BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Citra Digital
Menurut Baxes (2004 : 1), “Citra digital dapat didefinisikan sebagai fungsi dua variabel f(x,y), di mana x dan y adalah koordinat spasial dan nilai f(x,y) adalah intensitas citra pada koordinat tersebut. Teknologi dasar untuk menciptakan dan menampilkan warna pada citra digital berdasarkan pada penelitian bahwa sebuah warna merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB)”.
Tampilan citra digital dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Contoh Citra Digital Sumber : Baxes (2004 :3) RGB adalah suatu model warna yang terdiri dari merah, hijau, dan biru, digabungkan dalam membentuk suatu susunan warna yang luas. Setiap warna dasar, misalnya merah, dapat diberi rentang-nilai. Untuk monitor komputer, nilai rentangnya paling kecil = 0 dan paling besar = 255. Pilihan skala 256 ini didasarkan pada
cara
mengungkap
8
digit
bilangan
biner
yang
digunakan
oleh
Universitas Sumatera Utara
mesin komputer. Dengan cara ini, akan diperoleh warna campuran sebanyak 256 x 256 x 256 = 1677726 jenis warna. Sebuah jenis warna, dapat dibayangkan sebagai sebuah vektor di ruang 3 dimensi yang biasanya dipakai dalam matematika, koordinatnya dinyatakan dalam bentuk tiga bilangan, yaitu komponen-x, komponeny dan komponen-z. Misalkan sebuah vektor dituliskan sebagai r = (x,y,z). Untuk warna, komponen-komponen tersebut digantikan oleh komponen R(ed), G(reen), B(lue). Jadi, sebuah jenis warna dapat dituliskan sebagai berikut: warna = RGB(30, 75, 255). Putih = RGB (255,255,255), sedangkan untuk hitam= RGB(0,0,0). Bentuk Representasi warna dari sebuah citra digitial dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Representasi Warna RGB Pada Citra Digital Sumber : Baxes (2004 : 5) Misal : terdapat Gambar berukuran 100 pixel x 100 pixel dengan color encoding 24 bits dengan R = 8 bits, G = 8 bits, B = 8 bits, maka color encoding akan mampu mewakili 0 ... 16.777.215 (mewakili 16 juta warna), dan ruang disk yang dibutuhkan = 100 x 100 x 3 byte (karena RGB) = 30.000 bytes = 30 KB atau 100 x 100 x 24 bits = 240.000 bits.
Citra sebagai keluaran dari suatu sistem perekaman data dapat bersifat : 1. Optik berupa foto. 2. Analog berupa sinyal video seperti gambar pada monitor televisi. 3. Digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetic .
Universitas Sumatera Utara
Citra juga dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1. Citra tampak, misalnya foto, gambar, lukisan, apa yang nampak di layer monitor/televisi, hologram, dan lain-lain. 2. Citra tidak tampak, misalnya data foto / gambar dalam file, citra yang direpresentasikan dalam fungsi matematis (Munir,2004).
2.2
Format Citra Digital
Citra Digital memiliki beberapa format yang memiliki karakteristk tersendiri. Format pada citra digital ini umumnya berdasarkan tipe dan cara kompresi yang digunakan pada citra digital tersebut. Menurut Awcock (2006 : 18), “Ada empat format citra digital yang sering dijumpai, antara lain :
1. Bitmap (BMP) Merupakan format Gambar yang paling umum dan merupakan format standard windows. Ukuran filenya sangat besar karena bisa mencapai ukuran Megabytes. File ini merupakan format yang belum terkompresi dan menggunakan sistem warna RGB (Red, Green, Blue) di mana masing-masing warna pixelnya terdiri dari 3 komponen R, G, dan B yang dicampur menjadi satu. File BMP dapat dibuka dengan berbagai macam software pembuka Gambar seperti ACDSee, Paint, Irvan View dan lain-lain. File BMP tidak bisa (sangat jarang) digunakan di web (internet) karena ukurannya yang besar.
Tabel 2.1 Bitmap Info Header Nama Field bfType
Size in Bytes 2
Keterangan Mengandung
karakter
“BM”
yang
mengidentifikasikan tipe file bfSize
4
Memori file
bfReserved1
2
Tidak dipergunakan
bfReserved1
2
Tidak dipergunakan
bfOffBits
4
Offset untuk memulai data pixel
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Bitmap Core Header Field Name
Size in Bytes
Keterangan
bcSize
4
Memori Header
bcWidth
2
Lebar Gambar
bcHeight
2
Tinggi Gambar
bcPlanes
2
Harus 1
bcBitCount
2
Bits per pixels – 1,4,8 atau 24
2. Joint Photographic Expert Group (JPEG/JPG) Format JPEG merupakan format yang paling terkenal sampai sekarang ini. Hali ini karena sifatnya yang berukuran kecil (hanya puluhan/ratusan KB saja), dan bersifat portable. File ini sering digunakan pada bidang fotografi untuk menyimpan file foto. File ini bisa digunakan di web (internet).
3. Graphic Intrechange Format (GIF) Tipe file GIF memungkinkan penambahan warna transparan dan dapat digunakan untuk membuat animasi sederhana, tetapi saat ini standar GIF hanya maksimal 256 warna saja. File ini menggunakan kompresi yang tidak menghilangkan data (lossles compression) tetapi penurunan jumlah warna menjadi 256 sering membuat gambar yang kaya warna seperti pemandangan menjadi tidak realistis. Pada program MS Paint, tidak ada fasilitas penyesuaian warna yang digunakan (color table) sehingga menyimpan file GIF di MS Paint seringkali menghasilkan gambar yang terlihat rusak atau berubah warna. Pada program pengolah gambar yang lebih baik, seperti Adobe Photoshop, color table bisa diatur otomatis atau manual sehingga gambar tidak berubah warna atau rusak.
File GIF cocok digunakan untuk: a. Gambar dengan jumlah warna sedikit (dibawah 256). b. Gambar yang memerlukan perbedaan warna yang tegas seperti logo tanpa gradien. c. Gambar animasi sederhana seperti banner-banner iklan, header, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
d. Print shoot (hasil dari print screen) dari program-program simple dengan jumlah warna sedikit.
File GIF tidak cocok digunakan untuk: a. Gambar yang memiliki banyak warna seperti pemandangan. b. Gambar yang didalamnya terdapat warna gradien atau semburat.
4. Portable Network Graphics (PNG) Tipe file PNG merupakan solusi kompresi yang powerfull dengan warna yang lebih banyak (24 bit RGB + alpha). Berbeda dengan JPG yang menggunakan teknik kompresi yang menghilangkan data, file PNG menggunakan kompresi yang tidak menghilangkan data (lossles compression). Kelebihan file PNG adalah adanya warna transparan dan alpha. Warna alpha memungkinkan sebuah gambar transparan, tetapi gambar tersebut masih dapat dilihat mata seperti samar-samar atau bening. File PNG dapat diatur jumlah warnanya 64 bit (true color + alpha) sampai indexed color 1 bit. Dengan jumlah warna yang sama, kompresi file PNG lebih baik daripada GIF, tetapi memiliki ukuran file yang lebih besar daripada JPG. Kekurangan tipe PNG adalah belum populer sehingga sebagian browser tidak mendukungnya.
File PNG cocok digunakan untuk : a. Gambar yang memiliki warna banyak. b. Gambar yang mau diedit ulang tanpa menurunkan kualitas.
File PNG tidak cocok digunakan untuk gambar yang jika dikompress dengan JPG hampir-hampir tidak terlihat penurunan kualitasnya.
5. Tagged Interchange File Format (TIFF) Merupakan format file terkompresi yang biasa digunakan di paket desktop publishing dan merupakan format file bagi perusahaan percetakan. File ini diindikasikan dengan ekstensi .TIF Kekuatan dari format file TIFF adalah lebih fleksibel dari format gambar bitmap yang didukung secara ritual oleh seluruh point, image editing dan aplikasi kedalaman layout.
Universitas Sumatera Utara
6. Portable Document Format (PDF) Format file ini digunakan oleh Adobe Acrobat, dan dapat digunakan oleh grafik berbasis pixelmaupun vektor. Format file ini mampu menyimpan gambar dengan mode warna RGB, CMYK,Indexed Color, Lab Color, Grayscale dan Bitmap. Format file ini tidak mampu menyimpanalpha channel. Format file ini sering menggunakan kompresi JPG dan ZIP, kecuali untuk modewarna Bitmap yaitu menggunakan CCIT.
7. Encapsuled Postcript Format file ini merupakan format yang sering digunakan untuk keperluan pertukaran dokumenantar program grafis. Selain itu, format file ini sering pula digunakan ketika ingin mencetakgambar. Keunggulan format file ini menggunakan bahasa postscript sehingga format file inidikenali oleh hampir semua program persiapan cetak. Kelemahan format file ini adalah tidakmampu menyimpan alpha channel, sehingga banyak pengguna Adobe Photoshop menggunakanformat file ini ketika
gambar
yang
dikerjakan
sudah
final.
Format
file
ini
mampu
menyimpangambar dengan mode warna RGB, CMYK, Lab, Duotone, Grayscale, Indexed Color, serta Bitmap. Selain itu format file ini juga mampu menyimpan clipping path.
8. PCX Format file ini dikembangkan oleh perusahaan bernama Zoft Cooperation. Format file ini merupakan format yang fleksibel karena hampir semua program dalam PC mampu membaca gambar dengan format file ini. Format file ini mampu menyimpan informasi bit depth sebesar 1 hingga 24 bit namun tidak mampu menyimpan alpha channel. Format file ini mampu menyimpan gambar dengan mode warna RGB, Grayscale, Bitmpa dan Indexed Color.
9. Photoshop Document (PSD) Format file ini merupakan format asli dokumen Adobe Photoshop. Format ini mampu menyimpan informasi layer dan alpha channel yang terdapat pada sebuah gambar, sehingga suatu saat dapat dibuka dan diedit kembali. Format ini juga mampu
Universitas Sumatera Utara
menyimpan gambar dalam beberapa mode warna yang disediakan Photoshop. Anda dapat menyimpan dengan format file ini jika ingin mengeditnya kembali.
2.3
Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra merupakan proses pengolahan dan analisis citra yang banyak melibatkan persepsi visual. Proses ini mempunyai ciri data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bitbit tertentu.
Pengolahan citra juga dapat dikatakan merupakan proses untuk menghasilkan citra sesuai dengan keinginan kita atau kualitasnya menjadi lebih baik. Inputannya adalah citra dan keluarannya juga citra tapi dengan kualitas lebih baik daripada citra masukan. Misal citra warnanya kurang tajam, kabur (blurring) dan mengandung noise (misal bintik-bintik putih) sehingga perlu ada pemrosesan untuk memperbaiki citra karena citra tersebut menjadi sulit diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan menjadi berkurang.
Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem pencitraan ada pula yang berbentuk segienam) yang memiliki lebar dan tinggi tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan. Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh titik tersebut.
Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang banyak
Universitas Sumatera Utara
dipakai adalah Citra Biner (monokrom), Citra Skala Keabuan ( gray scale ), Citra Warna (true color ), dan Citra Warna Berindeks.
Adapun contoh dari implementasi pengolahan citra digital seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 (a) Citra burung nuri yang agak gelap, (b) Citra burung yang telah diperbaiki kontrasnya Sumber : Gonzales dan Woods (2003 : 37)
Menurut Richard dan Woods (2003 : 38), “Umumnya, operasi-operasi pengolahan citra diterapkan pada citra bila : 1. Perbaikan atau modifikasi citra untuk meningkatkan kualitas visual atau menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung dalam citra. 2. Elemen di dalam citra perlu di kelompokkan, dicocokkan atau diukur. 3. Sebagian citra perlu di gabung dengan bagian citra yang lain.
Di dalam bidang komputer, ada 3 bidang studi yang berkaitan dengan citra, namun tujuan ketiganya berbeda, yaitu : 1. Grafika Komputer Grafika komputer adalah proses untuk menciptakan suatu citra berdasarkan deskripsi maupun latar belakang yang terkandung dalam citra tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.4. Grafika komputer berperan dalam visualisasi dan virtual reality.
Universitas Sumatera Utara
Grafika komputer
Data deskriptif
Citra
Gambar 2.4 Grafika Komputer Sumber : Baxes, Gregory (2004 : 61) 2. Pengolahan Citra Pengolahan Citra merupakan proses perbaikan atau modifikasi citra dilakukan untuk meningkatkan kualitas penampakan citra tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Contoh aplikasi dari pengolahan citra antara lain perbaikan kontras gelap, perbaikan tepian objek, penajaman dan pemberian warna semu. Steganography dan watermarking juga termasuk dalam bagian studi citra ini.
Citra
Citra
Pengolahan Citra Gambar 2.5 Pengolahan Citra Sumber : Baxes, Gregory (2004 : 63)
3. Pengenalan Pola Pengenalan Pola adalah proses mengelompokkan data numerik dan simbolik (termasuk citra) secara otomatis oleh komputer, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Tujuan dari pengelompokkan adalah untuk mengenali suatu objek di dalam citra. Komputer akan menerima masukan berupa citra objek yang akan diidentifikasi kemudian memproses citra tersebut dan memberikan keluaran berupa informasi atau deskripsi objek di dalam citra.
Citra Objek
Informasi/Deskripsi objek
Pengenalan Pola Gambar 2.6 Pengenalan Pola Sumber : Baxes, Gregory (2004 : 67)
Operasi-operasi yang dilakukan di dalam pengolahan citra banyak ragamnya. Namun, secara umum, operasi pengolahan citra dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Perbaikan kualitas citra (image enhancement). Jenis operasi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra. Dengan operasi ini, ciri-ciri khusus yang terdapat di dalam citra lebih ditonjolkan. Contoh-contoh operasi perbaikan citra: 1. Perbaikan kontras gelap / terang 2. Perbaikan tepian objek (edge enhancement) 3. Penajaman (sharpening) 4. Pemberian warna semu (pseudocoloring) 5. Penapisan derau (noise filtering)
Gambar 2.7 di bawah ini adalah contoh operasi penajaman. Operasi ini menerima masukan sebuah citra yang gambarnya hendak dibuat tampak lebih tajam. Bagian citra yang ditajamkan adalah tepi-tepi objek.
Gambar 2.7 (a) Sebelum, (b) Sesudah Penapisan Median Sumber : journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/view/1521/1301 a. Pemugaran citra (image restoration). Operasi ini bertujuan menghilangkan/meminimumkan cacat pada citra. Tujuan pemugaran citra hampir sama dengan operasi perbaikan citra. Bedanya, pada pemugaran citra penyebab degradasi gambar diketahui. Contoh-contoh operasi pemugaran citra:
Universitas Sumatera Utara
1. Penghilangan kesamaran (deblurring). 2. Penghilangan derau (noise).
Gambar 2.8 di bawah ini adalah contoh operasi penghilangan kesamaran. Citra masukan adalah citra yang tampak kabur (blur). Kekaburan gambar mungkin disebabkan pengaturan fokus lensa yang tidak tepat atau kamera bergoyang pada pengambilan gambar. Melalui operasi deblurring, kualitas citra masukan dapat diperbaiki sehingga tampak lebih baik.
Gambar 2.8 (a) Citra Kupu-Kupu Semula, (b) Citra Kupu-Kupu Hasil Blurring Sumber : journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/view/1524/1304
Universitas Sumatera Utara
c. Pemampatan citra (image compression). Jenis operasi ini dilakukan agar citra dapat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih kompak sehingga memerlukan memori yang lebih sedikit. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemampatan adalah citra yang telah dimampatkan harus tetap mempunyai kualitas gambar yang bagus. Contoh metode pemampatan citra adalah metode JPEG, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9. Gambar sebelah kiri adalah citra kapal yang berukuran 258 KB. Hasil pemampatan citra dengan metode JPEG dapat mereduksi ukuran citra semula sehingga menjadi 49 KB saja.
(a)
(b)
Gambar 2.9 (a) Citra Kota.bmp Asli, (b) Citra Kota.jpg Hasil Kompresi Sumber : eprints.undip.ac.id/24651/2/L2F000589_MTA.pdf d. Segmentasi citra (image segmentation). Jenis operasi ini bertujuan untuk memecah suatu citra ke dalam beberapa segmen dengan suatu kriteria tertentu. Jenis operasi ini berkaitan erat dengan pengenalan pola.
e. Pengorakan citra (image analysis) Jenis operasi ini bertujuan menghitung besaran kuantitif dari citra untuk menghasilkan deskripsinya. Teknik pengorakan citra mengekstraksi ciri-ciri tertentu yang membantu dalam identifikasi objek. Proses segmentasi kadangkala diperlukan untuk melokalisasi objek yang diinginkan dari sekelilingnya. Contoh-contoh operasi pengorakan citra :
Universitas Sumatera Utara
1. Pendeteksian tepi objek (edge detection) 2. Ekstraksi batas (boundary) 3. Representasi daerah (region)
Gambar 2.10 di bawah ini adalah contoh operasi pendeteksian tepi pada citra Camera. Operasi ini menghasilkan semua tepi (edge) di dalam citra.
Gambar 2.10 Citra Sebelum dan Sesudah Deteksi Garis Tepi Sumber : hasbinurhaqy.wordpress.com/2010/11/25/25/ f. Rekonstruksi citra (image reconstruction) Jenis operasi ini bertujuan untuk membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Operasi rekonstruksi citra banyak digunakan dalam bidang medis. Misalnya beberapa foto rontgen dengan sinar X digunakan untuk membentuk ulang gambar organ tubuh.
2.4 Pencocokan Citra Digital
Teknologi fotogrametri terus mengalami perkembangan dari sistem fotogrametri analog hingga sistem fotogrametri digital yang lebih praktis, murah dan otomatis. Proses otomatisasi pada fotogrametri digital ditujukan untuk mengurangi proses pengambilan informasi dalam rangkaian kerja fotogrametri. Identifikasi titik sekawan pada fotogrametri digital dapat dilakukan dengan otomatis menggunakan metode pencocokan citra (image matching). Problem dalam otomatisasi sistem fotogrametri digital adalah sulit untuk mengidentifikasi titik sekawan secara otomatis pada citra homogen
yang
bertampalan.
Pekerjaan
mencocokan titik
sekawan dalam
fotogrametri analog membutuhkan seorang operator yang memiliki keahlian khusus
Universitas Sumatera Utara
untuk mengenali karakteristik kesamaan citra kiri dan kanan pada pasangan foto stereo. Otomatisasi pencocokan citra fotogrametri digital diharapkan menjadi solusi terhadap masalah campur tangan dan kelelahan operator sehingga faktor ketelitian dan kecepatan dapat ditingkatkan.
Pencocokan citra adalah dasar proses otomatisasi pada rangkaian proses fotogrametri. Pencocokan citra dapat diaplikasikan untuk orientasi dalam dengan menentukan tanda tepi secara otomatis antara foto yang memiliki tanda tepi (fiducial marks) dan bagian citra lain yang bertampalan sehingga menghasilkan posisi yang ideal dari tanda tepi tersebut. Pencocokan citra juga dapat digunakan dalam proses orientasi relatif untuk menentukan titik sekawan sebanyak minimal 5 titik pada citra yang bertampalan dengan mencocokan matriks pada citra kiri dengan titik sekawan pada citra kanan. Titik sekawan tersebut didefinisikan pada dua foto udara yang bertampalan sebagai titik indikator untuk mengetahui kelayakan model 3D hasil orientasi relatif.
Pencocokan citra dalam orientasi absolut berperan dalam pengukuran titik kontrol utama dengan menghasilkan bagian citra lainnya (citra kanan) dari titik utama dibandingkan dengan bagian kecil dari foto udara. Pencocokan citra juga digunakan untuk menghasilkan DEM dengan mengotomatisasi serangkaian titik objek pada citra dipilih dalam satu bentuk DEM grid teratur untuk dipasangkan dengan serangkaian titik pada citra sebelahnya.
Metode pencocokan citra yang banyak dipakai untuk keperluan proses fotogrametri adalah berbasis area (area-based) dan berbasis unsur (feature-based). Metode berbasis real time menggunakan komposisi nilai derajat keabuan (gray level) citra sebagai sampel yang akan diuji dalam penelitian. Metode area based matching digunakan dalam penelitian ini karena merupakan metode yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil pencocokan yang relatif cepat (Ilham, 2007). Metode ini juga memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk area yang memiliki tekstur baik dan unik, dan pada beberapa kasus tingkat akurasi dari kecocokan dapat dinyatakan kuantitasnya dalam unit matrik. Area based matching pada dasarnya membandingkan nilai derajat keabu-abuan (gray level) suatu bentuk kecil matriks
Universitas Sumatera Utara
citra dimana pusat matriksnya merupakan lokasi gray value dari titik yang akan dicocokan.
Proses pengidentifikasian titik sekawan dilakukan dengan cara memilih titik di citra kiri pada objek yang mudah dikenal. Titik yang dipilih tersebut dibandingkan dengan titik citra di kanan pada objek yang sama di citra kiri. Pusat sub-citra tersebut merupakan lokasi nilai keabu-abuan dari titik yang akan dicocokkan. Sampel titik diambil dari citra pada sistem koordinat lokal dalam bentuk posisi kolom-baris. Pada pencocokan citra berbasis area, setiap titik yang akan dicocokan adalah pusat dari sebuah jendela pixel yang kecil pada citra acuan, dan jendela ini dibandingkan dengan jendela yang lain pada citra pencarian dengan ukuran tertentu. Ukuran kecocokan dilihat dengan kecilnya perbedaan nilai yang dihasilkan. Keunikan objek merupakan penentu keberhasilan pencocokan citra. Salah satu penentu keunikan objek adalah ukuran sub citra acuan (SCA). Semakin besar ukuran sub citra acuan, detail yang merupakan bagian dari objek semakin banyak. Ketika ukuran citra acuan diperbesar dapat dilihat adanya keunikan lain dari area yang dikategorikan mewakili jenis objek. Keunikan tersebut dapat berupa objek yang berbeda dan memiliki nilai kecerahan yang berbeda pula. Berdasarkan hal tersebut, rentang nilai kecerahan citra acuan akan melebar sehingga nampak semakin heterogen (Putra, 2008). Proses pencocokan citra diasumsikan berhasil jika diperoleh nilai korelasi ≥ 0.7. Dengan memperbesar ukuran sub citra acuan, akan diperoleh karakteristik objek yang makin unik sehingga nilai korelasi akan meningkat dan mendukung tercapainya keberhasilan pencocokan citra. Dengan adanya keunikan tersebut, pencarian area paling berkorelasi dapat lebih mudah dan terhindar dari kesalahan posisi pusat area yang paling berkorelasi. Keunikan yang dimaksud dapat objek tersebut memiliki sebagian area heterogen. Secara umum, makin besar ukuran citra acuan, makin banyak keunikan objek yang terlihat sehingga makin besar pula rentang nilai kecerahan citra acuannya.
Teknik mengevaluasi pencocokan citra berbasis area adalah dengan menggunakan teknik korelasi maksimal. Nilai korelasi yang dihasilkan bertujuan untuk mengukur derajat kesamaan antara dua atau lebih citra foto yang bertampalan.
Universitas Sumatera Utara
Citra pertama adalah sub citra acuan (SCA) pada citra kiri sedangkan sub citra kedua merupakan sub citra pencarian (SCP) yang dibatasi oleh citra pencarian (CP) di dalam citra foto kedua. Proses pencocokan citra berlangsung semi otomatis, posisi titik awal diambil secara manual untuk citra kiri dan citra kanan. Titik tengah SCA dan CP menjadi pusat dari area citra yang akan dicari. Nilai pergeseran maksimum SCA pada CP digunakan persamaan (1), nilai berguna dalam algoritma pencocokan citra tahap selanjutnya. Dm,n = CPm,n-SCAm,n+1 dengan m =baris dan n = kolom.
Gambar 2.11 Sub Citra Acuan dan Sub Citra Pencarian Sumber : Baxes (2004) Sub Citra Pencarian akan bergerak dalam citra pencarian, kemudian dihitung nilai korelasi SCA dan semua SCP pada CAP dan nilai korelasi antar kedua citra mempunyai rentang nilai 0 sampai +1 (0≤ ρ ≤ 1). Secara umum nilai pembatas dari nilai koefisien korelasi adalah lebih besar sama dengan 0.7 atau 70 % yang dinyatakan cocok atau derajat kesamaannya tinggi.
Sampel citra berupa komposisi nilai keabuan array citra yang akan diuji derajat kecocokannya dihitung melalui suatu persamaan matematis untuk kemudian disimpan sebagai nilai korelasi. Metode korelasi dari pencocokan citra berkerja dengan memilih CA dari citra kiri berdasarkan karakteristik tertentu dan jarak objek / area dari titik utama citra untuk dicocokan, dan pencarian posisi yang sekawan akan dilakukan oleh jendela yang bergerak (SCP) pada CP dari citra kanan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.12 Hubungan Citra Foto, SCA dan CP Sumber : Baxes (2004)
2.5
Efek Mata Merah
Mata manusia dan mata banyak hewan terdiri atas bola kecil seperti kelereng (pada manusia, kelereng berdiameter sekitar 1,7 cm). Di depan kelereng ada lensa, sedangkan pada dinding belakang bola mata ada lapisan retina yang peka cahaya. Lensa bertugas membentuk citra dari obyek pada retina. Pada gilirannya retina menghasilkan sinyal, yang dikirim ke otak melalui syaraf. Begitu menerima sinyal, otak menyimpulkan kesan penglihatan.
Efek mata merah merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada saat pengambilan foto menggunakan kamera yang menggunakan lampu kilat (blitz), terkena pantulan retina mata dari obyek yang difoto. Secara alami pupil mata manusia akan membesar di dalam gelap. Penyesuaian ini bertujuan agar semakin banyak cahaya yang masuk dan manusia bisa melihat lebih baik di dalam gelap. Ketika dipotret dengan menggunakan flash, pupil mata manusia yang semula membesar di dalam gelap tidak bisa menutup dengan cepat ketika tiba-tiba cahaya flash jatuh ke mata. Akibatnya flash mengenai pigmen melanin di bagian dalam mata manusia dan pantulannya terekam oleh kamera sehingga menghasilkan efek mata merah. seperti terlihat pada Gambar 2.13.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.13 Efek Mata Merah Pada Foto Digital
Pada saat blitz kamera aktif, sinarnya masuk ke dalam retina mata dan menembus hingga pembuluh darah bewarna merah ini. Pantulan dari warna merah pembuluh darah ini kembali ke kamera dan terekam pada saat pemotretan yang mengakibatkan hasil gambar menampilkan efek seolah-olah mata obyek foto bersinar merah.
Efek mata merah sering terjadi pada kamera saku (compact camera) yang lampu blitznya terpasang dekat dengan lensa penangkap citra.
Hal ini
mengakibatkan pantulan cahaya blitz berbalik ke arah sumber cahaya semula, kemudian mengenai lensa kamera sehingga menghasilkan efek mata merah.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek mata merah pada saat mengambil foto dengan menggunakan kamera digital, antara lain :
1. Nyalakan lampu Lampu yang terang akan memberikan efek yang sama pada pupil objek foto sehingga efek mata merah akan berkurang. 2. Ambil gambar dari sudut tertentu Atur posisi kamera sehingga sinar flash tidak langsung mengarah ke mata objek foto, sehingga tidak akan ada cahaya yang terpantul dan jika flash-nya diarahkan ke arah yang tepat, tidak akan terjadi efek mata merah.
Universitas Sumatera Utara
3. Jangan menatap langsung lensa kamera Usahakan agar objek foto tidak menatap langsung lensa kamera. Dengan menatap pada arah pandang lain, kemungkinan cahaya blitz kamera mengenai lensa mata objek foto akan berkurang. 4. Jauhkan lampu blitz dari lensa kamera Jika menggunakan kamera digital yang dapat dipisahkan lampu blitznya, cabut lampu blitz tersebut dan letakkan pada posisi sejauh mungkin dari lensa kamera. Hal ini akan mengurangi kemungkinan tertangkapnya pantulan sinar blitz dari lampu pada lensa kamera.
2.6
Representasi Warna
Pada umumnya, warna dipisahkan menjadikan komponen-komponen, baik komponen warna ataupun komponen kecerahan, penyajian semacam ini disebut komponen warna. Pada komponen warna, tiap komponen dipisahkan dengan modelmodel tertentu, seperti model RGB, YUV dan YIQ.
2.6.1
Model RGB
Red Green Blue (RGB) merupakan warna dasar yang ada pada system computer. Data video dapat dipisahkan menjadi komponen-komponen untuk masing-masing warna, yaitu merah (red), hijau (green) dan biru (blue). Warna tiap piksel ditentukan oleh kombinasi intensitas dari masing-masing komponen warna dan dipetakan dalam bentuk sebuah koordinat seperti terlihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Koordinat RGB
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, pada RGB 24 bit, masing-masing komponen warna dinyatakan dalam 8 bit atau 256 level. Misalnya, citra dengan 8 bit per piksel mempunyai 256 warna dan citra dengan 24 bit mempunyai 32768 warna, jadi setiap piksel dapat dinyatakan sebagai berikut :
1. Bit 0 sampai dengan 7 untuk warna merah. 2. Bit 7 sampai dengan 15 untuk warna hijau. 3. Bit 16 sampai dengan 24 untuk warna biru.
Kemungkinan kombinasi warna yang ada adalah = 2563 + 2562 + 2561 = 16.843.008, dimana nilai 0 menyatkan warna hitam sedangakan nilai 16.843.008 menyatakan warna putih.
2.6.2
Model YUV
YUV adalah pemisahan komponen kecerahan (luminance) dan komponen warna (crominanc). Pemisahan komponen tidak hanya dilakukan dengan pemisahan warna, namun dapat juga dilakukan dengan memisahkan komponen kecerahan (luminance) dan komponen warna (crominance). Pada format PAL, sinyal kecerahan dinyatakan dengan Y, sedangkan dua signal warna dinyatakan dengan U dan V.
Masing-masing komponen tersebut diperoleh dengan mentransformasikan RGB dengan rumus : Y = 0,299 R + 0,587 G + 0,114 B U = (B-Y) x 0,493 V = (R-Y) x 0,877
2.6.3
Model YIQ
Model YIQ merupakan salah model warna yang berfokus pada persepsi mata manusia terhadap warna. Model ini merupakan standar warna pada penyiaran TV yang diperkenalkan pertama kali oleh NTSC (the National Television System
Universitas Sumatera Utara
Comitee). YIQ merepresentasikan warna dalam tiga komponen, yaitu komponen Y mewakili pencahayaan (luminance), komponen I mewakili corak warna (hue) dan komponen Q mewakili intensitas atau kedalaman warna (saturation) (Gonzalez, 2002). Perangkat keras pengolah citra pada umumnya menerapkan model warna RGB dengan pertimbangan kemudahan pada teknis penampilan warna. Konversi warna diperlukan untuk menjembatani perbedaan kedua model warna tersebut agar dapat diproses dan ditampilkan dengan benar.
Masing-masing komponen tersebut diperoleh dengan mentransformasikan RGB dengan rumus :
Y = 0,299 R + 0,587 G + 0,114 B I
= 0,587R-0,275G-0,321B
Q = 0,212R-0,523G-0,321B
2.7
Intensity Color Checking
Menurut Rizon (2000 : 54), Intensity Color Checking merupakan sebuah teknik yang bekerja dengan cara mengecek nilai intensitas warna dari nilai RGB (Red, Green, Blue). Teknik ini membutuhkan sebuah rentang nilai yang disebut nilai toleransi sebagai batas acuan dari penentuan intensitas suatu warna.
2.7.1 Konsep Warna Dalam Intensity Color Checking
Karena metode intensity color checking merupakan metode yang mengukur atau menghitung kualitas warna pada pixel suatu citra digital, sebelumnya perlu diketahui bagaimana konsep warna yang digunakan dalam intensity color checking.
Dalam intensity color checking, terdapat tiga penggolongan dasar warna, yaitu warna primer, warna sekunder dan warna tertier (komplementer). Warna primer merupakan warna dasar yang tidak dapat dihasilkan dari pencampuran warna
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Dari pengertian warna primer ini, warna hitam, putih, emas dan perak sepintas dapat diklasifikasikan sebagai warna primer.
Namun karena hitam, putih, emas dan perak tidak menampakkan kroma tertentu, maka warna-warna tersebut danggap bukan warna. Bahkan sebahagian orang ada yang mengelompokkan hitam dan putih sebagai ‘warna netral’, dapat dipasangkan sebagai penetralisir bagi warna apapun. Dengan alasan tersebut, maka warna pokok hanya terdiri dari warna kuning, merah dan biru. Pedoman inilah yang digunakan beberapa manufaktur mesin pencetak (printer), dimana untuk mesin pencetak berwarna, umumnya hanya tersedia tiga cartridge, yaitu merah, kuning dan biru. Skema warna primer ini seperti ditunjukkan pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Skema Warna Primer
Apabila dua warna pokok dicampurkan dengan kadar yang sama (100% : 100%), maka dihasilkan sebuah warna baru yang dinamakan warna ke dua (sekunder) atau warna turunan. Sebagai contoh, dari percampuran warna merah dan kuning dapat dihasilkan warna sekunder berupa warna oranye. Atau pencampuran warna merah dengan biru akan menghasilkan warna sekunder ungu, dan pencampuran warna biru dengan kuning akan menghasilkan warna sekunder hijau. Skema pencampuran warna-warna primer menjadi warna sekunder tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.16.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.16 Skema Warna Sekunder
Di antara merah dan ungu, masih terdapat jutaan gugus warna merah keungu-unguan atau ungu kemerah-merahan yang tidak terhingga banyaknya. Demikian juga antara ungu dan biru, kuning dan oranye, oranye dan merah, biru dan hijau serta hijau dengan kuning. Warna-warna inilah yang kemudian disebut dengan warna tertier (warna komplementer), sebagaima terlihat pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17. Skema Warna Tertier (Komplementer)
Selain menggunakan konsep warna di atas, intensity color checking juga sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen dasar dari citra digital yang akan diukur atau dihitung intensitas warnanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah :
1. Kecerahan Kecerahan adalah kata lain untuk intensitas cahaya. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian penerokan, kecerahan pada sebuah titik (pixel) di dalam citra
bukanlah
intensitas
yang
sebenarnya,
tetapi
sebenarnya
adalah
intensitas rata-rata dari suatu area yang melingkupinya. Sistem visual
Universitas Sumatera Utara
manusia mampu menyesuaikan dirinya dengan tingkat kecerahan (brightness level) mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi dengan jangkauan sebesar 1010.
2. Kontras Kontras menyatakan sebaran terang (lightness) dan gelap (darkness) di dalam sebuah
gambar. Citra dengan kontras rendah dicirikan oleh sebagian besar
komposisi citranya adalah terang atau sebagian besar gelap. Pada citra dengan kontras yang baik, komposisi gelap dan terang tersebar secara merata.
3. Kontur (Countour) Kontur adalah keadaan yang ditimbulkan oleh perubahan intensitas pada pixelpixel yang bertetangga. Karena adanya perubahan intensitas inilah mata kita mampu mendeteksi tepi-tepi (edge) objek di dalam citra.
4. Warna Warna adalah persepsi yang dirasakan oleh sistem visual manusia terhadap panjang gelombang cahaya yang dipantulkan oleh objek. Setiap warna mempunyai panjang gelombang (λ) yang berbeda. Warna merah mempunyai panjang gelombang paling tinggi, sedangkan warna ungu (violet) mempunyai panjang gelombang paling rendah. Warna-warna yang diterima oleh mata (sistem visual manusia) merupakan hasil kombinasi
cahaya
dengan
panjang
gelombang
berbeda.
Penelitian
memperlihatkan bahwa kombinasi warna yang memberikan rentang warna yang paling lebar adalah red (R), green (G), dan blue (B).
5. Bentuk (Shape) Shape adalah properti intrinsik dari objek tiga dimensi dengan pengertian bahwa shape merupakan properti intrinsik utama untuk sistem visual manusia. Manusia lebih sering mengasosiasikan objek dengan bentuknya ketimbang elemen lainnya (warna misalnya). Pada umumnya, citra yang dibentuk oleh mata merupakan citra dwimatra (2 dimensi), sedangkan objek yang dilihat umumnya berbentuk trimatra (3 dimensi).
Universitas Sumatera Utara
Informasi bentuk objek dapat diekstraksi dari citra pada permulaaan prapengolahan dan segmentasi citra. Salah satu tantangan utama pada computer vision adalah merepresentasikan bentuk, atau aspek-aspek penting dari bentuk.
6. Tekstur Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan pixel-pixel yang bertetangga. Jadi, tekstur tidak dapat didefinisikan untuk sebuah pixel. Sistem visual manusia pada hakikatnya tidak menerima informasi citra secara independen pada setiap pixel, melainkan suatu citra dianggap sebagai suatu kesatuan. Resolusi citra yang diamati ditentukan oleh skala pada mana tekstur tersebut dipersepsi.
2.7.2 Prinsip Kerja Intensity Color Checking
Pada dasarnya, intensity color checking bekerja dengan cara melakukan perhitungan terhadap nilai RGB (Red, Green, Blue) dari pixel pada sebuah citra digital. Berdasarkan nilai RGB ini, ditetapkan sebuah nilai toleransi yang akan digunakan sebagai acuan dalam menilai tingkat intensitas warna pada pixel tersebut.
Adapun persamaan yang digunakan dalam Intensity color checking untuk mengukur intensitas warna pixel pada sebuah citra digital adalah sebagai berikut : I1 ≤ I ≤ I2 Di mana :
I1
= (RGB – T)
I2
= (RGB + T)
RGB = Nilai R, G atau B yang diproses. T
=
Nilai Toleransi mata merah yang diinginkan (Rizon, 2000 : 55).
Sebagai contoh, untuk mengecek intensitas warna hitam (RGB : 0,0,0) dengan nilai toleransi 10, teknik ini akan mengkategorikan seluruh warna yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki rentang nilai dari (0 – 10) sampai (0 + 10). Namun, karena nilai RGB tidak pernah lebih kecil dari 0, maka warna yang dideteksi sebagai warna hitam dengan toleransi 10 adalah warna yang memiliki nilai RGB pada rentang nilai 0 sampai 10.
Dari contoh di atas, seandainya ditemukan suatu warna dengan nilai RGB (10,0,10), maka warna tersebut akan dideteksi sebagai warna hitam. Hal ini disebabkan oleh nilai R, G dan B dari warna tersebut berada pada rentang nilai yang telah ditentukan.
Adapun algoritma dasar dari teknik intensity color checking ini adalah sebagai berikut :
1. Tentukan nilai R, G dan B warna yang akan dideteksi. 2. Tentukan nilai toleransi warna. 3. Set R1 = R – Nilai Toleransi, G1 = G – Nilai Toleransi dan B1 = B – Nilai Toleransi. 4. Set R2 = R + Nilai Toleransi, G2 = G + Nilai Toleransi dan B2 = B + Nilai Toleransi. 5. Baca nilai R, G dan B warna. 6. Jika R1 ≤ R ≤ R2, G1 ≤ G ≤ G2 dan B1 ≤ B ≤ B2, warna tersebut terdeteksi sebagai warna yang ditentukan sebelumnya. 7. Jika tidak, maka warna tersebut bukanlah warna yang telah ditentukan sebelumnya (Rizon, 2000 : 56).
Universitas Sumatera Utara