat air tinggi, sehingga kelebihan air akibatnya air akan merembes keluar membawa sebagaian pasta semen. Pasta semen yang tidak cukup mengikat agregat dan mengisi rongga yang menyebabkan beton tidak kuat. Secara umum diketahui bahwa semakin tinggi nilai FAS, semakin rendah mutu kekuatan beton. Namun demikian, nilai FAS yang semakin rendah tidak selalu berarti bahwa kekuatan beton semakin tinggi. Ada batas-batas dalam hal ini. •
Segregasi (pemisahan) Beton dikatakan mengalami segregasi (pemisahan) apabila agregat kasar
terpisah dari campuran selama pengangkutan, pengecoran dan pemadatan sehingga sukar dipadatkan, berongga-rongga tidak homogen, beton yang berongga-rongga kurang kuat atau mudah pecah. •
Bleeding Bleeding adalah pemisahan air dan campuran beton yang merembes ke
permukaan beton waktu diangkut, dipadatkan atau setelah dipadatkan. Bleeding pada umumnya terjadi karena pemakaian air yang berlebihan, kurangnya semen pada campuran beton atau agregat kasar turun karena beratnya sendiri dan air naik kepermukaan
dengan
sendirinya
akibat
capillary
pressure
(gaya
yang
menggambarkan pergerakan fluida melalui pori).
2.1.5 Tegangan dan Regangan Beton Tegangan didefinisikan sebagai tahanan terhadap gaya-gaya luar. Intensitas gaya yaitu gaya per satuan luas disebut tegangan dan diberi notasi huruf Yunani “σ” (sigma). Apabila sebuah batang ditarik dengan gaya P, maka tegangannya adalah tegangan tarik (tensile stress), sedangkan apabila ditekan, maka terjadi tegangan tekan (compressive stress). Tegangan dapat dihitung dengan rumus yang sama untuk mencari kuat tekan (f’c) yaitu:
............................................ (2.4) Dimana : σ
= Tegangan (N/mm2)
P
= Beban tekan maksimum (N)
13 A
= Luas permukaan benda uji (mm2)
Jika suatu benda ditarik atau ditekan, gaya P yang diterima benda mengakibatkan adanya ketegangan antar partikel dalam material yang besarnya berbanding lurus. Perubahan tegangan partikel ini menyebabkan adanya pergeseran struktur material regangan atau himpitan yang besarnya juga berbanding lurus. Karena adanya pergeseran, maka terjadilah deformasi bentuk material misalnya perubahan panjang menjadi L + ∆L (jika ditarik) atau L - ∆L (jika ditekan). Dimana L adalah panjang awal benda dan ∆L adalah perubahan panjang yang terjadi. Rasio perbandingan antara ∆L terhadap L inilah yang disebut regangan (strain) dan dilambangkan dengan “ε” (epsilon) dengan rumus berikut. Interaksi hubungan antara tegangan dan regangan diilustrasikan dalam gambar 2.2.
................................................... (2.5)
Gambar 2.2 Diagram Tegangan Regangan
2.1.6 Modulus Elastisitas Beton Modulus elastisitas atau modulus Young adalah ukuran kekerasan (stiffness) dari suatu bahan tertentu. Modulus ini dalam aplikasi rekayasa didefinisikan sebagai perbandingan tegangan yang bekerja pada sebuah benda dengan regangan yang dihasilkan. Secara lebih rinci, modulus elastisitas adalah suatu angka limit untuk regangan-regangan kecil yang terjadi pada bahan yang proporsional dengan pertambahan tegangan. Umumnya, nilai modulus elastisitas dihitung dengan rumus berikut ini:
14 ................................................... (2.6) Dimana E = modulus elastisitas beton (MPa) σ = tegangan (N/mm2) ε = regangan (MPa) Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti. Nilainya bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan, dan karakteristik dan perbandingan semen dan agregat. Banyak formula dipublikasikan sebagai acuan referensi untuk menghitung modulus elastisitas beton, berdasarkan SK SNI T-151991: ........................................ (2.7) Dimana Ec = modulus elastisitas beton (MPa) f’c = kuat tekan beton (MPa)
2.1.7 Poisson Ratio Beton Ketika sebuah beton menerima beban tekan, silinder tersebut tidak hanya berkurang tingginya tetapi juga mengalami ekspansi (pemuaian) dalam arah lateral. Perbandingan ekspansi lateral dengan pendekatan longitudinal ini disebut sebagai perbandingan poisson (Poisson’s ratio). Nilainya bervariasi mulai dari 0,11 untuk beton mutu tinggi dan 0,21 untuk beton mutu rendah, dengan nilai rata-rata 0,16. Sepertinya tidak ada hubungan langsung antara nilai perbandingan ini dengan nilainilai, seperti perbandingan air-semen, lamanya perawatan, ukuran agregat, dan sebagainya. Besarnya nilai perbandingan antara regangan lateral terhadap regangan longitudinal pada suatu bahan/ material adalah tetap (konstan). Nilai perbandingan inilah yang disebut dengan rasio poisson dan dilambangkan dengan “ν“ (nu). Nilai rasio poisson untuk beton berkisar antara 0,15 - 0,25. Apabila regangan di suatu bahan menjadi besar, rasio poissonnya berubah (Gere, Timoshenko, 1997).
15 2.2
Beton Pasca Bakar Menurut Sumardi (2000), kebakaran pada hakikatnya merupakan reaksi kimia
dari combustible material dengan oksigen yang dikenal dengan reaksi pembakaran yang menghasilkan panas. Panas hasil pembakaran ini diteruskan ke massa beton/mortar dengan dua macam mekanisme yakni pertama secara radiasi yaitu pancaran panas diterima oleh permukaan beton sehingga permukaan beton menjadi panas. Pancaran panas akan sangat potensial, jika suhu sumber panas relatif tinggi. Kedua secara konveksi yaitu udara panas yang bertiup/bersinggungan dengan permukaan beton sehingga beton menjadi panas. Bila tiupan angin semakin kencang, maka panas yang dipindahkan dengan cara konveksi semakin banyak. Secara umum, material beton relatif lebih tahan api dibandingkan kayu, plastik dan juga baja. Namun demikian, untuk memberikan kinerja durabilitas terhadap api yang signifikan, tetap diperlukan beberapa persyaratan untuk durabilitas beton pasca bakar yang memadai (Susilorini, R. dan Sambowo, K.A., 2011).
Gambar 2.3 Struktur Beton yang Rusak Akibat Kebakaran Sumber : www.norcalblogs.com Terjadinya perubahan temperatur yang cukup tinggi, seperti yang terjadi pada peristiwa kebakaran, akan berpengaruh terhadap elemen-elemen struktur. Karena pada proses tersebut akan terjadi suatu siklus pemanasan dan pendinginan yang bergantian, yang akan menyebabkan adanya perubahan fase fisis dan kimiawi secara kompleks, hal ini akan mempengaruhi kualitas/kekuatan struktur beton tersebut dan akan menyebabkan beton menjadi getas (Wahyuni, E. dan Anggraini, R., 2010). Perilaku beton akibat kebakaran dipengaruhi oleh perubahan suhu terhadap waktu, perbedaan suhu sepanjang balok, sifat nonlinier material, kombinasi beban,
16 pengekangan eksternal dan lain-lain (Poh dan Bennet, 1995). Ketahanan beton terhadap temperatur tinggi dihasilkan oleh daya hantar panas beton yang rendah dan kekuatan yang tinggi. Penambahan selimut beton, kekuatan, kepadatan, dan sifat kedap air mempertinggi ketahanan suhu terhadap beton (Raina, 1989). Efek yang paling utama dari pemanasan beton dalam hubungannya dengan sifat muai suhu adalah spalling (rompal atau rontok). Beberapa tipe agregat, misalnya silika, akan pecah karena ada perubahan pada struktur kristalnya, meskipun proses ini hanya terjadi pada permukaan betonnya saja tetapi secara individual partikel ini akan terlepas sendiri-sendiri. Bisa juga terjadi efek yang lebih serius yaitu hancurnya lapis permukaan karena pemuaian suhu dan ditambah lagi adanya tekanan yang dihasilkan dari uap air yang terjebak di dalam pori beton. (Taylor, 2002). Jika temperatur cukup tinggi akan terjadi retak, bahkan juga pada beton massif, tergantung dari lamanya kebakaran. Kebakaran dengan temperatur 1000ºC selama satu atau dua jam akan menyebabkan beton tidak lagi dapat berfungsi sebagai material struktur, hal ini ditandai dengan meluasnya spalling dan terlihatnya tulangan utama struktur.
2.2.1 Pengaruh Beban Suhu Kebakaran terhadap Sifat Fisis Beton •
Perubahan warna pada beton Warna
beton setelah terjadi proses pendinginan membantu dalam
mengindikasikan temperatur maksimum yang pernah dialami beton dalam beberapa kasus, suhu di atas 300o C mengakibatkan perubahan warna beton menjadi sedikit kemerahan atau beton akan berubah warna menjadi merah muda ,jika sampai di atas 600o C akan menjadi abu-abu agak hijau, jika sampai di atas 900o C menjadi kekuning-kuningan namun jika sampai di atas 1200o C akan berubah menjadi kuning Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan berapa suhu tertinggi selama kebakaran berlangsung berdasarkan warna permukaan beton pada pemeriksaan pertama. Tabel 2.1 Warna Pada Beton Pasca Bakar Suhu Warna sebelum dibakar Warna sesudah dibakar o 200 C Putih keabu-abuan Putih kekuning-kuningan 400oC Putih keabu-abuan Abu-abu kecoklatan 500oC Putih keabu-abuan Kuning kecoklatan Sumber : Lianasari, A. E., 1999 •
Pengelupasan dan remuk pada beton
17 Efek yang paling utama dari pemanasan beton dalam hubungannya dengan sifat muai suhu adalah pengelupasan (spalling). Beberapa tipe agregat, misalnya silika, akan pecah karena ada perubahan pada struktur kristalnya, meskipun proses ini hanya terjadi pada permukaan betonnya saja tetapi secara individual partikel ini akan terlepas sendiri-sendiri. Terjadi juga efek yang lebih serius yaitu hancurnya lapis permukaan karena pemuaian suhu dan ditambah lagi adanya tekanan yang dihasilkan dari uap air yang terjebak di dalam pori beton. (Taylor, 2002). Tjokrodimuljo (2000) mengatakan bahwa beton pada dasarnya tidak diharapkan mampu menahan panas sampai di atas 250oC. Akibat panas, beton akan mengalami retak, terkelupas (spalling), dan kehilangan kekuatan. Kehilangan kekuatan terjadi karena perubahan komposisi kimia secara bertahap pada pasta semennya.
Gambar 2.4 Pengelupasan Balok Beton Sumber : www.ronymedia.wordpress.com Spalling (pengelupasan) pada lapisan permukaan adalah efek yang umum terjadi pada saat terjadi kebakaran dan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yang salah satunya adalah pengelupasan yang disertai dengan ledakan yang menyebar dan umumnya muncul pada 30 menit pertama pada kebakaran. Kemudian, yang lainnya adalah pengelupasan secara perlahan-lahan, berupa terkelupasnya beton menjadi retak secara paralel pada permukaan yang terkena api yang akan menyebabkan terjadinya pemisahan sebagian lapisan beton dan terlepasnya bagian beton sepanjang daerah yang lemah seperti pada lapisan tulangan. Pendinginan secara tiba-tiba oleh pemadam kebakaran juga dapat menyebabkan retak. •
Keretakan (cracking)
18 Pada temperatur tinggi, pemuaian besi beton akan lebih besar daripada betonnya sendiri. Tetapi pada konstruksi beton, pemuaian akan tertahan sampai suatu taraf tertentu karena adanya lekatan antara besi beton dengan beton.
Gambar 2.5 Retak pada Beton Sumber : www.architectaria.com Jenis kerusakan yang sering terjadi pada struktur beton akibat kebakaran antara lain retak ringan, yakni pecah pada bagian luar beton yang berupa garis-garis yang sempit dan tidak terlalu panjang dengan pola menyebar. Retak ini disebabkan oleh proses penyusutan beton pada saat terjadi kebakaran. Sedangkan, yang lainnya adalah retak berat, yakni ukuran retak lebih dalam dan lebar, terjadi secara tunggal atau kelompok (Triwiyono, 2000:2).
2.2.2 Pengaruh Beban Suhu Kebakaran terhadap Sifat Mekanis Beton Perubahan sifat fisis material pembentuk beton akibat peningkatan suhu pada kejadian kebakaran akan mengakibatkan perubahan sifat mekanis beton, dalam hal ini kuat desak atau kuat tekan beton. Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli, seperti yang terlihat pada gambar berikut menunjukkan penurunan kuat tekan dimulai setelah suhu diatas 300oC, selanjutnya penurunan sangat drastis setelah suhu diatas 500oC. Peningkatan temperatur akibat kebakaran menyebabkan material beton mengalami perubahan sifat. Suhu yang dapat dicapai pada suatu ruangan gedung yang terbakar adalah ± 1000°C dengan lama kebakaran umumnya lebih dari 1 jam. Kebanyakan beton struktural dapat digolongkan ke dalam tiga jenis agregat : karbonat, silikat, dan beton berbobot ringan. Agregat karbonat meliputi batu kapur dan dolomit dan dimasukkan dalam satu golongan karena kedua zat ini mengalami perubahan susunan kimia pada suhu antara 700°C sampai 980°C. Agregat silikat
19 yang meliputi granit, kuarsit, batu pasir, tidak mengalami perubahan kimia pada suhu yang biasa dijumpai dalam kebakaran (Ray, N., 2009). Agregat berbobot ringan bisa diproduksi dengan mengekspansi batu karang, batu tulis, tanah liat, terak atau batu apung atau terjadi alami. Batu tulis, tanah liat dan karang yang diekspansi dipanasi sampai sekitar 1040° C sampai 1100° C selama pembuatan. Pada suhu ini agregat tersebut menjadi cair. Akibatnya agregat berbobot ringan ini yang berada dekat permukaan beton yang mulai melunak setelah terbakar selama sekitar 4 jam. Dalam praktek pengaruh pelunakan ini umumnya kecil (Ray, N., 2009). Pengaruh temperatur tinggi terhadap beton dapat mengakibatkan perubahan, antara lain (Nugraha, P., 2007) : Pada suhu 100o C
→ air kapiler menguap.
Pada suhu 200o C
→ air yang terserap di dalam agregat menguap. Penguapan menyebabkan penyusutan pasta.
Pada suhu 400o C
→ pasta semen yang sudah terhidrasi terurai kembali sehingga kekuatan beton mulai terganggu. Ca(OH)2 → CaO + H2O
Kekuatan beton pasca bakar bervariasi tergantung pada temperatur yang dicapai, lamanya pemanasan, proporsi campuran, agregat yang digunakan dan beban yang bekerja selama pemanasan. Untuk temperatur sampai pada 300oC, penurunan kekuatan dari struktur beton tidak signifikan, sementara untuk temperatur diatas 500oC kekuatannya menurun hanya dengan persentase yang kecil dari kekuatan awalnya. Temperatur 300oC biasanya diambil sebagai temperatur kritis dimana beton memperlihatkan kerusakan yang mulai signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
20
Gambar 2.6 Grafik Hubungan Suhu dengan Kuat Tekan Sisa Pasca Bakar Sumber : European Committee for Standardization, 1995
Gambar 2.7 Penurunan Kuat Tekan terhadap Kenaikan Temperatur Sumber : Suhendro, 2000 Untuk mengetahui seberapa besar kekuatan tekan beton yang terpapar beban suhu tinggi dapat dilakukan analisa secara grafis seperti yang ada pada gambar di atas Selain secara grafis, kuat tekan juga dapat ditentukan secara matematis. Model matematis yang diajukan adalah hasil riset atau penelitian pada ahli di bidang material beton sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa model matematis dan persamaannya adalah sebagai berikut:
21 Tabel 2.2 Model Matematis Hubungan antara Kuat Tekan Beton terhadap Kenaikan Temperatur Penulis
Model Matematis
Xiao, Robert Y. & Ezekiel S. (2013)
Aslani, F. & Bastami, M. (2011)
Hertz (2005) Dimana: T1 = 15000, T2 = 800, T8 = 570, T64 = 100000 BS EN 1992-1-2 (2004)
Tabel 2.3 Nilai Kuat Tekan Beton pada Peningkatan Temperatur Temperatur (oC) 20 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Kuat Tekan Beton 100% 100% 95% 85% 75% 60% 45% 30% 15% 8% 4%
Sumber : Kowalski, R., 2010
Tabel 2.4 Perubahan Kimia dan Kekuatan Beton Akibat Beban Suhu Tinggi Temperatur yang dicapai oC 70-80 105
Perubahan akibat pemanasan Perubahan Kimia
Perubahan Kekuatan
Pemisahan awal Kehilangan air pada aggregat dan matrikx semen, dan meningkatnya porositas
Penurunan kekuatan yang minor (<10%)
22 120-163
250-350
450-500
Dekomposisi gypsum Oksidasi dari kandungan besi menyebabkan terjadinya perubahan warna menjadi pink/merah pada aggregat. Kehilangan kadar air pada Penurunan kekuatan matriks semen dan meningkatnya yang signifikan mulai degradasi. pada suhu 300oC Dehidrasi dari bahan pengikat dan perubahan warna menjadi putih dan keabu-abuan
573
5% kenaikan volume dari kuarsa menyebabkan retak radial di sekeliling butiran kuarsa pada aggregat
600-800
Terlepasnya karbondioksida dari karbonat yang akan menyebabkan kerusakan pada konstruksi beton (dengan beberapa retak mikro pada matriks semen)
Pemisahan dan tegangan akibat suhu yang ekstrim menyebabkan terjadinya disintegrasi penuh pada 800-1200 elemen yang terbakar, menyebabkan beton berwarna putih keabua-abuan dan beberapa retak mikro Sumber : Ingham, J., 2009
Beton secara struktural sudah tidak lagi baik digunakan pada suhu melebihi 500-600oC
Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa kuat tekan beton memiliki hubungan dengan modulus elastisitas. Jadi, secara tidak langsung beban suhu kebakaran juga berpengaruh terhadap modulus elastisitas beton. Gambar berikut memperlihatkan penurunan modulus elastisitas beton, perubahan dimulai pada suhu diatas 200oC dan terlihat penurunan yang jauh lebih besar terjadi pada suhu di atas 300oC.
23
Gambar 2.8 Pengaruh Beban Suhu Tinggi Terhadap Modulus Elastisitas Beton Sumber : Sirait, K.B., 2003
2.2.3 Pengujian Core Drill Menurut Priyosulistyo (2000) setelah kebakaran terjadi pada suatu struktur beton bertulang, penelitian harus dilaksanakan untuk pemeriksaan berkenaan dengan kekuatan sisa pada struktur tersebut sebelum dilakukan perbaikan struktur pasca kebakaran. Pengambilan sampel sedapat mungkin tidak menambah rusaknya struktur (non destructive) sekalipun dalam hal tertentu terpaksa dilakukan uji setengah merusak (semi destructive) sampai uji merusak (destructive). Salah satu jenis pengujian yang paling sering dilakukan pada suatu struktur beton bertulang setelah kebakaran adalah pengujian core drill. Pengujian core drill atau yang disebut juga pemboran beton inti ialah pengujian terhadap benda uji beton yang berbentuk silinder hasil pengeboran pada struktur yang sudah dilaksanakan. Cara umum untuk mengukur kekuatan beton pada aktual strukturnya adalah dengan cara memotong beton dengan bor berbentuk bulat yang berputar (untuk jenis model ASTM C 42), sehingga diperoleh sampel beton yang berbentuk silinder.
24
Gambar 2.9 Alat-alat Pengambilan sampel Core Drill Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015 Pengujian core drill merupakan metode yang secara langsung dapat menaksir atau memperkirakan kekuatan beton yang sebenarnya pada suatu struktur. Umumnya sampel core diperoleh untuk mengevaluasi dan menilai apakah kekuatan suatu struktur beton sesuai dengan mutu yang direncanakan, karena sampel core itu sendiri diambil secara langsung dari struktur yang diamati (ACI 214.4R-03). Standar atau prosedur dalam menggunakan metode pengujian ini dapat dilihat pada ASTM C 42.
2.2.4 Klasifikasi Tingkat Kerusakan Struktur Akibat Kebakaran Menurut Rizal, F. (2000), dari pengamatan yang dilakukan terhadap berbagai kasus kerusakan struktur pasca terbakar, dapat dikelompokkan menjadi: •
Kerusakan ringan. Kerusakan ini berupa pengelupasan pada plesteran luar beton dan terjadinya perubahan warna permukaan menjadi hitam akibat asap yang mungkin disertai dengan retak-retak pada plestreran;
•
Kerusakan sedang. Kerusakan ini berupa munculnya retak-retak ringan (kedalaman kurang dari 1 mm) pada bagian luar beton yang berupa garisgaris yang sempit dan tidak terlalu panjang dengan pola menyebar. Retak ini diakibatkan oleh proses penyusutan beton pada saat terjadi kebakaran. Selain itu terdapat pengelupasan kurang dari 50 mm pada selimut beton;
•
Kerusakan berat. Retak yang terjadi sudah memiliki ukuran lebih dalam dan lebar, terjadi secara tunggal atau kelompok. Jika terjadi pada balok kadangkadang disertai dengan lendutan yang dapat dilihat dengan mata;
25 •
Kerusakan sangat berat. Kerusakan yang terjadi sudah sedemikian rupa sehingga beton pecah/terkelupas sehingga tampak tulangan bajanya, atau bahkan sampai tulangan putus/tertekuk, beton inti hancur.
Gambar 2.10 Kerusakan Sangat Berat pada Struktur Sumber : www.en.wikipedia.org
2.3
Beban
2.3.1 Pengertian Beban Perencanaan struktur bangunan harus memperhitungkan beban mati, beban hidup, beban gempa dan beban hujan yang bekerja pada struktur tersebut. Pengertian dari beban – beban tersebut menurut Peraturan Pembebanan Untuk Gedung ( PPI, 1983, hal 7 ) adalah sebagai berikut : •
Beban mati (D) adalah berat dari semua bagian suatu gedung yang bersifat tetap termasuk segala tambahan, penyelesaian mesin – mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung tersebut. Tabel 2.5 Beban Mati pada Struktur Beban Mati Besar Beban Batu alam 2600 kg/m3 Beton Bertulang 2400 kg/m3 Dinding Pasangan ½ Bata 250 kg/m3 Langit-langit + penggantung 18 kg/m2 Lantai ubin dari semen Portland 24 kg/m2 Spesi per cm tebal 21 kg/m2 sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia, 1983
•
Beban hidup (L) adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung, dan kedalamnya termasuk beban – beban pada lantai yang berasal dari barang – barang yang dapat berpindah, mesin – mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
26 gedung dan dapat diganti selama masa hidup dari gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap tersebut. Beban hidup diperhitungkan berdasarkan perhitungan matematis dan menurut kebiasaan yang berlaku pada pelaksanaan konstruksi di Indonesia. Tabel 2.6 Beban Hidup Berdasarkan Peruntukan Beban Hidup Besar Beban (kg/m2) Rumah Tinggal 200 Sekolah, Kantor dan Rumah Sakit 250 Tangga dan Bordes 300 Plat Atap 100 Tempat Ibadah 400 Parkir 400 Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia, 1983 •
Beban gempa (E) adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja pada gedung yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa tersebut. Dalam hal pengaruh gempa pada struktur gedung ditentukan berdasarkan suatu analisa dinamik, maka yang diartikan dengan beban gempa di sini adalah gaya – gaya di dalam struktur tersebut yang terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa itu.
•
Beban hujan adalah (W) adalah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang disebabkan oleh hujan.
•
Beban khusus ialah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang terjadi akibat selisih suhu, pengangkatan dan pemasangan, penurunan fondasi, susut, gaya-gaya tambahan yang berasal dari beban hidup seperti gaya rem yang berasal dari kran gaya sentrifugal dan gaya dinamis yang berasal dari mesin-mesin, serta pengaruh-pengaruh khusus lainnya.
27
Gambar 2.11 Diagram Pembebanan Pada Struktur Sumber : www.dyshally.blogspot.com 2.3.2 Pembebanan Akibat Perubahan Suhu Beban suhu didefinisikan sebagai suhu yang menyebabkan efek pada bangunan, seperti udara luar ruangan temperatur, radiasi matahari, suhu tanah, suhu udara dalam ruangan dan sumber panas peralatan di dalam gedung. Perubahan suhu di struktural dan non-struktural menyebabkan tegangan termal dan didefinisikan sebagai efek dari beban panas. Beban yang diakibatkan oleh perubahan suhu termasuk ke dalam beban khusus yang juga harus diperhitungkan dan direncanakan dalam merancang struktur. Dalam melakukan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan, perlu adanya gambaran yang jelas mengenai perilaku dan besarnya beban yang bekerja pada struktur. Gambar di bawah ini mengilustrasikan diagram dari beban-beban yang dapat bekerja pada struktur teknik sipil.
28
Gambar 2.12 Ilustrasi Beban Suhu Akibat Kebakaran Sumber : www.math.nist.gov Beban suhu yang tinggi dan berlebih berpengaruh terhadap berkurangnya kekuatan beton maupun besi tulangan di dalam struktur bangunan beton bertulang. Oleh karena itu, setelah diberikan beban suhu perlu dilakukan peninjauan atas kelayakan struktur beton bertulang. Pada kondisi struktur gedung yang terbakar, dibutuhkan waktu kurang dari 30 menit untuk merusak mutu beton setebal selimut beton. 2.4
Teori Pelat Pelat adalah elemen horisontal utama yang menyalurkan beban hidup maupun
beban mati ke kerangka pendukung vertikal dari suatu sistem struktur. Elemenelemen tersebut dapat dibuat sehingga bekerja dalam satu arah atau bekerja dalam dua arah (Nawy, 1990). Sedangkan, menurut Arief, S., dkk. (2012), menjelaskan bahwa pelat merupakan struktur bidang (permukaan) yang lurus (datar atau tidak melengkung) yang tebalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensinya yang lain. Geometri suatu pelat biasanya dibatasi oleh garis lurus atau garis lengkung. Ditinjau dari statika, kondisi tepi (boundary condition) pelat bias bebas (free), bertumpuan sederhana (simply supported), jepit dan tumpuan titik atau terpusat.
29
Gambar 2.13 Pelat Lantai Sumber : Dokumen Pengawas, 2015 Pelat menerima beban yang bekerja tegak lurus terhadap permukaan pelat. Berdasarkan kemampuannya untuk menyalurkan gaya akibat beban, pelat lantai dibedakan menjadi pelat satu arah dan dua arah. Pelat satu arah adalah pelat yang ditumpu hanya pada kedua sisi yang berlawanan, sedangkan pelat dua arah adalah pelat yang ditumpu keempat sisinya sehingga terdapat aksi dari pelat dua arah (Winter dan Nilson, 1993). Pelat dapat dibuat dari beton bertulang, kayu maupun baja. Pada umumnya saat ini seluruh pelat menggunakan pelat lantai yang terbuat dari beton bertulang. Pelat beton bertulang yaitu struktur tipis yang dibuat dari beton bertulang dengan bidang yang arahnya horizontal dan beban yang bekerja tegak lurus pada bidang struktur tersebut. Ketebalan bidang pelat ini relatif sangat kecil apabila dibandingkan dengan bentang panjang atau lebar bidangnya. Berikut ini adalah fungsi dari pelat lantai antara lain: •
Sebagai pemisah antar ruang bawah dan ruang atas;
•
Sebagai tempat beraktivitas bangunan;
•
Menambah kekakuan bangunan dalam arah horizontal;
•
Sebagai tempat menempelnya kabel listrik, lampu dan pipa air dari ruang bawah. Adapun hal-hal yang perlu diperhitungkan dalam merencanakan tebal pelat
dan kebutuhan perkuatan di dalam pelat lantai yaitu: •
Besarnya beban yang bekerja di atas pelat tersebut;
30 •
Bahan material yang digunakan untuk membuat pelat;
•
Jenis perletakan yang menumpu dan menyokong pelat lantai;
•
Jika pelat terletak diatas tanah, maka kekuatan tanah secara elastis harus diperhitungkan.
2.5
Analisa Struktur dengan Program SAP2000 Structural Analysis Program atau yang lebih dikenal dengan SAP telah
identik dengan sebagai perintis metode analisis sejak diperkenalkan lebih dari 30 tahun yang lalu. SAP2000 mengikuti tradisi yang sama dengan menyediakan program pemodelan antarmuka pengguna yang sangat canggih, intuitif dan serbaguna didukung oleh mesin analisis dan desain alat yang tak tertandingi untuk insinyur yang bekerja pada transportasi, industri, pekerjaan umum, olahraga, dan fasilitas lainnya. SAP2000 dikembangkan oleh perusahaan software Computers and Structures, Inc yang berada di Berkeley, California SAP2000 merupakan salah satu aplikasi komputer untuk analisa struktur yang lengkap dan sangat mudah untuk dioperasikan. Prinsip utama penggunaan program ini adalah pemodelan struktur, eksekusi analisis dan pemeriksaan atau optimasi desain dimana semuanya dilakukan dalam satu langkah atau satu tampilan. Output yang dihasilkan juga dapat ditampilkan sesuai dengan kebutuhan baik berupa model struktur, grafik, maupun spreadsheet.
Gambar 2.14 Tampilan Awal Aplikasi Program SAP2000
31 Analisa SAP2000 menggunakan metode elemen hingga (Finite Element Method) baik untuk analisa statis maupun dinamis. Beberapa kemampuan yang dimiliki oleh program ini antara lain: •
Analisa yang cepat dan akurat;
•
Model pembebanan yang lebih lengkap baik berupa pembebanan statis maupun pembebanan dinamis;
•
Pemodelan elemen cangkang (shell) yang akurat;
•
Sistem koordinat ganda untuk bentuk geometri struktur yang kompleks. Untuk keperluan desain struktur, SAP2000 dilengkapi dengan fitur yang lebih
baik untuk perencanaan baja maupun beton. Program analisa dan desain ini didukung oleh berbagai peraturan perencanaan yang dapat dipilih dalam perencanaan struktur beton antara lain: •
U.S. ACI 318-95 (1995) dan AASHTO LRFD (1993);
•
Canadian CSA-A23.3-94 (1994);
•
British BS 81 10-85 (1989);
•
Eurocode 2 ENV 1992-1-1 (1992);
•
New Zealand NZS 3101-95 (1995). Dari berbagai peraturan perencanaan di atas, tidak ada peraturan perencanaan
sesuai dengan standar yang berlaku di indonesia yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). Oleh karena itu, diperlukan adanya penyesuaian dengan mengubah beberapa parameter koefisien reduksi dalam proses desain struktur beton tersebut. SAP2000 juga dapat menganalisa pelat beton yang berada di atas tanah elastis seperti layaknya pelat gudang, perkerasan kaku jalan dan lain sebagainya. Pada kondisi tersebut pelat harus dimodelkan sebagai balok yang memiliki penopang berupa pegas-pegas dengan kekakuan tertentu sesuai dengan daya dukung tanahnya. 2.5.1 Pemodelan Beams on Elastic Foundation (BoEF) Perhitungan metode Beams on Elastic Foundation (BoEF) berdasarkan pada asumsi bahwa tanah sebagai media pendukung berperilaku sebagai pegas-pegas individual yang bekerja pada titik tak terhingga dan tidak saling mempengaruhi. Pegas-pegas tersebut diasumsikan mampu mendukung gaya tarik maupun gaya tekan. Gaya reaksi akibat beban pada setiap titik akan sebanding dengan nilai defleksi pada titik tersebut. Asumsi ini pertama kali digunakan oleh Winkler di tahun 1867, sehingga tipe ini sering disebut dengan Winkler (Hetenyi, M., 1974).
32 Menurut Hetenyi, M. (1974), analisis hitungan dengan metode BoEF mengasumsikan bahwa pelat dianggap sebagai balok, sehingga persamaanpersamaan untuk menghitung lendutan, momen, rotasi dan gaya lintang pada pelat menggunakan pendekatan dengan persamaan-persamaan untuk menghitung lendutan, momen, rotasi dan gaya lintang pada balok. Adapun tipe analisis model dilakukan dengan analisis model 2 dimensi. Dalam menghitung lendutan pelat yang terletak di atas tanah, pelat dianggap sebagai balok lurus yang didukung oleh media elastik di seluruh bentangnya seperti ditunjukkan pada gambar di bawah. Balok ini dibebani oleh gaya-gaya vertikal yang berakibat balok melendut ke bawah. Akibat gaya-gaya vertikal tersebut tanah sebagai media elastis memberikan reaksi gaya-gaya yang tersebar di seluruh pendukungnya.
Gambar 2.15 Perilaku Pembebanan Balok Menerus pada Tanah Elastis. Sumber : Hetenyi, 1974 Gaya reaksi pada di atas adalah asumsi dasar bahwa besarnya p pada setiap titik berbanding lurus dengan defleksi balok δ pada titik tersebut, sehingga dapat dirumuskan besarnya tekanan P sama dengan perkalian nilai modulus reaksi k dengan defleksi balok δ. Gaya reaksi diasumsikan bekerja vertikal dan memiliki arah gaya berlawanan dengan arah defleksi balok. Pada saat terdefleksi ke bawah, akan terjadi reaksi gaya tekanan dari media pendukung, dan sebaliknya jika terjadi defleksi ke atas akan terjadi reaksi gaya tarikan pada media pendukung. Sehingga diasumsikan bahwa media pendukung dapat menahan gaya tarikan. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa media pendukung bersifat elastis dengan kata lain berlaku hukum Hooke. Elastisitas media pendukung dapat dirumuskan sebagai gaya yang terdistribusi persatuan luas yang akan menyebabkan defleksi yang besarnya satu satuan. Konstanta media pendukung disebut konstanta pegas ekuivalen atau biasa dinamakan sebagai modulus reaksi tanah dasar (modulus of subgrade reaction) dengan simbol ks.
33 Menurut Timoshenko (1956), lendutan dan momen akibat beban terpusat yang ada pada tengah bentang dapat dihitung dengan formula berikut ini: ..................................... (2.8) .................................... (2.9) Dimana Yc
= lendutan pada tengah bentang (m);
Mc
= momen pada tengah bentang (kN.m);
P
= beban terpusat (kN);
L
= panjang balok (m);
E
= modulus elastisitas material balok (kN/m2)
I
= momen inersia penampang balok (m4) .............................................. (2.10) ............................................. (2.11)
k
= kekakuan elastis tanah (kN/m2);
ks
= modulus reaksi tanah dasar (kN/m3);
B
= lebar balok (m).
2.5.2 Modulus Reaksi Tanah Dasar (ks) Koefisien subgrade tanah atau lebih dikenal dengan modulus of subgrade reaction adalah nilai perbandingan tekanan tanah dengan penurunan yang terjadi, yang ditentukan dari uji beban pelat (plate load test). Hardiyatmo, dkk. (2000) menjelaskan pada umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut: a.
Sifat mengembang dan menyusut akibat perubahan kadar air;
b.
Daya dukung yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukanya, atau akibat pelaksanaannya;
34 c.
Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang diakibatkan, yaitu pada tanah berbutir kasar yang tidak dipadatkan secara baik. Menurut Bowles (1983), nilai ks dapat dihitung menurut metode aproksimasi
berdasarkan nilai kapasitas daya dukung tanah qa: ...................................... (2.12) Persamaan ini didasarkan pada alasan bahwa qa adalah tekanan tanah ultimate dibagi oleh faktor keamanan (safety factor) SF dengan lendutan yang terjadi sebesar 1 inci atau 2,54 cm. Biasanya SF diambil sama dengan 3 (tiga). Sehingga persamaan diatas menjadi: ............................................. (2.13) Dimana ks
= modulus reaksi tanah dasar (kN/m2);
SF
= standar keamanan;
qa
= daya dukung tanah (kN/m2). Nilai ks juga dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah seperti disajikan dalam
tabel berikut: Tabel 2.7 Nilai Perkiraan Modulus Reaksi Tanah (ks) Berdasarkan Jenis Tanah Soil ks (kN/m2) Loose sand 4800 – 16000 Medium dense sand 9600 – 80000 Dense sand 64000 – 128000 Clayey medium dense sand 32000 – 80000 Silty medium dense sand 24000 – 48000 Clayey soil qu ≤ 200 kPa 12000 – 24000 200 < qu ≤ 400 kPa 24000 – 48000 qu > 800 kPa > 48000 Sumber : Bowles, 1983, Foundation Analysis And Design, fifth edition Tabel 2.8 Nilai Tipikal ks berdasarkan Jenis Tanah Soil Type Sand (dry or moist)
Sand (Saturated) Clay
Loose Medium Dense Loose Medium Dense Stiff
ks (kN/m2) 8000 – 25000 25000 – 125000 125000 – 375000 10000 – 15000 35000 – 40000 130000 – 150000 12000 – 25000
35 Very Stiff 25000 – 50000 Hard > 50000 Sumber : Das, 1998, Principles of Foundation Engineering
2.6
Jurnal dan Penelitian Sebelumnya Beberapa bagian dari penelitian ini mengacu pada jurnal penelitian yang telah
dilakukan dan dipublikasikan sebelumnya. Beberapa laporan atau jurnal ilmiah tersebut adalah sebagai berikut: •
Perubahan Perilaku Mekanis Beton Akibat Temperatur Tinggi (Trisni Bayuasri, Himawan Indarto dan Antonius, 2006); Dari jurnal tersebut diketahui bahwa beton mengalami penurunan kekuatan dan modulus elastisitas setelah dibakar, yaitu dengan semakin tingginya suhu api yang dikenakan pada waktu 3 jam pada suhu 300oC pada beton maka begitu juga dengan kekuatannya yang semakin menurun berkisar 71,8%, juga pada suhu 600oC, 900oC yaitu berkisar 43,6% dan 15,4%, untuk beton dengan kuat tekan beton 21,6 MPa.
•
Analisi Perilaku Mekanis dan Fisis Beton Pasca Bakar (Yulia Corsika M. S.dan Rahmi Karolina, 2010); Diketahui dari jurnal tersebut bahwa beton akan mengalami penurunan kekuatan seiring dengan kenaikan suhu dan lamanya durasi pembakaran. Semakin tinggi temperatur dan lamanya durasi pembakaran menyebabkan porositas beton yang semakin besar juga.
•
Kajian Perilaku Beton Bertulang Pasca Bakar (Koresj B. Sirait, 2003); Laporan penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kerusakan balok bertulang ternyata tidak separah yang diperlihatkan secara visual, dari pemodelan didapatkan sisa daya pikul menjadi 79% dengan pembakaran pada suhu 500oC tetap selama 2 jam. Selain itu, penggunaan selimut beton yang lebih tebal akan melindungi besi tulangan dari pengaruh panas kebakaran, dianjurkan lebih dari 4 cm.
•
Pengaruh Suhu Pembakaran Terhadap Kuat Tekan Beton Pasca Bakar Dengan Subtitusi Sebagian Semen Oleh Fly ash Dan Penambahan Superplasticizer (Angelina E. Lianasari, 2013); Dari jurnal tersebut diketahui bahwa beton normal pada suhu 200°C, 400°C, dan 500°C mengalami penurunan kuat tekan secara berturut-turut sebesar
36 4,03%, 11,71%, 22,03%. Beton fly ash + Sikament LN pada suhu 200°C, 400°C, dan 500°C mengalami penurunan kuat tekan secara berturut-turut sebesar 8,64%, 10,96%, 14,37%. •
Analisa Pengaruh Temperatur terhadap Kuat Tekan (Ahmand, I. A., Taufieq, N. A. S., dan Aras, A.H., 2009); Penelitian ini dilakukan terhadap benda uji yang digunakan berbentuk kubus ukuran 15cm x 15cm x 15cm. Pemanasan dilakukan dalam oven pada temperatur 200oC - 600oC dengan interval kenaikan 50oC dibakar dengan lama waktu 3 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuat tekan beton rata-rata menurun dengan adanya kenaikan temperatur. Beton yang telah dipanasi pada temperatur 200oC, 400oC dan 6000C, kuat tekan rata-ratanya berturut-turut sebesar 14,15%, 41,15% dan 64,92 % dari beton normal.
•
Penelitian Uji test di laboratorium dilakukan Sulendra dan Tatong (2007); Balok yang dibuat di laboratorium dengan ukuran 400 x 200 x 200 (mm), di panaskan selama 2 jam dengan suhu pemanasan 400oC, 600oC, 800oC, 1000oC dengan kuat tekan awal 23,01 MPa. Dilakukan uji kuat tekan untuk mengetahui penurunan kuat tekan dengan alat Hammer Test, Kuat tekan hasil pengujian Hammer Test terlihat pada suhu 400 ºC terjadi penurunan kekuatannya sekitar 15% sedangkan pada suhu 600 ºC hingga 50 % dan pada suhu 800 ºC terjadi penurunan yang signifikan sampai 80 %.
•
Analisa Kekuatan Beton Pasca Bakar dengan Metode Numerik (Yuzuar Afrizal, 2013); Jurnal ini menyimpulkan bahwa, terjadi perambatan panas beton pada waktu 15 menit pertama, mampu mencapai 93% pada lapis pertama sedalam 3,75 cm jika dibanding suhu diluar beton dan pada kondisi struktur gedung yang terbakar, dibutuhkan waktu kurang dari 30 menit untuk merusak mutu beton setebal selimut beton.