29
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Pendahuluan Perencanaan produksi merupakan perencanaan tentang produk apa dan berapa yang akan diproduksi oleh perusahaan yang bersangkutan dalam satu periode yang akan datang. Perencanaan produksi merupakan bagian dari perencanaan
operasional
di
dalam
perusahaan.
Dalam
penyusunan
perencanaan produksi, hal yang perlu dipertimbangkan adalah adanya optimasi produksi sehingga akan dapat dicapai tingkat biaya yang paling rendah untuk pelaksanaan proses produksi tersebut. Persoalan dasar di dalam pengambilan keputusan manajerial adalah bagaimana melakukan keputusan terhadap berbagai alternatif yang ada sehingga diharapkan diperoleh konsekuensi resiko yang sekecil-kecilnya atau manfaat yang sebesarbesarnya. Dengan kata lain, langkah pengambilan keputusan harus dioptimasi sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil yang paling baik manfaatnya bagi si pengambil keputusan. Pendekatan metode kuantitatif untuk pengambilan keputusan dikenal sebagi teknik riset operasional (operation research).
30
Perencanaan produksi juga dapat didefinisikan sebagai proses untuk memproduksi barang-barang pada suatu periode tertentu sesuai dengan yang diramalkan atau dijadwalkan melalui pengorganisasian sumber daya seperti tenaga kerja, bahan baku, mesin dan peralatan lainnya. Perencanaan produksi menuntut penaksir atas permintaan produk atau jasa yang diharapkan akan disediakan perusahaan di masa yang akan datang.
2.2
Diagram Pareto Diagram ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli ekonomi dari Italia bernama Vilfredo Pareto (1848-1923). Diagram Pareto adalah alat statistik yang penggunaannya bertujuan untuk mengidentifikasi serangkaian masalah utama untuk kemudian ditentukan peringkat prioritas dari masalahmasalah tersebut sehingga dapat diketahui masalah-masalah yang sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu. Diagram Pareto menggunakan sebuah prinsip utama yang mengungkapkan bahwa delapan puluh persen dari permasalahan yang timbul diakibatkan oleh dua puluh persen dari penyebab-penyebab yang ada, sehingga dengan demikian, hanya dengan mengatasi sedikit penyebab, sebenarnya sebagian besar permasalahan telah terselesaikan (Montgomery, 2005). Prinsip Pareto adalah ”sedikit tetapi penting, banyak tetapi remeh”. Kegunaan dari diagram Pareto adalah: − Menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi.
31
− Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan yang ada dan kumulatif secara keseluruhan. − Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan koreksi dilakukan pada daerah yang terbatas. − Menunjukkan perbandingan masing-masing persoalan sebelum dan sesudah perbaikan. Langkah-langkah pembuatan diagram Pareto dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kelompokkan masalah yang ada dan nyatakan hal tersebut dalam rangka yang bisa terukur secara kuantitatif. 2. Atur masing-masing penyebab/masalah yang ada sesuai dengan pengelompokkan yang dibuat. Pengaturan dilaksanakan berurutan sesuai dengan besarnya nilai kuantitatif masing-masing. Selanjutnya gambarkan keadaan ini dalam bentuk grafik kolom. Penyebab nilai kuantitatif terkecil digambarkan paling kanan. 3. Buatlah
grafik
garis
secara
kumulatif
(berdasarkan
prosentase
penyimpangan) diatas grafik kolom ini. Diagram Pareto merupakan langkah awal (berdasarkan skala prioritas) untuk melakukan perbaikan atau tindakan koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi. Pareto diagram dapat diaplikasikan untuk proses perbaikan dalam berbagai macam aspek permasalahan.
Diagram Pareto ini seperti
32
halnya diagram sebab-akibat tidak saja efektif digunakan untuk usaha pengendalian kualitas suatu produk, akan tetapi juga bisa diaplikasikan untuk: o Mengatasi problem pencapaian efisiensi/produktivitas kerja yang lebih tinggi lagi. o Problem-problem keselamatan kerja (safety). o Penghematan/pengendalian material, energi. o Perbaikan sistem dan prosedur kerja.
2.3
Peramalan Peramalan adalah studi terhadap data historis untuk menemukan hubungan, kecenderungan dan pola yang sistematis, atau dengan kata lain peramalan adalah upaya memperkirakan nilai-nilai respon yang menjadi perhatian di masa depan. Secara garis besar peramalan dibedakan menjadi peramalan kuantitatif dan peramalan kualitatif. Hasil peramalan kualitatif didasarkan pada pengamatan kejadian-kejadian di masa sebelumnya yang digabungkan dengan intuisi maupun ketajaman perasaan si peramal dalam menghasilkan suatu informasi yang diperkirakan bakal terjadi di masa datang. Pada umumnya hasil peramalan kualitatif juga berbentuk informasi kualitatif, walaupun tidak selalu demikian. Sebaliknya peramalan kuantitatif mempergunakan data kuantitatif yang diperoleh dari pengamatan nilai-nilai sebelumnya dengan ditunjang beberapa informasi kuantitatif maupun kualitatif. Hasil peramalan
33
kuantitatif secara relatif lebih disukai karena memberikan pandangan yang lebih nyata dan lebih obyektif dalam besaran nilai hasil peramalannya. Peramalan kuantitatif dapat dibagi menjadi deret berkala dan metode kausal. Makridakis, Wheelwright dan McGee (1999) menjelaskan bahwa pada umumnya peramalan kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi berikut: 1. Tersedia informasi tentang masa lalu (data historis). 2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk numerik. 3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa mendatang.
2.3.1
Peranan Peramalan Semua organisasi telah menunjukkan keinginan yang meningkat untuk mendapatkan ramalan dan menggunakan sumber daya peramalan secara lebih baik. Komitmen tentang peramalan telah tumbuh karena beberapa faktor seperti: 1. Meningkatnya kompleksitas organisasi dan lingkungan; hal ini membuat pengambil keputusan semakin sulit untuk mempertimbangkan semua faktor secara memuaskan. 2. Meningkatkan ukuran organisasi, maka bobot dan kepentingan suatu keputusan telah meningkat pula; lebih banyak keputusan yang memerlukan telaah peramalan khusus dan analisa yang lengkap.
34
3.
Lingkungan dari kebanyakan organisasi telah berubah dengan cepat. Hubungan yang harus dimengerti oleh organisasi selalu berubah-ubah dan peramalan memungkinkan organisasi mempelajari hubungan yang baru secara lebih cepat.
4. Pengambilan keputusan telah semakin sistematis yang mencakup pembenaran tindakan individu secara eksplisit. Peramalan formal merupakan salah satu cara untuk mendukung tindakan yang akan diambil. 5. Pengembangan metode peramalan dan pengetahuan yang menyangkut aplikasinya telah lebih memungkinkan adanya penerapan secara langsung oleh para praktisi daripada dilakukan oleh teknisi ahli.
2.3.2
Pemilihan Teknik Peramalan Ada beberapa teknik peramalan untuk menggunakannya didasarkan pada kondisi data tertentu, berikut 3 pendekatan yang dapat dijadikan dasar dalam memilih teknik peramalan. 1. Pendekatan Otokorelasi Peramalan yang digunakan diorientasikan pada waktu yang akan datang didasarkan pengetahuan maupun peramalan pada waktu yang lalu. Secara Umum dapat dikemukakan sebagai berikut, yaitu trend, musiman, siklis dan iregular.
35
1) Pola trend Pola
trend
adalah
bila
data
permintaan
menunjukkan
pola
kecenderungan gerakan penurunan atau kenaikan jangka panjang misalnya data inflasi, perubahan teknologi, dan peningkatan produksi. Data yang kelihatannya berfluktuasi, apabila dilihat pada rentang waktu yang panjang akan dapat ditarik suatu garis maya. Garis putusputus tersebut itulah yang disebut garis trend. Bila data berpola trend, maka metode peramalan yang sesuai adalah metode regresi linier, exponential smoothing, atau double exponential smoothing. Metode regresi linier biasanya memberikan tingkat kesalahan yang lebih kecil. 2) Pola musiman Bila data yang terlihat berfluktuasi, namun fluktuasi tersebut akan terlihat berulang dalam suatu interval waktu tertentu, maka data tersebut berpola musiman. Disebut pola musiman karena permintaan ini biasanya dipengaruhi oleh musim, sehingga biasanya interval perulangan data ini adalah satu tahun. Sebagai contoh, penjualan payung dan jas hujan di musim hujan adalah lebih besar dibandingkan di musim kemarau. Contoh lain adalah permintaan baju hangat tentu sangat dipengaruhi oleh musim (semi, panas, gugur, dingin). Metode peramalan yang sesuai dengan pola musiman adalah metode winter (sangat sesuai), atau moving average, atau weight moving average.
36
3) Pola siklikal Pola siklikal adalah bila fluktuasi permintaan secara jangka panjang membentuk pola sinusoid atau gelombang atau siklus. Pola siklikal mirip dengan pola musiman. Pola musiman tidak harus berbentuk gelombang, bentuknya dapat bervariasi, namun waktunya akan berulang setiap tahun (umumnya). Pola siklikal bentuknya selalu mirip gelombang sinusoid. Untuk menentukan data berpola siklis tidaklah mudah. Jika pola musiman rentang waktu satu tahun dapat dijadikan pedoman, maka rentang waktu perulangan siklikal tidak tentu. Komponen ini sulit untuk diramalkan terkadang dalam praktek sering ditiadakan atau tidak dilakukan peramalan. Biasanya kondisi ini terjadi berhubungan dengan perekonomian yang kemungkinan tidak berulang seperti pada siklus produk yang bertahap-tahap berbeda dalam periode waktu yang berbeda pula, resesi dan depresi. Metode yang sesuai bila data berpola siklikal adalah metode moving average, weight moving average, dan eksponential smoothing. 4) Pola eratik/random Pola eratik (random) adalah bila fluktuasi data permintaan dalam jangka panjang tidak dapat digambarkan oleh ketiga pola lainnya. Fluktuasi permintaan bersifat acak atau tidak jelas. Tidak ada metode peramalan yang direkomendasikan untuk pola ini. Hanya saja, tingkat kemampuan seorang analis peramalan sangat menentukan dalam
37
pengambilan kesimpulan mengenai pola data. Seorang analis, untuk data yang sama mungkin menyimpulkan berpola random dan analis lainnya menyimpulkan musiman. Ketrampilan dan imajinasi analis peramalan memang merupakan faktor yang paling menentukan dalam pelaksanaan peramalan. Bisa jadi, pola data peramalan yang random ini ternyata mengikuti pola tertentu yang bukan seperti ketiga pola yang dijelaskan, untuk ini diperlukan metode khusus (mungkin subjektif untuk melakukan peramalan). 5) Pola horisontal (stationer) Terjadi jika nilai data berfluktuasi di sekitar rata-rata. Misalnya adalah penjualan suatu produk yang tidak meningkat atau menurun sepanjang horison waktu tertentu. 2. Pendekatan Ukuran Simpangan Peramalan Pemilihan teknik peramalan juga didasarkan pada error(e) yang merupakan selisih nilai data yang ada dengan nilai proyeksinya pada setiap periode peramalan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa semakin besar error berarti semakin besar selisih antara data historis yang ada (yang sesungguhnya) dengan nilai proyeksinya, sebaliknya semakin kecil error berarti semakin akurat peramalannya. Salah satu kriteria yang dapat digunakan dalam memilih metode peramalan terbaik adalah Mean Absolute Procentage of Error (MAPE). MAPE merupakan persentase rata-rata absolut dari kesalahan peramalan
38
dengan menghitung error absolut setiap periode yang dibagi dengan actual value. Teknik ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
⎛ ⎞ ei ⎜ ∑ x100 ⎟ ⎜ ⎟ ft ⎠ MAPE = ⎝ t Keterangan : t
= jumlah periode
ei = kesalahan pada periode ke-i Ft = nilai hasil peramalan pada periode t 3. Pendekatan Horison Waktu Metode time series adalah metode peramalan secara kuantitatif dengan menggunakan waktu sebagai dasar peramalan. Secara umum, permintaan pada masa yang akan datang dipengaruhi oleh waktu. Untuk membuat suatu peramalan diperlukan data historis (masa lalu) permintaan. Data inilah yang akan dianalisis dengan menggunakan parameter waktu sebagai dasar analisis. Digunakan untuk peramalan jangka pendek dan menengah. Data yang digunakan dalam analisa ini adalah data permintaan, data penjualan, data produksi, dan lain-lain. Metode-metode yang terdapat dalam metode time series, antara lain: 1. Metode Double Exponential Smoothing Satu Parameter Brown Double Exponential Smooting adalah metode yang bereaksi pada perubahan perilaku permintaan pada waktu terakhir (sekarang).
39
Metode peramalan ini akan merespon perubahan permintaan yang cepat. Metode ini berguna bila perubahannya adalah hasil dari perubahan aktual (seasonal pattern) daripada fluktuasi acak. Pada metode Brown hanya terdapat satu parameter saja dan estimasi nilai tren masih sangat sensitif sekali terhadap fluktuasi random. Dasar pemikiran dari pemulusan eksponensial linear brown adalah serupa dengan rata-rata bergerak linear. Persamaan yang dipakai adalah : Formulasi : S’t = α.X t + (1 − α).S t −1 S”t = α.S ' t + (1 − α).S" t −1 at = 2.S’t - S”t bt =
α (S ' t − S" t ) 1− α
Ft+m = at + bt.m Inisialisasi awal : S’t = S”t = X1 Keterangan : S’t = nilai pemulusan tunggal S”t = nilai pemulusan ganda Xt = data aktual ke-t at = nilai rata-rata yang disesuaikan untuk periode t bt = nilai kecenderungan α = nilai parameter
Ft+m = hasil peramalan
40
2. Metode Double Exponential Smoothing Dua Parameter Holt Pada metode Holt nilai trend tidak dimuluskan dengan pemulusan ganda secara langsung, tetapi proses pemulusan trend dilakukan dengan menggunakan parameter yang berbeda dengan parameter yang digunakan pada pemulusan data asli. Metode Holt memberikan banyak kefleksibelan dalam menseleksi komponen trend. Metode Holt secara matematis ditulis pada tiga persamaan berikut: Formulasi : St = α.X t + (1 − α)(S t −1 + b t −1 ) bt = γ (S t − S t −1 ) + (1 − γ ).b t −1 Ft+m = St + bt.m Inisialisasi :
S1 = X1 dan b1 = X 2 − X 1 Keterangan : St = nilai pemulusan tunggal Xt = data aktual ke-t bt = nilai pemulusan trend α, γ
= nilai parameter
Ft+m
= hasil peramalan
m = periode masa mendatang
41
3. Metode Triple Exponential Smoothing Tiga Parameter Winter Metode pemulusan winter (winter's Method) mencoba untuk memberikan hasil peramalan tanpa meperdulikan pola data yang terbentuk apakah bersifat stasioner atau mengandung faktor musiman, karena metode ini dilakukan dengan memberikan pemulusan untuk kedua faktor tersebut. Metode ini serupa dengan metode Holt dengan ditambah sebuah persamaan untuk mengatasi variasi musim sebagai berikut : St = α ×
xt + (1 − α) × (s t −1 + b t −1 ) i t −L
bt = δ + (s t − s t −1 ) + (1 − δ) b t −1 It = β ×
xt + (1 − β) × I t − L st
Ft+m = (s t + b t × m) I t − L + m Keterangan : St
= nilai pemulusan tunggal
bt
= nilai pemulusan trend
It
= nilai pemulusan musiman
α, δ, β = nilai parameter Ft+m = hasil peramalan L
= panjang musiman
m
= periode masa mendatang
42
Menurut Makridakis, Wheelwright dan McGee (1999), jika indeks musiman yang dipergunakan untuk inisialisasi nilai-nilai awal komponen musiman tidak tersedia maka nilai-nilai tersebut dapat ditaksir atau didekati dengan nilai-nilai berikut : x
=
L
xi
∑L r =1
b L +1 =
It =
xt x
( x L +1 − x 1 ) + ( x L + 2 − x 2 ) + ( x L +3 − x 3 ) 3L
dengan Xt adalah data aktual ke-t dan L adalah panjang musiman.
2.3.3
Prosedur Peramalan
Adapun prosedur peramalan permintaan dengan metode time series adalah sebagai berikut : 1. Tentukan pola data permintaan. Dilakukan dengan cara memplotkan data secara grafis dan menyimpulkan apakah data itu berpola trend, musiman, siklikal, atau eratik/random. 2. Mencoba beberapa metode time series yang sesuai dengan pola permintaan tersebut untuk melakukan peramalan. Metode yang dicoba semakin banyak semakin baik. Pada setiap metode, sebaiknya dilakukan pula peramalan dengan parameter yang berbeda. 3. Mengevaluasi tingkat kesalahan masing-masing metode yang telah dicoba. Tingkat kesalahan diukur dengan kriteria MAPE, atau lainnya. Sebaiknya
43
nilai tingkat kesalahan (MAPE) ini ditentukan dulu. Tidak ada ketentuan mengenai berapa tingkat kesalahan maksimal dalam peramalan. 4. Memilih metode peramalan terbaik diantara metode yang dicoba. Metode terbaik adalah metode yang memberikan tingkat kesalahan terkecil dibanding metode lainnya dan tingkat kesalahan tersebut di bawah batas tingkat kesaahan yang telah ditetapkan. 5. Melakukan peramalan permintaan dengan metode terbaik yang telah dipilih.
2.4
Pengukuran Waktu Dengan Metode Jam Henti
Pengukuran jam henti adalah pengukuran dengan cara mengamati dan mencatat lama waktu yang digunakan oleh operator dalam melakukan suatu elemen kerja dari mulai hingga selesai. Cara yang digunakan untuk mengukur elemen-elemen kerja dengan menggunakan metode jam henti yaitu pengukuran secara terus menerus (continuous timing). Berikut ini adalah secara garis besar hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pengukuran waktu kerja secara langsung dengan metode jam henti yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mendefinisikan pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan memberitahukan maksud dan tujuan pengukuran ini kepada supervisor dari pekerja yang akan diamati.
44
2. Mencatat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan seperti layout, karakteristik/ spesifikasi mesin atau peralatan kerja lain yang digunakan. 3. Membagi operasi kerja dalam elemen-elemen kerja. 4. Mengamati, mengukur, dan mencatat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk menyelesaikan elemen-elemen kerja tersebut. 5. Menetapkan jumlah siklus kerja yang harus diukur dan dicatat, Teliti apakah jumlah siklus kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi syarat atau tidak. 6. Menetapkan Rate of Performance dari operator saat melaksanakan aktifitas kerja yang diukur dan dicatat waktunya tersebut. Rate of Performance adalah nilai yang diberikan terhadap operator meliputi
kemampuan (skill), usaha (effort), kondisi (condition), dan konsistensi (consistency) yang ada. Rate of Performance ini ditetapkan untuk setiap elemen kerja yang ada dan hanya ditujukan untuk performance operator. 7. Menyesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performance kerja yang ditujukan oleh operator tersebut sehingga akhirnya diperoleh waktu kerja normal. 8. Menetapkan waktu longgar (Allowance time) guna memberikan fleksibilitas. Waktu longgar yang diberikan ini guna menghadapi kondisikondisi seperti kebutuhan personel yang bersifat pribadi, faktor kelelahan, keterlambatan material dan lain-lainnya.
45
9. Menetapkan waktu kerja baku (Standard time) yaitu jumlah total antara waktu normal dan waktu longgar. Pengukuran yang dilakukan terhadap suatu kerja bertujuan untuk menetapkan waktu baku. Waktu baku adalah waktu yang diperlukan oleh seorang pekerja yang memiliki kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan secara wajar suatu pekerjaan yang memiliki sistem kerja paling baik (Sutalaksana et al, 1979).
2.4.1
Penetapan Tujuan Pengukuran
Penetapan tujuan pengukuran ini terlebih dahulu diketahui dan ditetapkan ialah untuk mengetahui untuk apa hasil pengukuran digunakan. Dengan diketahui dan ditetapkannya tujuan pengukuran maka tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan hasil pengukuran yang diinginkan dapat disesuaikan dengan tujuan pengukuran.
2.4.2 Pengukuran Pendahuluan
Tujuan dari pengukuran pendahuluan ialah untuk mengetahui sasaran apa yang akan dicapai dalam pengukuran ini. Dalam pengukuran pendahuluan, hal-hal yang dilakukan ialah menganalisa proses produksi dan membagi operasi kerja ke dalam elemen-elemen kerja yang sedetail mungkin tetapi dengan syarat masih dapat diamati dan diukur, kemudian dilakukan pengukuran pendahuluan.
46
2.4.3
Uji Keseragaman Data
Uji keseragaman data ini perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum kita menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan waktu baku. Data-data yang diperoleh dalam suatu pengukuran kerja pasti memiliki suatu tingkat variabilitas tertentu. Tingkat variabilitas suatu data masih dapat diterima selama tidak melewati batas-batas yang telah ditetapkan, atau dapat dikatakan data berada dalam keadaan yang seragam. Suatu data yang berada di dalam batas kendali yang telah ditetapkan yaitu BKA (Batas Kendali Atas) dan BKB (Batas Kendali Bawah) dapat dikatakan berada dalam keadaan terkendali. Suatu data yang berada dalam keadaan tidak terkendali harus dibuang untuk kemudian dilakukan uji keseragaman kembali hingga tidak ada lagi data yang berada di luar BKA dan BKB. Rumus-rumus yang dipakai untuk menentukan BKA dan BKB adalah sebagai berikut: BKA = X + Z (s) dan BKB = X - Z (s) Keterangan: BKA = Batas Kendali Atas BKB = Batas Kendali Bawah
X
= Rata-rata waktu yang diukur
s
= Standar Deviasi
Z
= Konstanta tingkat keyakinan
47
2.4.4
Uji Kecukupan Data
Uji kecukupan data dilakukan untuk mengetahui apakah jumlah data yang diperoleh telah memenuhi jumlah pengamatan yang dibutuhkan dalam pengukuran sesuai dengan tingkat ketelitian yang diinginkan. Uji kecukupan data dilakukan untuk menentukan jumlah data yang dibutuhkan sesuai dengan ketelitian yang diinginkan. Data dikatakan cukup apabila N ’< N. Rumus yang dipakai untuk melakukan uji kecukupan data adalah sebagai berikut:
N’ =
⎡ k / s N X 2 − ( X )2 ∑ ∑ ⎢ ⎢ ∑X ⎢⎣
⎤ ⎥ ⎥ ⎥⎦
2
Keterangan: N
= Jumlah data pengamatan yang diperoleh
N’ = Jumlah data pengamatan yang diperlukan s
= Standar deviasi
k
= Tingkat ketelitian data
X = Rata-rata waktu yang diukur Jika jumlah data pengamatan yang diperlukan yang didapat dari uji kecukupan data lebih besar daripada jumlah data pengamatan yang diperoleh maka perlu dilakukan pengambilan data kembali hingga jumlah data pengamatan yang diperlukan lebih kecil atau sama dengan jumlah data pengamatan yang diperoleh (Sutalaksana et al, 1979).
48
2.4.5
Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan
Yang dicari dengan melakukan pengukuran-pengukuran ini adalah waktu yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena waktu penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnya maka harus diadakan
pengukuran-pengukuran.
Yang
ideal
tentunya
dilakukan
pengukuran-pengukuran yang sangat banyak, karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tetapi hal ini jelas tidak mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga, dan tentunya biaya. Namun sebaliknya jika tidak dilakukan beberapa kali pengukuran saja, dapat diduga hasilnya sangat kasar. Sehingga
yang
diperlukan
adalah
jumlah
pengukuran
yang
tidak
membebankan waktu, tenaga, biaya yang besar tetapi hasilnya tidak dapat dipercaya. Dengan tidak dilakukannya pengukuran yang banyak sekali ini, pengukuran akan kehilangan sebagian kepastian akan ketetapan/rata-rata waktu penyelesaian yang sebenarnya. Hal ini harus disadari oleh pengukur; tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya, yang seharusnya dicari). Tingkat keyakinan menunjukan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil
49
yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian dan dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh 10% dari rata-rata sebenarnya; dan kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Dengan lain perkataan jika pengukur sampai memperoleh ratarata pengukuran yang menyimpang lebih dari 10% seharusnya, hal ini dibolehkan terjadi hanya dengan kemungkinan 5% (=100%-95%). Berikut adalah konversi tingkat keyakinan dan tingkat ketelitian untuk mendapatkan nilai k/s pada uji kecukupan data : Tabel 2.1 Tingkat Keyakinan dan Tingkat Ketelitian Tingkat Keyakinan (k) 90% 95% 95% 99%
Tingkat Ketelitian (s) 10% 10% 5% 10%
k/s 16.5 20 40 30
2.4.6 Menghitung Waktu Baku.
Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seseorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Di sini sudah meliputi kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut.
50
Penghitungan waktu baku dilakukan dengan langkah-langkah: a. Menghitung waktu siklus rata-rata Waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu elemen pekerjaan operator. Waktu siklus adalah jumlah seluruh waktu pengamatan yang diamati dibagi dengan banyaknya pengamatan yang dilakukan. Ws = Σxi / N dengan : Ws = waktu siklus Σxi = jumlah seluruh waktu pengamatan N
= banyaknya pengamatan
b. Menghitung waktu normal Waktu normal adalah waktu yang dibutuhkan oleh operator secara wajar untuk bekerja, yaitu dengan kecepatan yang wajar dalam artian tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Cara untuk menormalkan waktu kerja yaitu dengan mengalikan waktu kerja yang diperoleh dari pengamatan dengan performance rating-nya. Waktu Normal = Waktu Siklus × (1 + penyesuaian) Faktor penyesuaian ini diperhitungkan jika operator dianggap bekerja dengan kecepatan yang tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar.
51
c. Menghitung waktu baku Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dengan tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, disini sudah meliputi kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan. Waktu Baku = Waktu Normal × (1 + % kelonggaran) Kelonggaran atau allowance diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya disamping waktu normal. Kelonggaran ini biasanya
diberikan
untuk
hal-hal
seperti
kebutuhan
pribadi,
menghilangkan rasa fatique, dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi yang tak dapat dihindarkan oleh pekerja.
2.4.7 Menentukan Performance Rating Performance rating adalah aktivitas untuk menilai atau mengevaluasi
kecepatan kerja operator. Dengan melakukan rating ini diharapkan waktu kerja yang diukur bisa ‘dinormalkan’ kembali. Guna melaksanakan pekerjaan secara normal maka dianggap bahwa operator tersebut cukup berpengalaman pada saat bekerja melaksanakannya tanpa usaha-usaha yang berlebihan sepanjang hari kerja, menguasai kerja yang ditetapkan, dan menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan pekerjaannya.
52
Metode yang akan digunakan dalam pengukuran performance rating adalah metode Westinghouse, dimana metode ini mempertimbangkan empat faktor dalam mengevaluasi performance rating operator, yaitu ketrampilan (skill), usaha (effort), kondisi kerja (condition), dan konsistensi (consistency). Ketrampilan
(skill)
didefinisikan
sebagai
kemampuan
untuk
melakukan kerja dengan metode yang telah ditetapkan, dan lebih lanjut akan berhubungan dengan pengalaman dalam melakukan pekerjaan tersebut. Untuk keperluan penetapan performance rating ketrampilan dibagi menjadi enam kelas yaitu Super Skill, Excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Untuk usaha (effort) didefinisikan sebagai hal yang menunjukkan kemampuan untuk bekerja secara efektif. Usaha ini dapat dilihat dengan kecepatan pada tingkat kemampuan yang dimiliki dan dapat dikendalikan pada tingkat yang tinggi oleh operator. Cara Westinghouse membagi juga atas kelas-kelas yaitu Excessive, Excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Kondisi kerja (condition) adalah kondisi fisik lingkungan kerja seperti keadaan pencahayaan, temperatur dan kebisingan ruangan. Kondisi kerja (condition) dibagi menjadi enam kelas yaitu Ideal, Excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Kondisi ideal adalah kondisi yang paling cocok untuk
pekerjaan yang bersangkutan. Sebaliknya kondisi poor adalah kondisi lingkungan yang tidak membantu jalannya pekerjaan bahkan sangat menghambat pencapaian performance yang baik.
53
Konsistensi (consistency) sebagai faktor performance rating juga terbagi menjadi menjadi enam kelas yaitu: Perfect, Excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Konsistensi perfect adalah waktu penyelesaian dari suatu
elemen pekerjaan yang boleh dikatakan tetap dari saat ke saat. Sebaliknya konsitensi poor terjadi bila waktu penyelesaian dari suatu elemen pekerjaan berselisih jauh dari rata-rata acak. Konsistensi rata- rata atau average adalah bila selisih antara waktu penyelesaian dari suatu elemen pekerjaan dengan rata-ratanya tidak besar walaupun ada satu dua yang letaknya jauh. Bagi setiap kelas dari faktor-faktor diatas terdapat ciri-ciri dari setiap kelas tersebut dan diberikan nilai-nilai dari setiap kelas tersebut untuk menghitung performance rating.
2.4.8 Menentukan Kelonggaran (Allowances)
Penetapan allowance diperlukan untuk mengantisipasi waktu di mana seorang operator dalam keadaan tidak bekerja. Pada kenyataannya operator akan sering menghentikan pekerjaannya dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk berbagai keperluan. Pada umumnya kelonggaran (allowances) meliputi tiga hal, yaitu: •
Istirahat untuk kebutuhan perorangan Ditujukan untuk kebutuhan yang bersifat pribadi (pergi ke WC). Untuk pria biasanya berkisar antara 0 – 2.5% dan untuk wanita antara 2 – 5%.
54
•
Kelelahan (fatique) Diberikan karena kelelahan fisik maupun mental setelah bekerja beberapa waktu. Faktor-faktor yang menyebabkan kelelahan diantaranya, kondisi kerja, sifat pekerjaan, kesehatan pekerja baik fisik dan mental.
•
Keterlambatan yang tidak terhindarkan (unavoidable delay) Diberikan untuk elemen-elemen usaha yang berhenti karena hal yang tidak dapat
dihindarkan,
seperti
interupsi
oleh
supervisor,
analisis,
ketidaktersediaan material, gangguan mesin, mengasah peralatan potong.
2.5
Riset Operasi
Persoalan dasar di dalam pengambilan keputusan manajerial adalah bagaimana melakukan keputusan terhadap berbagai alternatif yang ada sehingga diharapkan diperoleh konsekuensi resiko yang sekecil-kecilnya atau manfaat yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain, langkah pengambilan keputusan harus dioptimasi sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil yang paling baik manfaatnya bagi si pengambil keputusan. Pendekatan metode kuantitatif untuk pengambilan keputusan dikenal sebagai teknik riset operasional (operation research). Riset operasi berkenaan dengan pengambilan keputusan yang optimal, dan penyusunan model dari sistem-sistem baik yang deterministik maupun probabilistik yang berasal dari kehidupan nyata.
55
Dalam hal ini termasuk menentukan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada secara umum meliputi langkah-langkah : 1. Identifikasi masalah Identifikasi masalah terdiri dari : Penentuan dan perumusan tujuan yang jelas dari persoalan dalam sistem model yang dihadapi. Identifikasi perubah yang dipakai sebagai kriteria untuk pengambilan keputusan yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan. Kumpulkan data tentang kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap perubah-perubah dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari. 2. Penyusunan model Penyusunan model terdiri dari : Memilih model yang cocok dan sesuai dengan permasalahannya. Merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika. Menentukan perubah-perubah beserta kaitan-kaitannya satu sama lainnya. Tetapkan fungsi tujuan beserta kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan perameter yang jelas. 3. Analisa model. Analisa model terdiri dari tiga hal penting, yaitu : • Melakukan analisis terhadap model yang telah disusun dan dipilih.
56
• Memilih hasil-hasil analisis yang terbaik (optimal). • Melakukan uji kepekaan dan anlisis postoptimal terhadap hasil-hasil terhadap analisis model. 4. Pengesahan model. Analisis pengesahan model menyangkut penilaian terhadap model tersebut dengan cara mencocokannya dengan keadaan dan data yang nyata, juga dalam rangka menguji dan mengesahkan asumsi-asumsi yang membentuk model tersebut secara struktural (yaitu perubahnya, hubungan-hubungan fungsionalnya, dan lain-lain). 5. Implementasi hasil. Hasil-hasil yang diperoleh berupa nilai-nilai yang akan dipakai dalam kriteria pengambilan keputusan merupakan hasil-hasil analisis yang kiranya dapat dipakai dalam perumusan keputusan yang kiranya dapat dipakai dalam perumusan strategi-strategi, target-target, langkah-langkah kebijakan guna disajikan kepada pengambilan keputusan dalam bentuk alternatif-alternatif pilihan.
2.5.1
Linear Programming Linear programming (LP) mungkin merupakan salah satu teknik riset
operasi yang digunakan paling luas dan diketahui dengan baik. LP merupakan metode matematik dalam mengalokasikan sumber daya yang
57
langka untuk mencapai tujuan tunggal seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya, tetapi hanya terbatas pada masalah-masalah yang dapat diubah menjadi fungsi linier. Linear Programming memiliki empat ciri khusus yang melekat, yaitu :
1. Penyelesaian masalah mengarah pada pencapaian tujuan maksimisasi atau minimisasi 2. Kendala yang ada membatasi tingkat pencapaian tujuan 3. Ada beberapa alternatif penyelesaian 4. Hubungan matematis bersifat linear Secara teknis, ada lima syarat tambahan dari permasalahan linear programming yang harus diperhatikan yang merupakan asumsi dasar, yaitu:
1. Certainty (kepastian). Maksudnya adalah fungsi tujuan dan fungsi kendala sudah diketahui dengan pasti dan tidak berubah selama periode analisa. 2. Proportionality (proporsionalitas). Yaitu adanya proporsionalitas dalam fungsi tujuan dan fungsi kendala. 3. Additivity (penambahan). Artinya aktivitas total sama dengan penjumlahan aktivitas individu. 4. Divisibility (bisa dibagi-bagi). Maksudnya solusi tidak harus merupakan bilangan integer (bilangan bulat), tetapi bisa juga berupa pecahan.
58
5. Non-negative variable (variabel tidak negatif). Artinya bahwa semua nilai jawaban atau variabel tidak negatif.
Dalam menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan Linear Programming, ada dua pendekatan yang bisa digunakan, yaitu metode grafik
dan metode simpleks. Metode grafik hanya bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dimana variabel keputusan sama dengan dua. Sedangkan
metode
simpleks
bisa
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan dimana variabel keputusan dua atau lebih. Metode
grafik
hanya
bisa
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan dimana hanya terdapat dua variabel keputusan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memformulasikan permasalahan yang ada ke dalam bentuk Linear Programming (LP). Langkah-langkah dalam formulasi permasalahan adalah :
1. Identifikasi masalah 2. Tetapkan tujuan 3. Tentukan variabel yang tidak diketahui (variabel keputusan) dan nyatakan dalam simbol matematik. 4. Membentuk fungsi tujuan yang ditunjukkan sebagai suatu hubungan linier (bukan perkalian) dari variabel keputusan. 5. Menentukan
semua
kendala
(constraint)
masalah
tersebut
dan
mengekspresikan dalam persamaan atau pertidaksamaan yang juga
59
merupakan hubungan linier dari variabel keputusan yang mencerminkan keterbatasan sumber daya masalah. Pada dasarnya secara umum, persoalan program linier dapat dirumuskan dalam suatu model dasar sebagai berikut : Fungsi tujuan : Maksimumkan atau minimumkan : Z = C1X1 + C2X2 + C3X3 + … + CnXn Fungsi Pembatas : a11X1 + a12X2 + a13X3 + … + a1nXn < b1 a21X1 + a22X2 + a23X3 + … + a2nXn < b2 . . am1X1 + am2X2 + am3X3 + … + amnXn < bm X1, X2, X3, … , Xn > Keterangan: m : macam-macam batasan sumber daya n : macam-macam kegiatan yang menggunakan sumber daya i
: nomor untuk sumber daya (i = 1, 2, 3, …, m)
j
: nomor untuk aktivitas/variabel keputusan (j = 1, 2, 3, …, n)
xj : banyaknya aktivitas j, di mana j = 1,2, …, n. Berarti terdapat n variabel keputusan. Z : nilai fungsi tujuan.
60
Cj : sumbangan per unit kegiatan j; untuk masalah maksimasi cj menunjukkan keuntungan atau penerimaan per unit, sementara dalam kasus minimasi cj menunjukkan biaya per unit. bi
: jumlah sumber daya i (i = 1,2,…, m), berarti terdapat m jenis sumber daya.
aij : banyaknya sumber daya i yang dikonsumsi sumber daya j.
2.5.2
Metode Simpleks
Metode grafik tidak dapat menyelesaikan persoalan linear program yang memilki variabel keputusan yang cukup besar atau lebih dari dua, maka untuk menyelesaikannya digunakan Metode Simpleks. Salah satu teknik penentuan solusi optimal yang digunakan dalam pemrograman linier adalah metode simpleks. Penentuan solusi optimal menggunakan metode simpleks didasarkan pada teknik eleminasi Gauss Jordan. Penentuan solusi optimal dilakukan dengan memeriksa titik ekstrim
satu per satu dengan cara perhitungan iteratif. Sehingga penentuan solusi optimal dengan simpleks dilakukan tahap demi tahap yang disebut dengan iterasi. Iterasi ke-i hanya tergantung dari iterasi sebelumnya (i-1). Ada beberapa istilah yang sangat sering digunakan dalam metode simpleks, diantaranya : a. Iterasi adalah tahapan perhitungan dimana nilai dalam perhitungan itu tergantung dari nilai tabel sebelumnya.
61
b. Variabel non basis adalah variabel yang nilainya diatur menjadi nol pada sembarang iterasi. Dalam terminologi umum, jumlah variabel non basis selalu sama dengan derajat bebas dalam sistem persamaan. c. Variabel basis merupakan variabel yang nilainya bukan nol pada sembarang iterasi. Pada solusi awal, variabel basis merupakan variabel slack (jika fungsi kendala merupakan pertidaksamaan ≤ ) atau variabel
buatan (jika fungsi kendala menggunakan
pertidaksamaan ≥ atau =).
Secara umum, jumlah variabel basis selalu sama dengan jumlah fungsi pembatas (tanpa fungsi non negatif). d. Solusi atau nilai kanan merupakan nilai sumber daya pembatas yang masih tersedia. Pada solusi awal, nilai kanan atau solusi sama dengan jumlah sumber daya pembatas awal yang ada, karena aktivitas belum dilaksanakan. e. Variabel slack adalah variabel yang ditambahkan ke model matematik kendala untuk mengkonversikan pertidaksamaan ≤ menjadi persamaan (=). Penambahan variabel ini terjadi pada tahap inisialisasi. Pada solusi awal, variabel slack akan berfungsi sebagai variabel basis. f. Variabel surplus adalah variabel yang dikurangkan dari model matematik kendala untuk mengkonversikan pertidaksamaan ≥ menjadi persamaan (=). Penambahan ini terjadi pada tahap inisialisasi. Pada solusi awal, variabel surplus tidak dapat berfungsi sebagai variabel basis.
62
g. Variabel buatan adalah variabel yang ditambahkan ke model matematik kendala dengan bentuk ≥ atau = untuk difungsikan sebagai variabel basis awal. Penambahan variabel ini terjadi pada tahap inisialisasi. Variabel ini harus bernilai 0 pada solusi optimal, karena kenyataannya variabel ini tidak ada. Variabel hanya ada di atas kertas. h. Kolom pivot (kolom kerja) adalah kolom yang memuat variabel masuk. Koefisien pada kolom ini akan menjadi pembagi nilai kanan untuk menentukan baris pivot (baris kerja). i. Baris pivot (baris kerja) adalah salah satu baris dari antara variabel basis yang memuat variabel keluar. j. Elemen pivot (elemen kerja) adalah elemen yang terletak pada perpotongan kolom dan baris pivot. Elemen pivot akan menjadi dasar perhitungan untuk tabel simpleks berikutnya. k. Variabel masuk adalah variabel yang terpilih untuk menjadi variabel basis pada iterasi berikutnya. Variabel masuk dipilih satu dari antara variabel non basis pada setiap iterasi. Variabel ini pada iterasi berikutnya akan bernilai positif. l. Variabel keluar adalah variabel yang keluar dari variabel basis pada iterasi berikutnya dan digantikan oleh variabel masuk. Variabel keluar dipilih satu dari antara variabel basis pada setiap iterasi. Variabel ini pada iterasi berikutnya akan bernilai nol.
63
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan, antara lain: 1. Nilai kanan (RHS) fungsi tujuan harus nol (0). 2. Nilai kanan (RHS) fungsi kendala harus positif. Apabila negatif, nilai tersebut harus dikalikan –1. 3. Fungsi kendala dengan tanda “≤” harus diubah ke bentuk “=” dengan menambahkan variabel slack/surplus. Variabel slack/surplus disebut juga variabel dasar. 4. Fungsi kendala dengan tanda “≥” diubah ke bentuk “≤” dengan cara mengalikan dengan –1, lalu diubah ke bentuk persamaan dengan ditambahkan variabel slack. Kemudian karena RHS-nya negatif, dikalikan lagi dengan –1 dan ditambah artificial variabel (M). 5. Fungsi kendala dengan tanda “=” harus ditambah artificial variabel (M). Untuk
menyelesaikan
persoalan
pemrograman
linier
dengan
menggunakan metoda simpleks, lakukanlah langkah-langkah sebagai berikut : 1. Konversikan formulasi persoalan ke dalam bentuk standar. Sebelum melakukan perhitungan iteratif untuk menentukan solusi optimal, pertama sekali bentuk umum pemrograman linier dirubah ke dalam bentuk baku terlebih dahulu. Bentuk baku dalam metode simpleks tidak hanya mengubah persamaan kendala ke dalam bentuk sama dengan, tetapi setiap fungsi kendala harus diwakili oleh satu variabel basis awal. Variabel basis awal menunjukkan status sumber daya pada kondisi sebelum ada aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, variabel keputusan semuanya masih
64
bernilai nol. Dengan demikian, meskipun fungsi kendala pada bentuk umum pemrograman linier sudah dalam bentuk persamaan, fungsi kendala tersebut masih harus tetap berubah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat bentuk baku, yaitu : a. Fungsi kendala dengan pertidaksamaan ≤ dalam bentuk umum, dirubah menjadi persamaan (=) dengan menambahkan satu variabel slack.
b. Fungsi kendala dengan pertidaksamaan ≥ dalam bentuk umum, dirubah menjadi persamaan (=) dengan mengurangkan satu variabel surplus.
c. Fungsi kendala dengan persamaan dalam bentuk umum, ditambahkan satu artificial variabel (variabel buatan). 2. Cari solusi basis fisibel (BFS) 3. Jika seluruh variabel non basis mempunyai koefisien non negatif (artinya berharga positif atau nol) pada baris fungsi tujuan (baris persamaan z) maka solusi basis fisibel sudah optimal dan iterasi selesai.
2.5.3
Linear Goal Programming
Masalah keputusan banyak kriteria –masalah yang melibatkan tidak hanya satu tetapi beberapa fungsi tujuan– merupakan topik menarik dalam Operations Research. Ada dua alasan utama perkembangan ini. Pertama,
anggota-anggota masyarakat bisnis makin menyadari kerugian dalam
65
memusatkan pada tujuan tunggal, seperti maksimasi keuntungan (minimasi biaya). Pengerjaan tujuan tunggal itu sering memiliki pengaruh buruk pada tujuan-tujuan lain seperti modernisasi fasilitas produksi, peningkatan keselamatan kerja, atau pengendalian polusi. Kedua, bila saja masyarakat bisnis tidak peduli terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup; peraturan pemerintah, lembaga konsumen, dan serikat buruh makin keras menuntut bahwa dalam proses pengambilan keputusan hendaknya dunia usaha memperhatikan masalah-masalah seperti pengawasan polusi, keselamatan pekerja dan konsumen, dan kesempatan kerja yang merata. Menyadari keperluan untuk mengikutsertakan aneka ragam tujuan dalam proses pengambilan keputusan adalah jauh lebih mudah dibandingkan menjalankannya. Ada dua hambatan utama untuk menemukan solusi suatu masalah keputusan banyak kriteria. Pertama, benturan diantara tujuan-tujuan. Dua tujuan dikatakan terbentur jika perbaikan tujuan yang satu memiliki pengaruh buruk pada tujuan yang lain. Kedua, tujuan-tujuan tidak dapat dibandingkan. Dua tujuan dikatakan tidak sebanding jika mereka diukur dalam satuan yang berbeda. Dengan Linear Goal Programming kita dapat mengatasi masalah keputusan banyak kriteria, dengan kemungkinan adanya tujuan-tujuan yang saling terbentur dan tidak dapat dibandingkan.
66
2.5.3.1 Konsep-konsep Dasar dan Unsur-unsur Linear Goal Programming Linear Goal Programming (LGP) merupakan pengembangan Linear Programming (LP). LGP diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal
tahun 60an. Teknik ini disempurnakan dan diperluas oleh Injiri pada pertengahan tahun 60an, dan penjelasan yang lengkap dengan beberapa aplikasi dikembangkan oleh Ignizio dan Lee pada tahun 70an. Perbedaaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Dalam LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan apakah satu atau beberapa digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal constraint), memasukan suatu variabel simpangan (deviational variable) dalam kendala itu untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan itu dicapai, dan menggabungkan variabel simpangan dalam fungsi tujuan. Dalam LP tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi, sementara dalam LGP tujuannya adalah meminimumkan peyimpanganpeyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimasi. Karena
penyimpangan-penyimpangan
dari
tujuan-tujuan
itu
diminimumkan, sebuah model LGP dapat menangani aneka ragam tujuan dengan dimensi atau satuan ukuran yang berbeda. Tujuan-tujuan yang saling bentrok juga dapat diselesaikan. Jika terdapat banyak tujuan, prioritas atau urutan ordinalnya dapat ditentukan, dan proses penyelesaian LGP itu akan
67
berjalan sedemikian rupa sehingga tujuan dengan prioritas lebih rendah. Jika LP berusaha mengindentifikasi solusi optimum dari suatu himpunan solusi layak, LGP mencari titik yang paling memuaskan dari sebuah persoalan dengan beberapa tujuan – sekali lagi LGP ingin meminimumkan penyimpangan-peyimpangan dari tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan hierarki prioritas. a. Terminologi Linear Goal Programming Berikut ini adalah definisi dari beberapa istilah dan lambang yang biasa digunakan dalam Linear Goal Programming : o Decision variables
Seperangkat variabel yang tak diketahui (dalam model LGP dilambangkan dengan xj, dimana j=1.2…..n) yang akan dicari nilainya. (Variabel keputusan). o Right hand side values (RHS)
Nilai-nilai yang biasanya menunjukkan ketersediaan sumber daya (dilambangkan dengan bi) yang akan ditentukan kekurangan atau kelebihan penggunaannya. (Nilai sisi kanan). o Goal
Keinginan untuk meminimumkan angka peyimpangan dari suatu nilai RHS pada suatu goal constraint tertentu. (Tujuan).
68
o Goal Constraint
Sinonim dari istilah goal equation, yaitu suatu tujuan yang diekspresikan dalam persamaan metematik dengan memasukkan variabel simpangan. (Kendala tujuan). o Preemtive priority factor
Suatu sistem urutan (yang dilambangkan dengan Pk, dimana k = 1.2….,k dan k menunjukkan bayaknya tujuan dalam model) yang memungkinkan tujuan-tujuan disusun secara ordinal dalam model LGP. Sistem urutan itu menempatkan tujuan-tujuan dalam susunan dengan hubungan seperti berikut: P1>P2>>>Pk P1 merupakan tujuan paling penting. P2 merupakan tujuan yang kurang penting dan seterusnya. o Deviational variables
Variabel-variabel yang menunjukkan kemungkinan peyimpangan negatif dari suatu nilai RHS kendala tujuan (dalam model LGP dilambangkan dengan di-, dimana I = 1,2,…,m dan m adalah banyaknya kendala tujuan dalam model) atau peyimpangan positif dari suatu nilai RHS (dilambangkan dengan di+. variabel-variabel ini serupa dengan variabel slack dalam LP. (Variabel simpangan).
69
o Differential weight
Timbangan matematik yang diekspresikan dengan angka kardinal (dilambangkan dengan wki dimana k=1,2,…,k ; i=1,2,…,m) dan digunakan untuk membedakan variabel simpangan i didalam suatu tingkat prioritas k. (bobot). o Technological coefficient
Nilai-nilai numerik (dilambangkan dengan aij) yang menunjukkan penggunaan nilai bi per unit untuk menciptakan xj. (koefisien teknologi). b. Unsur-unsur Linear Goal Programming Setiap model LGP paling sedikit terdiri dari tiga komponen, yaitu sebuah fungsi tujuan, kendala-kendala tujuan, dan kendala non negatif. ¾ Fungsi Tujuan
Ada tiga jenis fungsi tujuan dalam Linear Goal Programming, yaitu: m
Minimumkan Z = ∑ d i- + d i+ i =1
m
Minimumkan Z = ∑ Pk (d i- + d i+ ) untuk k = 1, 2, …, k i =1
m
Minimumkan Z = ∑ w ki Pk (d i- + d i+ ) untuk k = 1, 2, …, k i =1
Fungsi tujuan yang pertama digunakan jika variabel simpangan dalam suatu masalah tidak dibedakan menurut prioritas atau bobot. Fungsi tujuan kedua digunakan dalam suatu masalah dimana urutan
70
tujuan-tujuan diperlukan, tetapi variabel simpangan di dalam setiap tingkat prioritas memiliki kepentingan yang sama. Dalam fungsi tujuan ketiga, tujuan-tujuan diurutkan dan variabel simpangan pada setiap tingkat prioritas dibedakan dengan menggunakan bobot yang berlainan wki.. Jadi fungsi tujuan yang akan digunakan tergantung pada situasi masalahnya. Perlu
diperhatikan
bahwa
dalam
model
Linear
Goal
Programming tidak ditemukan variabel keputusan pada fungsi tujuan.
kita
masih
mencari,
seperti
yang
dilakukan
model
Linear
Programming, nilai xj yang tak diketahui, tetapi akan melakukannya
secara tidak langsung melalui minimasi simpangan negatif dan positif dari nilai RHS kendala tujuan. Linear Programming mencari nilai solusi xj secara langsung melalui minimasi peyimpangan-peyimpangan dari nilai RHSnya. ¾ Kendala Tujuan
Ada enam jenis kendala tujuan yang berlainan. Maksud setiap jenis kendala itu ditentukan oleh hubungannya dengan fungsi tujuan. Pada Tabel 2.2 disajikan keenam jenis kendala itu. Terlihat bahwa setiap jenis kendala tujuan harus punya satu atau dua variabel simpangan yang ditempatkan pada fungsi tujuan. Dimungkinkan adanya kendala-kendala yang tidak memiliki variabel simpangan. Kendala-kendala ini sama seperti kendala-kendala persamaan linier.
71
Tabel 2.2 Jenis-jenis Kendala Tujuan Variabel Simpangan
Kemungkinan
Penggunaan Nilai
Fungsi Tujuan
Simpangan
RHS yang Diinginkan
aijxj + di- = bi
di-
negatif
= bi
aijxj - di- = bi
di+
positif
= bi
aijxj + di- - di+ = bi
di-
neg dan pos
bi atau lebih
aijxj + di- - di+ = bi
di-
neg dan pos
bi atau kurang
aijxj + di- - di+ = bi
di- dan di+
neg dan pos
= bi
aijxj - di- = bi
di+ (artf.)
tidak ada
pas = bi
Kendala Tujuan
¾ Kendala Non-Negatif
Seperti dalam LP, variabel-variabel model LGP biasanya bernilai lebih besar atau sama dengan nol. Semua model LGP terdiri dari variabel simpangan dan variabel keputusan, sehingga pernyataan non negatif dilambangkan sebagai xj, di-, di+ ≥ 0 ¾ Kendala Struktural
Disamping ketiga komponen yang telah disebutkan itu, dalam model LGP kadang-kadang terdapat komponen lain, yaitu kendala struktural artinya kendala-kendala lingkungan yang tidak berhubungan langsung dengan tujuan-tujuan masalah yang dipelajari. Variabel simpangan tidak dimasukkan dalam kendala ini, karena itu kendala ini tidak diikutsertakan dalam fungsi tujuan.
72
2.5.3.2 Asumsi Model Linear Goal Programming
Sebelum merumuskan model, perlu diketahui bahwa model LGP memerlukan sejumlah asumsi. Jika dalam membuat model dari suatu masalah tertentu asumsi-asumsi itu tak dapat dipenuhi, maka LGP bukan merupakan model yang cocok untuk masalah yang sedang dipelajari. Jadi asumsi model membatasi penerapan LGP. Asumsi-asumsi dalam LGP : ¾ Additivitas dan Linieritas
Diasumsikan bahwa proporsi penggunaan bi yang ditentukan oleh aij harus tetap benar tanpa memperhatikan nilai solusi xj yang dihasilkan. Artinya, LHS dari kendala tujuan harus sama dengan nilai RHS. ¾ Divisibilitas
Diasumsikan bahwa nilai-nilai xj, di-, dan di+ yang dihasilkan dapat dipecah. Artinya, kita dapat meyelesaikan jumlah pecahan nilai xj dan menggunakan jumlah pecah sumber daya dalam solusi itu. Asumsi ini tidak membatasi penggunaan model LGP, karena prosedur solusi Goal Programming yang lain, yaitu Integer Goal Programming, dapat mencari
solusi integer. ¾ Terbatas
Diasumsikan bahwa nilai-nilai xj, di-, dan di+ yang dihasilkan harus terbatas. Artinya, kita tidak dapat memiliki nilai variabel keputusan, sumber daya, atau peyimpangan tujuan yang tak terbatas. Segalanya dalam dunia ini terbatas.
73
¾ Kepastian dan periode waktu statis
Diasumsikan bahwa parameter model LGP seperti aij, bi, Pk, dan wki diketahui dengan pasti dan mereka akan tetap statis selama periode perencanaan dimana hasil model digunakan.
2.5.3.3 Prosedur Perumusan Linear Goal Programming
Langkah-langkah perumusan Linear Goal Programming meliputi beberapa tahap: 1. Tentukan variabel keputusan. Disini kuncinya adalah menyatakan dengan jelas variabel keputusan yang tak diketahui. Makin tepat definisi akan makin mudah pekerjaan permodelan yang lain. 2. Nyatakan sistem kendala. Kuncinya pertama adalah menentukan nilainilai sisi kanan dan kemudian menentukan koefisien teknologi yang cocok dan variabel keputusan yang diikut sertakan dalam kendala. Juga perhatikan jenis penyimpangan yang diperbolehkan dari nilai RHS. Jika penyimpangan diperbolehkan dalam dua arah, tempatkan dua variabel simpangan pada kendala itu. Jika penyimpangan hanya diperbolehkan pada satu arah, tempatkan hanya satu variabel simpangan yang tepat pada kendala yang bersangkuutan. 3. Tentukan prioritas utama. Kuncinya disini adalah membuat urutan tujuantujuan. Biasanya urutan tujuan merupakan urutan preferensi individu. Jika
74
persoalannya tidak memilki urutan tujuan, lewati langkah ini dan kemudian kelangkah berikutnya. 4. Menentukan bobot. Disini kuncinya adalah membuat urutan di dalam suatu tujuan tertentu. Jika tidak diperlukan lewati langkah ini. 5. Nyatakan fungsi tujuan. Disini kuncinya adalah memilih variabel simpangan yang benar untuk dimasukkan dalam fungsi tujuan. Gunakan Tabel 2.2 untuk meyakinkan penggunaan nilai RHS yang diinginkan adalah konsisten dengan keperluan persoalan. Kedua, tambahkan prioritas dan bobot yang tepat jika diperlukan. 6. Nyatakan Keperluan non-negatif. Langkah ini merupakan bagian resmi dari perumusan masalah LGP.
2.5.3.4 Perumusan Masalah Linear Goal Programming
Untuk membantu bagaimana merumuskan masalah Linear Goal Programming berikut ini disajikan persoalan-persoalan dan formulasinya.
a. Model Tujuan Tunggal Berikut akan dijabarkan persoalan dengan tujuan tunggal agar dapat memperjelas hubungan Linear Goal Programming - Linear Programming. Contoh : sebuah perusahaan menghasilkan dua barang, yaitu barang 1 dan barang 2. Masing-masing barang memerlukan waktu untuk ditangani dalam dua bagian, yaitu bagian 1 dan bagian 2. Barang 1 membutuhkan 20 jam di bagian 1 dan 10 jam di bagian 2. Barang 2 membutuhkan 10 jam di
75
bagian 1 dan 10 jam di bagian 2. Bagian 1 memiliki keterbatasan waktu sampai 60 jam dan bagian 2 sampai 40 jam. Sumbangan keuntungan barang 1 sebesar 40 dan barang 2 sebanyak 80. Tujuan pemilik adalah memaksimumkan keuntungan. Perumusan Linear Programming masalah itu adalah: Maksimumkan
Z = 40x1 + 80x2
dengan syarat
20x1 + 10x2 ≤ 60 10x1 + 10x2 ≤ 40 x1, x2 ≥ 0
dimana x1 : banyaknya barang 1 yang diproduksi x2 : banyaknya barang 2 yang diproduksi Solusi optimum masalah itu melalui metode simplex adalah x1 = 0, x2 =4, dan Z = 320. Bagian 1 masih menyisakan waktu s1 = 20 jam dan bagian 2 bekerja penuh, s2 = 0. Perumusan Linear Goal Programming masalah itu (karena tujuannya maksimasi keuntungan, kita tetapkan secara sembarang target keuntungan, misalnya 1000) adalah: Minimumkan
Z = d-
dengan syarat
20x1 + 10x2 ≤ 60 10x1 + 10x2 ≤ 40 40x1 + 80x2 + d- - d+ = 1000 x1, x2, d-, d+ ≥ 0
76
Perbedaan antara model Linear Programming dengan Linear Goal Programming terletak pada fungsi tujuannya, dimana dalam LGP
digunakan variabel simpangan dan ditambahkan persamaan 40x1 + 80x2 + d- - d+=1000. Persamaan itu tampak seperti kendala, tetapi sesungguhnya merupakan persamaan tujuan untuk model itu, dalam kasus ini tujuan keuntungan. Dua variabel non negatif d- dan d+ adalah variabel simpangan untuk tujuan. Mereka menunjukkan berapa banyak kekurangan (d-) atau kelebihan (d+) dari target keuntungan sebesar 1000. Meskipun pada sebagian besar aplikasi d- dan d+ akan tampak pada sebuah persamaan tujuan, paling banyak hanya satu dari dua variabel itu yang memiliki nilai positif dalm setiap solusi. Dengan kata lain, adalah tidak mungkin pada saat yang sama terjadi kekurangan dan kelebihan target keuntungan. Jika nilai target dicapai secara pas, kedua variabel simpangan akan bernilai nol. Jika tujuan tak dapat dicapai, salah satu variabel simpangan akan bernilai nol. Karena tujuan masalah ini adalah maksimasi keuntungan, fungsi tujuan masalah LGP hanya mengandung sebuah variabel simpangan. Fungsi tujuan yang nampak pada model LP ditulis sebagai sebuah kendala tujuan. Hanya variabel simpangan yang berkaitan dengan tujuan tampak pada fungsi tujuan. Untuk kasus ini hanya variabel simpangan d- yang dimasukkan. Ini berdasar pada tujuan dalam bentuk LGP, yaitu meminimkan kekurangan target keuntungan. Dan karena kekurangan itu
77
tak diinginkan, kita akan menekan d- mendekati nol. Jika kelebihan nilai target merupakan hal yang tak diinginkan (seperti waktu lembur, polusi, dan lain-lain), maka hanya d+ yang dimasukkan dalam fungsi tujuan. Jika kita menghendaki pencapaain target secara pas, maka kedua variabel simpangan dimasukkan dalam fungsi tujuan. Karena variabel simpangan dapat diperlakukan seperti variabelvariabel yang lain, perumusan LGP persoalan ini dapat diselesaikan dengan algoritma simpleks. Solusi optimalmya adalah x1 =0, x2 = 4, s1 = 20, s2 = 0, dan d- = 680. Solusi ini identik dengan solusi formulasi LP, kecuali pada nilai Z, untuk perumusan LP diperoleh Z=320 dan untuk LGP diperoleh Z = 680 (nilai Z sesungguhnya -680, tetapi perhatikan bahwa kita menyelesaikan masalah minimasi dengan logika maksimasi). Nilai Z pada masalah LGP menunjukkan seberapa besar kekurangan pencapaian target keuntungan, sehingga keuntungan maksimum yang didapat dicapai adalah 320, yaitu 1000-680, yang identik dengan solusi model LP. b. Model Banyak Tujuan Ada tiga jenis model banyak tujuan, yaitu tujuan banyak tanpa orioritas, tujuan banyak dengan prioritas, dan tujuan banyak dengan prioritas dan bobot. Dalam praktek model yang terakhir adalah yang paling berguna, namun kita akan membahas satu persatu model-model itu untuk memahami dengan baik konsep prioritas dan bobot.
78
c. Tujuan Banyak Tanpa Prioritas (Prioritas Sama) Meskipun model banyak tujuan tanpa prioritas mudah penanganannya, ia kurang memiliki arti praktis. Misalkan masalah produksi tujuan tunggal pada
sesi
sebelumnya
dimodifikasi
sehingga
disamping
tujuan
keuntungan, paling sedikit dua unit dari setiap jenis barang harus diproduksi. Pemilik memandang tujuan terakhir ini sama penting dengan tujuan pertama. Perumusan LGP untuk masalah itu adalah: Minimumkan
Z = d1- - d2- + d3-
dengan syarat
20x1 + 10x2
≤ 60
10x1 + 10x2
≤ 40
40x1 + 80x2 + d1- - d1+ = 1000 x1 + d2- - d2+
=2
x2 + d3- - d3+
=2
x1, x2, d1-, d1+, d2-, d2+, d3-, d3+ ≥ 0 Karena variabel simpangan pada fungsi tujuan tidak memiliki prioritas, persoalan ini dapat diselesaikan dengan metode simplex. Solusinya adalah x1 =0, x2 = 4, s1 = 20, s2 = 0, d- = 680, d+ = 0, d2- =2, d2+ =0, d3- =0, d3+ =2, dan Z=682. Solusi model ini tidak mencapai tujuan produksi (paling tidak dua unit x1 dan dua unit x2 ) karena tak ada prioritas untuk tujuan-tujuan itu. Model itu hanya meminimumkan jumlah simpangan untuk semua tujuan.
79
d. Tujuan Banyak Dengan Prioritas Jika pemilik mempertimbangkan banyak tujuan, biasanya memiliki skala prioritas untuk tujuan-tujuan itu. LGP memberikan urutan preferensi tujuan melalui penggunaan koefisien prioritas (P). Tujuan (variabel simpangan) yang memiliki prioritas pertama diberi nilai fungsi tujuan P1, tujuan dengan prioritas kedua diberi nilai P2, proses ini diteruskan sampai semua tujuan telah diurutkan. Koefisien prioritas P1, P2, dan seterusnya bukan merupakan parameter atau variabel. Pada umumnya mereka bukan suatu nilai angka, mereka hanya menunjukkan tingkat prioritas. Karena koefisien prioritas muncul pada fungsi tujuan, algoritma simpleks biasa tak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah itu. Namun, metode simpleks dapat dimodifikasi untuk menangani koefisien prioritas dan menjamin bahwa penyimpangan bagi tujuan dengan prioritas pertama diminimumkan sebelum prioritas yang lebih rendah diperhatikan. Penggunaan prioritas dapat ditunjukkan melalui masalah produksi yang baru saja dipelajari pada sesi sebelum ini. Anggaplah pemilik menetapkan prioritas seperti berikut: P1 (prioritas 1) : capai tujuan produksi dua unit untuk setiap jenis barang. P2 (prioritas 2) : maksimumkan keuntungan. Model untuk masalah ini serupa dengan model tanpa prioritas sebelumnya dengan pengecualian penambahan koefisien prioritas pada fungsi tujuan. Model yang baru itu adalah:
80
Minimumkan
Z = P1d2- + P1d3- + P2d1-
dengan syarat
20x1 + 10x2
≤ 60
10x1 + 10x2
≤ 40
40x1 + 80x2 + d1- - d1+ = 1000 x1 + d2- - d2+
=2
x2 + d3- - d3+
=2
x1, x2, d1-, d1+, d2-, d2+, d3-, d3+ ≥ 0 Penerapan algoritma simpleks yang dimodifikasi pada masalah ini menghasilkan x1 =2, x2 = 2, s1 =0, s2 = 0, d1- = 760, d1+ = 0, d2- =0, d2+ =0, d3- =0, d3+ =0, dan Z=760 P2. Penafsiran solusi ini adalah: Tujuan 1 (P1) dicapai: dua unit x1 dan x2 diproduksi. Tujuan 2 (P2) tak tercapai: sumbangan total terhadap keuntungan adalah 240 (=1000-760), kekurangan target keuntungan sebesar 760 (d1- = 760). e. Tujuan Banyak Dengan Prioritas dan Bobot Kadang-kadang kita dihadapkan pada beberapa tujuan dengan urutan yang sama adalah lebih penting dibanding tujuan-tujuan lain. Jika demikian, perlu digunakan bobot yang berlainan untuk mencerminkan beda kepentingan dalam tingkat prioritas yang sama. Misalkan, keuntungan dan waktu lembur dari persoalan tadi memiliki urutan prioritas sama. Jika tidak ada bobot, pemilik menganggap bahwa peyimpangan keuntungan satu rupiah sama pentingnya dengan satu jam waktu lembur. Jika tidak demikian, kemudian dapat diberikan bobot yang
81
mencerminkan hubungan yang lebih tepat. Jika pemilik menetapkan bahwa enam jam lembur setaraf dengan keuntungan satu rupiah, maka akan digunakan bobot 6 banding 1. Untuk memperjelas, misalkan kita sedikit mengubah tujuan pada masalah tadi. Sebagai ganti tujuan menghasilkan dua unit untuk setiap jenis barang, kita akan menetapkan tujuan untuk memproduksi barang 1 paling tidak 4 unit dan barang 2 paling tidak 6 unit. Karena barang 2 meyumbang profit dua kali dibandingkan barang 1. Waktu lembur diperlukan dalam menghasilkan sejumlah barang-barang yang telah ditetapkan. Kita asumsikan tersedia 50 jam lembur. Misalkan kita menetapkan prioritas untuk mencapai tujuan: Prioritas 1 (P1) :
membatasi jumlah jam lembur sampai 50 jam dalam dua kegiatan produksi.
Prioritas 2 (P2) :
memenuhi tujuan produksi barng 1 paling tidak 4 unit dan barang 2 paling tidak 6 unit. Gunakan bobot yang berlainan yaitu 1 dan 2, karena ini menunjukkan sumbangan keuntungan, yaitu 40 dan 80.
Prioritas 3 (P3) :
maksimumkan keuntungan.
Karena dalam masalah baru ini diperlukan lembur, maka perlu ditambahakan variabel simpangan pada kendala sebelumnya. Kita harus juga menambahkan sebuah kendala tujuan untuk mencerminkan tujuan
82
pembatasan waktu lembur sampai 50 jam. Dengan simbol-simbol seperti pada persoalan sebelumnya, model yang telah dimodifikasi itu adalah: Minimumkan
Z = P1d6+ + 1P2d2- + 2P2d3- + P3d1-
dengan syarat
20x1 + 10x2 + d4- + d4+ = 60 10x1 + 10x2 + d5- + d5+ = 40 40x1 + 80x2 + d1- - d1+ = 1000 x1 + d2- - d2+
=4
x2 + d3- - d3+
=6
d4+ + d5+ + d6- - d6+= 50 x1, x2, d1-, d1+, d2-, d2+, d3-, d3+, d4-, d4+, d5-, d5+, d6-, d6+ ≥0 Variabel simpangan d4+ dan d5+ menunjukkan waktu lembur yang diperlukan pada kegiatan 1 dan 2. variabel d6+ dimasukkan dalam kendala tujuan untuk mencerminkan kemungkinan melebihi 50 jam lembur. Solusi masalah baru ini adalah x1 = 1, x2 = 6, d4- = 0, d1+ = 0, d4+ =20, d5- =0, d5+ =30, d1- =480, d1+ = 0, d2- = 3, d2+ =0, d3- =0, d3+ =0, d6+ =0, d6- =0 dan Z = 3 P2 + 480 P3. Perhatikan bahwa: Tujuan 1 (P1) dicapai, waktu lembur pas 50 jam, 20 jam lembur (d4+) dalam kegiatan 1 dan 30 jam (d5+) dalam kegiatan 2. Sebagian tujuan 2 (P2) dipenuhi, enam unit barang 2 diproduksi tujuan ini memiliki bobot terbesar, tetapi hanya satu unit barang 1 dihasilkan sebelum batasan jam lembur dilewati. Tujuan 3 (P3) tak tercapai, sumbangan total terhadap
83
keuntungan adalah 520 (yaitu 1000-480), kekurangan target keuntungan adalah 480 (d1- = 480). Hasil dari model yang telah dimodifikasi menunjukkan bahwa diperoleh tambahan keuntungan melalui kerja lembur, tetapi tujuan produksi tidak dapat dicapai karena jam lembur dibatasi sampai 50 jam.
2.5.4
Integer Programming
Persoalan Integer Programming (IP) adalah persoalan pencarian solusi optimum dari model matematik sehingga nilainya merupakan bilangan bulat (integer). Sering dijumpai bahwa solusi optimum dari persoalan LP atau LGP adalah bilangan pecahan, karena adanya asumsi divisibility dan apabila variabel yang bernilai pecahan ini merepresentasikan mobil, mesin, orang, dan sebagainya yang harus integer, maka perlu dilakukan metoda yang dapat memberikan solusi integer ini. Walaupun persoalan IP yang “bounded” memiliki jumlah solusi yang finite, namun jumlahnya masih sangat-sangat besar untuk dilakukan enumerasi secara eksplisit. Oleh karena itu tetap diperlukan cara yang efisien
untuk mencari solusi optimum (paling tidak mendekati optimum), diantaranya dengan hanya mengevaluasi sebagian kecil saja dari set solusi-solusi yang feasible. Set solusi-solusi lainnya tidak perlu dievaluasi lebih lanjut karena
tidak memberikan hasil (yakni nilai fungsi obyektif) yang lebih baik. Salah
84
satu metode yang menggunakan cara seperti ini adalah teknik branch and bound (BB).
Untuk
mendapatkan
set
solusi
yang
“jelek”
ataupun
yang
“menjanjikan”, persoalan IP perlu dibagi “habis” kedalam beberapa sub persoalan. Sub-persoalan ini disebut sebagai subset, sedangkan cara bagaimana subset-subset ini dibuat disebut dengan pencabangan (branch step). Untuk mengetahui jelek atau tidaknya suatu subset, ditentukan batas
nilai fungsi obyektif yang mungkin diperoleh dari subset yang bersangkutan. Langkah ini disebut langkah pengukuran (bound step); sedangkan batas nilai fungsi obyektif yang mungkin diperoleh suatu subset disebut batas bawah (lower bound (ZL)) untuk kasus minimasi; dan disebut batas atas (upper bound (ZU)) dari subset tersebut bila bentuk fungsi obyektifnya maksimasi.
Penilaian terhadap suatu subset apakah perlu ditelusuri lebih lanjut disebut fathoming step. Penilaian ini didasarkan atas : a. nilai batas bawah/batas atasnya; b. mungkin atau tidaknya diperoleh solusi yang fisibel dari subset tersebut; c. batas bawah/batas atasnya merupakan nilai fungsi obyektif yang optimum. Dalam kasus ini, langkah pengukuran (bound step) dalam menghitung batas bawah/batas atas subset sekaligus menemukan solusi fisibelnya.
85
Adapun langkah-langkah (untuk fungsi obyektif berbentuk minimasi) dalam Branch & Bound (BB): 1. Selesaikan masalah LP atau LGP dengan metode simpleks biasa tanpa pembatasan bilangan bulat. 2. Teliti solusi optimalnya. Jika variabel basis yang diharapkan bulat adalah bulat, solusi optimum bulat telah tercapai. Jika satu atau lebih variabel basis yang diharapkan bulat ternyata tidak bulat, lanjutkan ke langkah 3. 3. Nilai solusi pecah yang layak dicabangkan ke dalam sub-sub masalah. Tujuannya adalah untuk menghilangkan solusi kontinu yang tidak memenuhi persyaratan bulat dari masalah itu. Pencabangan itu dilakukan melalui kendala-kendala mutually exclusive yang perlu untuk memenuhi persyaratan bulat dengan jaminan tak ada solusi bulat layak yang diikutsertakan. 4. Untuk setiap sub masalah, nilai solusi optimum kontinu fungsi tujuan ditetapkan sebagai batas atas. Solusi bulat terbaik menjadi batas bawah (pada awalnya, ini adalah solusi kontinu yang dibulatkan ke bawah). Subsub masalah yang memiliki batas atas kurang dari batas bawah yang ada tidak diikutsertakan pada analisis selanjutnya. Suatu solusi bulat layak adalah sama baik atau lebih baik dari batas atas untuk setiap sub masalah yang dicari. Jika solusi demikian ada, suatu sub masalah dengan batas atas terbaik dipilih untuk dicabangkan. Kembali ke langkah 3.
86
2.5.5
Analisa Sensitivitas
Seorang analis jarang dapat menentukan parameter model program linier seperti (m,n, Cj, aij, bi) dengan pasti karena nilai parameter ini adalah fungsi dari beberapa uncontrollable variable. Sementara itu solusi optimal model program linier didasarkan pada parameter tersebut. Akibatnya analis perlu mengamati pengaruh perubahan parameter tersebut terhadap solusi optimal. Analisa perubahan parameter dan pengaruhnya terhadap solusi program linier disebut Post Optimality Analisis. Istilah post optimality menunjukkan bahwa analisa ini terjadi setelah diperoleh solusi optimal, dengan mengasumsikan seperangkat nilai parameter yang digunakan dalam model. Atau Analisis Postoptimal (disebut juga analisis pasca optimal atau analisis setelah optimal, atau analisis kepekaan dalam suasana ketidaktahuan) merupakan suatu usaha untuk mempelajari nilai-nilai dari peubah-peubah pengambilan keputusan dalam suatu model matematika jika satu atau beberapa atau semua parameter model tersebut berubah atau menjelaskan pengaruh perubahan data terhadap penyelesaian optimal yang sudah ada. Dapat diketahui bahwa dunia nyata yang diabstraksikan dan disimplifikasikan ke dalam model program linier, tidak sederhana seperti rumusan program linier sederhana tersebut. Oleh karena itu dalam dunia pengelolaan dan kehidupan dunia nyata, selalu dihadapkan pada pertanyaanpertanyaan keragu-raguaan seperti “apa yang akan terjadi, jika” ini dan itu berubah? Persoalan peluang dan ketidakpastiaan pertanyaan-pertanyaan
87
tersebut harus dapat dijawab dalam rangka meyakinkan pendirian terhadap sesuatu yang akan diputuskan kelak. Dengan demikian hasil yang diharapkan tersebut adalah hasil yang memang ”paling mungkin“ dan ”paling mendekati”, atau “perkiraan yang paling tepat”. Uji kepekaan hasil dan pasca optimal (sebut saja selanjutnya analisis post optimal) yang dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut diatas. Analisis post optimal sangat berhubungan erat dengan atau mendekati apa yang disebut Program Parametrikal atau Analisis Parametrisasi. Perubahan atau variasi dalam suatu persoalan program linier yang biasanya dipelajari melalui Post Optimality Analysis dapat dipisahkan ke dalam dua kelompok umum, yaitu : 1. Analisa yang berkaitan dengan perubahan diskrit parameter untuk melihat berapa besar perubahan dapat ditolerir sebelum solusi optimal mulai kehilangan optimalitasnya, ini dinamakan Analisa Sensitivitas. Jika suatu perubahan kecil dalam parameter menyebabkan perubahan drastis dalam solusi, dikatakan bahwa solusi adalah sangat sensitif terhadap nilai parameter itu. Sebaliknya, jika perubahan parameter tidak mempunyai pengaruh besar terhadap solusi dikatakan solusi relatif insensitif terhadap nilai parameter tersebut. 2. Analisa yang berkaitan dengan perubahan struktural. Masalah ini muncul bila persoalan program linier dirumuskan kembali dengan menambahkan atau menghilangkan kendala dan atau variabel untuk menunjukkan operasi
88
model alternatif. Perubahan struktural ini dapat dimasukkan dalam analisa sensitivitas. Analisa yang berkaitan dengan perubahan kontinu parameter untuk menentukan urutan solusi dasar yang menjadi optimal jika perubahan ditambah lebih jauh, ini dinamakan Parametric-Programming. Dalam membicarakan analisa sensitivitas, perubahan-perubahan parameter dikelompokkan menjadi : 1) Perubahan koefisien fungsi tujuan (Cj) 2) Perubahan konstan sisi kanan (bi) 3) Perubahan kendala atau koefisien matriks A 4) Penambahan variabel baru 5) Penambahan kendala baru
2.5.6
Software LINDO 6.1 Software LINDO memungkinkan pemakai berinteraksi dengan
komputer dalam arti sekali program dimasukkan dalam komputer, pemakai tinggal menuliskan fungsi tujuan dan kendala-kendala yang diperlukan. Ketika semua input telah selesai, pemakai kemudian memberi perintah Solve pada Software LINDO, dan menyelesaikan problem linier tersebut. Solusi optimum dan semua informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut ditampilkan pada monitor komputer.
89
a. Tampilan LINDO
Gambar 2.1 Tampilan LINDO b. Jendela Formulasi Pada jendela ini dituliskan formulasi model dari masalah yang akan dicari solusi optimalnya. Untuk fungsi tujuan diketikan sebagai max (untuk maksimasi) atau min (untuk minimasi). Untuk fungsi tujuan diawali dengan Subject To (ST).
90
Gambar 2.2 Jendela Formulasi c. Solve Setelah formulasi model selesai disusun, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan optimasi dengan mengklik menu Solve, dan pilih Solve pada sub menu.
Gambar 2.3 Mengoptimalkan Model pada LINDO
91
d. Analisa Sensitivitas Analisa sensitivitas disediakan oleh software ini, dengan mengklik Yes pada jendela informasi yang akan muncul setelah melakukan solve.
Gambar 2.4 Melakukan Analisa Sensitivitas pada LINDO e. Hasil Optimasi Hasil optimasi akan ditampilkan oleh report window, yang berisi berapa banyak iterasi yang dilakukan, pencapaian tujuan yang ditunjukkan oleh objective function value, jumlah optimal dari masingmasing variabel keputusan, kelebihan dan kekurangan pada fungsi pembatas yang tidak akan merubah solusi optimal. Jika melakukan analisa sensitivitas, maka report window juga akan menampilkan hasil analisa sensitivitas dari solusi optimal tersebut.
92
Gambar 2.5 Hasil Optimasi dengan LINDO
2.6
Manufacturing Resource Planning (MRP II)
MRP II merupakan salah satu sistem dalam PPIC, meliputi perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas. MRP II adalah suatu sistem informasi manufakturing formal dan eksplisit yang mengintegrasikan fungsifungsi utama dalam industri manufaktur, seperti keuangan, pemasaran, dan produksi. Sistem MRP II mencangkup dan mengintegrasikan semua aspek bisnis dari perusahaan industri manufaktur, sejak perencanaan strategik bisnis pada tingkat manajemen puncak (top management) sampai perencanaan dan pengendalian terperinci pada tingkat manajemen menengah dan supervisor, kemudian memberikan umpan balik (Gaspersz, 2001, p.30).
93
Tujuan atau sasaran MRP II adalah menentukan serta menepati prioritas permintaan dan delivery, menyediakan decision support untuk capacity planning, penjadwalan untuk aliran material, menjamin keakuratan
informasi, dan lain-lain. Keberhasilan
perencanaan
dan
pengendalian
manufakturing
membutuhkan perencanaan kapasitas yang efektif, agar mampu memenuhi jadwal produksi yang ditetapkan. Kekurangan kapasitas akan menyebabkan kegagalan memenuhi target produksi,
keterlambatan
pengiriman
ke
pelanggan,
dan
kehilangan
kepercayaan dalam sistem formal yang mengakibatkan reputasi dari perusahaan akan menurun. Pada sisi lain, kelebihan kapasitas akan mengakibatkan tingkat utilisasi sumber-sumber daya yang rendah, biaya meningkat, harga produk menjadi tidak kompetitif, kehilangan pangsa pasar, penurunan keuntungan, dan lain-lain. Dengan demikian, kekurangan kapasitas maupun kelebihan kapasitas akan memberikan dampak negatif bagi sistem manufaktur, sehingga perencanaan kapasitas yang efektif adalah menyediakan kapasitas sesuai dengan kebutuhan pada waktu yang tepat. Sistem manufakturing tidak dapat memproduksi prioritas (output) yang diinginkan tanpa memiliki kapasitas (input) yang cukup. Karena itu, dalam sistem manufakturing modern aktivitas perencanaan prioritas (priority planning) sejajar dengan aktivitas perencanaan
94
kapasitas (capacity planning). Pada dasarnya terdapat empat tingkat dalam hierarki perencanaan prioritas dan kapasitas yang terintegrasi, antara lain: a. Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya. b. Penjadwalan Produksi Induk / Master Production Schedule (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP).
c. Perencanaan Kebutuhan Material / Material Requirement Planning (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas / Capacity Requirements Planning (CRP). d. Pengendalian Aktivitas Produksi / Production Activity Control (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta Operation Sequencing.
sumber : Vincent Gaspersz (2001, P127)
Gambar 2.6 Hierarki Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam Sistem MRP II
95
2.6.1
Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya
Pada dasarnya perencanaan produksi merupakan suatu proses penetapan tingkat output manufakturing secara keseluruhan guna memenuhi tingkat penjualan yang direncanakan dan inventory yang diinginkan. Rencana produksi mendefinisikan tingkat manufakturing, biasanya dinyatakan sebagai tingkat bulanan untuk periode satu tahun atau lebih, untuk setiap kelompok produk. Perencanaan produksi menetapkan kerangka kerja untuk penjadwalan produksi induk (MPS) dan pelaksanaan manufakturing. Input yang diberikan berasal dari berbagai divisi dengan berbagai
macam informasi, yaitu dari marketing berupa peramalan, informasi tentang faktor eksternal yang mempunyai dampak pada produk, permintaan aktual. Sedangkan dari divisi manufakturing dan pembelian berupa informasi kapasitas dan kemampuan tentang sumber daya yang memiliki potensial masalah. Dari divisi keuangan berupa informasi estimasi jumlah anggaran yang dibutuhkan, dan R&D memberi informasi tentang produk dan proses baru yang ada. Tujuan dari perencanaan produksi adalah untuk menyesuaikan tingkat produksi berdasarkan rencana produksi, yang berdasarkan pada grup atau product family. Perencanaan produksi didasarkan kombinasi dari dua macam
data, yaitu peramalan permintaan yang diperoleh dari hasil perhitungan data permintaan yang terjadi pada masa lalu, dan target produksi yang didapatkan dari rencana realistis yang diinginkan oleh pihak top management.
96
Pada dasarnya dalam sistem MRP II terdapat tiga alternatif strategi perencanaan produksi, yang pertama yaitu level method yang didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang mempunyai distribusi merata dalam
produksi.
Dalam
perencanaan
produksi,
level
method
akan
mempertahankan tingkat kestabilan produksi sementara menggunakan inventory yang bervariasi untuk mengakumulasikan output apabila terjadi
kelebihan permintaan total. Strategi yang kedua yaitu chase strategy, yang didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang mempertahankan tingkat kestabilan inventory, sementara produksi bervariasi mengikuti permintaan total. Dan strategi yang terakhir yaitu compromise strategy, yaitu kompromi antara kedua metode perencanaan sebelumnya. Ada tiga metode yang bisa dilakukan dalam perencanaan produksi, yaitu : 1) Heuristik 2) Matemastis 3) Optimasi Linear programming bisa digunakan dalam perencanaan agregat
untuk mengalokasikan kapasitas produksi agar sesuai dengan peramalan permintaan (Heizer, et all, 2005, p704) Perencanaan sumber daya / Resource Requirements Planning (RRP) adalah perencanaan kapasitas untuk menyusun, mengukur dan menyesuaikan batas limit kapasitas jangka panjang, seperti tanah, fasilitas, mesin-mesin dan
97
tenaga kerja telah tersedia, berdasarkan rencana produksi. Pada tingkat RRP, produk-produk sering diagregasikan ke dalam kelompok atau famili dari itemitem serupa, dan suatu item typical dalam kelompok digunakan untuk menghitung beban (load) untuk kelompok secara keseluruhan. Apabila sumber-sumber daya itu telah tersedia, rencana produksi dapat dilaksanakan. Namun apabila sumber-sumber daya itu tidak cukup, rencana produksi harus diubah, atau mencari tambahan sumber daya itu. Apabila sumber daya yang direncanakan dan yang dibutuhkan adalah sama, rencana produksi dianggap layak untuk diteruskan ke tingkat hierarki berikut, yaitu MPS, untuk dilaksanakan.
2.6.2
Master Production Schedulling (MPS)
Istilah MPS yang sering digunakan dalam dunia teknik industri ada dua yang sering digunakan secara bersamaan yaitu master production scheduling (penjadwalan produksi induk) dan master production schedule
(jadwal produksi induk). Pada intinya istilah MPS yang digunakan untuk jadwal produksi induk (master production schedule) merupakan hasil dari aktivitas penjadwalan produksi induk (master production scheduling). Pada dasarnya jadwal produksi induk (MPS) merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output
98
berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. MPS mendisagregasikan dan mengimplementasikan rencana produksi. Penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan aktivitas melakukan empat fungsi utama berikut : 1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas (M&CRP = material and capacity requirements planning). M&CRP merupakan aktivitas perencanaan level 3
dalam hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada sistem MRP II. 2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian (production and purchase order) untuk item-item MPS.
3. Memberikan landasan untuk penetuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas. 4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk. MPS pada dasarnya berkaitan dengan aktivitas menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas, menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk item- item MPS, memberikan landasan untuk penentuan sumber daya dan kapasitas, memberikan basis untuk pembuatan kepastian tentang penyerahan produk kepada pelanggan. Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS) membutuhkan lima input utama seperti ditunjukan dalam Gambar 2.7.
99
Sumber: Vincent Gaspersz (2001, p143)
Gambar 2.7 Proses Penjadwalan Produksi Induk Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS) membutuhkan lima input utama, diantaranya : 1. Data Permintaan Total merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan (sales forecasts) dan pesanan-pesanan (orders). 2. Status Inventory berkaitan dengan infromasi tentang on-hand inventory, stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus
mengetahui secara akurat berapa banyak inventory yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus dipesan. 3. Rencana Produksi memberikan sekumpulan batasan kepada MPS, MPS harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventory, dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu.
100
4. Data Perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (Item Master File). 5. Informasi
Dari
RCCP
berupa
kebutuhan
kapasitas
untuk
mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS. Pada dasarnya RCCP dan MPS merupakan aktivitas perencanaan yang berada pada level yang sama dalam hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada sistem MRP II.
Berikut adalah contoh tabel MPS dan keterangannya : Tabel 2.3 Contoh Tabel MPS Item No : Description : Lead Time : Safety Stock : On hand : Demand Time Fences : Lot Size : Planning Time Fences : Period Past Due 1 2 3 4 5 6 7 Forecast Costumer Order Project Available Balance Available to Promise Master Schedule Keterangan untuk tabel MPS di atas adalah sebagai berikut :
8
9
1. Item No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. Lead Time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau memanufaktur suatu end item. 3. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang.
101
4. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 5. Lot Size menyatakan ukuran per-unit yang akan diproduksi sebagai kelipatan kuantitas hasil produksi. 6. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 7. Demand Time Fences (DTF) merupakan batas waktu penyesuaian pesanan permintaan. Panjangnya = assy lead time. Projected Available Balance dihitung dari aktual demand. Di sini
perubahan demand tidak akan dilayani. 8. Planning Time Fences (PTF) merupakan waktu keseluruhan dari horison perencanaan. Pada ini, perubahan masih akan dilayani sepanjang material dan kapasitas tersedia. 9. Forecast merupakan hasil peramalan sebelumnya sebagai hasil dari perencanaan produksi. 10. Costumer Order (CO) merupakan jumlah order yang sudah diterima sebelumnya. 11. Projected Available Balance (PAB) merupakan perkiraan jumlah sisa produk pada akhir periode. Nilai pada PAB tidak diijinkan negatif sesuai dengan kapasitas inventory. PAB dihitung dengan menggunakan rumus : PAB t ≤ DTF = PABt-1 + MSt – COt PAB t > DTF = PABt-1 + MSt - COt atau Ft (pilih yang paling besar)
102
12. Cumulative Available To Promise (ATP) memberikan informasi berapa banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk pesanan pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini bagian pemasaran dapat membuat janji yang tepat kepada pelanggan atau dengan kata lain ATP merupakan jumlah material on hand pada inventory yang sebenarnya. ATP dapat dihitung dengan menggunakan rumus : ATP = ATPt-1 + MSt – Costumer Order sampai pada periode yang sudah dijadwalkan pada Master Schedule. 13. Master Schedule (MS) merupakan kemampuan produksi perusahaan perperiode perencanaan.
2.6.3
Rough Cut Capacity Planning (RCCP)
RCCP merupakan urutan kedua dari hierarki perencanaan prioritaskapasitas yang melakukan validasi terhadap MPS yang juga menempati urutan kedua dalam hierarki perencanaan prioritas produksi. Pada dasarnya RCCP didefinisikan sebagai proses konversi dari Rencana Produksi atau MPS ke dalam kebutuhan kapasitas yang berkaitan dengan sumber- sumber daya kritis seperti : tenaga kerja, mesin dan peralatan, kapasitas gudang, kapabilitas pemasok material dan parts, dan sumber daya keuangan. RCCP serupa dengan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (Resource Requirements Planning = RRP), kecuali bahwa RCCP adalah lebih terperinci daripada RRP
dalam beberapa hal, seperti: RCCP didisagregasikan ke dalam level item atau
103
sku (stockkeeping unit); RCCP didisagregasikan berdasarkan periode waktu harian atau mingguan; dan RCCP mempertimbangkan lebih banyak sumber daya produksi. Pada dasarnya terdapat empat langkah yang diperlukan untuk melaksanakan RCCP, yaitu : 1. Memperoleh informasi tentang rencana produksi dari MPS 2. Memperoleh informasi tentang struktur produk dan waktu tunggu (lead time)
3. Menentukan bill of resources 4. Menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan membuat laporan RCCP
Pada RCCP, terdapat 3 metode perhitungan yang umum digunakan untuk menentukan besar kapasitas produksi yang ada : 1. Capacity Planning Using Overall Factors (CPOF) Capacity Planning Using Overall Factors (CPOF) memerlukan tiga input
data. Data – data tersebut sebagai berikut: MPS, data MPS yang siap diperhitungkan untuk RCCP adalah dalam bentuk satuan waktu yang dapat dilakukan dengan mengalikan jumlah unit yang telah direncanakan dalam MPS dengan waktu menghasilkan satu unit produk. Data yang menyatakan waktu total untuk menghasilkan satu tipe produk. Data ini didapatkan dengan menjumlahkan semua waktu yang diperlukan dari setiap stasiun kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit produk
104
dari masing–masing tipe. Data yang terakhir adalah data perbandingan historis antar stasiun kerja. Data ini akan dipergunakan untuk menghitung kapasitas kerja pada tiap stasiun kerja tiap periode MPS 2. Bill of Labor Approach Pendekatan Bill of Labor menggunakan data detail waktu standar untuk setiap produk. Waktu standar adalah waktu yang seharusnya digunakan oleh operator yang normal pada keadaan yang normal untuk memproduksi satu unit dari data jenis produk. Waktu standar untuk setiap part harus dinyatakan termasuk toleransi untuk beristirahat untuk mengatasi kelelahan atau untuk faktor–faktor yang tidak dapat dihindarkan. Namun, jangka waktu penggunaan waktu standar ada batasannya. Hal ini terjadi karena proses produksi terus dikembangkan dan berubah secara kontinyu, sehingga waktu standar yang telah dipergunakan tidak representative lagi. Oleh karena itu waktu standar harus selalu diperbaharui. 3. Resource Profile Approach
Teknik ini memerlukan data lead time untuk menyelesaikan pekerjaan – pekerjaan tertentu. Perhitungan yang dikerjakan dengan teknik ini memerlukan waktu lebih banyak, karena pekerjaan perhitungannya sangat rumit.
105
2.6.4
Material Requirements Planning (MRP)
MRP mengembangkan pesanan-pesanan yang direncanakan untuk bahan baku, komponen, dan sub-assemblies yang dibutuhkan untuk memenuhi MPS. Perencanaan kebutuhan material (Material Requirements Planning = MRP) adalah metode penjadwalan untuk purchased planned orders dan manufactured planned orders. Planned manufacturing orders
kemudian diajukan untuk analisis lanjutan berkenaan dengan ketersedian kapasitas dan keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhan kapasitas (Capacity Requirements Planning = CRP). Metode MRP merupakan metode perencanaan dan pengendalian pesanan dan inventory untuk item-item dependent demand, dimana permintaan cenderung discontinuous and lumpy. Item-item yang termasuk dalam dependent demand adalah bahan baku, parts, subassemblies, dan assemblies, yang kesemuanya disebut manufacturing inventories. Teknik-
teknik MRP dan CRP paling cocok diterapkan dalam lingkungan job shop manufacturing, meskipun MRP dapat pula diadopsi dalam lingkungan repetitive manufacturing.
106
Sumber: Vincent Gaspersz (2001, p178)
Gambar 2.8 Proses Kerja dari MRP Beberapa manfaat MRP adalah : a. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen. b. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja. c. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik. d. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar. e. Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen. Moto dari MRP adalah “memperoleh material yang tepat, dari sumber yang tepat, untuk penempatan yang tepat, pada waktu yang tepat”. Berdasarkan MPS yang diturunkan dari rencana produksi, suatu sistem MRP
107
mengidentifikasi item apa yang harus dipesan, berapa banyak kuantitas item yang harus dipesan, dan bilamana waktu memesan item itu. Sebagai suatu sistem, MRP membutuhkan lima input utama (sumber informasi) seperti : a. MPS yang merupakan suatu pernyataan definitif tentang produk akhir apa yang direncanakan perusahaan untuk diproduksi, berapa kuantitas yang dibutuhkan, pada waktu kapan dibutuhkan, dan bilamana produk itu akan diproduksi. ¾ Bill of Material (BOM) merupakan daftar dari semua material, parts,
dan sub-assemblies serta kuantitas dari masing-masing yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk atau parent assembly. Bill Of Material tidak hanya menspesifikasikan produksi,
tapi juga berguna untuk pembebanan biaya, dan dapat dipakai sebagai daftar bahan yang harus dikeluarkan untuk karyawan produksi atau perakitan. Bill Of Material digunakan dengan cara ini, biasanya dinamakan daftar pilih. b. Item master merupakan suatu file yang berisi informasi status tentang material, parts, sub-assemblies, dan produk-produk yang menunjukkan
kuantitas on hand, kuantitas yang dialokasikan (allocated quantity), waktu tunggu yang direncanakan (planned lead time), ukuran lot (lot size), stok pengaman, criteria lot sizing, toleransi untuk scrap atau hasil dan berbagai informasi penting lainnya yang berkaitan dengan suatu item.
108
c. Pesanan-pesanan (orders) akan memberitahukan tentang berapa banyak dari setiap item yang akan diperoleh sehingga meningkatkan stock on hand pada masa mendatang.
d. Kebutuhan-kebutuhan (requirements) akan memberitahukan tentang berapa banyak dari masing-masing item itu dibutuhkan sehingga akan mengurangi stock on hand di masa mendatang.
Tujuan dari sistem MRP adalah menghasilkan unit-unit pada saat dibutuhkan, tanpa stock pengamanan tanpa antisipasi pesanan mendatang berikutya. Prosedur demikian konsisten dengan asas ukuran lot yang kecil, rutin, persediaan rendah dan permintaan dependent. Akan tetapi apabila biaya pemesanannya signifikan atau manajemen tidak dapat menerapkan falsafah JIT maka lot standar bisa jadi merupakan teknik yang berbiaya banyak. Sistem MRP memerlukan syarat pendahuluan dan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. bila syarat pendahuluan dan asumsi-asumsi tersebut telah dipenuhi, maka kita bisa mengolah MRP dengan empat langkah dasar sebagai berikut: •
Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
•
Lotting : Penentuan ukuran lot.
•
Offseting : Penetapan besarnya lead time.
•
Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk item level di bawahnya
109
Teknik Lot Sizing adalah proses menentukan ukuran pemesanan. Adapun permintaan yang terjadi tidak setiap periode. Model lot sizing yang dikategorikan menjadi dua kategori utama : •
Static lot sizing models , digunakan untuk permintaan yang seragam atau
konstan sepanjang horison perencanaan. •
Dynamic lot sizing models, digunakan untuk permintaan yang selalu
berubah-ubah sepanjang horison perencanaan. Berikut kita bahas beberapa teknik penentuan ukuran lot yaitu: ¾ Lot for lot
Penentuan lot ini digunakan untuk memproduksi sejumlah yang diperlukan, dan dapat pula untuk menentukan biaya. ¾ Wagner-Whitin (optimasi)
Merupakan tehnik penghitungan yang mengasumsikan horison waktu yang finite yang pada akhirnya ada penambahan net requirement untuk mencapai strategi pemesanan. Penghitungan ukuran lot dengan prosedur optimasi program linier, bersifat matematis. ⎛ l ⎞ K t,l = A + h⎜ ∑ ( j − t)D j ⎟ ⎜ j=t +1 ⎟ ⎝ ⎠
Dimana : Kt,l
t = 1,2,…,n;
l = t+1, t+2,…,n
= Total biaya pada perhitungan periode t,l
D
= Jumlah permintaan
A
= Biaya pemesanan per periode
h
= Biaya penyimpanan per unit per periode perencanaan
110
Berikut merupakan contoh tabel MRP dan keterangannya Tabel 2.4 Contoh Tabel MRP Part No BOM UOM Lead Time Safety Stock Period Gross Requirement Scheduled Receipts PAB1
: : : : Past Due
1
2
Description On Hand Order Policy Lot Size 3 4 5
: : : : 6
7
8
Net Requirement Planned Order Receipt Planned Order Release PAB2 Keterangan untuk tabel MRP di atas adalah sebagai berikut :
1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan dirakit. 3. Lead Time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau memanufaktur suatu komponen. 4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang. 5. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 6. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang.
111
8. Lot Size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang. 9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan diproduksi atau dipakai pada setiap periode. Untuk end item (finished product), kuantitas gross requirement sama dengan Master Production Scheduled (MPS). Untuk
komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order Release induknya.
10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada periode tertentu. 11. Projected Available Balance 1 (PAB 1) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. Project Available Balance 1 dapat dihitung dengan menambahkan material on hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu dan
menguranginya dengan gross requirement pada periode yang sama. Atau jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut : PAB1 = (PAB2)t-1 - (Gross Requirement)t + (Scheduled Receipts)t 12. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk memenuhi Master Production Scheduled. Jumlah Net Requirement = 0 jika PAB1 ≥ Safety stock dan Jumlah Net Requirement = (-) PAB1 + Safety stock jika PAB1 < Safety stock. Net Requirement = -(PAB 1)t + Safety Stock
112
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat yang sama dengan Net Requirements, akan tetapi ukuran pemesanannya (lot sizing) bergantung kepada order policy-nya. Selain itu juga harus mempertimbangkan Safety Stock juga. 14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus direlease atau dimanufaktur sehingga komponen ini tersedia ketika
dibutuhkan oleh induk itemnya. Kapan suatu order harus di-release ditetapkan dengan lead time period sebelum dibutuhkan. 15. Projected Available Balance 2 (PAB 2) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. Project Available Balance 2 dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned Order Receipt pada Net Requirements.
PAB 2 = (PAB2)t-1 + (Scheduled Receipt)t – (Gross Requirement)t + (Planned Order Receipt)t Atau dapat disingkat : PAB2 = (PAB1)t + (Planned Order Receipt)t
2.6.5
Capacity Requirements Planning (CRP)
CRP menggunakan routing files dan informasi pusat kerja untuk menghitung beban yang dijadwalkan pada pusat-pusat kerja, dengan mengasumsikan kapasitas tak terbatas. Apabila CRP mengidentifikasikan
113
bahwa beban dari pesanan yang dikeluarkan ditambah jadwal MRP dari pesanan yang direncanakan adalah layak dari sudut pandang kapasitas, pesanan-pesanan yang direncanakan itu dikeluarkan ke PAC untuk dilaksanakan (Gaspersz, 2001, p.129) Tujuan utama dari CRP adalah menunjukkan perbandingan antara beban yang ditetapkan pada pusat-pusat kerja melalui pesanan kerja yang ada dan kapasitas dari setiap pusat kerja selama periode waktu tertentu, guna mencapai suatu keseimbangan antara beban dan kapasitas (balanced load). Input data yang dibutuhkan dalam perencanaan kebutuhan kapasitas
meliputi dua sumber utama, yaitu schedule receipts (berisi tenggang waktu, jumlah order, operasi yang belum dan telah diselesaikan) dan planned order releases. Input lainnya adalah work order status yang menginformasikan
semua order yang ada beserta operasinya, work centre yang terlibat dan perkiraan waktu. Routing data beserta waktu operasi untuk setiap proses produksi suatu produk juga merupakan input-an untuk perencanaan kebutuhan kapasitas. Satu lagi input yang dibutuhkan adalah data work centre, yang meliputi sumber daya, standar utilisasi, efisiensi dan kapasitasnya. Elemenelemen data work centre adalah banyaknya shift per hari kerja, jumlah jam kerja per shift, banyaknya mesin, rata-rata waktu antrian, waktu menunggu dan bergerak. Setelah input yang dibutuhkan tersedia, proses perencanaan kebutuhan kapasitas dapat mulai dilakukan. Proses ini meliputi tiga tindakan, yaitu:
114
•
Menghitung kapasitas work centre Proses ini biasanya dilakukan secara manual dengan dasar sumber-sumber daya mesin dan manusia, faktor jam operasi, efisiensi dan utilisasi.
•
Menentukan beban yang dibutuhkan tiap work centre Proses ini biasanya dilakukan dengan menggunakan backward scheduling dengan infinite loading. Penetapan beban ini dengan menggandakan beban untuk setiap item melalui kuantitasnya yang dijadwalkan untuk suatu periode waktu. Proses ini biasanya menggunakan komputer.
•
Menyeimbangkan kapasitas dan beban Proses ini dilakukan secara iteratif sampai diperoleh beban yang dapat diterima. Inti proses perencanaan kebutuhan kapasitas adalah melakukan infinite
loading untuk mendeteksi area yang berpotensi mengalami masalah,
kemudian memodifikasi kapasitas yang ada. Cara penyelesaian terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan memodifikasi jadwal MPS. Output dari perencanaan kebutuhan kapasitas ini berupa laporan beban work centre yang menunjukkan hubungan antara kapasitas dan beban.
Ada tiga metode pengukuran kapasitas, yaitu: (Gaspersz, 2001, p208) a. Theoritical Capacity, diukur berdasarkan jam kerja total yang tesedia tanpa memperhitungkan waktu istirahat, downtime mesin, atau hal lainnya.
115
b. Demonstrated Capacity, merupakan tingkat output (kapasitas) yang diukur berdasarkan data masa lalu, biasanya menggunakan angka rata-rata beban kerja normal. c. Calculated Capacity, merupakan theoritical capacity yang diukur dengan penyesuaian terhadap faktor utilisasi dan efisiensi. Utilitas adalah pecahan yang menggambarkan persentase clock time yang tersedia dalam pusat kerja yang secara aktual digunakan untuk produksi. Utilitas =
jam aktual yang digunakan untuk produksi jam yang tersedia menurut jadwal
Efisiensi adalah faktor yang mengukur performansi aktual pusat kerja relatif terhadap standar yang ditetapkan. Efisiensi =
jam s tan dar yang diperoleh untuk produksi jam aktual yang diperoleh untuk produksi
Dengan demikian, Calculated Capacity per periode = banyaknya orang atau mesin x jam per shift x shift per hari x hari kerja per periode x utilitas x efisiensi.
2.6.6 Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Kapasitas Produksi
Pengendalian lantai pabrik (production activity control/shop floor control) merupakan bagian yang menjadi closed loop dari MRP II yang
116
memberikan umpan balik informasi progress implementasi dari rencana yang telah dibuat. PAC/SFC merupakan proses yang berkaitan dengan keputusankeputusan untuk membuat aktivitas produksi sesuai dengan rencana yang dibuat, melaporkan kemajuan pelaksanaan produksi, dan juga memperbaiki rencana jika diperlukan. Tujuan
utama
dari
pengendalian
aktivitas
produksi
adalah
mempertahankan keseimbangan antara sumber-sumber daya manufakturing yang tersedia dan permintaan total. Fungsi dari PAC sering disebut sebagai: shop floor control adalah melakukan aktivitas-aktivitas sebagaimana telah
direncanakan, melaporkan hasil-hasil operasi dan memperbaiki atau merevisi rencana-rencana yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. PAC melakukan
umpan
balik
melalui
pengukuran
output
aktual
dan
membandingkannya dengan rencana- rencana yang telah ada. Sistem pengendalian aktivitas produksi memberikan umpan balik tentang biaya, efisiensi, utilisasi, dan performansi dari jadwal. Umpan balik ini penting untuk mengambil tindakan korektif apabila performansi aktual tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Pembuatan laporan produksi berkaitan dengan pengumpulan dan pemeliharaan data untuk menjamin akurasi dan integritas dari informasi terutama berkaitan dengan status dari work in process inventory.
117
2.6.6.1 Penjadwalan Produksi
Penjadwalan produksi didefinisikan sebagai proses pengalokasian sumber atau mesin untuk melakukan sekumpulan tugas dalam jangka waktu tertentu. Tujuan penjadwalan meliputi:
− Meminimumkan rata-rata keterlambatan (average lateness) − Meminimumkan maksimum keterlambatan (maksimum lateness) − Meminimumkan flow time (manufacturing lead time) − Meminimumkan barang setengah jadi (work in process) − Memaksimumkan utilisasi work centre yang bottleneck Penjadwalan produksi memiliki beberapa fungsi dalam sistem produksi, sebagai berikut (Baroto, 2002, p.167) : 1. Loading (pembebanan). Bertujuan mengkompromikan antara kebutuhan yang diminta dengan kapasitas yang ada. Loading ini untuk menentukan fasilitas, operator, dan peralatan. 2. Sequencing (penentuan urutan). Bertujuan membuat prioritas pengerjaan dalam pemrosesan order-order yang masuk. 3. Dispatching. Pemberian perintah-perintah kerja ke tiap mesin atau ke fasilitas lainnya. 4. Pengendalian kinerja penjadwalan, dengan cara : a. Memonitor perkembangan pencapaian pemenuhan order dalam semua sektor
118
b. Merancang ulang sequencing, bila ada kesalahan atau ada prioritas utama baru. 5. Updating schedules. Pelaksanaan jadwal biasanya selalu ada masalah baru yang berbeda dari saat pembuatan jadwal, maka jadwal harus segera di update bila ada permasalahan baru yang memang perlu diakomodasi.
Kriteria untuk mengevaluasi penjadwalan yang dilakukan telah banyak dikembangkan. Kriteria evaluasi penjadwalan adalah sebagai berikut: a. Completion time, Ci atau saat selesai, yaitu saat penyelesaian operasi paling akhir suatu order i. b. Flow time, Fi =Ci – ri atau waktu tinggal, yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu order i berada di-shop (disebut juga shop time atau manufacturing interval).
c. Waiting time, Wi = Ci – ri - atau waktu tunggu, yaitu waktu menunggu antara waktu suatu proses selesai diproses sampai dimulai operasi berikutnya dari pengerjaan setiap operasi pada order i. d. Lateness, Li = Ci – di yaitu waktu antara saat selesai dan due date (di) suatu order i. e. Tardiness, Ti = max {0,Li} yaitu waktu keterlambatan saat selesai suatu order i.
119
2.6.6.2 Urutan Pengerjaan
Pada suatu perusahaan tentunya akan ada banyak order yang datang dan dalam menentukan kapan order tersebut akan dikerjakan perusahaan memerlukan aturan job sequencing. Adanya job sequencing ini akan membantu perusahaan dalam menentukan proses order mana yang terlebih dahulu dikerjakan pada suatu work centre. Selain itu, ditentukan pula cara/jalur (routing) yang akan dipilih untuk memproses order tersebut. Teknik atau metode penjadwalan produksi sangat bergantung pada jenis produksinya. Penjadwalan pada produksi job shop akan berbeda dengan penjadwalan pada produksi massal dan proyek. Pengurutan pengerjaan merupakan problem yang cukup penting dalam analisis produksi. Problem yang dihadapi karena adanya banyaknya job dan ketersediaan mesin yang terbatas. Job sequencing bertujuan untuk mencapai kriteria performance tertentu yang optimal. Ada banyak aturan sequencing yang dapat digunakan dalam proses produksi. Berikut ini akan diuraikan beberapa aturan saja yang biasa digunakan: 9 FCFS (First Come First Served) : Menurut aturan ini, order yang pertama
kali dikerjakan adalah order yang pertama kali tiba di perusahaan atau pertama kali tiba di work centre. 9 SPT (Short Processing Time) : Perusahaan yang menggunakan aturan ini
akan mengerjakan terlebih dahulu order dengan waktu proses paling
120
singkat. Aturan ini dapat mengurangi inventory WIP, rata-rata flow time, dan rata-rata waktu keterlambatan. 9 EDD (Earliest Due Date) : Aturan sequencing ini akan mengerjakan
terlebih dahulu order dengan tenggang waktu yang lebih dekat. Dengan kata lain, order yang terlebih
dahulu dikerjakan adalah order yang
tenggang waktunya paling pendek.
Aturan ini dapat berguna untuk
mencegah terjadinya keterlambatan job. 9 ST (Slack Time) : Slack time dapat didefinisikan sebagai berikut: slack time = (due date – tgl. hari ini) – (waktu proses yang tersisa) Berdasarkan
aturan ini, lantai produksi akan mengerjakan terlebih dahulu job dengan nilai slack time yang paling kecil. 9 Fewest Operation (OP), prioritas diberikan kepada pesanan dengan
jumlah pengerjaan yang lebih sedikit. 9 Shortest Total Processing Time Remaining (STPT), prioritas diberikan
kepada pesanan dengan sisa waktu proses yang lebih kecil. 9 Critical Ratio (CR), prioritas diberikan kepada pesanan dengan critical ratio yang lebih kecil. Critical ratio adalah perbandingan antara waktu
yang tersisa sebelum saat kirim dibagi dengan waktu proses. Jika nilai CR = 1 (berarti order sesuai jadwal), CR > 1 (berarti order selesai lebih awal), dan CR < 1 (berarti order selesai terlambat).
121
Evaluasi terhadap cara-cara penentuan prioritas perlu dilakukan untuk menentukan efektivitas dari cara penentuan prioritas tersebut, yang dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria berikut (Baroto, 2002, p170) : 1. Mean flow time (MFT) atau rata-rata waktu job berada dalam sistem. 2. Idle time atau waktu menganggur dari mesin. 3. Mean lateness atau rata-rata keterlambatan. 4. Mean number job in the system (WIP) atau rata-rata jumlah job dalam mesin. 5. Make-span atau total waktu penyelesaian seluruh job.
2.6.7
Penjadwalan Mesin dengan Algoritma Heuristik Pour
Masalah penjadwalan flowshop adalah menjadwalkan proses produksi dari masing-masing n job yang mempunyai urutan proses produksi dan melalui m mesin yang sama. Beberapa asumsi yang dipakai dalam penjadwalan flowshop adalah a. Tidak terdapat preemption, b. Semua job mempunyai ready time yang sama dan bersifat independent terhadap yang lain, c. Setiap mesin selalu siap untuk mengerjakan job-job yang ada tanpa adanya gangguan, seperti machine breakdown atau perawatan, dan d. Waktu set up bersifat independent dan termasuk dalam waktu proses.
122
Hamid Davoud Pour (2001) mengembangkan algoritma heuristik baru
didalam menyelesaikan penjadwalan flowshop dengan tujuan meminimalkan makespan yaitu berdasarkan pendekatan kombinasi. Hal ini dilakukan dengan
cara mengganti setiap job dengan job yang lainnya dalam urutan sampai ditemukan kombinasi urutan yang dapat memenuhi kriteria tujuan. Dalam metode ini diasumsikan bahwa semua job diproses secara terpisah dan independent untuk setiap mesinnya. Berikut adalah notasi yang digunakan:
•
Pij = waktu proses dari job i pada mesin j.
•
Cij = rentang waktu antara saat job i pada mesin j dimulai (t=0) sampai job itu selesai.
•
Ci = sum of completion time untuk job i pada semua mesin.
•
Fmax = rentang waktu antara saat pekerjaan tersedia atau dapat dimulai sampai pekerjaan itu selesai (makespan).
Langkah-langkah pengerjaan Algoritma Heuristik Pour: 1. Memilih job secara acak sebagai urutan pertama sementara dalam urutan pengerjaan. 2. Menempatkan job-job lain (selain job yang sudah dipilih sebagai urutan pertama) pada urutan berikutnya. 3. Memilih waktu proses terkecil untuk masing-masing mesin.
123
4. Melakukan penambahan waktu proses secara increasing time pada Pij yang lain, selain Pij paling minimal yang terpilih sebelumnya. 5. Menghitung sum of completion time (Ci) untuk setiap job yang ada. 6. Mengurutkan Ci dengan aturan increasing order untuk diletakkan pada urutan setelah job yang sudah dipilih untuk urutan pertama sementara. 7. Setelah didapatkan urutan sementara, maka hitunglah Fmax-nya. 8. Melakukan ulang langkah 1-7 untuk setiap job yang ada sampai didapatkan Fmax paling minimal, yang akan ditempatkan sebagai urutan pertama dari urutan job. 9. Melakukan ulang langkah 1-8 sampai semua job berada pada urutan pengerjaan.
Berikut ini akan dijelaskan contoh pengerjaan algoritma Heuristik Pour dengan menggunakan kasus kombinasi 5 job dan 5 mesin: 1) Memilih job 1 sebagai job pertama untuk ditempatkan dalam urutan pengerjaan. 2) Job 1 dipilih untuk menduduki urutan pertama sehingga waktu proses job 1 pada semua mesin dianggap 0. Tempatkan job selain job 1 sebagai urutan pertama pada urutan berikutnya.
124
Tabel 2.5 Data Waktu Proses Kombinasi 5 job dan 5 Mesin J1 J2 J3 J4 J5
M1 M2 M3 M4 M5 6 8 6 11 18 17 8 6 9 8 5 6 19 5 6 8 10 8 17 9 8 12 10 5 14
Tabel 2.6 Job 1 sebagai urutan pertama J1 J2 J3 J4 J5
M1 M2 M3 M4 M5 17 8 6 9 8 5 6 19 5 6 8 10 8 17 9 8 12 10 5 14
3) Memilih waktu proses terkecil untuk masing-masing mesin contoh M1=5, M2=6. Lakukan penambahan waktu proses (completion time) pada setiap Pij dengan aturan increasing processing time, contoh urutan waktu proses di M1 terkecil-terbesar adalah J3, J4, J5, J2 sehingga waktu proses J4 di M =5+8 =13, J5 di M1=13+8=21, J2 di M1=21+17=38. 4) Hitunglah sum of completion time (Ci) untuk setiap job yang ada
J1 J2 J3 J4 J5
Tabel 2.7 Langkah 3) dan 4) M1 M2 M3 M4 M5 38 14 6 19 14 5 6 43 5 6 13 24 14 36 23 21 36 24 10 37
Ci 91 65 110 128
5) dan 6) Dari Tabel 2.7 didapatkan urutan sementara dengan job 1 sebagai posisi pertama adalah J1-J3-J2-J4-J5.
125
7) Urutan J1-J3-J2-J4-J5 mempunyai Fmax = 94. Tabel 2.8 Tabel Waktu Urutan J1-J3-J2-J4-J5 M1 M2 M3 M4 M5 14 20 31 49 J1 6 J3 11 20 39 44 55 J2 28 36 45 54 63 J4 36 46 54 71 80 J5 44 58 68 76 94 8) Memilih job 2 sebagai urutan pertama sementara dalam pengerjaan dan langkah pengerjaan 1-7 berulang lagi. Dari semua urutan dengan job 1 sebagai posisi pertama, job 2 sebagai urutan pertama dan seterusnya dipilih urutan yang mempunyai Fmax terkecil.
9) Dilakukan langkah 1-8 untuk job yang akan menempati posisi berikutnya.