BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Standard Operating Procedure (SOP) 2.1.1 Pengertian SOP Setiap organisasi perusahaan memiliki pola dan mekanisme tersendiri dalam menjalankan kegiatannya, pola dan mekanisme itu melalui prosedur dan pedoman secara manual, oleh karena itu melalui bagian ini akan dijelaskan beberapa pengertian yang berkaitan dengan pola dan mekanisme dalam perusahaan, seperti pengertian SOP dan standar kerja. Prosedur adalah suatu rangkaian metode yang telah menjadi pola tetap dalam melakukan suatu pekerjaan yang merupakan suatu kebulatan (Sayuti, 2012: 2). Sementara itu prosedur perkantoran atau sistem perkantoran diartikan sebagai urutan langkah-langkah (atau pelaksanaan-pelaksanaan pekerjaan). Menurut Syamsi dalam Sayuti (2012: 2), prosedur kerja adalah serangkaian tugas yang saling berkaitan dan yang secara kronologis berurutan dalam rangka menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam melaksanakan suatu pekerjaan, selain jelasnya urutan atau langkah-langkahnya, diperlukan juga suatu standar kerja yang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, berkenaan dengan hal ini, standar kerja merupakan suatu garis referensi manajemen atau dasar perbandingan (Sayuti, 2012: 2). Menurut Maryati dalam Sayuti (2012: 2), standar kerja adalah perilaku atau hasil minimum yang diharapkan dapat dicapai oleh seluruh karyawan kantor. Sedangkan menurut Moekijat dalam Sayuti (2012: 2), standar adalah sesuatu yang terbentuk karena kebiasaan maupun oleh kekuasaan untuk mengukur hal-hal seperti mutu. Berdasarkan penjelasan di atas, suatu organisasi tentu menerapkan suatu prosedur yang diterapkan dalam suatu pekerjaan yang berisi langkahlangkah kerja dengan tujuan dapat mencapai hasil kerja yang diharapkan atau hasil minimum yang diharapkan. Maka dari itu dibuatlah SOP yang diterapkan perusahaan dalam mencapai tujuan yang diharapkan perusahaan, Menurut Atmoko (2011: 2) SOP adalah pedoman atau acuan melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif, dan prosedural sesuai dengan tata cara kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan, Crisyanti (2011: 203) menyatakan bahwa SOP menjadi relevan karena sebagai tolak ukur dalam menilai efektivitas dan efisiensi kinerja perusahan dalam melaksanakan program kerjanya. Dari pengertian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa SOP merupakan pedoman kerja bagi setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. 2.1.2 Tahap Penyusunan SOP Menurut Atmoko (2009: 2), tahap penting dalam penyusunan SOP adalah melakukan analisis sistem dan prosedur kerja, analisis tugas, dan melakukan analisis prosedur kerja. 1. Analisis Sistem dan Prosedur Kerja Analisis sistem dan prosedur kerja adalah kegiatan mendefinisikan fungsi-fungsi utama dalam suatu pekerjaan, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melaksanakan fungsi sistem 5
6
2.
3.
2.2
dan prosedur kerja. Sistem adalah kesatuan unsur yang saling berhubungan dan mempengaruhi, sehingga muncul dalam bentuk keseluruhan, bekerja, berfungsi, atau bergerak secara harmonis yang ditopang oleh sejumlah prosedur yang diperlukan. Analisis Tugas Analisis tugas merupakan proses manajemen yang merupakan penelaahan yang mendalam dan teratur terhadap suatu pekerjaan, karena itu analisis tugas diperlukan dalam setiap perencanaan dan perbaikan organisasi. Analisis tugas diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai pekerjaan, sifat pekerjaan, syarat pejabat, dan tanggung jawab pejabatnya. Berikut lima aspek yang berkaitan dengan analisis tugas: 1. Analisis tugas, yakni penghimpunan informasi dengan sistematis dan penetapan seluruh unsur yang tercakup dalam pelaksanaan tugas khusus. 2. Deskripsi tugas, merupakan garis besar data informasi yang dihimpun dari analisis tugas, disajikan dalam bentuk terorganisasi yang mengidentifikasikan dan menjelaskan isi tugas atau jabatan tertentu. 3. Spesikasi tugas, berisi catatan-catatan terperinci mengenai kemampuan pekerja untuk tugas spesifik. 4. Penilaian tugas, berupa prosedur penggolongan dan penentuan kualitas tugas untuk menetapkan serangkaian nilai moneter untuk setiap tugas spesifik dalam hubungannya dengan tugas lain. 5. Pengukuran kerja dan penentuan standar tugas merupakan prosedur penetapan Analisis Prosedur Kerja Analisis prosedur kerja adalah kegiatan untuk mengidentifikasi urutan langkah-langkah pekerjaan yang berhubungan dengan apa yang dilakukan, bagaimana hal tersebut dilakukan, dimana hal tersebut dilakukan, bilamana hal tersebut dilakukan, dan siapa saja yang melakukannya. Prosedur diperoleh dengan merencanakan terlebih dahulu bermacam-macam langkah yang dianggap perlu untuk melaksanaan pekerjaan. Dengan demikian prosedur kerja dapat dirumuskan sebagai serangkaian langkah pekerjaan yang berhubungan, biasanya dilaksanakan oleh lebih dari satu orang, yang membentuk suatu cara tertentu dan dianggap baik untuk melakukan suatu keseluruhan tahap yang penting. Analisis terhadap prosedur kerja akan menghasilkan suatu diagram alir (flow chart) dari aktivitas organisasi dan menentukan hal-hal kritis yang mempengaruhi keberhasilan organisasi. Aktivitas-aktivitas kritis ini perlu didokumentasikan dalam bentuk prosedur-prosedur dan selanjutnya memastikan bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas itu dikendalikan oleh SOP.
Evaluasi Supplier Supplier merupakan salah satu bagian Supply Chain Management yang tak terpisahkan dan sangat mempengaruhi kelangsungan operasional suatu perusahaan, dan pemilihan supplier dengan cara yang tepat dapat mengurangi biaya pembelian (Paramita, 2012: 1). Seleksi supplier merupakan hal yang
7 rumit karena banyak kriteria yang harus dipertimbangkan, kriteria yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja supplier berbeda-beda dalam setiap perusahaan (Gallego, 2011: 17). Tidak semua material kebutuhan produksi dijual oleh banyak supplier, apabila supplier belum mencapai kinerja yang diinginkan perusahaan, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap supplier tersebut. Dalam meningkatkan kinerja perusahaan, perlu dilakukan kegiatan berupa pengukuran dan mengetahui kualitas supplier dan membangun jalinan komunikasi yang efektif, hal tersebut merupakan bagian dari Supplier Management System (Samson et al, 2013: 71). Evaluasi kinerja supplier merupakan proses penting untuk mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan supplier, sehingga dari hal ini perusahaan dapat melakukan pengembangan terhadap supplier mereka apabila supplier belum mencapai kinerja yang diinginkan perusahaan atau pelanggannya (Sivapornpunlerd, 2014: 647). Mengukur kinerja supplier dapat memberikan informasi yang diperlukan dalam mengambil keputusan, mengontrol, dan mengarahkan suatu kegiatan operasional. Manajer perusahaan juga dapat mengarahkan supplier untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kinerja sehingga akan dapat mencapai tujuan bersama (Samson et al, 2013: 72). Cara tradisional dalam melakukan penilaian kinerja supplier adalah faktor biaya (Cost), ada beberapa tambahan faktor yang dianggap penting dalam penilaian kinerja supplier, yaitu Quality, Delivery, dan Flexibility (Samson et al, 2013: 72). 2.2.1 Kriteria dalam Evaluasi Supplier Pemilihan kriteria dan penentuan bobot dari kriteria dalam penilaian adalah hal yang penting, karena belum tentu setiap perusahaan memiliki bobot yang sama untuk tiap-tiap kriteria. Secara garis besar, ada 4 (empat) kriteria yang menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kinerja supplier, kriteria tersebut adalah kualitas, biaya, pengiriman, dan pelayanan (Gallego, 2011, p. 17). Menurut Gallego (2011) kriteria dalam mengevaluasi supplier adalah sebagai berikut: 1. Quality (Kualitas) Kualitas merupakan tingkat dimana kebutuhan pelanggan terpenuhi (Gallego, 2011: 21), kualitas produk yang dijual supplier akan mempengaruhi kualitas produk yang akan dijual oleh perusahaan (pelanggannya), maka dari itu, supplier perlu memastikan spesifikasi yang diminta pelanggan sesuai dengan yang diberikan supplier. Ada delapan dimensi kualitas yakni kinerja, fitur, keandalan, daya tahan, spesifikasi, servis (pengoperasian dan perawatan), estetika, persepsi kualitas (penilaian pelanggan) (Gallego, 2011: 21). 2. Delivery (Pengiriman) Kinerja pengiriman yang dilakukan supplier menggambarkan tingkat efisiensi bisnis yang mereka lakukan, sebelum melakukan pengiriman, dokumen-dokumen yang dibutuhkan harus dilengkapi sesuai dengan kebijakan yang berlaku dengan tujuan proses pengiriman dan penerimaan barang dapat dikontrol dan sesuai dengan ekspektasi pelanggan (Gallego, 2011: 23). Menurut Gallego (2003: 23), ada tujuh elemen dalam pengiriman, yakni waktu dari pemesanan hingga
8
3.
4.
2.3
pengiriman, keandalan pengiriman, kepastian pengiriman, informasi (dokumen), adaptasi pelanggan, fleksibilitas, service level. Cost (Biaya) Harga jual supplier akan berdampak langsung terhadap biaya produksi perusahaan, pendekatan tradisional lebih menekankan untuk memilih supplier dengan biaya paling murah, namun hal ini tidak lagi berlaku, karena harga jual supplier harus sesuai dengan pelayanan yang diperoleh perusahaan (sebagai pelanggan), harga yang murah belum tentu memberikan kualitas yang sesuai dengan ekspektasi pelanggan (Gallego, 2011: 25). Responsiveness (Ketanggapan) Selain kualitas, pengiriman, dan biaya, ada satu kriteria yang juga dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan evaluasi supplier, yakni ketanggapan. Ketanggapan supplier dalam menangani pertanyaan, permintaan, dan keluhan harus efisien, karena hal ini akan berdampak langsung terhadap kepuasan pelanggan. Mengevaluasi supplier dalam hal ketanggapan dapat dilakukan secara subjektif mengingat hal tersebut adalah hal yang sulit diukur, hal-hal yang perlu diketahui sebelum mengevaluasi supplier dalam hal ketanggapan adalah informasi seperti sikap supplier terhadap permintaan pelanggan, ketepatan dan cara menjawab pertanyaan pelanggan, dan cara supplier menanggapi keluhan. Mengevaluasi ketanggapan supplier dapat dilakukan dalam tiga kali, yakni sebelum transaksi, transaksi, dan sesudah transaksi (Gallego, 2011: 24).
Diagram Pareto Diagram Pareto adalah grafik yang menunjukkan peringkat klasifikasi data dengan urutan dari kiri ke kanan. Klasifikasi yang dimaksudkan adalah data kegagalan di lapangan seperti masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian, dan sebagainya. Bagian kiri dari Pareto diagram ada di sebelah kiri, sedangkan bagian yang berguna ada di sebelah kanan. Kadangkala diagram Pareto digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang paling penting. Langkah-langkah membuat diagram Pareto (Besterfield, 2009: 78) adalah: 1. Tentukan metode pengklasifikasian data: oleh masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian, dan lain-lain. 2. Tentukan apakah dari sisi biaya, frekuensi bobot, atau frekuensi lain yang akan digunakan untuk menentukan peringkat karakteristik. 3. Mengumpulkan data untuk interval waktu yang tepat. 4. Meringkas data dan kategori peringkat order dari terbesar ke terkecil. 5. Mengitung persentase kumulatif jika akan digunakan. 6. Membangun diagram dan menentukan hal yang paling berpengaruh dalam permasalahan.
9
Sumber: (Montgomery, 2009: 202) Gambar 2.1 Contoh Diagram Pareto 2.4
Supply Positioning Model (Portfolio Approach – Kraljic Matrix) Supply Positioning Model telah banyak digunakan oleh banyak perusahaan atau industri sebagai alat yang efisien untuk mengembangkan strategi pembelian (Ferreira & Kharlamov, 2012: 1). Dalam strategi pembelian yang dilakukan perusahaan, Matriks Kraljic digunakan sebagai dasar untuk mempertimbangkan dampak strategis (dapat berupa profit, atau biaya) dan risiko pasokan (supply risk), perusahaan akan mendapatkan persepsi yang lebih baik dalam kegiatan tawar-menawar dan mengurangi risiko yang dialami perusahaan (Ferreira & Khmarlamov, 2012: 2). Kepentingan strategis dapat diukur oleh biaya bahan baku atau total biaya, profit nilai tambah, sedangkan risiko pasokan dapat diukur berdasarkan pemasok yang tersedia untuk suatu produk, monopoli atau oligopoli, kecepatan kemajuan teknologi, hambatan pengiriman, biaya logistik, kompleksitas, dan lain-lain (Ferreira & Khmarlamov, 2012: 2). Menurut Padhi, Wagner, & Aggarwal (2012: 7), masing-masing kriteria dalam menentukan supply possitioning model terdapat subkriteria, untuk kriteria supply risk, subkriterianya adalah sebagai berikut: 1. Market Risk, dapat diukur berdasarkan ketersediaan supplier untuk suatu barang, apakah monopoli atau oligopoli, dan hambatan untuk masuk ke pasar. 2. Performance Risk, kualitas dan kinerja dari supplier menentukan kualitas dan kinerja dari perusahaan yang membeli produk dari supplier tersebut. 3. Complexity Risk, terkait dengan masalah standarisasi dan tingkat kerentanan item atau barang tersebur terhadap supply. Sedangkan subkriteria untuk profit impact adalah sebagai berikut: 1. Impact on Profitability, hal ini didasari oleh tingkat profit yang diperoleh perusahaan dalam menggunakan item tersebut dalam kegiatan operasionalnya. 2. Importance of Purchase, hal ini ditunjukkan dari seberapa penting item tersebut dalam kegiatan operasional perusahaan. 3. Value/cost of Purchase, hal ini ditunjukkan oleh besarnya biaya yang berwujud dan tidak berwujud yang dibutuhkan atau nilai yang diperoleh dari pembelian item tersebut.
10 Terdapat empat kategori dari dua faktor yang digunakan dalam supply positioning model, yaitu leverage, strategic, non-critical, dan bottleneck. 1. Item leverage dikenal sebagai kategori item yang terbaik, dampak profit yang dihasilkan cukup tinggi, sedangkan risiko pasokannya rendah. 2. Item strategis (strategic) memiliki dampak profit yang tinggi, dan memiliki risiko pasokan yang tinggi. Mengingat profit dan risiko pasokan yang tinggi, perlu dilakukan manajemen khusus, misalnya menjalin hubungan jangka panjang dengan supplier dan rencana yang berkesinambungan. 3. Item bottleneck pada umumnya adalah item yang diabaikan, item ini memiliki dampak profit yang sangat rendah tapi risiko pasokannya tinggi. Di sisi lain, item bottleneck juga diperlukan karena kurangnya item ini dapat menunda suatu proyek secara keseluruhan. 4. Item non-critical merupakan item yang memberikan dampak profit dan risiko pasokan yang rendah, sebagai contoh alat-alat kesehatan, peralatan kantor, dan lain-lain. (Ferreira & Khmarlamov, 2012: 3)
Sumber: (Padhli, Wagner, & Aggarwal, 2012: 6) Gambar 2.2 Supply Positioning Model 2.5
Fuzzy Analytic Network Process Fuzzy ANP merupakan gabungan dari metode fuzzy dan ANP (Analytic Network Process). Pendekatan ANP digunakan untuk mengambil keputusan terbaik berdasarkan kriteria-kriteria yang ada, sedangkan pendekatan fuzzy digunakan untuk mengakomodasi sifat samar dari pengambil keputusan dalam memberikan penilaian di mana dapat mengatasi ketidakpastian di dalam kriteria-kriteria kualitatif (Paramita, Effendi, & Dewi, 2012: 160). Fuzzy ANP juga dapat digunakan untuk menentukan bobot prioritas dimensi dan atribut dalam pengambilan keputusan (Padhi, Wagner, & Aggarwal, 2012: 3). Dalam Penelitian ini, Fuzzy ANP akan digunakan untuk menghitung bobot dari dua kriteria yakni supply risk dan profit impact yang akan dijadikan kriteria dalam Supply Positioning Model.
11
Tabel 2.1 Skala Linguistik dan Bilangan Fuzzy Bilangan Skala Linguistik Skala Bilangan Fuzzy Fuzzy 0 Tidak ada (1,1,2) 1 Sangat-sangat rendah (1,2,3) 2 Sangat rendah (2,3,4) 3 Rendah (3,4,5) 4 Sedikit lebih rendah (4,5,6) 5 Sama penting (5,6,7) 6 Sedikit lebih tinggi (6,7,8) 7 Tinggi (7,8,9) 8 Sangat tinggi (8,9,10) 9 Sangat-sangat tinggi (9,10,10) Sumber: (Padhi, Wagner, & Aggarwal, 2012: 3) Metode fuzzy multi attribute scoring terdiri dari langkah-langkah berikut: 1. Desain skala linguistik untuk mengetahui skor dari kinerja ahli dalam menentukan atribut yang akan dipilih. 2. Kumpulkan sejumlah penilaian para ahli terhadap atribut dan dikonversi menjadi bilangan fuzzy. 3. Hitung rata-rata nilai dari atribut yang telah diberikan para ahli. Contoh dari perolehan nilai dari para ahli: Tabel 2.2 Contoh Penilaian dari Para Ahli untuk Supply Positioning Model Expert- Expert- Expert- Expert- ExpertAverage Attribute 1 2 3 4 5 Score (θm) Supply risk Market risk (6,7,8) (5,6,7) (6,7,8) (7,8,9) (5,6,7) (5.8,6.8,7.8) Performance risk (4,5,6) (3,4,5) (3,4,5) (5,6,7) (4,5,6) (3.8,4.8,5.8) Complexity risk (3,4,5) (2,3,4) (2,3,4) (3,4,5) (3,4,5) (2.6,3.6,4.6) Profit impact Impact on profitability (4,5,6) (4,5,6) (2,3,4) (3,4,5) (2,3,4) (3,4,5) Criticality of purchase (5,6,7) (4,5,6) (3,4,5) (6,7,8) (4,5,6) (4.4,5.4,6.4) Value/cost of purchase (7,8,9) (7,8,9) (6,7,8) (7,8,9) (6,7,8) (6.6,7.6,8.6) Sumber: (Padhi, Wagner, & Aggarwal, 2012: 4)
Dimana θm adalah rata-rata dari keseluruhan penilaian para ahli. E adalah indeks dari para ahli (pada contoh diatas E = 5) dan M adalah jumlah dari atribut yang ada. 4. Tentukan skor dari supply risk dan profit impact dengan mengikuti 3 langkah berikut:
12 a. Menentukan penilaian fuzzy dengan menggunakan matriks AG
Dimana,
b. Menentukan fuzzy atributtes weights (βm) dari nilai matriks AG dengan cara:
c. Menentukan The Normalized Weights
5. Setelah diperoleh nilai NWm, kemudian dari contoh penilaian dari para ahli diatas maka dapat diperoleh: Tabel 2.3 Contoh Hasil Bobot Normalisasi Supply risk Profit impact Attribute Normalized Attribute priority weights Market risk 0.443 Impact on profitability Performance 0.347 Criticality of risk purchase Complexity 0.210 Cost/value of risk purchase Sumber: (Padhi, Wagner, & Aggarwal, 2012: 5)
Normalized priority weights 0.235 0.318 0.447
6. Menentukan nilai Sj sebagai bobot penilaian the supply positioning model dengan menggunakan rumus:
Dimana, adalah rata-rata dari keseluruhan penilaian para ahli. Contoh bobot penilaian supply positioning model:
13
Sumber: (Padhi, Wagner, & Aggarwal, 2012: 5) Gambar 2.3 Hasil Perhitungan Skor Berdasarkan Fuzzy ANP 7. Menentukan grafik supply positioning model dari bobot yang telah diperoleh. Berikut contoh dari grafik supply positioning model:
Sumber: (Padhi, Wagner, & Aggarwal, 2012: 6) Gambar 2.4 Kategori Item Berdasarkan Supply Risk dan Profit Impact