BAB 2 Landasan Teori
2.1.
Pengertian Sistem Informasi
2.1.1. Pengertian Sistem Informasi Menurut O’Brien dan Marakas (2008,p.4), sebuah sistem informasi bisa merupakan kombinasi dari orang-orang, hardware, software, jaringan komunikasi, dan sumber-sumber data yang disimpan, diperoleh, dirubah dan dihilangkan di dalam suatu organisasi. Orang-orang yang sudah bergantung pada sistem informasi untuk berkomunikasi dengan orang lain, dengan menggunakan berbagai macam hardware, software, jaringan, dan sumber-sumber data. Menurut Laudon (2010 p.46) sistem informasi adalah suatu komponen yang saling berhubungan yang bekerja sama untuk mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menghilangkan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan, koordinasi, pengontrolan, analisis dan visualisasi dalam suatu perusahaan. Sedangkan Martin (2004, p.355 ), mendefinisikan Sistem informasi sebagai koleksi yang besar dari teknologi informasi, prosedur, dan tanggung jawab dari perorangan untuk mendapat, menggerakkan, mengelola dan mendistribusikan data dan informasi. Menurut Connolly dan Begg (2005, p.282) sistem informasi adalah sumber daya yang memungkinkan pengumpulan, pengaturan, pengendalian dan peyebaran informasi ke seluruh organisasi. Dari beberapa definisi Sistem Informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi adalah rangkaian dari beberapa komponen penting seperti hardware, software, jaringan komunikasi, sumber-sumber data, teknologi informasi, prosedur dan tanggung jawab perorangan yang bekerja sama untuk mengumpulkan, memproses,
menyimpan
pengambilan
keputusan
dan dan
menghilangkan penyelesaian
informasi
masalah
serta
guna
mendukung
mengelola
dan
mendistribusikan data dan informasi yang penting. Aktifitas dasar dari Sistem Informasi menurut Laudon (2010, p46-47) adalah sebagai berikut: 1. Input 7
8 Melibatkan penangkapan atau pengumpulan data mentah dari dalam organisasi atau dari lingkungan eksternal untuk pengolahan dalam suatu sistem informasi. 2. Process Melibatkan proses mengkonversi input mentah ke bentuk yang lebih bermakna. 3. Output Mentransfer informasi kepada orang yang akan menggunakannya atau kepada aktivitas yang akan digunakan. 4. Feedback Output yang dikembalinkan ke anggota organisasi yang sesuai untuk kemudian membantu mengevaluasi atau mengoreksi tahap input. 2.2.
Pengertian analisis dan Perancangan Sistem
2.2.1. Pengertian Analisis Sistem Menurut Laudon ( 2010, p.515 ), Analisis sistem terdiri dari mendefinisikan maslaah, mengidentifikasi penyebabnya, menentukan solusi dan mengidentifikasi kebutuhan informasi yang harus memenuhi dengan solusi sistem. Analisis sistem adalah suatu teknik pemecahan masalah yang mengurai sistem menjadi potongan-potongan komponen untuk tujuan mempelajari seberapa baik bagian-bagian komponen bekerja dan berinteraksi untuk mencapai tujuan mereka (Whitten et al., 2007, p160). Dari beberapa pengertian diatas, dapat dismpulkan bahwa Analisis sistem adalah teknik pemecahan masalah yang terdiri dari mendefinisikan masalah, mengidentifikasi penyebabnya, menentukan solusi dan mengidentifikasi kebutuhan informasi yang memenuhi kebutuhan sistem. 2.2.2. Pengertian Perancangan Sistem Perancangan sistem adalah teknik pemecahan masalah komplementer (untuk analisis sistem) yang mengumpulkan kembali potongan komponen sistem ke dalam sistem yang lengkap yang sudah ditingkatkan.
Ini mungkin
melibatkan
menambahkan, menghapus, dan mengubah potongan relatif terhadap sistem yang asli (Whitten et al., 2007, p160). Menurut Laudon (2010, p.517), Perancangan sistem merupakan keseluruhan rencana atau model untuk sistem yang terdiri dari semua spesifikasi sistem yang memberikan bentuk dan struktur.
9 Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian perancangan sistem adalah teknik pemecahan masalah komplementer yang merupakan keseluruhan rencana atau model untuk sistem dengan menumpulkan kembali potongan komponen sistem ke dalam sistem yang lengkap yang sudah ditingkatkan yang memberikan bentuk dan struktur. 2.3. OOAD Karena pendekatan object-oriented memandang sebuah sistem informasi sebagai kumpulan interaksi objek yang bekerja sama untuk menyelesaikan tugas, object-oriented analysis (OOA) mendefinisikan semua jenis objek yang diperlukan user untuk bekerja dan memperlihatkan interaksi apa yanguserdiperlukan untuk menyelesaikan tugas.Object-oriented design (OOD) mendefinisikan semua jenis objek tambahan yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang dan perangkatperangkat sistem, menunjukkan bagaimana objek berinteraksi untuk menyelesaikan tugas (Satzinger, 2005, p60). 2.3.1. Unified Modelling Language Unified Modelling Language (Satzinger, 2005, p48) adalah kumpulan patokan suatu gagasan-gagasan dan notasi-notasi yang dikembangkan secara spesifik untuk pengembangan berbasis objek. Pendekatan object-oriented membutuhkan model yang saling terkait untuk menciptakan satu set spesifikasi lengkap. Beberapa model tersebut diperlukan untuk menentukan kebutuhan (requirement) dan mendesain (design). Unified Modelling Language menyediakan diagram standar untuk model-model yang dapat digunakan dalam pendekatan object-oriented. Beberapa UML diagram yang dapat digunakan dalam pengembangan sistem antara lain: use case diagram, class diagram, sequence diagram, communication diagram, state chart diagram, dan package diagram. Beberapa tambahan model juga digunakan namun bukan merupakan UML diagram, seperti event tables dan use case description. 2.3.2. Rich Picture Rich Picture menurut Mathiassen et al.(2000, p26), merupakan gambaran informal mengenai situasi yang digambarkan secara ilustrasi. Rich picture memiliki fokus
pada
aspek-aspek
penting
dari
situasi
yang
digambarkan.
Dalam
10 menggambarkan rich picture, awalnya kita perlu menggambarkan seluruh entitas yang penting, seperti: objek-objek, organisasi, peran maupun tugas. 2.3.3. Requirements Definitions (Satzinger, 2005, p212) Untuk menentukan kebutuhan sistem, analis menggunakan sekumpulan model berdasarkan use cases dengan pendekatan objectoriented. Empat model tersebut – use case diagrams, use case description, activity diagrams, dan system sequence diagram, yang digunakan untuk menggambarkan sistem use case dari berbagai sudut pandang. Model lain yang diidentifikasi adalah statechart diagram. Statechart diagram bukanlah pengendali use case tetapi pengendali objek.
Gambar 2.1Requirement diagrams dengan model-model UML Sumber : satzinger (2005, p 213) 2.3.3.1.
Use Case Diagram Use case diagram menurut Satzinger (2005, p213), adalah diagram yang
menunjukkan macam-macam peranan user dan cara user berinteraksi dengan sistem. Use case diagram(Satzinger, 2005, p213) berfungsi sebagai semacam tabel isi untuk kegiatan kegiatan bisnis yang perlu didukung oleh sistem. Usecase diagram ini digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana sistem digunakan dan actor yang akan terlibat dalam use case. Use case diagram merupakan cara termudah untuk mendokumentasikan peristiwa sistem.
11
Gambar 2.2Use case diagram Sumber : satzinger (2005, p 215-216) Use case diagram juga dapat diturunkan secara langsung dari event table, dari kolom berjudul "usecase". Event tabel terdiri dari baris dan kolom yang mewakili event-event dan detailnya masing-masing. Setiap baris dalam event table mencatat informasi mengenai satu event dan usecase nya. Sedangkan setiap kolom dalam event table mewakili bagian penting dari informasi mengenai event dan usecase. Trigger adalah sinyal yang memberitahu sistem di mana suatu event telah terjadi, yang perlu diproses bila datanya datang. Source adalah seorang agent eksternal yang menyediakan data ke sistem. Response adalah sebuah output yang dihasilkan oleh sistem yang ditujukan ke tujuan akhir (destination). Destination adalah seorang agent yang menerima data dari sistem. Tabel 2.1Event Table Sumber : satzinger (2005, p 176-177) Event
Trigger
Source
Use case
Response
Destination
12
2.3.3.2.
Use Case Description (Satzinger, 2005, p220) Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, membuat use
case diagram hanya satu bagian dari analisis use case. Use case diagram membantu mengidentifikasi berbagai proses yang dilakukan user dan yang didukung sistem. Untuk menciptakan sistem yang menyeluruh, yang kuat, yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan pengguna, kita harus dapat memahami semua detail langkahlangkahnya. Maka dalam pengembangan sistem diharuskan untuk membuat deskripsi lebih rinci. Dalam use case description, ini memberikan informasi penting mengenai keadaan sistem sebelum dan sesudah mengeksekusi use case, disebut precondition dan postconditions. Precondition menyatakan kondisi apa yang harus benar sebelum memulai suatu use case. Dengan kata lain, precondition mengidentifikasi keadaan sistem sebelum memulai use case, termasuk objek apa yang harus sudah ada, informasi apa yang harus tersedia dan bahkan kondisi actor harus seperti apa sebelum memulai use case. Sedangkan postcondition mengidentifikasi apa yang harus benar setelah selesainya use case. Item yang sama yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi awal
yang harus
dimasukkan
dalam keterangan
postconditions. Tabel 2.2Use case Description example Sumber : satzinger (2005, p 223) Use Case Name
Create new order
Triggering Events
Create new telephone order Customer telephones MO to purchases items from the catalog Telephone sales clerk Includes: Check item availability Sales departement: to provide primary definition Shipping departement: to verify that information contents is adequate for fulfillment Marketing departement: to collect customer statitstics for studies of buying patterns Customer must exist Catalog, Products, and Inventory items must exist for studies of buying patterns Order and order line items must be created
Brief Description Actors Related Use Case
Stakeholders
Preconditions Postconditions
13
Flow of events
Exception Conditions
Order transaction must be created for the order payment Inventory items must have the quantity on hand updated The order must be related (associated) to a customer Actor System 1. Sales clerk answers telephone and connct to a customer 2. Clerk verifies customer information. 3.1 Create a new order 3. Clerk initiates the creation of a new order 4. Customer requests an item be added to the 5.1 Display item order information. 5. Clerk verifies the item (Check item 6.1 Add an order item availability use case) 6. Clerk adds item to the order 7. Repeat steps 4, 5, 6 8.1 Complete order until all items are 8.2 Compute totals added to the order 8. Customer indicates 9.1 Verify Payment end of order; clerk 9.2 Create order enters end of order Transaction 9. Customer submits 9.3 Finalize order payment; clerk enters amount 2.1 If customer does not exist, then the clerk pauses this use case and invokes Maintain customer information use case 2.2 if customer has a credit hold, then clerk transfers the customer to a customer service representative 4.1 If an item is not in stock, then customer can a. Choose not to purchase item, or b. Request item be added as back-ordered item 9.1 If customer payment is rejected due to bad-credit verification, then a. order is canceled, or b. order is put on hold until check is received
14 2.3.3.3.
Activity Diagram Activity diagram menurut Satzinger (2005, p144), adalah jenis diagram alur
kerja yang menggambarkan aktivitas user dan urutan alurnya. (Satzinger, 2005, p226) Cara lain untuk mendokumentasikan skenario use case adalah dengan activity diagram. Activity diagram merupakan diagram yang mudah dipahami yang digunakan untuk mendokumentasikan alur kerja proses bisnis. Analis juga menggunakan activity diagram untuk mendokumentasikan aliran kegiatan untuk setiap skenario use case. Manfaat dalam membuat activity diagram adalah activity diagram lebih visual sehingga dapat membantu baik pengguna dan pengembang karena mereka bekerja sama untuk sepenuhnya membuat dokumen usecase. Untuk mendokumentasikan alur kerja (workflow) proses bisnis diperlukan penggunaan diagram. Workflow diagram atau sering disebut sebagai activity diagram merupakan sebuah diagram alur kerja yang menjelaskan berbagai user (atau sistem) dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara berurutan. Pada gambar 2.3 merupakan simbol-simbol dasar yang digunakan pada activity diagram. Swimlane merupakan individu yang melakukan kegiatan. Activity mewakili kegiatan individu dalam sebuah alur kerja. Transaction arrow mewakili urutan di antara kegiatan. Lingkaran hitam digunakan untuk menunjukkan awal dan akhir dari alur kerja. Decision activity adalah titik keputusan di mana aliran proses tersebut akan mengikuti satu jalan atau jalan lain.
15
Gambar 2.3 Simbol-simbol pada activity diagram Sumber : satzinger (2005, p 145)
2.3.3.4.
System Sequence Diagram
System Sequence Diagram menurut Satzinger (2005, p213), diagram yang menunjukkan urutan pesan antara pelaku eksternal dengan sistem dalam skenario usecase. (Satzinger, 2005, p213) System Sequence Diagramdigunakan untuk menentukan input dan output, dan urutan dari input dan output. SSD digunakan bersama dengan deskripsi detail atau dengan activity diagram untuk menunjukkan langkah-langkah proses dan interaksi antar actor dan sistem. Dalam sequence diagram, informasi yang masuk dan keluar dari sistem disebut messages.
16
Gambar 2.4System Sequence Diagram (SSD) Sumber : satzinger (2005, p 229)
2.3.3.5.
Statechart Diagram Statechart diagram menurut Satzinger (2005, p214), diagram yang
menunjukkan daur hidup suatu objek dalam state dan transition. (Satzinger, 2005, p237) Terkadang penting untuk sistem komputer untuk menyimpan informasi mengenai status objek problem domain saat ini. Kondisi dalam statechart untuk objek problem domain ini mirip dengan kondisi status objek tersebut. Statechart dapat dikembangkan untuk setiap kelas problem domain yang memiliki perilaku kompleks atau kondisi status yang perlu dilacak. Tidak semua kelas akan membutuhkan statechart. Jika objek di kelas problem domain tidak memiliki kondisi status yang perlu dikontrol prosesnya yang diperbolehkan untuk objek, statechart mungkin tidak diperlukan. State dari sebuah objek adalah suatu kondisi yang terjadi selama hidupnya ketika memenuhi beberapa kriteria, melakukan beberapa tindakan, atau menunggu untuk sebuah event. Transition adalah pergerakan dari sebuah objek dari satu status ke status yang lain. Ini adalah mekanisme yang mengakibatkan sebuah objek untuk meninggalkan status dan mengubah ke status yang baru.
17
Gambar 2.5Statechart Diagram Sumber : satzinger (2005, p 237)
2.3.3.6.
Problem Domain Classes
Problem domain classes menurut Satzinger (2005, p29) adalah segala sesuatu yang merupakan bagian lingkungan kerja user. Problem domain(Satzinger, 2005, p183), terdiri dari“sesuatu” yang berhubungan dengan pekerjaan user seperti produk,pesanan, invoices, dan pelanggan, dan sesuatu yang menjadi bagian dari sistem seperti orang yang memberikan informasi atau menerima informasi dari sistem. Dalam pendekatan object-oriented untuk pengembangan sistem, “sesuatu”di sini disebut sebagai problem domain classes. Kelas-kelas, hubungan antar kelas, dan attributedari kelas dimodelkan menggunakan domain model class diagram. Domain model class diagrammerupakan diagram UML yang menunjukkan hal-hal yang penting dalam pekerjaan user: kelas-kelas problem domain, hubungan antar kelas dan attributedari kelas. Pada class diagram, tabel menggambarkan kelas dan garis yang menghubungkan tabel menggambarkan hubungan antar class.
18
Gambar 2.6 Notasi UML class diagram Sumber : satzinger (2005, p 185-186) Multiplicity Berbagai notasi dibawah ini menggambarkan association yang terjadi antar class.
Gambar 2.7 Multiplicity hubungan Sumber : satzinger (2005, p 186) Hierarchy Beberapa struktur atau hirarki yang terdapat dalam class diagram. 1. Generalization: memungkinkan subclasses untuk berbagi karakteristik dengan superclass mereka. 2. Aggregation: menjelaskan adanya hubungan bagian-dari antar objek namun setiap bagiannya dapat berdiri sendiri.
19 Composition: menjelaskan adanya hubungan bagian-dari antar objek yang lebih kuat, dimana setiap bagian saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri.
2.3.4. Object Oriented Design Object oriented design(Satzinger, 2005, p294)adalah proses dimana serangkaian model object oriented design dibangun, kemudian programmer akan menggunakannya untuk menulis kode dan menguji sistem baru. Desain sistem adalah penghubung utama antara kebutuhan pengguna dan pemrograman untuk sistem baru. 2.3.4.1.
Deployment Environment
Deployment environment (Satzinger, 2005, p270) terdiri dari perangkat keras, sistem software, dan lingkungan jaringan di mana sistem akan beroperasi. 1. Single-computer architecture: arsitektur yang menggunakan satu sistem komputer untuk menjalankan semua aplikasi software. 2. Multitier architecture: arsitektur yang mendistribusikan aplikasi softwarenya atau melakukan pemrosesannya di beberapa sistem komputer. Multitier architecture menggunakan beberapa sistem komputer dengan upaya kerja sama
untuk
memenuhi
kebutuhan
pemrosesan
informasi.
Multitier
architecture dapat dibagi lagi menjadi dua jenis: a. Clustered architecture:sekelompok komputer yang memiliki spesifikasi yang sama dan bertindak sebagai sistem komputer tunggal yang besar. b. Multicomputer
architecture:sekelompok
komputer
yang
memiliki
spesifikasi yang berbeda. 3. Centralized architecture: arsitektur yang menempatkan semua sumber daya komputasi dalam satu lokasi pusat. 4. Distributed architecture: arsitektur yang menyebarkan sumber daya komputernya di beberapa lokasi yang dihubungkan dengan sebuah jaringan komputer. 2.3.4.2.
Software Architecture
(Satzinger, 2005, p276) Banyaknya hardware dan arsitektur jaringan yang kompleks membutuhkan software architecture yang kompleks pula. Client/server architecture adalah model umum software dan tingkah laku organisasi yang dapat diimplementasikan dalam berbagai cara. Client adalah sebuah proses, modul, objek, atau komputer yang meminta layanan dari satu server atau
20 lebih. Server adalah sebuah proses, modul, objek, atau komputer yang menyediakan layanan dalam jaringan. Three layer architecture adalah client/server architecture yang memisahkan aplikasi ke dalam viewlayer, business logic layer, dan data layer. Aplikasi dan database berada dalam server yang berbeda. 2.3.4.3.
Design Class Diagram Design class diagram (Satzinger, 2005, p302) adalah perluasan dari domain
model class diagram yang dikembangkan pada OO requirements. Domain model class diagram memperlihatkan kumpulan kelas-kelas problem domain dan hubungan antar kelas masing-masing. Dalam proses menentukan kebutuhan (requirements), analis biasanya tidak terlalu kuatir mengenai detail dari attributeclass atau methodnya. Karena dalam object oriented programming, attributeclass harus dideklarasikan sebagai public atau private dan setiap attribute juga harus didefinisikan tipenya, seperti numeric atau character. Namun selama proses mendesain (design), penting untuk menguraikan detailnya, seperti halnya mendefinisikan parameter yang diberikan ke method dan mengembalikan nilai dari method. Jadi design class diagram adalah versi detail dari domain model class diagram.
Gambar 2.8DesignClassDiagram dengan Attribute dan Method Sumber : satzinger (2005, p 305) 2.3.4.4.
Sequence Diagram Sequence diagram (Satzinger, \2005, p316) digunakan untuk menerangkan
interaksi objek dan dokumen. Detail sequence diagram menggunakan semua elemen yang sama seperti SSD. Perbedaannya, objek :System diganti dengan semua internal objek dan message di dalam sistem.
21
Gambar 2.9 Notasi dalam Sequence Diagram Sumber : satzinger (2005, p 315) 2.3.4.5.
Communication Diagram
(Satzinger, 2005, p334) Communication diagram dan sequence diagram keduanya menangkap informasi yang sama. Dalam proses mendesain sama saja menggunakan communication diagram atau sequence diagram. Communication diagram berguna untuk menunjukkan pandangan berbeda dari use case- yang menekankan pada penghubung. Untuk
actor,
objek
dan
message
dalam
communication
diagram
menggunakan simbol yang sama yang terdapat dalam sequence diagram. Lifeline dan simbol activation lifeline tidak digunakan. Akan tetapi simbol yang berbeda adalah simbol link yang digunakan. Links merupakan notasi pada communication diagram yang membawa pesan antara objek atau antara actor dan objek.
22
Gambar 2.10 Notasi pada Communication Diagram Sumber : satzinger (2005, p 335) 2.3.4.6.
Package Diagram (Satzinger, 2005, p339-341) Package diagram dalam UML adalah diagram
terakhir yang paling mudah, yang memperbolehkan designer menghubungkan classclass yang saling berhubungan. Bagian package diagram diilustrasikan tiga layar desain, yang mana meliputi view layer, domain layer dan data access layer. Notasi package adalah tab persegi panjang. Nama package biasanya ditampilkan di tab. Package diagram digunakan untuk menunjukkan komponenkomponen yang saling terkait dan saling tergantung. Packagediagram digunakan untuk menghubungkan kelas atau komponen dengan sistem lainnya seperti node jaringan.
23
Gambar 2.11 Notasi pada Package Diagram Sumber : satzinger (2005, p 341) 2.3.4.7.
User Interface
User interface (Satzinger, 2005, p442)Bagian sistem informasi yang membutuhkan interaksi user untuk menghasilkan input dan output. User interface melibatkan input dan output yang secara langsung melibatkan pengguna sistem. User Interface memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan komputer untuk mencatat transaksi. Kadang-kadang output dihasilkan setelah interaksi dari pengguna, seperti informasi akan ditampilkan setelah permintaan pengguna mengenai status pesanan. Dalam sistem berbasis web, pelanggan dapat berinteraksi langsung dengan sistem untuk meminta informasi, memesan, atau melihat status pesanan. 2.4. E-Business 2.4.1. Pengertian E-Business Pengertian e-business secara umum menurut Chaffey ( 2009, p.13 ) adalah proses pertukaran informasi secara elektronik, baik antara internal perusahaan dan dengan para stakeholder yang menunjang jangkauan bisnis proses-bisnis prosesnya. Menurut Turban ( 2006, p.4 ), e-business merupakan konsep yang lebih luas dari e-commerce yang mencakup tidak hanya kegiatan pembelian dan penjualan dari
24 barang dan jasa tetapi juga termasuk bagaimana pelayanan terhadap pelanggan, bekerja sama dengan partner bisnis dan melakukan kegiatan transaksi elektronik dalam organisasi. Sedangkan menurut Kotler and Amstrong ( 2004, p.74 ), e-business merupakan penggunaan peralatan elektronik, intranet, dan internet untuk mengadakan kegiatan bisnis perusahaan. Menurut O`Brien ( 2005, p.314 ), e-business adalah penggunaan internet ,jaringan dan teknologi informasi lainnya untuk mendukung kegiatan e-commerce, komunikasi dan kerja sama bagi perusahaan, dan mendukung berbagai proses yang dijalankan melalui website, baik dalam jaringan perusahaan maupun dengan para pelanggan serta mitra bisnis lainnya. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa e-business adalah proses melakukan aktivitas bisnis yang mencakup kegiatan pembelian dan penjualan dari barang dan jasa tetapi juga termasuk bagaimana pelayanan terhadap pelanggan, bekerja sama dengan partner bisnis dan melakukan kegiatan transaksi elektronik dengan bantuan internet dan jaringan teknologi informasi lainnya. 2.4.2. Model Business to Business ( B2B ) B2B (Turban, 2004, p217) adalah transaksi yang dijalankan secara elektronik antara bisnis melalui internet, ekstranet, intranet, atau jaringan pribadi. Transaksi ini dapat terjadi antara bisnis dengan bisnis yang lainnya. Bisnis tersebut merujuk pada organisasi, umum, atau swasta, profit atau non-profit. Karakteristik umum dari B2B (Turban, 2004, p218)dapat digambarkan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis karakteristik yang difokuskan. Berikut beberapa kualitas yang dapat dikarakteristikkan sebagai transaksi B2B 1. Pihak-pihak yang terlibat terhadap transaksi B2B dapat berlangsung hanya antara pembeli dan penjual atau bisa juga melalui perantara online. Perantara adalah pihak ketiga maya yang berdagang diantara pembeli dan penjual; dapat berupa perantara virtual atau perantara click-and-mortar. 2. Jenis Transaksi Transaksi B2B ada dua jenis dasar: spot buying dan strategic sourcing. Spotbuying mengacu pada pembelian produk dan jasa pada saat dibutuhkan, biasanya berlaku harga pasar, yang ditentukan secara dinamis oleh
25 permintaan dan persediaan. Pembeli dan penjual bisa saja tidak saling mengenal. Pertukaran saham dan komoditas adalah contoh spot buying. Sedangkan strategic sourcing melibatkan pembelian kontrak jangka panjang yang biasanya didasarkan pada negosiasi tertutup antara pembeli dan penjual. 3. Jenis Barang Dua jenis barang dan persediaan yang didagangkan di B2B: direct dan indirect. Direct materials adalah barang yang digunakan untuk membuat produk, seperti baja pada mobil, atau kertas pada buku. Karakteristik direct material yaitu digunakan secara berkala dan terencana. Biasanya dibeli dalam jumlah besar setelah negosiasi dan kontrak Indirect material adalah barang seperti kebutuhan kantor atau lampu pijar, yang
mendukung
produksi.
Biasanya
digunakan
untuk
aktivitas
pemeliharaan, perbaikan dan operasi. 4. Arah Perdagangan Pasar B2B dapat diklasifikasikan juga menjadi pasar vertikal, dan pasar horizontal. Pasar vertikal berkait pada satu industri atau segmen industri. Contohnya pasar elektronik, otomotif, logam atau kimia. Pasar horizontal berkait pada layanan atau produk yang digunakan diseluruh jenis industri. Contohnya kebutuhan kantor, komputer atau layanan perjalanan Model dasar transaksi B2B (Turban, 2004, p219-220), didasarkan pada jumlah pembeli dan penjualnya, adalah: 1. One-to-many dan many-to-one Pada jenis ini, satu perusahaan melakukan baik membeli maupun menjual. Karena e-commerce terfokus pada kebutuhan satu perusahaan pembeli atau penjual pada transaksi-traksaksi ini, yang disebut company-centric EC. Pada company-centric EC individu penjual maupun pembeli punya hak mengontrol pihak yang dapat berpartisipasi untuk membeli atau menjual serta sistem informasi pendukungnya. Maka transaksi-transaksi ini sangat pribadi. Oleh karena itu, pasar pembeli dan penjual dikategorikan sebagai private emarketplaces Perantara. Banyak company-centric market berlangsung tanpa bantuan perantara. Walau begitu, ketika mengarah kepada lelang atau untuk mengumpulkan pembeli-pembeli kecil, pihak perantara sering kali dipakai. 2. Many-to-many: exchanges
26 Pada pasar many-to-many, banyak pembeli dan banak penjual bertemu secara maya untuk saling berjualan. Ada jenis-jenis yang berbeda untuk jenis pasar elektronik ini yang juga dikenal sebagai exchange, trading community, atau trading exchange. Exchange biasanya dimiliki dan dijalankan oleh pihak ketiga atau oleh kongsi. Exchange terbuka untuk seluruh pihak yang tertarik (pembeli maupun penjual). 3. Collaborative commerce Suatu bisnis berhubungan dengan bisnis lainnya untuk tujuan yang lebih mendalam daripada membeli atau menjual. Satu contoh adalah collaborative commerce, antara lain komunikasi, perancangan, perencanaan dan pembagian informasi antara rekan bisnis. Untuk memasuki kategori collaborative commerce, kegiatan transaksi yang terjadi harus menggambarkan hal yang lebih daripada hanya transaksi finansial. 2.5. Procurement 2.5.1. Pengertian Procurement Procurement merupakan pembelian barang dan jasa oleh perusahaan. Procurement management (manajemen pembelian)adalah suatu koordinasi seluruh aktivitas yang berhubungan dengan pembelian barang dan jasa yang dibutuhkan untuk melaksanakan misi organisasi (Turban, 2004, p231) Sedangkan Kalakota dan Robinson (2004, p56) menjelaskan bahwa procurement mengacu pada semua aktivitas yang melibatkan proses mendapatkan barang-barang dari supplier meliputi pembelian dan juga kegiatan logistik ke dalam seperti transportasi, barang masuk dan penyimpanan di gudang sebelum barang tersebut digunakan. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa procurement tidak hanya merupakan aktivitas yang meliputi proses pembelian, kegiatan logistik ke dalam seperti transportasi, barang masuk dan penyimpanan di gudang, tetapi juga termasuk aktivitas pemilihan supplier, negosiasi harga, membangun strategi dengan supplier dan evaluasi supplier. Dalam penggunaan istilah purchasing dan procurement, sampai saat ini masih seringtertukar. Dan untuk dapat memahami perbedaannya, terdapat pada pelaksanaannya berbeda. Purchasing merupakan aktivitas pembelian barang atau aktual material dan aktivitas lain yang berhubungan dengan proses pembelian.
27 Sedangkan procurement lebih mengarah pada proses dan strategik, jadi selain proses mendapatkan barang, aktivitas lainnya antara lain pemilihan supplier, negosiasi harga, membangun strategi dengan supplier dan evaluasi supplier. 2.5.2. Manajemen Pengadaan Menurut Pujawan (2005, p9) fungsi pengadaan mencakup kegiatan-kegiatan antara lain memilih pemasok, mengevaluasi kinerja pemasok, melakukan pembelian bahan baku dan komponen, memonitor supply risk, membina dan memelihara hubungan dengan supplier. Berdasarkan pendapat Pujawan (2005, p139-141), secara umum tugas-tugas yang dilakukan bagian pengadaan mencakup : 1. Merancang relationship yang tepat dengan supplier. Bagian pengadaan bertugas untuk merencanakan kerjasama dengan supplier dan menetapkan jumlah supplier yang harus diatur untuk setiap produk. 2. Memilih supplier. Dalam proses pemilihan supplier, ini melibatkan evaluasi awal, undangan presentasi, kunjungan lapangan, dan sebagainya. 3. Memilih dan mengimplementasikan teknologi yang cocok. Bagian pengadaan harus mampu memilih dan mengimplementasikan teknologi yang cocok karena banyak aplikasi-aplikasi yang mendukung kegiatan pengadaan namun memiliki spesifikasi dan kegunaan berbeda-beda. 4. Mengatur data barang dan data supplier yang dibutuhkan. Bagian pengadaan harus memiliki data yang lengkap mengenai barang-barang maupun data tentang supplier-suppliernya. 5. Melakukan proses pembelian. Kegiatan ini merupakan pekerjaan rutin bagi bagian pengadaan. 6. Mengevaluasi kinerja supplier. Kegiatan ini penting untuk menciptakan daya saing yang berkelanjutan. Hasil penilaian dari evaluasi ini untuk menentukan peringkat supplier. Manajemen Pengadaan merupakan koordinasi dari semua kegiatan yang berhubungan dengan pembelian barang dan jasa yang dibutuhkan untuk mencapai misi dari suatu organisasi ( Turban, 2006, p.209 ). Jadi dapat disimpulkan bahwa manajemen pengadaan adalah kegiatan untuk mendapatkan input, baik barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan dari
28 pemasoknya untuk menjalankan proses bisnis perusahaan dan mencapai misi dari perusahaan. 2.6. E-Procurement 2.6.1. Pengertian E-Procurement E-procurement merupakan pengadaan barang dan jasa secara elektronik oleh perusahaan (Turban, 2004, p.232). Menurut Chafey, e-procurement (electronic procurement) yaitu “The electronic integration and management of all procurement activities including purchase request, authorization, ordering, delivery and payment between a purchaser and supplier.” Dengan kata lain e-procurement merupakan integrasi dan manajemen elektronik terhadap semua aktivitas pengadaan termasuk permintaan pembelian, pemberian hak, pemesanan, dan pengantaran serta pembayaran antara pembeli dengan pemasok. E-procurement adalah bentuk e-commerce untuk perantaraan produk dan jasa atau digunakan untuk tendering produk dan jasa antara perusahaan dengan pemasok. E-procurement merupakan aplikasi e-commerce untuk proses negosiasi dan perjanjian (contracting).
2.6.2. Proses E-Procurement Berikut ini adalah alur proses procurement yang digambarkan sebagai berikut:
29
Gambar 2.12E-Procurement Process Sumber: Turban (2004, p.233) Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa proses e-procurement dalam perusahaan dimulai dari pemilihan vendor dan produk yang akan dibeli hingga proses pembayaran kepada pemasok. 2.6.3. Tujuan E-Procurement Tujuan menggunakan sistem procurement ini pastinya akan menghasilkan penghematan biaya paling besar dalam struktur biaya organisasi dan implementasi dari e-procurement ini akan dapat mengurangi waktu proses pembelian secara signifikan (Chaffey, 2007). E-procurement juga dapat mengurangi waktu staff yang secara teratur dihabiskan untuk aktivitas pengadaan dan memberikan kesempatan
30 bagi staff untuk mempunyai lebih waktu mengerjakan aktivitas lain yang menambah nilai. Beberapa tujuan atau goal yang hendak dicapai melalui e-procurement menurut Turban et al (2006, 209) adalah : 1. Meningkatkan produktivitas staf-staf pembelian, memberikan lebih banyak waktu dan mengurangi tekanan pekerjaan kepada mereka. 2. Mengurangi harga pembelian melalui standarisasi produk, reserve auction, diskon, dan gabungan pembelian. 3. Meningkatkan aliran informasi dan manajemen. Dalam informasi mengenai supplier dan harga. 4. Meningkatkan proses pembayaran dan penghematan karena kelancaran pembayaran. 5. Membangun hubungan kerja sama yang efisien. 6. Memastikan pengiriman tepat waktu. 7. Mengurangi waktu proses dan pemenuhan order melalui otomatisasi. 8. Membuat proses pembelian cepat dan sederhana 9. Mempersingkat rekonsiliasi invoice. 10. Mengurangi biaya pemrosesan administratif. 11. Menemukan supplier baru yang dapat menyediakan barang lebih cepat dan murah. 12. Meminimalkan kesalahan manusia (human error) dalam proses pembelian maupun pengiriman. 13. Memonitor perilaku pembelian. 2.6.4. Keuntungan E-Procurement Menurut Tavi (2008), keuntungan dalam penerapan e-procurement salah satunya adalah perlindungan bagi perusahaan terhadap tindakan penipuan. Dengan adanya e-procurement yang memiliki tingkat keterbukaan dan kontrol yang baik, dapat membantu perusahaan untuk mengurangi penipuan yang terjadi selama proses pengadaan barang. 2.6.5. Jenis Aplikasi E-Procurement Menurut Pujawan (2005, p163) terdapat beberapa jenis aplikasi eprocurement yang masing-masing memiliki fitur yang berbeda. Jenis aktivitas yang
31 didukung oleh internet juga berbeda-beda. Secara umum ada beberapa jenis aplikasi e-procurement yaitu: 1. E-Catalogue: dengan adanya internet, perusahaan dapat memiliki katalog elektronik. Perusahaan mengumpulkan informasi supplier atau calon supplier dengan segala produk maupun jasa yang dapat mereka sediakan. Biasanya, ecatalogue dilengkapi dengan fitur pencarian (search) sehingga perusahaan akan dengan mudah mendapatkan informasi tentang produk atau jasa yang dibutuhkan. 2. E- Auction: merupakan aplikasi pendukung proses lelang. Lelang dilakukan oleh
pembeli
dengan
mengumpulkan
calon-calon
supplier.
Namun
sebelumnya pembeli telah memberi pengumuman akan adanya tender terhadap pengadaan suatu barang beserta dengan spesifikasi dan jumlah yang dibutuhkan. Secara elektronik, calon supplier akan megajukan penawaran harga dan selama proses lelang berlangsung mereka dapat melakukan revisi atau perubahan harga penawarannya tersebut. Pada akhir periode, supplier dengan penawaran harga terendah akan keluar sebagai pemenang. 3. B2B market exchange: aplikasi ini memungkinkan banyak pembeli dan banyak penjual bertemu secara virtual. Biasanya aplikasi ini dimiliki oleh pihak ketiga. 4. B2B private exchange: aplikasi ini bisa digunakan untuk membantu proses transaksi rutin dengan supplier. Perusahaan dapat mengirim pemesanan via elektronik, mengecek status pengiriman, melakukan transaksi pembayaran, dan sebagainya. Selain itu, perusahaan bisa menggunakan aplikasi ini untuk berbagi informasi tentang rencana produksi dan informasi lainnya dengan supplier. Supplier juga dapat berbagi informasi mengenai ketersediaan stok dan kapasitas produksi mereka. 2.7. Internet 2.7.1. Pengertian Internet Dalam buku Kotler dan amstrong (2010, p528), dikatakan bahwa Internet adalah web publik yang amat pesat dan dihubungkan oleh jaringan komputer, yang menghubungkan berbagai tipe pengguna diseluruh dunia sehingga membentuk suatu gudang informasi (information repository) yang amat besar.
32 Menurut Laudon (2010, p51), Internet adalah satu jaringan global yang menggunakan standar umum untuk menghubugkan jutaan jaringan yang berbeda. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Internet adalah sebuah jaringan komputer global yang dapat menghubungkan berbagai tipe jaringan pengguna yang berbeda diseluruh dunia. 2.7.2. World Wide Web ( WWW ) World Wide Webmenurut Philips (2003, p.1)merupakan suatu jaringan hypermedia global yang menyediakan jaringan komputer pada user dengan biaya efektif dan metode akses yang konsisten dengan beragam sumber daya informasi. Keuntungan signifikan dari World Wide Web yaitu informasi yang tersedia dapat diakses untuk banyak komputer dan autorisasi yang mengharuskan hanya satu orang mengakses sebuah program. 2.7.3. Web Server Web Server menurut Turban dan Lee (2000, p.393) merupakan suatu piranti lunak yang berfungsi untuk: 1. Mengawasi dan menyediakan akses, menentukan siapa yang dapat mengakses informasi tertentu di server. 2. Menjalankan script dan program eksternal untuk memberikan fungsi tambahan bagi dokumen web atau akses ke basis data. 3. Mengelola dan menjalankan fungsi server maupun isi situs pada suatu website. Mencatat transaksi yang digunakan pengguna, yang dapat berisikan karakter umum dari pengguna dan isi yang mereka minati untuk bereaksi terhadap permintaan dari klien atau pengguna melalui browser. 2.8. Flowchart Menurut Romney (2006, p70), Flowchart adalah teknik analitikal yang digunakan untuk menggambarkan beberapa aspek sistem informasi dengan jelas, ringkas dan logis. Flowchart menggunakan kumpulan simbol-simbol standar untuk menggambarkan prosedur pemrosesan transaksi yang digunakan perusahaan dan aliran data melalui sistem.
33 2.9. IT Infrastructure Flexibility 2.9.1. Infrastruktur IT (IT Infrastructure) Menurut Laudon (2004, p14) Infrastruktur TI adalah komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak komputer, teknologi penyimpanan, dan jaringan yang menjadi sumberdaya teknologi informasi bagi perusahaan. Menurut Turban (2012, p32) Infrastruktur TI adalah kumpulan dari perangkat keras, perangkat lunak, proses-proses, jaringan dan user. Menurut Weill (2004, p34) Infrastruktur TI adalah dasar kinerja TI (baik teknis maupun manusia) yang telah direncanakan yang ada pada bisnis sebagai layanan yang dapat digunakan bersama, diandalkan, dan digunakan untuk berbagai aplikasi. Menurut Rockart (1995, p49) yang dikutip oleh Byrd dan Turner (2000), infrastruktur TI teknis dari telekomunikasi, komputer, perangkat lunak dan data yang terintegrasi dan terhubung sehingga semua jenis informasi dapat ditelusuri dengan baik—dan mudah dari sudut pandang pengguna—dialurkan melalui jaringan dan proses yang dirancang ulang. Karena infrastruktur TI terdiri dari beberapa komputer yang manual atau kompleks, infrastruktur yang konsisten lebih murah dioperasikan daripada yang independen atau bebas, dan infrastruktur yang terpisahpisah. Sebagai tambahan, infrastruktur yang efektif adalah prasyarat untuk melakukan bisnis global dimana berbagi informasi dan pengetahuan melalui organisasi meningkat pesat. Menurut Broadbent, M.; Weill, P.; O’Brien, T.: dan Neo, B,S.: dalam Firm Context and Patterns of IT infrastructure capability. Proceeding of the Seventeenth International Conference on Information Systems (1996, p174-179) yang dikutip oleh Byrd dan Turner (2000) IT infrastruktur adalah berbagi sumberdaya TI yang terdiri dari dasar fisik teknis dari perangkat keras, perangkat lunak, teknologi komunikasi, data dan program inti dan kompetensi manusia pada skill, keahlian, kompetensi, komitmen, nilai, norma, dan pengetahuan yang digabungkan untuk membuat layanan TI yang unik pada perusahaan. Layanan TI ini menyediakan dasar berkomunikasi melalui seluruh perusahaan dan untuk pengembangan dan implementasi penggunaan bisnis saat ini dan masa depan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa infrastruktur TI terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak komputer, teknologi penyimpanan,
34 jaringan, dan user yang menjadi sumber daya teknologi bagi perusahaan yang terintegrasi dan terhubung sehingga semua jenis informasi dapat ditelusuri dengan baik—dan mudah dari sudut pandang pengguna sebagai layanan yang dapat digunakan bersama, diandalkan, dan digunakan untuk berbagai aplikasi, melakukan bisnis global dimana berbagi informasi dan pengetahuan melalui organisasi meningkat pesat. 2.9.2. Komponen Infrastruktur TI Menurut Menurut Laudon (2004, p14) Komponen Infrastruktur TI antara lain: 1. Computer Hardware Alat fisik yang digunakan untuk menerima masukan, memproses, dan memberikan keluaran dari aktivitas suatu sistem informasi. Terdiri dari; CPU, alat input, alat output, dan alat penyimpanan, serta peralatan fisik untuk menghubungkan seluruh peralatan tersebut bersama. 2. Computer Software Terdiri
dari
perintah-perintah
yang
terprogram
secara
rinci
yang
mengendalikan dan mengkoordinasi perangkat keras komputer dalam suatu sistem informasi. 3. Storage Technology Terdiri dari media fisik untuk menyimpan data, seperti cakram optik, dan perangkat lunak yang mengaturnya. 4. Communication Technology Terdiri dari alat fisik dan perangkat lunak, menghubungkan berbagai perangkat keras dan mengirimkan data dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Komputer dan peralatan komunikasi dapat dihubungkan pada suatu jaringan untuk berbagi percakapan, data, gambar, suara atau bahkan video. (Terry Anthony Byrd, Douglas E Turner, Measuring the Flexibility of Information Technology Infrastructure: Exploratory Analysis of a Construct, Journal of Management Information System (2000) 17, 1, 167-208). Menambahkan: 5. Human IT Infrastructure Terdiri dari karyawan dan skill organisasional, keahlian, kompetensi, pengetahuan, komitmen, nilai, norma dan struktur organisasi.
35 2.9.3. IT Infrastructure Flexibility Fleksibilitas muncul sebagai kunci kunci kompetitif prioritas di banyak aktivitas organisasi seperti manufaktur, siasat teknologi canggih, otomatisasi, keuangan, dan teknologi informasi. Fleksibilitas dalam pengertian manajemen didefinisikan sebagai tingkat dimana perusahaan memiliki berbagai prosedur aktual dan potensial yang banyak dan dengannya dapat menggunakan prosedur ini untuk mengendalikan kemampuan manajemen dan meningkatkan pengendalian organisasi terhadap lingkungannya. IT Infrastructure Flexibility adalah kemampuan untuk menyatukan atau mendukung variasi luas perangkat keras, perangkat lunak, teknologi komunikasi, data, program inti, kemampuan dan kompetensi, komitmen dan nilai pada bentuk fisik dan komponen karyawan pada infrastruktur TI yang ada dengan mudah dan tanggap. (Terry Anthony Byrd, Douglas E Turner, Measuring the Flexibility of Information Technology Infrastructure: Exploratory Analysis of a Construct, Journal of Management Information System (2000) 17, 1, 167-208) 2.10. Indikator Fleksibilitas Infrastruktur TI Duncan, N.B
dalam Capturing flexibility of information technology
infrastructure: a study of resource characteristics and their measure. Journal of Management Information Systems (1995, 12, 2 p37-57) yang dikutip oleh Byrd dan Turner (2000) telah melakukan penelitian aspek teknis pada fleksibilitas infrastruktur TI lebih presisi melalui kualitas Connectivity, Compatibility dan Modularity. Connectivity Adalah
kemampuan
komponen
teknologi
untuk
terhubung
dengan
komponen-komponen lain didalam dan diluar lingkungan perusahaan Compatibility Adalah kemampuan untuk berbagi informasi dalam bentuk apapun melalui komponen teknologi. Pada titik terbawah, hanya dapat berbagi pesan teks dan pada titik tertinggi dapat berbagi dokumen, proses, layanan, video, gambar, teks, audio atau kombinasi-kombinasinya dan dapat digunakan pada berbagai sistem. Modularity Adalah kemampuan untuk menambahkan, merubah dan menghilangkan perangkat lunak, perangkat keras atau komponen data apapun pada infrastruktur
36 dengan mudah dan tanpa berefek signifikan. Modularitas juga berhubungan dengan tingkat dimana perangkat lunak, perangkat keras dan data dapat dengan mudah dihubungkan dengan infrastruktur atau dapat dengan mudah didukung oleh infrastruktur. 2.11. Dukungan Manajemen Puncak Attitudinal interpretations cast Top Management Support (TMS)as a set of favorable attitudes that are manifested in such ways as 'active and enthusiastic approval' (Sultan and Chan, 2000: 111), involvement ('psychological state of the CEO, reflecting the degree of importance placed on information technology by the chief executive') (Jarvenpaa and Ives, 1991: 206; Liang et al. , 2007), commitment (Keil, 1995b: 422), and'opinions or desires' (Fishbein and Ajzen, 1975; Zmud, 1984; Leonard-Barton and Deschamps, 1988: 1254; Teo and King, 1997). The behavioral interpretation, on the other hand, defines TMS as a set of direct managerial behaviors such as offering technical assistance to help solve hardware and software difficulties (Compeau and Higgins, 1995: 197), engaging in 'activities or substantive personal interventions' (Jarvenpaa and Ives, 1991: 206), taking on 'sponsorship for a project' (Wixom and Watson, 2001: 29), and 'facilitating ERP assimilation' (Liang et al. , 2007: 5). (Linying Dong, Derrick Neufeld, Chris Higgins, Top management support of enterprise systems implementations,Journal of Information Technology(2009) 24, 61). Definisi diatas mengacu bahwa, dukungan manajemen puncak merupakan sikap dan perilaku manajemen untuk menciptakan iklim yang mendukung dan langsung memberikan pengaruh terhadap suatu adaptasi di antara teknologi dan perusahaan. 2.12. Indikator Dukungan Manajemen Puncak Top management’s support to IT/IS is identified as understanding the importance of IT/IS, supporting initiatives of IT/IS personnel and participating in projects of IS activities (Ragu-Nathan, Apigian, Ragu-Nathan, & Tu, 2004). The most important finding in our research that the IT/IS personnel can acquire top management’s support if they have an adequate role, knowledge and skills. As shown by the above model, adequate knowledge mainly includes business and managerial knowledge and skills, while an adequate role is thhe business role of IT/IS in the company.
37 Some aspects have already been detected in earlier research. It has namely been that successful communication is crucial for the partnership (Coughlan, et al. 2005; Huang & Hu, 2007) and that CIO should be attentive to communication with users and top management (Earl & Feeney, 1994). We therefore suggest that CIOs should have active communication with users and constantly present IT to the top management as an effective tool for achieving business goals. To achieve top management’s support CIOs should be attentive to the fact that a company employs IT/IS personnel who already have business and managerial knowledge. In addition, constant knowledge and skill improvement is crucial.(Mojca Indihar Stemberger, Anton Manfreda, Andrej Kovacic, Achieving Top Management Support with Business Knowledge and Role of IT/IS Personnel, International Journal of Information Management,(2011) 31(5), 428-436). Berdasarkan kutipan jurnal diatas, dinyatakan bahwa indikator-indikator dukungan manajemen puncak, antara lain: Manajemen puncak memahami pentingnya TI/SI perusahaan. Manajemen puncak berpartisipasi dalam suatu proyek TI/SI perusahaan. Karyawan TI/SI perusahaan memiliki cukup peranan dalam TI/SI perusahaan, pengetahuan bisnis, dan skill manajerial. Karyawan TI/SI harus memiliki komunikasi aktif dengan user Karyawan TI/SI secara berkala menyajikan TI sebagai perangkat efektif untuk mencapai tujuan bisnis. 2.13. Supplier Relationship 2.13.1. The Nature of Business Relationship Menurut Jurnal (Marek Szwejczewski, Fred Lemke, Keith Goffin, Manufacturer-Supplier relationships: An empirical study of German manufacturing companies, International Journal of Operations & Production Management, (2005), 25,9/10, 875) memaparkan: “Hubungan bisnis telah banyak didefinisikan dalam berbagai literature, mmulai dari “hubungan bisnis yang baik adalah hubungan yang disesuaikan pada keadaan yang tepat dari berbagai rangkaian kesatuan yang mungkin dari jenis suatu hubungan” (Cooper dan Gardner, 1993, p. 14) sampai “hubungan inter-organisasi adalah melakukan transaksi-transaksi, alur-alur dan hubungan-hubungan yang terjadi diantara organisasi dengan satu atau lebih organisasi di lingkungannya” (Oliver,
38 1990, p. 241). Peneliti telah mengembangkan gambaran-gambaran dari banyak jenis hubungan. Gummeson (1997) mendefinisikan 30 bentuk hubungan sendiri dan hal ini mengilustrasikan bervariasinya sudut pandang pada konsep hubungan. Umumnya, gambaran dari hubungan-hubungan relatif abstrak dan bervariasi sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang diteliti (seperti, strategi, ekonomi atau psikologi). Meskipun begitu, kumpulan opini telah mencapai apa yang mengindikasikan telah dibentuknya suatu hubungan bisnis, “segera setelah dua atau lebih pihak (organisasi) mengasosiakikan dirinya dengan tujuan untuk memenuhi tujuan bisnis bersama”. Asosiasi ini mengarah pada berbagai aktivitas bersama, yang bergantung pada tujuan bisnis tertentu. Kunci hubungan bisnis, dimana dua pihak berasosiasi, adalah antara produsen dengan pemasok (Ellram, 1991). Di masa lalu, tujuan dari hubungan produsen dengan pemasok telah difokusskan pada peningkatan kualitas, pengiriman tepat waktu, dan khususnya, pengurangan biaya (Lamming. 1993; Lemke et al., 2003). Sejak lama fokus pada biaya di manajemen pemasok tampak pada tujuan yang berupa maksimisasi keuntungan. Drucker (1995, p.122) setuju bahwa pemikiran tradisional ini “bagaimanapun selalu telah dirasa oleh bisnis sebagai hal yang dibeli dengan murah dan dijual dengan mahal. Pendekatan baru mendefinisikan bisnis sebagai organisasi yang menambah nilai dan menciptakan kekayaan”. Dalam lingkungan bisnis yang dihadapi produsen saat ini, hubungan seharusnya tidak berfokus hanya pada peningkatan perbedaan diantara biaya pembelian dan harga jual – dibutuhkan pengembangan suatu hubungan yang kekal (Anderson and katz, 1998; Kim, 1999). Perubahan penekanan dari pengurangan biaya untuk meningkatkan kualitas dan memanfaatkan potensi inovatif pemasok untuk menghasilkan nilai telah mempengaruhi hubungan dengan pemasok. Leenders dan Fearon (1997, p.282) menekankan dalam penuturannya bahwa “keseluruhan seni dari manajemen hubungan pemasok dari sudut pandang pemasok adalah untuk memberikan kedua belah pihak hubungan kerja yang efektif”. Hal pasti dari suatu hubungan telah berubah setelah beberapa dekade.” Dari pemaparan diatas disimpulkan bahwa, supplier relationship adalah hubungan yang disesuaikan pada keadaan yang tepat dari berbagai rangkaian kesatuan yang mungkin dari jenis suatu hubungan untuk memberikan kedua belah pihak hubungan kerja yang efektif dengan pemasoknya.
39 2.13.2. The Development of Supplier-Manufacturer Relationship McGinnis dan McCarty (1998, p.13) menganjurkan “pada usaha untuk mengoptimalkan pembelian eksternal, perusahaan memulai dengan proses pembelian baru yang canggih dan merubah hubungan yang mereka miliki dengan para pemasok mereka”. Gambar 2.13 menunjukkan pengembangan hubungan produsen dan supplier selama 40 tahun.
Gambar 2.13Pengembangan Hubungan Produsen dan SupplierSelama 40 Tahun Sumber : Marek (2005, p878) Hubungan tradisional pada 1960 sampai 1970-an ditandai dengan pendekatan adversarial arm’s-length. Lamming (1993, p.149) mensurvei hubungan produsenpemasok pada industri automotif Inggris dan mengidentifikasi pada saat itu ada “periode yang cukup tenang pada permintaan dan pasokan domestik yang cukup seimbang untuk banyak produsen”. Pernyataan tersebut cocok untuk pembelian tradisional, yang berorientasi pada harga. Tekanan untuk perubahan signifikan rendah, tetapi meningkat pada dekade berikutnya sehingga hubungan logistik digunakan. Hal tersebut memberikan tekanan untuk membuat perpindahan bahan baku dari pemasok ke produsen lebih efisien (Da Vila dan Panizzolo, 1996). Pada awal 1990an, hubungan-hubungan lebih dibutuhkan pada tingkat interaksi yang lebih tinggi karena penambahan kebutuhan akan inovasi produk dan kerjasama
40 pengembangan
teknologi
–
dan
interaksi
tingkat
tinggi
ini
disebut
partnership(Lamming, 1993). Sayangnya, belum jelas bagaimana tepatnya partnership berbeda dengan bentuk lain hubungan. Lemke et al’s (2003) penelitian atribut
partnership
jarang
dilakukan.
Karena
terbatasnya
sampel,
namun
penemuannya tidak bisa digeneralisasikan. Hal yang sama pun terjadi bagaimana hubungan pemasok-produsen akan berkembang pada tahun 2000.
2.14. Indikator Supplier Relationship Menurut Jurnal (Marek Szwejczewski, Fred Lemke, Keith Goffin, Manufacturer-Supplier relationships: International Journal of Operations & Production Management, (2005), 25,9/10, 875) memaparkan, “a long-term perspective is a prerequisite for a higher degree of integration among partners and greater level of information exchange. Purchasing managers became information broker as they form the interface between the manufacturers’ site and their supplier base” Jurnal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pertukaran informasi menjadi indikator yang mempengaruhi hubungan dengan pemasok. Menurut Jurnal (Roger Bennett, Helen Gabriel, Reputation, Trust and Supplier Commitment: The Case of Shipping Company/Seaport Relations, The Journal of Business & Industrial Marketing (2001), 16,6/7, 424) Pentingnya rasa percaya Rasa percaya adalah fungsi penting pada setiap hubungan. Dalam situasi bisnis, rasa percaya pada pemasok diperlukan untuk mendorong komitmen dan kesediaan pembeli untuk berinvestasi pada suatu hubungan. Rasa percaya membuat kondisi untuk pengembangan komitmen, mengurangi rasa takut pembeli akan suatu resiko, mendorong kedekatan pada suatu hubungan dan menghilangkan customer defection terhadap pemasok-pemasok lain secara efektif. Namun, untuk mencapai tingkat rasa percaya tertentu jelas butuh waktu. Rasa percaya dibangun berdasarkan dua sisi yang dipelajari dengan bekerja satu dengan yang lainnya, berangsur-angsur memecahkan ketidakpastian dan saling mendekatkan keduanya. Proses ini adalah prasyarat untuk membangun hubungan jangka panjang dimana kedua pihak mencoba untuk saling memperlihatkan sumberdaya-sumber daya-nya dan keunggulankeunggulannya serta beradaptasi untuk kebutuhan.
41 Kontribusi reputasi perusahaan Reputasi pemasok mebuat kontribusi penting untuk mengembangkan rasa percaya; tentu reputasi dapat dijadikan ukuran kepercayaan dan juga indikator reliabilitas. Bagi pihak luar, reputasi dibangun dari seluruh kesan proses kinerja berdasarkan imej, identitas perusahaan, dan pesan pemasaran. Pengalaman, laporan dari mulut ke mulut, profil media, dan komunikasi PR seluruhnya mempunyai bagian untuk menghasilkan kesan ini. Reputasi perusahaan pun dihasilkan membutuhkan waktu. Reputasi yang baik secara bersamaan menghasilkan harapan untuk perusahaan dan memberikan keunggulan bersaing yang dapat membantu perusahaan untuk bertahan terhadap publisitas yang tidak baik Mensurvei hubungan antara pelabuhan UK dan pemasoknya Penelitian terhadap interaksi antara pelabuhan UK dan beberapa perwakilan dari pelanggannya ingin mengkonfirmasikan pentingnya reputasi pemasok pada pengembangan loyalitas pembeli. Untuk itu survei mengeksplorasi lima faktor pada hubungan pembeli dan pemasok: pengaruh kedekatan pemasok didorong oleh persepsi pembeli terhadap reputasi pemasok efek reputasi pada hubungan antara rasa percaya dan kedekatan efek reputasi pada hubungan antara rasa percaya dan komitmen efek reputasi pada hubungan antara rasa percaya dan keinginan utuk beradaptasi dan membuat investasi hubungan spesifik pada lingkup seperti sistem bisnis dan peralatan pentingnya reputasi perusahaan sebagai gerbang untuk rasa percaya pada hubungan baru Survei ini mengeksplorasi hubungan yang ada antara tiga pelabuhan UK, tilbury, felixstowe dan liverpool, dan beberapa perwakilan dari pelanggannya seperti perusahaan perkapalan, agen pengatur pengiriman utamanya dan perjanjian kerja sama bisnis temporernya. Peneliti survei sadar bahwa beberapa agen perkapalan menghindari untuk terlalu terlibat pada prosedur penanganan barang pelabuhan individual dengan merubah allegiance-nya secara berkala. Sementar itu, yang lainnya membangun hubungan-hubungan dengan beberapa pelabuhan dan bekerja dekat dengan mereka untuk mengurangi waktu perubahan haluan dan seterusnya. Efek reputasi terhadap pengembangan rasa percaya
42 Pelanggan yang mensurvei ditanyai beberapa aspek dari pelabuhan yang memberikan pelayanan seperti manajemen,tingkat layanan, kelangsungan keuangan, tanggung jawab lingkungan dan inovasi. Sasarannya adalah untuk mendapatkan tinjauan reputasi pelabuhan. Pelanggan-pelanggan juga ditanyakan tentang hal-hal seperti berbagi informasi dan adaptasi hubungan spesifik, tingkat komitmen dan biaya pindah potensial, dan tingkat kepercayaan dan kepuasan. Survei tersebut menghasilkan lima hipotesis yang telah dieksplorasi dan implikasi jelas untuk manajemen. Hubungan harus di pelihara dan perusahaan harus membangun reputasi yang kuat jika mereka ingin dipercaya. Reputasi perusahaan yang positif harus disiarkan dengan gencar, menekankan hal-hal penting seperti efisiensi, fleksibilitas, keamanan, akses mudah untuk menyokong layanan dan efektifitas biaya – dan usaha memperkenalkan berbasis-reputasi harus mentargetkan pelanggan potensial secara spesifik, atau mereka yang memiliki sedikit pengalaman bekerja dengan perusahaan. Pelatihan ini meningkatkan pengembangan rasa percaya. Menurut Jurnal (Yolanda Polo Redondo, Jesus J Cambra Fierro, Moderating Effect of Type of Product Exchanged in Long-Term Orientation of Firm-Supplier Relationships: an Empirical Study, The Journal of Product and Brand Management (2005), 14, 7, 424) Data kami menunjukkan bahwa kerjasama, komunikasi, rasa percaya, kepuasan dan komitmen mempengaruhi orientasi sementara hubungan dengan pemasok.
Tapi
mengidentifikasi
pemasok-pemasok terlebih
dahulu
yang seberapa
ingin
mengelola
penting
produk
situasi mereka
harus bagi
pelanggannya. Setelah itu, mereka harus menawarkan produk-produk dengan standar kualitas, harga, ketentuan pengiriman, dan garansi yang diinginkan ... tapi didukung dengan beberapa elemen tambahan. Dengan cara ini, mereka harus mengingat bahwa pada konteks pasar industri secara umum, dan sektor pangan pada khususnya, untuk menawarkan produk yang baik tidaklah cukup. Perusahaan harus terus mengingat aspek-aspek tambahan. Pertama, perusahaan menilai positif orientasi hubungan dengan fungsi suplai mereka, karena hal tersebut juga mengurangi tingkat ketidakpastian terkait dengan pemilihat pemasok. Sebagai tambahan, hal tersebut mengarah pada penghematan penting sumberdaya yang dapat diarahkan untuk penggunaan lain. Namun, hasil investigasi mengindikasikan tingkat komitmen perusahaan-perusahaan terhadap pelanggan-pelanggannya semakin baik semakin penting faktor produksi terlibat bagi perusahaan. Maka pemasok harus memahami
43 pentingnya produk yang disediakan untuk pelanggan perusahaan tersebut dan dari sudut pandang ini menuntukkan bahwa memungkinkan untuk memenuhi kepuasan pelanggan perusahaan tersebut. setidaknya hal tersebut harus jelas bagi pelanggan perusahaan bahwa bahan pasokan tersebut penting sebagai ciri produk akhir, yang memberikan switching cost secara psikologis bagi fungsi supply, yang akan menghasilkan komitmen dengan sendirinya pada hubungan, dan mengarahkannya untuk jangka panjang. Untuk itu, penting untuk bertukar informasi dengan lancar antara pemasok dan pelanggannya. Kami menemukan bahwa ada proses dua arah dimana pemasok mungkin adalah agen yang harus memberikan usaha lebih, untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan. Maka, tujuan perusahaan harus merancang sistem yang menjamin kontak tingkat personal yang sering dan efektif dengan pelangganpelanggannya, yang dapat mengadaptasi kemungkinan perubahan lingkungan yang menetapkan hubungan. Jika ada pertukaran informasi berharga dua arah yang lancar, kami dapat mengharapkan pelanggan mempercayai pemasoknya, dan kepuasan akan bertumbuh. Kepercayaan, secara umum bergantung pada perilaku dan tidak pada janji yang disepakati. Kesan bahwa pelanggan memiliki pemasoknya itu penting pada awal hubungan, ketika perilaku diperhatikan selama berlangsungnya hubungan akan mengganti kesan secara berkala. Rasa percaya menjadi penting untuk mencapai kepuasan dan komitmen pelanggan. Aspek seperti brand, pertukaran informasi, perhatian tulus pada masalah pelanggan, dan memenuhi janji, adalah hal yang harus diperhatikan dengan ketat oleh pemasok. Membuat janji yang tidak mampu dipenuhi bukanlah hal yang direkomendasikan. Kerja sama terjadi dalam berbagai bentuk. Mengembangkan proyek penelitian umum atau
kampanye promosi adalah pilihan yang baik. Walaupun
kolaborasi dapat juga terbatas pada konteks internal hubungan: ketika pelanggan memiliki masalah proses produksinya dan pemasok tertarik atau memberikan saran untuk membantu menyelesaikannya, perusahaan akan sangat menghargai bantuan ini, dan hasilnya tingkat kepuasan yang dirasakan akan banyak meningkat. Akhirnya, komitmen menunjukkan keinginan untuk menjaga hubungan tetap ada. Kami memahami bahwa dari sudut pandang pelanggan, ketika pemasok memenuhi harapan pelanggan maka komitmen pelanggan terhadap hubungan akan tumbuh. Pemasok dapat menunjukkan komitmen dengan kerjasama, mendedikasikan
44 waktu dan karyawan untuk mengunjungi pelanggan, atau menginvestasikan aset-aset tertentu dari faktor-faktor tersebut. setidaknya sinyal ini harus dirasakan oleh pihak lain untuk menentukan hubungan menjajaki jangka panjang.
2.15. Kinerja Perusahaan yang sangat berorientasi pada profit, banyak yang memandang bahwa karyawan adalah mesin pencetak uang sehingga perusahaan lupa untuk memberikan maintenance dengan baik. Padahal karyawan itu sendiri adalah sebuah investasi yang perlu untuk selalu dipelihara agar berproduksi dengan semaksimal mungkin. Konsep tentang kinerja diungkapkan oleh Gibson, et al (2009 p371) job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja keefektifan dari kinerja lainnya. Dengan demikian, kinerja memfokuskan pada hasil kerjanya. Mathis dan Jackson (2006, p378), mendefinisikan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan. 2.16. Indikator Kinerja Procurement Menurut Jurnal (Rupert A. Brandmeier, Florian Rupp, Benchmarking Procurement Functions: Causes For Superior Performance,Benchmarking: an International Journal Vol. 17 no. 1, (2011), 5-26). Ditemukan lima faktor yang mempengaruhi kinerja procurement: Finding 1, (Procurement success depends on integration). The better the integration of the procurement unit within the company, the better is the overall application of the procurement levers and vice versa. Kesuksesan procurement bergantung pada integrasi. Semakin baik integrasi departemen
procurement
dengan
perusahaan,
semakin
baik
keseluruhan
aplikasiprocurement lever dan sebaliknya. Hasil temuan ini mudah untuk dipahami jika kita memikirkan tentang skenario realistis aktivitas yang tidak terkoordinasi dari departemen procurement yang terisolasi yang fungsinya untuk memenuhi kebutuhan untuk produksi. Finding 2, (Procurement success depends on cross-functional interaction). The better the cross-functional interaction of the procurement with other units, the better is the overall application of the procurement levers and vice versa.
45 Kesuksesan procurement bergantung pada interaksi antar departemen fungsionalnya. Semakin baik interaksi antar unit fungsional departemen procurement dengan departemen lainnya, semakin baik keseluruhan aplikasi procurement lever dan sebaliknya. Penurunan pemenuhan pesanan, tidak terintegrasinya proses penentuan keputusan dan tidak dihormati oleh antar departemen, banyak usaha procurement menguap begitu saja, jika levers tidak diaplikasikan. Finding 3, the better the training, the better is the overall application of the procurement levers and vice versa. Semakin baik pelatihan, semakin baik keseluruhan aplikasi procurement lever dan sebaliknya. Hasil temuan ini mengejutkan. Diketahui banyak departemen procurement dari pemain global dan perusahaan teknologi mutakhir menderita kekurangan ahli, tidak adanya hubungan antara pendidikan dan (kesuksesan) penggunaan beberapa procurement levers sangat diragukan. Negosiator ulung tidak perlu memiliki titel MBA atau PhD tapi lebih diutamakan memiliki procurement levers yang tangguh seperti “reverse engineering” atau “design to cost” dengan baik membutuhkan banyak pemahaman dasar “engineering” dan perhitungan biaya. Finding 4, (Procurement success depends on supplier integration). The better the supplier integration, the better is the overall application of the procurement levers and vice versa. Kesuksesan procurement bergantung pada integrasi dengan pemasok. Semakin baik integrasi dengan pemasok, semakin baik keseluruhan aplikasi procurement lever dan sebaliknya. Hasil temuan diatas menjelaskan: tingkat integrasi yang tinggi memfasilitasi penggunaan hampir setiap procurement lever. Lebih mudah untuk negosiasi harga atau proyek reverse engineering dengan pemasok yang dekat dari pada yang jauh. Juga lebih cepat mendapatkan hasil, banyaknya produk yang terjun ke pasar, dan mengurangi tingkat kegagalan. Finding 5, (Procurement success depends on supplier evaluation). The better the supplier evaluation process (controlling), the better is the overall application of the procurement levers and vice versa.
46 Kesuksesan procurement bergantung pada evaluasi pemasok. Semakin baik proses evaluasi (pengendalian) pemasok, semakin baik keseluruhan aplikasi procurement lever dan sebaliknya. Juga hubungan kesuksesan procurement dan evaluasi pemasok bukanlah suatu kejutan. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk memeriksa dan menyaring pemasok, akan semakin terlatih karyawan untuk menyesuaikan kriteria pemilihan dan semakin baik karyawan mengintegrasikan tim ahli dari departemen terkait, semakin baik kualitas pemilihan pemasok. Finding 6, (a holistic staff development program is key for cross-functional teams). The better the training, the better is the efficient cooperation of crossfunctional teams and vice versa. Program pengembangan staff secara keseluruhan adalah kunci tim fungsional antar departemen, semakin baik pelatihan, semakin baik efisiensi tim fungsional antar departemen perusahaan. Finding 7: •
The better the integration (organization), the better is the efficient cooperation of cross-functional teams and vice versa. Semakin baik integrasi di dalam perusahaan, semakin baik efisiensi kerja sama tim fungsional antar departemen dan sebaliknya.
•
The better the interactions (organization), the better is the efficient cooperation of cross-functional teams and vice versa. Semakin baik interaksi di dalam perusahaan, semakin baik efisiensi tim fungsional antar departemen perusahaan dan sebaliknya.
•
The better the overall application of the procurement levers, the better is the efficient cooperation of cross-functional temas and vice versa. Semakin baik keseluruhan pengaplikasian procurement levers, semakin baik efisiensi tim fungsional antar departemen perusahaan dan sebaliknya.
Disimpulkan pada tabel 2.3 dibawah ini
47 Tabel 2.3 Indikator Kesuksesan Kinerja Procurement Bidang unggulan
Indikator
Strategi dan koordinasi antar perusahaan
Posisi hirarki didalam perusahaan Kerja sama dengan unit / fungsional lain Tim fungsional antar departemen
Sumber daya manusia
Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia
Manajemen pemasok
Evaluasi pemasok berkelanjutan Integrasi dengan pemasok Sumber: Brandmeier (2010)
2.17. Hubungan antar Variabel 2.17.1. Fleksibilitas Infrastruktur TI dan Dukungan Manajemen Infrastruktur TI adalah pondasi dasar dari kemampuan TI yang dianggarkan untuk dan disediakan oleh fungsi sistem informasi dan saling berbagi melalui banyak bisnis unit atau area fungsional. Kemampuan TI terdiri dari kemampuan teknis dan managerial untuk memberikan layanan yang reliabel.Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan sumber daya unik, dalam konteks ini adalah infrastruktur TI, semakin baik keunggulan kompetitif yang akan dicapai perusahaan. (Paul H. Schwager, Terry Anthony Byrd, Douglas E. Turner, Information Technology Infrastructure Capability’s Impact on Firm Financial Performance: an Exploratory Study, TheJournal of Computer Information Systems (2000) 40, 4). Agar dapat mencapai keunggulan kompetitif, peran TI/SI harus didefinisikan dengan jelas, yaitu menyelaraskan tujuan TI/SI dengan tujuan organisasi, mendefinisikan kontribusi personil TI/SI dan berbagi pengetahuan dalam bisnis, sehingga akan performa infrastruktur TI akan jelas. Dimana dukungan manajemen puncak adalah faktor yang paling penting dalam menentukan kesuksesan dan efisiensi investasi TI (Mojca Indihar Stemberger, Anton Manfreda, Andrej Kovacic, Achieving Top Management Support with Business Knowledge and Role of IT/IS Personnel,Journal of Information Management (2011) 31(5), 428-436). 2.17.2. Dukungan Manajemen dan hubungan dengan pemasok Peran penting manajemen puncak sangat ditekankan pada literatur rantai pasok (Hahn et al., Monczka et al., 1993; Ward et al., 1994; Krause, 1999).
48 Manajemen puncak lebih memahami kebutuhan manajemen rantai pasok karena mereka yang paling menyadari strategi utama perusahaan untuk tetap kompetitif didalam pasar (Hahn et al., 1990). Monczka et al. (1993) menyatakan bahwa manajemen puncak harus mengkomitmenkan sumber daya waktu, tenaga kerja dan keuangan untuk mendukung pemasok yang berkeinginan untuk menjadi partner jangka panjang perusahaan melalui pengembangan pemasok. Satu dari fungsi utama manajemen puncak adalah untuk mempengaruhi pengaturan nilai organisasi dan mengembangkan cara manajemen yang cocok untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa manajemen puncak harus mewaspadai keunggulan kompetitif yang dapat diperoleh dari dampak pembelian strategis dan TI pada hubungan dengan pemasok yang efektif. Pada penelitian ini, bagian dukungan manajemen puncak diindikasikan dengan waktu dan sumberdaya yang
dikontribusikan
oleh
manajemen
puncak
pada
pembelian
stratgis,
pengembangan hubungan dengan pemasok dan adaptasi TI mutakhir (Hahn et al., 1990; Monczka et al., 1993; Krause dan Ellram, 1997; Krause 1999).(Injazz J. Chen, Antony Paulraj, Towards a Theory of Supply Chain Management: the Constructs and Measurements,Journal of Operation management, (2004) 22, p119-150)
Gambar 2.14 Research Framework of Supply Chain Management Sumber: Chen (2004, p121)
49 2.17.3. Fleksibilitas Infrastruktur TI dan Hubungan dengan Pemasok Semakin meratanya infrastruktur TI dan komunikasi merubah cara perusahaan bersaing di era e-commerce. Hubungan langsung pembeli dan pemasok memiliki keuntungan pengurangan biaya, pengiriman lebih cepat, respon cepat dan pelayanan yang lebih baik, adalah konsekuensi era baru bisnis dengan mediasi ISP. Baik pembeli atau pemasok yang berpartisipasi dalam transaksi, tujuan mereka mungkin akan berbeda dengan atau bahkan berlawanan dengan tujuan transaksi partner mereka. Cara partner berinteraksi tergantung pada faktor-faktor berikut: tujuan individu, praktek manajerial, jenis hubungan dan jangkauan dominasi perusahaan terhadap pasar. Transaksi dilakukan melalui pertukaran informasi dan pengiriman produk atau layanan. Pemahaman status dan sifat dasar hubungan antara partner transaksi yang lebih baik bertujuan untuk meningkatkan kinerja manajemen rantaai pasok. Negosiasi dan kesepakatan terjadi berkala, dengan proses transaksi tertentu yang lebih dipandang sebagai seni dari pada teknik. (Jeung-tai Eddie tang, Daniel Y. Shee, Tzung-I Tang, A Conceptual Model for Interactive Buyer-Supplier rrelationship in Electronic Commerce,Journal of Information Management, (2001) 21, p49-68)
2.17.4. Fleksibilitas Infrastruktur TI dan Kinerja Procurement Menurut Weill (2004, p34) Tinjauan ke masa depan dalam membangun infrastruktur TI pada waktu yang tepat, memungkinkan implementasi ide bisnis, maupun penggabungan dan pengurangan biaya dari proses bisnis saat ini secara elektronik di masa depan dengan cepat. Investasi infrastruktur yang berlebihan—atau lebih buruk lagi, mengimplementasi infrastruktur yang salah—berdampak pada siasianya penggunaan sumber daya, penundaan, dan tidak selarasnya sistem dengan rekan bisnis. Akan tetapi investasi infrastruktur yang terlalu minim menghasilkan implementasi yang terburu-buru untuk memenuhi deadline bisnis, kebutuhan automatisasi perusahaan tanpa integrasi lintas perusahaan, dan berbagi sumberdaya, informasi dan ahli yang terbatas. Dengan demikian, focus dan penentuan waktu keinginan penggunaan infrastruktur TI dapat memiliki dampak signifikan pada performa perusahaan.
50 2.17.5. Dukungan Manajemen dan Kinerja Procurement Dalam Jurnal (Ofer Zqikael, Ginger Levin, Parviz F Rad, Top Management Support—The Project Friendly Organization,Cost Engineering, Vol. 50/No. 9, (Sept 2008) 50,9), menyebutkan bahwa banyak penelitian telah menemukan hubungan signifikan antara dukungan manajemen puncak dengan performa perusahaan, seperti. D.S. Elenkov dan I.M. Manev menemukan bahwa faktor kepemimpinan pada manajemen puncak memiliki efek kuat mempengaruhi inovasi. R.G. Cooper dan Jeffrey Kleinschmidtet menemukan bahwa dukungan manajemen puncak mempengaruhi motivasi pra-pelatihan dan penerimaan pelatihan. C.L. Stamper dan M.C. Johlke menemukan bahwa dukungan manajemen puncak memiliki efek kuat mengurangi ambiguitas dan konflik penugasan, serta meningkatkan kepuasan bekerja dan keinginan bertahan di perusahaan. P. Cook menekankan peran eksekutif senior ketika berhadapan dengan manajemen resiko proyek. Dukungan manajemen puncak dinyatakan meningkatkan tingkat kesuksesan proyek secara signifikan dalam banyak penelitian. I.G. Castri menyarankan bahwa direktur proyek menjadi bagian dari manajemen senior perusahaan. 2.18. Hubungan dengan Pemasok dan Kinerja Procurement Hubungan pemasaran muncul dari pengukuran faktor kunci suatu hubungan di industri dan pemasaran B2B – dari situ penulis membawa kita kepada sifat dasar hubungan pemasok dan perusahaan. Pengukuran ulang ini dilakukan terhadap latar belakang perubahan pasar industri. Tingkat perkembangan teknologi, efek globalisasi dan perdagangan bebas internasional mengarah pada pengaturan strategi industri manufaktur secara signifikan. Inti dari strategi baru ini adalah memberikan hubungan berbeda kepada pemasok - pengiriman JIT, strategi zero inventory, dan spesialisasikhusus membuat tekanan yang baru dan berbeda. Pada tingkat ini, pendekatan manajemen industri baru butuh lebih dekat dan kerjasama aktif dengan pemasok. Untuk memenuhi pengiriman JIT membutuhkan integrasi antara sistem perusahaan dengan pemasok. Bagaimanapun, tekanan yang kedua memberikan tantangan baru untuk mengurangi biaya yang bertentangan dengan hubungan yang dekat – pembeli dibebani dengan penghematan pengiriman yang dapat merusak hubungan yang sedang dibangun antara pemasok dan
51 perusahaan. Namun diyakini bahwa kedekatan dengan pemasok adalah penting bila nilai yang ingin didapatkan dalam jumlah maksimal. Pemilihan dan kontrak dengan pemasok secara berkala butuh proses procurement yang panjang. Selama proses ini kita membangun hubungan dengan lebih dari satu perusahaan dan biasanya diketahui bahwa keputusan akhir adalah lebih ke arah menimbang nilai dari pada penimbangan biaya atau spesifikasi. Sudah tentu, untuk beberapa kontrak, dasar keputusan adalah kita lebih kepada “membeli” hubungan dari pada menghasilkan produk atau layanan.(Yolanda Polo Redondo, Jesus J Cambra Fierro, Moderating Effect of Type of Product Exchanged in LongTerm Orientation of Firm-Supplier Relationships: an Empirical Study,Journal of Product and Brand Management, (2005) 14, 7, 424). Masuk ke hubungan jangka panjang dengan sedikit pemasok adalah strategi terbaik dalam mengatur sisi pasokan dari pada bermain dengan banyak pemasok dimana lebih banyak manfaat yang bisa didapat dengan hubungan jangka panjang dengan sedikit pemasok. Karyawan public procurement harus mendapatkan daftar pemasok yang telah disetujui dari pemasok terbaik. Hal tersebut dapat meningkatkan desentralisasi fungsi procurement pada departemen-departemen lain. Karyawan pembelian dapat berkonsentrasi pada aktivitas procurement penting lainnya seperti pengembangan pemasok dan pengawasan pemasok secara berkala. Daftar pemasok yang disetujui akan mengurangi kecurangan.(Redges Mandyambira, Managing Supplier Relationship to Improve Public Procurement Performance,African journal of Business Management Vol. 6(1), (2012), p306-312). 2.19. Partial Least Square (PLS) 2.19.1. Sejarah PLS (Ghozali,2008 p.17-18)Partial Least Squares (PLS) dikembangkan pertama kali oleh Wold sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan kostruk laten dengan indikator ganda. Pada tahun 1966 Herman Wold mempresentasikan dua prosedur iteratif menggunakam metode estimasi least squares (LS) untuk single dan multi komponen model dan untuk canonical correlation. Kemudian melihat pendekatan LISREL untuk path modeling dengan variabel laten Wold menyatakan: It Struck me that it might be possibe to estimate models with the same arrow scheme by an appropriate generalization of my Least Squares algorithms for principal
52 components and canonical correlation. The extension involved two crucial steps, namely from two to three latent variable’s and corresponding blocks of indicators, and from one to two inner relations. Once these steps were taken, the road to an iterative least squares algorithm of general scope for estimation of path models with ltent variable observed by multiple indicators was straightforward. (wold, 1982) Pendekatan PLS adalah distribution free (tidak mengasumsikan data berdistribusi tertentu, dapat berukpa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio). PLS awalnya diberi nama NIPALS (nonlinear iterative partial least squares). Menurut Wold dibandingkan dengan pendekatan lain khususnya metode maximum likelihood, NIPALS lebih umum oleh karena bekerja dengan sejumlah kecil asumsi zero intercorrelation antara residual dan variabel. Oleh karena itu pendekatan NIPALS memberikan models yang memiliki closer fit terhadap hasil observasi. Model dasar PLS diselesaikan tahun 1977 (Wold, 1982) dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lohmoller (1984, 1989) dan Chin (1996) dalam bentuk software dengan nama PLS Graph 2.19.2. Model Pengukuran dan Model Struktural (Ghozali,2012 p.8-12)Analisis PLS-SEM biasanya terdiri dari dua sub model yaitu model pengukuran (measurement model) atau sering disebut outer model dan model struktural (structural model) atau sering disebut inner model. Model pengukuran
menunjukkan
bagaimana
variabel
manifest
atau
observed
variablemerepresentasi variabel laten untuk diukur. Sedangkan model struktural menunjukkan kekuatan estimasi antar variabel laten atau konstruk. Variabel laten yang dibentuk dalam PLS-SEM, indikatornya dapat berbentuk refleksif maupun formatif. Indikator refleksif atau sering disebut dengan Mode A merupakan indikator yang bersifat manifestasi terhadap konstruk dan sesuai dengan classical test theory yang mengasumsikan bahwa variance di dalam pengukuran score variabel laten merupakan fungsi dari true score ditambah dengan error. Sedangkan indikator formatif atau sering disebut dengan Mode B merupakan indikator yang bersifatmendefinisikan karakteristik atau menjelaskan konstruk. Untuk mempermudah pemahaman, berikut diberikan contoh model struktural dan model pengukuran yang dapat dilihat pada gambar 2.15, 2.16 dan 2.17dibawah ini
53 Model Struktural Ƞ5
ξ
ξ4 Ƞ2
Ƞ3 ξ2
ξ3
Ƞ1
Ƞ4 ξ1
ξ5
Gambar 2.15 Model Struktural atau Inner Model Sumber Ghozali (2012, p9) Model Pengukuran X1
X1
X2
X2
X3
X3 Mode A
Mode B
Gambar 2.16 Model Pengukuran atau Outer Model Sumber Ghozali (2012, p9) X11 X21
1 X13
X31 3 X12 X22 X32
X23 X33
2 Inner or Structural Model Outer or Structural Model Gambar 2.17 Model Persamaan Struktural Sumber Ghozali (2012, p10)
54 2.19.2.1.
Outer Model
Outer model sering juga disebut (outer relation atau measurement model) mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Blok dengan indikator refleksif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut
Dimana
dan
exogen dan endogen
adalah indikator atau manifest variabel untuk variabel laten dan , sedangkan
dan
merupakan matrik loading yang
menggambarkan koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan
dan
dapat diinterpretasikan
sebagai kesalahan pengukuran atau noise. Blok dengan indikator formatif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut
dimana ξ, Ƞ, dan
dan
sama dengan yang digunakan pada persamaan (3).
adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten dan blok indikator dan
dan
adalah residual dari regresi
2.19.2.2.
Inner Model
Inner modelkadang disebut juga dengan (inner relation, structural model dan subtantive theory) menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada substantive theory. Model persamaannya dapat ditulis seperti di bawah ini.
dimana
menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten,
adalah vektor variabel laten exogen, dan
adalah vektor variabel residual
(unexplained variance). Oleh karena PLS didesain untuk model recursive, maka hubungan antar variabel laten, setiap variabel laten dependen , atau sering disebut causal chain system dari variabel laten dapat dispesifikasikan sebagai berikut
55
Dimana
dan
adalah koefisien jalur yang menghubungkan predikor
endogen dan variabel laten exogen
dan
sepanjang range indeks i dan b, dan
adalah inner residual variable. 2.19.2.3.
Weight Relations
Inner dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS, kita memerlukan definisi weight relation. Nilai kasus untuk setiap variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut
Dimana
dan
estimasi variabel laten
adalah k weight yang digunakan untuk membentuk dan
. Estimasi variabel laten adalah linear agregat dari
indikator yang nilai weightnya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasi oleh inner dan outer model dimana endogen (dependen) dan
adalah vaktor variabel laten
adalah vektor variabel laten exogen (independen),
merupakan vektor residuan dan
serta
adalah matrik koefisien jalur (path
coefficient). 2.19.3. Metode PLS (Ghozali, 2008, p.18-19) Partial Least Squares merupakan metode analisis yang powerful oleh karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala tertentu, jumlah sampel kecil. PLS dapat juga digunakan untuk konfirmasi teori. Dibandingkan dengan covariance based SEM (yang diwakili oleh software LISREL, EQS atau AMOS) component based PLS mampu menghindarkan dua masalah besar yang dihadapi oleh covariance based SEM (CBSEM) yaitu inadmissible solution dan factor indeterminacy (Fornell dan Bookstein, 1982). Secara filosofis perbedaan antara covariance based SEM dengan component based PLS adalah apakah kita akan menggunakan model persamaan struktural untuk
56 menguji teori atau pengembangan teori untuk tujuan prediksi (Anderson dan Gerbing, 1988). Pada situasi dimana kita mempunyai dasar teori yang kuat dan pengujian teori atau pengembangan teori sebagai tujuan utama riset, maka metode dengan covariance based (Maximul Likelihood atau Generalized Least Squares) lebih sesuai. Namun demikian adanya indeterminacy dari estimasi factor score maka akan kehilangan ketepatan prediksi. Untuk tujuan prediksi, pendekatan PLS lebih cocok. Dengan pendekatan PLS diasumsikan bahwa semua ukuran variace adalah variance yang berguna untuk dijelaskan. Oleh karena pendekatan untuk mengestimasi variabel laten dianggap sebagai kombinasi linear dari indkator maka menghindarkan masalah indeterminacy dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skor. (Wold, 1982). PLS memberikan model uum yang meliputi teknik korelasi kanonikal, redudancy analysis, regresi berganda, multivariate analysis of variance (MANOVA) dan Principle Component Analysis. Oleh karena PLS menggunakan iterasi algoritma yang terdiri dari seri analisis ordinary least squares maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah untuk model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu untuk skala ukuran variabel. Lebih jauh lagi jumlah sampel dapat kecil dengan perkiraan kasar yaitu a. Sepuluh kali skala dengan jumlah terbesar dari indikator (kausal) formatif (catatan skala untuk konstruk yang didesain dengna refleksif indikator dapat diabaikan), atau b. Sepuluh kali dari jumlah terbesar structural pathyang diarahkan pada konstruk tertentu dalam model struktural. PLS dapat dianggap sebagai model alternatif dari covariance based SEM. Menuruk Joreskog dan Wold (1982) Maximum Likelihood berorientasi pada teori dan menekankan transisi dari analisis exploratory ke confirmatory. PLS dimaksudkan untuk causal-redictive analysis dalam situasi kompleksitas yang tinggi dan dukungan teori rendah 2.19.4. Cara Kerja PLS (Ghozali, 2008, p.19-22) Seperti dijelaskan di atas tujuan PLS adalah membantu peneliti untuk mendapatkan nilai variabel laten untuk tujuan prediksi. Model formalnya mendefinisikan variabel laten adalah linear agregat dari indikator-
57 indikatornya. Weight estimate untuk menciptakan komponen skor variabel laten didapat berdasarkan bagaimana inner model (model pengukuran yaitu hubungan antara indikator dengan konstruknya) dispesifikasi. Hasilnya adalah residual variance dari variabel dependen (keduanya variabel laten dan indikator) diminimumkan. Estimasi parameter yang didapat dengan PLS dapat dikategorikan menjadi tiga: a. Kategori pertama adalah weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel laten. b. Kedua mencerminkan estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan variabel laten dan antar variabel laten dan blok indikatornya (loading). c. Kategori ketiga adalah berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi untuk indikator dan variabel laten. Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan weight estimate, tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap ketiga menghasilkan estimasi means dan lokasi (konstanta). Pada dua tahap pertama proses iterasi indikator dan variabel laten diperlakukan sebagai deviasi (penyimpangan) dari nilai means (rata-rata). Pada tahap ketiga untuk hasil estimasi dapat diperoleh berdasarkan pada data metric original, hasil weight estimate dan path estimate pada tahap kedua digunakan untuk menghitung means dan lokasi parameter. Tahap pertama merupakan jantung dari algoritma PLS yang berisi prosedur iterasi yang selalu akan menghasilkan weight estimate yang stabil. Komponen skor estimate untuk setiap variabel laten didapat dengan dua cara. Melalui outside approximation yang menggambarkan weighted aggregate dari indikator konstruk dan melalui inside approximation yang merupakan weighted aggregate component score lainnya yang berhubungan dengan konstruk dalam odel teoritis. Selama iterasi berlangsung inner model estimate digunakan untuk mendapatkan outside approximation weight, sementara itu outer model estimate digunakan untuk mendapatkan inide approximation weight. Prosedur iterasi ini akan berhanti ketika prosentase perubahan setiap outside approximation weight relatif terhadap proses iterasi sebelumnya kurang dari 0.001. Chin (19..) memberikan ilustrasi proses iterasi seperti terlihat pada gambar2.20dibawah ini
58 X1
X2
X3
Ksi 1 X10
X11
X12
Eta 2 Eta 1 X7
X8
X9
Ksi 2 X4
X5
X6
Gambar 2.18 Contoh Multiblock Model Sumber: Ghozali (2008 p20) Gambar 2.18 terdiri dari empat block (dua variabel exogen –ksi dimana satu variabel menggunakan refleksif indikator dan satu variabel dengan formatif indikator sedangkan dua variabel endogen –eta) keduanya menggunakan refleksif indikator). Sebagai langkah awal iterasi algoritma adalah menghitung outside approximation estimatedari variabel laten dengan cara menjumlah kan indikator dalam setiap block dengan bobot yang sama (equal weight). Weight untuk setiap iterasi diskalakan untuk mendapatkan unit variance dari skor variabel laten untuk N kasus dalam sampel. Dengan menggunakan skor untuk setiap variabel laten yang diestimasi dilakukan inside approximation estimate variabel laten. Ada tiga skema inside approximation weight yang telah dikembangkan untuk mengkombinasikan variabel laten tetangga (neightboring LV) guna mendapatkan estimasi variabel laten tertentu yaitu : centroid, factor dan path weighting, walaupun setiap skema weighting mengikuti logika tertentu tetapi hasil kajian empiris menunjukkan bahwa apapun pilihannya hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap hasil yaitu 0.005 atau kurang untuk structural path dan 0.05 atau kurang untuk measurement path (Nooman dan Wold, 1982). Skema weighting dengan centroid merupakan prosedur asli yang digunakan oleh Wold. Metode ini hanya mempertimbangkan tanda korelasi antara variabel laten dan variabel laten tetangganya (neighboring LV). Nilai kekuatan korelasi dan arah model struktural tidak diperhitungkan. Hasil perhitungannya menjadi sederhana karena hasil estimasi
59 dapat ditambahkan pada semua hubungan variabel laten dengan weight +1 atau -1 pada variabel endogen dan ini menjadi sama dengan centroid factor. Skema weighting dengan factor menggunakan koefisien korelasi antara variabel laten dan variabel laten tetangga sebagai pembobot (weight). Variabel laten menjadi principal component dari variabel laten tetangganya. Menurut Lohmoller (1989) skema weighting dengan factor memaksimumkan variance dari principle component variabel laten ketika jumlah variabel laten menjadi tak terhingga jumlahnya. Skema dengan path weighting membobot variabel laten tetangga dengan cara berbeda tergantung apakah variabel laten tetangga merupakan anteseden atau konsekuen dari variabel laten yang ingin kita estimasi.Dengan hasil estimasi variabel laten dari inside approximation, maka kita dapatkan satu set weight baru dari outside approximtion. Jika skor inside approximation dibuat tetap (fixed), maka dapat dilakukan regresi sederhana atau regresi berganda tergantung apakah block indikator berbentuk refleksif (model A) atau block indikator berbentuk formatif (model B). Oleh karena ksi 1, eta 1 dan eta 2 berbentuk model A dengan arah hubungan kausalitas dar variabel laten ke indikator maka setiap indikator dalam setiap block secara individu diregress terhadap estimasi variabel latennya (skor inside approximation). Dalam kasus ksi 2 yang berbentu laten maka dilakukan regresi berganda untuk mengestimasi ksi 2 terhadap indikatornya. Keofisien regresi sederhana dan regresi berganda kemudian digunakan sebagai weight baru (new weight) untuk outside approximation setiap variabel laten. Gambar 2.19 menggambarkan alur logika proses iterasi ini Setelah skor variabel laten diestimasi pada tahap satu, maka hubungan jalur (path relation) kemudian diestimasi dengan ordinary least square regression pada tahap dua. Setiap variabel dependen dalam odel (apakah variabel laten endogen atau indikator dalam model refleksif) diregress terhadap variabel independen (variabel laten lainnya atau indikator dalam bentuk formatif). Jika hasil estimasi pada tahap dua menghasilkan nilai yang berarti (perbedaan nilai means, skala, dan variance memberikan hasil yang berarti), maka parameter mean dan lokasi untuk indikator dan variabel laten diestimasi pada tahap ketiga. Hal ini dilakukan dengan cara mean setiap indikator dihitung lebih dahulu dengan menggunakan data asli (original data), kemudian menggunakan weight yang didapat dari tahap satu, means untuk setiap variabel laten dihitung dengan nilai mean untuk setiap variabel laten dan path
60 estimate dari tahap dua, maka lokasi parameter untuk setiap variabel laten dependen dihitung sebagai perbedaan antara mean yang baru saja dihitung dengan systematic part accounted oleh variabel laten independen yang mempengaruhinya. Gambar 2.20 menggambarkan algoritma PLS Step 0: Initial Outside Approximation LV score estimate obtained by summing up its indicators using equal weight. Multiply each estimate with appropriate scalar to assure variance is 1
Step 1: Calculate Inside Approximation Wights Use LV score estimates from previous outside approximation to calculate weight For example under factor weighting, weight equal the correlation of 1. V1 and LVj if structurally connected, otherwise zero
Step 2: Perform Inside Approximation Use weight from previous step and LV score estimate from previous outside approximation to obtain inside approximation estimates
Step 3: Calculate Outside Approximation Weight Use new inside approximation LV score estimates to calculate weight If LVs modeled with mode A, perform simple regression treating each indicator as the dependent variable and the LV estimates as the independent variable If LV is modeled with mode B perform multiple regression with the LV estimates as the dependent variable
Step 4: Perform Outside Approximation Use weight from previous step and LV score estimates from previous inside approximation to obtain new outside approximation estimates. Multiply each estimates with appropriate scalar to assuma variance is 1
Are all outside approximation weight within 0.001 of the previous estimate?
No
Yes Go to stage 2
Gambar 2.19 Tahap 1 Algorithm untuk Estimasi LV Scores Sumber Ghozali (2012, p17)
61 The general PLS Path Modeling algorithm
Outer Estimation
Initial Step
Reiterate till convergence
Inner Estimation
Mode A: Mode B:
Update weights W
Choice of weights • Centroid: correlation signs • Factorial: correlation • Path Weighting Scheme: multiple regression coefficients or correlations
After convergence : OLS LV multiple regression or PLS-R for path coefficients
Gambar 2.20Algoritma Partial Least Square Sumber: Ghozali (2008, p22) 2.19.5. Perbandingan PLS Sem dan CB-SEM (Ghozali, 2012, p20-24) Umumnya terdapat dua jenis tipe SEM yang sudah dikenal secara luas (Fronell dan Bookstein 1982) yaitu covariance-based structural equation modeling (CB-SEM) yang dikembangkan oleh Joreskog (1969) dan partial least squares path modeling (PLS-SEM) sering disebut variance atau componentbased structural equation modeling yang dikembangkan oleh Wold (1974). Covariance based SEM diwakili oleh software seperti AMOS, EQS, LISREL, Mplus dan sebagainya sedangkan variance atau component based SEM diwakili oleh software seperti PLS-Graph, SmartPLS, VisualPLS, SXSTAT-PLS dan sebagainya. Covariance-based SEM merupakan tipe SEM yang mengharuskan konstruk maupun indikator-indikatornya untuk saling berkorelasi satu dengan lainnya dalam suatu model struktural. Lebih lanjut, variance atau component-based SEM merupakan tipe SEM yang menggunakan variance dalam proses iterasi sehingga tidak memerlukan korelasi antara indikator maupun konstruk latennya dalam suatu
62 model struktural. Secara umum, penggunaan CB-SEM bertujuan untuk mengestimasi model struktural berdasarkan telaah teoritis yang kuat untuk mengujihubungan kausalitas antar konstruk serta mengukur kelayakan model dan mengkonfirmasinya sesuai dengan data empirisnya. Konsekuensi penggunaan CB-SEM adalah menuntuk basis teori yang kuat, memenuhi berbagai asumsi parametrik dan memenuhi uji kelayakan model (goodnes of fit). Karena itu, CB-SEM sangat tepat digunakan untuk menguji teori danmendapatkan justifikasi atas pengujian tersebut dengan serangkaian analisis yang kompleks. Sementara PLS-SEM bertujuan untuk menguji hubungan prediktif antar konstruk dengan melihat apakah ada hubungan atau pengaruh antar konstruk tersebut. Konsekuensi penggunaan PLS-SEM adalah pengujian dapat dilakukan tanpa dasar teori yang kuat, mengabaikan beberapa asumsi (nonparametrik) dan parameter ketepatan model prediksi dilihat dari nilai koefisien dterminasi (R-square). Karena itu, PLS, SEM sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan mengembangkan teori. Berikut diberikan contoh model dengan menggunakan covariance-based SEM dan variance atau component-based SEM seperti dapat dilihat pada gambar 2.21berikut ini: X1
X2
X3
X4
X5
X6
X4
X5
X6
CB-SEM
X1
X2
X3
PLS-SEM Gambar 2.21Contoh Model CB-SEM dan PLS-SEM Sumber: Ghozali (2012, p22) Jadi dapat disimpulkan bahwa, jika model struktural dan model pengukuran yang dihipotesiskan benar dalam hal ini menjelaskan covariance semua indikator dan kondisi data atau jumlah sampel dapat dipenuhi, maka covariance-based SEM memberikan estimasi optimal dari parameter model. Namun demikian, jika tujuan dan pandangan peneliti dari data ke teori, jumlah sampel yang terbatas dan tidak
63 dapat memenuhi berbagai asumsi parametrik, maka PLS merupakan teknik analisis yang cocok. Tabel 2.4di bawah ini memberikan perbandingan antara PLS-SEM dan CB-SEM sebagai berikut Tabel 2.4 Perbandingan antara PLS-SEM dan CB-SEM Kriteria
PLS-SEM
CB-SEM
Untuk mengembangkan
Untuk menguji teori atau
teori atau membangun
mengkonfirmasi teori
teori (orientasi prediksi)
(orientasi parameter)
Pendekatan
Berdasarkan variance
Berdasarkan covariance
Metode Estimasi
Least Squares
Tujuan Penelitian
Spesifikasi Model dan Parameter Model
Model Struktural
Asumsi Normalitas Data
Likelihood(umumnya)
Components two loadings,
Factors one loadings, path
path coefficients dan
coefficients, error variances
component weight
dan factor means
Model dengan
Model dapat berbentuk
kompleksitas besar dengan
recursive dan non-recursive
banyak konstruk dan
dengan tingkat
banyak indikator (hanya
kompleksitas kecil sampai
berbentuk recursive)
menengah
Tidak mensyaratkan data Evaluasi Model dan
Maximum
terdistribusi normal dan estimasi parameter dapat langsung dilakukan tanpa persyaratan kriteria goodness of fit
Menyaratkan data terdistribusi normal dan memenuhi kriteria goodness of fit sebelum estimasi parameter
Tidak dapat diuji dan Pengujian Signifikansi
difalsifikasi (harus melalui
Model dapat diuji dan
prosedur bootstrap atau
difalsifikasi
jackknife) PLS Graph, SmartPLS, Software Produk
SPAD-PLS, XLSTATPLS dan sebagainya
AMOS, EQS, LISREL, Mplus dan sebagainya
Sumber: Ghozali (2012, p23)
64 Pada beberapa contoh kasus, peneliti ingin menganalisis model menggunakan CB-SEM tetapi data yang dimilikinya tidak memenuhi asumsi parametrik, maka solusi yang bisa digunakan adalah dengan menurunkan tujuan penelitian dari mencari hubungan kausalitas menjadi mencari hubungan prediktif dengan menggunakan PLS-SEM. Jika dipaksakan akan menggunakan CB-SEM akan menimbulkan beberapa persoalan seperti: •
Adanya Heywood Case atau varian yang bernilai negatif(seharusnya positif)
•
Terjadi indeterminasi faktor (error) yang mengakibatkan program tidak dapat memberikan hasil estimasi karena model tidak dapat diidentifikasi (unidentified model)
•
Non-convergence algorithm Namun demikian PLS-SEM dan CB-SEM haruslah dianggap sebagai suatu
set alat analisis yang saling melengkapi dibanding dengan suatu kompetisi alat statistika (Chin 2010b). hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oeh Joreskog dan Wold (1982) di bawah ini: “ML is theory-oriented, and emphasizes the transitiion from exloratory to confirmatory analysis. PLS is primarily intenden for causal-predictive analysis in situations of high complexity but low theoretical information” 2.19.6. Tahapan analisis PLS-SEM (Ghozali, 2012, p47-88) Tahapan analisis menggunakan PLS-SEM setidaknya harus elalui lima proses tahapan dimana setiap tahapan akan berpengaruh terhadap tahapan selanjutnya yaitu (1) konseptualisasi model (2) menentukan metode analisis algorithm (3) menentukan metode resampling (4) menggambar diagram jalur dan (5) evaluasi model.
65 Konseptualisasi Model
Step 1
Menentukan Metode Analisis Algorithm
Step 2
Menentukan Metode Resampling
Step 3
Menggambar Diagram Jalur
Step 4
Evaluasi Model
Step 5
Gambar 2.22Tahapan Analisis Menggunakan PLS-SEM Sumber: Ghozali (2012, p47) 2.19.6.1.
Konseptualisasi Model
Konseptualisasi model merupakan langkah awal dalam analisis PLS-SEM. Pada tahap ini peneliti harus melakukan pengembangan dan pengukuran konstruk. Prosedur pengembangan dan pengukuran konstruk secara konvensional pertama kali diperkenalkan oleh Gilbert Chruchill pada tahun 1979 dalam bidang marketing. Menurut Chirchill (1979) terdapat delapan tahapan prosedur yang harus dilewati dalam pengembangan dan pengukuran konstruk yaitu: 1. Spesifikasi domain konstruk 2. Tentukan item yang merepresentasi konstruk 3. Pengumpulan data untuk dilakukan uji pretest 4. Purifikasi konstruk 5. Pengumpulan data baru 6. Uji reliabilitas 7. Uji validitas dan 8. Tentukan skor pengukuran konstruk Lebih lanjut MacKenzie et al. (2011) mengajukan prosedur pengembangan dan pengukuran konstruk dalam bidang sistem informasi dan keprilakuan menjadi sepuluh langkah sebagai berikut: 1. Mengembangkan dan mendefinisikan konstruk secara konseptual yaitu dengan mereview literatur serta penelitian terdahulu kemudian tentukan
66 domain konstruk. Selanjutnya, spesifikasi tema konstruk secara konseptual, yaitu dengan menentukan karakteristik dan dimensionalitas konstruk. 2. Tentukan item-item yang merepresentasi konstruk. 3. Menuji validitas isi tiap item untuk menunjukkan apakah item-item tersebut merepresentasi konstruk ataukah tidak. 4. Lakukan spesifikasi model pengukuran. 5. Kumpulkan data untuk melakukan uji pretest. 6. Purification dan refinement dengan melakukan evaluasi terhadap validitas dan reliabilitas konstruk berdasarkan level abstraksi dengan menilai convergent validity serta evaluasi goodness of fit model. 7. Pengumpulan data baru diakibatkan karena adanya item yang tidak valid atau reliabel. 8. Pengujian kembali validitas konstruk setelah tahap purifikasi untuk memastikan apakah item-item tersebut memang merupakan item pembentuk konstruk dengan melakukan manipulasi eksperimen terhadap konstruk, serta menguji validitas nomological, convergent dan discriminant. 9. Validasi silang yaitu menuji fit tidaknya model terhadap pengumpulan data baru 10. Menentukan skor pengukuran item konstruk. Menurut MacKenzie (2003) terdapat beberapa problem dalam konseptualisasi konstruk yaitu: 1. Focal construct tidak didefinisikan karena sulit untuk dilakukan pengukuran domain konstruknya sehingga menyebabkan lemahnya validitas konstruk. 2. Terjadi kesalahan pendefinisianfocal construct sehingga sulit dilakukan pengukuran model yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya validitas kesimpulan statistik. 3. Pendefinisian konstruk yang kurang mencukupi sehingga melemahkan hipotesis yang dibangun yang mengakibatkan lemahnya validitas iternal. Berikut diberikan gambaran problem konseptualisasi konstruk seperti tampak pada gambar 2.23di bawah ini.
67 Deficient/
Low Construct
Contaminated
Validity
Measures
Construct
Measurement
Low Statistical
Conceptualization
Model
Conclusion
Misspecification
Validity
Weak Theoretical
Low Internal
Rationale for
Validity
Hypothesies
Gambar 2.23Problem Konseptual Konstruk Sumber: Ghozali (2012, p52) diadopsi dari MacKenzie (2003) Selanjutnya arah kausalitas antar konstruk yang menunjukkan hubungan yang dihipotesiskan harus ditentukan dengan jelas dan dimensionalitas serta indikator pembentuk konstruk laten harus ditentukan apakah berbentuk refleksif ataukah formatif. 2.19.6.1.1. Konstruk Refleksif dan Formatif Umumnya prosedur pengembangan konstruk dalam berbagai literatur disarankan menggunakan konstruk dengan indikator refleksif karena diasumsikan mempunyai
kesamaan
domain
konten,
walaupun
sebenarnya
dapat
juga
menggunakan konstruk dengan indikator formatif. Fornell dan Bookstein (1982) menjelaskan bahwa konstruk seperti personalitas atau sikap umumnya dipandang sebagai faktor yang menimbulkan sesuatu yang kita amati sehingga merupakan kombinasi penjelas dari indikator (seperti perubahan penduduk atau bauran pemasaran) yang ditentukan oleh kombinasi variabel maka indikatornya harus berbentuk formatif. Seperti yang diketahui bahwa PLS-SEM dapat menangani konstruk dengan indikator refleksif maupun formatif. Dalam penelitian-penelitian di bidang organisasi (Podsakoff et al. 2003), marketing (Jarvis et al. 2003) maupun sistem informasi (Peter et al. 2007) indikator formatif cenderung lebih digunakan karena tidak semua konstruk dapat dibentuk dengan indikator refleksif maupun formatif.
68
2.19.6.1.2. Konstruk dengan Indikator Refleksif Konstruk dengan indikator refleksif mengasumsikan bahwa kovarian di antara pengukuran model dijelaskan oleh varian yang merupakan manifestasi domain konstruknya. Arah indikatornya yaitu dari konstruk ke indikator. Pada setiap indikatornya harus ditambah dengan error terms atau kesalahan pengukuran. Berikut diberikan contoh konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada gambar 2.25 dibawah ini X1 X2 Ksi 1 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 Gambar 2.25Contoh Konstruk dengan Indikator Refleksif Sumber: Ghozali (2012, p60) 2.19.6.1.3. Konstruk dengan Indikator Formatif Konstruk
dengan
indikator
formatif
mengasumsikan
bahwa
setiap
indikatornya mendefinisikan atau menjelaskan karakteristik domain konstruknya. Arah indikatornya yaitu dari indikator ke konstruk. Kesalahan pengukuran ditujukan pada konstruk bukan pada indikatornya sehingga pengujian validitas dan reliabilitas konstruk tidak diperlukan. Berikut contoh konstruk dengan indikator formatif dapat dilihat pada gambar 2.25dibawah ini
69
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 Gambar 2.25Contoh Konstruk dengan Indikator Formatif Sumber: Ghozali (2012, p61) 2.19.6.1.4. Pedoman Menentukan Arah Indikator Konsruk Untuk melakukan pengukuran model (outer model), penting bagi seorang peneliti untuk mengetahui arah indikator suatu konstruk, apakah berbentuk refleksif ataukah formaif agar dapat mengevaluasi hubungan antara variabel laten dengan indikatornya. Pada kasus tertentu sering ditemukan bahwa peneliti menggunakan indikator formatif untuk melakukan operasionalisasi konstruk refleksif. Kesalahan penggunaan ini disebut dengan Type I Error. Dan sebaliknya jika peneliti menggunakan indikator refleksif untuk melakukan operasionalisasi konstruk formatif, maka kesalahan ini disebut dengan Type II Error. Berikut ringkasnya dapat dilihat pada tabel 2.5dibawah ini. Tabel 2.5 Kesalahan Pemilihan Indikator Kesalahan Pemilihan
Reflective
Formative
Reflective
Correct Decision
Type I Error
Formative
Type II Error
Correct Decision
Indikator
Sumber: Ghozali (2012, p62) Untuk mencegah terjadinya kesalahan Type I Error dan Type II Error, maka penting bagi peneliti untuk mengetahui arah indikator konstru yang dibentuk. Jarvis et al. (2003) dan MacKenzie (2003) memberikan suatu pedoman dalam menentukan
70 apakah arah indikator suatu konstruk berbentuk refleksif ataukah formatif dengan melihat beberapa kriteria berikut. Tabel 2.6 Perbandingan Antara Indikator Refleksif dan Formatif Kriteria
Reflective Model
Formative Model
Arah kausalitas dari
Arah kausalitas dari
kausalitas antara
konstruk ke indikator
indikator (items) ke
konstruk dan
(items)
konstruk
Apakah indikator (items)
Indikator manifestasi
Indikator mendefinisikan
(a) Mendefinisikan
terhadap konstruk
karakteristik konstruk
Apakah perubahan pada
Perubahan pada indikator
Perubahan pada indikator
indikator mengakibatkan
tidak menyebabkan
mengakibatkan perubahan
perubahan pada konstruk
perubahan pada konstruk
pada konstruk
Apakah perubahan pada
Perubahan pada konstruk
Perubahan pada konstruk
konstruk mengakibatkan
mengakibatkan perubahan
tidak menyebabkan
perubahan pada indikator?
pada indikator
perubahan pada indikator
2. Apakah indikator
Indikator dapat
Indikator tidak dapat
dipertukarkan
dipertukarkan
Haruskah indikator
Indikator harus memiliki
Indikator tidak harus
memiliki konten yang
konten yang sama dan
memiliki konten yang
sama? Atau indikator
indikator perlu memiliki
sama dan indikator tidak
1. Arah hubungan
indikator dari definisi konseptual
karakteristik konstruk (b) Manifestasi terhadap konstruk
ataukah tidak?
atau items dapat dipertukarkan?
memiliki tema yang sama? tema yang sama
perlu memiliki tema yang sama
Apakah dengan
Menghilangkan satu
Menghilangkan satu
menghilangkan satu
indikator tidak akan
indikator akan mengubah
indikator akan mengubah
mengubah makna
makna konstruk
makna konstruk?
konstruk
71 Indikator diharapkan
Tidak perlu ada kovarian
kovarian antar
memiliki kovarian satu
antar indikator
indikator?
sama lainnya
3. Apakah terdapat
Apakah perubahan satu
Tidak harus
Ya
Nomological indikator
Nomological indikator
tidak harus berbeda
berbeda
Apakah indikator (items)
Indikator disyaratkan
Indikator tidak disyaratkan
diharapkan memiliki
memiliki anteseden dan
memiliki anteseden dan
anteseden dan konsekuen
konsekuen yang sama
konsekuen yang sama
indikator berhubungan dengan perubahan indikator lainnya? 4. Nomological dari indikator konstruk
yang sama? Sumber: Ghozali (2012, p62) diadopsi dari Jarvis et al. (2003); MacKenzie (2003) dan Peter et al.(2007) Hal yang sama juga dinyatakan oleh MacKenzie et al. (2005) bahwa untuk dapat membedakan arah indikator suatu konstruk apakah berbentuk refleksif ataukah formatif dapat dilihat dari beberapa pertanyaan berikut ini. Tabel 2.7 Perbandingan Indikator Refleksif dan Formatif No.
Pertanyaan
Penjelasan
1
Apakah indikator
Jika indikator bersifat manifestasi terhadap konstruk,
bersifat manifestasi
maka dapat diberikan judgement bahwa indikator
terhadap konstruk
mempunyai arah refleksif terhadap konstruk.
atau dapat
Sebaliknya jika indikator bersifat mendefinisikan
mendefinisikan
karakteristik atau menjelaskan konstruk, maka dapat
karakteristik suatu
diberikan judgement bahwa indikator mempunyai arah
konstruk?
formatif terhadap konstruk tersebut
Apakah indikator-
Jika arah indikatr terhadap konstruk adalah refleksif,
indikator tersebut
maka tiap indikatornya harus memiliki tema yang
secara konseptual
sama dan setiap indikator harus mampu menangkan
dapat dipertukarkan?
esensi domain konstruknya.
2
Sebaliknya jika arah indikator terhadap konstruk adalah formatif, maka tiap indikator tidak perlu
72 memiliki tema yang sama tetapi setiap indikatornya harus mampu menangkap aspek unik dari domain konstruknya 3
Apakah terdapat
Indikator refleksif secara eksplisit memprediksi bahwa
kovarian antar
pengukuran model harus saling berkorelasi kuat
indikator konstruk?
karena memiliki kesamaan penyebab. Sebaliknya, indikator formatif, tidak memprediksi korelasi diantara indikator pengukurnya sehingga korelasi dapat bersifat tinggi, rendah atau diantara keduanya
4
Apakah indikator
Indikator refleksif suatu konstruk harus memiliki
memiliki anteseden
anteseden dan konsekuensi yang sama , karena seluruh
dan konsekuensi
indikator mempunyai refleksi yang sama untuk satu
yang sama?
konstruk dan secara konseptual dapat dipertukarkan. Sebaliknya, untuk indikator formatif suatu konstruk tidak perlu memiliki anteseden atau konsekuensi yang sama, karena masing-masing indikator adalah unik dan secara konseptual tidak dapat dipertukarkan Sumber: Ghozali (2012, p64)
2.19.6.1.5. Konstruk Unideimensional dan Multidimensional Dalam model persamaan struktural, penting bagi seorang peneliti untuk memahami dimensionalitas suatu konstruk. Secara teoritis, dimensi suatu konstruk dapat berbentuk unidimensional dan multidimensional. Perbedaan tersebut terjadi karena tiap konstruk memiliki level abstraksi yang berbeda sehingga menuntuk perlakuan yang berbeda pula dalam pengujian statistikanya. 2.19.6.1.6. Konstruk Unidimensional Konstruk unidimensional adalah konstruk yang dibentuk langsung dari manifest variabelnya dengan arah indikatornya dapat berbentuk refleksif maupun formatif. Pada model struktural yang menggunakan konstruk unideimensional, analisis faktor konfirmatori untuk menguji validitas konstruk dapat dilakukan langsung melalui forst order construct yaitu konstruk laten yang direfleksikan oleh indikator-indikatornya. Berikut ini diberikan contoh konstruk unidimensional dan
73 model struktural dengan konstruk unidimensional seperti tampak pada Gambar 2.26, 2.27 dan 2.28dibawah ini: Konstruk Unidimensional dengan Indikator Refleksif
Konstruk Unidimensional dengan Indikator Formatif
X1
X1
X2
X2
X3
X3 Gambar 2.26Konstruk Unidimensional Sumber: Ghozali (2012, p65) X1 X2 X3 X4 X5
ξ
X6 X7 X8 X9 Gambar 2.27 Model Struktural dengan Konstruk Unidimensional Refleksif Sumber: Ghozali (2012, p66)
74
X1 X2 X3 X4 X5
ξ
X6 X7 X8 X9 Gambar 2.28 Model Struktural dengan Konstruk Unidimensional Formatif Sumber: Ghozali (2012, p66) 2.19.6.1.7. Konstruk Multidimensional Konstruk multidimensional adalah konstruk yang dibentuk dari konstruk laten dimensi yang didalamnya termasuk konstruk unidimensional dengan arah indikatornya dapat berbentuk refleksif maupun formatif. Pada model struktural yang menggunakan konstruk multidimensional, analisis faktor konfirmatori untuk menguji validitas konstruk dilakukan melalui dua tahap, yaitu analisis pada first order construct yaitu konstruk laten dimensi yang direfleksikan atau dibentuk oleh indikator-indikatornya dan analisis pada second order construct yaitu konstruk yang direfleksikan
atau
dibentuk
oleh
konstruk
latendimensinya.
Konstruk
multidimensional dapat dibentuk menjadi empat tipe yaitu reflective first order dan reflective second order, reflective first order dan formative second order, formative first order dan reflective second order, formative first order dan formative second order berikut ini diberikan contoh konstruk multidimensional dan model struktural menggunakan konstruk multidimensional seperti tampak pada gambar 2.29, 2.30, 2.31, 2.32 dan 2.33dibawah ini.
75
X1
X1
X2
X2
X3
X3
X4
X4
X5
X5
ξ
X6
X6
X7
X7
X8
X8
X9
X9
Type I Reflective First-Order, Reflective Second Order
Type II Reflective First-Order, Formative Second Order
X1
X1
X2
X2
X3
X3
X4
X4
X5
ξ
ξ
X5
X6
X6
X7
X7
X8
X8
X9
X9
ξ
Type III Type IV Formative First-Order, Reflective Formative First-Order, Formative Second Order Second Order Gambar 2.31Konstruk Multidimensional Sumber: Ghozali (2012, p68)
76 X1 X2
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
X3 X4 X5
ξ
X6 X7 X8 X9 Gambar 2.32Model Struktural dengan Lower Order Konstruk Refleksif dan Higher Order Konstruk Formatif Sumber: Ghozali (2012, p69) X1 X2
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X3 X4 X5
ξ
X6 X7 X8 X9 Gambar 2.33Model Struktural dengan Lower dan Higher Order Konstruk Formatif Sumber: Ghozali (2012, p69)
77 X1 X2
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
X3 X4 X5
ξ
X6 X7 X8 X9 Gambar 2.34Model Struktural Lower dan Higher Order Konstruk Refleksif Sumber: Ghozali (2012, p70) X1 X2
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X3 X4 X5
ξ
X6 X7 X8 X9 Gambar 2.35Model Struktural dengan Lower Order Konstruk Formatif dan Higher Order Konstruk Refleksif Sumber: Ghozali (2012, p70) Selanjutnya MacKenzie et al. (2005) membedakan konstruk berasarkan level abstraksi suatu konstruk. Konstruk yang direfleksikan dan dijelaskan oleh indikatorindikatornya disebut dengan common latent construct (konstruk dengan indikator refleksif) sedangkan konstruk yang dibentuk oleh indikator-indikatornya disebut
78 sebagai composite latent construct (konstruk dengan indikator formatif). Berikut dijelaskan level abstraksi konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada gambar 2.34berikut Panel 1
Panel 2
Panel 3
Hypothetical Construct
Hypothetical Construct
Hypothetical Construct
Coneptual Plane Conceptual Abstraction
Composite Latent Construct
Common Latent Construct
Facet1
Facet2
Composite Latent Construct
Facet3
Facet1
Facet2
Facet3
Empirical Abstraction
Observational Plane
Conceptual Differentiation
Gambar 2.34Model Pengukuran Indikator Refleksif Sumber: Ghozali (2012, p71) diadopsi dari MacKenzie et al.(2005) Pada gambar 2.34 di atas dapat dilihat bahwa common latent construct dapat dijelaskan melalui tiga panel. Pada panel pertama common latent construct berbentuk unidimensional atau first order yang langsung dapat dilakukan pengukuran model melalui tiga indikatornya. Pada panel kedua, common latent construct berbentuk multidimensional atau second order dengan tiga facet atau dimensi konstruk berbentuk refleksif, yang masing-masing facet direfleksikan hanya dengan satu indikator (indikator tunggal). Common latent construct pada panel kedua ini jika dilakukan pengukuran model tidak akan dapat diidentifikasi (unidentified), karena nilai unik dari indikator dan error terms tidak dapat diestimasi. Pada panel ketiga, common latent construct juga berbentuk multidimensional atau second order dengan tiga facet atau dimensi konstruk berbentuk refleksif, akan tetapi masing-masing facet-nya direfleksikan dengan tiga indikator refleksif. Pengukuran model pada panel ketiga ini dapat dilakukan melalui dua tahap. Pertama, pengukuran model dilakukan
79 pada facet atau dimensi konstruk melalui tiga indikatornya, kemudian dilanjutkan pada common latent construct melalui tiga dimensi konstruknya. Adapun level abstraksi konstruk dengan indikator formatif dapat dilihat pada gambar 2.35berikut Panel 1
Panel 2
Panel 3
Hypothetical Construct
Hypothetical Construct
Hypothetical Construct
Coneptual Plane Conceptual Abstraction
Common Latent Construct
Common Latent Construct
Facet1
Facet2
Common Latent Construct
Facet3
Facet1
Facet2
Facet3
Empirical Abstraction
Observational Plane
Conceptual Differentiation
Gambar 2.35Model Pengukuran Indikator Formatif Sumber: Ghozali (2012, p72) diadopsi dari MacKenzie et al.(2005) Pada gambar 2.35di atas dapat dilihat bahwa composite latent construct dapat dijelaskan melalui tiga panel. Pada panel pertama composite latent construct berbentuk unidimensional atau first order yang langsung dapat dilakukan pengukuran model melalui tiga formatif indikatornya. Pada panel kedua, composite latent construct berbentuk multidimensional atau second order dengan tiga first order laten konstruk berbentuk formatif yang masing-masing facet direfleksikan oleh satu indikator refleksif. Composite latent construct pada panel kedua ini tidak dapat dilakukan pengurkuran model karena terjadi perbedaan antara indikator, facet dan composite latent construct-nya sehingga jika ingin melakukan pengukuran model harus dirubah terlebih dahulu menjadi sama seperti panel pertama. Pada panel ketiga, composite latent construct juga berbentuk multidimensional atau second order dengan tiga facet atau dimensi konstruk berbentuk formatif, akan tetapi masing-
80 masing facet-nya direfleksikan oleh tiga indikator refleksif. Pengukuran model pada panel ketiga ini juga tidak dapat dilakukan karena terjadi perbedaan atara indikator, facet dan composite latent construct-nya. Perlu diingat bahwa untuk melakukan pengukuran model, dimensi konstruk harus dispesifikasi berdasar satu basis teoritis saja (refleksif saja atau formatif saja). Pengukuran model untuk konstruk formatif pada jenjang multidimensional dilakukan melalui dua tahap juga sama seperti konstruk refleksif yaitu dari facet dengan indikatornya kemudia dilanjutkan dari facet dengan common latent construct. 2.19.6.2.
Menentukan Metode Analisis Algorithm
Model penelitian yang sudah melewati tahapan konseptualisasi model selanjutnya harus ditentukan metode analisis algorithm apa yang akan digunakan untuk estimasi model. Dalam PLS-SEM menggunakan program SmartPLS 2.0, metode analisis algorithm yang disediakan hanyalah algirithmPLS dengan tiga pilihan skema yaitu factorial, centroid dan path atau structural weighting. Skema algoritma PLS yang disarankan oleh Wold adalah path atau structural weighting. Setelah peneliti menentukan metode analisis algoritma serta skema yang digunakan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan berapa jumlah sampel yang harus dipenuhi seperti yang diketahui, PLS-SEM tidak menuntut sampel dalam jumlah besar. Minimal direkomendasikan antara 30 sampai 100 kasus. Menurut Chin (1998) jumlah sampel PLS dapat dihitung dengan cara sepuluh kali jumlah variabel endogen dalam model. 2.19.6.3.
Menentukan metoderesampling
Umumnya terdapat dua metode yang digunakan oleh peneliti di bidang SEM untuk melakukan proses resampling yaitu, bootstrapping dan jackknifing “the name ‘jackknife’ is intended to suggest the broad usefulness of a technique as a substitute for specialiezed tools that may not be available, just as the Boy Scout’s trusty tool serves so variedly. . . . the basic idea is to assess the effect of each of the groups into which the data have been divided, not by the result for that group alone, . . . but rather through the effect upon the body of data that results from omitting that group” Jadi metodejackknifinghanya menggunakan subsampel dari sampel asli yang dikelompokkan dalam grup untuk melakukan resampling kembali.
81 Sementara
Diaconis
dan
Efron
(1983)
menjelaskan
metodebootsrappingsebagai “the bootstrap procedure is a means of estimating the statistical accuracy. . . from the data in a single sample. The idea is to mimic the process of selecting many samples . . . in order to find the probability that the values of their (test statistics) fall within various intervals. The samples are generated from the data in the original sample. . . . the data . . . are copied an enormous number of times, say a billion (for each group). . . . samples . . . are then selected at random and the (test statistic) is calculated for each sample. . . . the distribution of the (test statistic) for the bootstrap samples can be treated as if it were a distribution constructed from real samples.” Jadi
metodebootstrapping
menggunakan
seluruh
sampel asli untuk
melakukan resampling kembali. Metode ini lebih sering digunakan dalam model persamaan struktural. Program SmartPLS 2.0 hanya menyediakan sat metode resampling yaitu bootstrapping dengan tiga pilihan yaitu No Sign Changes, Individual Sign Changes dan Construct Level Changes. Menurut Tenenhaus et al. (2005) metode standar resampling adalah No Sign Changes yaitu statistika resampling yang dihitung tanpa mengkompensasi tanda apapun. Pilihan ini sangat konservatif karena menghasilkan standar error yang sangat tinggi namun konsekuensinya rasio T-statistics menjadi rendah. Selanjutnya Individual Sign Changes yaitu tanda pada setiap resampling dibuat konsisten dengan tanda pada sampel aslinya tanpa memastikan koherensi secara global. Sedangkan pada setiap individual outer weight dalam resampling juga dibuat konsisten. Dan yang terakhir Construct Level Changes dikhususkan untuk mode B, yaitu menggunakan outer weight untuk mengkompensasi estimasi variabel laten dalam sampel original dan dalam resample-nya. Pilihan ini berpotensi menimbulkan masalah multikolinieritas yang kuat antar variabel laten. 2.19.6.4.
Menggambar Diagram Jalur
Seltelah melakukan konseptualisasi model, menentukan metode analisis algoritma dan metode resampling, langkah selanjutnya adalah menggambar diagram jalur dari model yang akan diestimasi tersebut. Dalam menggambar diagram jalur (path diagram), Falk dan Miller (1992) merekomendasikan untuk menggunakan
82 prosedur nomogram retucular action modeling (RAM) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Konstruk teoritikan (theoretical constructs) yang menunjukkan variabel laten harus digambar dengan bentuk lingkaran atau bulatan elips (circle) b. Variabel observed atau indikator harus digambar dengan bentuk kotak (squares) c. Hubungan-hubungan asimetri (asymetrical relationships) digambarkan dengan arah panah tunggal (single headed arrow) d. Hubungan-hubungan simetris (symetrical relationships) digambarkan dengan arah panah ganda (double headed arrow) Sama seperti pada CB-SEM, PLS-SEM memberikan keuntungan tambahan dalam menggambar hubngan antar variabel secara graik dengan nomogram reticular action modeling (RAM) melalui empat fitur berikut
Ordering of theoretical constructs
Specifying of arrows
Specifying of inner model
Blocking the manifest, theoretical variables and establishing their directions
2.19.6.5.
Evaluasi Model
Karena PLS tidak mensyaratkan adanya asumsi distribusi tertentu untuk estimasi parameter, maka teknik parametrikuntuk menguji atau mengevaluasi signifikansi tidak diperlukan (Chin, 1998; Chin dan Newsted, 1999). Hal ini konsisten dengan Wold (1980, 1982b) bahwa PLS bersifat distribution-free. Dengan kata lain, dibandingkan dengan pendekatan CB-SEM, evaluasi model PLS berdasarkan pada orientasi prediksi yang mempunyai sifat non-parametrik. Model evaluasi PLS dilakukan dengan menilai outer model dan inner model. Evaluasi model pengukuran atau outer model dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas model. Outer modeldengan indikator refleksif dievaluasi melalui validitas konvergen dan diskriminan dari indikator pembentuk konstruk laten dan composite reliability serta cronbach alpha untuk blok indikatornya. Sedangkan outer model denganindikator formatif dievaluasi melalui substantive contentnyayaitu denganmembandingkan besarnya relative weight dan melihat signifikansi dari indikator konstruk tersebut (Chin 1998).
83 Evaluasi model struktural atau inner model bertujuan untuk memprediksi hubungan antar variabel laten. Inner model dievaluasi dengan melihat besarnya presentase variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai R-Square untuk konstruk laten endogen, Stone-Geisser (Geisser 1975; Stone 1974) test untuk menguji predictive relevance dan average variance extracted (Fornell dan Larcker 1981) untuk predictiveness dengan menggunakan prosedur resampling seperti jackknifing dan bootstrapping untuk mempreoleh stabilitas dari estimasi. 2.19.6.5.1. Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model Cara yang sering digunakan oleh peneliti di bidang SEM untuk melakukan pengukuran
model
malalui
menggunakanpendekatan
analisis
MTMM
faktor
konfirmatori
(MultiTrait-MultiMethod)
adalah
dengan
dengan
menguji
validitas convergent dan diskriminan (Campbell dan Fiske 1959). Validitas konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (manifest variabel) dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Uji validitas konvergen indikator refleksif dengan program SmartPLS 2.0 daat dilihat dari nilai loading factor untuk tiap indikator konstruk. Rule of thumb yang biasanya digunakan untuk menilai validitas konvergen yaitu nilai loading factor harus lebih dari 0.7 untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai loading factor antara 0.6 – 0.7 untuk penelitian yang bersifat exploratory masih dapat diterima serta nilai average variance extractedi (AVE) harus lebih besar dari 0.5. namun demikian untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran, nilai loading factor 0.5 – 0.6 masih dianggap cukup (Chin 1998). Lebih lanjut validitas diskriminan berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (variabel manifest) konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi dengan tinggi. Cara untuk menguji validitas diskriminan dengan indikator refleksif yaitu dengan melihat nilai cross loading untuk setiap variabel harus > 0.70. juga dinilai dengan Cross Loading jika korelasi konstruk dengan iem pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka hal menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya. cara lain yang dapat digunakan untuk menguji validitas diskriminan adalah dengan membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai korelasi antar konstruk dalam model. Validitas diskriminan
84 yang baik ditunjukkan dari akar kuadrat AVE untuk tiap konstruk lebih besar dari korelasi antar konstruk dalam model (Fornell dan Larcker 1981). Berikut ini rumus untuk menghitung AVE
Dimana: adalah factor loading adalah factor variance adalah error variance Jika semua indikator di standarisasi, maka ukuran ini sama dengan average communalities dalam blok (Chin 2010b). Fornell dan Larcker (1981) menyatakan bahwa pengukuran ini dapat digunakan untuk mengukur reliabilitas component score variabel laten dan hasilnya lebih konservatif dibandingkan dengan composite reliabilitiy. Nilai AVE direkomendasikan harus lebih besar dari 0.50 mempunyai arti bahwa 50% atau lebih varians dari indikator dapat dijelaskan. Ringkasan rule of thumb uji validitas konvergen dan diskriminan dapat dilihat pada tabel 2.8. Selain uji validitas pengukuran model juga dilakukan untuk menguji reliabilitas suatu konstruk. Uji reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi, konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Dalam PLS-SEM dengan menggunakan program SmartPLS 2.0, untuk mengukur reliabilitas suatu konstruk dengan indikator refleksif dapat dilakukan dengan dua cara aitu dengan Cronbachs Alpha dan Composite Reliability sering disebut Dillon-Goldstein’s. Namun demikian penggunaan Cronbachs Alpha untuk menguji reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate) sehingga lebih disarankan untuk menggunakan Composite Reliability dalam menguji reliabilitas suatu konstruk. Rule of Thumb yang biasanya digunakan untuk menilai reliabilitas konstruk yaitu nilai Composite Reliability harus lebih besari dari 0.7 untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai 0.6 – 0.7 masih dapat diterima untuk peelitian yang bersifat exploratory. Composite reliability disebut juga dengan Dillon-Goldstein’s dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Werts, Linn dan Joreskog (1974) untuk mengukur internal consistency sebagai berikut
85
Dimana: adalah factor loading adalah factor variance adalah error variance Sedangkan untuk menghitung Cronbachs Alpha dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut
Dimana: adalah jumlah indikator atau variabel manifest adalah blok indikator Dibandingkan dengan cronbachs alpha, ukuran ini tidak mengasumsikan ekuivalen antar pengukuran dengan asumsi semua indikator diberi bobot yang sama. Sehingga, cronbachs alpha lebih cenderung under estimate dalam mengukur reliabilitas, sedangkan composite reliability merupakan closer approximation dengan asumsi estimasi parameter adalah akurat (Chin 1998, 2010b). Jadi AVE dan composite reliability sebagai ukuran internal konsistensi hanya dapat digunakan untuk konstruk dengan indikator refleksif (Mode A). Ringkasan rule of thumb uji reliabilitas konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada tabel 2.8dibawah ini Tabel 2.8 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Pengukuran (Mode A) Validitas dan Reliabilitas
Parameter
Rule of Thumb
Validitas Convergent
Loading Factor
> 0.70 untuk Confirmatory Research
> 0.60 untuk Exploratory Research
Average Variance Extracted (AVE)
> 0.50 untuk Confirmatory maupun Exploratory
86 Research Communality
> 0.50 untuk Confirmatory maupun Exploratory Research
Validitas Diskriminan
> 0.70 untuk setiap variabel
Setiap blok indikator memiliki loading lebih tinggi
Cross Loading
untuk setiap variabel laten yang diukur dibandingkan dengan indikator untuk laten variabel lainnya
Akar kuadrat AVE dan
Akar kuadrat AVE > Korelasi
Korelasi antar Konstruk Laten
antar Konstruk Laten
Reliabilitas
Cronbachs Alpha
> 0.70 untuk Confirmatory Research
> 0.60 masih dapat diterima untuk Exploratory Research
> 0.70 untuk Confirmatory Research
Composite Reliability
0.60 – 0.70 masih dapat diterima untuk Exploratory Research
Sumber: Ghozali (2012, p81) diadopsi dari Chin (1998), Chin (2010b), Hair et al.(2011) Seperti yang sudah dijelaskan diawal jika konstruk berbentuk formatif (mode B), maka evaluasi model pengukuran dilakukan dengan melihat signifikansi weightnya. Sehingga uji validitas dan reliabilitas konstruk tidak diperlukan. Untuk memperoeh signifikansi weight harus melalui prosedur resampling (jackknifing atau bootstrapping). Selain itu uji multikolonieritas untuk konstruk formatif mutlak diperlukan dengan menghitung nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan lawannya Tolerance. Jika didapat nilai signifikansi weight T-statistics> 1.96 maka dapat disimpulkan bahwa indikator konstruk (mode B) adalah valid. Untuk nilai VIF direkomendasikan < 10 atau < 5 dan nilai tolerance> 0.10 atau > 0.20. Ringkasan
87 rule of thumb evaluasi model pengukuran (mode B) dapat dilihat pada tabel 2.9dibawah ini
Tabel 2.9 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Pengukuran (Mode B) Kriteria
Rule of Thumb •
Signifikansi Weight
> 1.65 (significance level = 10%), > 1.96 (significance level = 5%), dan > 2.58 (significance level = 1%)
Multicollinearity
•
Vif < 10 atau < 5
•
Tolerance> 0.10 atau > 0.20
Sumber: Ghozali (2012, p82) diadopsi dari Chin (1998), Hair et al.(2011), Henseler et al.(2009) 2.19.6.5.2. Evaluasi Model Struktural (Inner Model) Dalam menilai model struktural dengan PLS, kita mulai dengan melihat nilai R-Squares untuk setiap variabel laten endogen sebagai kekuatan prediksi dari model struktural. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi OLS (Ordinary Least Square). Perubahan nilai R-Squares dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel laten eksogen tertentu terhadap variabel laten endogen apakah mempunyai pengaruh yang substantive. Nilai R-Squares 0.75, 0.50 dan 0.25 dapat disimpulkan bahwa model kuat, moderate dan lemah. Hasil dari PLS R-Squares merepresentasi jumlah varians dari konstruk yang dijelaskan oleh model. Pengaruh besarnya
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
Dimana
dan
adalah R-Squares dari variabel laten
endogen ketika prediktor variabel laten digunakan atau dikeluarkan di dalam persamaan struktural. Nilai
0.02, 0.15 dan 0.35 sama dengan yang
direkomendasikan Cohen (1988) untuk definisi operasional regresi berganda. Nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa prediktor variabel laten memiliki pengaruh kecil, menengah dan besar pada level struktural (Chin 1998; 2010b). Jika kita ingin
88 mengetahui prediktor dari konstruk endogen dapat digunakan baseline modeldalam membandingkan antara dua atau lebih tambahan variabel laten. Kita dapat menggunakan uji F dengan rumus sebagai berikut:
Dimana ,
adalah degrees of freedom
adalah baseline model adalah superset model sebagai tambahan dari variabel laten adalah jumlah prediktor untuk baseline model adalah jumlah prediktor untuk superset model adalah jumlah sampel Disamping melihat besarnya R-Squares, evaluasi model PLS dapat juga dilakukan dengan Q2 predictive relevance atau sering disebut predictive sample reuse yang dikembangkan oleh Stone (1974) dan Geisser (1975). Teknik ini dapat merepresentasi synthesis dari cross-validation dan fungsi fitting dengan prediksi dari observed variable dan esetimasi parameter konstruk. Pendekatan ini diadaptasi parameter dengan menggunakan prosedur blindfolding dengan rumus
Dimana adalah omission distance adalah the sum of squares of prediction error adalah the sum of squares errors using the mean for prediction Nilai sedangkan nilai
> 0 menunjukkan bahwa model mamiliki predictive relevance, < 0 menunjukkan bahwa model kurang memiliki predictive
89 relevance. Dalam kaitannya dengan
, perubahan
memberikan dampak relatif
terhadap model struktural yang dapat diukur dengan
Nilai
predictive relevance 0.02, 0.15 dan 0.35 menunjukkan bahwa model
lemah, rata-rata dan kuat. Selanjutnya evaluasi model dilakukan dengan mslihat nilai signifikansi
untuk
mengetahui
pengaruh
antar
variabel
malalui
prosedur
jackknifingatau bootstrapping. Pendekatan bootstrap merepresentasi nonparametrik untuk ketepatan dari estimasi PLS. Metode bootstrap dikembangkan oleh Elfron sekitar tahun 1970-an. Prosedur bootstrap menggunakan seluruh sampel asli untuk melakukan resampling kembali. Hair et al. (2011) dan Henseler et al. (2009) memberikan rekomendasi untuk jumlah sampel bootstrap yaitu sebesar 5000 dengan catatan jumlah tersebut harus lebih besar dari sampel original. Namun demikian beberapa literatur (lihat Chin 2003; 2010a) menyarankan jumlah sampel bootstrap sebesar 200-1000 sudah cukup untuk mengoreksi standar eror estimasi PLS. Selain bootstrap metode alternatif resampling lain yang dikenal yaitu jackknifing yang dikembangkan oleh Jackknife sekitar tahun 1940-an. Metode ini menggunakan sub sampel dari sampel asli untuk melakukan resampling kembali. Metode jackknifing kurang begitu efisien dibanding metode boostrap karena mengabaikan confidence intervals (Efron et al. 2004). Sehingga metode jackknifing kurang begitu digunakan dalam SEM dibandingkan dengan metode bootstrap. Program SmartPLS 2.0 hanya menyediakan metode resampling bootstrap. Nilai signifikansi yang digunakan (two-tailed)t-value 1.65 (significance level = 10%), 1.96 (significance level = 5%), dan 2.58 (significance level = 1%). Ringkasan rule of thumb evaluasi model struktural dapat dilihat pada tabel 2.10dibawah ini Tabel 2.10 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Struktural Kriteria
Rule of Thumb •
R-Square
0.67, 0.33 dan 0.19 menunjukkan model kuat, ratarata dan lemah (Chin 1998)
•
0.75, 0.50 dan 0.25 menunjukkan model kuat, ratarata dan lemah (Hair et al. 2011)
Effect Size
•
0.02, 0.15 dan 0.35 (kecil, menengah dan besar)
90 •
> 0 menunjukkan model mempunyai predictive relevance
Predictive Relevance •
< 0 menunjukkan model tidak mempunyai predictive relevance
Predictive Relevance
Significance (Two-Tailed)
•
0.02, 0.15 dan 0.35 (lemah, rata-rata dan kuat)
•
t-value 1.65 (significance level = 10%), 1.96 (significance level = 5%), dan 2.58 (significance level = 1%)
Sumber: Ghozali (2012, p85) diadopsi dari Chin (1998), Chin (2010b), Hair et al.(2011), Hair et al.(2012) 2.19.6.5.3. Quality Indexes PLS path modeling dapat juga mengidentifikasi kriteria global optimizaiont untuk mengetahui goodness of fit model sama seperti CB-SEM. Seperti yang diketahi PLS sangat kuat untuk orientasi prediksi. Jadi, validasi model lebih difokuskan untuk model prediksi. Menurut struktur PLS-PM setiap bagian dari model membutuhkan validasi model pengukuran, model struktural dan keseluruhan model. Untuk PLS path modeling menyediakan tiga ukuran fit indexes yang berbeda yaitu communality index, redundancy index dan goodness of fit (GoF) index. Untuk setiap -th blok dalam model dengan lebih dari satu manifest variabel, kualitas dari model pengukuran dapat diuji dengan communality index dengan rumus
Index ini mengukur berapa banyak variabel manifest sebagai variasi dalam th blok untuk menjelaskan skor variabel laten. Untuk average commonality index dapat dihitung menggunakan rumus
Ini merupakan rata-rata dari seluruh Q blok communality index dengan jumlah weiht sama untuk jumlah variabel manifest dalam tiap blok.
91 Lebih lanjut untuk melihat kekuatan prediksi dari model pengukuran untuk satu model struktural, redundancy index dapat dihitung untuk -th blok variabel endogen menggunakan rumus
Untuk menghitung average redundancy index menggunakan rumus
Dimana merupakan total jumlah variabel laten endogen dalam model. Dan yang terakhir untuk overall fit index dapat menggunakan kriteria goodness of fit yang dikembangkan oleh Tenenhaus et al.(2004) dengan sebutan GoF index. Index ini dikembangkan untuk mengevaluasi model pengukuran dan model struktural dan disamping itu menyediakan pengukuran sederhana untuk keseluruhan dari prediksi model. Untuk alasan ini GoF index dihitung dari akar kuadrat nilai average communality index dan average R-squares sebagai berikut
Atau
Dimana nilai average R-squares didapat dari:
Namun demikian, average communality dan GoF index secara konseptual tepat digunakan untuk model pengukuran indikator refleksif. Walaupun sebenarnya, communality dapat juga dihitung untuk kasus dengan model indikator formatif, namun akan menghasilkan communality yang rendah dengan nilai R-squares yang tinggi jika dibandingkan dengan model indikator refleksif. Untuk menghitung GoF index model dengan indikator formatif dapat menggunakan rumus
92 Berdasarkan persamaan diatas dapat kita hitung relative GoF dengan rumus
Karena nilai communality yang direkomendasikan = 0.50 (Fornell dan Larcker 1981) dan nilai R-square kecil = 0.02, sedang = 0.13, dan besar 0.26 (Cohen 1988) maka GoF small
=
GoF medium = GoF large 2.20.
=
Kerangka Analisis Path Fleksibilitas Infrastruktur TI (X1) Indikator: a. Connectivity b. Compatibility c. Modularity Dukungan Manajemen Puncak (X2) Indikator: a. Kepahaman b. Partisipasi c. Komunikasi d. Pengetahuan manajerial e. Kontribusi signifikan Hubungan dengan pemasok (Y) Indikator: a. Pertukaran informasi b. Reputasi pemasok c. Rasa percaya d. Komitmen e. Kerja sama f. Kepuasan Kinerja Procurement (Z)
93 Indikator: a. Strategi dan koordinasi antar perusahaan b. Sumber daya manusia c. Manajemen pemasok Fleksibilitas Infrastruktur TI (X1) Hubungan dengan pemasok
Kinerja Procurement (Z)
Dukungan Manajemen (X2) Gambar 2.36 Bagan kerangka pemikiran Sumber: pemikiran peneliti dari kesimpulan literatur
2.21. Kerangka Berfikir
94
Gambar 2.37 Kerangka Berpikir Sumber: pemikiran peneliti Proses Pelaksanaan Skripsi ini dimulai dengan pengumpulan data perusahaan, dari data-data tersebut dilakukan Analisis Component Based SEMdengan metode Partial Least Square fleksibilitas infrastruktur TI dan dukungan manajemen terhadap hubungan dengan pemasok dan dampaknya terhadap kinerja procurement PT Alkindo Mitraraya. Berikutnya dijabarkan proses procurement actual PT. Alkindo Mitraraya. Kemudian dilakukan perancangan menggunakan metode OOADSatzinger dimana dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu Requirement Models dan Design Models, setelah itu akan dihasilkan peancangan aplikasi e-procurement yang sesuai bagi PT. Alkindo Mitraraya.