Bab 2 Landasan Teori
2.1 Jasa 2.1.1 Konsep dan Definisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009: 287) dinyatakan "Layan (kata dasar), Melayani adalah membantu, menyiapkan (mengurus) apa – apayang diperlukan seseorang." Lalu mendapatkan imbuhan ‘Pe-an’ menjadi kata ‘Pelayanan” yang memiliki arti bagaimana cara seseorang atau suatu institusi dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi customer. Pengertian ini menunjukan bahwa orientasi pelayanan secara implisit dalam bentuk adanya suatu kepentingan baik barang maupun jasa. Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra (2008: 8) menyatakan bahwa dalam konteks industri secara garis besar konsep service mengacu pada tiga lingkup definisi utama, yaitu industri, output atau penawaran dan sistem. Dalam konteks industri istilah jasa digunakan untuk menggambarkan berbagai sub-sektor dalam kategorisasi aktivitas ekonomi seperti transportasi, finansial, perdagangan ritel, personal services, kesehatan, pendidikan dan layanan publik. Jasa dipandang sebagai produk intangible yang outputnya lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik, meskipun dalam kenyataannya banyak pula jasa yang melibatkan produk fisik. Sebagai proses, jasa mencerminkan penyampaian jasa inti, interaksi personal, kinerja (performances) dalam arti luas (termasuk di dalamnya drama dan keterampilan) serta pengalaman layanan. Sementara itu Patterson & Walker (2011: 14) mengemukakan perspektif service sebagai sebuah sistem. Dalam perspektif ini setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri dari dua komponen utama yaitu operasi jasa dimana input diproses dan elemen-elemen produk jasa tersebut dirakit, dirampungkan dan disampaikan kepada pelanggan. Sebagian dari sistem ini tampak atau terlihat sedangkan bagian lainnya tidak terlihat oleh pelanggan. Philip Kotler dan Gary Armstrong (2012: 248) mendefinisikan jasa sebagai suatu bentuk produk yang terdiri dari aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang
ditawarkan untuk dijual yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Berdasarkan dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa jasa merupakan kinerja (performance), tidak berwujud dan lebih dapat dirasakan daripada dimiliki. Kondisi ini cepat ataupun lambat pertumbuhan jasa akan sangat bergantung pada penilaian pelanggan terhadap kinerja yang ditampilkan oleh produsen.
2.1.2 Klasifikasi Jasa Sejauh ini banyak pakar yang mengemukakan pendapatnya tentang skema klasifikasi jasa, dimana masing-masing ahli menggunakan dasar perbedaan yang disesuaikan dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Menurut Fandy Tjiptono dan Gregorious Chandra (2008: 13) klasifikasi jasa dapat dilihat berdasarkan tujuh kriteria pokok, diantaranya adalah sebagai berikut. a.
Segmen Pasar Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang ditujukan pada konsumen akhir (misalnya: taksi, asuransi jiwa, jasa tabungan dan pendidikan) dan jasa bagi konsumen organisasi (contohnya: biro periklanan. Jasa akuntansi, dan perpajakan, dan jasa konsultasi manajemen).
b. Tingkat keberwujudan •
Rented-goods services Dalam tipe ini konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu berdasarkan tarif yang disepakati selama jangka waktu spesifik, misalnya: penyewaan kendaraan, penyewaan DVD, penyewaan apartemen, penyewaan rumah, penyewaan kos-kosan, dan lain sebagainya.
•
Owned-goods services Dalam tipe ini suatu produk yang dimiliki konsumen, disepakati untuk dikembangkan, diperbaiki, dipelihara atau dirawat, dan ditingkatkan kinerjanya oleh institusi jasa. Misalnya: jasa reparasi (AC, arloji, motor, mobil, komputer, dan sebagainya).
•
Non-goods services Jasa pada tipe ini ditujukan pada jasa personal yang bersifat tidak nyata (intangible) yang ditawarkan kepada para pelanggan. 8
Misalnya: supir, dosen, penata rias, pemandu wisata, dan sebagainya. c.
Keterampilan Penyedia Jasa Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa terdapat dua tipe pokok jasa. Pertama, professional service seperti dosen, chef, konsultan manajemen, pengacara, dokter, arsitektur, dan lain-lain. Kedua, nonprofessional service seperti supir taksi, buruh pabrik, tukang parkir, pengantar surat, tukang sampah, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
d. Tujuan Organisasi Penyedia Jasa Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial service atau profit service, misalnya jasa penerbangan, bank, penyewa mobil, hotel, dan sebagainya. Kemudian non-profit service, misalnya sekolah, panti asuhan, perpustakaan, museum, dan lain-lain. e.
Regulasi Pada aspek regulasi jasa terbagi menjadi regulated service (contoh: jasa angkutan umum, media masa, perbankan, dan sebagainya), dan nonregulated service (contoh: jasa katering, kos, asrama, kantin sekolah, dan lain-lain).
f.
Tingkat Intensitas Karyawan Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu Equipment-Based Service (contohnya: cuci mobil otomatis, jasa sambungan telepon internasional dan lokal, ATM, dan lain-lain), dan People-Based Service (contohnya: pelatih sepak bola, satpam, akuntan, konsultan hukum, dokter, bidan, dan sebagainya).
g. Tingkat Kontak Penyedia Jasa dan Pelanggan Berdasarkan tingkat ini, secara umum jasa dapat dikelompokkan menjadi High-Contact Service (contohnya: universitas, bank, dokter, arsitek, penata rias, dan sebagainya). Dan Low-Contact Service (contohnya: bioskop, jasa layanan pos, jasa PLN, jasa komunikasi, dan sebagainya).
9
2.1.3 Karakteristik Jasa Berbagai riset dan literatur manajemen mengungkapkan bahwa jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dari produk fisik berupa barang dan berdampak pada peran strategik dalam setiap bisnis. Empat karakteristik jasa yang disebutkan oleh Philip Kotler dan Gary Armstrong (2012: 260)adalah sebagai berikut: a. Intangibility Jasa yang bersifat intangibility adalah jasa yang tidak bisa dilihat, dirasakan, didengar, maupun dicium sebelum dibeli dan dikonsumsi. Misalnya, orang yang akan melakukan operasi kecantikan tidak bisa melihat hasilnya sebelum ia dioperasi, penumpang pesawat tidak mendapatkan apa-apa selain tiket dan janji bahwa barang bagasi yang dibawa datang dengan selamat pada tujuan dan jam yang sama disaat penumpang tiba.
Pelanggan
inilah
yang menyimpulkan tentang
bagaimana kualitas dari tempat, orang, harga, peralatan, dan komunikasi yang mereka lihat tentang perusahaan tersebut. b. Inseparability Jasa yang bersifat inseparability adalah jasa yang diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan dan tidak bisa dipisahkan dari penyedia jasanya. Misalnya, praktek dokter, dokter gigi tersebut tidak dapat memproduksi jasanya tanpa kehadiran pasien. c.
Variability Karakteristik variability pada jasa adalah kualitas jasa tergantung pada siapa yang menyediakannya, kapan, dimana, dan bagaimana jasa tersebut diproduksi. Contohnya, hotel Marriots yang memiliki reputasi yang lebih baik dalam pelayanannya, karyawan resepsionis yang berada di counter ramah dan cepat pelayanannya, tetapi karyawan yang pengangkut barang (bell boy) terkesan tidak ramah dan lamban.
d. Perishability Karakteristik jasa ini menggambarkan bahwa jasa tidak bisa disimpan dan tidak bisa tahan lama untuk digunakan dan dijual diwaktu mendatang, dijual kembali atau dikembalikan. Misalnya, kursi pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau jam tertentu tanpa pasien ditempat
10
praktik dokter umum akan berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa disimpan.
2.2 Kualitas 2.2.1 Definisi Kualitas Menurut Philip Kotler dan Keller (2009: 143) American Society for Quality Control mendefinisikan kualitas sebagai totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Konsep lain tentang kualitas menurut Philip B. Crosby adalah conformance to requirement, yaitu kesesuaian dengan yang diisyaratkan atau distandarkan, yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness. Joseph M. Juranmengatakan bahwa kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaat penggunaan produk. Menurut W. Edward Deming, kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar sekarang dan masa yang akan datang. Menurut A. V Feigenbaum, kualitas merupakan kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction), sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen. Sedangkan konsep kualitas menurut Garvin dan Davis, kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia atau tenaga kerja, proses, dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Menurut Edvardsson, kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan. Yang menjadi fokus utamanya adalah customer utility(Fandy Tjiptono, 2008: 115). Dalam buku Service, Quality dan Satisfaction yang disusun oleh Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra (2008: 110) menyatakan tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas secara akurat namun umumnya kualitas dapat dirinci. Konsep kualitas sering kali dianggap sebagai ukuran relatif kesempurnaan atau kebaikan sebuah produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk sedangkan kualitas kesesuaian adalah ukuran seberapa besar tingkat kesesuaian antara sebuah produk/jasa dengan persyaratan atau spesifikasi kualitas yang ditetapkan sebelumnya.
11
Dalam buku Service, Quality dan Satisfaction yang disusun oleh Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra (2008: 113) mengutip hasil penelitian Garvin tentang perspektif kualitas yang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok yaitu: 1. Transcendal Approach Pengertian kualitas dalam pendekatan ini disebut juga sebagai innate exellence, yaitu sesuatu yang bisa dirasakan tetapi sulit untuk didefinisikan, dirumuskan atau dioperasionalisasikan. Perspektif ini menegaskan bahwa orang hanya bisa belajar dengan memahami kualitas melalui pengalaman yang didapatkan secara berulang kali (repeated exposure). Biasanya perspektif ini diterapkan dalam dunia seni misalnya seni musik, seni drama, seni tari, dan seni rupa. 2. Product Based Approach Mengasumsikan bahwa kualitas merupakan atribut objektif
yang
dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur yang dimiliki produk. Misalnya, atribut spesifik pada sepeda motor contohnya: harga, konsumsi BBM, kecepatan, ketersediaan fitur spesifik, ketersediaan pilihan warna sepeda motor, dan lain-lain. Kelemahan pada perspektif yang objektif ini adalah tidak bisa menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan bahkan segmen pasar tertentu. 3. User-Based Approach Suatu kualitas tergantung pada orang yang menilainya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif ini bersifat subyektif dan demand oriented. 4. Manufacturing-Based Approach Perspektif ini bersifat supply based dan lebih berfokus pada praktikpraktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian atau kecocokan dengan persyaratannya. 12
Dalam konteks bisnis jasa, kualitas berdasarkan perspektif ini cenderung bersifat operations driven. Lebih menekankan kepada penyesuaian spesifikasi produksi dan operasi yang disusun secara internal
yang
seringkali
disebabkan
oleh
keinginan
untuk
meningkatkan produktivitas dan menekan biaya. 5. Value-Based Approach Memandang
kualitas
dari
aspek
nilai
dan
harga.
Dengan
mempertimbangkan kinerja dengan harga maka kualitas dapat didefinisikan sebagai affordable excellence. Kualitas dalam perspektif ini masih bersifat relatif sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli. Beragamnya definisi kualitas yang dikemukakan oleh para ahli dan tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, namun dari definisidefinisi diatas terdapat beberapa kesamaan, yaitu sebagai berikut: •
Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
•
Kualitas berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan
•
Kualitas meliputi produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
•
Kualitas merupakan kondisi yang tidak tetap atau selalu berubah
2.2.2 Manfaat Kualitas Kualitas berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas juga memberikan dorongan khusus bagi para pelanggan untuk menjalin ikatan relasi yang saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Ikatan emosional ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan dan kebutuhan spesifik pelanggan. Kemudian perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dengan memaksimalkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimalkan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan (Tjiptono, 2008: 115). Menurut Crosby dalam buku Fandy Tjiptono (2008: 116), manfaat kualitas bagi perusahaan adalah kualitas dapat mengurangi biaya. Biaya untuk 13
mewujudkan produk berkualitas jauh lebih kecil dibandingkan biaya yang muncul jika perusahaan gagal memenuhi standar kualitas. Dengan mewujudkan proses dan produk berkualitas akan menghasilkan keunggulan kompetitif berupa peningkatan profitabilitas dan pertumbuhan bisnis. Jadi, perusahaan yang menawarkan produk/jasa yang berkualitas superior akan mampu mengalahkan pesaing yang kualitasnya lebih inferior. Manfaat yang bisa dirasakan ketika suatu perusahaan meningkatkan kualitas produk/jasa yang dihasilkan adalah: a. Loyalitas pelanggan lebih besar b. Pangsa pasar lebih besar c. Harga saham lebih tinggi d. Harga jual produk/jasa lebih tinggi e. Produktivitas lebih besar
2.3 Kualitas Jasa 2.3.1 Definisi Kualitas Jasa Lewis & Booms adalah pakar yang pertama kali mendefinisikan kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu menyesuaikan dengan ekspetasi pelanggan. Kualitas bisa diwujudkan melalui pemenuhan
kebutuhan
dan
keinginan
pelanggan
serta
ketepatan
penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2008: 121). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dirasakan/dipersepsikan (perceived service). Apabila jasa yang dirasakan sesuai dengan jasa yang diharapkan, maka kualitas jasa tersebut akan dipersepsikan dengan baik atau positif. Jika jasa yang dirasakan melebihi jasa yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan secara ideal. Dan sebaliknya kualitas jasa akan dipersepsikan dengan buruk atau negatif, apabila jasa yang dirasakan lebih jelek dibandingkan jasa yang diharapkan. Oleh sebab itu, baik atau tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten (Tjiptono, 2008: 121). 14
2.3.2 Dimensi Kualitas Jasa Melalui serangkaian penelitian Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (Tjiptono, 2008: 133) berhasil mengidentifikasikan sepuluh dimensi pokok kualitas jasa, yaitu: reliabilitas, daya tanggap, kompetensi, akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan memahami pelanggan, dan bukti fisik. Namun dalam riset selanjutnya, kesepuluh dimensi tersebut ditemukan adanya overlapping diantara beberapa dimensi diatas. Kemudian Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, meringkas kesepuluh dimensi tersebut menjadi lima dimensi pokok, yaitu: 1. Reliabilitas (Reliability) Kemampuan penyedia jasa untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati. 2. Daya Tanggap (Responsiveness) Berkaitan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespons permintaannya, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat. 3. Jaminan (Assurance) Perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Dalam hal ini perilaku karyawan yang dimaksud adalah dengan bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilannya dalam menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan. 4. Empati (Emphaty) Perusahaan memahami masalah pelanggan dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
15
5. Bukti Fisik (Tangibles) Meliputi daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawannya. 2.4 Kepuasan Pelanggan 2.4.1 Definisi Kepuasan Pelanggan Tjiptono dan Gregorius Chandra (2008: 195) dikatakan bahwa kepuasan pelanggan dimulai dari kata berbahasa Latin satis (artinya cukup baik, memadai) dan facio (melakukan atau membuat). Kepuasan pelanggan bisa di artikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2010: 287) mendeskripsikan kepuasan sebagai “The good feeling that you have when you achieved something or when something that wanted to happen does happen” ; “the act of fulfilling a need or desire”; dan “an acceptable way of dealing with a complain, a debt, an injury, etc” Suatu perasaaan yang dimiliki seseorang ketika mendapatkan sesuatu atau ketika sesuatu yang diinginkan benar-benar terwujud; suatu aksi pemenuhan kebutuhan; suatu cara yang dapat diterima dalam mengatasi keluhan, pinjaman dan kerusakan. Kotler & Armstrong (2012: 31) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan (customer satisfaction) tergantung pada produk/jasa yang ditawarkan dapat memberikan harapan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Pelanggan yang puas akan kembali lagi dan menceritakan pengalaman baiknya ke pelanggan lain. Sebaliknya, pelanggan yang tidak puas sering berpindah ke competitor lainnya dan meremehkan produk/jasa tersebut ke pelanggan lainnya. Apabila perusahaan memberikan harapan (expectations) terlalu rendah, mereka dapat dikatakan puas tetapi tidak bisa menarik pelanggan baru lainnya. Namun apabila perusahaan memberikan harapan (expectations) yang terlalu tinggi, maka mereka akan kecewa. 2.4.2 Harapan/Ekspetasi Pelanggan Dalam konteks kualitas produk barang maupun jasa dan kepuasan pelanggan, harapan pelanggan (customer expectation) memainkan peran penting sebagai standar perbandingan dalam mengevaluasi kualitas maupun kepuasan. Menurut Olsen & 16
Dover, harapan atau ekspektasi pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk barang maupun jasa, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut. Namun setiap konsumen memiliki beberapaekspektasi konsumsiyang berbeda. Selain itu, konsumen yangberbeda bisa juga menerapkan tipe ekspektasi yang berbeda untuk situasi yang berbeda pula (Tjiptono, 2008: 122). Santos & Boote mengklasifikasikan definisi ekspektasi ke dalam Sembilan kelompok yang disusun dalam sebuah hierarki ekspetasi, dari yang tertinggi hingga terendah (Tjiptono, 2008: 122) yaitu sebagai berikut: 1. Ideal Expectation Merupakan tingkat kinerja maksimal atau terbaik yang diharapkan dan dapat diterima dengan baik oleh konsumen. 2. Normative expectation Yaitu tingkat kinerja yang dirasakan konsumen seharusnya mereka dapatkan dari produk yang dikonsumsi. 3. Desired Expectation Yaitu tingkat kinerja yang diinginkan pelanggan dapat diberikan produk atau jasa tertentu. Dengan kata lain, desired expectation mencerminkan tingkat kinerja yang diinginkan atau diharapkan diterima pelanggan. 4. Predicted Expectation Tingkat kinerja yang diantisipasi atau diperkirakan konsumen yang akan diterimanya, berdasarkan semua informasi yang diketahuinya. 5. Deserved Expectation Merupakan evaluasi subyektif pelanggan terhadap pelayanan dari penyedia jasa. Apabila pelanggan mempersepsikan adanya ketidakadilan dalam transaksi pertukaran yang dilakukannya, maka ia akan cenderung tidak puas dan menilai kualitas jasa yang diterimanya buruk. 6. Adequate Expectation Yaitu tingkat ekspektasi batas bawah (lower level) dalam ambang batas kinerja produk atau jasa yang bisa diterima pelanggan. 17
7. Minimum Tolerable Expectation Tingkat kinerja terendah penyedia jasa yang bisa diterima atau ditolerir oleh pelanggan. 8. Intolerable Expectation Merupakan serangkaian ekspektasi menyangkut tingkat kinerja yang tidak bisa ditolerir dan diterima oleh pelanggan. Hal ini dikarenakan pengalaman pribadi pelanggan terhadap pelayanan penyedia jasa yang tidak memuaskan, sehingga pelanggan mempunyai memori yang buruk dan berharap tidak akan terulang lagi. 9. Worst imaginable expectation Merupakan skenario terburuk mengenai kinerja produk yang diketahui atau terbentuk melalui kontak media seperti review produk yang dilakukan oleh sejumlah pelanggan yang sudah mencoba produk tersebut dan berbagi pengalaman-pengalaman buruknya di sejumlah media seperti televisi, radio, koran, internet dan sebagainya. Diantara sembilan ekspektasi diatas, hanya predicted expectation yang paling banyak digunakan dalam literatur kualitas jasa dan kepuasan pelanggan. Oleh sebab itu, Santos & Boote mengkategorikan predicted expectation sebagai core expectation, sedangkan tingkat ekspektasi lainnya sebagai peripheral expectation. Hal ini tergantung pada pengalaman sendiri sebelumnya, pengalaman orang lain, atau frame of mind dan mood pelanggan selama transaksi (Tjiptono, 2008: 125). 2.4.3 Pengukuran Kepuasan Pelanggan Ada beberapa metode yang dapat penyedia jasa gunakan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya.Kotler mengidentifikasikan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu (Tjiptono, 2008: 210): 1. Sistem Keluhan dan Saran Perusahaan yang berorientasi pada pelanggan perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat dan keluhan mereka. Media yang digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan ditempat-tempat strategis yang mudah dijangkau atau sering dilewati pelanggan, dan menyediakan kartu 18
komentar serta saluran telepon khusus, saluran telepon bebas pulsa, website dan lain-lain. 2. Ghost Shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara memperkerjakan beberapa orang untuk berperan selayaknya seperti pelanggan atau pembeli potensial produk
perusahaan
dan
pesaing.
Lalu
ghost
shopper
tersebut
menyampaikan temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka saat pembelian. 3. Survei Kepuasan Pelanggan Biasanya penelitan mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telefon ataupun wawancara pribadi. Melalui survei perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan sekaligus memberikan tanda positif bahwa perusahaan memberikan perhatian terhadap pelanggannya. Pengukuran pelanggan menggunakan metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah sebagai berikut: •
Directly Reported Satisfaction Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti ungkapan “seberapa puas saudara terhadap pelayanan perusahaan tersebut”.
•
Derived Satisfaction Pernyataan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yaitu besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.
•
Problem Analysis Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran produk atau jasa dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan bagi perusahaan tersebut. 19
•
Importance Performance Analysis Dalam metode ini, responden diminta untuk menilai tingkat berbagai instrumen dari penawaran produk atau jasa suatu perusahaan berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu responden juga diminta menilai seberapa baik kinerja perusahaan dalam masingmasing instrumen tersebut.
4. Lost Customer Analysis Perusahaan berusaha menghubungi pelanggannya yang telah berhenti menggunakan produk atau jasanya dan yang beralih ke perusahaan lain. Yang diharapkan adalah memperoleh informasi penyebab terjadinya hal tersebut. 2.5 Metode Service Quality Metode ini merupakan suatu cara instrument untuk melakukan pengukuran kualitas jasa yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry yang dimulai pada tahun 1983 melalui serangkaian penelitian mereka terhadap beberapa sektor jasa seperti reparasi peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon interlokal, dan perbankan. Metode ini merupakan metode yang paling populer dan hingga kini banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur kepuasan pelanggan. Metode yang dikenal pula dengan istilah Gap Analysis Model ini berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada pendekatan diskonfirmasi. Pendekatan ini menegaskan bahwa bila kinerja meningkat lebih besar daripada harapan, maka persepsi terhadap kepuasan jasa akan positif dan sebaliknya. Metodeservqual (service quality) ini dikembangkan dengan maksud untuk membantu para manajer dalam menganalisis sumber masalah kualitas jasa dan memahami cara-cara memperbaiki kualitas jasa (Tjiptono, 2008: 145). Dalam metode servqual, kualitas jasa didefinisikan sebagai penilaian atau sikap global berkenaan dengan superioritas suatu jasa (Tjiptono, 2008: 145). Definisi pada tiga landasan konseptual utama, yakni:
20
1. Kualitas jasa lebih sulit dievaluasi konsumen daripada kualitas barang. 2. Persepsi terhadap kualitas jasa merupakan hasil dari perbandingan antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa. 3. Evaluasi kualitas tidak hanya dilakukan atas hasil jasa, namun juga mencakup evaluasi terhadap proses penyampaian jasa. 2.6 Kesenjangan (GAP) Kualitas Jasa Servqual yang ditemukan oleh pakar terkemuka kualitas jasa yaitu Parasuraman, Valarie A Zethamal dan Leonard L Berry pada tahun 1983. Kolaborasi ketiga pakar ini dimulai dari paper konseptual mereka berjudul “A conceptual model of service
quality and its implications for future
research”. Dalam paper tersebut, mereka memaparkan secara rinci lima gap kualitas jasa yang berpotensi menjadi sumber masalah kualitas jasa. (Tjiptono, 2008: 147). Dalam metode servqual ini terdapat lima gap utama yaitu: 1. Gap antara harapan pelanggan dengan persepsi manajemen (knowledge gap). Gap ini berarti bahwa pihak manajemen mempersepsikan ekspektasi pelanggan terhadap kualitas jasa secara tidak akurat. 2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa (standards gap). Gap ini menunjukkan bahwa spesifikasi kualitas jasa tidak konsisten dengan persepsi manajemen terhadap ekspektasi kualitas. Penyebabnya adalah tidak adanya standar kinerja yang jelas, kesalahan perencanaan atau prosedur perencanaan yang tidak memadai, manajemen perencanaan yang buruk, kurangnya penetapan tujuan yang jelas dalam organisasi, kurangnya dukungan dan komitmen manajemen puncak terhadap perencanaan kualitas jasa, kekurangan sumber daya, dan situasi permintaan yang berlebihan. 3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (delivery gap).
21
Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dalam proses produksi dan penyampaian jasa. 4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (communications gap). Gap ini berarti bahwa janji-janji yang disampaikan oleh penyedia jasa tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada para pelanggan. 5. Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap). Gap ini berarti bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa yang diharapkan. Gap ini bisa menimbulkan konsekuensi yang negatif. 2.7 Kerangka Pemikiran Dibawah ini merupakan gambar kerangka pemikiran dengan Kualitas Jasa (Y) adalah sebagai variabel terikat, dan dimensi-dimensi kualitas jasa sebagai variabel bebasnya (X), yaitu:
Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran (Sumber: Rancangan Penulis 2014)
22
23