BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Siklus Hidrologi Dalam SNI No. 1724-1989-F, hidrologi didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan dan di dalam tanah. Hidrologi merupakan ilmu yang penting dalam asesmen, pengembangan, utilisasi dana manajemen sumberdaya air yang dewasa ini semakin meningkat realisasinya di berbagai level. Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas,dan padat baik proses di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses kondensasi
(pengembunan),
presipitasi
(hujan),
evaporasi
dan
transpirasi
(penguapan). Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu (Mahmud, 2011). Menurut Sosrodarsono(2003), air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian-bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengalir ke daerahdaerah yang rendah, memasuki sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir kembali ke laut. Dalam perjalanannya ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali segera ke sungai-sungai (disebut aliran intra = interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwaterrunoff = limpasan air tanah). Tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena perbedaan besar presipirasi dari tahun ke tahu, dari musim ke musim yang berikut dan juga dari wilayah ke wilayah yang lain. Sirkulasi hidrologi (air) ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, atmosfir, dan lain-lain) dan kondisi topografi. Seperti telah dikemukakan di atas,
5
6 sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air daratan berlangsung terus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (hydrological cycle).
(sumber: www.uwsp.edu) Gambar 2. 1 Siklus Hidrologi
2.2
Analisis Hidrologi Dalam melakukan analisis hidrologi sering dihadapkan pada kejadian-
kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan.Menurut Triatmodjo (2008), hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama dengan makhluk hidup.Penerapan ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam beberapa kegiatan seperti perencanan dan operasi bangunan air, penyediaan air untuk beberapa keperluan (air bersih, irigasi, perikanan, peternakan), pembangkit listrik tenaga air, pengendalian banjir dan sedimentasi, transportasi air, drainase, air limbah, dsb. Dalam hidrologi sering dilakukan analisis data dalam jumlah yang sangat banyak. Data tersebut diperoleh dari pengukuran di alam (seperti debit sungai, hujan, dsb) yang dapat diukur hanya satu kali dan kemudian tidak akan terjadi lagi. Misalnya, dalam pengukuran debit di suatu stasiun pengamatan, data debit yang tercatat saar itu tidak akan terjadi lagi pada masa yang akan datang.
7 Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi, seperti besarnya: curah hujan, debit sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan aliran, kosentrasi sedimen sungai dan lain-lain yang akan selalu berubah terhadap waktu (Soewarno, 1995). Analisis hidrologi diperlukan untuk memperoleh besarnya debit banjir rencana suatu wilayah. Debit banjir rencana merupakan debit maksimum dengan periode ulang tertentu yaitu besarnya debit maksimum yang rata-rata terjadi satu kali dalam periode ulang yang ditinjau.Untuk mendapatkan debit banjir rencana dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui pengolahan data debit dan melalui pengolahan data hujan. Data curah hujan didapatkan daristasiun hujan yang tersebar di daerah pengaliran sungai. Data yang tercatat merupakan data curah hujan harian, yang kemudian akan diolah menjadi datacurah hujan harian maksimum tahunan. Salah satu hal penting dalam analisis hidrologi adalah menafsirkan probabilitas suatu kejadian yang akan datang berdasar data hidrologi yang diperoleh pada pencatatan yang telah lampau. Untuk maksud tersebut digunakan konsep probabilitas dalam analisis data hidrologi. 2.2.1
Debit Aliran Debit aliran sungai, diberi notasi Q, adalah jumlah air yang mengalir melalui
tampang lintang sungai tiap satu satuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalarn meter kubik per detik (m3/d). Debit sungai, dengan distribusinya dalam ruang dan waktu, merupakan informasi penting yang diperlukan dalam perencanaan bangunan air dan pemanfaatan sumber daya air (Triatmodjo, 2008). Debit di suatu lokasi di sungai dapat diperkirakan dengan cara berikut: 1. Pengukuran di lapangan (di lokasi yang ditetapkan), 2. Berdasarkan data debit dari stasiun di dekatnya, 3. Berdasarkan data hujan, 4. Berdasarkan pembangkitan data debit. Pengukuran debit di lapangan dapat dilakukan dengan membuat stasiun pengamatan atau dengan mengukur debit di bangunan air seperti bendung. Pada pembuatan stasiun pengamatan debit, parameter yang diukur adalah tampang lintang sungai, tinggi muka air dan kecepatan aliran. Tinggi muka air (stage height, gauge height) sungai adalah elevasi permukaan air (water level) pada suatu penampang melintang sungai terhadap suatu titik tetap yang elevasinya telah diketahui. Tinggi muka air
8 biasanya dinyatakan dalam satuan meter (m) atau centimeter (cm). Fluktuasi permukaan air sungai menunjukkan adanya perubahan kecepatan aliran dan debitnya. Pengukuran tinggi muka air merupakan langkah awal dalam pengumpulan data aliran sungai sebagai data dasar hidrologi. Data tinggi muka air dapat digunakan secara langsung untuk berbagai keperluan pembangunan, misalnya saja untuk perhitungan pengisian air pada waduk, menentukan perubahan kedalaman aliran dari waktu ke waktu untuk keperluan transportasi air, perencanaan pembangunan fisik di daerah dataran banjir dan untuk keperluan lainnya. Pengukuran tinggi muka air dapat dilaksanakan dengan cara manual menggunakan alat duga air biasa (non recording gauges) dan atau cara otomatis menggunakan alat duga air otomatik (recording gauges) yang dipasang pada suatu pos duga air sungai. Menurut Soewarno (1995), kekurangtelitian atau kesalahan (errors) pengukuran dapat diartikan sebagai besarnya nilai perbedaan antara yang dihitungberdasarkan pengukuran dengan yang sebenarnya. Kesalahan pengukuran de bit umumnya bersumber dari dua macam sebab yaitu : a. Kesalahan petugas b. Kesalahan peralatan Selanjutnya, debit aliran dihitung dengan mengalikan luas tampang dan kecepatan aliran. Untuk mendapatkan hasil yang teliti, lebar sungai dibagi menjadi sejumlah pias, dan diukur kecepatan aliran pada vertikal di setiap pias. Apabila di sungai terdapat bangunan air, misalnya bendung, debit sungai dapat dihitung dengan mengukur tinggi muka air di atas puncak bendung; berdasar rumus peluapan yang berlaku untuk bangunan tersebut. Menurut Ridwan (2004), Dari hubungan ketinggian muka air yang tertentu, maka besamya debit dapat ditetapkan berdasarkan dari setiap ketinggian muka air sungai.Debit aliran (Q) diperoleh dengan mengalikan luas tampang aliran (A) dan kecepatan aliran (V) seperti pada rumus berikut: Q=A.V ...................................................................................................... (2.1) Kedua parameter tersebut dapat diukur pada suatu tampang lintang (stasiun) di sungai. Luas tampang aliran diperoleh dengan mengukur elevasi permukaan air dan dasar sungai. Kecepatan aliran diukur dengan menggunakan alat ukur kecepatan seperti current meter, pelampung, atau peralatan lain. Apabila dasar dan tebing
9 sungai tidak berubah (tidak mengalami erosi atau sedimentasi) pengukuran elevasi dasar sungai dilakukan hanya satu kali. Kemudian dengan mengukur elevasi muka air untuk berbagai kondisi, mulai dari debit kecil sampai debit besar (banjir), dapat dihitung luas tampang untuk berbagai elevasi muka air tersebut. Kecepatan aliran juga dihitung bersamaan dengan pengukuran elevasi muka air. Dengan demikian dapat dihitung debit untuk berbagai kondisi aliran. Selanjutnya dibuat kurva debit (rating curve), yaitu hubungan antara elevasi muka air dan debit. Dengan telah dibuatnya kurva debit, selanjutnya debit sungai dapat dihitung hanya dengan mengukur elevasi muka air. Penggunaan kurva debit hanya dapat dilakukan apabila sungai tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Pemilihan debit banjir rencana untuk bangunan air adalah suatu masalah yang sangat bergantung pada analisis statistik dari urutan kejadian banjirbaik berupa debit air di sungai maupun hujan. Dalam pemilihan suatu teknik analisis penentuan banjir rencana tergantung dari data - data yang tersedia dan macam dari bangunan air yang akan dibangun. 2.2.2
Daerah Aliran Sungai Menurut Triatmodjo (2008), Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang
dibatasi oleh punggung-punggung gunung atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada titik atau stasiun yang ditinjau. DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur. Garis-garis kontur tersebut untuk menentukan arah limpasan permukaan. Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-titik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis-garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah DAS. Gambar 2.2 menunjukkan contoh bentuk DAS, dimana garis yang mengelilingi DAS tersebut merupakan titik-titik tertinggi. Air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain disebelahnya.
10
(Sumber: Noor, 2010) Gambar 2.2Contoh Daerah Aliran Sungai 2.2.3
Curah Hujan Wilayah / Daerah Besarnya curah hujan disuatu tempatsangat dipengaruhi oleh lokasi geografis
dan kondisi alam sekitarnya. Lautan adalah sumber dari curah hujan tersebut. Penguapan terjadi darilautan yang menguap akibat panas matahari dan uap air terserap dalam arus udara yang bergerak melewati permukaan laut. Udara yang mengandung uap air tersebut naik ke atmosfer lalu mendingin sampai di bawah suhu titik embun pada waktu uap air itu tercurah sebagai hujan. Curah hujan yang diperlukan dalam merencanakan pemanfaatan air dan merancang pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan hanya curah hujan pada suatu titik tertentu. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun penakar hujan yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah dan dinyatakan dalam kedalaman air (mm). Dalarn analisis hidrologi diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu metode rerata aritmatik (aljabar), metode poligon Thiessen, dan metode Isohyet. 1.
Metode Rerata Aritmatik (Aljabar) Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada
suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS; tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.Metode rerata aljabar ini memberikan hasil yang baik apabila:
11 a. Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS, b. Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS. Nilai curah hujan daerah / wilayah ditentukan menggunakan rumus berikut : p=
p1 +p2 +p3 +…..…… +pn ................................................................................ (2.2) n
dengan : p
=besar curah hujan rerata daerah mm
n
=jumlah titik pengamatan (stasiun hujan)
p1… pn =besar hujan di tiap titik pengamatan mm
2.
Metode Thiessen Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rerata
kawasan. Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut, Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun. Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut ini : a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan, seperti dalam Gambar 2.2. b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira-kira sama. c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis penuh seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. d. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun, yang mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon. e. Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon.
12 f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini. p=
A1 p1 +A2 p2 +A3 p3 +…..…… +An pn .................................................................. (2.3) A1 +A2 +A3 +…..…… +An
dengan : p
=besar curah hujan rerata daerah mm
p1… pn =besar hujan di tiap titik pengamatan mm
A1… An =luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengukuran (km2 )
(Sumber: Triatmodjo, 2008)
Gambar 2.3Poligon Thiessen 3. Metode Isohyet Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan dengan prosedur berikut ini : a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah yang ditinjau. b. Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan. c. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai kedalaman hujan yang sarna. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis isohyet dan intervalnya.
13 d. Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohyet. e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis: I +I I +I I +I A1 1 2 2 +A2 2 2 3 +…..…… +An n 2n+1 p= ........................................................ (2.4) A1 +A2 +…..…… +An
atau p=
∑n
Ii +Ii+1 i=1 Ai 2 ............................................................................................ (2.5) ∑n Ai i=1
dengan : p
=besar curah hujan rerata daerahmm
A1 ,A2 ,…,An =luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet (km2 ) I1… In
=besar curah hujan rata – rata pada bagianA1 ,A2 ,…,An
(Sumber: Triatmodjo, 2008) Gambar 2.4 Metode Isohyet
14 2.3
Penelitian Terdahulu mengenai Curah Hujan Rerata Derah Dasar atau acuan yang berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil
berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai data pendukung. Salah satu data pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan bagian tersendiri adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini, hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan adalah luas daerah pengaliran Bendung Katulampa. Penelitian yang dilakukan oleh Komeji (2012), dengan judul “Penentuan Batas Ambang Curah Hujan Penyebab Banjir (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)” memaparkan bahwa berdasarkan data pada tahun 2004yang diperoleh di PSDA dapat diketahui luas DAS di Bendung Katulampa adalah 150,3 km2. Penelitian diatas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2008), dengan judul “Analisis dan Perhitungan Debit Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa”
menggunakan
data
pada
tahun
2005
yang
diperoleh
dari
BAKOSURTANAL. Adapun hasil yang diperoleh adalah dengan menggunakan Metode Thiessen, diperoleh luas wilayah yang dipengaruhi oleh masing-masing stasiun hujan tersebut yakni : − Stasiun hujan Katulampa
= 5,4 km2
− Stasiun hujan Gadog
= 54,86 km2
− Stasiun hujan Gunung Mas
= 90,04 km2
Luas total daerah pengaliran
= 150,3 km2
Bila dijadikan kedalam bentuk persentase, maka : 5,4
− Stasiun hujan Katulampa
= 150,3 x 100% = 3,59%
− Stasiun hujan Gadog
= 150,3 x 100% = 36,50%
− Stasiun hujan Gunung Mas
= 150,3 x 100% = 59,91%
54,86 90,04
Dari kedua penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa luas daerah pengaliran Bendung Katulampaadalah 150,3 km2 dengan luas daerah stasiun Katulampa; Gadog; dan Gunung Mas masing-masing adalah 5,4 km2; 54,86 km2;dan 90,04 km2.
15 2.4
Limpasan Limpasan permukaan (surface runoff) yang merupakan air hujan yang
rnengalir dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan lahan akan rnasuk ke paritparit dan selokan-selokan yang kemudian bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya menjadi aliran sungai. Di daerah pegunungan (bagian hulu DAS) limpasan permukaan dapat masuk ke sungai dengan cepat, yang dapat rnenyebabkan debit sungai meningkat. Apabila debit sungai lebih besar dari kapasitas sungai untuk mengalirkan debit maka akan terjadi luapan pada tebing sungai sehingga terjadi banjir. Di DAS bagian hulu di mana kemiringan lahan dan kemiringan sungai besar, atau di suatu DAS kecil kenaikan debit banjir dapat terjadi dengan cepat, sementara pada sungai-sungai besar kenaikan debit terjadi lebih lambat untuk mencapai debit puncak. Banjir yang terjadi setiap tahun di banyak sungai di Indonesia menyebabkan kerugian yang sangat besar, baik berupa korban jiwa maupun rnateril. Beberapa variabel yang ditinjau dalam analisis banjir adalah volume banjir, debit puncak, tinggi genangan, lama genangan dan kecepatan aliran. 2.4.1
Intensitas Curah Hujan Perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional memerlukan data
curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam (Loebis, 1992). Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak begitu luas. Hujan yang meliputi daerah yang luas, jarang sekali dengan intensitas yang tinggi tetapi dapat berlangsung dengan durasi yang cukup panjang. Kombinasi dari intensitasi hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit (Sudjarwadi, 1987). Besarnya intensitas curah hujan tidak sama di semua tempat. Hal ini dipengaruhi oleh topografi, durasi, dan frekuensi di tempat atau lokasi yang bersangkutan. Ketiga hal ini dijadikan pertimbangan dalam membuat lengkung IDF (Intensity – Duration - Frequency). Lengkung IDF ini digunakan dalam metode rasional untuk menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang dipilih.
16 Kurva frekuensi intensitas-lamanya adalah kurva yang menunjukkan persamaan dimana t sebagai absis dan I sebagai ordinat. Kurva ini digunakan untuk perhitungan limpasan (run off) dengan rumus rasional dan untuk perhitungan debit puncak dengan menggunakan intensitas curah hujan (Sosrodarsono, 2003). Intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empiris menggunakan metode Mononobe, intensitas curah hujan (I) dalam rumus rasional dapat dihitung berdasarkan rumus : R24 24 3 t ................................................................................................. 24 2
It =
(2.6)
dengan: It
= intensitas curah hujan untuk lama hujan t (mm/jam),
t
= lamanya curah hujan (jam),
R24
= curah hujan maksimum selama 24 jam (mm)
2.4.2
Waktu Konsentrasi Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh partikel air untuk
mengalir dari titik terjauh di dalam daerah tangkapan sampai titik yang ditinjau.Apabila durasi hujan lebih kecil dari waktu konsentrasi, intensitas hujan akan lebih tinggi; tetapi hanya sebagian dari daerah tangkapan yang memberikan sumbangan pada aliran; sehingga bisa jadi debit aliran yang terjadi di stasiun yang ditinjau lebih keeil dibanding kalau durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi. Dengan demikian debit aliran akan maksimum bila durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi (Triatmodjo, 2008). Salah satu metode untuk menghitung waktu konsentrasi,adalah rumus metode Kirpich yang ditulis sebagai berikut : tc=0.0195(
L
√S
0.77
)
....................................................................................... (2.7)
dimana : tc
= waktu konsentrasi (menit)
L
= panjang lintasan air (meter)
S
= kemiringan lahan
17 2.4.3
Metode Rasional Metode rasional banyak digunakan untuk memperkirakan debit puncak yang
ditirnbulkan olah hujan deras pada dacrah tangkapan (DAS). Pemakaian metode rasional sangat sederhana, dan sering digunakan dalam perencanaan drainasi perkotaan. Beberapa parameter hidrologi yang diperhitungkan adalah intensitas hujan, durasi hujan, frekuensi hujan, luas DAS, abstraksi (kehilangan air akibat evaporasi, intcrsepsi, infiltrasi, tampungan permukaan) dan konsentrasi aliran. Metode rasional didasarkan pada persamaan berikut: Q = K*C*I*A .............................................................................................. (2.8) dengan: Q
=debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan dengan intensitas, durasi dan frekuensi tertentu (m3/s)
K
= konstanta : 0,2778
I
= intensitas hujan (mm/jam)
A
= luas daerah tangkapan (km2)
C
= koesifien aliran yang tergantung pada jenis permukaan lahan, yang nilainya diberikandalam Tabel 2.1. Arti rumus ini dapat segera diketahui yakni jika terjadi curah hujan selama 1
jam dengan intensitas 1 mm/jam dalam daerah seluas 1 km2, maka debit banjir sebesar 0,2778 m3/s dan melimpas selama 1 jam (Sosrodarsono, 2003). Tabel 2.1 Koefisien Aliran C Tipe daerah aliran Rerumputan Tanah pasir, sedang, 2-7% Tanah pasir, curam, 7% Tanah gemuk, datar, 2% Tanah gemuk, sedang, 2-7% Tanah gemuk, curam, 7% Perdagangan Daerah kota lama Daerah pinggiran Perumahan Daerah single family Multi unit terpisah Multi unit tertutup Suburban Daerah apartemen Industri Daerah ringan
C 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35 0,75 – 0,95 0,50 – 0,70 0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40 0,50 – 0,70 0,50 – 0,80
18 Dareah berat Taman, kuburan Tempat bermain Halaman kereta api Daerah tidak dikerjakan Atap (Sumber: Triatmodjo, 2008) 2.4.4
0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30 0,75 – 0,95
Penelitian Terdahulu mengenai Koefisien Aliran Dasar atau acuan yang berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil
berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai data pendukung. Dalam hal ini, hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan adalah koefisien aliran pada catchment area. Penelitian yang dilakukan oleh Kunu (2008) yang berjudul “Efek Perubahan Penggunaan Lahan di DASCiliwung Terhadap Aliran Permukaan”. Adapun menurutnya bahwa selama periode 21 tahun (1950-1970)dan 33 tahun (19702003) di DAS Ciliwung, seiring dengan pertambahan waktu terjadi peningkatan proporsi luas lahan hutan lebat, hutan belukar, kebun campuran, semak, padang rumput, tegalan/ladang, kolam air tawar, tanah kosong, kawasan permukiman, perumahan dan industri sedangkan luas lahan lainnya mengalami penurunan. Satu-satunya lahan yangtidak berubah luasannya adalah taman (kebun raya Bogor). Adapun data koefisien aliran tahunanKatulampa pada penelitian tersebut diperoleh dari Balai Hidrologi, Litbang Sumber Daya Air. Pada Tabel 2.2 terlampir data koefisien aliran Katulampa pada tahun 1992-2003. Tabel 2.2Koefisien Aliran Permukaan ( C ) CatchmentArea Katulampa Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
C 0.5817 0.6900 0.3448 0.5414 0.2750 0.2347 0.2776 0.4160 0.2542 0.6289 0.5528 0.2757
19 Dari Tabel 2.2 dapat diperoleh rata-rata koefisien aliran dari tahun 1992-2003 sebesar 0,4226. Hasil dari koefisien aliran dapat digunakan dalam perhitungan debit aliran pada Bendung Katulampa yang dalam penelitian ini akan dibandingkan juga dengan koefisien terbaru. 2.5
Ukuran Akurasi Peramalan Menurut Makridakis (1991),forecasting (peramalan) yaitu prediksi nilai-nilai
sebuah peubah berdasarkan kepada nilai yang diketahui dari peubah tersebut atau peubah yang berhubungan. Menurut Subagyo (1986), peramalan bertujuan mendapatkan ramalan yang dapat meminimumkan kesalahan meramal yang dapat diukur dengan Mean Absolute Percent Error (MAPE). Peramalan pada umumnya digunakan untuk memprediksi sesuatu yang kemungkinan besar akan terjadi misalnya kondisi permintaan, banyaknya curah hujan atau debit, kondisi ekonomi, dan lain-lain. Atas dasar logika, langkah dalam metode peramalan secara umum adalah mengumpulkan data, menyeleksi dan memilih
data,
memilih
model peramalan, menggunakan model terpilih untuk
melakukan peramalan, evaluasi hasil akhir.Berdasarkan sifatnya, peramalan dibedakan menjadi: 1. Peramalan Kualitatif Peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada masa lalu. Hasil peramalan kualitatif didasarkan pada pengamatan kejadian–kejadian di masa sebelumnya digabung dengan pemikiran dari penyusunnya. 2. Peramalan Kuantitatif Peramalan
yang didasarkan
atas
data kuantitatif masa lalu
yang
diperoleh dari pengamatan nilai–nilai sebelumnya. Hasil peramalan yang dibuat tergantung pada metode yang digunakan, menggunakan metode yang berbeda akan diperoleh hasil peramalan yang berbeda. Beberapa kriteria untuk menguji ketepatan ramalan yaitu: 1. ME (Mean Error) / nilai tengah kesalahan : ME= N
i=1
ei N
2. MSE (Mean Square Error) / nilai tengah kesalahan kuadrat
20 MSE= N
i=1
N
3. MAE (Mean Absolut Error) / nilai tengah kesalahan absolut MAE= N
i=1
|ei | N
4. MAPE (Mean Absolut Percentage Error) / nilai tengah kesalahan persentase absolut MAPE= N
i=1
|i | N
Dimana: ei
X F
= X F (kesalahan pada periode ke t) = data aktual pada periode ke t
= nilai ramalan pada periode ke t
i
=
N
= Banyaknya periode waktu
Xt -Ft Xt
.100%(kesalahan persentase pada periode ke t)
Verifikasi dari model yang dirancang bangun akan sangat tepat dalam menggambarkan kondisi sesungguhnya bila nilai MAPE lebih kecil dari 5%. Untuk selang MAPE antara 5% sampai dengan dengan 10%, model menunjukkan cukup tepat dalam menggambarkan kondisi sesungguhnya, sedangkan bila MAPE lebih besar dari 10%, maka model tidak tepat dalam menggambarkan kondisi sesungguhnya sehingga memerlukan perbaikan dalam struktur maupun ekspresi matematisnya (Lomauro Bakshi, 1985; dalam Somantri, 2005;dalam Somantri dan Thahir, 2007). 2.6
Analisa Frekuensi Analisa frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian
pada masa lalu atau yang akan datang. Analisis frekuensi dapat dilakukan dengan seri data yang diperoleh dari rekaman data baik data curah hujan maupun data debit. Analisis ini sering dianggap cara analisis paling baik, karena dilakukan terhadap data yang terukur langsung yang tidak melewati pengalihragaman terlebih dahulu (Sri Harto, 2003; dalam Machairiyah, 2007).
21 Tujuan dari analisis frekuensi data hidrologi adalah mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas. Besarnya kejadian ekstrim mempunyai hubungan terbalik dengan probabilitas kejadian, misalnya frekuensi kejadian debit banjir bandang (sangat besar) adalah lebih kecil dibanding dengan debit-debit sedang atau kecil. Dengan analisis frekuensi akan diperkirakan besamya banjir dengan interval kejadian tertentu seperti 10 tahunan,100 tahunan atau 1000 tahunan, dan juga berapakah frekuensi banjir dengan besar tertentu yang mungkin terjadi selama suatu periode waktu, misalnya 100 tahun. Analisis frekuensi dapat diterapkan untuk data debit sungai atau data hujan. Data yang digunakan adalah data debit atau hujan maksimum tahunan, yaitu data terbesar yang terjadi selama satu tahun, yang terukur selama beberapa tahun.
2.6.1
Statistik Sebelum mempelajari beberapa prinsip statistik, berikut ini diberikan
beberapa istilah statistik yang akan banyak digunakan. Distribusi (distribution) adalah data yang disusun menurut besarnya, misalnya data debit banjir, dimulai dari debit banjir terbesar dan berakhir dengan debit banjir terkecil, atau sebaliknya. Distribusi probabilitas (probability distribution) adalah jumlah kejadian dari sebuah variat diskret dibagi dengan jumlah kejadian data. Jumlah total probabilitas dari seluruh variat adalah 1. Probabilitas kumulatif adalah jumlah peluang dari variat acak yang mempunyai sebuah nilai sama atau kurang (sama atau lebih) dari suatu nilai tertentu. Frekuensi (frequency) adalah jumlah kejadian dari sebuah variat dari variabel diskret. Interval kelas (class intervals) adalah ukuran pembagian kelas dari suatu variabel. Distribusi frekuensi (frequency distribution) adalah suatu distribusi atau tabel frekuensi yang mengelompokkan data yang belum terkelompok menjadi data kelompok. Dalam analisis data hidrologi diperlukan ukuran-ukuran numerik yang menjadi ciri data tersebut. Sembarang nilai yang menjelaskan ciri susunan data disebut parameter. Parameter yang digunakan dalam analisis susunan data dari suatu variabel disebut dengan parameter statistik, seperti nilai rerata, deviasi, dsb.Pengukuran parameter statistik yang sering digunakan dalam analisis data
22 hidrologi meliputi pengukuran tendensi sentral (centraltendency) dan dispersi (dispersion). (Sumber :Triatmodjo, 2008). 2.6.2
Tendensi Sentral Nilai rerata (average) merupakan nilai yang cukup representatif dalam suatu
distribusi. Nilai rerata dapat digunakan untuk pengukuran suatu distribusi; dan mempunyai bentuk berikut ini. x= n ∑ni=1 xi ................................................................................................. (2.9) 1
dengan : x=rerata xi =variabel random n=jumlah data Median adalah nilai tengah dari suatu distribusi, atau dapat dikatakan variat yang membagi distribusi frekuensi menjadi dua bagian yang sama. Probabilitas dari median adalah 50%. Untuk data yang jumlahnya ganjil, median adalah data pada urutan ke (n+ 1)/2 dengan n adalah jumlah data. Untuk data yang jumlahnya genap. median adalah data yang terletak titik tengah urutan data ke n/2 dan (n+2)/2. Modus adalah variat yang terjadi pada frekuensi paling banyak. 2.6.3
Dispersi Tidak semua variat dari variabel hidrologi sama dengan nilai reratanya, tetapi
ada yang lebih besar atau lebih kecil. besarnya derajat sebaran variat di sekitar nilai reratanya disebut varian (variance) atau penyebaran (dispersi, dispersion). Penyebaran data dapat diukur dengan deviasi standar (standard deviation) dan varian. Varian dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : s2 =
2 1 n ∑i=1 (xi -x) ................................................................................... (2.10) n-1
dimana s2 adalah varian. Akar dari varian, s, adalah deviasi standar: s=
2 1 n ∑i=1 xi -x ................................................................................ (2.11) n-1
23 dengan :
s= standar deviasi x=rerata
xi =variabel random n=jumlah data koefisien varian adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dan nilai rerata, yang mempunyai bentuk : s Cv = .......................................................................................................... (2.12) x Deviasi standar dan koefisien varian dapat digunakan untuk mengetahui variabilitas dari distribusi. Kemencengan (skewness) dapat digunakan untuk mengetahui derajat ketidaksimetrisan (asimetri, assimetry) dari suatu bentuk distribusi. Kemencengan diberikan oleh bentuk berikut : a
3 n ∑ni1 xi -x ........................................................................ (2.13) n-1n-2
Koefisien asimetri diberikan oleh bentuk berikut : Cs =
3 a n ∑ni=1 xi -x ") ................................................................ (2.14) = 3 3 s (n-1)(n-2)s
Untuk distribusi simetris asimetri adalah a = 0 dan Cs = 0. Apabila distribusi condong ke kanan (distribusi dengan ekor panjang ke kanan), Cs> 0; untuk bentuk condong ke kiri (distribusi dengan ekor panjang ke kiri), Cs< 0; Koefisien kurtosis diberikan oleh persamaan berikut : Ck = 2.6.4
4 n2 ∑ni=1 (xi -x ") ................................................................ (2.15) 4 (n-1)(n-2)(n-3)s
Seri Data Hidrologi Data debit banjir atau hujan yang digunakan untuk analisis frekuensi dipilih
dan seri data lengkap hasil observasi selama beberapa tahun. Penjelasan mengenai seri data yang digunakan dalam analisis frekuensi diberikan dalam Gambar 2.5 (Chow et al., 1988). Gambar 2.5.a. menunjukkan seri data lengkap yang berisi seluruh data sepanjang tahun pencatatan. Apabila data debit adalah harian, maka
24 dalam satu tahun terdapat 365 data debit.Data yang digunakan untuk analisis frekuensi dapat dibedakan menjadi dua tipe berikut ini. 1. PartialDurationseries Metode ini digunakan apabila jumlah data kurang dari 10 tahun data runtut waktu. Partial duration series yang juga disebut dengan (peaks over treshold, POT) adalah rangkaian data debit banjir/hujan yang besarnya di atas suatu nilai batas bawah tertentu. Dengan demikian dalam satu tahun bisa terdapat lebih dan satu data yang digunakan dalam analisis. Dari setiap tahun data dipilih 2 sampai 5 data tertinggi. Tipe data ini ditunjukkan dalam Gambar 2.5.b. 2. AnnualMaximum Series Metode ini digunakan apabila tersedia data debit atau hujan minimal 10 tahun data runtut waktu. Tipe ini adalah dengan memilih satu data maksimum setiap tahun. Dalam satu tahun hanya ada satu data, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.5.c. Dengan cara ini, data terbesar kedua dalam suatu tahun yang mungkin lebih besar dari data maksimum pada tahun yang lain tidak diperhitungkan.
25
(Sumber : Chow, 1988)
Gambar 2.5Seri Data Hidrologi 2.6.5
Periode Ulang Periode ulang (returnperiod) didefinisikan sebagai waktu hipotetik di mana
debit atau hujan dengan suatu besaran tertentu (#$ ) akan disamai atau dilampaui
sekali dalam jangka waktu tersebut. Berdasarkan data debit atau hujan untuk beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan Debit/hujan yang diharapkan disamai atau dilampaui satu kali dalam T tahun; dan debit/hujan tersebut dikenal sebagai debit/hujan dengan periode ulang T tahun atau debit/hujan T tahunan. bahwa suatu kejadian atau peristiwa akan terjadi dalam satu tahun mempunyai bentuk berikut 1 PQ≥QT= T ............................................................................................. (2.16)
Probabilitas tidak terjadinya debit dengan periode ulang T tahun adalah :
F%Q≥QT &=1- .......................................................................................... (2.17) 1 T
Probabilitas tidak terjadinya debit dengan periode ulang T tahun dalam n tahun yang berurutan adalah: 1 n
F(Q≥QT )n =(1- T ) .................................................................................... (2.18) Resiko atau probabilitas bahwa debit Qakan terjadi paling tidak satu kali dalam n tahun yang berurutan : 1 n
R=1-F(Q)n =1-(1- T ) ............................................................................... (2.19)
26 dengan menggunakan persamaan (2.16) akan dapat dihitung periode ulang dari debit rencana untuk suatu bangunan dengan umur rencana n tahun, tingkat risiko yang dikehendaki R dan probabilitas p. 2.6.6
Distribusi Probabilitas Kontinyu Ada beberapa bentuk fungsi distribusi kontinyu (teoritis), yang sering
digunakan dalam analisis frekuensi untuk hidrologi menggunakan metode teoritis yang ada. Beberapa jenis distribusi antara lain : 1. Distribusi Gumbel 2. Distribusi Normal 3. Distribusi Log Pearson III 2.6.7
Distribusi Gumbel Menurut Gumbel (1941), persoalan tertua adalah berhubungan dengan nilai-
nilai ekstrem datang dari persoalan banjir. Tujuan teori statistik nilai-nilai ekstrem adalah untuk menganalisis hasil pengamatan nilai-nilai ekstrem tersebut untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrem berikutnya. Menurut teori ini ada 2 parameter, yaitu µ (nilai distribusi) dan α (ukuran dispersi). Berikut adalah rumus-rumus nya (Chow, 2001) : x-µ
Fx=exp[- exp '- α ( ]......................................................................... (2.20) dimana: µ=x-0.5772α ........................................................................................... (2.21) √6 s
α= π ....................................................................................................... (2.22)
jikay= ) α * ........................................................................................................ (2.23) (x-µ)
makaFx=exp(- exp%-y&) .................................................................................... (2.24)
dengan: y : faktor reduksi Gumbel u : modus dari distribusi (titik dari densitas prababilitas maksimum) s : deviasi standar Penyelesaian dari Persamaan (2.20) menghasilkan:
27
1 Yt = − ln ln ....................................................................................(2.25) F ( x) Dari persamaan (2.11) : Px ≥xT =
1 T
1-P(x<xT )= 1-FxT = sehingga : FxT =
1 T
1 T
T-1 ................................................................................................ (2.26) T
28 Subtitusi persamaan (2.21) ke dalam persamaan (2.20) menghasilkan: T Yt = − ln ln ..................................................................................... (2.27) T − 1
Distribusi #$ bergantung dari ,$ , dari persamaan (2.18) diperoleh:
xT =µ+α yT ................................................................................................. (2.28)
atau dapat juga menjadi: xT =x+KT s ................................................................................................ (2.29) Keterangan : #
= Nilai tengah (mean)
K
= Faktor frekuensi
-//0 = Standard deviasi
Faktor frekuensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus berikut ini, Chow (1953) : KT =-
T √6 10.5772+ ln 2ln 34 ................................................................. π T-1
(2.30)
KT merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe
model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang(Suripin, 2004; dalam Machairiyah, 2007). Selain itu, variabel yang dibutuhkan dalam metode ini adalah Yn dan Sn. Yn dan Sn masing-masing sendiri adalah nilai rerata dan deviasi standar dari variat Gumbel, yang nilainya tergantung dari jumlah data.
29 Tabel 2.3 Nilai Yn dan Sn fungsi Jumlah Data
n
Yn
Sn
n
Yn
Sn
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
0.4843 0.4902 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220 0.5235 0.5252 0.5268 0.5283
0.9043 0.9288 0.9497 0.9676 0.9833 0.9972 1.0095 1.0205 1.0316 0.0411 1.0493 1.0566 1.0628 1.0696 1.0754 1.0811
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
0.5296 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5402 0.5410 0.5418 0.5424 0.5430
1.0864 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.1086 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388
(Sumber :Limantara, Soetopo,2009) 2.6.8
Distribusi Normal Distribusi normal adalah simteris terhadap sumbu vertikal dan berbentuk
lonceng yang juda disebut dengan Distribusi Gauss. Distribusi normal mempunyai dua parameter yaitu rerata µ dan deviasi standar σ dari populasi. Dalam praktek nilai
rerata #5 dan deviasi standar diturunkan Dari data sampel untuk menggantikan µ dan
σ.
Distribusi Normal (Distribusi Gauss), merupakan distribusi probabilitas yang mempunyai probability density function sebagai berikut : 1 fx= √ σ 2π
x-µ
2
exp[- 2σ2 ]............................................................................. (2.31)
dengan X adalah variabel random dan p(X) adalah fungsi probabilitas kontinyu.Apabila variabel X ditulis dalam bentuk berikut : X-µ
z= σ ........................................................................................................ (2.32)
30 nilai z sesuai dengan probabilitas terlampaui p (p = 1/T), dapat dihitung dengan mencari nilai dari variabel menengah w : w= 2ln 2 3 .............................................................................................. (2.33) 1 2
1
p
Keterangan : f(x)
= Fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal)
x
= Variabel acak kontinu
µ
= Rata-rata nilai x
σ
= Simpangan baku dari x
µ dan σ adalah parameter statistik, yang masing – masing adalah nilai rata– rata dan standar deviasi dari variant. Analisa kurva normal cukup menggunakan parameter statistik µ dan σ. Bentuk kurvanya simetris terhadap X = µ dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X, serta mendekati sumbu datar X, dan dimulai dari X = µ + 3σ dan X = µ - 3σ. Nilai mean = median = modus. Nilai X mempunyai batas -∞ < x < +∞. yang dapat didekati dengan : xT =x+ KT s ................................................................................................(2.34) dengan nilaiKT MenurutAbramowitz dan Stegun (1965) : 2,515517+0,802853w+0,010328w2
KT =z=w- 1+1,432788w+0,189269w2 +0,001308w3 ........................................... (2.35) Standar deviasi : ∑ (X1 -X) (s) = i=1 ................................................................................... (2.36) 2
n
n-1
Keterangan : x = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan x= Nilai rata-rata hitung sampel s = Deviasi standar nilai sampel KT = Faktor frekuensi Adapun faktor frekuensi, KT juga dapat dilihat pada Tabel 2.3berikutini.:
31 Tabel 2.4 Nilai Variabel Reduksi Gauss Periode Ulang T (tahun) 1,001
Peluang
KT
0,999
-3,05
1,005
0,995
-2,58
1,010
0,990
-2,33
1,050
0,950
-1,64
1,110
0,900
-1,28
1,250
0,800
-0,84
1,330
0,750
-0,67
1,430
0,700
-0,52
1,670
0,600
-0,25
2,000
0,500
0
2,500
0,400
0,25
3,330
0,300
0,52
4,000
0,250
0,67
5,000
0,200
0,84
10,000
0,100
1,28
20,000
0,050
1,64
50,000
0,200
2,05
100,000
0,010
2,33
200,000
0,005
2,58
500,000
0,002
2,88
1,000,000
0,001
3,09
(Sumber: Bonnier, 1980; dalam Soewarno, 1995)
2.6.9
Distribusi Log Pearson III Menurut Triatmodjo (2008), Pearson telah mengembangkan banyak model
matematik fungsi distribusi untuk membuat persamaan empiris dari suatu distribusi. Ada 12 tipe distribusi pearson, namun hanya distribusi log pearson III yang banyak digunakan dalam hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum, bentuk distribusi log pearson III merupakan hasil transformasi dari distribusi pearson III dengan transformasi variat menjadi nilai log. PDF dari distribusi log pearson III mempunyai bentuk berikut :
32
px=
xy-1 e-x/β ............................................................................................. (2.37) γ β Γ(γ)
dengan β dan γ adalah parameter. Rerata dari distribusi gamma adalah βγ, varians adalah β2γ, dan kemencengan
adalah 2/(γ . Persamaan CDF mempunyai bentuk :
Γ(γ)= 70 xγ-1 e-x/β ..................................................................................... (2.38) ∞
Bentuk kumulatif dari distribusi log pearson III dengan nilai variat X apabila
digambarkan pada kertas probabilitas logaritmik akan membentuk persamaan garis lurus, persamaan tersebut mempunyai bentuk berikut :
y =x+ KT s ................................................................................................ (2.39)
Nilai debit banjir xTadalah
xT =arcy ..................................................................................................... (2.40) Dalam pemakaian Log Pearson Type III, kita harus mengkonversi rangkaian datanya menjadi logaritma. Langkah-langkah rumus untuk Log Pearson III sebagai berikut: #=
∑ni=1 ln#:
n
................................................................................................. (2.41)
Menghitung -0 (standar deviasi) dan menentukan ;< (koefisien kemencengan). ∑ni=1 (ln#1 -ln #)
Sx =
2
................................................................................... (2.42)
n-1
dengan :
y
= nilai logaritmik dari x dengan periode ulang T
x
= nilai rerata dari xi
s
= standar deviasi dari xi
KT
= faktor frekuensi Menurut Chow (2001), faktor frekuensi sama dengan standar normal variabel
z. Selain dari itu, maka =$ disesuaikan oleh pendekatan Kite (1977) sebagai berikut :
KT =z+%z2 -1&k+ 3 %z3 -6z&k2 -%z2 -1&k3 +zk4 + 3 k5 ....................................... (2.43) 1
1
C
Nilai k= 6s ................................................................................................. (2.44) Koefisien skewness: Cs =
n ∑ni=1 (LogY1 -Log Yr ) n-1n-2S
3
3
........................................................................... (2.45)
33 dengan Parameter Cs dan periode ulang Nilai KT juga dapat dilihat pada Tabel 2.4 dibawah ini : Tabel 2.5 Nilai KT Distribusi Log Pearson III T (th) 1,0101 1,0526 1,1111 Cs:P(% ) 99 95 90 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1
-2,326 -2,252 -2,170 -2,130 -2,029 -1,955 -1,880 -1,806 -1,733 -1,660 -1,588 -1,518
-1,645 -1,616 -1,538 -1,555 -1,524 -1,491 -1,458 -1,423 -1,388 -1,353 -1,317 -1,280
-1,282 -1,270 -1,258 -1,245 -1,231 -1,216 -1,200 -1,183 -1,166 -1,147 -1,128 -1,107
1,25 80
2 50
5 20
-0,842 -0,085 -0,850 -0,853 -0,855 -0,856 -0,857 -0,857 -0,856 -0,854 -0,852 -0,018
0,000 0,017 0,033 0,050 0,066 0,083 0,079 0,116 0,132 0,148 0,164 0,180
0,842 0,836 0,830 0,824 0,816 0,808 0,800 0,790 0,780 0,769 0,758 0,745
10 10
20 5
1,282 1,595 1,297 1,622 1,301 1,646 1,309 1,669 1,317 1,692 1,323 1,714 1,328 1,735 1,333 1,756 1,336 1,774 1,339 1,792 1,340 1,809 1,341 1,824
25 4 1,751 1,785 1,818 1,849 1,880 1,910 1,939 1,967 1,993 2,018 2,043 2,066
50 2
100 1
200 0,5
2,045 2,376 2,576 3,090 2,107 2,400 2,670 3,230 2,159 2,472 2,763 3,380 2,211 2,544 2,856 3,520 2,261 2,615 2,947 3,670 2,311 2,606 3,041 3,810 2,359 2,755 3,132 3,960 2,407 2,824 3,223 4,100 2,453 2,891 3,312 4,240 2,498 2,957 3,401 4,390 2,542 3,022 3,489 4,530 2,585 3,087 3,575 4,670
(Sumber :Soemarto, 1987) 2.6.10 Uji Kecocokan Distribusi Uji kecocokan distribusi dilakukan untuk mengetahui jenis metode yang paling sesuai dengan data debit atau hujan. Uji metode dilakukan dengan uji keselarasan distribusi yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih, dapat mewakilidari distribusi statistik sampel data yang dianalisis (Soewarno, 1995). Ada dua jenis uji keselarasan yaitu uji Chi-Kuadrat (Chi-Square) dan Smirnov Kolmogorof. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah hasil perhitungan yang diharapkan. 1.
Uji Chi-Kuadrat Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan membandingkan nilai chi square (X2) dengan nilai chi squarekritis (X2cr). Uji keselarasan chi kuadrat menggunakan rumus (Soewarno, 1995) :
1000 0,1
34 > ∑N t=1
(Of-Ef) Ef
2
..................................................................................... (2.46)
dengan: X2
= nilai Chi-Square terhitung
Ef
=frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan pembagian kelasnya
Of
= frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama
N
=jumlah sub-kelompok dalam satu grup Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X2hitungdiperoleh lebih kecil dari
nilai X2cr (Chi-Kuadrat kritik), untuk suatu derajat nyata tertentu, yang sering diambil 5%. Derajat kebebasan dihitung dengan persamaan berikut : DK=K-(α+1) ............................................................................................. (2.47) dengan : DK
= derajad kebebasan
K
= banyaknya kelas
α
= banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji Chi-Kuadrat
adalah 2. Nilai X2cr , diperoleh dari Tabel 2.5 dibawah ini. Disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang dari 5 dan frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari 5 pula. Tabel 2.6 Nilai Chi Kuadrat Kritik DK
Distribusi X2 0.995
0.9
0.5
0.1
0.05
0.01
1
0
0.016
0.455
2.706
3.841
6.635
2
0.01
0.211
1.386
4.605
5.991
9.21
3
0.072
0.584
2.366
6.251
7.815
11.345
4
0.207
1.064
3.357
7.779
9.488
13.277
5
0.412
1.61
4.351
0.236
11.07
15.086
6
0.676
2.402
5.348
10.645
12.592
16.812
7
0.989
2.833
6.346
12.017
14.067
18.475
8
1.344
3.49
7.344
13.362
15.507
20.09
9
1.735
4.168
8.343
14.684
16.919
21.666
10
2.156
4.865
9.342
15.987
18.307
23.209
(Sumber: Soemarto, 1987)
35 2.
Uji Smirnov Kolmogorof Uji Smirnov Kolmogorof digunakan untuk menguji kesesuaian dari distribusi
secara horizontal dari data. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan probabilitas tiap data antara sebaran empiris dan sebaran teoritis. Sebagai alternatif untuk menguji kesesuaian distribusi (goodness of fit), dapat digunakan Uji SmirnovKolmogorov. Caranya dengan mengurutkan data X dari kecil ke besar. Kemudian menghitung simpangan maksimum D dengan rumus: D = Max | P ( x ) − P ( x ) | ......................................................................... (2.48) t e
Dengan: Pt(x)
= posisi data Xmenurut garis sebaran teoritis.
Pe(x) = posisi data X menurut pengamatan, dalam hal ini dipakai posisi plotting menurut Weibull Untuk mendapatkan Sn(x)memakai posisi plotting dari Weibull, digunakan rumus berikut. m ............................................................................................. (2.49) P ( x) = e 1+ n
sedangkanPt(x) adalah besarnya probabilitasdari sebaran yang diuji untuk data X. Apabila diketahui besarnya Pr (probabilitas terjadi), maka: P = 1 / Tr .................................................................................................. (2.50) t
Tr (Q ) − 1 Yt = − ln − ln ......................................................................... (2.51) Tr (Q ) dengan: Pr
= Probabilitas data X untuk disamai atau dilampaui
Simpangan maksimum D dari hasil perhitungan lalu dibandingkan dengan nilai D kritis (Dcr) dari Tabel 2.6 berikut:
36 Tabel 2.7 Nilai D kritis (Dcr) Untuk Uji Smirnov Kolmogorov
1 2 3 4 5
20% 0.900 0.684 0.565 0.494 0.446
Dcr Untuk Level of Significance α 15% 10% 5% 0.925 0.950 0.975 0.762 0.776 0.842 0.597 0.642 0.708 0.525 0.564 0.624 0.747 0.510 0.563
1% 0.995 0.929 0.829 0.734 0.669
6 7 8 9 10
0.410 0.381 0.358 0.229 0.322
0.436 0.405 0.381 0.360 0.342
0.618 0.577 0.543 0.514 0.468
Ukuran Sampel n
0.470 0.438 0.411 0.388 0.368
0.521 0.486 0.457 0.432 0.409
Rumus Asimtotik 1,07 / (n)^1/2 1,14/ (n)^1/2 1,22/ (n)^1/2 1,36/ (n)^1/2 1,63/ (n)^1/2 (Sumber: Limantara, Soetopo, 2009) 2.7
Tingkat Risiko dan Reliabilitas Dalam kaitannya dengan rencana pembuatan bangunan air,Analisis risiko
menjadi hal yang sangat penting. Analisis risiko didasarkan kepada konsep teori probabilitas, secara hidrologis telah dikenal periode ulang(T) dalam rancangan beban aliran yang digunakan dalam merancang bangunan air.
Probabilitas terjadinya suatu peristiwa (# ? #$ ) setidaknya sekali selama n
tahun berturut-turut disebut risiko. Dengan demikian resiko dinyatakan denganR = 1 – (kemungkinan tidak terjadinya peristiwa). Rumus yang digunakan sama dengan rumus periode ulang (persamaan 2.19) R =1-(1- P)n 1 n
=1-(1- T ) dimana : P
= probabilitas
T
= periode ulang
n
= jaminan struktur (dinyatakan dalam tahun)
37 Reliabilitas atau keandalan (Re) dinyatakan sebagai :
Re =1-R (1- ) .................................................................................... (2.52) 1 n T
dapatdilihat bahwa periode ulang pada struktur harus dirancang tergantung pada tingkat risiko yang dapat diterima. Dalam prakteknya, risiko yang dapat diterima diatur dan dipertimbangkan sesuai aspek ekonomi dan kebijakan. Dalam buku “Engineering Hydrology”, K. Subramanya menerangkan tingkat risiko yang dapat diterima adalah sebesar 10%.