BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Manajemen Menurut Bateman dan Snell (2008: 21) Manajemen adalah proses bekerja dengan orang-orang dan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sementara, menurut Robbins (2009: 21) Manajer adalah seseorang yang mengkoordinasi dan mengawasi pekerjaan orang lain sehingga tujuan organisasional dapat tercapai. Para manajer yang baik melakukan hal tersebut dengan efektif dan efisien. Menjadi efektif berarti mencapai tujuan-tujuan organisasi. Menjadi efisien berarti mencapai tujuan-tujuan dengan meminimalkan pemborosan sumber daya, artinya dengan cara terbaik yang memungkinkan dalam menggunakan uang, waktu, bahan baku, dan sumber daya manusia.
2.1.1.1 Fungsi Manajemen Pada awal abad dua puluh, seorang industrialis prancis bernama Henry Fayol menulis bahwa semua manajer menjalankan lima fungsi manajemen: merencanakan, mengorganisasi, memerintah, mengkoordinasi, dan mengendalikan. Sekarang, kelima fungsi ini telah diringkas menjadi 4 fungsi, yaitu sebagai berikut : 1. Perencanaan (Planning) Karena organisasi ada untuk mencapai tujuan-tujuan, seseorang harus menetapkan tujuan-tujuan tersebut dan alat/cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi perencanaan meliputi menentukan tujuan organisasi, menetapkan suatu strategi keseluruhan untuk mencapai tujuan, dan mengembangkan suatu hierarki rencana yang menyeluruh untuk memadukan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan. 2. Pengorganisasian (Organizing) Para manajer juga bertanggung jawab untuk merancang struktur organisasi yang disebut juga sebagai fungsi pengorganisasian. Fungsi ini mencakup penetapan tugas-tugas apa yang harus dilakukan, siapa yang harus melakukan, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokan, siapa melapor kepada siapa, dan di mana keputusan harus diambil. 15
16 3. Kepemimpinan (Leading) Setiap organisasi terdiri dari sekumpulan sumber daya manusia, dan merupakan tugas manajemen untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan sekumpulan sumber daya manusia tersebut untuk mencapai tujuan, disebut juga sebagai fungsi kepemimpinan. Kepemimpinan mencakup kegiatan memotivasi bawahan, mengarahkan orang lain, membantu memecahkan konflik dalam kelompok, mengarahkan individu atau kelompok, memilih saluran komunikasi yang paling efektif, dan berurusan dengan isu-isu prilaku karyawan yang mereka pimpin. 4. Pengendalian (Controlling) Setelah tujuan dan perencanaan telah ditentukan (planning),
tugas dan
pengaturan structural dijalankan (organizing), dan orang-orang telah dipekerjakan, dilatih, dan dimotivasi (leading), namun masih terdapat kemungkinan bahwa terdapat sesuai yang dilaksanakan secara keliru atau tidak sesuai dengan perencanaan sehingga diperlukannya evaluasi. Untuk itu diperlukannya pengendalian untuk memastikan bahwa tujuan tercapai dan pekerjaan dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Seorang Manajer harus memantau dan mengevaluasi kinerja. Kinerja aktual harus dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika terdapat penyimpangan yang cukup berarti, maka merupakan tugas manajemen untuk mengembalikan organisasi tersebut pada jalurnya.
2.1.1.2 Pendekatan Kontemporer Menurut Robbins dan Coulter (2009: 51), seperti yang dapat kita lihat bahwa terdapat banyak elemen dari pendekatan awal (early approaches) untuk teori manajemen terus mempengaruhi bagaimana manajer mengelola organisasi. Sebagian besar pendekatan awal berfokus pada pertimbangan manager pada aspek di dalam organisasi. Dimulai sejak sekitar tahun 1960, peneliti di bidang manajemen mulai memperhatikan hal-hal yang terjadi pada lingkungan eksternal atau di luar organisasi. Berikut merupakan 2 perspektif kontemporer manajemen yang mempertimbangkan faktor eksternal dari luar organisasi:
17 2.1.1.2.1 Teori Sistem Sistem adalah sekumpulan bagian yang saling berhubungan dan bergantung satu sama lain yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesatuan yang utuh. Terdapat 2 jenis sistem yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem tertutup (closed system) tidak dipengaruhi dan tidak memiliki interaksi dengan lingkungan di luar organisasi. Sedangkan sistem terbuka (open system) dipengaruhi dan memiliki interaksi dengan lingkungan di luar organisasi.
Sekarang,
ketika
kita
mendeskripsikan
organisasi,
kita
mendeskripsikannya sebagai sebuah sistem terbuka. Pada Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa organisasi memperoleh sumber daya (input) dari lingkungan dan kemudian mentransformasikan atau memproses sumber daya tersebut menjadi suatu produk atau jasa (output) yang kemudian akan didistribusikan pada lingkungan. Siklus tersebut menunjukan organisasi sebagai system terbuka (open system) dan berinteraksi dengan lingkungan.
Gambar 2. 1 Organisasi sebagai Sistem Terbuka Sumber: Robbins & Coulter (2009: 51)
2.1.1.2.2 Pendekatan kontingensi Para ahli teori manajemen awalnya meyakini bahwa prinsip-prinsip manajemen yang diasumsikan secara general dapat diaplikasikan secara universal. Kemudian, penelitian berikutnya menemukan bahwa terdapat beberapa pengecualian terhadap prinsip-prinsip tersebut. sebagai contoh, birokrasi diharapkan dalam begitu
18 banyak situasi, namun dalam beberapa keadaan desain struktur lainnya dapat menjadi lebih efektif. Manajemen
tidak
dapat
didasarkan
pada
prinsip
simplistic
untuk
diaplikasikan pada semua keadaan. Situasi yang berbeda dan terus berubah mengharuskan manager untuk menggunakan pendekatan dan teknik yang berbeda. Pendekatan kontingensi (Contingency) atau disebut juga sebagai pendekatan situasional (situational) menyatakan bahwa setiap organisasi berbeda, menghadapi situasi yang berbeda (Contingencies), dan membutuhkan cara pengelolaan yang berbeda. Nilai utama yang ditekankaan dari teori kontingensi adalah bahwa tidak terdapat aturan simplistic atau universal yang harus diikuti oleh manager.
2.1.2 Entrepreneurship 2.1.2.1 Definisi dan Karakteristik Entrepreneurship Menurut Dollinger (2003: 5), Entrepreneurship adalah penciptaan organisasi inovatif yang ekonomis dengan tujuan untuk menciptakan keuntungan atau pertumbuhan dalam kondisi yang beresiko dan tidak pasti. Entrepreneurship mengacu pada kegiatan untuk berinovasi, mengambil risiko dan merebut peluang pasar. Kegiatan dalam entrepreneurship melibatkan penciptaan sesuatu nilai yang berbeda dengan mencurahkan waktu dan upaya yang diperlukan, memikul risikorisiko finansial, psikis dan sosial yang menyertai, serta menerima penghargaan atau imbalan
moneter
dan
kepuasan
pribadi.
Berikut
merupakan
pengertian
Entrepreneurship menurut Para Ahli : -
Peter F Drucker Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (“ability to create the new and different”).
-
Thomas W Zimmerer Kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya memanfaatkan peluangpeluang yang dihadapi orang setiap hari.
-
Andrew J Dubrin Seseorang yang mendirikan dan menjalankan sebuah usaha yang inovatif (“Entrepreneurship is a person who founds and operates an innovative business”).
-
Robbin & Coulter
19 Entrepreneurship adalah proses dimana individu atau kelompok mengelola usaha dan bermaksud untuk mengejar peluang untuk menciptakan nilai (value) dan berkembang dengan memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui inovasi dan keunikan. Entrepreneurship secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut : -
kreatifitas dan inovasi
-
menghimpun sumber daya dan penciptaan organisasi yang ekonomis
-
kesempatan untuk menciptakan atau meningkatkan keuntungan dalam kondisi yang beresiko dan tidak pasti.
Menurut Alma (2010: 5), entrepreneur adalah seorang innovator, sebagai individu yang mempunyai naluri untuk melihat peluang-peluang, mempunyai semangat, kemampuan dan pikiran untuk menaklukan cara berpikir lamban dan malas. Jadi, seorang entrepreneur mampu melihat peluang dari sebuah tren pasar atau menciptakan solusi dari permasalahan yang dihadapi salam suatu lingkungan, dan kemudian menjadikannya sebagai bisnis yang mampu menghasilkan keuntungan. Sementara itu, menurut Kuratko (2009: 21), entrepreneur merupakan proses dinamis dari visi, perubahan, dan penciptaan yang membutuhkan usaha dan semangat terhadap penciptaan dan implementasi ide baru dan solusi kreatif. Secara terperinci Kuratko
(2009: 4) menjelaskan bahwa entrepreneur adalah seorang
innovator atau pengembang yang mampu mengenali dan mengambil peluang; mengubah peluang tersebut menjadi ide yang workable/marketable; penambahan nilai pada ide tersebut melalui waktu, usaha, uang, atau keterampilan; mampu melihat resiko dari lingkungan yang kompetitif sebagai pertimbangan dari keputusan implementasi ide tersebut; dan mampu mengidentifikasi hasil atau penghargaan dari usaha yang dilakukan. Literatur mengenai Entrepreneurship telah menunjukkan beberapa karakteristik utama dari seorang entrepreneur, yaitu inisiatif pribadi, kemampuan untuk menggabungkan sumber daya, kemampuan manajemen, keinginan atas otonomi (kemandirian), dan keberanian dalam mengambil resiko. Karakteristik lainnya yaitu keagresifan, kompetitifitas, perilaku yang berorientasi pada tujuan, percaya diri, perilaku oportunistik, ituitif, realistis, kemampuan untuk belajar dari kesalahan, dan kemampuan untuk berkomunikasi serta membangun hubungan baik. Entrepreneurship merupakan proses dinamis dari visi, perubahan, dan penciptaan. Dalam pelaksanaaannya, entrepreneurship membutuhkan aplikasi
20 energi dan semangat terhadap kegiatan penciptaan dan implementasi ide dan solusi kreatif.
2.1.2.2 Keuntungan dan Kelebihan menjadi Entrepreneur Berikut merupakan keuntungan dan kerugian menjadi seorang Entrepreneur menurut Alma (2010: 4). Keuntungan Menjadi Wirausaha 1. Terbuka peluang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki sendiri 2. Terbuka peluang untuk mendemonstrasikan kemampuan serta potensi seseorang secara penuh 3. Terbuka peluang untuk memperoleh manfaat dan keuntungan secara maksimal 4. Terbuka peluang untuk membantu masyarakat dengan usaha-usaha konkrit 5. Terbuka kesempatan untuk menjadi bos Kelemahan menjadi wirausaha 1. Memperoleh pendapatan yang tidak pasti, dan memikul berbagai resiko. Jika resiko ini telah diantisipasi secara baik, maka berarti wirausaha telah menggeser resiko tersebut. 2. Bekerja keras, dan waktu/ jam kerjanya panjang 3. Kualitas kehidupannya masih rendah sampai usahanya berhasil, sebab wirausaha harus berhemat. 4. Tanggung jawab yang besar, banyak keputusan yang harus dibuat walaupun dia kurang memahami permasalahan yang dihadapinya.
2.1.3 Kepemimpinan Para pengarang dan praktisi sering kali menyamakan antara manajer dengan pemimpin, meskipun kedua hal tersebut tidak dengan sendirinya sama. Kemampuan para manajer untuk mempengaruhi didasarkan pada wewenang formal yang melekat pada posisi-posisi mereka. Sebaliknya, para pemimpin dapat mempengaruhi orang-orang lain untuk bekerja melebihi tindakan-tindakan yang diperintahkan oleh wewenang formal. Fokus kepemimpinan menurut Lensufiie (2010: 16) adalah pada pergerakan. Kepemimpinan mencoba membawa sekelompok orang menuju perubahan kearah yang lebih baik dan lebih ideal. Maka dari itu, dapat dibayangkan bahwa fungsi seorang pemimpin adalah
21 membawa organisasi untuk bergerak mencapai tujuan, sedangkan fungsi manager adalah mengatur organisasi agar berjalan dengan baik. Idealnya, semua manajer sebaiknya adalah pemimpin. Menurut Robbins & Coulter (2009: 386) Pemimpin adalah seseorang yang mempengaruhi orang lain dan sesorang yang memiliki kewenangan manajerial. Kepemimpinan adalah apa yang dilakukan oleh pemimpin. Kepemimpinan merupakan proses membimbing dan mempengaruhi sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan atau sasaran. Kepemimpinan meliputi memotivasi dan berkomunikasi dengan para pekerja, baik perorangan maupun kelompok.
2.1.3.1 Teori Kepemimpinan Awal 2.1.3.1.1 Teori Ciri Prilaku Merupakan teori mengenai ciri yang konsisten terkait dengan kepemimpinan. Berikut merupakan tujuh ciri yang terkait dengan kepemimpinan yang efektif: 1. Dorongan Pemimpin menunjukkan tingkat usaha yang tinggi. Mereka relatif mempunyai kehendak yang tinggi akan pencapaian prestasi, ambisius, mempunyai banyak energi, tak kenal lelah dalam kegiatannya, dan mereka menunjukkan inisiatif. 2. Kehendak untuk memimpin Pemimpin mempunyai kehendak yang kuat untuk mempengaruhi dan memimpin orang lain. Mereka menunjukkan kemauan mengemban tanggung jawab. 3. Kejujuran dan integritas Pemimpin membangun hubungan saling mempercayai antara mereka sendiri dan pengikutnya dengan menjadi jujur, tidak menipu, dan dengan menunjukkan konsistensi yang tinggi antara perkataan dan perbuatan. 4. Kepercayaan diri Para pengikut melihat pemimpinnya tidak ragu akan dirinya. Oleh karena itu pemimpin perlu menunjukkan kepercayaan diri untuk meyakinkan keputusannya. 5. Kecerdasan
pengikutnya
mengenai
kebenaran
sasaran
dan
22 Pemimpin harus cukup cerdas untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan banyak informasi, dan pemimpin perlu untuk mampu menciptakan visi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan yang tepat. 6. Pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan Pemimpin yang efektif memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai perusahaan, industry dan hal-hal teknis. Pengetahuan yang mendalam dapat membantu pemimpin dalam membuat keputusan yang terinformasi dengan baik dan memahami akibat dari keputusan tersebut. 7. Ekstrovert Pemimpin merupakan seseorang yang energik dan bersemangat. Mereka mudah untuk bersosialisasi, asertif, dan relatif jarang terdiam.
2.1.3.1.2 Teori Prilaku Menurut Robbins & Coulter (2009: 389), teori prilaku adalah teori-teori kepemimpinan yang mengenali prilaku yang membedakan pemimpin yang efektif dari yang tidak efektif. Jika riset toeri Ciri befokus pada dasar dalam memilih orang yang “tepat” untuk memegang posisi kepemimpinan formal dalam organisasi, teori prilaku terbukti menjadi penentu keberhasilan kepemimpinan atau orang yang dapat dilatih menjadi pemimpin. Berikut merupakan hasil dari empat studi prilaku yang memberikan ringkasan dimensi utama prilaku pemimpin dan kesimpulan dari setiap studi tersebut.
23
Tabel 2. 1 Teori Prilaku Kepemimpinan
Universitas Iowa
Dimensi Prilaku
Kesimpulan
Gaya Demokratis:
Gaya kepemimpinan
melibatkan bawahan, pendelegasian
demokratis adalah yang
wewenang, dan mendorong
paling efektif, walaupun
partisipasi.
studi berikutnya
Gaya Otokratis:
menunjukkan kesimpulan
mendiktekan metode kerja,
yang belum pasti.
memusatkan pengambilan keputusan, dan membatasi partisipasi. Gaya Laissez-faire: memberikan kebebasan pada kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan Ohio State
Pertimbangan:
Pemimpin yang tinggi-
mempertimbangkan ide dan
tinggi (tinggi dalam
perasaan pengikutnya.
pertimbangan dan tinggi
Mengadakan Struktur:
dalam pengadaan struktur)
menyusun kerja dan hubungan kerja
mencapai kinerja dan
untuk memnuhi tujuan pekerjaan.
kepuasan bawahan yang tinggi, tetapi tidak dalam semua situasi.
Universitas
Berorientasi Karyawan:
Pemimpin yang berorinetasi
Michigan
menekankan hubungan antar pribadi
karyawan terkait dengan
dan memperhatikan kebutuhan
produktifitas kelompok
karyawan.
yang tinggi dam kepuasan
Berorinetasi Produksi:
kerja yang lebih tinggi.
menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan. Kisi-kisi manajerial Memperhatikan orang:
Pemimpin berkinerja sangat
24 (Managerial Grid)
mengukur perhatian pemimpin
baik jika gayanya 9.9
terhadap bawahan pada skala 1
(perhatian yang tinggi atas
sampai 9 (rendah sampai tinggi).
produksi dan perhatian
Perhatian akan produksi:
yang tinggi atas orang).
Mengukur perhatian pemimpin untuk menyelesaikan pekerjaan pada skala 1 sampai 9 (rendah sampai tinggi). Sumber: Robbins & Coulter (2009: 389)
2.1.3.2 Teori Kepemimpinan Modern Terkini 2.1.3.2.1 Kepemimpinan Transformasional - Transaksional Pemimpin transaksional yaitu pemimpin yang membimbing atau memotivasi pengikutnya menuju pada sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas peran dan persyaratan tugas. Tetapi terdapat jenis pemimpin lain yang memberi inspirasi pengikutnya untuk bertindak melebihi kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mampu mempunyai dampak yang dalam dan luar biasa pada pengikutnya, pemimpin ini disebut sebagai pemimpin transformasional. Pemimpin transaksional dan pemimpin transformasional sebaiknya tidak dipandang sebagai lawan dari pendekatan penyelesaian pekerjaan oleh orang lain. Kepemimpinan transformasional dibangun diatas kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional menghasilkan tingkat usaha dan kinerja karyawan yang jauh melampaui apa yang akan dihasilkan oleh pendekatan kepemimpinan transaksional sendiri, pernyataan ini dikemukakan oleh Robbins & Coulter (2009: 396).
2.1.3.2.2 Kepemimpinan Kharismatis - Visioner Pemimpin kharismatis adalah pemimpin yang antusias dan percaya diri yang kepribadian dan tindakannya mempengaruhi orang lain untuk berprilaku dengan cara tertentu. Beberapa analisis terdahulu mengenali lima karakteristik pemimpin kharismatis yaitu mempunyai visi, mampu menyampaikan visi tersebut, bersedia mengambil resiko untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kendala lingkungan dan kebutuhan pengikutnya.
25 Kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan untuk menciptakan dan menegaskan suatu visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik mengenai masa depan bagi sebuah organisasi yang tumbuh dari keadaan sekarang dan memperbaiki keadaan yang sekarang. Seorang pemimpin visioner memiliki tiga sifat yang berkaitan dengan efektifitas peran visioner mereka yaitu: -
Kemampuan untuk menjelaskan visi tersebut pada orang lain.
-
Kemampuan untuk mengungkapkan visi tersebut bukan hanya secara verbal melainkan juga melalui prilaku.
-
Kemampuan memperluas atau menerapkan visi ke berbagai konteks kepemimpinan yang berbeda (memiliki makna yang sama pada orang di bagian akuntansi dengan produksi, atau antar karyawan di Clevelend maupun di Sydney).
2.1.3.2.3 Kepemimpinan Tim Kepemimpinan saat ini makin banyak berlangsung di dalam konteks tim. Karena semakin banyak organisasi menggunakan tim, peran pemimpin dalam membimbing anggota tim menjadi semakin penting. Tantangan bagi banyak manajer adalah mempelajari cara menjadi pemimpin tim yang efektif. Mereka harus mempelajari keterampilan seperti kesabaran berbagi informasi, mempercayai informasi, melepaskan wewenang, dan memahami kapan harus campur tangan. Empat peran kepemimpinan yang khas adalah: -
Pemimpin tim adalah penghubung dengan pihak luar. Pihak luar dapat mecakup manajemen yang lebih tinggi, tim internal lain, pelanggan, atau pemasok. Pemimpin mewakili tim tersebut menghadapi konstituen lain, mendapatkan sumberdaya yang diperlukan, memperjelas pengharapan orang lian terhadap tim tersebut, mengumpulkan informasi dari luar, dan menyampaikan informasi tersebut pada anggota tim.
-
Pemimpin tim adalah pemecah masalah. Apabila tim menghadapi masalah dan meminta bantuan, maka pemimpin akan hadir dalam rapat dan membantu mencoba memecahkan masalah tersebut.
-
Pemimpin tim adalah manajer konflik. Apabila muncul pertikaian dalam tim, pemimpin akan membantu mengidentifikasi masalah seperti sumber konflik, siapa yang terlibat, pokok permasalahan, pilihan penyelesaian yang tersedia, dan keunggulan serta kekurangan masing-masing.
26 -
Pemimpin adalah Pembina. Mereka memperjelas harapan dan peran, mengajar, menawarkan dukungan, memberi semangat, dan melakukan apa saja yang perlu untuk membantu para anggota tim dalam mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi.
2.1.3.2.4 Kepemimpinan Entrepreneurial Alisjahbana (2012: 1) mengatakan bahwa “Ketika perubahan terjadi semakin cepat dan persaingan semakin dahsyat seperti saat ini, kepemimpinan yang bersifat entrepreneurial, tidak sekadar managerial, sangat dibutuhkan”. Kepemimpinan entrepreneurial adalah pengorganisasian sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama
dengan
menggunakan
perilaku
kewirausahaan
proaktif
yang
mengoptimalkan risiko, berinovasi untuk memanfaatkan peluang, mengambil tanggung jawab pribadi dan mengelola perubahan dalam lingkungan yang dinamis untuk kepentingan organisasi. Menurut Corbin (2007) dalam penelitian Hadi dan Marlangen (2013: 13), Entrepreneurial Leadership atau gaya kepemimpinan kewirausahaan adalah gaya kepemimpinan yang mampu mendelegasikan, mampu membangun karyawankaryawan berperilaku bertanggung jawab, mampu membuat dan menetapkan keputusan, dan bekerja secara independen. Sementara itu menurut Esiri (2002) dalam penelitian Hendi dan Avyanto (2012: 7), Kepemimpinan Entrepreneurial adalah kepemimpinan yang memimpin secara inovatif, terlibat penuh dalam bekerja, mampu melihat peluang dan memanfaatkannya menurut cara dan metodenya sendiri. Kepemimpinan entrepreneurial mempunyai ciri-ciri: -
Tidak menunggu atau menyerahkan nasib kepada orang lain, melainkan mengambil inisiatif dan menganggap dirinya memiliki peran kunci dalam organisasi. Dia membangkitkan energi timnya.
-
Menunjukkan kreativitas yang entrepreneurial, selalu mencari peluangpeluang baru dan merealisasikannya.
-
Berani mengambil risiko, mencoba hal-hal baru, memberikan arahan strategis, dan menginspirasi timnya.
-
Bertanggung jawab atas kegagalan dari timnya, belajar dari kegagalan tersebut, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi yang menguntungkan semua pemangku kepentingan.
27 Kepemimpinan entrepreneurial menjadi elemen yang sangat penting dalam persaingan industri yang semakin kompetitif karena perusahaan membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan entrepreneurial untuk mengidentifikasi peluang pasar dan keberanian mengambil resiko untuk mempertahankan atau menciptakan keunggulan kompetitif sehingga perusahaan dapat memperoleh atau mempertahankan posisi startegisnya dalam pasar. Kuratko (2009: 389) menyatakan bahwa “penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa konsep kepemimpinan strategis merupakan konsep yang paling efektif dalam perusahaan yang bertumbuh. Jenis kepemimpinan strategis dapat diklasifikasikan sebagai kepemimpinan entrepreneurial, dimana kepemimpinan ini muncul ketika entrepreneur berusaha untuk mengelola sebuah perusahaan yang berorientasi pada pertumbuhan”. Kepemimpinan adalah kekuatan utama yang dibutuhkan untuk menciptakan kesuksesan dalam sebuah perubahan. Pemimpin harus menjalankan misinya dengan menciptakan integrasi dengan mitra usaha dan memberdayakan pegawainya untuk merealisasikan visi perusahaan. Menurut Kuratko (2009: 389), Kepemimpinan entrepreneurial dapat didefinisikan
sebagai
kemampuan
entrepreneurial
untuk
mengantisipasi,
membayangkan visi, mempertahankan fleksibilitas, berfikir secara strategik, dan bekerja dengan orang lain untuk memulai perubahan yang akan menciptakan masa depan yang baik bagi perusahaan. Perekonomian saat ini telah menciptakan pandangan kompetitif yang baru dimana perubahan terjadi secara konstan dan tidak dapat diprediksi. Perusahaan yang berorientasi pada pertumbuhan perlu untuk mengadopsi pola pikir kompetitif yang baru, yaitu pola pikir yang memiliki fleksibilitas, kecepatan, dan inovasi. Melalui kepemimpinan entrepreneurial yang efektif maka perusahaan dapat mengekslopitasi peluang yang ada dan memperoleh keunggulan kompetitif.
2.1.4 Kepuasan Kerja Robbins (2003: 30) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.
Sementara
Luthans (2006: 243)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Sehingga, seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaannya.
28 Sementara seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaanya. Menurut Hasibuan (2007:202), kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Karyawan yang memiliki kepuasan kerja dalam pekerjaannya akan cenderung untuk lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa yang mungkin ia peroleh. Robbins and Judge (2009: 113) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan
sebagai hasil evaluasi karakter-karakter
pekerjaan tersebut. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah tingkat kebahagiaan seseorang terhadap pekerjaannya sebagai hasil dari kesesuaian karakteristik suatu pekerjaan dengan karakteristik yang diharapan pada pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memnuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa seberapa puas atau tidak puasnya seorang karyawan dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur diskret (terbedakan satu sama lain), pernyataan ini dijelaskan oleh Robbins(2003: 101).
2.1.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan kerja Menurut Hasibuan (2007:203) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor: 1. Balas jasa yang adil dan layak. 2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan. 4. Suasana dan lingkungan pekerjaan. 5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. 7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak. Kepuasan kerja karyawan merupakan kunci
pendorong moral kerja,
kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan. Jenis kepemimpinan dalam suatu organsiasi memiliki pengaruh yang relatif besar terhadap kepuasan kerja karyawan.
29 Menurut Robbins dan Judge (2009:128) terdapat 21 faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu otonomi dan kebebasan, karir benefit, kesempatan untuk maju, kesempatan pengembangan karir, kompensasi/gaji, komunikasi antara karyawan dan manajemen, kontribusi pekerjaan terhadap sasaran organisasi, perasaan aman di lingkungan kerja, kefleksibelan untuk menyeimbangkan kehidupan dan persoalan kerja, keamanan pekerjaan, training spesifik pekerjaan, pengakuan manajemen terhadap kinerja karyawan, keberartian pekerjaan, jejaring, kesempatan untuk menggunakan kemampuan atau keahlian, komitmen organisasi untuk pengembangan, budaya perusahaan secara keseluruhan, hubungan sesama karyawan, hubungan dengan atasan langsung,
pekerjaan itu sendiri,
dan
keberagaman pekerjaan. Luthans (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukan kepuasan kerja karyawan dalam organsiasi, yaitu sebagai berikut: 1. Pekerjaan itu sendiri Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan dimana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masingmasing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 2. Gaji atau Imbalan yang dirasakan adil Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Disamping untuk memneuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), uang juga dapat diartikan sebagai symbol pencapaian(achievement), keberhasilan dan pengakuan atau penghargaan. 3. Kesempatan Promosi Menyangkut
kemungkinan
seseorang
dalam
suatu
karyawan
untuk
memperoleh kenaikan jabatan. Tingkat kepuasan kerja dipengaruhi oleh perasaan karyawan mengenai terbuka atau tidak terbukanya kesempatan untuk naik jabatan. 4. Pengawasan
30 Cara-cara
atasan
atau
pimpinan
dalam
memperlakukan bawahannya dapat menjadi
suatu
organisasi
dalam
menyenangkan atau tidak
menyenangkan bagi bawahannya, dimana hal ini memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahannya untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. 5. Rekan Kerja Sikap alami dari kelompok atau tim kerja akan mempengaruhi kepuasan kerja. Pada umumnya, rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada setiap individu karyawan. Kelompok atau rekan kerja befungsi sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan bantuan antar sesame anggota individu. Kelompok kerja yang baik dan kooperatif akan mendorong kepuasan kerja karyawan. 6. Kondisi kerja Kondisi fisik lingkungan kerja seperti luas ruangan kerja, pencahayaan, dan kebersihan mempengaruhi semangat kerja seorang karyawan. Kondisi lingkungan fisik kerja yang buruk atau tidak sesuai dengan harapan karyawan akan mendorong mereka untuk mencari alasan untuk sering keluar ruangan kerjanya. Kondisi fisik yang baik perlu untuk dipenuhi oleh Perusahaan demi tercapainya kepuasan karyawan.
2.1.4.2 Respon Karyawan terhadap Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbins (2003: 105) Ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara. Misalnya daripada berhenti, karyawan dapat mengeluh, tidak patuh, mencuri miliki organisasi, atau mengelakkan sebagian dari tanggung jawab kerja mereka. Berikut merupakan 4 respon yang berbeda satu sama lain dalam 2 dimensi yaitu konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, respon didefinisikan sebagai berikut: •
Exit: perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru atau meminta berhenti.
•
Suara (voice): dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
31 •
Kesetiaan (Loyalty): pasif namun tetap optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang tepat”.
•
Pengabaian (neglect): secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat.
2.1.5 Komitmen Organisasi Robbins (2003: 92) mendefinisikan komitmen pada organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada organisasi tertentu dan tujuannya, serta berminat untuk memelihara keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Sehingga, komitmen pada organisasi yang tinggi berarti pemihakan pada organisasi yang mempekerjakannya. Bukti riset memperlihatkan hubungan yang negatif antara komitmen organisasi dengan tingkat absen dan tingkat keluar masuk karyawan. Tobing (2009: 31) berpendapat bahwa komitmen organisasional dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasi yang menunjukkan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Allen dan Meyer (1990) dalam Tobing (2009: 32) mengajukan Tiga dimensi komitmen organisasi yaitu: a. Komitmen Afektif, yaitu keterikatan emosional, identifikasi dan keterlibatan dalam suatu organisasi. Dalam hal ini individu menetap dalam suatu organisasi karena keinginannya sendiri. b. Komitmen Kontinuan/Kelanjutan, yaitu komitmen individu yang didasarkan pada pertimbangan tentang apa yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Dalam hal ini individu memutuskan menetap pada suatu
organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan
kebutuhan. c. Komitmen Normatif, yaitu keyakinan individu tentang tanggung jawab terhadap organisasi. Individu tetap tinggal pada suatu organisasi karena merasa wajib untuk loyal pada organisasi tersebut Dari ketiga bentuk komitmen tersebut, maka dapat dilihat bahwa terdapat berbagai macam alasan yang membentuk komitmen organisasi. Namun, kesimpulan umum yang dapat ditarik dari ketiga pendekatan tersebut adalah pandangan bahwa
32 komitmen merupakan kondisi psikologis yang mencirikan hubungan antara karyawan dengan organisasi dan memiliki implikasi bagi keputusan individu untuk tetap berada atau meninggalkan organisasi. Menurut Endang Wismawati (2000) dalam Edi Wibowo(2010: 69), terdapat beberapa dimensi dalam komitmen organisasional, diantaranya sebagai berikut : a. Perasaan loyal terhadap organisasi (loyality) b.
Rasa bertanggung jawab terhadap organisasi (responsibility)
c. Memiliki keinginan yang kuat untuk bekerja keras pada organisasi (willingnees to work) d. Rasa percaya terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi (belief) Berdasarkan pendapat dan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah tingkat dimana karyawan memihak pada suatu organisasi melalui rasa loyalitas, kepercayaan terhadap nilai-nilai, dan tanggung jawab yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk menjalankan tugasnya demi pencapaian tujuan organisasi.
2.1.6 Intrapreneurship Menurut Alma (2010: 48), intrapreneurship adalah suasana perusahaan yang lebih leluasa, ceria, bebas terkendali, membuka peluang bagi orang-orang kreatif untuk mengembangkan taleta, kemampuan daya pikir dan daya ciptanya. Dengan suasana intrapreneruship, maka para karyawan dapat mengembangkan secara bertanggung jawab apa yang diinginkan yang dianggap baik yang mengarah pada hal-hal positif sehingga menguntungkan bagi perusahaan. Hisrich dalam Alma (2010: 48) menyatakan bahwa: ”Intrapreneurship is one method for stimulating and then capitalizing on individuals in a organization who think that something can be done differently and better”. Jadi intrapreneurship merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendorong karyawan-karyawan dalam suatu organisasi untuk menciptakan dan mengerjakan sesuatu dengan cara yang berbeda dan lebih baik, namun tetap bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai penting dalam sebuah organisasi. Dalam jurnal yang dibuat oleh Alipour, Idris, Ismail, Ismi Uli, dan Karimi (2011: 548), Antoncic & Hisrich (2001) mendefinisikan Intrapreneurship sebagai proses mengungkapkan dan mengembangkan peluang untuk menciptakan nilai
33 melalui inovasi dan pengambilan peluang tanpa mempertimbangkan sumber daya atau lokasi dari perusahaan baru atau yang sudah ada. Intrapreneurship melibatkan inisiatif karyawan dalam organisasi dengan tujuan untuk menciptakan suatu hal yang baru, yang dapat mendukung pencapaian tujuan suatu organisasi. Secara keseluruhan Hashemi, Nadi, Hosseini, dan Rezvanfar (2012: 300) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis saat ini telah memberikan tekanan secara terus-menerus pada setiap organisasi untuk bersaing menuju pembentukan intrapreneurship dengan memberikan kualitas tinggi dan produk atau jasa yang inovatif melalui perilaku inovatif dan proaktif dari personil mereka. Dalam rangka untuk mencapai hal ini, organisasi perlu menekankan pada peningkatan semangat dan perilaku intrapreneurial pada personil mereka untuk mempertahankan eksistensi organisasi dalam jangka panjang. Dollinger
(2005:
333)
juga
menambahkan
bahwa
intrapreneurship
merupakan entrepreneurship dalam sebuah organisasi. Karyawan secara individu yang memiliki jiwa entrepreneur disebut sebagai intrapreneur.
2.1.6.1 Pentingnya Intrapreneurship Terdapat beberapa alasan mengapa
bisnis
saat
ini
perlu
untuk
memperbolehkan internal entrepreneurship atau mendorong usaha intrapreneurial. Menurut Kuratko (2009: 57), kebutuhan atas usaha intrapreneurial didasari oleh meningkatnya kebutuhan atas respon perusahaan terhadap pertumbuhan jumlah pesaing yang kuat, menurunnya kepercayaan atas sistem manajemen perusahaan secara tradisional, kehilangan atau perginya sumber daya manusia yang berkualitas dalam organisasi, dan keinginan secara keseluruhan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Dengan mendorong usaha intrapreneurial, maka perusahaan diharapkan mampu mempertahankan atau memperoleh posisi strategis dalam pasar dan mampu mencapai tujuan organisasionalnya. Menurut Dollinger (2005: 333), Intrapreneurship dapat memberikan kemampuan bagi organisasi untuk: -
Cepat beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan makro ekonomi Top executive dalam korporasi secara umum menyadari bahwa lingkungan makro dan pasar berubah lebih cepat dibandingkan kemampuan birokrasi perusahaan
untuk
berubah.
Intrapreneurship
memungkinkan
sebuah
perusahaan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang semakin dinamis dengan persaingan yang semakin kuat pada lingkungan bisnis yang beragam.
34 -
Diversifikasi dari bisnis inti Intrapreneurship memungkinkan sebuah perusahaan untuk melakukan diversifikasi dari bisnis intinya. Diversifikasi melalui akuisisi dan merger seringkali sangat beresiko, dengan perusahaan yang membayar lebih besar dari yang semestinya untuk sebuah akuisisi (dikenal dengan istilah Winner’s Curse) atau dengan melakukan merger dengan partner tanpa berbagi tujuan dan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan. Pengembangkan intrapreneurship seringkali lebih diminati karena pendekatan tersebut memungkinkan organisasi untuk mengelola proses dan control biayanya sendiri.
-
Melaksanakan eksperimen pasar Eksperimen
pasar
dilakukan
untuk
mendorong
perusahaan
untuk
menciptakan diferensiasi diantara perusahaan lainnya. Jika perusahaan entrepreneurial dengan lingkungan ekonomi saling terhubung, maka eksperimen tersebut akan dipilih dan dapat tumbuh menjadi perusahaan atau divisi yang besar dan profitable. -
Melatih manajer dan pemimpin baru Intrapreneurship telah digunakan sebagai dasar dari pelatihan untuk manager baru dalam sebuah perusahaan. Perusahaan dapat mengembangkan pemimpin baru melalui pengawasan dari setiap perkembangan intrapreneur. Manager yang sukses dalam melaksanakan tanggung jawabnya dan memiliki kinerja yang baik, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh peningkatan posisi atau menjadi pemimpin.
-
Membangun channel distribusi baru Inisiatif dan kreatifitas dari seorang intrapreneur akan membantu perusahaan untuk menilai kondisi pasar dan membangun channel distribusi yang lebih efeketif dan efisien yang sesuai dengan lingkungan pasar yang dinamis.
-
Investasi dan laba dari penciptaan perusahaan baru Kegiatan intrapreneuring digunakan untuk memperluas bottom line dari sebuah perusahaan. Hal ini dilakukan melalui investasi langsung (direct investment) seperti pengembangan bisnis baru atau perluasan lini produk dalam perusahaan entrepreneurial.
35 2.1.6.2 Karakteristik Intrapreneur Karyawan secara individu yang memiliki jiwa entrepreneur disebut sebagai intrapreneur. Intrapreneur merupakan penggerak atau inisiator dari implementasi atas konsep yang inovatif. Berikut merupakan karakteristik dari intrapreneur menurut Hisrich, Peters, dan Shephers (2005: 50) : -
Memahami lingkungan
-
Memiliki visi dan dapat menyesuaikan diri
-
Dapat membuat alternative pilihan manajemen
-
Mendorong terbentuknya tim kerja
-
Mendorong diskusi terbuka
-
Membangun Koalisasi pendukung
-
Gigih
2.1.6.3 Budaya Korporasi Entrepreneurial vs Tradisional Budaya korporasi memiliki iklim dan sistem penghargaan yang mendukung pengambilan
keputusan
konservatif.
Budaya
korporasi
tradisional
dan
entrepreneurial memiliki perbedaan yang signifikan. Budaya korporasi tradisional cenderung mengikuti instruksi yang diberikan, tidak diperbolehkan melakukan kesalahan dan kegagalan serta tidak boleh mengambil inisiatif melainkan menunggu perintah sebelum bertindak. Budaya korporasi ini jelaslah menghambat kreatifitas, fleksibilitas, kemandirian, kepemilikan (ownership), dan pengambilan resiko. Berbeda
dengan
budaya
korporasi
entrepreneurial
yang
mendukung
mengembangkan visi, tujuan, dan action plan; pemberian penghargaan atas tindakan yang diambil; memberikan saran, percobaan, dan eksperimen; untuk menciptakan dan mengembangkan tanpa memperhatikan atau terbatasi dengan area; dan untuk mengambil tanggung jawab dan kepemilikian (ownership). Dua budaya korporasi tersebut menghasilkan gaya manajemen (management style) dan jenis individu yang berbeda. Berikut merupakan perbandingan antara traditional managers dan corporate entrepreneurs (intrapreneur):
36
Tabel 2. 2 Perbandingan Traditional Managers dan Intrapreneur
Motivasi utama
Traditional manager
Intrapreneur
Promosi dan penghargaan
Kebebasan (independence) dan
traditional corporate
kemampuan untuk berkembang
lainnya seperti kantor, staf,
dalam hal corporate rewards
dan otoritas Orientasi waktu
Jangka pendek –
Pembuatan rencana tergantung
memenuhi kuota,
pada urgensi untuk memenuhi
anggaran, ruang lingkup
kebutuhan individu atau jadwal
perencanaan mingguan,
perusahan.
bulanan, kuarter, dll. Melalui delegasi,
Lebih banyak keterlibatan
kurangnya keterlibatan
secara langsung dibandingkan
secara langsung
pendelegasian.
resiko
Berhati-hati
Pengambil resiko moderat
Kegagalan dan
Mencoba untuk
Berusaha untuk
kesalahan
menghindari kesalahan dan
menyembunyikan proyek yang
hal-hal yang tidak terduga
beresiko hingga waktu dimana
kegiatan
entrpreneeur siap. Keputusan
Biasanya setuju dengan
Mampu untuk memperoleh
manajeemen pada posisi
persetujuan anggota lain untuk
yang lebih tinggi
membantu dalam pencapaian tujuan
Hubungan
Hirarkis sebagai hubungan
dengan orang lain
dasar
Sumber : Hisrich, Peters, Shepherd (2005: 46)
Transaksi dalam hirarki
37
2.1.6.4 Mengembangkan Entrepreneurial Mind-set dalam organisasi Entrepreneurial mind-set melibatkan kemampuan untuk
memilliki
pemahaman, tindakan, dan mobilisasi yang cepat bahkan dalam kondisi yang tidak pasti. Mengemabangkan budaya entrepreneurial dilakukan dengan pengambilan keputusan yang sengaja dibuat untuk mendorong pemikiran dan prilaku intrapreneur, menciptakan tim-tim usaha baru, dan mengubah sistem kompensasi sehingga hal itu terdorong, mendukung, dan memberikan imbalan atas prilakuprilaku kreatif dan inovatif. Hal ini sering kali menjadi masalah dalam perusahaan, karena banyak top manager yang tidak yakin bahwa ide entrepreneurial dapat dibangun dan berkembang dalam lingkungan mereka. Para top manager juga merasa sulit untuk mengimplementasikan kebijakan yang mendorong kebebasan dan aktifitas yang tidak terstuktur. Namun, manager perlu untuk mengembangkan kebijakan yang akan membantu orang-orang inovatif utnuk mencapai potensi penuh (full- potential) mereka. Dengan kata lain, pengembangan intrapreneurship dilakukan dengan menggunakan strategi yang cermat dan diperhitungkan. Berikut merupakan 5 langkah untuk membangun pola berfikir entrepreneurial dalam organisasi berdasarkan Kuratko (2009: 54): 1. Menetapkan explicit innovation goals Tujuan (goal) ini harus disetujui oleh kedua belah pihak baik karyawan dan manajemen sehingga langkah spesifik dapat dicapai. 2. Mencipatakan sistem untuk feedback dan positif reinforcement Hal ini diperlukan untuk innovator dan pencipta ide potensial untuk menyadari bahwa terdapat dukungan dan penghargaan. 3. Menekankan pada individual responsibility Percaya diri, kayakinan, dan akuntabilitas merupakan faktor kunci bagi kesuksesan program inovatif. 4. Menyediakan reward untuk ide inovatif Sistem penghargaan harus ditingkatkan untuk mendorong pencapaianpencapaian karyawan. 5. Jangan memberikan hukuman atas kegagalan Pembelajaran yang sebenarnya ada ketika terjadi kegagalan dan dipelajari secara individual, setiap individu harus merasakan kebebasan untuk mencoba
38 hal baru tanpa merasa takut terhadap hukuman yang diberikan ketika terjadi kegagalan. 2.1.6.5 Orientasi Entrepreneurial Menurut Bateman & Snell (2008: 314), Orientasi entrepreneurial adalah kecenderungan organisasi dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang dirancang untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan dengan sukses peluang-peluang untuk meluncurkan
usaha-usaha
baru.
Hal
yang
membuat
perusahaan
menjadi
“entrepreneur” adalah tindakannya dalam mengkombinasikan secara efektif tindakan independen, tingkat inovasi, pengambilan resiko, tingkat proaktif, dan agresif dalam persaingan. Orientasi entrepreneurial ditentukan oleh lima kecenderungan : -
mengizinkan aksi independen pemberian kebebasan bagi individu dan tim untuk menyalurkaan kreatifitas mereka, mengangkat ide-ide yang menjanjikan dan melaksanakannya hingga selesai.
-
Berinovasi Meminta perusahaan untuk mendukung ide-ide baru, eksperimen, dan proses-proses kreatif yang dapat mengarah pada produk-produk atau prosesproses baru.
-
Pengambilan resiko Berupa kesediaan untuk menyediakan sumber daya yang signifikan, dan mungkin melakukan pinjaman dalam jumlah besar untuk melakukan usaha kearah yang tidak diketahui.
-
Proaktif Bertindak sebagai antisipasi atas masalah-maslah dan peluang-peluang dimasa yang akan datang. Perusahaan yang proaktif merubah peta persaingan, sementara perusahaan yang lain hanya beraksi terhadapnya. Perusahaan-perusahaan yang proaktif berpikiran kedepan dan cepat dalam bertindak dan merupakaan pemimpin.
-
Agresif dalam persaingan Kecenderungan perusahaan untuk menantang pesaingnya secara ketat dan langsung agar dapat memperoleh posisi strategis. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan kecenderungan kompetitif untuk mengalahkan rivalrival dalam pasar.
39
2.1.7 Kinerja Organisasi Menurut Robbins dan Coulter (2005: 226), kinerja organisasi merupakan akumulasi hasil akhir dari semua proses dan kegiatan kerja organisasi. Kinerja organisasi merupakan konsep yang rumit namun penting, dan manajer perlu memahami faktor yang menyumbang pada kinerja organisasi yang tinggi. Agustina (2002) dan Sutiadi (2003:6) dalam Brahmasari dan Suprayetno (2008: 128) mengemukakan bahwa “kinerja seseorang merupakan ukuran sejauh mana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya”. Sementara itu Brahmasari (2004:64) dalam Brahmasari dan Agus Suprayetno (2008: 129) berpendapat bahwa “kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi”. Setiap pekerjaan memiliki standar kinerja masing-masing, sehingga sebuah kinerja dapat dikatakan baik ketika mampu memenuhi atau melebihi standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Kinerja sebuah organisasi tergantung dari kinerja individu atau dengan kata lain kinerja individu akan memberikan kontribusi pada kinerja organisasi, artinya bahwa perilaku anggota organisasi baik secara individu maupun kelompok memberikan kekuatan atas kinerja organisasi. Kinerja Organisasi menjadi hal yang penting menurut Robbins dan Coulter (2005: 226) karena akan menghasilkan manajemen aset (asset tangible dan asset intangible) yang baik, meningkatkan kemampuan penyediaan nilai pelanggan, menciptakan reputasi perusahaan yang baik, dan memperbaiki ukuran pengetahuan organisasi. Perusahaan perlu untuk melakukan evaluasi kinerja yang berfokus pada keterampilan dan potensi karyawan yang kurang memadai sehingga dapat dikembangkan dan diperbaiki demi pencapaian kinerja organisasi yang tinggi.
2.1.7.1 Dimensi Kinerja organisasi Menurut Mathis dan Jackson (2006: 378) dalam penelitian bisnis yang dilakukan oleh Budiawan (2012: 34), kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: a) Kuantitas dari hasil b) Kualitas dari hasil
40 c) Ketepatan waktu dari hasil d) Kehadiran e) Kemampuan bekerja sama Kinerja karyawan yang baik akan cenderung mengarah pada penciptaan kinerja organsiasi yang baik, namun perusahaan juga perlu untuk memperhatikan faktor lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Menurut Wirawan (2009:5), kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi dan indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Dimensi-dimensi yang terdapat dalam kinerja organisasi menurut Wirawan (2009) dalam Hadi dan Merlangen (2013: 10) antara lain : - Faktor internal karyawan, yaitu faktor-faktor dari dalam diri karyawan yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja dan motivasi kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan lingkungan eksternal, faktor internal karyawan ini juga menentukan kinerja mereka. - Faktor lingkungan internal organisasi. Dalam melaksanakan tugasnya, karyawan memerlukan dukungan organisasi tempat mereka bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja karyawan. Gaya kepemimpinan suatu organisasi juga merupakan faktor lingkungan dalam internal suatu organisasi. - Faktor lingkungan eksternal organisasi. Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian atau situasi yang terjadi di lingkungan organisasi yang mempengaruhi kinerja organisasi. Misalnya keadaan ekonomi suatu negara, budaya masyarakat dan hal lainnya.
2.1.7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Gomes (2000:142) dalam penelitian bisnis yang dilakukan oleh Budiawan (2012: 34) menguraikan kriteria kinerja karyawan, yaitu meliputi: a) Quantity of work, jumlah pekerjaan yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang telah ditentukan
41 b) Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian den kesiapannya. c) Job
knowledge,
luasnya
pengetahuan
mengenai
pekerjaan
dan
keterampilannya. d) Creativeness, keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakantindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. e) Cooperation, kesediaan untuk bekerjasama f) Dependability, kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja g) Initiative,
semangat
untuk
melaksanakan
tugas-tugas
baru
dalam
memperbesar tanggung jawabnya. h) Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas diri.
2.2 Kajian Penelitian Terdahulu Merupakan rangkuman hasil penelitian atau artikel terdahulu yang diperoleh melalui Jurnal online. Berikut merupakan penelitian terdahulu yang menjadi pendukung dari penelitian ini: -
Learning Organization and Organizational Performance: Mediation Role of Intrapreneurship Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki peran dimensi learning organization, terhadap intrapreneurship, dan kinerja organisasi untuk menciptakan model alternatif tentang bagaimana learning organization mengarah pada peningkatan kinerja dalam organisasi. Model yang diusulkan mengeksplorasi bagaimana intrapreneurship bertindak sebagai variabel mediasi dan memberikan kontribusi terhadap kinerja organisasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa intrapreneurship memiliki peranan penting dalam usaha untuk meningkatkan kinerja organisasi. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Learning Organization memegang peranan penting dalam pembentukan Intrapreneurship. Diharapkan model dapat membantu praktisi pengembangan sumber daya manusia untuk lebih memahami hubungan antara learning organization dan kinerja organisasi dan bagaimana intrapreneurship memodifikasi hubungan ini dalam organisasi. Sumber :
42 Alipour, Farhad., Idris, Khairuddin., Ismail, Ismi Arif., Uli, Jegak Anak., Karimi, Roohangiz. (2011). Learning Organization and Organizational Performance: Mediation Role of Intrapreneurship. European Journal of Social Sciences. 21 (4): 547 – 555 -
Explaining
Agricultural
Personnel's
Intrapreneurial
Behavior:
The
Mediating Effects of Job Satisfaction and Organizational Commitment Penelitian ini menverifikasi perceived organizational support (POS), psychological empowerment (PE), Job satisfaction (JS), organizational commitment (OC) dan intrapreneurial behavior (IB) sebagai kerangka penelitian. Melalui kajian literatur, kami menguji hubungan kausal antara variabel-variabel tersebut. Subyek penelitian ini adalah personil pertanian di kota Karaj, Iran. Data dianalisis melalui statistik deskriptif , analisis faktor konfirmatori, dan model persamaan struktural. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi personil pertanian tentang komitmen organisasi mereka memiliki efek positif pada perilaku intrapreneurial mereka. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan komitmen
organisasi
organizational
support
sepenuhnya dan
menjadi
psychological
mediasi
efek
perceived
empowerment
terhadap
intrapreneurial behavior. Sumber : Hashemi, Seyyed Mohammad Kazem., Nadi, Hossein Kazem., Hosseini, Seyed Mahmood., Rezvanfar, Ahmad. (2012). Explaining Agricultural Personnel's Intrapreneurial Behavior: The Mediating Effects of Job Satisfaction and Organizational Commitment. International Journal of Business and Social Science. 3 (6): 299 – 308 -
Impact of job satisfaction on employee performance: An empirical study of autonomous Medical Institutions of Pakistan Di Pakistan, profesi dokter dianggap sebagai profesi yang sangat bagus dan bermartabat karena langsung berhubungan dengan kehidupan manusia. Dalam masyarakat Pakistan, terdapat kecenderungan umum bahwa di rumah sakit pemerintah, pasien tidak diobati oleh dokter. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja di antara tenaga kerja dari lembaga medis otonom Pakistan dan dampaknya terhadap kinerja. Sampel penelitian terdiri dari 200 dokter,
43 perawat, dan staf administrasi rekening yang bekerja di lembaga medis otonom di Punjab. Dari 250 Kuesioner yang dibagikan terdapat 200 kuesioner yang diterima kembali dan digunakan untuk analisis. SPSS digunakan untuk menganalisis data statistik. Dapat disimpulkan dari studi bahwa aspek-aspek seperti: gaji, promosi, keselamatan kerja dan keamanan, kondisi kerja, otonomi pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan atasan dan sifat pekerjaan; mempengaruhi kepuasan kerja dan kinerja. Sumber: Khan,
Alamdar
Hussain.,
Nawaz,
Muhammad
Musarrat.,
Aleem,
Muhammad., dan Hamed, Wasim. (2012). Impact of job satisfaction on employee performance: An empirical study of autonomous Medical Institutions of Pakistan. African Journal of Business Management. 6 (7): 2697-2705 -
Pengaruh
Kepemimpinan,
Organizational
Citizenship
Behavior,
dan
Komitemen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja Pegawai. Tujuan dari penelitian ini yaotu untuk menganalisa pengaruh signifikan: 1) kepemimpinan terhadap kepuasan kerja, 2)organizational citizenship behavior terhadap kepuasan kerja, 3)komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja, 4)pengaruh variabel dominan terhadap keuasan kerja. Populasi dalam penelitian ini merupakan karyawan departemen remaja, olah raga, budaya, dan pariwisata yang sebanyak 115, dengan jumlah sampel sebanyak 53 orang dengan menggunakan metode propotional cluster random sampling.
Hasil
dari
analisis
menunjukan
bahwa
kepemimpinan,
organizational citizenship behavior, dan komitmen organisasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Koefisien Determinasi sebesar 0,72 menunjukan bahwa kepemimpinan, organizational citizenship behavior, dan komitmen organisasional memiliki pengaruh terhadap peforma karyawan sebesar 72%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Sumber : Wibowo, Edi. (2010). Pengaruh Kepemimpinan, Organizational Citizenship Behavior, dan Komitemen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja Pegawai. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan. 10(66): 66 – 73 -
Leadership’s
impact
on
employee
entrepreneurs and professional CEOs
engagement:
Differences
among
44 Tujuan dari studi ini yaitu untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara praktek kepemimpinan entrepreneur dengan CEO professional, dan untuk meneliti dampaknya terhadap kepuasan, komitmen, motivasi, dan efektifitas. Penelitian ini menggunakan multiple-respondents survey yaitu CEO and bawahan langsungnya (immediate subordinates). Metode analisis yang digunakan adalah analisis faktor, korelasi, dan regresi. Dimensi kepemimpinan yang diteliti merupakan “keterampilan manajer/mentor”, “artikulasi visi”, “self management dan inner balance”, “kolaborasi dengan orang-orang/kemapuan bersosialisasi”, dan “birokrasi”. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa terdapat dua dimensi kepemimpinan yang paling berpengaruh,
yaitu:
menjadi
manajer/mentor
yang
baik
dan
mengartikulasikan visi. Meskipun karakteristik manajer/mentor yang baik merupakan faktor yang penting bagi kedua jenis CEO, efek artikulasi visi kepada bawahan/subordinates ditentukan oleh jenis perusahaan yang dipimpin oleh CEO. Tidak ditemukannya perbedaan signifikan pada gaya kepemimpinan dari kedua jenis CEO, kecuali faktor ketenangan dan penguasaan diri yang lebih rendah diantara entrepreneur. Sumber: Papalexandris, Nancy., & Galanaki, Eleanna. (2008). Leadership’s impact on employee engagement : Differences among entrepreneurs and professional CEOs. Leadership & Organization Development Journal. 30( 4), 365-385 -
Relationship between Organizational Culture,Leadership Behavior and Job Satisfaction Jenis penelitian adalah cross-sectional yang berfokus pada perawat di Rumah Sakit di Taiwan. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang didistribusikan dan 200 kuesioner valid digunakan untuk pengolahan data. Analisis korelasi digunakan untuk menganalisa hubungan antara buadaya organisasi, prilaku kepemimpinan, dan kepuasan kerja. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa budaya organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap prilaku kepemimpinan dan kepuasan kerja. Prilaku kepemimpinan dengan kepuasan kerja memiliki korelasi yang signifikan dan positif. Sumber:
45 Tsai, Yafang. (2011). Relationship between Organizational Culture, Leadership Behavior and Job Satisfaction. BMC Health Services Research. 11 (1): 1-9 -
Pengaruh Komitmen Organisasional dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III di Sumatera Utara Tujuan dari studi ini yaitu untuk meneliti pengaruh komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Populasi dari studi ini merupakan karyawan PTPN III di Sumatera Utaraa dengan posisi middle manager. Terdapat 174 karyawan dalam populasi, dan jumlah sampel yang diambil sebanyak 144 responden. Semua data yang diperoleh diukur dengan uji
reliabilitas
dan
validitas
berdasarkan
Cronbach
Alpha
dengan
menggunakan program SPSS versi 15. AMOS 7. Digunakan untuk menganalisa structural equation model(SEM). Hubungan antar ketiga variabel yang diteliti menunjukan bahwa komitmen organisasi yang terdiri dari komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, komitmen normatif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan dengan tanda-tanda positif. Kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan dan memediasi pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan PT Perkebunan Nusantara III di Sumatera Utara. Sumber: Tobing, Diana Sulianti K. L. (2009). Pengaruh Komitmen Organisasional dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III di Sumatera Utara. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 11 (1): 31-37 -
Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia) Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi kerja, kepemimpinan, dan budaya perusahaan terhadap kepuasan kerja karyawan, dan dampaknya terhadap kinerja perusahaan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia di Surabaya dan Jombang sejumlah 1.737 orang pegawai. Penelitian ini menarik sampel dengan menggunakan metode atau teknik simple random sampling (teknik sampel sederhana), dimana jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus dari Taro Yamane sehingga besarnya sampel adalah
46 sebanyak 325 orang pegawai. Hasil penelitian membuktikan bahwa motivasi keerja, kepemimpinan, dan budaya organisasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Namun, kepemimpinan memiliki sifat hubungan yang negatif dengan kepuasan kerja. Motivasi kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan yang dipengaruhi oleh variabel intervening yaitu kepuasan kerja. Kepemimpinan dan buaya organisasi memilki hubungan yang signifikan terhadap kinerja perusahaan. Dari hasil penelitian, terdapaat 2 kesimpulan utama yang dapat diperoleh. Pertama, motivasi kerja tidak dapat dihubungkan secara langsung terhadap kinerja perusahaan jika tidak dihubungkan dengan kepuasan kerja. Kedua, kepemimpinan memiliki sifat hubungan yang negatif terhadap kepuasan kerja. Sumber: Brahmasari, Ida Ayu., & Suprayetno, Agus. (2008). Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 10 (2): 124-135 -
Is the job satisfaction-job performance relationship spurious? A metaanalytic examination Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara organization-based self-esteem (OBSE), work locus of control (WLOC), job satisfaction, dan job performance. Sampel data diperoleh dari data-data pada penelitian sebelumnya. Agar memenuhi syarat untuk dianalisis dalam meta-analisis, setiap penelitian harus menggunakan sampel orang dewasa yang bekerja dan menunujukkan hubungan antara setidaknya satu dari ciri-ciri kepribadian domain-spesifik
dan
kepuasan
kerja
dan/atau
kinerja.
Kriteria
ini
menghasilkan total akhir sebanyak 39 sampel untuk OBSE (29 berasal dari artikel jurnal yang diterbitkan, 5 berasal dari disertasi yang tidak dipublikasikan, dan 5 berasal dari manuskrip yang tidak diterbitkan) dan 70 sampel untuk WLOC (62 berasal dari artikel jurnal yang diterbitkan, dan 8 berasal dari disertasi yang tidak dipublikasikan). Hasil analisis meta data menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antar job satisfaction dengan job performance tersebut. Secara lebih spesifik, hubungan antara job satisfaction
47 dengan job performance tereliminasi secara parsial ketika variabel karakter kepribadian atau work locus of control (WLOC) dikendalikan, dan hubungan antar kepuasan kerja dengan kinerja hampir hilang secara keseluruhan ketika organization-based self-esteem (OBSE) dikendalikan. Sumber: Bowling, Nathan A. (2007). Is the job satisfaction-job performance relationship spurious? A meta-analytic examination. Journal of Vocational Behavior. 71: 167–185
2.3 Kerangka Pemikiran
Gambar 2. 2 Kerangka Penelitian Sumber: Penulis (2013)
2.4 Hipotesis Menurut Sekaran (2006, p.135) , hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang dapat ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Adapun hipotesis yang penulis rancang adalah hipotesis yang bersifat asosiatif, yang menjelaskan bagaimana hubungan dan pengaruh antar variabel dalam penelitian ini. Berikut adalah hipotesis yang peneliti rancang dalam penilitian ini:
48 Tujuan 1 H1 Pengujian secara parsial: Pengaruh Entrepreneurial Leadership (X1) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho: Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara siginifikan antara Entrepreneurial Leadership (X1) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha:
Terdapat
pengaruh
atau
kontribusi
secara
siginifikan
antara
Entrepreneurial Leadership (X1) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra H2 Pengujian secara parsial: Pengaruh Kepuasan Kerja (X2) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho: Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan antara Kepuasan Kerja (X2) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha: Terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan antara Kepuasan Kerja (X2) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra H3 Pengujian secara parsial: Pengaruh Komitmen Organisasi (X3) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho: Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan antara Komitmen Organisasi (X3) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha: Terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan antara Komitmen Organisasi (X3) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra H4 Pengujian secara simultan: Pengaruh Entrepreneurial Leadership (X1), Kepuasan Kerja (X2), dan Komitmen Organisasi (X3) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho : Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan dan simultan antara Entrepreneurial Leadership (X1), Kepuasan Kerja (X2), dan
49 Komitmen Organisasi (X3) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha : Terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan dan simultan antara Entrepreneurial Leadership (X1), Kepuasan Kerja (X2), dan Komitmen Organisasi (X3) terhadap Intrapreneurial Behavior (Y) pada MDS cabang Mall Ciputra
Tujuan 2 H5 Pengaruh antara Intrapreneurial Behavior (Y) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho : Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan antara Intrapreneurial Behavior (Y) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha:
Terdapat
pengaruh
atau
kontribusi
secara
signifikan
antara
Intrapreneurial Behavior (Y) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra
Tujuan 3 H6 Pengujian secara parsial: Pengaruh antara Entrepreneurial Leadership (X1) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho: Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara signifikan antara Entrepreneurial Leadership (X1) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha:
Terdapat
pengaruh
atau
kontribusi
secara
signifikan
antara
Entrepreneurial Leadership (X1) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra H7 Pengujian secara parsial : Pengaruh antara Kepuasan Kerja (X2) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho: Tidak terdapat pengaruh siginifikan antara Kepuasan Kerja (X2) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra
50 Ha: Terdapat pengaruh siginifikan antara Kepuasan Kerja (X2) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra H8 Pengujian secara parsial : Pengaruh antara Komitmen Organisasi (X3) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho : Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara siginifikan antara Komitmen Organisasi (X3) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha : Terdapat pengaruh atau kontribusi secara siginifikan antara Komitmen Organisasi (X3) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra H9 Pengujian secara simultan: Pengaruh Entrepreneurial Leadership (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), dan Intrapreneurial Behavior (Y) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Hipotesis : Ho : Tidak terdapat pengaruh atau kontribusi secara siginifikan antara Entrepreneurial Leadership (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), dan Intrapreneurial Behavior (Y) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra Ha : Terdapat pengaruh atau kontribusi secara siginifikan antara Entrepreneurial Leadership (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), dan Intrapreneurial Behavior (Y) terhadap Kinerja Organisasi (Z) pada MDS cabang Mall Ciputra