BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1
Operation Management Menurut Heizer & Render (2006) mengemukakan tentang manajemen operasional sebagai berikut: Operation Management (OM) is the set of activities that creates goods and services by transforming input into outputs. Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen produksi adalah merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk menciptakan dan menambahkan kegunaan suatu barang atau jasa, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi atau fasilitas-fasilitas produksi. Pengidentifikasian manajemen operasi juga digunakan pada perusahaan di bidang manufaktur guna menentukan sebuah standar yang digunakan sebagai batas kepuasan pelanggan, penentuan produk cacat yang tidak dapat didaur ulang, biaya produksi yang rendah dan proses pengiriman barang yang tepat waktu. Kegiatan perusahaan yang sangat erat hubungannya dengan produksi produk sangat diperlukan sistem pengendalian persediaan bahan baku yang merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi berlangsungnya suatu produksi akan berjalan (Suswardji, S, & Ratnaningsih, 2012).
2.1.1 Analisis Proses Menurut Heizer & Render (2006) di dalam operasi manajemen terdapat proses analisis yang digunakan untuk memproduksi suatu produk yang diminta oleh customer, proses tersebut harus berdasarkan beberapa aspek yaitu, permintaan produk harus sesuai dengan keinginan customer, produk yang akan dibuat berasal dari bagian produksi atau operasi produk dan bagian keuangan harus menyesuaikan budget yang akan dihasilkan untuk satu produk tersebut. dari bagian proses analisis sangat berkaitan dengan bagian supply chain management dimana bagian tersebut sangat penting untuk menjalankan proses operasi manajemen. 2.1.2 SIPOC Diagram Definisi dari SIPOC tersebut adalah Supplier, Input, Process, Output dan Customer dimana dari setiap masing-masing singkatan tersebut mempunyai fungsi tersendiri untuk menentukan batasan dari tiap elemen kritis dari sebuah proses yang terjadi. Pada penelitiannya digunakan diagram SIPOC untuk menelusuri pada tahap awal atau define untuk mengetahui permasalahan yang ada di dalam perusahaan tersebut dari alur supplier hingga customer. Dengan mengetahui permasalahan dalam tahap awal tersebut, diharapkan setiap pelanggan akan puas mendapatkan produk sesuai dengan keinginannya baik dari segi kualitas dan kuantitas. Dari tahap ini, perusahaan seharusnya meminimalisasi pemborosan dan meningkatkan efisiensi dari setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Sedangkan pada tahap input untuk mengetahui apa saja faktor pendukung dari proses pembuatan produk tersebut, tahap process dimana tahap tersebut memiliki alur produk tersebut dihasilkan dan tahap output dimana proses tersebut merupakan hasil akhir produk tersbut dihasilkan menjadi sebuah produk yang sesuai dengan keinginan dari setiap pelanggan (Aditya, Rambe, & Siregar, 2013). 5
6 2.2
Total Quality Management Total Quality Management adalah penerapan metode kuantitatif dan pengetahuan manusia untuk memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan organisasi, memperbaiki semua proses penting dalam organisasi dan memperbaiki upaya guna memenuhi kebutuhan para pemakai produk dan jasa masa kini dan di waktu yang akan datang. Dalam TQM terdapat tujuh alat untuk penyelesaian masalah, diantaranya check sheet, scatter diagram, cause-and-effect diagram, pareto chart, flow chart, histogram dan statistical process control. Pada dasarnya manajemen kualitas selalu berfokus kepada kualitas dan kepuasan pada pelanggan sehingga, kemampuan yang dimiliki oleh setiap sumber daya manusia merupakan sebuah proses perencanaan yang dapat dikontrol (Hardjosoedarmo, 2001). Menurut Setyawanti (2012) menjelaskan bahwa pengimplementasian TQM di dalam sebuah perusahaan sangatlah penting karena, merupakan suatu alat yang digunakan oleh manajemen dalam perusahaan yang akan melibatkan seluruh anggota perusahaan di dalam melakukan perbaikan yang secara terus - menerus. Dengan demikian apabila TQM tersebut diterapkan didalam perusahaan maka perusahaan akan terus memperbaiki kesalahan – kesalahan yang ada untuk mencapai sebuah satu tujuan yang terdapat di dalam perusahaan. TQM telah muncul sebagai respons keberhasilan perusahaan yang dapat secara cepat merubah perubahan secara signifikan dalam lingkungan dan mampu mengidentifikasi harapan pelanggan terhadap ketentuan dan persyaratan dalam merespon tanggapan yang cepat dan untuk mengidentifikasi secara sistematis dalam mengembangkan serangkaian metode dan pendekatan pada umumnya (Topalovic, 2015).
2.2.1 DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improvement, Control) DMAIC merupakan suatu metode dalam six sigma yang merupakan salah satu tools untuk mengendalikan dan meningkatkan kualitas yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Metode ini juga dikembangkan untuk membantu menyelesaikan dari akar masalah secara efisien dan konsisten. DMAIC juga dapat diaplikasikan untuk membantu dalam setiap metode yang akan digunakan pada setiap proyek (Belavendram, 1995). Terdapat beberapa prosedur atau tahapan yang harus dilakukan dalam penggunaan metode DMAIC, tahapannya adalah define, measure, analyze, improvement, control. Penjelasan prosedur atau tahapannya adalah sebagai berikut (Gaspersz, 2005): a. Define Tahapan define merupakan langkah pertama dalam penyelesaian masalah. Dalam tahap ini, mendefinisikan tujuan peningkatan kualitas serta menentukan kebutuhan yang digunakan sebagai alat penyelesaian masalah. b. Measure Setelah masalah dalam perusahaan ditemukan, dilanjutkan dengan tahap measure, dimana dalam tahap ini menentukan rencana pengumpulan data untuk dilanjutkan ke tahap analisa.
7 c. Analyze Setelah melakukan perencanaan pengumpulan data terhadap masalah yang ada dalam perusahaan, maka dilanjutkan pada proses analyze. Proses analyze bertujuan untuk menganalisa masalah yang terjadi pada perusahaan. d. Improvement Setelah melakukan analisa untuk setiap masalah yang ada, dilanjutkan dengan proses improvement atau perbaikan untuk menghilangkan akar-akar penyebab dan dan mencegahnya agar tidak terulang kembali. e. Control Tahap ini, merupakan tahap terakhir dalam proses meningkatkan kualitas dalam six sigma. Tahapan ini merupakan tahap dimana hasil peningkatan kualitas dan menstandarisasikan rencana yang akan dijalankan untuk proyek selanjutnya. Menurut Windarti (2014) menjelaskan bahwa PT X adalah sebuah industri besi beton dengan berbagai macam ukuran diameter. Dalam proses produksinya, PT X melakukan pengendalian kualitas dengan menetapkan batas maksimum toleransi kerusakan sebesar 2%. Namun, dalam pengendalian kualitas tersebut masih terdapat produk cacat pada minggu ke-5 dan minggu ke-12 diatas batas toleransi yaitu sebesar 2.42% dan 2.21%. Untuk itu, metode six sigma digunakan dalam upaya meningkatkan kualitas produk besi beton melalui tahap DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve dan Control). Hasil analisis penelitian menyimpulkan bahwa setelah menggunakan metode six sigma terjadi penurunan nilai DPMO (Defect Per Million Opportunities). 2.2.2 Statistical Quality Control (SQC) Statistical Quality Control (SQC) adalah sebuah pengendalian yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan dari beberapa statistik yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kualitas. Upper Control Limit (UCL) batas kontrol atas dan Lower Control Limit (LCL) batas kontrol bawah yang diterima dari variasi rata-rata untuk penentuan sebuah proses pengendalian (Usman & Widyawati, 2011). Menurut Santoso & Fitri (2010) menjelaskan bahwa Statistical Quality Control (SQC) berfungsi untuk peningkatan kualitas dalam proses assembly yang digunakan tools lainnya sebagai alat penunjang. Hasil yang didapat apabila penyebabnya bersumber pada operator maka dilakukan penentuan waktu istirahat, instruksi kerja dan pelatihan kerja. 2.2.2.1 Quality Control Plan (QCP) Quality Control Plan (QCP) sebuah disiplin proses untuk meyakinkan bahwa urutan kegiatan dapat tersusun secara terstruktur. Kegiatan tersebut akan memastikan bahwa sebuah organisasi dapat memberikan kualitas produk pada waktu yang ditepati, dengan biaya serendah mungkin dan ke pelanggan yang sesuai. Untuk setiap pelaksanaan dan tindakan yang akan menunjukkan bahwa sebuah produk atau jasa yang diberikan kepada pelanggan dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi pelanggan. Hal tersebut membuktikan bahwa produk atau jasa yang ditawarkan telah sesuai dengan keinginan pelanggan dan dari kesesuaian
8 kriteria keinginan pelanggan, maka disesuaikan dengan biaya yang dikeluarkan (Senaratne & Jayarathna, 2012). 2.2.2.2 Pareto Chart Pareto chart adalah sebuah metode untuk mengatur beberapa kesalahan, permasalahan, ataupun kecacatan agar lebih fokus terhadap permasalahan upaya dalam melakukan suatu pekerjaan. Metode ini berdasarkan hasil pekerjaan dari Vilfredo Pareto, seorang ahli ekonomi pada abad ke 19. Joseph M. Juran mempopulerkan karya Pareto ketika ia memperkirakan bahwa 80% dari sebuah permasalahan hanyalah 20% yang akan diselesaikan penyebabnya untuk total keseluruhan (Heizer & Render, 2004). Berikut ini langkah-langkah yang direkomendasikan untuk membuat diagram Pareto (Gitlow, Oppenheim, & Oppenheim, 1995) : 1. Menyusun kategori untuk data yang akan dianalisa, 2. Menentukan jangka waktu untuk pengumpulan data permasalahan, 3. Menyusun tabel frekuensi yang mengatur kategori dari yang memerlukan banyak observasi hingga yang hanya memerlukan observasi seperlunya, 4. Menyusun diagram Pareto sesuai persentase. Menurut Tanjong (2013) menjelaskan bahwa diagram pareto digunakan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah kecacatan yang paling berpengaruhi terhadap proses produksi perusahaan karena dari hasil kecacatan tersebut apabila sudah diketahui maka hasil produksi perusahaan akan jauh lebih meningkat. Seperti halnya yang dialami oleh PT WJP jumlah cacat yang banyak mempengaruhi hasil penjualan terhadap customer dan menyebabkan retur dari hal tersebut. 2.2.2.3 Cause and effect Diagram (Fishbone Diagram) Fishbone diagram atau yang disebut dengan diagram tulang ikan atau diagram sebab akibat adalah adalah sebuah teknik penyelesaian masalah terstruktur yang dikembangkan pada tahun 1943 oleh Professor Kaoru Ishikawa, presiden dari Musashi Institute of Technology di Tokyo. Beliau menemukan bahwa kebanyakan karyawan pabrik kelelahan oleh jumlah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sebuah proses. Oleh karena itu Ishikawa mengembangkan dan menerapkan cause and effect diagram untuk membantu karyawan pabrik mengatasi berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi proses mereka dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Penganalisaan pada diagram sebab akibat digunakan setelah melakukan proses brainstorming. Hal tersebut dilakukan untuk menyusun penyebab-penyebab kemungkinan yang mengarah ke sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut (Gitlow, Oppenheim, & Oppenheim, 1995). Pedoman untuk sesi tersebut adalah (Gitlow, Oppenheim, & Oppenheim, 1995) : 1. Semua orang harus berani untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah, 2. Tidak ada kritik yang harus menjadi saran, 3. Saran tidak terbatas pada faktor-faktor yang ada pada area kerja seseorang,
9 4. Adanya observasi berjangka, antara waktu dimulainya diagram dan waktu diagram tersebut selesai bisa sangat membantu. 5. Yang sangat penting adalah fokus hanya pada bagaimana mengurangi masalah, daripada hanya terlibat dengan pembenaran mengapa permasalahan muncul. Menurut Azizi, Suciati, & Maridi (2014) menjelaskan bahwa didalam peninjauan aktivitas dan kreativitas siswa dapat dibantu melaui fishbone diagram karena dalam diagram tersebut dapat mengetahui pengaruh-pengaruh apa saja yang menjadikan siswa tersebut dapat beraktivitas terhadap metode PBL yang sedang diterapkan di sekolah, di dalam observasi yang dilakukan secara langsung juga dapat mengetahui penyebab-penyebab produk cacat yang dialami oleh PT WJP. 2.2.2.4 P-Chart Menurut Heizer & Render (2008) P-Chart adalah salah satu quality tools yang digunakan untuk mengkontrol data atribut. Data atribut adalah data yang bersifat discrete distribution yaitu data yang utuh atau bukan data pecahan. Contoh data atribut adalah jumlah produksi dalam satuan unit, jumlah produk cacat dalam satu batch, dan sebagainya. P-Chart biasanya digunakan untuk memastikan jumlah produk cacat dalam suatu sampel, dimana p-chart adalah proporsi unit-unit yang tidak sesuai (nonconforming units) dalam sebuah sampel. Proporsi sampel tidak sesuai didefinisikan sebagai rasio dari jumlah unit-unit yang tidak sesuai, dengan ukuran sampel. P-Chart ini dapat digunakan jika pengukuran sampel tidak konstan, yang mana di setiap subgrup jumlah datanya bervariasi. Dalam kasus perusahaaan melaksanakan 100% inspeksi (inspeksi total), variasi dalam tingkat produksi mungkin akan menghasilkan ukuran sampel yang berbeda untuk setiap kali observasi, hal ini mungkin bisa terjadi karena adanya perubahan maintenance, shift, dan sebagainya. Perubahan ukuran sub group tersebut, menyebabkan perubahan dalam batas-batas kendali, meskipun garis pusatnya tetap. Jika ukuran sub group di setiap kali observasi naik atau lebih banyak, maka batas-batas kendali menjadi lebih rendah. Tabel 2.1 dibawah ini menjelaskan tiga teknik untuk menangani kasus P-Chart dengan sampel variable (Montgomery, 2009).
10
Teknik Menggunakan peta kendali model harian / individu
Menggunakan peta kendali model rata-rata
Tabel 2.1 Teknik Perhitungan P-Chart Deskripsi Ini mungkin cara paling sederhana, yaitu menetukan batas kendali untuk setiap sampel individu yang didasarkan pada ukuran sampel tertentu.
Yang mana ni adalah ukuran sampel yang menghasilkan observasi ke-i pada P-chart. Batas kendalinya adalah :
Yang mana n adalah rata-rata semua sampel (sub group) pada P-chart, Menggunakan peta kendali model yang distandarkan
Batas kendali adalah ± 3 dan observasi, pi, distandarkan dengan menggunakan :
Yang mana ni adalah ukuran sampel yang menghasilkan observasi ke-i pada P-chart. Sumber: Montgomery, 2009 Peta kendali p-chart banyak digunakan pada penelitian untuk mengetahui proporsi jumlah produk cacat pada sebuah proses produksi apakah masih dalam batas kendali atau diluar batas kendali yaitu melebihi batas toleransi yang ditetapkan perusahaan (Montgomery, 2009). 2.2.2.5 FMEA (Failure Mode and Effect Analyze) FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses, dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah-masalah potensial (kegagalan). Pembuatan FMEA bertujuan untuk pengidentifikasian dan menilai risiko-risiko yang berhubungan dengan berbagai aspek kegagalan yang terjadi. Hasil akhir dari FMEA adalah “Risk Priority Number” (RPN). RPN adalah sebuah nilai yang dihitung berdasarkan beberapa informasi yang diperoleh dengan Potential Failure Modes, Effect dan Detection. RPN dihitung berdasarkan hasil perkalian antara tiga peringkat yaitu pengaruh, penyebab, dan deteksi pada setiap proses atau dikenal dengan perkalian S, O, D (severity, occurance, detection). Kemudian diurutkan mulai nilai tertinggi, serta tindakan yang disarankan untuk perbaikan (Iswanto, Rambe, & Ginting, 2013). Menurut Hanliang, Rosiawan, & Sari (2013) menjelaskan bahwa PT Indal Alumunium Industry Tbk. merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak di
11 bidang alumunium dengan berbagi macam bentuk dan desain sesuai dengan permintaan konsumen. Fokus perbaikan yang dituju pada penelitian ini adalah menurunkan persentase kecacatan produk jenis precision part profiles yang selama ini menjadi permasalahan besar. Melalui analisis FMEA, penentuan jenis kecacatan tertinggi dilakukan dengan ranking nilai RPN (Risk Priority Number) untuk setiap jenis cacat yang dilakukan analisis, dari ranking nilai RPN digunakan pareto chart untuk mengetahui jenis cacat dominan yang penting untuk dilakukan perbaikan. 2.2.2.6 Metode Taguchi Menurut Gitlow, Oppenheim, & Oppenheim (1995) secara tradisi, aktivitas quality control telah berpusat pada diagram dan proses kontrol, hal ini yang disebut on-line quality control. Dr. Genichi Taguchi, seorang ahli statistik asal Jepang dan pemenang Deming Prize, telah mengembangkan aktivitas pengembangan kualitas untuk menyertakan produk dan rancangan proses, hal ini disebut off-line quality control. Metode Taguchi menyediakan sebuah sistem untuk mengembangkan spesifikasi, merancang spesifikasi tersebut menjadi produk dan/atau proses, dan menghasilkan produk yang berkelanjutan melampaui spesifikasi yang telah disebutkan. Sebagian besar masalah dari kualitas adalah hasil dari suatu proses produk desain. Genichi Taguchi menyediakan tiga konsep yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk dan proses dalam pembuatannya, yaitu quality robustness¸ quality loss function dan target-oriented quality. Menurut Sari & Kusumo (2011) menjelaskan bahwa dari hasil penelitian kriteria - kriteria yang mejadi pertimbangan di dalam pemilihan supplier adalah harga, kualitas, proses pengiriman dan pengepakan dengan bobot untuk masing masing setiap kriteria yang dihasilkan maka akan diketahui supplier yang akan dieliminasi untuk mengurangi kerugian yang terpengaruh terhadap produksi. Metode Taguchi juga digunakan untuk menentukan kondisi optimum proses dengan penyebaran yang sempit untuk rancangan yang kuat. Oleh karena itu metode taguchi dibatasi dalam beberapa faktor kontrol untuk mengetahui kesalahan dari fungsi produk (Tanabe, Sakamoto, & Miyamoto, 2014). 2.3
Supply Chain Management (SCM) Supply Chain Management (SCM) merupakan beberapa prosedur untuk mendukung optimalisasi upaya peningkatan dalam bidang penjualan di sebuah perusahaan. Dalam hal ini sangat tekait dalam inovasi untuk meningkatkan efektivitas yang lebih baik antara pelaku bisnis dengan pendekatan Supply Chain Management (SCM). Koordinasi antara perusahaan utama dengan perusahaan yang akan terlibat di dalam proses pembuatan juga menjadi tanggung jawab bagian supply chain dimana kepuasan pada konsumen merupakan tujuan awal dari pihak supply chain tersebut. maka dari situlah kepercayaan antara pihak satu dan lainnya harus terjaga guna menjaga hubungan baik dan customer tetap menggunakan jasa yang disediakan (Sumangkut, 2013). Menurut Ariani & Dwiyanto (2013) penggunaan Supply Chain Management (SCM) di dalam sebuah perusahaan sangatlah penting, karena untuk
12 meningkatakan kinerja perusahaan dalam sistem pelaksanaan dan untuk long term relationship yang dapat memberikan beberapa keunggulan yang kompetitif. Apabila diterapkan akan meningkatkan produktivitas dan profit perusahaan. 2.3.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an adalah suatu model hirarki yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi yang diinginkan. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dapat membantu memecahkan masalah yang rumit dengan menstrukturkan suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil yang menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Analytical Hierarchy Process (AHP) dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam memecahkan suatu masalah atau problem solving yang terjadi pada sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Marimin, 2004). Analytical Hierarchy Process (AHP) juga digunakan dalam perusahaan untuk mengembangkan strategi guna mencegah adanya krisis dalam kemitraan yang tahan lama dalam memilih konsep kolaboratif yang benar dan efisien dari sebuah pendekatan aplikasi dalam kolaborasi yang lebih penting dimana proses yang melebihi waktu dapat ditingkatkan menggunakan staf yang berkualitas yang dapat mengevaluasi setiap alternatif dari faktor-faktor risiko yang terjadi (Badea, Prostean, Goncalves, & Allaoui, 2014). Dalam mendapatkan keputusan yang rasional dengan menggunakan AHP, perlu melakukan beberapa tahapan. Tahapannya adalah sebagai berikut (Marimin, 2004): 1. Penentuan Hirarki Hirarki adalah hasil dari pemecahan masalah yang tidak terstruktur yang dikelompokkan menjadi kelompok yang lebih kecil dan kemudian kelompok yang lebih kecil tersebut diatur dan disusun menjadi sebuah hirarki. 2. Pembobotan Kriteria Setelah hirarki dibuat, dilanjutkan dengan memberi bobot atau menilai bobot kriteria yang ada pada hirarki tersebut. Penilaian dilakukan dengan membandingkan kriteria satu dengan kriteria lainnya berdasarkan tingkat kepentingan relatifnya. 3. Perhitungan Bobot Kriteria Setelah melakukan pembobotan kriteria, dilakukan proses perhitungan bobot untuk mendapatkan bobot kriteria, yaitu dengan menentukan nilai eigenvector. 4. Mengukur Konsistensi Penetapan prioritas pada setiap hirarki dilakukan melalui perkalian matriks. 5. Hitung Consistensy Index CI = Dimana, n adalah banyaknya elemen. 6. Hitung Consistensy Ratio CR =
13 Dimana nilai RI adalah random index. Jika perhitungan nilai CR (consistensy ratio) kurang atau sama dengan 0.1, maka hasil perhitungan bisa dikatakan konsisten. Nilai RI adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Random Index Table N RI 2 0.00 3 0.58 4 0.90 5 1.12 6 1.24 7 1.32 8 1.41 9 1.45 10 1.49 11 1.51 12 1.48 13 1.56 14 1.57 15 1.59 Sumber: Marimin, 2004 Lasakar (2014) menjelaskan bahwa dengan metode AHP didapatkan kesimpulan bahwa CV Unitech Indonesia belum tepat dalam memilih supplier untuk bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi. Hal tersebut menyebabkan adanya masalah pada kelancaran proses produksi, masalah yang terjadi seperti warna yang dihasilkan mengalami kekentalan yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman bahan baku. Maka dari itu CV Unitech Indonesia perlu menggunakan AHP dalam memilih dan mengevaluasi supplier bahan baku. Kelebihan metode AHP untuk memilih supplier adalah perusahaan dapat menetapkan kriteria apa saja yang dirasakan penting dalam memilih supplier sehingga perusahaan dapat meminimalkan kerugian produksi yang terjadi.
14