BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Peramalan
Peramalan digunakanan sebagai acuan pencegah yang mendasari suatu keputusan untuk yang akan datang dalam upaya meminimalis kendala atau memaksimalkan pengembangan baik dalam dunia usaha, peramalan cuaca dan sebagainya. Dalam keefektifannya haruslah suatu peramalan tersebut adalah hasil dari proses perhitungan yang sistematis. Dalam statistika, peramalan sangat bergantung pada data histori. Secara ilmiah metode peramalan dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode peramalan kualitatif lebih mengandalkan intuisi manusia dari pada penggunaan data historis yang dimiliki. Metode ini banyak digunakan dalam banyak pengambilan keputusan sehari-hari. Dalam hal ini ramalan dikatakan baik atau tidak bergantung dari banyak hal antara lain pengalaman, perkiraan, dan pengetahuan yang didapat. Metode peramalan kuantitatif merupakan peramalan yang didasarkan pada data-data variabel yang bersangkutan di masa sebelumnya. Metode ini menggunakan analisis statistik dan tanpa intuisi atau penilaian subyektif orang yang melakukan peramalan. Menurut Makridakis dkk. (1992), peramalan dengan menggunakan metode kuantitatif dapat diterapkan apabila terdapat tiga kondisi berikut: 1.
Tersedia informasi tentang masa lalu,
2.
Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik,
3.
Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Curah Hujan
Curah hujan adalah banyaknya air yang jatuh ke permukaan bumi. Satuan yang digunakan adalah millimeter per jam (mm/jam). Dalam meteorologi butiran hujan dengan diameter lebih dari 0,5 mm disebut hujan dan diameter antara 0,1-0,5 mm disebut gerimis. Semakin besar butiran hujan maka akan semakin besar pula kecepatan jatuhnya. Ketelitian alat ukur curah hujan adalah 1/10 mm. Pembacaan dilakukan satu kali dalam sehari dan dicatat sebagai curah hujan hari terdahulu (Suyono,1985). Curah hujan di suatu daerah tidak sama dengan curah hujan di daerah lain. Ada suatu daerah yang pada akhir tahun hujannya mulai meningkat tinggi dan mencapai puncaknya dan pertengahan tahun mencapai titik terendahnya. Sebaliknya, di daerah lain pada akhir tahun hujannya mencapai titik terendah, sedangkan pada pertengahan tahun mencapai titik tertinggi (Suyono,1985). Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000-3000 mm/tahun. Curah hujan menurut BMKG dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1.
Curah hujan rendah: 0-20 mm, 21-50 mm, 51-100 mm.
2.
Curah hujan menengah: 101-150 mm, 151-200 mm, 201-300 mm.
3.
Curah hujan tinggi: 301-400 mm.
4.
Curah hujan sangat tinggi: 401-500 mm, >500 mm.
2.3 Metode Deret Berkala
Data berkala (Time Series) adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk memberikan gambaran tentang perkembangan suatu kegiatan dari waktu ke waktu. Metode (Time Series) merupakan metode peramalan kuantitatif yang didasarkan atas penggunaan analisis pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan varibel waktu. Time Series ini mencakup penelitian pola data yang digunakan untuk meramalkan apakah data tersebut stasioner atau tidak dan ekstrapolasi ke masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan data deret berkala adalah serangkaian nilai-nilai variabel yang disusun berdasarkan waktu. Pada analisis data deret berkala ada empat komponen salah satunya adalah variasi musim. Variasi musim merupakan gerakan suatu deret berkala yang diklasifikasikan kedalam periode kurang dari satu tahun seperti kwartalan, bulanan atau harian, atau gerakan periodik yang berulang (Kustituanto,1984). Data sebuah deret berkala dapat mempunyai atau tidak variasi musim, oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu untuk mengetahui apakah deret tersebut mempunyai variasi musim atau tidak sebelum dilakukan perhitungan. Metode yang paling sederhana untuk mengetahui adanya variasi musim adalah dengan melihat pola yang ada pada plot time series. Pola variasi musim dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk yakni spesifik dan tipical. Pola spesifik menunjukkan variasi musim dalam periode misalnya kwartalan. Sedangkan pola tipical menunjukkan rata-rata variasi musim dalam sejumlah periode seperti lima tahunan.
2.4 Metode Pemulusan (Smoothing)
Metode pemulusan (smoothing) adalah suatu metode peramalan dengan melakukan penghalusan terhadap masa lalu, yaitu dengan mengambil rata-rata dari nilai beberapa tahun untuk menaksir nilai pada beberapa tahun ke depan.
2.4.1 Pemulusan (Smoothing) Eksonensial Tunggal
Teknik eksponensial tunggal linier satu parameter digunakan dengan menetapkan bobot tertentu atas data yang tersedia dan berdasarkan bobot itu akan diketahui pula bobot atas hasil peramalan sebelumnya. Penentuan besarnya bobot yang digunakan dapat ditentukan dengan menghitung MSE untuk tiap alternatif bobot yang akan dipilih. Bobot yang menghasilkan MSE terkecil adalah yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Pemulusan (Smoothing) Eksponensial Ganda (Linier Satu Parameter dari Brown)
Metode ini merupakan metode linier yang dikemukakan oleh Brown. Dasar pemikiran dari metode pemulusan (smoothing) eksponensial ganda (linier satu parameter dari Brown) adalah sama dengan rata-rata bergerak linier karena dua nilai pemulusan tunggal dan ganda ketinggalan dari data sebenarnya. Persamaan yang dipakai dalam penggunaan smoothing eksponensial ganda (linier satu parameter dari Brown) adalah sebagai berikut: ′ = ∝ + (1−∝) ′
2.1
" = ∝ ′ + (1−∝) ′
2.2
! = ′ + ( ′ − " ) ! = 2 ′ − " # =
∝ ∝
2.3
( ′ − " )
2.4
$ % = ! + # (&)
2.5
di mana: ′
= Nilai pemulusan eksponensial tunggal
"
= Nilai pemulusan eksponensial ganda
∝
= Parameter pemulusan eksponensial yang besarnya 0 < α < 1
! , # = Konstanta pemulusan $ % = hasil peramalan untuk periode ke depan yang diramalkan
2.4.3 Ketetapan Ramalan Beberapa Kriteria Digunakan Untuk Menguji
1.
MSE (Mean Square Error) atau Rata-Rata Kesalahan Kuadrat )+
* '( = ∑, ,
2.6
MSE (Mean Square Error) adalah metode lain untuk mengevaluasi metode peramalan. Masing-masing kesalahan atau sisi dikuadratkan. Kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah observasi. Pendekatan ini mengatur
Universitas Sumatera Utara
kesalahan
peramalan
yang
besar
karena
kesalahan-kesalahan
itu
dikuadratkan. 2.
SSE (Sum of Square Error) atau Jumlah Kuadrat Kesalahan ( = ∑, -
2.7
Sedangkan SSE menyatakan jumlah kuadrat penyimpangan, yang biasa disebut jumlah kuadrat kesalahan (sum of square for error). SSE diperoleh dengan cara mengkuadratkan kesalahan dan kemudian menjumlahkan seluruh kesalahan. Dimana semakin kecil nilai SSE, maka semakin baik hasil ramalan. di mana: = $ ( kesalahan pada periode ke t ) = data aktual pada periode ke t $ = nilai ramalan pada periode ke t . = banyaknya periode waktu
2.5 Identifikasi Pola Data
Salah satu langkah penting dalam melakukan suatu metode peramalan yang terbaik dengan mengidentifikasi pola data. Berapa komponen yang mungkin terkandung dalam suatu deret waktu adalah sebagai berikut: 1.
Kompenan trend ditunjukkan dengan adanya peningkatan atau penurunan dalam satu periode.
2.
Komponen musiman ditunjukkan dengan pola berulang dari waktu ke waktu. Variasi musiman biasanya timbul karena adanya pengaruh cuaca suatu musim tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Metodologi Untuk Menganalisis Data Deret Berkala
1.
Plot Data Langkah pertama yang baik untuk menghasilkan data deret berkala adalah memplot data tersebut secara grafis yang bermanfaat untuk memplot berbagai versi data dan melihat plot data tersebut stasioner atau tidak dari data yang ingin diramalkan.
2.
Stasioner dan Nonstasioner Model ARIMA yang perlu diperhatikan adalah bahwa kebanyakan deret berkala bersifat nonstasioner dan bahwa aspek-aspek Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA) dari model ARIMA hanya berkenaan dengan deret berkala stasioner. Stasioneritas berarti tidak mengalami pertumbuhan atau penurunan pada data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data berada pada suatu nilai ratarata yang konstan, tidak tergantung pada waktu, dan varians dari fluktuasi tersebut tetap konstan setiap waktu. Kestasioneritasan data dapat diperiksa dengan analisis autokorelasi dan autokorelasi parsial. Autokorelasi-autokorelasi dari data yang stasioner mengecil secara drastis membentuk garis lengkung kearah nol setelah periode kedua dan ketiga. Jadi apabila autokorelasi pada periode satu, dua ataupun ketiga tergolong signifikan sedangkan autokorelasi pada periode lainnya tidak signifikan maka data tersebut bersifat stasioner. Menurut Box-Jenkins data deret berkala yang tidak stasioner dapat ditransformasikan menjadi data yang stasioner dengan melakukan proses pembedaan (differencing) pada data aktual. Pembedaan orde pertama dari data aktual dapat dinyatakan sebagai berikut: / = − ; untuk t = 2,3,...,N
2.8
Secara umum pembedaan (differencing) orde ke-d dapat ditulis sebagai berikut: / = (1 − 0)1 3.
2.9
Operator Backward Shift
Universitas Sumatera Utara
Notasi yang sangat bermanfaat dalam metode pembedaan adalah operator shift mundur (Backward
Shift) yang disimbolkan
dengan
B
dan
penggunaannya adalah sebagai berikut: 0 =
2.10
Notasi 0 yang dipasangkan pada mempunyai pengaruh menggeser data satu periode ke belakang, dua penerapan 0 untuk akan menggeser data tersebut dua periode ke belakang sebagai berikut: 0(0 ) = 0 =
2.11
Apabila suatu deret berkala tidak stasioner maka data tersebut dapat dibuat lebih mendekati stasioner dengan melakukan pembedaan pertama dari deret data dan persamaannya adalah sebagai berikut: ′ = −
2.12
Pembedaan orde pertama ′ = 2 − 0 = (1 − 0)
2.13
Pembedaan pertama dinyatakan oleh (1 − 0). Sama halnya apabila pembedaanorde kedua (yaitu pembedaan pertama dari pembedaan pertama sebelumnya)harus dihitung, maka: Pembedaan orde kedua ′ ′′ = ′ −
′′ = ( − ) − ( − ) ′′ = − 2 + ′′ = (1 − 20 + 0 ) ′′ = (1 − 0) Pembedaan orde ke dua diberi notasi (1 − 0) .
Pembedaan orde ke-d 1 = (1 − 0)1 4.
2.14
Identifikasi Model Identifikasi model berkaitan dengan penentuan orde pada ARIMA. Oleh karena itu, identifikasi model dilakukan setelah melakukan analisis deret berkala untuk mengetahui adanya autokorelasi dan kestasioneran data sehingga dapat diketahui perlu tidaknya dilakukan transformasi dan
Universitas Sumatera Utara
pembedaan. Jika data tidak stasioner dalam hal varians maka dapat dilakukan transformasi dan jika data tidak stasioner dalam rata-rata maka dapat dilakukan pembedaan. Langkah pertama yang baik untuk menganalisis data deret berkala adalah dengan membuat plot data time series terlebih dahulu. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui adanya trend dan pengaruh musiman pada data tersebut. Langkah selanjutnya adalah menganalisis koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsialnya dengan tujuan mengetahui kestasioneran data dalam rata-rata dan dari plot ACF, PACF tersebut dapat diidentifikasi orde model ARMAnya. 5.
Keofisien Autokorelasi Secara matematis rumus untuk koefisien autokorelasi dapat dituliskan dengan rumus seperti pada persamaan sebagai berikut: =
∑645 789 (3* 3)(3*45 3) + ∑6 (3 3 ) 789 *
2.15
di mana: = keofisien autokorelasi = nilai variabel Y pada periode t = nilai variabel Y pada periode t + k = nilai rata-rata variabel Y Apabila merupakan fungsi atas waktu, maka hubungan autokorelasi dengan lagnya dinamakan fungsi autokorelasi (Autocorrelation Function) sering disebut ACF dan dinotasikan oleh: : =
∑645 789 (3* 3)(3*45 3) 6 + ∑789(3* 3)
2.16
Konsepsi lain pada autokorelasi adalah autokorelasi parsial (Partial Autocorrelation Funcition) sering disebut PAFC. Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan disebut dengan fungsi autokorelasi parsial (PACF). Koefisien autokorelasi merupakan alat yang berharga untuk menyelidiki kestasioneran deret berkala. Caranya adalah dengan mempelajari nilai-nilai tertentu secara nyata berbeda dari nol. Rumus sederhana yang bisa digunakan adalah: (;5 =
√
2.17
Universitas Sumatera Utara
Dengan n adalah banyaknya data. Ini berarti bahwa 95% dari seluruh koefisien korelasi berdasarkan sampel harus terletak didalam daerah nilai tengah ditambah atau dikurangi 1,96 kali kesalahan standar (Makridakis, 1992). -1.96 (1/√=) ≤ +1.96 (1/ √=)
2.18
6. Koefisien Autokorelasi Parsial Autokorelasi parsial digunakan untuk mengukur tingkat keeratan (association) antara dan pengaruh dari time-lag 1,2,3,... dan seterusnya sampai k-1 dianggap terpisah. Satu-satunya tujuan di dalam analisis deret berkala adalah untuk membantu menetapkan model ARIMA yang tepat untuk peramalan.
2.7 Metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)
Model ARIMA (Autoregresive Integrated Moving Average) merupakan metode yang secara intensif dikembangkan oleh Goerge Box Dan Jenkins. Metode ARIMA berbeda dengan metode peramalan lain karena tidak mensyaratkan suatu pola data tertentu supaya model dapat bekera dengan baik. Metode ARIMA akan bekerja dengan baik apabila data deret berkala yang dipergunaknan besifat dependent atau berhubungan satu sama lain secara statistik. Secara umum model arima dirumuskan dengan notasi sebagai berikut: ARIMA (p,d,q) di mana: P menunjukkan orde atau derajat autoregressive (AR) D menunjukkan orde atau derajat differencing Q menunjukkan orde atau derajat moving average (MA) Model box-jenkins dikelompokkan menjadi tiga kelompok: 1.
Model autoregressive
2.
Model moving average
3.
Model campuran
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Model Autoregressive (AR) Model AR menunjukkan nilai prediksi variabel dependen hanya merupakan fungsi linear dari sejumlah aktual sebelumnya. Misalnya nilai variabel dipenden hanya dipengaruhi oleh nilai variabel tersebut satu periode sebeumnya maka model ini disebut model Autoregressive tingkat pertama. Model ini dapat ditulis sebagai berikut : = ′ + + + ⋯ + +
2.19
dimana: ′
= Suatu konstanta
= Nilai pengamatan periode ke-p
= Parameter Autoregressive ke-p
= Nilai kesalahan pada saat t Persamaan umum model autoregressive (AR) dengan orde p juga dapat
ditulis sebagai berikut: B1 − 0 − 0 − ⋯ − 0 C = ′ +
2.20
Dalam hal ini B menyatakan operator penggerak mundur. Model AR menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel hanya merupakan fungsi linear dari sejumlah aktual sebelumnya (Makridakis, 1992).
2.7.2 Model Moving Average (MA)
Model MA mempunyai orde (D), sehingga model tersebut biasanya dituliskan sebagai MA(D). Model MA ini menyatakan bahwa nilai prediksi variabel dependen hanya dipengaruhi oleh nilai residual sebelumnya atau tiap-tiap observasi dibentuk dari rata-rata tertimbang deviasi (disturbance) D periode sebelumnya atau model MA tingkat pertama atau disingkat MA(1). Model MA(1) dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut: = ′ + − + + ⋯ +
2.21
Universitas Sumatera Utara
dimana: ′
= suatu konstanta
, = parameter-parameter moving average
= nilai kesalahan pada saat t-q
Dengan menggunakan operator penggerak mundur model rataan bergerak dari persamaan (2.21) dapat ditulis sebagai berikut: = ′ + (1 − 0 − 0 − ⋯ − 0 )
2.22
Dalam hal ini B menyatakan operator penggerak mundur.
2.7.3 Model campuran Autoregressive Moving Average (ARMA)
Apabila suatu deret waktu tanpa proses differencing (d=0) dinotasikan dengan model ARIMA (p,0,q). Model ini dinamakan dengan model autoregressive moving average berorde (p,q). Secara singkat bentuk umum model proses autoregressive orde p dan berorde (p,q) adalah sebagai berikut: = ′ + + + ⋯ + − − − ⋯ −
2.23
+ Dengan operator penggerak mundur proses ARMA (p,q) sebagai berikut: B1 − 0 − 0 − ⋯ − 0 C = ′ + B1 − 0 − 0 − ⋯ − 0 C
2.24
2.7.4 Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Apabila data deret waktu tidak stasioner, model box-jenkins ini disebut model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Jika F menyatakan banyaknya proses differencing, maka bentuk umum model ARIMA (p,d,q) yang mengkombinasikan model autoregressive berorde p dengan model moving average berorde q ditulis dengan ARIMA (p,d,q) adalah sebagai berikut: = ′ + + + ⋯ + + − − 2 G−2 − ⋯
2.25
−
Universitas Sumatera Utara
Atau dengan operator penggerak mundur model ARIMA (p,d,q) dapat ditulis sebagai berikut: B1 − 0 − 0 − ⋯ − 0 C/ = ′ + B1 − 0 − 0 − ⋯ − 0 C
2.26
Dalam hal ini / menyatakan bahwa deret waktu sudah di differencing. Dengan menotasikan ′ sebagai berikut: ′ ′ = (1 − − − ⋯ − ) H
2.27
′ Dengan H adalah rata-rata dari data waktu yang sudah di differencing.
2.8 Model Arima dan Musiman
Musiman didefinisikan sebagai suatu pola data yang berulang-ulang dalam selang waktu tetap. Untuk data stasioner faktor musiman dapat ditentukan dengan mengidentifikasikan koefisien autokorelasi pada dua atau tiga time-lag yang berbeda nyata dari nol. Autokorelasi secara signifikan berbeda dari nol menyatakan adanya satu pola dalam data. Untuk mengenali adanya faktor musiman, dapat dilihat dari autokorelasi yang tinggi. Secara umum notasi ARIMA faktor musiman adalah: ARIMA (p,d,q)(P,D,Q) I di mana: (p,d,q)
= Bagian yang tidak musiman dari model
(P,D,Q)
= Bagian musiman dari model
S
= Jumlah periode per musim
Model ARIMA (1,1,1)(1,1,1) yang mengandung faktor musiman adalah sebagai berikut: (1 − 0 )(1 − 0 )(1 − 0 )(1 − 0 ) (1 − 0 )(1 − Ɵ 0 )
2.28
di mana: (1 − 0)
= AR(1) tidak musiman
(1 − 0 ) = AR(1) musiman (1 − 0 )
= perbedaan tidak musiman
(1 − 0 )
= perbedaan musiman
Universitas Sumatera Utara
(1 − 0)
= MA(1) tidak musiman
(1 − Ɵ 0 ) = MA(1) musiman
2.9 Estimasi Parameter Model
Tahap selanjutnya dilakukan estimasi parameter model untuk mencari parameter estimasi yang paling efisien untuk model. Estimasi parameter dilakukan dengan menetapkan model awal parameter (koefisien model) denganbantuan analisis regresi linier untuk mencari nilai konstanta dan koefisien regresi dari model. Dalam mencari nilai etimasi model ARIMA ini sangat rumit sehingga digunakan bantuan program komputer software Minitab.
2.10 Verifikasi Parameter Model
Langkah ini dilakukan untuk memeriksa apakah model ARIMA yang dipilih cukup cocok untuk data. Verifikasi dilakukan dengan menggunakan uji distribusi t. Adapun verifikasi yang dilakukan terhadap parameter-parameter model ARIMA sebagai berikut: )I -%MI- M;M%) );
GJ- KL = I) )I -%MI- M;M%) );
2.29
Dengan kriteria keputusan H0 ditolak jika: NGJ- KL N > GP, +
1.
2.30
QR : ∅ = 0 (nilai parameter ∅ tidak signifikan) Q : ∅ ≠ 0 (nilai parameter ∅ signifikan) Selanjutnya adalah menghitung nilai GJ- KL dengan rumus sebagai berikut: V ∅
GJ- KL = WX(∅9
9)
2.31
di mana: V ∅
= Koefisien parameter ∅
( (∅ ) = Standard Error koefisien parameter ∅
Universitas Sumatera Utara
Nilai parameter dikatakan signifikan apabila nilaiNGJ- KL N > G MY)Z . Artinya, QR ditolak dan Q diterima. Sebaliknya, jika nilai NGJ- KL N < G MY)Z maka QR diterima dan Q ditolak. 2. QR : ∅ = 0 (nilai parameter ∅ tidak signifikan) Q : ∅ ≠ 0 (nilai parameter ∅ signifikan) Selanjutnya adalah menghitung nilai GJ- KL dengan rumus sebagai berikut: V ∅
GJ- KL = WX(∅+
+)
2.32
di mana: V ∅
= Koefisien parameter ∅
((∅ ) = Standard Error koefisien parameter ∅ Nilai parameter dikatakan signifikan apabila nilaiNGJ- KL N > G MY)Z . Artinya, QR ditolak dan Q diterima. Sebaliknya, jika nilai NGJ- KL N < G MY)Z maka QR diterima dan Q ditolak. 3.
QR : ∅\ = 0 (nilai parameter ∅\ tidak signifikan) Q : ∅\ ≠ 0 (nilai parameter ∅\ signifikan) Selanjutnya adalah menghitung nilai GJ- KL dengan rumus sebagai berikut: V ∅
GJ- KL = WX(∅]
])
2.33
di mana: V\ ∅
= Koefisien parameter ∅\
( (∅\ ) = Standard Error koefisien parameter ∅\ Nilai parameter dikatakan signifikan apabila nilaiNGJ- KL N > G MY)Z . Artinya, QR ditolak dan Q diterima. Sebaliknya, jika nilaiNGJ- KL N < G MY)Z makaQR diterima dan Q ditolak. Setelah model ditemukan, maka parameter dari model harus diestimasi. Terdapat dua cara mendasarkan yang dapat digunakan untuk pendugaan terhadap parameter-parameter tersebut, yaitu: 1.
Trial and error yaitu dengan menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantaranya dengan syarat yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai galat (sum square of residuals)
Universitas Sumatera Utara
2.
Perbaikan secar iteratif yaitu dengan cara memilih taksiran awal dan kemudian membiarkan program komputer untuk memperhalus penaksiran tersebut secara iteratif.
Universitas Sumatera Utara