39
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Kualitas1 Pengertian mutu atau kualitas akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung pada konteksnya. Mutu atau kualitas suatu barang pada umumnya diukur dengan tingkat kepuasan konsumen atau pelanggan. Seberapa besar kepuasan yang diperoleh pelanggan tergantung dari tingkat kecocokan penggunaan masing-masing pelanggan. Sebagai contohnya: seorang pengusaha membeli produk yang digunakan sebagai bahan baku akan mengatakan barang tersebut mempunyai kualitas baik jika barang tersebut dirasa cocok penggunaannya dan mempunyai kemampuan memproses hingga menghasilkan barang jadi dengan biaya yang rendah, atau seseorang yang membeli barang jadi dengan harapan memperoleh barang yang berkualitas dalam arti tidak terdapat cacat sehingga orang tersebut tidak rugi mengeluarkan uang untuk membeli barang tersebut. Dengan demikian, pengertian kualitas mencakup kegiatan yang berkaitan dengan tercapainya kepuasan pemakai barang tersebut.
40
Konsep kualitas itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain atau rancangan dan kulitas kesesuaian atau kecocokan. Kualitas rancangan merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kecocokan adalah seberapa baik produk itu sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang diisyaratkan oleh rancangan itu. Dari pengertian kualitas dapat dijumpai beberapa elemen antara lain: 1. Kualitas adalah usaha untuk memberi kepuasan bagi pelanggan. 2. Kualitas meliputi: produk, jasa, proses, dan lingkungan. 3. Kualitas akan selalu mengalami perubahan kondisi (bersifat dinamis). Ada banyak definisi tentang kualitas yang disampaikan oleh para pakar, berikut ini pengertian kualitas menurut pendapat beberapa ahli: •
Menurut Vincent Gaspersz (1998) Kualitas adalah sebagai konsistensi peningkatan dan penurunan variasi karakteristik produk, agar dapat memenuhi spesifikasi dan kebutuhan, guna meningkatkan kepuasan pelanggan internal dan eksternal.
•
Menurut Juran (1993) Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan dan manfaatnya.
1
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.15-17)
41
•
Menurut Crosby (1979) Kualitas adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau yang distandardkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.
Standar kualitas meliputi: bahan baku, proses
produksi, dan produk jadi. •
Menurut Deming (1982) Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
•
Menurut Feigenbaum (1986) Kualitas merupakan kepuasan pelanggan seluruhnya (full customer satisfaction). Suatu produk dikatakan berkualitas apabila dapat memberi kepuasan seluruhnya kepada konsumen, yaitu sesuai apa yang diharapkan konsumen atas suatu produk.
•
Menurut Garvin (1988) Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia atau tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Selera atau harapan konsumen pada suatu produk selalu berubah sehingga kulitas produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan perubahan kualitas tersebut diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan perusahaan agar produk dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen. 1
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.15-17)
42
2.1.2 Sejarah Kualitas2 Penelitian kualitas dimulai dari ditemukannya statistical quality control dengan diagram kontrol oleh Shewhart pada tahun 1930 sampai sekarang ini. Menurut Garvin (dalam Bounds, et.al. 1994: 46-84; Lovelock, 1944: 101107), kualitas sebagai suatu konsep sudah lama dikenal, tetapi kemunculannya sebagai fungsi manajemen baru akhir-akhir ini. Ia membagi pendekatan modern terhadap kualitas ke dalam empat era kualitas, yaitu: •
Inspeksi Pendekatan ini mulai diterapkan pada abad ke-19. Pengendalian kualitas mencakup beberapa model yang seragam dari suatu produk untuk mengukur kinerja
sesungguhnya.
Keseragaman
seperti
itu
dimungkinkan
pada
manufakturing yang dilengkapi dengan pengembangan peralatan yang dirancang untuk menjamin operasi mesin-mesin agar menghasilkan bagian-bagian yang identik sehingga dapat saling menggantikan. Inspeksi terhadap output dapat dilakukan secara langsung maupun dengan bantuan alat tertentu yang dirancang untuk mengukur output fisik dibandingkan dengan standar yang seragam. Sejak awal abad ke 20, kegiatan inspeksi dilakukan secara lebih formal dengan pengendalian kualitas, di mana kualitas itu sendiri dipandang sebagai fungsi manajemen yang berbeda. 2
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.21,23-24)
43
•
Pengendalian kualitas secara statistik Gerakan kualitas yang menggunakan pendekatan ilmiah untuk pertama kalinya pada tahun 1931 dengan dipublikasikannya hasil karya W. A. Shewhart, seorang peneliti kualitas dari Bell Telephone Laboratories. Ia menyatakan bahwa variabilitas merupakan suatu kenyataan dalam industri dan hal ini dapat dipahami dengan menggunakan prinsip probabilitas dan statistik. Kontribusi utamanya adalah bagan pengendalian proses untuk merencanakan nilai produksi guna menentukan apakah nilai tersebut masuk dalam rentang yang dikehendaki.
•
Jaminan kualitas Dalam era ini terdapat pengembangan empat konsep baru yang penting mengenai jaminan kualitas yaitu: biaya kualitas, pengendalian kualitas terpadu (Total Quality Control), reliability engineering, dan zero defects. Biaya kualitas merupakan istilah yang diciptakan oleh Joseph M. Juran untuk menjawab pertanyaan “seberapa besar kualitas dirasa cukup?” Menurut Juran, biaya untuk mencapai tingkat kualitas dapat dibagi menjadi biaya yang dapat dihindari dan biaya yang tidak dapat dihindari.
2
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.21,23-24)
44
Biaya yang tidak dapat dihindari berkaitan dengan inspeksi dari pengendalian kualitas yang dirancang untuk mencegah terjadinya kerusakan. Biaya yang dapat dihindari adalah biaya kegagalan produk, meliputi: bahan baku yang rusak, jam kerja yang dipergunakan untuk pengerjaan ulang dan perbaikan, pemrosesan keluhan, dan kerugian finansial akibat pelanggan kecewa. Implikasi manajemen dari pandangan Juran ini adalah bahwa pengeluaran tambahan untuk perbaikan kualitas dapat dibenarkan selama biaya kegagalan masih tinggi. TQC merupakan pemikiran Armand Feigenbaum yang dikemukakan pada tahun 1956. Pendapatnya adalah bahwa pengendalian harus dimulai pada perancangan produk dan berakhir hanya jika produk telah sampai ke tangan pelanggan yang puas. Prinsip utamanya adalah mutu merupakan pekerjaan setiap orang. Ia menyatakan bahwa kegiatan kualitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: pengendalian rancangan baru, bahan baku yang baru datang, dan pengendalian product/shop floor. Sistem kualitas saat ini juga memasukkan pengembangan produk baru, seleksi pemasok, dan pelayanan pelanggan.
2
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution M.Sc., p.21,23-24)
45
Reliability engineering (rekayasa keandalan) muncul pada tahun 1950-an yang didorong oleh kebutuhan angkatan bersenjata Amerika untuk memiliki peralatan elektronik dan senjata udara yang dapat diandalkan, bekerja dengan baik, serta menghindari kebutuhan untuk penggantian suku cadang yang mahal. Zero defects (tidak boleh ada yang salah) pertama kali dimunculkan oleh Martin Company pada tahun 1961-1962. Konsep ini timbul karena kebutuhan pelanggan militer akan produk yang tidak hanya bekerja baik saat pertama kali, tetapi juga diserahkan tepat waktu. Konsep zero defects lebih dipusatkan pada harapan manajemen dan hubungan antarpribadi daripada keterampilan rekayasa. Tujuan utamanya adalah mengharapkan kesempurnaan pada saat pertama dan fokusnya adalah identifikasi masalah pada sumbernya dengan perhatian khusus untuk mengoreksi penyebab umum kesalahan karyawan, seperti: • Kurangnya pengetahuan. • Kurangnya fasilitas yang tepat. • Kurangnya perhatian, kesadaran, dan motivasi karyawan.
2
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution M.Sc., p.21,23-24)
46
Menurut konsep zero defect, kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dapat diatasi dengan menggunakan teknik-teknik pelatihan modern; kesalahan karena kurangnya fasilitas yang memadai dapat diatasi dengan survey pabrik dan peralatan secara periodik; sedangkan kesalahan yang disebabkan kurangnya perhatian merupakan kesalahan yang paling sulit dideteksi. Oleh karena itu perlu diatasi dengan program zero defect. Era ketiga manajemen kualitas ini menandai titik balik yang menentukan. Konsep ini menaruh perhatian utama pada pelanggan dan inisiatif karyawan sebagai masukan penting bagi program peningkatan kualitas. Gerakan manajemen kualitas dengan penekanan pada karyawan muncul bersamaan dengan pemikiran manajemen sumber daya manusia. Berbagai konsep, seperti teori Y dan Scanlon plan, mendorong manajer untuk menawarkan wewenang yang lebih besar kepada karyawan, seperti halnya strategi Zero defect yang berfokus pada motivasi dan inisiatif karyawan.
2
Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution M.Sc., p.21,23-24)
47
2.1.3 Variasi, Cacat, dan Penyebab Variasi 3 Variasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk atau proses itu sendiri. Variasi merupakan indikator dari pada inkonsistensi proses, yang menyebabkan banyak produk (output) yang tidak sama. Variasi dapat diukur dengan metode statistik dan seringkali disebut standar deviasi σ- yang merupakan tingkat penyimpangan pada proses yang diketahui dalam populasi. Variasi jelas merupakan musuh utama dalam usaha-usaha meningkatkan kinerja proses dan kualitas produk. Menurut Gaspersz variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi atau operasional sehingga menimbulkan perbedaan dalam kualitas pada output (barang / jasa) yang dihasilkan. Pada dasarnya dikenal dua sumber /penyebab timbulnya variasi yang diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Variasi penyebab khusus (Spesial Causes Variation) Adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor: manusia, peralatan, material, lingkungan, dan metode kerja
3
Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29
48
Penyebab khusus ini mengambil pola-pola nonacak (nonrandom patterns) sehingga dapat diidentifikasi / ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan
variasi.
Dalam
konteks
pengendalian
proses
statistikal
menggunakan peta-peta kendali atau kontrol (control charts), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limits). 2.
Variasi penyebab umum (Common Causes Variation) Adalah faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes) Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem, untuk menghilangkannya kita harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak manajemenlah yang mengendalikan sistem itu.
3
Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29)
49
Dalam konteks pengendalian proses statistikal dengan menggunakan peta-peta kendali atau kontrol (control charts), jenis varisi ini sering ditandai dengan titiktitik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limits). Suatu proses yang hanya mempunyai variasi penyebab umum (commoncauses variation) yang mempengaruhi outcomes merupakan proses yang stabil karena penyebab sistem yang mempengaruhi variasi biasanya relatif stabil sepanjang waktu. Variasi penyebab umum dapat diperkirakan dalam batas-batas pengendalian yang ditetapkan secara statistikal. Sedangkan apabila variasi penyebab-khusus terjadi pada proses, maka akan menyebabkan proses itu menjadi tidak stabil. Upaya-upaya menghilangkan variasi penyebab-khusus akan membawa proses ke dalam pengendalian statistikal.
3
Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29)
50
Pemahaman dan pengendalian variasi merupakan inti dari teori Deming. Dr. W. Edwards Deming menyatakan bahwa sasaran dari pengendalian kualitas adalah
mengurangi
variasi
sebanyak
mungkin.
Pendekatannya
adalah
menstandarisasikan proses dengan cara bahwa setiap orang menggunakan prosedur kerja, peralatan, dan material yang sama. Di samping itu pihak manajemen industri harus mempelajari proses, mencari sumber-sumber potensi dari variasi, mengumpulkan data, dan kemudian menghilangkan variasi penyebabkhusus. Sedangkan variasi penyebab umum merupakan tindakan konkret berikut sebagai bukti komitmen dari manajemen industri untuk perbaikan terus menerus (continuous process improvement) setelah variasi penyebab khusus dihilangkan dari proses itu.
3
Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29)
51
2.1.4 Program Peningkatan dan Perbaikan Kualitas Six Sigma 2.1.4.1 Sejarah Six Sigma4 Six Sigma merupakan metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik pertama kali diperkenalkan oleh Motorola. Pada tahun 1988 Bob Galvin selaku CEO Motorola menerima penghargaan Malcoln Baldrige National Quality Award (MBNQA) untuk penerapan metode Six Sigma pada perusahaan tersebut. Sejarahnya adalah pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, Motorola merupakan salah satu dari banyak korporat AS dan Eropa di mana produk yang mereka luncurkan dimakan oleh para pesaing Jepang. Konsep mutu berbasis TQC / QCC yang diperkenalkan di Jepang telah membuat banyak perusahaan barat kehilangan daya saingnya, seperti juga kebanyakan perusahaan di AS, saat itu Motorola tidak memiliki program kualitas. Tetapi pada tahun 1987, keluar dari pendekatan baru dari sektor komunikasi Motorola pada saat itu dikepalai oleh George Fisher yang kemudian menjadi top executive di Kodak. Konsep perbaikan kualitas itu dinamakan Six Sigma. Six Sigma memberikan suatu pendekatan pada Motorola sebuah cara sederhana dan konsisten untuk melacak dan membandingkan kinerja dalam persyaratan pelanggan dan sebuah target bisnis ambisius dari kualitas yang sempurna secara praktis. 4
The Six Sigma Way (Pande, p. 5-9) The Six Sigma Handbook (Pydex, p.1-5)
52
Sebagaimana pendekatan Six Sigma kian menyebar keseluruhan bagian perusahaan dengan dukungan dari Chairman Motorola, Bob Galvin, Six Sigma memberikan ”otot ekstra” kepada Motorola untuk mencapai tujuan-tujuan yang pada saat itu sebenarnya tidak mungkin, di mana target awal pada tahun 1980-an sebesar 10 kali peningkatan pada 5 tahun, diperkecil menjadi 10 kali peningkatan setiap 2 tahun, atau 100 kali dalam 4 tahun.
4
The Six Sigma Way (Pande, p. 5-9)
53
Hanya kurang dari 2 tahun, setelah meluncurkan Six Sigma, Motorola mendapat penghargaan MBNQA, seperti telah dijelaskan di atas. Karyawan total perusahaan naik dari 71.000 pada tahun 1980, menjadi lebih dari 130.000 saat ini. Namun demikian, dalam dekade antara permulaan Six Sigma pada tahun 1987 dan 1997, prestasi dan keberhasilan yang dicatat dari aplikasi program Six Sigma adalah5: 1. Peningkatan produktivitas rata-rata: 12.3% per tahun. 2. Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84%. 3. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99.7%. 4. Penghematan biaya manufaktur lebih dari $ 11 Miliar. 5. Peningkatan tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan rata-rata sebesar 17% dalam penerimaan, keuntungan, dan harga saham Motorola. Dewasa ini, Motorola terkenal di seluruh dunia sebagai pemimpin kualitas. Untuk pencapaian kualitas dan tujuan pemenuhan kepuasan pelanggan sepenuhnya, Motorola berkonsentrasi pada beberapa inisiatif operasional kunci dan pada daftar paling atas adalah “kualitas Six Sigma” suatu pengukuran variasi dari suatu hasil yang diharapkan.
5
The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
54
Bahkan lebih dari sekedar sekumpulan peraturan untuk hasil-hasil yang ditargetkan, Motorola telah menerapkan Six Sigma sebagai sebuah cara untuk mentransformasi bisnis, sebuah cara yang didorong komunikasi, pelatihan, kepemimpinan, teamwork, pengukuran, dan fokus pada pelanggan. Sementara Motorola menggunakan Six Sigma untuk mempertahankan posisinya dalam pasar global untuk tetap dapat bersaing maka General Electric adalah jawaban untuk pertanyaan berikut: Bagaimana kamu lebih memperkuat kemajuan perusahaan yang telah dicapai? Jack Welch, CEO GE meminta setiap karyawannya untuk menjadi “gila kualitas”. Welch meluncurkan usaha perbaikan tersebut di akhir tahun 1995 dengan 200 proyek dan program pelatihan intensif, bergerak ke 3000 proyek dan pelatihan yang lebih banyak di tahun 1996. Contoh keberhasilan penerapan six sigma di GE dapat dilihat di bawah ini: 1. Tim Six Sigma di unit GE’s lighting telah memperbaiki masalah-masalah dalam pembayarannya kepada salah satu pelanggan topnya: Wal Mart, menghapus defect faktur dan perselisihan sebesar 98%. 2. Bisnis jasa GE capital mempersingkat proses tinjauan kontrak dan mencapai penghematan tahunan sebesar $ 1 milliar.
5
The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
55
3. Menggunakan alat dan metodologi six sigma, sebuah tim dari Sistem Kedokteran GE dan pusat penelitian dan pengembangan GE mengembangkan pipa performix 630 baru dengan atribut-atribut yang diinginkan pelanggan. Angka-angka luar biasa dibalik inisiatif six sigma dan GE hanyalah memberikan sebagian dari kisah sukses GE. Dari tahun awal atau tahun-tahun dari usaha untuk mencapai titik impas, hasil diakselerasi sebesar $ 750 juta menjelang akhir tahun 1998, perkiraan $ 1.5 milliar pada akhir tahun 1999. Para pemimpin di GE menyebut hasil-hasil tersebut sebagai bukti yang dapat dilihat dari kontribusi finansial yang telah dibuat oleh six sigma. Six sigma telah menyebar bagai api ke seluruh perusahaan dan ini mengubah segala sesuatu yang kita perbuat, ujar Welch.
4
The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
56
2.1.4.2 Definisi Six Sigma6 Six Sigma sebagai sebuah istilah baru dalam dunia bisnis dan juga ilmu statistika, seringkali mempunyai definisi yang berbeda. Persepsi para insinyur dan ahli statistik seringkali berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh media bisnis secara umum. Tetapi adalah tidak arif untuk membuat frase ”Six Sigma” menjadi membingungkan bagi orang-orang yang ingin mengetahuinya baik mereka yang memiliki latar belakang ekonomi, statistik, manajemen, atau teknik. Kata Sigma sendiri merupakan salah satu huruf dari sistem alfabet Yunani yang dilambangkan dengan ”σ”, yang berarti mengindikasikan banyaknya tingkat variasi output terhadap target yang telah ditetapkan. Secara statistik, six sigma adalah suatu ketentuan yang mensyaratkan suatu proses beroperasi pada batas toleransi perekayasaan terdekat adalah paling sedikit + 6 σ dari rata-rata proses. Dalam persepsi teknis untuk pengendalian proses maka six sigma dapat berarti kepada target kinerja operasi yang diukur secara statistik dengan hanya 3.4 cacat (defect) untuk setiap satu juta kejadian atau ” peluang”. Seringkali dinamakan 3.4 DPMO (Defect Per Million Opportunities) atau 3.4 PPM (Parts Per Millon). Cara lainnya untuk menentukan Six Sigma adalah sebagai usaha ”perubahan budaya” agar posisi perusahaan di pasar ada pada kepuasan pelanggan, profitabilitas, dan daya saing yang lebih besar. 6
The Six Sigma Way (Pande, p.10-11)
57
Definisi yang terakhir ini lebih disukai oleh mereka yang memiliki latar belakang manajemen dan ekonomi. Dari sekian banyak definisi-ukuran, tujuan, ataupun perubahan budaya yang ada mana paling sesuai untuk mendapatkan kata ”six sigma ” secara tepat? Sebenarnya tidak ada satupun dari definisi di atas yang kurang tepat atau yang paling tepat sekalipun. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dari bab ini bahwa six sigma bukanlah suatu program teknis keseluruhan dan juga tidak selalu menekankan pada statistik. Six sigma lebih kepada suatu pendekatan manajemen untuk mencapai tujuannya berupa kepuasan pelanggan, peningkatan produktivitas, penurunan tingkat output yang cacat, dan secara umum peningkatan kinerja perusahaan yang dapat dibuktikan dengan laba, penghematan tahunan, nilai harga saham, market share, employee, turnover, dan lain-lain. Akan tetapi, metode ini juga memiliki basis yang cukup kuat pada statistik, terutama jika kita berbicara pada ukuran yang menjadi indikator awal bagi tercapainya target kualitas seperti yang diharapkan atau seperti yang dijanjikan oleh metode tersebut yaitu penurunan tingkat cacat hingga mencapai 3.4 DPMO dengan toleransi persyaratan (UCL dan LCL) mencapai + 6 σ terhadap rata-rata proses. The Six Sigma Way (Pande, p.10-11)
5
58
Dengan pemahaman menyeluruh terhadap konsep six sigma sebagai suatu pendekatan manajemen berbasis statistik yang menekankan pada tujuannya berupa peningkatan kinerja bisnis serta fokus kepada hasil-hasil yang ditargetkan maka dalam bukunya, The Six Sigma Way, Peter S Pande, mendefinisikan six sigma secara luas. Six Sigma adalah sebuah sistem yang merupakan pendekatan manajemen yang komperhensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis, dan juga six sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang disiplin terhadap fakta, dan analisis statistik dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki, dan menanamkan kembali proses bisnis demi tercapinya tingkat kualitas 6 σ. 2.1.4.3 Konsep Six Sigma Secara Statistik 7 Sigma adalah sebuah unit pengukuran statistik yang mencerminkan kapabilitas proses. Sigma adalah cara untuk menentukan atau bahkan memprediksikan kesalahan atau cacat dalam proses, baik untuk proses manufaktur atau pengiriman sebuah pelayanan. Jika perusahaan kita sudah mencapai level 6 sigma berarti dalam proses kita mempunyai peluang untuk defect atau melakukan kesalahan sebanyak 3.4 kali dari 1.000.000 kemungkinan (opportunity). Dari hasil
59
perhitungan yang dilakukan dengan memperbandingkan nilai sigma, didapatkan perbandingan sebagai berikut7: Tabel 2.1 Perbandingan Hasil 3.8 Sigma dan 6 Sigma Pencapaian Tujuan-Apa yang telah anda dapatkan Sampel 3.8 Sigma 6 Sigma Untuk setiap 300.000 3.000 salah kirim 1 salah kirim surat yang diantar Melakukan 500.000 kali 4.100 berbenturan < 2 berbenturan restart komputer Untuk 500 tahun dari 60 bulan tidak 0.018 bulan tidak tutup buku akhir tahun seimbang seimbang Untuk setiap minggu 1.68 jam gagal 1.8 detik gagal penyiaran TV (per mengudara mengudara channel) Proses six sigma Motorola berdasarkan pada distribusi normal yang mengizinkan pergeseran 1.5 sigma dari nilai target. Konsep Six sigma menurut Motorola ini berbeda dengan konsep distribusi normal yang tidak memberikan kelonggaran akan pergeseran. Nilai pergeseran 1.5 sigma ini diperoleh dari hasil penelitian Motorola atas proses atau sistem industri, di mana menurut hasil penelitian bahwa sebagus-bagusnya suatu proses industri (khususnya mass production) tidak akan 100% berada pada suatu titik nilai target tapi akan ada pergeseran sebesar rata-rata 1.5 sigma dari nilai tersebut.
7
Pengendalian Kualitas Statistik (Dorothea, Wahyu, A, 192)
60
Gambar 2.1 Pergeseran Tingkat sigma dalam Konsep Six Sigma Motorola Pada rata-rata proses umumnya dapat menyimpang sebesar + 1.5 σ dalam asumsi normalitas. Apabila rata-rata proses menyimpang sejauh 1.5 σ ke kanan, maka level sigma dari proses akan sebesar 4.5 σ dan arah yang berlawanan akan menghasilkan 7.5 σ. Secara umum apabila proyek six sigma dijalankan dengan baik dan konsisten dalam jangka panjang, maka pergeseran 1.5 σ adalah satu ketentuan yang dapat dimaklumi. Jadi dalam implementasi jangka panjang yang dimaksud dengan ”six sigma” adalah 6 σ dengan asumsi pergeseran 1.5 σ pada rata-rata proses dari target yang telah ditetapkan. Adapun DPMO yang dihasilkan untuk tingkat pengelolaan six sigma ini adalah sebesar 3.4 PPM dan 99.99966% dari data akan berada dalam batas toleransi 6 σ atau yield sebesar 99.99966%. 7
Pengendalian Kualitas Statistik (Dorothea, Wahyu, A, 192
61
Perbandingan antara proses dan konsep pure six sigma, di mana rata-rata proses adalah tetap, dengan konsep Six Sigma Motorola, di mana rata-rata proses diasumsikan menyimpang 1.5 σ dalam jangka panjang adalah seperti di bawah ini: Tabel 2.2 Level Sigma dan Tingkat DPMO8 Sigma Quality Level 3 4 5 6
8
Mean, fixed Defect Rate (ppm) 2,700 63,40 0,57 0,002
Pengendalian Kualitas Statistik (Dorothea, Wahyu, A, 192)
Mean, with 1.5 shift Defect Rate (ppm) 66,811 6,210 233 3,4
62
Untuk lebih jelasnya tentang tabel konversi level six sigma dan juga nilai DPMO-nya dapat dilihat pada bagian lampiran. Menurut penelitian di AS, apabila perusahaan serius dalam penerapan program six sigma maka hasil-hasil berikut dapat diperoleh: 1. Terjadi peningkatan 1 sigma dari 3-sigma menjadi 4-sigma pada tahun pertama. 2. Pada tahun kedua, peningkatan akan terjadi dari 4-sigma menjadi 4.7-sigma. 3. Pada tahun ketiga, peningkatan akan terjadi dari 4.7 menjadi 5-sigma. 4. Pada tahun keempat, peningkatan akan terjadi dari 5-sigma menjadi 5.1-sigma. 5. Pada tahun-tahun selanjutnya, peningkatan rata-rata adalah 0.1-sigma sampai maksimum 0.15-sigma setiap bulan. Sebelumnya dikatakan bahwa dibutuhkan waktu rata-rata 8 tahun untuk beralih dari tingkat operasional 4-sigma ke 6-sigma, yang berarti harus terjadi peningkatan sebesar 6210 / 3.4 = 1826.471 kali peningkatan selama 8 tahun atau secara rata-rata sekitar 228.3 kali peningkatan setiap tahunnya. Suatu peningkatan yang dramatik untuk mencapai level perusahaan kelas dunia. Peningkatan dari 3sigma menjadi 4.7-sigma memberikan hasil yang mengikutui kurva eksponensial (mengikuti deret ukur), sedangkan peningkatan dari 4.7-sigma sampai 6-sigma mengikuti gerak kurva linear (mengikuti deret hitung).
63
2.1.4.4 Tema Kunci dan Keuntungan Six Sigma8 Untuk dapat menerapkan metode six sigma secara optimal hal yang perlu diperhatikan adalah mengetahui 6 tema kunci dari metode six sigma itu sendiri (Pande). 6 tema ini sering juga ditafsirkan sebagai ”persyaratan utama” dalam mengembangkan metode six sigma, 6 tema kunci tersebut adalah: 1. Fokus sungguh-sungguh kepada pelanggan (customer focus). 2. Manajemen yang digerakkan oleh data dan fakta (management by fact). 3. Fokus pada proses, manajemen, dan perbaikan. 4. Manajemen proaktif (proactive management). 5. Kolaborasi tanpa batas (dari Jack Welch). 6. Dorongan untuk sempurna, tetapi toleransi terhadap kegagalan. Adapun keuntungan-keuntungan yang dapat diraih dari penerapan metode ini: 1. Pengurangan biaya produksi akibat inefisiensi produksi. 2. Peningkatan produktivitas. 3. Pertumbuhan pangsa pasar (market share). 4. Retensi/ loyalitas pelanggan (customer loyality)akibat kepuasan pelanggan. 5. Pengurangan waktu siklus (reduce cycle time). 6. Pengurangan tingkat produk yang cacat (reduce defect rate). 7. Pengembangan produk dan jasa (product and service development) 8
(The Six Signa Way, Pande, p. 17-19)
64
8. Meningkatnya pencegahan dan kesadaran karyawan akan budaya kualitas. 2.1.5 Pengukuran Kinerja Produk 9 Ukuran Six Sigma terdiri dari: • Unit (U) Jumlah part, sub-assy, atau sistem yang diukur atau diperiksa. Sebuah item yang sedang diproses, atau produk atau jasa akhir yang sedang dikirim kepada pelanggan-sebuah mobil, pinjaman hipotek, hotel stay, bank statement, dan sebagainya. • Defect (cacat) Segala sesuatu yang membuat customer tidak puas, dapat juga diartikan kegagalan untuk memenuhi persyaratan pelanggan / kinerja standar-seperti: mesin bocor, penundaan dalam closing pinjaman hipotek, hapusnya reservasi, statement error,dsb. • Defective (Df) Semua unit yang berisi sebuah defect. • Opportunity (OP) Karakteristik yang diperiksa atau diukur, dalam hal ini yang digunakan adalah Critical To Quality (CTQ). 9
The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
65
Ada tiga langkah utama dalam menentukan jumlah opportunity yaitu: 1. Membuat daftar pendahuluan dari jenis cacat. 2. Menentukan yang mana actual defect, kritis bagi konsumen dan spesifik. 3. Periksalah jumlah peluang yang diusulkan terhadap standar. • Defect Per Unit (DPU) Ukuran ini merefleksikan jumlah rata-rata dari defect, semua jenis, terhadap jumlah total unit dari unit yang dijadikan sampel.
DPU =
D U
TOP = U x OP
•
Defect Per Opportunity (DPO)
Menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam sebuah kelompok.
DPO =
D TOP
DPU =
D U x OP
• Defect Per Million Opportunity (DPMO)
DPMO mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul, jika ada satu juta peluang dalam lingkungan pemanufakturan secara kritis. 9
The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
66
2.1.5.1 Konsep Pengukuran Berbasis Kecacatan
Pada konsep ini ada dua ukuran yang digunakan yaitu: 1. Ukuran Defective dan Yield, variabel pengukurannya adalah: Proportion defect; merupakan persentase jumlah unit/ item yang memiliki
satu atau lebih cacat dibanding total unit yang diproduksi. Rumusnya ialah: DPU =
jumlah defective x100% jumlah unit yang diproduksi
Final yield atau ditulis Y final dihitung sebagai 1 dikurangi proportion defective. Informasi ini memberitahu apakah pecahan dari unit total yang
diproduksi atau dikirim adalah bebas cacat (defect free). Hasil ini biasanya dikalikan dengan 100%. Ukuran Yield mengindikasikan keefektifan dari sebuah proses untuk menghasilkan profitabilitas produk yang bebas cacat (defect free)
9
The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
67
2. Ukuran-ukuran defect Sering disebut Defect Per Unit (DPU). Ukuran ini mengindikasikan jumlah total rata-rata dari defect, semua jenis terhadap total yang dihasilkan. Jika DPU sebesar 1, misalnya, ini mengindikasikan bahwa setiap unit akan memiliki satu defect, sekalipun beberapa item mungkin memiliki lebih dari satu defect dan yang lainnya tidak ada defect. DPU 0.25 menunjukkan suatu profitabilitas bahwa ada satu dari empat unit akan memiliki satu defect. Rumusnya adalah: DPU =
jumlah defect yang terjadi jumlah total unit
Tiga ukuran yang pertama di atas akan membantu mengetahui seberapa baik atau buruk proses dikerjakan dan bagaimana defect didistribusikan dalam proses berjalan. Ukuran –ukuran tersebut juga menjadi indikator dari performansi produk yang dihasilkan.
9
The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
68
2.1.5.2 Konsep Pengukuran Berbasis Peluang 10
Pada konsep ini, ada tiga variabel yang dapat digunakan untuk menghitung dan mengekspresikan ukuran-ukuran berbasis peluang defect, yaitu: 1. Defect Per Opportunity (DPO) Variabel ini menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam sebuah kelompok yang diperiksa. Sebagai contoh jika DPO sebesar 0.05 berarti peluang untuk memiliki defect dalam sebuah kategori (CTQ) adalah 0.5. Rumusnya adalah: DPO =
jumlah unit deffective Total Unit x Peluang
2. Defect Per Million Opportunities (DPMO) Kebanyakan ukuran-ukuran peluang defect diterjemahkan ke dalam format DPMO yang mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul jika ada satu juta peluang. Dalam lingkungan pemanufakturan secara khusus DPMO sering dinamakan parts per million (ppm). Rumus umum untuk menghitung DPMO adalah: DPMO = DPOx1.000.000
Ukuran ini seringkali dapat dipakai untuk menentukan peluang terjadinya cacat pada produk yang diproduksi dalam satu juta peluang. 10
The Six Sigma Way (Pande, 243 – 246)
69
3. Sigma Level Ukuran Sigma atau level Sigma adalah variabel yang paling penting dalam metode Six Sigma, karena variabel ini mengindikasikan variabilitas proses dan sampai level berapa Sigma proses harus dikelola. Ukuran ini juga mengindikasikan apakah proses saat ini sudah efisien dan ”berkualitas” atau belum. Untuk mendapatkan skor Sigma hal yang harus dilakukan adalah kita harus mengetahui DPMO terlebih dahulu dari hasil tersebut kita konversikan menjadi ekor Sigma melalui tabel konversi Sigma pada lampiran. 4. Menghitung COPQ Konsekuensi dari suatu produk jadi yang mempunyai kualitas rendah adalah perusahaan harus rela kehilangan keuntungan. Untuk mereduksi kehilangan keuntungan ini, maka perusahaan dapat menjalankan proyek six sigma. Semakin tingginya tingkat sigma yang dicapai, maka tingkat defect dan
COPQ-nya menjadi rendah.
10
The Six Sigma Way (Pande, 243 – 246)
70
2.1.6 Model Perbaikan DMAIC (Define Measure Analyze Improve Control)
Ada beberapa model struktur dalam peningkatan kualitas six sigma, salah satunya yang paling banyak dipakai adalah metode DMAIC. DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik menurut ilmu pengetahuan dan fakta.
Gambar 2.2 Model DMAIC
71
2.1.6.1 Project Statement11 Tools ini digunakan untuk membantu dalam memfokuskan permasalahan
yang akan diteliti. Elemen-elemen yang ada dalam Project Statement antara lain: a. Business Case (Latar Belakang Proyek) merupakan latar belakang permasalahan saat ini dalam lingkup luas. b. Problem Statement (Pernyataan Masalah) yaitu berisi pernyataan masalah yang ada disertai dengan nilai-nilai yang menunjukkan permasalahan tersebut. c. Project Scope (Ruang Lingkup Proyek) merupakan batasan-batasan di mana proyek perbaikan atau pemecahan masalah akan diteliti. d. Goal Statement (Pernyataan Tujuan) merupakan pernyataan tujuan yang akan dicapai setelah proyek diselesaikan. Pernyataan tujuan ini haruslah spesifik, terukur, realistik, dan dapat dimengerti (specific, measurable, realistic, and understandable). e. Milestone (Batas Waktu Proyek) atau batas waktu yang ditetapkan untuk dapat menyelesaikan proyek, beserta rincian kegiatan waktu demi waktu, bila diperlukan.
11
The Six Sigma Way: Team Fieldbook (Pande, Neuman, & Cavanagh, 101-103)
72
2.1.6.2 Define Define
merupakan
langkah
operasional
pertama
dalam
program
peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah yang terdapat dalam fase define antara lain: menentukan atau mendefinisikan tujuan dari proyek Six Sigma, membuat gambaran dari perusahaan baik berupa: SIPOC diagram dan Peta Proses Operasi. 2.1.6.2.1 SIPOC Diagram12
SIPOC adalah singkatan dari Supplier, Input, Process, Output, dan Customer. SIPOC adalah diagram yang digunakan untuk menyajikan sekilas dari
aliran kerja. SIPOC dapat digunakan untuk memastikan bahwa semua orang akan melihat proses dalam cara pandang yang sama. Untuk itulah, SIPOC harus ada pada awal proyek. Proses dipetakan menjadi beberapa langkah, yaitu: a. Menamakan proses. b. Membuat batasan titik awal dan akhir proses. c. Membuat daftar output dan pelanggan. d. Membuat daftar input dan pemasok. e. Identifikasi, memberi nama, dan urutan langkah-langkah yang ada dalam proses.
The Six Sigma Way: Team Fieldbook (Pande, Neuman, & Cavanagh, 101-103)
12
73
SIPOC terdiri dari 5 buah elemen yaitu sebagai berikut: 1. Supplier - orang atau kelompok yang memberikan informasi kunci, bahan-bahan, atau sumber daya lainnya kepada proses. 2. Input – sesuatu yang diberikan, dapat berupa: material, modal, tenaga kerja, energi, dan informasi. 3. Process – sekumpulan langkah yang mengubah dan idealnya menambahkan nilai input. 4. Output – hasil keluaran dari proses akhir biasanya berupa: produk jadi 5. Customer – orang yang akan menggunakan output secara langsung atau sebagai input untuk proses kerja mereka.
2.1.6.2.2 Peta Proses Operasi13
Peta proses operasi (Operation Process Chart) adalah peta kerja yang mencoba menggambarkan urutan kerja dengan jalan membagi pekerjaan menjadi elemen-elemen operasi secara detail. Di mana tahapan kerja harus diuraikan secara logis dan sistematis. Dengan demikian, keseluruhan proses kerja dapat digambarkan dari awal (raw material) sampai menjadi produk akhir (finish good products) sehingga analisa perbaikan dari masing-masing operasi kerja secara
individual maupun urutan-urutannya secara keseluruhan akan dapat dilakukan. 13
(Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu, Sritomo, W, p. 129)
74
Peta operasi ini umumnya digunakan untuk menganalisa operasi-operasi kerja yang menghabiskan waktu dalam suatu siklus kerja. Untuk pembuatan peta proses operasi ini maka simbol-simbol ASME (American Society of Mechanical Engineers) yang dipakai adalah simbol Operasi, Inspeksi, dan gabungan antara operasi dengan inspeksi.
2.1.6.3 Measure Measure merupakan langkah operasional kedua dalam rangka peningkatan
kualitas dalam metode DMAIC. Pada tahap ini dilakukan pengukuran dan mengenali dan menginventarisasi karakteristik kualitas kunci (CTQ). Tahap
Measure
memegang
peranan
yang
sangat
penting
dalam
meningkatkan kualitas, karena dapat mengetahui kinerja perusahaan melalui perhitungan data yang dijadikan dasar untuk melakukan analisa dan perbaikan. Dalam DMAIC terdapat dua konsep pengukuran yaitu: konsep pengukuran kinerja produk dan konsep pengukuran kinerja proses. Pengukuran kinerja proses dapat dilakukan dengan: 1.
Membuat peta kendali
2.
Menghitung kapabilitas proses untuk mengetahui apakah proses yang terjadi mampu (capable). Analisa kapabilitas proses akan membandingkan kinerja suatu proses dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
75
Pengukuran kinerja produk dapat dilakukan dengan: 1.
Menghitung
DPMO
(Define
Per
Million
Opportunities),
yaitu
mengidentifikasikan berapa banyak produk defect yang muncul jika ada satu juta peluang, dan menghitung nilai sigma. 2.
Menghitung COPQ (Cost of Poor Quality) yaitu biaya yang timbul akibat proses kegagalan dari suatu proses.
2.1.6.3.1 Jenis-jenis Peta Kontrol • Peta Kontrol Untuk Data Variabel13 Peta Kontrol X dan R
Peta kontrol X (Rata-rata) dan R (Range) digunakan untuk memantau proses yang berdimensi kontiniu, sehingga peta kontrol X dan R sering disebut peta kontrol untuk data variabel. Peta kontrol X menjelaskan kepada kita apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) rata-rata suatu proses. Sedangkan peta kontrol R (Range)
menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan dalam suatu proses.
13
Statistical Process Control (Vincent G, p. 112)
76
Adapun rumus yang digunakan untuk Peta Kontrol X dan R sebagai berikut: •
Peta Kontrol X (Batas kontrol 3-sigma) Central Line (CL) dirumuskan CL= X Upper Control Limit (UCL) dirumuskan UCL = X + A 2 R Lower Control Limit (LCL) dirumuskan LCL = X - A 2 R
Keterangan: A2 = Koefisien untuk batas Kontrol X (nilainya dapat dilihat pada Tabel Lampiran) •
Peta Kontrol R (Batas kontrol 3-sigma) Central Line (CL) dirumuskan CL = R Upper Control Limit (UCL) dirumuskan UCL = D 4 R Lower Control Limit (LCL) dirumuskan LCL = D3R
Keterangan: D3, D4 =Koefisien untuk batas kontrol R
Statistical Process Control (Vincent G, p. 112)
13
77
•
Peta Kontrol Untuk Data Atribut14 Peta Kontrol p
Peta kontrol p digunakan untuk mengukur proporsi ketidaksesuaian (penyimpangan atau sering disebut cacat) dari item-item dalam kelompok yang sedang diinspeksi. Dengan demikian peta kontrol p digunakan untuk mengendalikan proporsi dari item-item yang tidak memenuhi syarat spesifikasi kualitas atau proporsi dari produk cacat yang dihasilkan dalam suatu proses. Proporsi yang tidak memenuhi syarat didefinisikan sebagai rasio banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap total banyaknya item dalam kelompok itu. Proporsi sering diungkapkan dalam bentuk desimal kemudian dikalikan 100% sehingga diperoleh persentase dari produk cacat. • Rumus Proporsi cacat ( p )
p=
total cacat total inspeksi
• Rumus Simpangan Baku (Sp) Sp = 14
p (1 - p ) atau S p = n
p (100 - p ) , dinyatakan dalam persen n
Statistical Process Control (Vincent G, p. 149)
78
• Peta Kontrol p(batas kontrol 3-sigma)
CL= p UCL = p + 3
LCL = p - 3
p (1 - p ) ni p (1 - p ) ni
2.1.6.3.2 Indeks Kapabilitas Proses (Cp)15
Kapabilitas adalah kemampuan dari dalam proses yang menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada dalam batas-batas spesifikasi (di antara batas bawah dan batas atas spesifikasi). Sebaliknya, apabila proses memiliki kapabilitas yang jelek, proses itu akan menghasilkan banyak produk yang berada di luar batas-batas spesifikasi sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk akan ditolak.
15
Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
79
Indeks Kapabilitas Proses (Cp) dihitung menggunakan formula berikut: Cp =
USL - LSL 6s
di mana: Cp = indeks kapabilitas proses (process capability index) USL = batas spesifikasi atas (upper specification index) LSL = batas spesifikasi bawah (lower specification index) 6 s = enam simpangan baku Jika nilai indeks kapabilitas proses lebih besar atau sama dengan satu (Cp > 1), hal itu menunjukkan bahwa proses memiliki kapabilitas yang baik, yang berarti bahwa proses mampu menghasilkan produk yang berada dalam batas-batas spesifikasi. Sebaliknya, jika nilai indeks kapabilitas lebih kecil daripada satu (Cp <1), hal itu menunjukkan bahwa proses memiliki kapabilitas yang jelek, yang berarti bahwa proses tidak mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan batas-batas spesifikasi.
15
Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
80
Untuk keperluan praktek, biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut: •
Cp > 1.33, maka proses dianggap mampu (capable)
•
Cp = 1.00 – 1.33, maka proses dianggap mampu, namun perlu pengendalian ketat apabila Cp telah mendekati satu (capable with tight control as Cp approaches 1.00).
•
Cp < 1.00, maka proses dianggap tidak mampu (not capable) Biasanya, indeks kapabilitas proses (Cp) dipergunakan bersamaan dengan indeks performansi (performance index), Cpk, yang dikemukakan oleh Kane pada tahun 1986. Indeks performansi Kane, Cpk menjelaskan tentang kedekatan nilai rata-rata dari proses sekarang terhadap salah satu batas spesifikasi atas (USL) atau batas spesifikasi bawah (LSL). Indeks performansi Kane memiliki persamaan:
C pk = min(CPL, CPU ) di mana: CPL = indeks kapabilitas bawah (lower capability index) dan CPU = indeks kapabilitas atas (upper capability index). Berikut ini adalah persamaan CPL dan CPU CPL =
CPU =
15
(X - LSL) 3s
(USL - X) 3s
Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
81
Besaran CPL dan CPU dapat dibandingkan terhadap kriteria berikut: •
Jika CPL > 1.33, proses akan mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL).
•
Jika 1.00 < CPL<1.33, proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL), namun perlu pengendalian ketat apabila CPL telah mendekati 1.00.
•
Jika CPL<1.00, proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL).
•
Jika CPU>1.33, proses akan mampu memenuhi batas spesifikasi atas (USL).
•
Jika 1.00 < CPU <1.33, proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi atas (USL), namun perlu pengendalian ketat apabila CPU telah mendekati 1.00.
•
Jika CPU < 1.00, proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi atas (USL). Kapabilitas proses dapat juga diukur dengan menggunakan rasio kapabilitas (capacibility ratio), yang biasanya dinotasikan sebagai CR. CR =
6s USL - LSL
Untuk keperluan praktek, biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut: •
CR < 0.75, maka proses dianggap mampu.
•
CR = 0.75 – 1.00, maka proses dianggap mampu, namun perlu pengendalian ketat apabila CR telah mendekati 1.00.
•
CR >1.00 maka proses dianggap tidak mampu.
15
Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
82
2.1.6.3.3 Critical To Quality (CTQ)16
CTQ adalah unsur-unsur suatu proses yang secara signifikan mempengaruhi output dari proses itu sendiri. CTQ merupakan atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta merupakan elemen-elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan konsumen. CTQ dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses atau produk yang akan diperbaiki untuk menerjemahkan permintaan pelanggan. Biasanya, bentuknya berupa turunan masalah atau breakdown dari semua masalah sampai tercapai atau teridentifikasi masalah yang sesungguhnya guna memenuhi keinginan pelanggan.
16
The Six Sigma Way (Pande, p. 28)
83
2.1.6.3.4 Biaya Kualitas17
Biaya kualitas adalah biaya yang terjadi atau mungkin akan terjadi karena kualitas yang buruk. Ini berarti, biaya kualitas adalah biaya yang berhubungan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan kerusakan. Adapun biaya kualitas dikelompokkan dalam empat golongan yaitu: (Ross, 1994:204) 1. Biaya pencegahan (prevention cost) yaitu biaya yang terjadi untuk mencegah kerusakan produk yang dihasilkan. 2. Biaya deteksi atau penilaian (detection / appraisal cost) adalah biaya yang terjadi untuk menentukan apakah produk dan jasa memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas. 3. Biaya kegagalan internal (internal failure cost) adalah biaya yang terjadi karena ada ketidaksesuaian dengan persyaratan dan terdeteksi sebelum barang atau jasa tersebut dikirim ke luar (pelanggan) 4. Biaya kegagalan eksternal (external failure cost) adalah biaya yang terjadi karena produk dan jasa gagal memenuhi persyaratan, yang diketahui setelah produk dikirim ke pelanggan.
17
Manajemen Mutu Terpadu (Nasution, M.N., p127-129) Principles of Total Quality (Ross, p. 204)
84
2.1.6.4 Analyze
Tahap Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa hal berikut ini: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis cacat yang terjadi dan membuat prioritas cacat minimal yang memiliki kontribusi dominan terhadap minimnya kualitas produk secara keseluruhan. Pada tahap ini alat yang digunakan adalah diagram Pareto. (2) Menginventarisasikan dan menganalisa beberapa akar penyebab masalah dari cacat-cacat yang dominan tersebut, ditinjau dari segi: man, machine, environment, method, dan material menggunakan fishbone. (3) Mencari
penyebab yang paling dominan di antara seluruh daftar akar penyebab.
2.1.6.4.1 Diagram Pareto18
Ditemukan oleh ahli ekonomi asal Italia, Vilfredo Pareto. Hukum dari diagram Pareto adalah 80/20 atau 80% dari probabilitas (cacat produk) diakibatkan oleh 20% penyebab. Pareto diagram membantu manajemen secara cepat mengidentifikasikan area paling kritis yang membutuhkan perhatian khusus dan capat. Adapun cara pembuatannya akan dibahas dalam Bab 4.
18
Manajemen Mutu Terpadu ( Nasution, M.N, p.98)
85
Bagan Pareto merupakan grafik yang merangking data dengan mengklasifikasikan secara menurun dari kanan ke kiri. Kemungkinan data yang diklasifikasi dapat berupa: masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian, atau kerusakan dan lain sebagainya. Bagan pareto digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevalusi tipe-tipe yang tidak sesuai. Melalui bagan Pareto maka pengguna dapat mengetahui dengan cepat dan visual dalam mengidentifikasi frekuensi kerusakan yang terjadi atau ketidaksesuaian yang paling sering terjadi. Kelebihan dari diagram Pareto adalah dapat menyampaikan dampak secara visual dari karakteristik yang diperlukan untuk ditindaklanjuti. Ada dua skala yang digunakan dalam diagram Pareto yaitu: skala frekuensi di sebelah kiri dan skala persentase di sebelah kanan.
18
Manajemen Mutu Terpadu ( Nasution, M.N, p.98)
86
2.1.6.4.2 Diagram Fishbone19
Diagram Fishbone adalah suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistikal, diagram sebab akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan faktor-faktor penyebab. Diagram sebab akibat ini sering juga disebut sebagai Diagram tulang ikan (fishbone diagram) karena bentuknya seperti kerangka ikan dan pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1953. Pada dasarnya, diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan berikut: •
Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah.
•
Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah.
•
Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.
19
Statistical Process Control (Vincent G, p.62)
87
2.1.6.5 Improve
Fase atau tahap yang keempat dalam Metodologi Six Sigma adalah tahap Improve. Pada tahap ini, usaha-usaha peningkatan kinerja kualitas produk dimulai
dengan cara membuat FMEA (FailureMode and Effect Ananlysis) dan memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi cacat dalam proses.
2.1.6.5.1 Metode FMEA (Failure Mode and Efect Analysis) 20
Disiplin ilmu FMEA pertama kali dikembangkan dalam United States Military, yaitu dalam Military Procedure MIL-P-1629, dengan judul Procedures for Performing a Failure Mode, Effects, and Critically Analysis, tanggal 9 November
1949.
FMEA adalah metodologi yang digunakan untuk menganalisa dan
menemukan semua kegagalan-kegagalan yang potensial terjadi pada suatu sistem, menemukan efek-efek dari kegagalan yang terjadi pada sistem, dan kemudian mencari cara bagaimana untuk memperbaiki atau mengurangi kegagalan-kegagalan atau efek-efeknya pada sistem.
20
Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
88
Dengan menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan keandalan dari produk sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk itu. Langkah-langkah dalam membuat FMEA: 1. Mengidentifikasi proses atau produk / jasa. 2. Mendaftarkan masalah-masalah potensial yang dapat muncul, efek dari masalah-masalah tersebut dan penyebabnya. Hindarilah masalah sepele. 3. Menilai masalah untuk keparahan (Severity), probabilitas kejadian (Occurance), dan detektabilitas (Detection). 4. Menghitung Risk Priority Number (RPN) yang didapat dengan mengalikan ketiga variabel dalam poin tiga di atas dan menentukan rencana solusi-solusi yang harus dilakukan. Untuk keterangan lebih lanjut tentang rating Severity, Occurance, dan Detection dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
20
Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
89
Effect
Tabel 2.3 Kriteria Severity Criteria ( Severity of Effect)
Rank
Berbahaya, Memungkinkan untuk membahayakan mesin atau operator, ranking 10 tanpa sangat tinggi apabila berhubungan dengan penggunaan kendaraan peringatan secara aman atau tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Kegagalan akan timbul tanpa peringatan Berbahaya, Memungkinkan untuk membahayakan mesin atau operator, ranking 9 dengan sangat tinggi apabila berhubungan dengan penggunaan kendaraan peringatan secara aman atau tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Kegagalan akan timbul dengan adanya peringatan Sangat Gangguan utama pada lini produksi, semua hasil produksi (100%) 8 tinggi harus dibuang, produk kehilangan fungsi utama. Konsumen sangat tidak puas. Tinggi Gangguan minor pada lini produksi, produksi harus dipilih dan 7 sebagian besar produk (dibawah 100%) harus dibuang, fungsi produk menurun. Konsumen tidak puas. Sedang Gangguan minor pada lini produksi, sebagian kecil produk harus 6 dibuang, produk dapat digunakan, namun kenyamanan terganggu. Konsumen kurang puas 5 Rendah Gangguan minor pada lini produksi, 100% produk mungkin harus dirework. Produk dapat digunakan namun kemampuan rendah. Konsumen merasa sedikit kecewa 4 Sangat Gangguan minor pada lini produksi, produk jadi harus dipilah – pilih Rendah dan sebagian kecil harus di-rework. Ketidaksesuaian produk kecil, kerusakan dapat dideteksi oleh kebanyakan konsumen Minor Sebagian kecil produk harus di-rework, namun dilakukan di lini 3 produksi dan di luar stasiun kerja, kerusakan diketahui oleh sebagian besar konsumen. Sangat Sebagian kecil produk harus di-rework, namun dilakukan di lini 2 Minor produksi dan di dalam stasiun kerja, kerusakan diketahui oleh sangat sedikit konsumen. Tidak ada Tidak ada Efek 1 Severity (S) adalah suatu perkiraan subyektif atau estimasi tentang tingkat parahnya kerusakan atau bagaimana buruknya pengguna akhir merasakan dampak kerusakan. 20
Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
90
Occurence (O) adalah suatu perkiraan mengenai kemungkinan dari penyebab yang akan
terjadi dan menghasilkan modus kegagalan yang menyebabkan akibat tertentu. Tabel 2.4 Kriteria Occurence
Probability Of Failure
Possible Failure rate
Cpk
Rank
Sangat Tinggi: Kegagalan hampir tak dapat dihindari Tinggi: Kegagalan sangat mirip dengan beberapa kegagalan sebelumnya yang memang sering sekali gagal Sedang: Dapat dikaitkan dengan kegagalan sebelumnya yang sering terjadi, namun tidak dalam proporsi besar Rendah: Kegagalan yang terisolasi dan dapat diasosiasikan dengan beberapa proses yang serupa
>=1 dari 2 1 dari 3 1 dari 8 1 dari 20
< 0,33 >= 0,33 >= 0,51 >= 0,67
10 9 8 7
1 dari 80 1 dari 400 1 dari 2000 1 dari 15000
>= 0,83 >=1,00 >=1,17 >= 1,33
6 5 4 3
Sangat Rendah: Hanya kegagalan - kegagalan terisolasi yang serupa dengan proses yang identik.
1 dari 150000
>= 1,50
2
Sangat kecil: Kegagalan hampir tidak mungkin, belum pernah terjadi kegagalan serupa di proses lain yang identik
<=1 dari 1500000
>= 1,67
1
Detection (D) adalah perkiraan subyektif tentang kemungkinan untuk mendeteksi
penyebab dari kegagalan yang ada sebelum produk tersebut keluar dari proses produksi. 20
Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
91
Tabel 2.5 Kriteria Detection Detection
Hampir tidak mungkin Sangat kecil kemungkinannya Kecil kemungkinannya Sangat rendah Rendah Sedang Agak tinggi Tinggi Sangat tinggi Hampir pasti terdeteksi
Kriteria: Keberadaan dari cacat dapat dideteksi oleh kontrol proses sebelum koponen atau hasil produksi lolos ke proses selanjutnya. Tidak ada kontrol yang tersedia untuk jenis kegagalan ini
Sangat tidak mungkin untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Tidak mungkin kontrol yang ada tidak dapat mendeteksi kegagalan yang ada Sangat rendah kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Rendah kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Ada kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Cukup kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Mungkin untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Sangat mungkin untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini Hampir pasti kontrol yang ada dapat menangkap kegagalan proses seperti ini, karena sudah diketahui dari proses yang serupa.
Rank
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Risk Priority Number (RPN) merupakan hasil perkalian antara rating severity, detection
dan rating occurance dengan rumus : RPN = (S) x (O) x (D) 20
Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
92
2.1.6.6
Control
Fase sesudah Improve adalah fase Control. Fase ini merupakan fase terakhir dalam pemecahan masalah menggunakan metodologi Six Sigma. Dalam fase ini seluruh usaha-usaha peningkatan yang ada dimodelkan secara uji coba (trial error) sebagai gambaran kepada perusahaan terhadap upaya perbaikan secara teknis dan seluruh usaha tersebut kemudian didikumentasikan dan disebarluaskan ke segenap karyawan perusahaan. Hal yang akan dilakukan dalam fase ini mencakup: 1. Dokumentasi dan sosialisasi usaha-usaha peningkatan yang telah dibuat. 2. Penutupan proyek Six Sigma sebagai suatu metode untuk memecahkan masalah yang dihadapi perusahaan.
93
2.1.7 Keuntungan Potensial DMAIC21
Di sisi lain, terdapat alasan organisasional dan alasan yang masuk akal mengapa perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah model perbaikan baru sebagai bagian dari Six Sigma, jika perusahaan tidak memiliki proses pemecahan masalah. Maka DMAIC menawarkan keuntungan ketimbang metode lainnya, Keuntungan DMAIC yaitu: 1.
Membuat awal yang baik. DMAIC dapat membantu perusahaan untuk meletakkan Six Sigma sebagai suatu pendekatan yang sungguh-sungguh berbeda dan lebih baik.
2.
Memberikan sebuah konteks yang baru terhadap alat-alat yang familiar. Memperkenalkan sebuah model yang baru merupakan dasar pemikiran yang positif untuk memberikan peluang yang segar bagi banyak orang untuk mempelajari dan mempraktekkan alat-alat tersebut.
3.
Menciptakan sebuah pendekatan yang konsisten.
4.
Memprioritaskan pelanggan dan pengukuran.
5.
Menawarkan jalur pertukaran proses dan perancangan ulang proses untuk proses perbaikan. DMAIC dapat membantu perusahaan dalam memperbaiki dan merancang ulang permasalahan.
21
The Six Sigma Way (Pande, 161)