BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Pengantar Menurut Baroto (2002, p192), aliran proses produksi suatu departemen ke departemen yang lainnya membutuhkan waktu proses produk tersebut. Apabila terjadi hambatan atau ketidakefisienan dalam suatu departemen akan mengakibatkan tidak lancarnya aliran material ke departemen berikutnya sehingga terjadi waktu menunggu (delay time) dan penumpukan material (material in process storage). Dalam upaya menyeimbangkan lini produksi maka tujuan utama yang ingin dicapai adalah mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi bagi setiap departemen dan berusaha memenuhi rencana produksi yang telah ditetapkan sehingga diupayakan untuk memenuhi perbedaan waktu kerja antardepartemen dan memperkecil waktu tunggu. Dalam praktek penyeimbangan lini yang sesungguhnya di perusahaan, waktu yang dibutuhkan bukan hanya sekedar waktu proses, melainkan masih harus ditambahkan faktor penyesuaian dan kelonggaran demi kepentingan tenaga kerja sehingga diperoleh waktu normal dan waktu baku. Waktu baku inilah yang nantinya akan digunakan untuk perhitungan selanjutnya. Oleh karena itu sebelum masuk ke pembahasan teori mengenai line balancing, terlebih dulu akan diuraikan mengenai teori tentang waktu baku.
18
2.2 Waktu Baku Data waktu proses yang diperoleh dari perusahaan tidak dapat langsung digunakan untuk perhitungan line balancing karena yang akan digunakan adalah data waktu baku. Sebelum mendapatkan waktu baku, terlebih dahulu harus diperoleh waktu normal yang perhitungannya melibatkan faktor penyesuaian. Setelah itu barulah dapat diperoleh waktu baku yang perhitungannya melibatkan faktor kelonggaran.
2.2.1 Penyesuaian Menurut Wignjosoebroto (2003, p196), kecepatan, usaha, tempo, ataupun performance kerja semuanya akan menunjukkan kecepatan gerakan operator pada saat bekerja. Aktivitas untuk menilai atau mengevaluasi kecepatan kerja operator ini dikenal sebagai ‘Rating Performance’. Secara umum kegiatan rating ini dapat didefinisikan sebagai proses di mana seorang pengamat membandingkan performans kerja operator pada saat diamati dengan konsep si pengamat mengenai performans normal. Untuk menormalkan waktu kerja maka diadakan penyesuaian yaitu dengan cara mengalikan waktu kerja dengan faktor penyesuaian / rating ‘P’. Metode penyesuaian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode objektif. Menurut Sutalaksana (1979, p146), metode objektif memperhatikan 2 faktor yaitu kecepatan kerja (P1) dan tingkat kesulitan pekerjaan (P2). Kedua faktor inilah yang dipandang secara bersama-sama menentukan berapa harga P untuk mendapatkan waktu normal.
19
Menurut Wignjosoebroto (2003, p196), cara untuk menentukan besarnya faktor P1 adalah sebagai berikut : •
Apabila operator dinyatakan terlalu cepat yaitu bekerja di atas batas kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan lebih besar daripada 1 (P1 > 1 atau P1 > 100 %).
•
Apabila operator bekerja terlalu lambat yaitu bekerja dengan kecepatan di bawah kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan lebih kecil daripada 1 (P1 < 1 atau P1 < 100 %).
•
Apabila operator bekerja secara normal atau wajar maka rating faktor ini diambil sama dengan 1 (P1 = 1 atau P1 = 100 %).
Menurut Sutalaksana (1979, p146), untuk kesulitan kerja disediakan sebuah tabel (lihat Lampiran) yang menunjukkan berbagai keadaan kesulitan kerja seperti apakah pekerjaan tersebut memerlukan banyak anggota badan, apakah ada pedal kaki, dan sebagainya. Angka yang ditunjukkan di sini adalah dalam per seratus dan jika nilai dari setiap kondisi kesulitan kerja yang bersangkutan dengan pekerjaan yang sedang diamati dijumlahkan akan menghasilkan P2 yaitu notasi bagi bagian penyesuaian objektif untuk tingkat kesulitan pekerjaan. Waktu normal dapat diperoleh dari rumus berikut : Waktu normal = Waktu proses x Penyesuaian (P) Untuk penyesuaian dengan metode objektif, nilai P diperoleh dari hasil kali P1 dan P2.
20
2.2.2 Kelonggaran Menurut Wignjosoebroto (2003, p201), waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaannya pada kecepatan / tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada prakteknya kita akan melihat bahwa tidaklah bisa diharapkan operator tersebut akan mampu bekerja secara terus-menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama sekali. Di sini kenyataannya operator akan sering menghentikan kerja dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs, istirahat melepas lelah, dan alasan-alasan lain yang di luar kontrolnya. Waktu baku yang akan ditetapkan adalah termasuk kelonggarankelonggaran yang perlu. Dengan demikian maka waktu baku adalah waktu yang diperoleh dari waktu normal yang masih ditambah dengan besarnya kelonggaran. Menurut Wignjosoebroto (2003, p203), apabila kelonggaran waktu tersebut diaplikasikan secara bersamaan untuk seluruh elemen kerja, maka hal ini akan bisa menyederhanakan perhitungan yang harus dilakukan. Untuk mendapatkan waktu baku untuk penyelesaian suatu operasi kerja, di sini waktu normal harus ditambahkan dengan kelonggaran. Di samping itu ada kecenderungan untuk mempertimbangkan kelonggaran ini sebagai waktu yang diberikan / dilonggarkan untuk berbagai macam hal per hari kerja. Dengan demikian waktu baku tersebut dapat diperoleh dengan mengaplikasikan rumus berikut : Waktu baku = Waktu normal x
100% 100% − % kelonggaran
21
2.3 Line Balancing Menurut Baroto (2002, 192-193), lini produksi adalah penempatan area-area kerja di mana operasi-operasi diatur secara berurutan dan material bergerak secara kontinu melalui operasi yang terangkai seimbang. Menurut karakteristiknya lini produksi dibagi menjadi 2 : 1. Lini fabrikasi, merupakan lintasan produksi yang terdiri atas sejumlah operasi pekerjaan yang bersifat membentuk atau mengubah bentuk benda kerja. 2. Lini perakitan, merupakan lintasan produksi yang terdiri atas sejumlah operasi perakitan yang dikerjakan pada beberapa stasiun kerja dan digabungkan menjadi benda assembly atau subassembly. Kriteria umum keseimbangan lintasan perakitan adalah memaksimumkan efisiensi atau meminimumkan balance delay. Tujuan pokok dari penggunaan metode ini adalah untuk mengurangi atau meminimumkan waktu menganggur (idle time) pada lintasan yang ditentukan oleh operasi yang paling lambat.
Masukan : Kinerja waktu dari tugas Kebutuhan pendahuluan Tingkat output
Keseimbangan Lintasan
Keluaran : Pengelompokan tugas-tugas pada stasiun-stasiun kerja dengan kapasitas / tingkatan output yang sama
Gambar 2.1 Elemen-elemen Utama Permasalahan Keseimbangan Lintasan Sumber : Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Nasution, p150
22
Menurut Bedworth dan Bailey (1987, p360-361), line balancing adalah masalah yang berorientasi pada kegiatan manufaktur yang berkaitan dengan masalah alokasi sumber daya dan penyeimbangan sumber daya. Dalam sejarahnya, masalah line balancing berevolusi dari lini perakitan di mana proses perakitan yang terdiri dari task-task harus dibagi ke para pekerja dengan ketentuan bahwa usaha (effort) pekerja harus sedapat mungkin disamakan (equal) dan jumlah pekerja diminimumkan sambil menjaga agar tingkat produksi yang spesifik dapat terpenuhi. Menurut Baroto (2002, 194-195), tujuan perencanaan keseimbangan lintasan adalah mendistribusikan unit-unit kerja atau elemen-elemen kerja pada setiap stasiun kerja agar waktu menganggur dari stasiun kerja pada suatu lintasan produksi dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga pemanfaatan dari peralatan maupun operator dapat digunakan semaksimal mungkin. Syarat dalam pengelompokan stasiun kerja dalam line balancing adalah sebagai berikut : -
Hubungan dengan proses terdahulu.
-
Jumlah stasiun kerja tidak boleh melebihi jumlah elemen kerja.
-
Waktu siklus lebih dari atau sama dengan waktu maksimum dari tiap waktu di stasiun kerja dari tiap elemen pekerjaan.
Penyeimbangan lintasan memerlukan metode tertentu yang sistematis. Adapun metode yang akan digunakan dalam skripsi ini yaitu : -
Aturan Largest Candidate.
23
-
Metode Ranked Positional Weights atau metode Helgesson – Birnie.
-
Metode Kilbridge – Wester.
-
Metode Moodie – Young.
-
Metode Region Approach.
Untuk dapat memilih dan menentukan metode yang tepat dalam penyeimbangan lini perakitan perlu dikembangkan analisis guna mengetahui performansi masingmasing metode yang ada terhadap karakteristik pekerjaan perakitan, sehingga akan dapat ditentukan cara penyusunan stasiun kerja yang paling efisien dan pertimbangan kelebihan dan kekurangan untuk tiap metode. Menurut Groover (2001, p529), dalam line balancing ada asumsi mengenai waktu pengerjaan task, yaitu : 1. Waktu pengerjaan task mempunyai nilai yang konstan. 2. Nilai waktu pengerjaan task bersifat aditif, artinya waktu untuk mengerjakan dua atau lebih task secara berurutan adalah jumlah dari waktu pengerjaan task individual. Dalam kenyataannya, asumsi di atas tidak terlalu benar. Waktu pengerjaan task adalah variabel yang berkaitan dengan masalah variabilitas task time. Di samping itu sering ada ekonomi gerakan yang dapat dicapai dengan menggabungkan dua atau lebih task sehingga melanggar asumsi aditifitas. Meskipun demikian, asumsi tersebut dibuat agar dapat menghasilkan solusi bagi masalah line balancing.
24
2.3.1 Istilah-istilah Dalam Line Balancing Menurut Baroto (2002, 195-197), sebelum membahas mengenai operasional dari metode-metode dalam line balancing, perlu dipahami dulu beberapa istilah yang lazim digunakan dalam line balancing. -
Precedence diagram merupakan gambaran secara grafis dari urutan operasi kerja serta ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang tujuannya untuk memudakan pengontrolan dan perencanaan kegiatan yang terkait di dalamnya. Adapun tanda-tanda yang dipakai sebagai berikut : - Simbol lingkaran dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk mempermudah identifikasi dari suatu proses operasi. - Tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan proses operasi. Dalam hal ini, operasi yang berada pada pangkal panah berarti mendahului operasi yang ada pada ujung panah. - Angka di atas simbol lingkaran adalah waktu standar yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap operasi.
-
Assemble product adalah produk yang melewati urutan Work Station (WS) di mana tiap WS memberikan proses tertentu hingga selesai menjadi produk akhir pada perakitan akhir.
-
Work element (elemen kerja / operasi / task) adalah bagian dari seluruh proses perakitan yang dilakukan.
25
-
Waktu operasi (Ti) adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu operasi (di skripsi ini, Ti adalah waktu baku yang di dalamnya sudah mencakup faktor penyesuaian dan kelonggaran).
-
Work Station (WS) adalah tempat pada lini perakitan di mana proses perakitan dilakukan. Setelah menentukan interval waktu siklus maka jumlah stasiun kerja efisien dapat ditetapkan dengan rumus berikut : n
∑ Ti kmin =
i =1
CT
Di mana : Ti = Waktu operasi pada task ke-i (i = 1,2,3,…,n). CT = Waktu siklus. n = Banyaknya task. kmin = Banyaknya stasiun kerja minimal. -
Cycle Time / waktu siklus (CT) merupakan waktu yang diperlukan untuk membuat 1 unit produk per satu stasiun. Apabila waktu produksi dan target produksi telah ditentukan, maka waktu siklus dapat diketahui dari hasil bagi waktu produksi dan target produksi. Dalam mendesain keseimbangan lini perakitan untuk sejumlah produksi tertentu, waktu siklus harus sama dengan atau lebih besar dari waktu operasi terbesar yang merupakan penyebab terjadinya bottleneck (kemacetan) dan waktu siklus juga harus sama atau lebih
26
kecil dari jam kerja efektif per hari dibagi dengan jumlah produksi per hari yang secara matematis dinyatakan sebagai berikut : Timaks ≤ CT ≤
P Q
Di mana : Timaks = Waktu operasi terbesar pada lintasan. CT = Waktu siklus. P = Jam kerja efektif per hari. Q = Jumlah produksi per hari. -
Station Time (ST) adalah jumlah waktu dari elemen kerja / task yang dilakukan pada suatu stasiun kerja yang sama.
-
Idle time adalah selisih (perbedaan) antara CT dikurangi dengan STi.
-
Balance Delay (BD), sering disebut balance loss, adalah ukuran dari ketidakefisienan lintasan yang dihasilkan dari waktu menganggur sebenarnya yang disebabkan oleh pengalokasian yang kurang sempurna di antara stasiunstasiun kerja. Balance Delay dinyatakan dalam persentase. Balance Delay dapat dirumuskan sebagai berikut : ( k × CT ) −
BD =
k
∑ STi i =1
(k × CT )
× 100%
Di mana : k = Banyaknya stasiun kerja (WS). CT = Waktu siklus.
27
STi = Station Time dari WS ke-i. -
Line Efficiency (LE) adalah rasio dari total waktu di stasiun kerja terhadap keterkaitan antara waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja (dinyatakan dalam persentase). k
∑ STi LE =
i =1
(k × CT )
× 100%
Di mana : k = Banyaknya stasiun kerja (WS). CT = Waktu siklus. STi = Station Time dari WS ke-i. -
Smoothness Index (SI) adalah suatu indeks yang menunjukkan kelancaran relatif dari suatu keseimbangan lini perakitan. Suatu Smoothness Index dikatakan sempurna apabila nilainya sama dengan nol atau disebut juga perfect balance. k
SI =
∑ (CT − STi)
2
i =1
Di mana : k = Banyaknya stasiun kerja (WS). CT = Waktu siklus. STi = Station Time dari WS ke-i.
28
2.3.2 Metode Line Balancing Menurut Groover (2001, p534), tujuan dalam line balancing adalah untuk mendistribusikan beban kerja total pada lini perakitan seseimbang mungkin di antara para pekerja. Tujuan ini dapat diekspresikan secara matematis dalam 2 alternatif bentuk yang ekuivalen : k
Meminimumkan (kCT -
∑
k
STi ) atau meminimumkan
i =1
∑ (CT − STi) i =1
Dengan syarat: 1. Jumlah waktu di setiap WS tidak melebihi CT. 2. Semua persyaratan presedens dipatuhi. Metode yang akan digunakan bersifat heuristic, artinya metode tersebut didasarkan pada common sense dan eksperimen daripada optimasi matematis, serta tidak menjamin dihasilkannya solusi optimal. Dalam setiap metode, diasumsikan bahwa manning level adalah 1 sehingga jika kita mengidentifikasi stasiun i maka kita juga mengidentifikasi pekerja pada stasiun i.
2.3.2.1 Aturan Largest Candidate Menurut Groover (2001, p535), dalam metode ini, elemen kerja diatur secara descending (dari nilai paling besar ke paling kecil) berdasarkan nilai Ti. Metode ini terdiri dari langkah-langkah : 1. Buat precedence diagram.
29
2. Urutkan waktu operasi pada masing-masing task dari yang terbesar ke yang terkecil secara urut. 3. Tentukan waktu siklus (CT). 4. Tugaskan task pada pekerja di WS 1 dengan memulai dari daftar paling atas dan memilih task pertama yang memenuhi persyaratan presedens dan tidak menyebabkan jumlah total Ti pada WS tersebut melebihi CT yang diizinkan. Ketika task sudah dipilih untuk ditugaskan pada WS, telusuri kembali dari daftar paling atas untuk penugasan selanjutnya. 5. Ketika tidak ada lagi task yang dapat ditugaskan tanpa melebihi CT, lanjutkan ke WS berikutnya. 6. Ulangi langkah 4 dan 5 untuk semua WS sampai semua task telah ditugaskan.
2.3.2.2 Metode Ranked Positional Weights (RPW) atau Metode Helgesson – Birnie Menurut Baroto (2002, p197-198), langkah-langkah dalam metode ini adalah sebagai berikut : 1. Buat precedence diagram. 2. Tentukan bobot posisi untuk masing-masing task yang berkaitan dengan waktu operasi untuk waktu pengerjaan yang terpanjang dari mulai operasi permulaan hingga sisa operasi sesudahnya.
30
3. Membuat ranking tiap task berdasarkan bobot posisi di langkah 2. Task yang mempunyai bobot terbesar diletakkan pada ranking pertama. 4. Tentukan waktu siklus (CT). 5. Pilih task dengan bobot tertinggi, alokasikan ke suatu WS. Jika masih layak (STi ≤ CT), alokasikan task dengan bobot tertinggi berikutnya yang memenuhi persyaratan presedens. Namun alokasi ini tidak boleh membuat STi > CT. 6. Bila alokasi suatu task membuat STi > CT, maka task ini tidak jadi ditugaskan. Sebagai gantinya, sisa waktu ini (CT – STi) dipenuhi dengan alokasi task dengan bobot paling besar dan penambahannya tidak membuat STi > CT dan memenuhi persyaratan presedens. 7. Jika task yang dialokasikan untuk membuat STi ≤ CT sudah tidak ada, kembali ke langkah 5 untuk semua WS sampai semua task telah ditugaskan.
2.3.2.3 Metode Kilbridge – Wester Menurut Groover (2001, p536), metode ini merupakan prosedur heuristic yang memilih task untuk ditugaskan ke dalam WS berdasarkan posisinya pada precedence diagram. Metode ini mengatasi salah satu kesulitan dalam aturan Largest Candidate di mana task dipilih karena nilai Ti yang tinggi tapi posisinya di precedence diagram kutang sesuai. Langkah-langkahnya adalah :
31
1. Buat precedence diagram. 2. Task-task dalam precedence diagram diatur ke dalam kolom-kolom. 3. Task-task kemudian disusun ke dalam suatu daftar berdasarkan kolomnya, di mana task-task pada kolom pertama didaftar pertama. 4. Jika suatu task dapat ditempatkan pada lebih dari 1 kolom, maka daftarlah semua kolom untuk task tersebut. 5. Task-task pada kolom yang sama diurutkan berdasarkan nilai Ti terbesar seperti pada aturan Largest Candidate. Hal ini akan membantu dalam menugaskan task ke WS karena dapat memastikan bahwa task terlama akan dipilih lebih dulu, jadi meningkatkan kesempatan untuk membuat jumlah Ti pada setiap WS mendekati batas waktu siklus / Cycle Time (CT) yang diizinkan. 6. Tentukan waktu siklus (CT). 7. Tugaskan task pada pekerja di WS 1 dengan memulai dari daftar paling atas dan memilih task pertama yang memenuhi persyaratan presedens dan tidak menyebabkan jumlah total Ti pada WS tersebut melebihi CT yang diizinkan. Ketika task sudah dipilih untuk ditugaskan pada WS, telusuri kembali dari daftar paling atas untuk penugasan selanjutnya. 8. Ketika tidak ada lagi task yang dapat ditugaskan tanpa melebihi CT, lanjutkan ke WS berikutnya.
32
9. Ulangi langkah 7 dan 8 untuk semua WS sampai semua task telah ditugaskan.
2.3.2.4 Metode Moodie – Young Menurut Nasution (2003, p159-160), langkah penugasan pekerjaan pada stasiun kerja dengan menggunakan metode ini berbeda pada urutan prioritas pembebanan pekerjaan. Langkah-langkahnya adalah : 1. Buat precedence diagram. 2. Buat matriks operasi pendahulu (P) dan operasi pengikut (F) untuk setiap operasi berdasarkan precedence diagram. 3. Tentukan waktu siklus (CT). 4. Perhatikan baris di matriks kegiatan pendahulu P yang semuanya terdiri dari angka 0 dan bebankan task terbesar yang mungkin terjadi jika ada lebih dari 1 baris yang memiliki seluruh task sama dengan nol. 5. Perhatikan nomor task di baris matriks kegiatan pengikut F yang bersesuaian dengan task yang telah ditugaskan. Setelah itu kembali perhatikan baris pada matriks P yang ditunjukkan, ganti nomor identifikasi task yang telah dibebankan ke WS dengan nol. 6. Lanjutkan penugasan task-task itu pada setiap WS dengan ketentuan bahwa waktu total operasi tidak melebihi waktu siklus. Proses ini dikerjakan hingga semua baris pada matriks P bernilai nol.
33
2.3.2.5 Metode Region Approach Menurut Nasution (2003, p164), metode ini dikembangkan oleh Bedworth untuk mengatasi kekurangan metode RPW. Metode ini tetap tidak akan menghasilkan solusi optimal, tetapi solusi yang dihasilkannya sudah cukup baik dan mendekati optimal. Pada prinsipnya metode ini berusaha membebankan terlebih dulu pada operasi yang memiliki tanggung jawab keterdahuluan yang besar. Bedworth menyebutkan bahwa kegagalan metode RPW ialah mendahulukan operasi dengan waktu terbesar daripada operasi dengan waktu yang tidak terlalu besar tetapi diikuti oleh banyak operasi lainnya. Langkah-langkah penyelesaian dengan metode Region Approach adalah sebagai berikut : 1. Buat precedence diagram. 2. Bagi precedence diagram ke dalam wilayah-wilayah dari kiri ke kanan. Gambar ulang precedence diagram, tempatkan seluruh task di daerah paling ujung sedapat-dapatnya. 3. Dalam tiap wilayah urutkan task mulai dari waktu operasi terbesar sampai dengan waktu operasi terkecil. 4. Tentukan waktu siklus (CT). 5. Bebankan task dengan urutan sebagai berikut (perhatikan pula untuk menyesuaikan diri terhadap batas wilayah) : - Daerah paling kiri terlebih dahulu. - Dalam 1 wilayah, bebankan task dengan waktu terbesar pertama kali.
34
6. Pada akhir tiap pembebanan stasiun kerja, tentukan apakah utilisasi waktu tersebut telah dapat diterima. Jika tidak, periksa seluruh task yang memenuhi hubungan keterkaitan dengan operasi yang telah dibebankan. Putuskan apakah pertukaran task-task tersebut akan meningkatkan utilisasi waktu stasiun kerja. Jika ya, lakukan perubahan tersebut.