BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.Tinjauan mengenai konservasi 2.1.1. Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi adalah sebagai berikut : 1. Secara umum, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 menegaskan bahwa “ Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dan dengan tidak menolak bahan-bahan baru kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan Bangsa Indonesia”. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor II/MPR/1988 tentang Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menegaskan bahwa “Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara, dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebangsaan nasional, memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan Bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa di masa depan. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya disebutkan bahwa : a. Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. b. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah-langkah pengaturan
bagi
penguasaan,
pemilikan,
penemuan,
pencarian,
perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan benda cagar budaya. 4. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1992.
7
8
5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 087/U/1993, tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya. 6. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 062/U/1995, tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan dan Penghapusan Benda Cagar Budaya dan atau Situs. 7. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 063/U/1995, tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya dan atau Situs. 8. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 064/U/1995, tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan atau Situs.
2.1.2. Obyek peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan Berdasarkan Piagam Burra Charter, 1981 beberapa obyek peninggalan bersejarah yang perlu dilestarikan adalah sebagai berikut : 1. Benda Cagar Budaya : a. Adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian - bagiannya atau sisa - sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai-nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta perkembangannya dalam lingkup yang lebih luas. b. Adalah benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. 2. Situs : Adalah lokasi yang menjadi tempat ditemukannya atau diduga sebagai tempat ditemukannya benda cagar budaya, baik yang berada di daratan maupun di bawah
permukaan
air,
termasuk
lingkunganya
yang
diperlukan
bagi
pengamanannya. 3. Kawasan Cagar Budaya Selanjutnya disebut kawasan adalah satuan ruang geografis yang memiliki sejumlah situs berdekatan dan memperlihatkan adanya keterkaitan yang ditetapkan dengan fungsi melindungi kelestarian benda cagar budaya dan situs untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
9
2.1.3. Pengertian konservasi dan bentuk – bentuk dari kegiatan konservasi Berbicara mengenai upaya konservasi, prinsip utama kegiatan bertumpu pada empat hal utama, yaitu : pelestarian, perlindungan, pemeliharaan dan pengelolaan. Berdasarkan pengertian menurut Piagam Burra Charter, 1981 pengertian dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pelestarian a. Adalah segala upaya untuk memperpanjang usia benda cagar budaya, situs atau kawasan peninggalan bersejarah dengan cara perlindungan dan pemeliharaan. b. Merupakan
upaya
pengelolaan
pusaka
melalui
kegiatan
penelitian,
perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan yang berkualitas. 2. Perlindungan Adalah upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya, situs dan kawasan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan dan Penertiban, yaitu : a. Penyelamatan : adalah suatu upaya perlindungan terhadap benda cagar budaya dan atau situs serta kawasan bersejarah yang secara teknis dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi dari ancaman, kerusakan dan atau kemusnahan yang ditimbulkan baik oleh alam maupun manusia. b. Pengamanan : adalah salah satu upaya perlindungan benda cagar budaya, situs dan kawasan dengan cara menjaga, mencegah dan menanggulangi halhal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia yang dapat merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya tersebut. 3. Pemeliharaan Adalah upaya melestarikan benda cagar budaya, situs dan kawasan dari kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia, alam dan hayati dengan cara Pemugaran dan Pemanfaatan, sebagai berikut : a. Pemugaran :
adalah
serangkaian kegiatan
yang bertujuan untuk
melestarikan benda cagar budaya, situs dan kawasan dan atau
10
pemanfaatannya dengan cara mempertahankan keasliannya berdasarkan data yang ada dan memperkuat strukturnya bila diperlukan, yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis. b. Pemanfaatan : adalah segala upaya untuk meberdayakan benda cagar budaya, situs dan kawasan sebagai aset budaya untuk berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestariaannya. 4. Pengelolaan Adalah segala upaya terpadu untuk melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya, situs dan kawasan melalui kebijaksanaan pengaturan perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemugaran, pemanfaatan dan pengendalian.
Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi menurut (UNESCO.P.36/2005) adalah : 1. Restorasi ialah kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (UNESCO.P. 36/2005). 2. Preservasi ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (UNESCO.P. 36/2005). 3. Konservasi ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya)
termasuk
tindakan
preservasi,
restorasi,
rekonstruksi,
konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut (UNESCO.P. 36/2005). 4. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (UNESCO.P. 36/2005).
11
5. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya asset aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (UNESCO.P.36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).
2.1.4. Kriteria, tujuan, prinsip dan syarat pelestarian peninggalan bersejarah menurut Piagam Burra Charter, 1981 1. Menurut Piagam Burra Charter, 1981 kriteria yang ditetapkan terhadap peninggalan bersejarah yang dilestarikan adalah : tempat, tapak, area, bangunan atau karya lain, kelompok bangunan bersama dengan isi di sekitarnya yang terkait baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dimana obyek pelestarian tersebut telah memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Memiliki usia minimal 50 tahun b. Mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya berusia 50 tahun. c. Mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan atau mempengaruhi perkembangannya. 2. Tujuan Pelestarian / konservasi adalah : untuk mempertahankan signifikansi budaya (berupa nilai - nilai estetika, kesejarahan, keilmuan atau sosial dari masa lampau) dari tempat dan harus mencakup perlindungan, pemeliharaan dan masa depannya. 3. Beberapa pertimbangan yang dapat mempengaruhi kriteria dan tujuan pelestarian / konservasi adalah sebagai berikut : a. Menentukan nilai sejarah dan usia peninggalan bersejarah tersebut. b. Persepsi yang berbeda-beda dari masyarakat tentang pelestarian tersebut yang berakar dalam benak masyarakat setempat. c. Asas kepatutan d. Terjadinya penggantian bahan dan perubahan ruang yang telah dilakukan sebelumnya pada obyek yang akan dilestarikan.
12
e. Mengacu pada tujuan pelestarian berkaitan dengan Undang - Undang atau Perda setempat, agar dapat dijelaskan kesatuan bangunan dengan isi dan sekelilingnya. f. Berkaitan dengan obyek yang harus dilestarikan agar dapat berinteraksi dengan bangunan-bangunan baru di sekelilingnya sehingga tidak ada sesuatu yang sangat kontras antara langgam kesejamanan dengan lingkungan yang baru / kekinian. 4. Prinsip-prinsip Konservasi : a. Konservasi dilandasi atas dasar penghargaan terhadap keadaan semula dari peninggalan bersejarah, yang meliputi : bentuk, makna, filosofi. b. Konservasi sedapat mungkin tidak mengubah atau menghilangkan buktibukti kesejarahan yang dimilikinya. c. Melalui
upaya
konservasi,
dijamin
keamanan
dan
pemeliharaan
peninggalan bersejarah di masa yang akan datang, sehingga makna kulturalnya tidak akan hilang dan tetap akan terpelihara. 5. Syarat-syarat konservasi : a. Peninggalan bersejarah harus tetap terletak pada lokasi historisnya. b. Tidak diperkenankan untuk memindah sebagian atau seluruhnya atas peninggalan bersejarah tersebut, kecuali merupakan satu-satunya cara untuk menjamin kelestariannya. c. Dalam upaya konservasi ini wajib dijamin terpeliharanya latar belakang visual dan estetis yang cocok seperti bentuk, skala, warna, tekstur dan bahan bangunan, sehingga perubahan baru yang berdampak negatif terhadap latar belakang visual dan estetis tersebut harus dicegah semaksimal mungkin.
2.1.5. Proses konservasi Menurut Piagam Burra Charter, 1981, proses konservasi dapat digolongkan kedalam beberapa pasal, yaitu : •
Pasal 14. Proses konservasi : bergantung pada keadaan, konservasi dapat meliputi proses : mempertahankan dan memperkenalkan kembali sebuah fungsi; mempertahankan asosiasi dan makna; pemeliharaan, preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan interpretasi; dan biasanya akan mencakup kombinasi dari beberapa hal tersebut.
13
•
Pasal 15. Perubahan : 15.1. Perubahan mungkin diperlukan untuk mempertahankan signifikasi budaya , tetapi tidak diinginkan bila mengurangi signifikasi budaya. 15.2. Perubahan yang mengurangi signifikasi budaya harus bersifat sementara dan dikembalikan seperti semula apabila keadaan diijinkan. 15.3. Penghancuran bahan yang signifikan pada suatu tempat, secara umum tidak dapat diterima, namun dalam beberapa kasus penghancuran minor mungkin layak dilakukan sebagai bagian dari konservasi. 15.4. Kontribusi semua aspek pada signifikasi budaya sebuah tempat harus dihargai. Jika sebuah tempat mencakup bahan, fungsi, asosiasi atau makna dari beberapa periode, atau beberapa aspek signifikasi budaya, maka penekanan atau interpretasi satu periode atau aspek tertentu dengan mengorbankan yang lain hanya dapat dibenarkan apabila apa yang ditinggalkan, dihilangkan, atau diganti mempunyai signifikasi budaya yang kecil, dan apa yang ditekankan atau diinterpretasikan memang mempunyai signifikasi budaya yang lebih besar.
•
Pasal 16. Pemeliharaan : bersifat fundamental dalam konservasi dan harus dilakukan apabila bahan mempunyai signifikasi budaya dan pemeliharaanya diperlukan demi mempertahankan signifikasi budaya tersebut.
•
Pasal 17. Preservasi : layak dilakukan apabila bahan yang ada atau kondisinya menjadi bukti signifikasi budaya. Apabila bukti yang ada tidak memadai maka diperbolehkan dilakukan proses konservasi yang lain.
•
Pasal 18. Restorasi dan rekonstruksi : harus menguak aspek – aspek budaya yang signifikan dari sebuah tempat.
•
Pasal 19. Restorasi : layak dilakukan hanya apabila bukti – bukti yang memadai tentang keadaan awal suatu bahan.
•
Pasal 20. Rekonstruksi : 20.1. Rekonstruksi layak dilakukan apabila sebuah tempat tidak utuh lagi dikarenakan musibah atau perubahan, dan hanya apabila terdapat bukti – bukti yang memadai untuk menghasilkan kembali bahan sebagaimana keadaan awalnya. Pada kasus – kasus yang jaarang terjaadi, rekonstruksi juga layak dilakukan sebagai bagian dari sebuah fungsi atau kegiatan yang mempertahankan signifikasi budaya tempat tersebut.
14
20.2. Rekonstruksi harus dapat diidentifikasi dalam pemeriksaan jarak dekat atau melalui interpretasi tambahan. •
Pasal 21. Adaptasi : 21.1. Adaptasi hanya dapat diterima apabila adaptasi tersebut memiliki dampak yang minimal pada signifikasi budaya sebuah tempat. 21.2. Adaptasi harus menimbulkan perubahan seminimal mungkin pada bahan yang signifikan, dipergunakan hanya apabila telah mempertimbangkan beberapa alternative.
•
Pasal 22. Kontruksi baru : 22.1. Kontruksi baru seperti penambahan pada suatu tempat dapat diterima apabila tidak merusak atau mengaburkan signifikasi budaya tempat tersebut, atau menjauh dari interpretasi dan apresiasinya. 22.2. Konstruksi baru harus dapat langsung diidentifikasi.
•
Pasal
23.
Melestarikan
fungsi
:
melanjutkan,
memodifikasi,
atau
mengembalikan sebuah fungsi yang signifikan adalah bentuk konservasi yang sesuai dan diutamakan. •
Pasal 24. Mempertahankan asosiasi dan makna : 24.1. Asosiasi yang signifikan antara manusia dan sebuah tempat harsu dihargai, dipertahankan, dan tidak dikaburkan. Peluang – peluang untuk interpretasi, peringatan, dan perayaan berbagai asosiasi tersebut harus diinvestigasi dan diimplementasikan. 24.2. Makna yang signifikan, termasuk nilai – nilai spiritual sebuah tempat harus dihargai. Peluang – peluang untuk kesinambungan atau kebangkitan berbagai makna tersebut harus diinvestigasi dan diimplementasikan.
•
Pasal 25. Interpretasi : signifikan budaya beberapa tempat tampak tidak jelas, dan harus dijelaskan melalui interpretasi. Interpretasi harus meningkatkan pemahaman dan kecintaan, serta layak secara budaya.
2.1.6. Kriteria pemilihan obyek kawasan bersejarah Menurut Catanesse, kriteria pemilihan objek kawasan bersejarah yang dapat di konservasi adalah sebagai berikut : a. Kriteria estetika atau keindahan, yaitu yang berkaitan dengan keindahan nilai arsitektural dan beberapa massa.
15
b. Kriteria kekhasan, yaitu bangunan – bangunan yang merupakan wakil dari kelas atau tipe bangunan tertentu. c. Kriteria kelangkaan, yaitu kriteria yang merupakan bangunan terakhir yang tinggal atau merupakan peninggaalan terakhir dari gaya yang mewakili zamannya. d. Kriteria keluarbiasaan, yaitu kriteria yang dilihat berdasarkan bangunan yang paling menonjol, besar, tinggi, dan sebagainya. e. Kriteria peran sejarah, yaitu kriteria berdasarkan peran dimana sebuah bangunan ataupun lingkungan mempunyai peran dalam peristiwa – peristiwa sejarah sebagai ikatan simbolis antara peristiwa yang lalu dengan peristiwa yang ada sekarang. Acuan dalam menentukan intensitas pelestarian berdasarkan jenis bangunan, dapat dilihat pada tabel :
Tabel 2.1. Intensitas Pelestarian Berdasarkan Jenis Bangunan
Level konservasi I (pelestarian kuat)
Kategori bangunan konservasi Bangunan inti / core
II (pelestarian sedang)
Bangunan periferi
III (pelestarian lemah)
Bangunan pelengkap
IV (boleh dibongkar)
Bangunan budidaya
Perilaku yang dapat diterapkan Tidak diperbolehkan untuk diubah. Dimungkinkan untuk diubah dengan segala perubahan kecil. Dibolehkan untuk diubah dengan segala perubahan sedang. Dibolehkan untuk diubah dengan segala perubahan besar.
Sumber : (Insertion, p8, 2009)
Berdasarkan teori diatas, maka pemilihan kawasan Kota Tua sebagai kawasan bersejarah yang dapat di konservasi sudah tepat karena telah memenuhi semua kriteria diatas, dan di kawasan Kota Tua ini memiliki bangunan dengan level konservasi I, II, dan III.
16
2.2. Tinjauan mengenai revitalisasi 2.2.1. Definisi revitalisasi Usaha konservasi tidak terlepas dari revitalisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha - usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali. Secara lebih detail, pengertian revitalisasi semakin berkembang tergantung definisinya, yaitu : 1. Upaya untuk menghidupkan kembali kawasan, bangunan-bangunan, jalan-jalan dan lingkungan kuno dengan menerapkan fungsi baru dalam penetapan Arsitektural aslinya untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial, pariwisata dan budaya. (Perda Kota Semarang Tentang RTBL Kawasan Kota Lama Semarang, 1997) 2. Upaya untuk menghidupkan kembali distrik atau kawasan kota yang telah mengalami degradasi lingkungan, baik dalam lingkup ekonomi, sosial budaya, makna dan citra kawasan hingga tampilan visual, sehingga untuk menghidupkan kembali kawasan tersebut perlu dilakukan kegiatan melalui intervensi yang bersifat fisik dan non fisik. (Widjaja Martokusumo, 2001) 3. Upaya menghidupkan dan menggiatkan kembali faktor-faktor bangunan (tanah, tenaga kerja, modal, ketrampilan, kewirausahaan, kelembagaan keuangan, birokrasi serta dukungan prasarana dan sarana fisik) dan para pelaku pembangunan (masyarakat dan seluruh stakeholder) untuk mengakomodasikan secara struktural dan fungsional disesuaikan tantangan yang ada, potensi, permasalahan dan kebutuhan baru pada daerah setempat. (Sri Edi Swasono, 2002) 4. Upaya untuk peningkatan kondisi ekonomi untuk warga setempat dan pengintegrasian kembali lingkungan / kawasan ke dalam sistem pasar. (Zielenbach, 2000) 5. Upaya untuk menghidupkan kembali makna kultural dan legenda yang pernah hidup pada jamannya, yang saat ini berangsur-angsur telah hilang / tidak dikenal
17
kembali keberadaan kulturalnya guna meningkatkan kembali peran dan potensi kawasan untuk dikembangkan sesuai faktor kesejarahan yang pernah ada dan penataan kembali kawasan untuk mengembangkan sektor ekonomi guna peningkatan taraf hidup masyarakat. (Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Lingkungan, 2003) Berdasarkan definisi – definisi revitalisasi diatas, maka dalam proyek perancangan hotel butik ini menerapkan teori nomor 5, yaitu upaya untuk menghidupkan kembali makna kultural dan legenda yang pernah hidup pada jamannya, yang saat ini berangsur-angsur telah hilang / tidak dikenal kembali keberadaan kulturalnya guna meningkatkan kembali peran dan potensi kawasan untuk dikembangkan sesuai faktor kesejarahan yang pernah ada dan penataan kembali kawasan untuk mengembangkan sektor ekonomi guna peningkatan taraf hidup masyarakat. (Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Lingkungan, 2003). Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu membangun suatu hotel butik dengan langgam Neo Klasik, yang menurut perjalanan sejarah Kota Tua, langgam tersebut mencerminkan masa kejayaan Batavia pada tahun 1870 (akan dibahas pada sejarah Kota Tua), sehingga tujuan penelitian disini ingin menghadirkan kembali langgam dimana saat Batavia sedang berjaya, pada bangunan hotel butik ini. Dan dengan pembangunan hotel butik ini, diharapkan dapat meningkatkan sektor ekonomi Kota Tua, dengan menarik wisatawan asing dan lokal untuk menikmati fasilitas yang ada di hotel butik tersebut.
2.2.2. Lingkup revitalisasi Lingkup revitalisasi menurut Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Lingkungan, 2003, dibagi menjadi 3 satuan, yaitu : 1.
Satuan areal Satuan areal lingkup revitalisasi, dimaksudkan areal obyek Revitalisai masih menjadi bagian dari wilayah kota / sub kota yang dipandang mempunyai ciri-ciri atau nilai khas kota bersangkutan atau daerah dimana kota itu berada, dan diharapkan makna kultural, legenda atau sejarah yang pernah hidup di sekitar lokasi setempat tidak hanya dikenal di lokasi setempat saja, tetapi juga dikenal di beberapa wilayah disekitarnya.
2. Satuan visual atau lansekap
18
Lingkup satuan visual atau lansekap yang ditentukan dalam lingkup revitalisasi ini dapat berupa aspek visual yang dapat memberi bayangan citra atau image yang khas tentang suatu lingkungan. Termasuk dalam hal ini adalah jaringan fungsional rute sejarah atau jalur angkutan tradisional. Diharapkan dengan konsep Revitalisasi yang diterapkan, keberadaan eksisting kawasan / lingkungan tidak hanya akan terjaga kondisinya, tetapi keberadaannya juga akan bertambah indah dengan sentuhan arsitektur lansekap yang menyatu dengan kondisi alam setempat. 3. Satuan fisik Satuan fisik yang disyaratkan dalam lingkup revitalisasi ini adalah sesuatu yang berujud bangunan, kelompok atau daerah bangunan - bangunan, rangkaian bangunan yang membentuk suatu ruang umum. Apabila dikehendaki lebih jauh, hal ini bisa diperinci sampai kepada unsur - unsur bangunan, baik fungsional, struktur / estetis ornamen. Sedangkan secara umum, bentuk revitalisasi meliputi kota dan desa, distrik lingkungan perumahan dan permukiman. Diharapkan dengan adanya kegiatan revitalisasi ini, akan dapat ditempatkan sejumlah bangunan berupa fasilitas umum yang mendukung keberadaan kawasan sebagai fungsi tertentu. Beberapa konsep kultural yang pernah hidup / dikenal masyarakat setempat akan coba diaplikasikan ke dalam bentuk-bentuk fisik bangunan dan detail ornamen yang ada.
2.2.3. Sasaran revitalisasi Menurut Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Lingkungan, 2003, sasaran revitalisasi yang dapat diterapkan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang kehidupan masa kini. Dalam hal ini areal / kawasan yang di revitalisasi di kembalikan fungsinya sesuai struktur kawasan semula. 2. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian. Dalam hal ini banyak sekali kawasan perumahan dan permukiman di Indonesia yang konsep penataannya berdasarkan konsep tradisional yang ada di sekitarnya, sehingga tidak akan muncul bentuk-bentuk baru yang tidak dikenali oleh kawasan setempat, yang akan menghilangkan citra yang sudah ada.
19
3. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan dalam wujud fisik tiga dimensi. Kondisi ini akan ditampilkan kembali melalui bentuk - bentuk fisik bangunan dan detail - detail ornamen yang mengikutinya,
yang mengaplikasikan bentuk -
bentuk kultural dan legenda yang pernah hidup sebelumnya. Jadi, upaya revitalisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah salah satunya dengan menghadirkan kembali gaya arsitektur (makna kultural dan legenda) yang pernah hidup sebelumnya yang akan ditampilkan kembali melalui bentuk – bentuk fisik bangunan dan detail ornament yang mengikutinya, serta menghidupkan dan meningkatkan fungsi kawasan sekitar tapak dalam segi ekonomi, sosial, dan budaya agar memliki nilai tambah yang optimal.
2.2.4. Contoh studi kasus revitalisasi •
Kreta Ayer Road, Singapore Kreta Ayer Road merupakan sebuah jalan di kawasan Chinatown yang
menghubungkan Neil Road dengan New Bridge Road. Kreta Ayer Road merupakan suatu kawasan revitalisasi yang memiliki nilai historis yang tinggi bagi Singapura. Pada abad ke-19, Kreta Ayer pernah mendapat sebutan “Greater Town District”, dan merupakan warisan sejarah yang penting karena pernah menjadi hampir sebagian kemakmuran Singapura. Jalan ini merupakan salah satu area konservasi Singapura yang terdapat di kawasan Chinatown. Kawasan ini merupakan salah satu daerah komersil yang direvitalisasi dengan tetap mempertahankan bangunan bersejarahnya. Fungsi – fungsi seperti tempat perbelanjaan, wisata kuliner, fasilitas umum, serta permukiman terdapat di kawasan ini. Kondisi bangunan peninggalan sejarah terawat dengan baik. Selain itu, pedestrian yang sangat bersih dengan penataan vegetasi yang baik juga menambah keindahan kawasan ini.
Gambar 2.1. Kreta Ayer Road Singapore Sumber : Google Image Search Diakses : 10 Mei 2014
20
Kesimpulan dari studi kasus Kreta Ayer Road Singapore ini adalah revitalisasi kawasan Kreta Ayer Road ini menitikberatkan pada perlindungan warisan sejarah Singapura, terbukti dengan terjaganya bangunan - bangunan bersejarah. Selain itu, kawasan ini juga direncanakan sebagai tempat pariwisata kota tua Singapura di kawasan pecinan. •
Paris Van Java Mall, Bandung Paris van Java 10 Resort Lifestyle Place (juga dikenal dengan nama Paris
van Java Mall) adalah sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di Bandung, Jawa Barat. Mall yang diresmikan pada bulan Juli 2006 ini dirancang dengan nuansa open air yang alami serta pemandangan burung-burung merpati hias yang berterbangan bebas. Faktor lain yang menjadi daya tariknya adalah konsep bangunan yang kental dengan desain Eropa. Paris van Java dibangun diatas kawasan bersejarah. Namun perencanaan proyek ini tidak melibatkan bangunan eksisting, melainkan membuat bangunan baru dengan tema kolonial. Fungsi utamanya adalah shopping center, pusat wisata kuliner, serta fungsi lifestyle masyarakat kota. Konsep shopping mall terbuka dengan bangunan bergaya kolonial membuat suasana kolonialnya kian terasa. Suasana berjalan dibawah arcade diantara bangunan kolonial dapat dirasakan disini.
Gambar 2.2. Suasana Kolonial Paris van Java Mall Sumber : bintangpsari.wordpress.com Diakses : 10 Mei 2014
Kesimpulan dari studi kasus Paris Van Java Mall ini adalah konsep open shopping mall pada Paris Van Java Mall ini memunculkan suasana alami bagi pengunjungnya. Selain itu, bentuk revitalisasi dari kawasan ini adalah membangun
21
bangunan baru yang di desain dengan gaya kolonial sehingga memunculkan kembali nilai sejarah di kawasan ini meskipun bukan bangunan peninggalan sejarah.
2.3. Tinjauan mengenai rekonstruksi 2.3.1. Definisi rekonstruksi Menurut Guidelines for Recontructing Historic Buildings, rekonstruksi di definisikan sebagai tindakan atau proses yang menggambarkan dengan cara konstruksi baru, bentuk, fitur, dan mendetailkan dari sebuah lokasi, landscape, bangunan, struktur atau objek yang sudah tidak hidup lagi (mati / hancur) untuk tujuan mereplikasikan penampilan di jangka waktu tertentu dan di lokasi yang bersejarah. Rekonstruksi diidentitaskan sebagai penciptaan kembali kontemporer. Definisi rekonstruksi menurut kamus Oxford, rekonstruksi adalah sebuah kesan, model, atau berlakunya kembali peristiwa masa lalu yang terbentuk dari bukti yang ada.
2.3.2. Contoh kasus rekonstruksi •
Rekonstruksi arsitektur Majapahit Rekonstruksi arsitektur Majapahit dilakukan oleh seorang arsitek yang
menekuni dunia arkeologi, yaitu Osrifoel Oesman pada tahun 1990-an. Untuk merekonstruksi arsitektur Majapahit yang telah hilang oleh perkembangan jaman, maka dilakukan penelusuran bentuk – bentuk arsitektur pada relief – relief candi Majapahit. Berdasarkan paparan relief – relief candi yang melukiskan rumah - rumah masa Majapahit, Osrifoel bisa membayangkan seperti apa permukiman kota Majapahit. Ibarat kembali ke masa lalu kemudian membangunnya kembali di masa kini, menurutnya, permukiman masa Majapahit itu seperti kaveling yang terdiri atas kelompok rumah-rumah dalam satu tembok keliling. Juga, adanya pengelompokkan rumah besar, rumah sedang, dan rumah kecil. Arsitektur Majapahit ini masih bisa ditemui padanannya dengan rumah rumah tradisi di Bali. “Bukan Majapahit yang mirip Bali, tapi Bali-lah yang mirip Majapahit,” ungkap Osrifoel. Dilansir dari website nationalgeographic.co.id, dinyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turut hadir dalam pameran rekonstruksi arsitektur Majapahit tersebut, dan turut masuk kedalam rumah Majapahit tersebut yang telah direkonstruksi dengan skala 1:1.
22
Gambar 2.3. Rekonstruksi arsitektur Majapahit Sumber : nationalgeographic.co.id Diakses : 31 Juli 2014
2.4. Tinjauan hotel 2.4.1. Definisi hotel Kata hotel berasal dari Bahasa Yunani, Hosteis yang berarti memberi tempat perlindungan pada pengunjung yang memberi upah atau hadiah kepada pemiliknya. Beberapa pengertian hotel : •
Dari sudut arsitektur, menurut pendapat Prof. Fred Lawson : “hotel is defined a public establishment offering travelers, against payment, two basic services accomodation and catering”. (Hotel adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa akomodasi serta pelayanan makan dan minum bagi para pelancong dengan imbalan pembayaran).
•
Menurut kamus Oxford, The advance learned’s Dictionary adalah “Building where meals and rooms are provided for travelers.” (bangunan fisik) yang menyediakan layanan kamar, makananan, dan minuman bagi tamu.)
•
Menurut SK Menparpostel no.KM37/PW.340/MPPT-86 tentang peraturan usaha dan pengelolaan hotel menyebutkan bahwa hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa penunjang lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial
•
Menurut The American Hotel and Motel Association (AHMA) sebagaimana dikutip oleh Steadmon dan Kasavana : A hotel may be defined an estiblishment whose primary business is providing lodging facilities for the general public and which furnishes one or more of the followingservices, uniformed services, Laundering of linens and use of furnitures. ( Hotel dapat didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial dengan memberikan fasilitas penginapan untuk umum dengan fasilitas
23
pelayanan makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanan barang bawaan, pencucian pakaian dan dapat menggunakan fasilitas atau perabotan dan dapat menikmati hiasan-hiasan yang ada di dalamnya.) •
Menurut Webster, hotel adalah suatu bangunan atau suatu lembaga yang menyediakan kamar untuk menginap, makan dan minum, serta pelayanan lainnya untuk umum.
•
Menurut Dictionary of Architecture and Building Construction (Davies and Jokiniemi, 2008, p193), hotel is establishment providing temporary residential accomodation and communal facilities, primarity for travelers, tourists, and those on holiday or bussiness. Dapat diartikan sebagai hotel adalah sebuah tempat usaha yang menyediakan akomodasi hunian bersifat sementara dan fasilitas bersama, terutama bagi orang – orang dalam perjalanan, wisatawan, dan mereka yang sedang berlinur dan berbisnis. Berdasarkan beberapa pengertian menurut berbagai sumber yang berbeda
dapat disimpulkan bahwa hotel merupakan bangunan fisik yang menyediakan jasa penginapan, makanan, dan minuman serta jasa lainnya, diperuntukan bagi umum, serta dikelola secara komersial.
2.4.2. Sejarah hotel Hotel mulai dikenal sejak permulaan abad masehi dengan adanya usaha penyewaan kamar untuk orang yang melakukan perjalanan. Hotel sebagaimana jenis akomodasi lain berasal dari kata “Inn” yang dapat diartikan sebagai usaha menyewakan sebagian dari rumahnya kepada orang lain yang memerlukan kamar untuk menginap. Pada umumnya kamar yang disewakan dihuni oleh beberapa orang secara bersama - sama. Pada mulanya inn, sering juga disebut dengan lodge yang hanya menyediakan tempat beristirahat bagi mereka yang melakukan perjalanan, karena
sudah
larut
malam terpaksa
tidak
dapat
melanjutkan
perjalanannya. Kemudian peradaban semakin maju maka terdapat berbagai peningkatan dengan menambahkan fasilitas penyediaan bak air untuk mandi yang kemudian disusul dengan penyediaan makanan dan minuman walaupun masih dalam tahap yang sangat sederhana Pada tahun 1829 dibangun Hotel dengan nama ”The Tremont House” yang kemudian oleh sebagian para ahli dianggap sebagai cikal bakalnya perhotelan modern. Hotel tersebutlah yang pertama kali memperkenalkan jenis-jenis kamar
24
single dan double, yang pada setiap kamar dilengkapi kunci masing-masing, air minum di setiap kamar, pelayanan oleh bellboy serta memperkenalkan masakan Perancis ke dunia perhotelan. Hotel inipun menjadi sangat terkenal dan menjadi tempat persinggahan yang sangat ramai. Yang terpenting mulai disadari bahwa Industri Hotel adalah industri penjualan jasa. The Tremont House adalah hotel pertama yang memberikan pendidikan dan menyeleksi karyawannya untuk lebih meningkatkan mutu dalam upaya memberikan pelayanan yang memuaskan kepada tamunya. Pada saat itu hotel belum menyediakan layanan kamar mandi dan pendingin atau penghangat untuk setiap kamarnya. Saat sekarang ini hal tersebut sudah menjadi suatu keharusan. Setelah 20 tahun beroperasi hotel ini kemudian ditutup untuk diperbarui. Tidak disangsikan lagi bahwa keberasilan The Tremont House telah mendorong lahirnya hotel-hotel baru yang kemudian saling bersaing dalam meningkatkan mutu baik pelayanannya maupun fasilitas – fasilitasnya
Gambar 2.4. The Tremont House Sumber : Akomodasi Perhotelan Jilid 1 (2014)
2.4.3. Klasifikasi hotel Pada golongan hotel berbintang, terdapat klasifikasi pembagian kamar yang merupakan area privat dan utama bagi tamu. Pembagian tersebut dibedakan menjadi beberapa tipe kamar yakni : •
Single room, kamar yang memiliki satu tempat tidur untuk satu orang tamu.
•
Twin room, kamar yang memiliki dua tempat tidur untuk dua orang tamu.
•
Double room, kamar yang memiliki satu tempat tidur untuk dua orang tamu.
•
Triple room, kamar yang memiliki double bed untuk dua orang ditambah dengan extra bed.
25
•
Junior room, sebuah kamar besar yang terdiri dari ruang tidur dan ruang tamu.
•
Suite room, kamar yang terdiri dari dua kamar tidur untuk dua orang ditambah ruang tamu, ruang makan, dan sebuah dapur kecil.
•
President room, kamar yang terdiri dari tiga kamar besar, yakni kamar tidur, kamar tamu, ruang makan, dan sebuah dapur kecil. Kamar menurut letak dan fasilitas :
•
Connecting room, kamar yang terdiri dari dua buah kamar berdekatan, antara kamar yang satu dengan yang lain dan dihubungkan oleh sebuah pintu.
•
Adjoining room, dua kamar yang berdekatan dan tidak mempunyai pintu penghubung.
•
Inside room, kamar-kamar yang menghadap ke bagian belakang hotel (facing the back).
•
Outside room, kamar-kamar yang menghadap ke jalan raya (facing the street).
•
Lanais, kamar-kamar dengan teras / balkon yang berlokasi menghadap ke kolam atau kebun.
•
Cabana, kamar-kamar yang berlokasi di kawasan pantai atau kolam renang, Kamar ini dilengkapi dengan atau tanpa tempat tidur. Lokasi kamar ini biasanya terpisah dari gedung utama.
•
House use room, kamar yang diperuntukan bagi staff hotel yang mempunyai otoritas dan digunakan untuk tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu karena dinas. Berikut akan ditampilkan tabel klasifikasi hotel beserta ketetapan jumlah
minimal kamar dan standard hotel sesuai dengan klasifikasinya :
Tabel 2.2. klasifikasi hotel beserta ketetapan jumlah minimal kamar dan standard hotel sesuai dengan klasifikasinya
NO 1
HOTEL
JUMLAH KAMAR MINIMAL
Melati Satu
5 kamar standard
KLASIFIKASI
SYARAT
PERATURAN
– Fisik lokasi & bangunan – Taman – Tempat parkir – Bangunan
Perda no.6 th. 1988 tentang Perubahan Pertama Perda Prop Dati 1 Bal no 04 th 1985
26
– Kamar – Lobby – Front office – Kantor pengelola – Ruang tamu – Gudang – Organisani manadeen – Tenaga kerja – House keeping – Keamanan – Kebersihan – Pelayanan makanan & minuman
tentang Usaha Losmen dan Keputusan Gubernur no 338 tentang Perubahan Istilah Resmi menjadi Hotel dengan tanda Bunga Melati
2
Melati Dua
10 kamar standard
Sama dengansyarat hotel melati satu plus fasilita riil di lapangan kualitas lebih baik dari melati satu.
Sama dengan melati satu
3
Melati Tiga
15 kamar standard
Sama dengan syarat hotel melati satu plus fasilitas real di lapangan kualitas lebih baik dari melati dua –– Kolam renang ––Kamar mandi, bath up –– AC –– TV –– Kulkas
Sama dengan melati satu
4
Bintang 1 (*)
15 kamar standard Luas kamar 18 – 20 M2
– Lokasi & Lingkungan – Taman – Tempat parkir – Olah raga – bangunan – Kamar tamu – Ruang makan – Bar – Lobby – Telepon – Toilet umum – Koridor – Ruang disewakan – Dapur
Kep Dirjen Pariwisata no 14/U.II.88 tgl 25-Feb-88
27
– Area administrasi – Front office – Kantor pengola hotel – Area tata graha – Ruang binatu – Gudang – Ruang karyawan – Oprasional manajemen – Food and beverage – Keamanan – Olahraga rekreasi – Pelayanan 5
6
7
8
Bintang 2 (**)
Bintang 3 (***)
Bintang 4 (****)
Bintang 5 (*****)
9
Bintang 5 plus (*****) plus
20 kamar standard (+) 1 kamar suite Luas kamar 18 – 24 M2
Sama dengan fasilitas hotel bintang 1 (*)
30 kamar standard (+) 2 kamar suite Luas kamar 18 – 26 M2
Sama dengan fasilitas
Kep Direjen
hotel bintang satu (*) plus
Pariwisata no
– 2 buah restoran / lebih – Parkir luas – 2 kolam renang / lebih – Fasilitas penunjang : tenis, fitness, spa &sauna
14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
50 kamar standard (+) 3 kamar suite Luas kamar 18 – 28 M2
Sama dengan fasilitas hotel bintang tiga (***)
Kep Direjen Pariwisata no
100 kamar standard (+) 4 kamar suite Luas kamar 20 – 28 M2
100 kamar standard (+) 4 kamar suite
Kep Direjen Pariwisata no 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
Sama dengan fasilitas hotel bintang tiga (***)
Kep Direjen Pariwisata no 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
Sama dengan fasilitas
Kep Direjen
hotel bintang dua (**) – Pasar malam – Galeri – Ruang konfrensi
Pariwisata no 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88
28
10
Pondok wisata
Maksimal kamar merupakan sebagian rumah tinggal yang disewakan
– IMB rumah tinggal
Perda O 13 th 1090 tentang
– HO – SITU pondok wisata – Kamar mandi – Lain-Lain
Usaha Pondok Wisata Keputusan Gubernur no. 391 thn 1991 tentang Juklak
11
Hotel butik
Belum ada ketentuan yang mengatur
Sumber : Direktorat Jendral Pariwisata (2014)
2.4.4. Jenis hotel Pengelompokan hotel berdasarkan target pemasaran yaitu : •
Commercial Hotels. Ditujukan pada orang yang pekerjaannya berhubungan dengan bepergian seperti bisnis manajes, kelompok meeting dan seminar. Tipe hotel komersial merupakan tipe hotel terbesar dan fungsi utamanya adalah untuk melayani klien bisnis.
•
Airport Hotels. Hotel bandara terkenal karena kedekatannya dengan pusat perjalanan terbesar. Hotel bandara merupakan hotel yang memiliki ukuran pelatanan yang luas. Ditujukan kepada klien bisnis, penumpang pesawat dengan penerbangan malam atau pembatalan penerbangan dan pegawai perusahaan penerbangan. Hotel ini memiliki limousine dan van yang banyak dimanfaatkan untuk mengantar dan menjemput tamu antara hotel dengan bandara. Beberapa hotel bandara menyediakan fasilitas ruang pertemuan bagi tamu yang datang dengan pesawat terbang dan hendak melakukan sebuah pertemuan. Menurut Sugiarto (1996) “Hotel Bandara adalah hotel yang terletak satu kompleks bangunan dengan lapangan udara atau berada di sekitar bandara. Target market dari jenis tamu hotel ini adalah para usahawan atau
penumpang
pesawat
yang
pesawatnya
mengalami
penundaan
penerbangan, juga para kru pesawat.” (p.27). •
Suite Hotels. Hotel ini ditujukan untuk keluarga yang berlibur dan seseorang yang ingin menikmati kenyamanan saat bepergian jauh dari rumah. Hotel ini dimanfaatkan pula oleh para profesionalisme seperti akuntan, pengacara, para
29
executive karena salah satu keistimewaan yang dimiliki adalah kamar mandi yang terpisah. Adanya ruang kerja yang terpisah dengan kamar memberikan kenyamanan bagi para profesional ini dalam bekerja. •
Extended Stay Hotels. Hotel ini didirikan untuk menyediakan layanan bagi tamu yang datang dengan tujuan untuk tinggal selama lima hari atau waktu yang lebih lama. Tamu yang menginap di hotel ini biasanya tidak terlalu membutuhkan layanan dari hotel. Tidak seperti tipe hotel lainnya, tarif kamar ditentukan dari lamanya tamu tinggal di hotel tersebut. Jenis hotel ini memiliki kesamaan dengan suite hotels, hotel ini menyediakan kebutuhan dapur dalam kamar diamana suite hotels tidak menyediakan.
•
Residential Hotels. Ditujukan pada tamu yang ingin tinggal di hotel dalam jangka waktu yang panjang dengan melakukan kontrak tinggal terlebih dahulu. Kamar akomodasi dengan kamar mandi dan ruang tamu terpisah, tipe kamarnya seperti kamar suite. Jenis akomodasi ini disediakan untuk orang yang berada di pinggiran kota, bersifat permanen atau jangka panjang.
•
Leisure Market (Resort Hotels). Hotel ini ditujukan untuk orang yang bepergian, rekreasi, olahraga, atau untuk hiburan. Hotel ini bersifat musiman pada saat high season aktivitas hotel tinggi dan sebaliknya.
•
Bed and Breakfast Hotels. Sebuah hotel yang terdiri dari 20-30 kamar. dengan memberikan penawaran kamar dan makan pagi. Pemilik hotel ini biasanya tinggal didalam hotel ini dan bertanggung jawab kepada penyediaan makan pagi tamu.
•
Casino Hotels. Sebuah hotel yang fungsi utamanya adalah sebagai pendamping dari sebuah casino. Layanan didalam kamar, makanan, dan minuman bukanlah merupakan tujuan utama untuk memperoleh keuntungan. Tamu yang ingin mencari kesenangan dan melakukan perjalanan berlibur untuk menggunakan fasilitas casino di hotel ini.
•
Coference Hotels. Didesain untuk kelompok meeting dan hampir keseluruhan pelayanan hotel ini menawarkan akomodasi bermalam selama meeting diadakan. Hotel ini menekankan pada penyediaan layanan dan peralatan yang dibutuhkan untuk kelancaran jalanya meeting.
•
Convention Hotels. Menawarkan lebih dari dua ribu kamar. Fasilitas hotel ini didesain untuk mengakomodasi rapat besar. Selanjutnya dijelaskan oleh
30
United State Lodging Industry bahwa , convention hotel terbagi menjadi tiga jenis yaitu : Transit Hotel , adalah hotel yang letak / lokasinya di tengah kota dengan jenis tamu yang menginap sebagian besar adalah untuk urusan bisnis dan turis. Residential Hotel, adalah hotel yang pada dasarnya merupakan rumah – rumah berbentuk apartemen dengan kamar - kamarnya, dan disewakan secara bulanan atau tahunan. Residential Hotel juga menyediakan kemudahan - kemudahan seperti layaknya hotel, seperti restoran, pelayanan makanan yang diantar ke kamar, dan pelayanan kebersihan kamar Resort Hotel adalah hotel yang pada umumnya berlokasi di tempat – tempat wisata dan menyediakan tempat - tempat rekreasi dan juga ruang serta fasilitas konferensi untuk tamu – tamunya. Pengelompokan hotel menurut lokasi yaitu : City Hotel atau Business Hotel merupakan hotel yang terletak di tengah kota. Highway hotel atau motor hotel merupakan hotel yang berada di jalur highway. Mountain hotel merupakan hotel yang berada di daerah pegunungan Resort hotel merupakan hotel yang berada di daerah rekreasi atau peristirahatan. Pengelompokan Hotel berdasarkan Kemewahan, yaitu : Luxurious
hotel
adalah
hotel
mewah.
Dilihat
dari
arsitek
bangunannya, fasilitas dan kelengkapannya yang ada di dalamnya, semuanya serba mewah dan besar. Ukuran kamar, lobby dan kualitas restoran serta gedung atau ruang pertemuan, semua luas dan mewah. Boutique hotel adalah hotel yang mewah, walaupun belum tentu memiliki kamar yang banyak. Hotel ini bisa berbintang 3, 4 atau 5. Mewah dalam hal fasilitas dan kelengkapan hotel, baik di lobby, kamar, restoran maupun gedung pertemuan. Dapat juga berupa hotel dengan tipe gedung antik, bersejarah dengan peralatan yang serba mewah.
31
Normal hotel merupakan tipe hotel kebanyakan, baik di kota maupun di daerah tujuan wisata. Kemewahan dan kelengkapan fasilitasnya didasarkan atas bintang yang disandang hotel tersebut. Hotel bintang empat logikanya lebih lengkap dan mewah dari hotel bintang tiga, dan hotel berbintang lima lebih mewah dari hotel bintang empat. Tujuan dari pada penggolongan klasifikasi hotel antara lain : •
Menjadi pedoman teknis bagi calon investor dibidang usaha perhotelan.
•
Agar calon penghuni hotel dapat mengetahui fasilitas dan pelay anan y ang akan diperoleh pada suatu hotel sesuai dengan klasifikasi hotelnya.
2.4.5. Pengertian Hotel Butik Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengertian hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan pemerintah. Sedangkan butik mempunyai definisi sebuah toko kecil, yang khusus menjual barang-barang tertentu yang mewah dan mengikuti tren seperti pakaian dan perhiasan. Dari pengertian hotel dan butik diatas, dapat disimpulkan bahwa hotel butik memberikan konsep penginapan yang berbeda dari hotel biasanya, dengan keunikan dan kemewahan ini menjadikan hotel butik sebagai hotel non bintang dengan kualitas hotel bintang. Boutique hotel memiliki pengertian (The Defenition of Boutique Hotels in Recent Years – Lucienne Anhar) yakni: Kecil: memiliki kapasitas 50 kamar (didaerah pinggiran) atau 150 kamar (didaerah perkotaan) Orisinalitas : kebanyakan butik hotel memiliki konsep yang jauh berbeda dari hotel - hotel bintang lima, sehingga sebuah hotel butik memiliki identitas yang kuat, misalnya hotel tersebut memiliki dekorasi layaknya galeri, barang antik bahkan ada juga yang mendekorasi layaknya tempat-temoat tinggal di perkampungan yang sangat sederhana. Karya arsitektur yang sustainable :material yang digunakan bervariasi dan kebanyakan konsep dasarnya selaras dengan alam dan perkembangan budaya di sekitar site. Juga memperhatikan manajemen pembuangan atau sisa dan keefisienan penggunaan energi.
32
Mewah : sebuah butik hotel mempunyai pedoman utama yang berbunyi “Kualitas, Berapapun Harganya” namun hal ini tidak diterapkan dalam pemilihan material, akan tetapi dalam segi pelayanan dan keramahan yaitu menempatkan keinginan individu di atas segalanya. Low profile : butik hotel tidak mengiklankan diri sendiri, mereka berkenyakinan bahwa para turis akan mencari keberadaan mereka. Hotel butik memiliki komponen – komponen sebagai berikut : o Arsitektur dan desain. Tema keunikan, dan keramahan serta keakraban merupakan peran utama di dalam mendesain suatu hotel butik, yang mana pada akhirnya dapat menarik perhatian turis yang berkunjung ke suatu daerah. Selain itu, pihak hotel cenderung lebih akrab dengan tamu-tamu hotelnya dan berusaha memenuhi kebutuhan individu dari tamu hotelnya. Hotel butik tidak memiliki standar tertentu. Konsep dan tema yang digunakan diterapkan pada keseluruhan bangunan hal ini yang membuat tamu hotel tertarik untuk datang. o Pelayanan (service). Perbedaan mendasar antara hotel butik dengan hotel standar adalah tamutamu hotel yang memiliki hubungan baik dengan anggota staf hotel. Para staf hotel butik mengenal dengan baik tamu yang pernah menginap. Kebanyakan hotel butik memiliki kamar yang relatif sedikit. Hal ini disepakati agar pelayanan yang diberikan oleh para staf hotel dapat maksimal. o Target pemasaran. Target
konsumen
hotel
butik
umumnya
adalah
konsumen
yang
berpenghasilan menengah ke atas. Keberhasilan hotel butik didasari oleh pemilihan lokasi. Kualitas yang diberikan permintaan pasar, pendekatan pemasaran dan penanganan distribusi dan reservasi yan efektif. Prinsip Hotel butik : o Penggunaan elemen elemen perancangan yang tidak biasa seperti garis, warna, bentuk, tekstur, pola, ruang dan cahaya. o Langgam arsitektur yang berbeda dari lingkungan di sekitarnya. o Hotel berskala kecil yang memiliki style dan ciri khas tersendiri. o Fokus terhadap style yang eksotis, keramahan dari keakraban serta pelayanan yang memuaskan.
33
2.4.6. Studi hotel 2.4.6.1. Studi banding 1. Hotel Batavia Studi banding terhadap hotel di Kota Tua
Gambar 2.5. Hotel Batavia Sumber : Google Image Search Diakses 11 Mei 2014
•
Lokasi
•
Gaya arsitektur : Kolonial
•
Klasifikasi
: Bintang 4 (****)
•
Jumlah lantai
: 9 lantai
•
Konsep hotel Batavia : Terletak di kawasan Kota Tua, dibangun pada
: Jalan Kali Besar Barat 46, Jakarta
tahun 1995 dengan konsep arsitektur kolonial. Konsep ini diterapkan pada tampilan fasad bangunan maupun interior hotel. Hal ini yang membuat hotel kelihatan mewah dan megah, ditambah dengan tersedianya berbagai jenis kamar dan fasilitas yang membuat hotel ini menjadi hotel bintang 4.
Tabel 2.3. Rekapitulasi Jenis Kamar Hotel Batavia
Room Type
Total
Harga
Batavia Apartment
1
USD $220.00
Club Suite
2
USD $220.00
Foto
34
Deluxe Twin/King
26
USD $ 63.00
Junior Suite
4
USD $ 85.00
President Suite
1
USD $250.00
Residential Apartement Twin/King
2
USD $120.00
Residential Deluxe Garden Twin/King
14
USD $ 73.00
Residential Deluxe Twin/King
10
USD $ 69.00
Superior Twin/King
205
USD $ 53.00
Harga belum termasuk servis 11% dan pajak 10% Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Tabel 2.4. Meeting Room & Conference
Batavia Ballroom
Terletak di lantai 2 dengan interior bergaya kolonial Belanda dan berkapasitas hingga 1000 orang.
Free Function Area
Ruang pendukung Batavia Ballroom berkapasitas hingga 500 orang.
35
Sunda Room
Terletak di lantai 2 dengan interior kolonial dan berkapasitas hingga 300 orang
Island Room
Ruang meeting Java, Sumatera, Sulawesi, dan Bali
VIP Room
Terletak di super star restaurant lantai 2
Rotterdamsche Room
Boadroom pada lobby dengan kapasitas 15 orang untuk private meeting. Tersedia juga untuk disewakan sebagai kantor Function Room dengan kapasitas 300 orang, terletak di lantai 2
Batavia Function Hall
Business Center
Terletak pada lantai 9, merupakan continental room dan pusat fasilitas bisnis Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Tabel 2.5. Kapasitas Dan Ukuran Ruang Banquet
Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
36
Gambar 2.6. denah Meeting Room & Conference Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com Diakses 11 Mei 2014 Tabel 2.6. Fasilitas Dining & Entertainment
Pool Deck Grill & Bar
Third Floor 80 persons (seating) / 300 persons (standing)
Dapoer Roti Batavia
First Floor 25 persons
Pasar Rempah Restaurant
First Floor 120 persons
37
Super Star Restaurant
Second Floor 180 Persons
Batavia Bar and Lounge
FourthFloor FourthFloor
Batavia Karaoke
FourthFloor 28 Rooms
Swimming Pool
Third floor
Fitness Center
Third floor
Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com
Berikut foto – foto interior dan eksterior dari hotel Batavia :
38
Gambar 2.7. Suasana Eksterior Hotel batavia Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.8. Entrance & Drop Off Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.9. Suasana Interior Hotel Batavia Sumber : Dokumentasi Pribadi
39
Gambar 2.10. Detail & Servis Sumber : Dokumentasi Pribadi Tabel 2.7. Kesimpulan
Kelebihan
Kekurangan
Fasilitas bisnis baik dan ramah
Tidak ada fasilitas penunjang di sekitar
Zoning kamar dan fasilitas cukup baik
Keamanan kurang
Tampak dan bentuk bangunan baik
Harga kamar mahal dilihat dari lokasi Tidak semua fasilitas aktif dan kurang Tampak depan tidak terawat
Sumber : Olahan Pribadi
2. 1001 Hotel & Colosseum Club Hotel 1001 merupakan salah satu contoh hotel yang menerapkan tema desain kolonial untuk fasadnya, meskipun untuk interiornya bergaya minimalis modern. Fasae bangunan bergaya Art Deco dapat dilihat ornamen dekorasinya yang sederhana, penggunaan menara dan masa bangunan yang terkesan massif. Bukan hanya itu, hotel 1001 ini dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya Golongan B.
40
Gambar 2.11. 1001 Hotel & Colosseum Club Sumber : Google Image Search Diakses : 11 Mei 2014
Merupakan hotel bintang 4 dan dapat digolongkan sebagai turis hotel karena banyak fasilitas hiburannya. Lokasi
= Jalan Kunir No. 7, Kota Tua – Jakarta Barat
Luas bangunan
= 15,755.6 m2
Kapasitas pengunjung = 6100 orang
Tabel 2.8. Fasilitas Hiburan
Terrace Garden Ibiza Club
500 orang 300-800 orang
Café Restaurant
75 seats
-
41
Bar Lounge
25 seats
Colosseum Discotheque Hall
2000 orang
Karaoke
40 ruang 50– 80 orang
Piano Lounge
75 orang
Sumber : www.jakarta100bars.com
Tabel 2.9. Rekapitulasi Jenis Kamar
Jenis kamar Pesident suite Junior suite Deluxe Standard Jumlah
Jumlah 1 1 8 24 34
Harga (Full) Rp. 900.000 Rp. 800.000 Rp. 575.000 Rp. 475.000
Harga (4 H) Fasilitas Rp. 575.000 Room service 24 H, hot & cold Rp. 500.000 water, free parking, tv cable, Rp. 375.000 free hot spot,mini refrigiator, dan safe deposit box Rp. 300.000 Jumlah parkir 700 lots
Sumber : www.jakarta100bars.com
Gambar 2.12. Eksterior & Interior 1001 Hotel Sumber : www.jakarta100bars.com Diakses : 11 Mei 2014
42
Gambar 2.13. Entrance & Parkir Sumber : www.jakarta100bars.com Diakses : 11 Mei 2014
Gambar 2.14. Suasana Interior Ruang Penerima Ibiza Club Sumber : www.jakarta100bars.com Diakses : 11 Mei 2014
Tabel 2.10. Kesimpulan
Kelebihan
Kekurangan
Fasilitas hiburan baik sekali dan menarik
Jumlah kamar sedikit
Harga kamar lebih murah
Hanya aktif/ramai mulai malam hari
Tampak bangunan sederhana namun unik Interior nyaman dan mewah Keamanan dan kebersihan baik Parkir luas Sumber : Olahan Pribadi
43
2.4.6.2. Studi literatur 1. Hotel Raffles Singapura Studi liteartur terhadap hotel dengan gaya Neo Klasik
Gambar 2.15. Hotel Raffles Singapura Sumber : Google Image Search Diakses : 11 Mei 2014
•
Lokasi : 1 Beach Road, Singapore
•
Berdiri tahun : 1887
•
Gaya arsitektur : Neo Klasik
•
Kualitas : Bintang 5 (*****)
•
Jumlah lantai : 3 lantai
•
Layanan & fasilitas yang ada di hotel Raffles : o Fasilitas kamar terdiri dari 103 unit o Fasilitas hotel dan pelayanan : Restaurant & bar Raffles Amrita Spa Outdoor swimming pool & bar Raffles Hotel Arcade Emipre Café Ah Teng’s bakery Long Bar Bar & Billiard Room The ballroom Raffles hotel museum Raffless hotel shop Jubilee Hall Theatre Playhouse Garden tour
44
24 hours Raffles butler service Gymnasium •
Konsep hotel Rafless : merupakan hotel yang paling terkenal di Singapura, dibangun tahun 1887. Gaya Neo Klasik menjadi konsep dari hotel ini. Hotel ini terletak di pusat kota, memberikan kemudahan bagi pengunjung hotel sehingga dapat menikmati makanan dan berbelanja dengan nyaman. Tiap unit kamar pada hotel ini memiliki gaya yang elegan, yaitu penggunaan furniture antik, karpet bergaya Persia, dan berbagai unsur dekoratif Neo Klasik. Hotel ini juga memiliki museum yang bernama National Museum of Singapore. Museum ini merupakan museum tertua di Singapura, dimana didaalamnya menghadirkan berbagai cara inovatif dalam menjelaskan sejarah sehingga memberikan pengalaman baru bagi para pengunjung.
Gambar 2.16. Eksterior & Interior Hotel Raffles Singapura Sumber : www.raffles.com Diakses : 11 Mei 2014
Gambar 2.27. Fasilitas Hotel Raffles Singapura Sumber : www.raffles.com Diakses : 11 Mei 2014
45
2. The Scarlet Hotel Singapura Studi banding terhadap hotel butik The Scarlet Hotel ini merupakan proyek konservasi bangunan tua yang disesuaikan dengan fungsi baru dan hasilnya cukup baik. The Scarlet Hotel yang memiliki 84 kamar terletak di sudut Erskine Road, membentang sepanjang 12 ruko yang di restorasi, termasuk satu bangunan bergaya Art Deco dari tahun 1924. Hotel dengan konsep boutique hotel berbintang lima ini didesain amat mewah dengan furniture dan elemen dekorasi berkelas.
Gambar 2.18. Exterior dan Lobby The Scarlet Hotel Sumber : www.thescarlethotel.com Diakses 12 Maret 2014
The Scarlet memiliki 5 suite yang masing – masing di desain dengan tema, skema warna, dan gaya tersindiri : Splendour, Passion, Opulent, Lavish, dan Swank.
Gambar 2.19. Swank Dan Opulent Sumber : www.thescarlethotel.com Diakses 12 Maret 2014
Konfigurasi ruangannya sebagai berikut :
46 Tabel 2.11. Tipe Kamar Hotel Scarlet
Sumber : www.thescarlethotel.com (2014)
The Scarlet memiliki 3 restaurant dan bar : Bold, Desire, dan rooftop restaurant bertajuk Breeze. Juga terdapat 2 fasilitas kesehatan : Soda Spa dan Flaunt Fitness, dan satu ruang pertemuan yaitu The Sanctum. Semua fasilitas ini menerapkan desain interior yang menawan, kuliner kelas satu, dan fasilitas lengkap.
Sumber : www.thescarlethotel.com (2014)
Gambar 2.20. Restaurant & Bar Desire, Bold, & Breeze Sumber : www.thescarlethotel.com Diakses 12 Maret 2014
Gambar 2.21. Spa Soda, Fitness Flaunt, The Scantum Sumber : www.thescarlethotel.com Diakses 12 Maret 2014
47
Fasilitas yang dimliki The Scarlet boleh jadi relatif sedikit dari segi kuantitas tapi sangat maksimal dari segi kualitas, selain aspek sejarah dan lokasinya yang strategis. Inilah yang menyebabkan hotel ini diklasifikasikan sebagai hotel bintang lima.
Setelah membandingkan hasil survey literatur dan survey lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah hotel hendaknya : -
Berlokasi strategis dengan pencapaian mudah dari segala arah.
-
Memperhatikan efisiensi penggunaan lahan dan berfasilitas lengkap atau memiliki fasilitas penunjang disekitarnya sehingga dapat mencapai occupancy yang lebih tinggi.
-
Unsur – unsur perwadahan / peruangan dalam hotel wajib memenuhi ketentuan yang berlaku seperti ukuran standar ruang – ruang yang ada didalam hotel, dll.
-
Setiap hotel memiliki spesifikasi berbeda – beda sehingga kelas maupun tariff hotel yang ditawarkan mengikuti spesifikasi tersebut.
-
Konsep desain pada suatu hotel menjadi suatu gaya dan karakteristik hotel tersebut.
2.5. Tinjauan Kota Tua 2.5.1. Sejarah Kota Tua Jakarta Kota Jakarta pertama kali dikenal sebagai suatu pelabuhan kerjaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara sungai Ciliwung antara tahun 397 s/d 1527. Kota ini kemudian diserang oleh Fatahillah pada tahun 1527 yang kemudian mengganti nama menjadi Jayakarta. Kemudian, VOC datang ke Jayakarta pada akhir abad ke 16. Pada tahun 1620, VOC berhasil menaklukan Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Batavia kemudian dijadikan pusat pemerintahan kolonial Belanda karena potensi topografis antara lain adanya sungai Ciliwung yang menghubungkannya dengan wilayah pedalaman dan secara regional menjadi pelabuhan di nusantara karena letak geografisnya sangat strategis, bahkan secar a internasional hingga sek aran g menjadi kota Jakarta. Kota Batavia dirancang dan dibangun dengan pola kotak – kotak yang dibentuk kanal – kanal melintang dan membujur tegak lurus. Pembagian kavling kota juga kotak – kotak dan dibentuk oleh jalan – jalan. Sungai Ciliwung kemudian
48
diluruskan, dan membagi kota menjadi dua bagian timur dan barat.
Gambar 2.22. Pola Grid Kota Batavia Sumber : www.indahnesia.com Diakses tanggal 21 Maret 2014
Batavia timur dihuni oleh orang – orang Belanda dan etnis lainnya sedangkan Batavia barat dihuni oleh orang – orang Portugis dan Cina. Namun, setelah peristiwa pembantaian massal orang – orang Cina pindah ke luar bagian Selatan dan berkembang menjadi Kampung Cina. Menurut Alwishahab (2008), Kota Tua mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1870, karena pada saat itu Batavia menjadi pusat administratif Hindia Belanda, dan bagian dari Batavia yaitu Kali Besar terletak di dekat muara sungai Ciliwung dan Bandar Sunda Kalapa. Kali Besar pada tahun 1870 berdekatan dengan pelabuan Sunda Kalapa yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menjadi rebutan antara Portugis, Belanda, dan Inggris. Di depan muara Ciliwung terdapat jembatan Kota Intan yang membuka lebar daun - daun jembatannya, membiarkan perahu dan kapal dagang mancanegara mengangkut rempah-rempah negeri tropis yang laku keras di pasaran dunia. Di Jakarta tempo doeloe ini para mevrouw (nyonya besar) kompeni serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat seperti kurungan ayam dengan berkereta disertai budak - budak mengelilingi kota yang kala itu hanya beberapa mil persegi. Mereka tinggal di sepanjang Kali Besar Barat dan Timur serta di tepi - tepi kanal yang mengelilingi kampung-kampung dan rumah - rumah kompeni. Melalui perahu - perahu yang selalu siap di depan kediamannya para meener (tuan) dan mevrouw saling mengunjungi. Sementara sinyo (pemuda) dan noni (pemudi) dua sejoli yang tengah pacaran di malam yang cerah sambil memetik gitar
49
saling menumpahkan kasih sayang sambil bersumpah untuk saling setia. Betapa mentereng gaya hidup VIP di sekitar Kota Tua saat kejayaan VOC. Pada akhir abad ke-19 Bandar Sunda Kalapa telah dipindahkan ke Tanjung Priok, tapi kawasan Kali Besar, Batavia, masih menunjukkan pamornya. Bahkan pada awal abad ke-20, ketika kota Batavia makin berkembang, beberapa perkantoran telah diperbaharui dengan gaya modern, seperti yang dapat kita saksikan sisa sisanya sekarang ini. Sayangnya gedung-gedung di sekitar Kota Tua yang berasal dari abad ke-18 dan 19, yang dulu sangat terpelihara sekarang keadaannya tidak terawat / hancur.
2.5.2. Tinjauan regulasi pemerintah untuk kawasan Kota Tua Merajuk pada Guidelines Kota Tua (2007) di Jakarta terdapat 4 kawasan cagar budaya, yaitu : Kota Tua, Menteng, Kebayoran Baru, dan Situ Babakan. Didalam kawasan - kawasan cagar budaya ini, terdapat arsitektur kota dan bangunan - bangunan yang harus dilestarikan. Kota Tua saat ini menjadi kawasan cagar budaya. Pola kota kawasan Kota Tua masih sama yaitu kotak - kotak hanya saja sekarang sudah tidak dibatasi oleh kanal, melainkan dibatasi oleh jalan - jalan. Kawasan cagar budaya Kota Tua ini memiliki luas sekitar 846 Ha yang terletak di Kotamadya Jakarta Utara dan Kotamadya Jakarta Barat (Guidelines Kota Tua, 2007). Berdasarkan Rencana Induk Kota Tua Jakarta (DTK, 2007), di tengah tengah kawasan cagar budaya Kota Tua terdapat zona inti, yaitu area yang memiliki nilai sejarah yang lebih bernilai, yang dahulunya sebagian besar adalah kota didalam dinding. Kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi 5 zona, yaitu : kawasan Sunda Kelapa, kawasan Fatahillah, kawasan Pecinan, kawasan Pekojan, dan kawasan Peremajaan.
Gambar 2.23. Kawasan Inti Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
50
Berdasarkan kepada beberapa kriteria yang ada di Peraturan Daerah No.5 Tahun 1999, kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : •
Golongan I : disekitar Taman Fatahillah dan Jalan Cengkeh.
•
Golongan II : disepanjang Kali Besar, Jalan Pintu Besar Utara, dan disekitar Taman Beos.
•
Golongan III : area yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung di sisi timur dan area di dekat Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat.
Gambar 2.24.Pembagian Golongan Cagar Budaya Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014) Penataan bangunan pada zona inti, terbagi menjadi 3 kategori, yaitu renovasi berat / pembangunan baru, renovasi sedang, dan renovasi ringan. Untuk membantu dalam penenntuan tapak dan pendekatan desain, maka berikut ini digambarkan area mana saja yang termasuk dalam kategori diatas :
Gambar 2.25.Pembagian Golongan Cagar Budaya Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
51
Bangunan - bangunan di kawasan cagar budaya Kota Tua saat ini terdiri dari 3 tipe, yaitu : bangunan besar yang berdiri sendiri pada satu blok kota atau lebih dari setengah blok kota, bangunan di kavling pojok, dan bangunan - bangunan deret yang bersama - sama membentuk satu blok kota. Bangunan - bangunan ini tingginya sekitar 2 s/d 3 lantai dengan jarak dari lantai ke lantai sekitar 4 meter. Keunikan arsitektur kota kawasan ini adalah letak bangunan yang menempel langsung ke jalan atau ruang terbuka / taman / plaza.
Gambar 2.26. Batas Bangunan dan Jalan Sumber : Skripsi Fanny Wirawan (2010)
Dikawasan yang dikaji ini dapat disimpulkan terdapat 4 tipologi bangunan yang dibedakan sesuai masyarakat dan zamannya, yaitu : 1. Bangunan masyarakat kolonial Eropa (Colonial Indische, Neo-Klasik Eropa, Art Deco, dan Art Nouveau). 2. Bangunan masyarakat Cina (Gaya Cina Selatan dan campuran dengan gaya Kolonial Eropa). 3. Bangunan masyarakat pribumi (Colonial Indische). 4. Bangunan modern Indonesia (International Style).
Gambar 2.27. Berbagai Gaya Arsitektur Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)
52
Merajuk pada Guidelines Kota Tua, 2007, kawasan cagar budaya Kota Tua direncanakan sebgai sebuah living heritage dan sebagai kawasan revitalisasi, yaitu sebagai kawasan yang diproyeksikan menjadi salah satu tempat kegiatan utama skala kota bagi warga DKI Jakarta untuk berekreasi, berbudaya, bertinggal, dan bekerja dengan tetap menjaga kelestarian kawasan sebagai kawasan cagar budaya.
2.6. Tinjauan arsitektur kolonial 2.6.1. Arsitektur kolonial di Jakarta Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan. (Wardani, 2009). (Wardani, 2009) menyatakan bahwa adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di Jakarta menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai tempat di Jakarta apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain. Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di jakarta, pada masa sebelum kemerdekaan. Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland tahun 1624 - 1820. Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan di Jakarta, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Soekiman, 2011). Kartono (2004) mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem teknologi dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur dipengaruhi oleh banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dalam perjalanan sejarah bangsa. (Handinoto, 1996) membagi periodisasi perkembangan
53
arsitektur kolonial Belanda di Jakarta dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu: 1. Abad 16 sampai tahun 1800-an Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Indonesia serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. 2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902 Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 18111815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedunggedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini disebut gaya arsitektur Neo Klasik. 3. Tahun 1902-1920-an Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische architecture” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda. 4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur
54
Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya.
Tabel 2.12. Periode Perkembangan Arsitektur Kolonial Di Jakarta TAHUN Abad 16 – 1800-an
GAYA ARSITEKTUR Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Indonesia serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan
tersebut
tidak
diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Tahun 1800-an - 1902
Belanda
pada
abad
ke-19
harus
memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedunggedung
yang
berkesan
grandeur
(megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini disebut gaya arsitektur Neo Klasik.
Tahun 1902 – 1920-an
Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
Tahun 1920 – 1940
muncul gaya
yang disebut sebagai
ekletisisme (gaya campuran). Sumber : (Handinoto, 1996)
2.6.2. Perkembangan langgam arsitektur kolonial di kawasan Kota Tua Jakarta Batavia mencapai puncak kejayaannya pada abad 19 tepatnya pada tahun 1870 (Alwishahab, 2008). Pada saat itu, bagian dari Batavia, yaitu Kali Besar yang saat itu berdekatan dengan pelabuan Sunda Kalapa yang merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menjadi rebutan antara Portugis, Belanda, dan Inggris. Sehingga pada saat itu, perdagangan di kawasan batavia ini maju pesat. Di depan muara
55
Ciliwung terdapat jembatan Kota Intan yang membuka lebar daun - daun jembatannya, membiarkan perahu dan kapal dagang mancanegara mengangkut rempah - rempah negeri tropis yang laku keras di pasaran dunia. Menurut data – data yang ditemukan, langgam arsitektur kolonial pada tahun 1870 adalah langgam arsitektur Neo Klasik (sesuai dengan pembagian periode pada tabel atas). Bangunan tua di kawasan Kota Tua menjadi suatu bangunan peninggalan kolonial Belanda, dimana pengaruh arsitektur Eropa sangat melekat pada bangunan – bangunan di kawasan Kota Tua, sehingga bangunan – bangunan tua ini menjadi cirri khas pembentuk identitas kawasan Kota Tua. Di kawasan Kota Tua terdapat beberapa bangunan asli yaitu gedung Charterd Bank India, Australia, and China yang sekarang bernama Bank Bumi Daya (abad 19), Javasche Bank yang sekarang bernama Museum Bank Indonesia (1828), Museum Seni Rupa dan Keramik (1870), dan Bank Dagang Negara (1887). Bangunan – bangunan tersebut memiliki gaya arsitektur Neo Klasik (sesuai dengan tahun berdirinya).
2.6.3. Arsitektur langgam Neo Klasik Gerakan pada akhir abad 18 dikenal dengan Neo Klasik. Bentuk arsitektur yang dianggap ideal kemudian diwujudkan kedalam bentukan berkonstruksi kolom dan balok dan tidak hanya bentukan dari konstruksi dinding pemikul. Wujud arsitekturnya juga dapat ditandai dengan munculnya unsur - unsur dekoratif seperti pediment, pedestal, entablature terpotong dan sebagainya. Gaya ini merupakan gaya anti rokoko yang dapat ditemukan pada beberapa gaya arsitektur Eropa pada awal abad ke 18, dengan jelas diwakili dalam arsitektur Palladian di Georgia inggris dan Ireland, selain itu juga dapat ditemui dalam lapisan klasifikasi akhir gaya barok di Paris, di Berlin, dan bahkan di Roma, Alessandro Galilei pada bagian muka dari gadeung Giovanni di Laterano
Gambar 2.28.Royal Scottish Academy, Edinburgh Sumber : rurucoret.blogspot.com Diakses tanggal 16 Maret 2014
56
Di Indonesia, arsitektur Neo Klasik ini diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat dia bertugas sebagai gubernur jendral hindia belanda (1808-1811). Daendels saat itu merupakan bekas perwira Louis Napoleon dari Perancis (saat itu Belanda dikuasai Perancis). setelah revolusi Perancis, timbul gerakan baru neo klasik di Perancis yang disebut dengan "Empire Style". Jadi saat Daendels datang ke Hindia Belanda, ia langsung menerapkan dan mengubah bangunan - bangunan indische menjadi bangunan yang dikenal dengan sebutan "Indische Empire Style". Agaknya gaya "Indische Stijl" yang lebih dulu eksis (telah menyesuaikan dengan filosofi Jawa), dinilai kurang mencerminkan keangkuhan dan kekuasaan, oleh karena itu diambillah gaya Empire ke Hindia Belanda oleh Daendels. Langgam arsitektur Neo Klasik ini memiliki ciri - ciri yang khas, diantaranya adalah : •
Penerapan konsep simetris pada fasad dan bentuk denah.
Gambar 2.29. Konsep Simetris Pada Denah dan Fasad Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
•
Deretan kolom silindris (order kolom dalam arsitektur Yunani Kuno) yang besar pada fasad dan berdiri bebas, terbagi menjadi 3 jenis kolom : 1. Doric 2. Ionic 3. Corinthian
Gambar 2.30. Jenis – Jenis Kolom Sumber : Dictionary of Architecture and Building Construction (2014)
57
•
Atap (kubah) dihiasi ornamen seperti :
Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
Gambar 2.31. Jenis – Jenis Ornamen Pada Atap Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
•
Terdapat pedimen segitiga
Gambar 2.32. Jenis – Jenis Pedimen Pada Arsitektur Neo Klasik Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)
•
Penerapan elemen horizontal dan lengkung pada bidang datar.
•
Secara umum memiliki atap tidak terlalu curam, jendela berukuran besar, memiliki portico di bagian depan dan selasar yang cukup luas di bagian belakang bangunan, biasanya bangunan berwarna putih untuk memberi kesan megah pada bangunan. Dari data diatas, maka dapat disimpulkan :
Tabel 2.13. Ciri - Ciri Arsitektur Neo Klasik
ELEMEN Fasad dan denah
NEO KLASIK Simetris
58
Kolom
Corinthian
Ionic
Doric
Atap
Perdimen Segitiga
Kubah dihiasi ornamen :
59
Sumber : Olahan pribadi
Perbandingan jenis kolom yang digunakan pada arsitektur Neo Klasik : Terdapat 3 jenis kolom Yunani yang terdapat pada arsitektur Neo Klasik yaitu : kolom order Doric, Ionic, dan Corinthian. Perbedaan tiga tipe ini terletak pada bentuk dan proporsi dasar (base), tubuh (shaft), dan kepala (capital) pada kolom. Kolom order gaya Doric adalah gaya yang tertua dan paling sederhana, gaya Ionic dam Corinthian menambahkan dasar pada kolom dan mengembangkan desain yang lebih rumit dan indah pada puncak kolom (capital). Entablature (bagian yang terletak diatas kolom) juga bebeda pada setiap gaya.
Gambar 2.33. Jenis Kolom Yunani Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
60
1.
Kolom Order Doric
Gambar 2.34. Kolom Doric Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
•
Tipe yang paling masif / berat, tidak mempunyai base / dasar. Jadi, badan kolom / shaft langsung diletakan diatas stylobate. Alur relief pada kolom ini berujung tajam.
•
Architrave ada yang kosong, ada yang berukiran barisan segitiga.
•
Frieze juga didekorasi dengan ukiran – ukiran.
2.
Kolom Order Ionic
Gambar 2.35. Kolom Ionic Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
61
•
Tipe ini lebih tinggi dan lebih langsing daripada Doric. Alur relief kolom tidak tajam.
•
Kadang – kadang shaft digantikan oleh patung figure wanita (caryatids).
•
Pada capital terdapat sepasang bentuk spiral, berbentuk mirip gulungan kertas.
•
Architrave terdiri dari tiga bidang horizontal.
•
Frieze ada yang kosong, ada yang di dekorasi
•
Cornice sering mempunyai dekorasi dengan barisan kotak kecil yang mirip susunan gigi dan disebut dental.
3.
Kolom Order Corinthian
Gambar 2.36. Kolom Corinthian Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014
•
Mirip dengan Ionic.
•
Perbedaan utama terdapat pada capital yang sangat lebih banyak dekorasi.
•
Capital biasanya didekorasi oleh ukiran daun Acanthus.
• Perbandingan jarak antar kolom pada arsitektur Neo Klasik Menurut buku Ten Books on Architecture, Book 3 : Temple karangan Vitruvius (1914) menjelaskan mengenai proporsi sebuah temple Yunani. Prinsip tersebut berdasarkan pada penemuan bahwa tubuh manusia diciptakan dengan
62
perbandingan yang sama antar tiap bagian dan keseluruhannya sehingga tercapai suatu sistem yang seimbang (kerap disebut Golden Section), maka pembuatan elemen-elemen sebuah temple pun sewajarnya didasari pada perbandingan tersebut. “… if Nature has composed the human body so that in its proportions the separate individual elements answer to the total form, then the ancients seem to have had reason to decide that bringing their creations to full completion likewise required a correspondence between the measure of individual elements and the appearance of the work as a whole. … They did so especially for the sacred dwellings of the gods.” (Vitruvius, 30-20 B.C.) Proporsi
tersebut
diterapkan
antara
lain
pada
jarak
antar
kolom
(intercolumniation), yang diatur harus seragam, memenuhi sepersekian kali dari diameter kolomnya. Jarak sepersekian tersebut bervariasi besarnya, tergantung pada spesi temple yang dibangun: pycnostyle, systyle, diastyle, araeostyle, atau eustyle.
Gambar 2.37. Jarak Antar Kolom Sumber : Ten Books on Architecture (1914)
63
Gambar 2.38. Jarak Antar Kolom Sumber : Ten Books on Architecture (1914)
Ciri khas gaya Neo Klasik Eropa pada elemen interior bangunan menurut buku The Element of Style : -
Lantai : material marmer dengan berbagai motif :
Gambar 2.39. Motif Lantai Sumber : di.unikom.ac.id Diakses : 8 Mei 2014
-
Dinding
Gambar 2.40. Motif Pada Dinding Sumber : di.unikom.ac.id Diakses : 8 Mei 2014
64
-
Langit – langit
Gambar 2.41. Motif Pada Langit - Langit Sumber : di.unikom.ac.id Diakses : 8 Mei 2014
-
Jendela
Gambar 2.42. Jenis Jendela Sumber : di.unikom.ac.id Diakses : 8 Mei 2014
-
Pintu
Gambar 2.43. Jenis Jendela Sumber : di.unikom.ac.id Diakses : 8 Mei 2014
-
Lampu
Gambar 2.44. Jenis Lampu Sumber : di.unikom.ac.id Diakses : 8 Mei 2014
65
2.6.4. Teori Golden section Dalam proyek hotel butik ini, akan memakai teori golden section sebagai acuan untuk ukuran proporsi kolom – kolom order Yunani yang akan digunakan pada perancangan hotel ini. Sistem – sistem proporsi matematis awalnya berasal dari konsep phytagoras tentang “semua adalah angka” serta keyakinan bahwa hubungan – hubungan numertik tertentu memanifestasi struktur harmoni alam semesta. Salah satu dari hubungan ini yang digunakan sejak zaman purbakala adalah penampang emas (golden section). Bangsa Yunani menyadari peran dominan golden section ini dalam proporsi tubuh manusia. Golden section dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara dua buah penampang garis, atau dua buah dimensi suatu sosok bidang, dimana bagian yang lebih kecil dari keduanya berbanding dengan yang lebih besar, sementara bagian yang lebih besar tersebut berbanding dengan jumlah keduanya. Berikut akan dijabarkan penerapan teori golden section pada arsitektur Neo Klasik dalam perbandingan proporsi kolom order Yunani.
Gambar 2.45. Perbandingan Proporsi Kolom Order Yunani Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat diketahui banhwa tinggi kolom order Doric adalah 221/6 meter, kolom order Ionic 261/5 meter, dan kolom order Corinthian adalah 281/2 meter.
66
1. Kolom Order Doric
Gambar 2.46. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Doric Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Doric, dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Doric tersebut. Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang indah.
2. Kolom Order Ionic
Gambar 2.47. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Ionic Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Ionic, dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Ionic tersebut. Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom
67
tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang indah.
3. Kolom Order Corinthian
Gambar 2.48. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Corinthian Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan
Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Corinthian, dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Corinthian tersebut. Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang indah.
2.7. Tinjauan lokasi tapak 2.7.1. Tinjauan terhadap peraturan bangunan di Kota Tua Tapak terletak di daerah Taman Sari, yaitu berada di lingkungan cagar budaya golongan III zona 2 (kawasan Fatahillah) kawasan cagar budaya Kota Tua. Berdasarkan guidelines Kota Tua, 2007, kawasan lingkungan cagar budaya golongan III merupakan golongan dimana bangunan di kawasan ini adalah bangunan bukan cagar budaya. Peruntukan makronya aalah untuk kegiatan campuran yang dapat berupa hunian apartemen / hotel untuk masyarakat golongan menengah keatas yang bercampur dengan fungsi komersial kantor, jasa, dan pendidikan terbatas seperti pendidikan tinggi dan kursus – kursus. Peruntukan mikronya, khususnya
68
untuk pemanfaatan lantai atas adalah untuk kegiatan – kegiatan yang berdifat semi – publik dan privat seperti hunian, perkantoran, dan pendidikan. Bangunan - bangunan yang ada di tapak ini digunakan sebagai ruko dengan jumlah lantai bangunan sekitar 3 - 4 lantai. Bentuk fasad bangunan tersebut juga sudah mengalami pencampuran dan tidak mengikuti pola bentuk fisik lingkungan sekitar tapak, tetapi bangunan cagar budaya dengan bentuk karakteristiknya yang khas masih ada di sekitar tapak. Untuk itu, penulis memilih untuk tidak mempertahankan bangunan yang ada di atas tapak ini, karena bangunan – bangunan tersebut tidak memiliki ciri khas karakteristik Kota Tua, dan tidak ada yang istimewa pada bangunan – bangunan tersebut, serta pada lokasi ini memiliki berpotensi untuk mengubah bangunannya menjadi langgam arsitektur kolonial.
2.7.2. Kriteria pemilihan tapak Dasar - dasar pertimbangan pemilihan lokasi tapak adalah : •
Mencari tapak dikawasan golongan III pada zona inti Kota Tua (kawasan Fatahillah).
•
Memiliki lokasi yang strategis dan mudah di jangkau oleh tamu serta potensial untuk menciptakan kegiatan komersil.
•
Lokasi tersebut merupakan kawasan untuk komersil atau perdagangan yang masih berpotensi untuk di kembangkan baik yang menurun vitalitasnya maupun yang sudah maju.
•
Dekat dengan objek wisata Kota Tua dan dalam jangkauan dekat dengan stasiun kota dan halte busway dalam radius km.
•
Berada dekat dengan jalan - jalan utama dengan kondisi jalan baik, cukup lebar, dan tidak dekat dengan sumber kemacetan.
•
Tapak memiliki 2 bukaan jalan sebagai strategi pemisah akses masuk dan keluar bangunan serta sebagai akses masuk bagian servis.
69
2.7.3. Data tapak
Gambar 2.49. Lokasi Tapak Sumber : Google Map
•
Lokasi tapak : Jalan Kemukus, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat 11110
•
Luas tapak : 5000 m2
•
Peruntukan lahan : Wdg (wisma perdagangan)
•
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) : 75% x 5000 = 3750 m2
•
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) : 3 x 5000 = 15000 m2
•
Jumlah lantai maksimal : 4 lantai
•
Garis Sepadan Bangunan (GSB) : 10 m (utara) dan 5m (barat)
70
Gambar 2.50. LRK Kecamatan Taman Sari Sumber : www.lrk.tatakota-jakartaku.net
•
Batas tapak :
Gambar 2.51. Peta Lokasi Sumber : Google Map
Keterangan : Utara tapak : Jl. Kunir, Jl. Kp. Bandan Raya, bangunan tua, kantor Selatan tapak : Pemadam kebakaran dan kantor camat Timur tapak : Kali Ciliwung dan pemukiman penduduk yang kumuh Barat tapak : Jl. Kemukus, Museum Seni Rupa dan Keramik, pertokoan •
Aksesbilitas sekitar tapak :
71
Lokasinya yang strategis memudahkan menuju area ini dan tempat lain karena terletak di kawasan inti Kota Tua sehingga mudah dicapai dan dikenali oleh masyarakat. Kepadatan lalu lintas juga cukup baik karena jarang terjadi kemacetan baik di hari libur maupun di hari kerja. Untuk mencapai lokasi ini bisa menggunakan alternatif seperti kendaraan pribadi, busway, taksi, bajaj, sepeda ontel, kereta api (stasiun Beos), atau kendaraan umum dengan nomor dan rute kendaraan sebagai berikut : o M15 : Ancol - Tj. Priuk - Kp. Bandan o M12 : Senen - Kota o M08 : Tanah Abang - Kota o U10 : Sunter - Mangga Dua o M39 : Pademangan - Kota o Kopami02 : Senen - Beos o Kopaja86 : Lebak Bulus - Kota
Gambar 2.52. Aksesbilitas Tapak Sumber : Olahan Pribadi
•
Bangunan sekitar tapak
72
Gambar 2.53. Bangunan Sekitar Tapak Sumber : Olahan Pribadi
•
Deskripsi Tapak Pada jaman pemerintahan Belanda, area ini merupakan batas pinggir kota Batavia yang dibatasi oleh dinding benteng dan kali Ciliwung. Sekarang dibangun kompleks ruko terdiri dari 3 blok dengan presentase penggunaan yaitu: o 40% ruko masih aktif digunakan untuk toko / kantor. o 20% ruko digunakan sebagai tempat tinggal. o 40% ruko kosong/tidak terawat / ingin dijual.
Gambar 2.54. Bangunan Diatas Tapak Sumber : Dokumentasi Pribadi