BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1
Ergonomi Ergonomi merupakan keilmuan multidisiplin yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan dari ilmu kehayatan (kedokteran, biologi), ilmu kejiwaan (psikologi) dan kemasyarakatan (sosiologi) (Wignjosoebroto, 2003:54). Ergonomi berfokus pada manusia dan hubungan mereka dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur, lingkungan di tempat kerja dan kehidupan sehari-hari (Sanders & McCormick, 1993:3). Faktor manusia memiliki dua tujuan utama yaitu mencapai efektivitas dan efisiensi pada pekerjaan dan aktivitas lain yang dilakukan, dan mencapai suatu nilai manusia yang diinginkan termasuk diantaranya adalah keamanan yang ditingkatkan, pengurangan tingkat stres, peningkatan kenyamanan, penerimaan suatu barang oleh para pengguna, peningkatan kepuasan kerja, dan peningkatan kualitas hidup (Sanders & McCormick, 1993:4). Iqbal, Iqbal & Ahmad (2013:125) mengatakan bahwa salah satu hal yang paling fundamental dalam ergonomi adalah mengenai ukuran. Disiplin ergonomi berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia (antropometri) untuk menganalisis, mengevaluasi dan membakukan jarak jangkau yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan kegiatan dengan mudah dan gerakan-gerakan yang sederhana serta penggunaan yang efektif (Wignjosoebroto, 2003:55).
2.1.1 Antropometri Antropometri mempelajari tentang pengukuran dimensi dan karakter fisik tubuh lainnya seperti volume tubuh, titik berat, sifat inersia, massa dari bagian tubuh (Sanders & McCormick, 1993:415). Di banyak negara, studi mengenai antropometri telah banyak dilakukan dan data-data yang dikumpulkan menjadi petunjuk untuk mendesain bangunan, interior, dan transportasi (Ward, 2012:1). Menurut Wignjosoebroto (2003:62), salah satu data antropometri yang digunakan adalah posisi tubuh (posture), dimana posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh. Oleh sebab itu, posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran. Dalam kaitan dengan posisi tubuh dapat dilakukan pengukuran statis, yaitu pengukuran tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak (tetap tegak sempurna). Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri maupun duduk, ukuran kepala, tinggi/panjang lutut pada saat berdiri/duduk, panjang lengan dan sebagainya. Beberapa ukuran tubuh yang penting adalah (Kroemer, 2009:11-14): 1. Tinggi tubuh merupakan ukuran jarak vertikal dari lantai sampai bagian atas kepala ketika berdiri. Disebutkan pula bahwa dalam aplikasinya pengukuran tinggi tubuh harus ditambahkan dengan tinggi sepatu, topi, dan allowance. 2. Tinggi mata merupakan jarak vertikal dari lantai hingga bagian ujung luar dari mata ketika berdiri. 3. Tinggi lipat lutut (popliteal) merupakan jarak vertikal dari lantai sampai bagian bawah paha. Ukuran ini biasa digunakan sebagai referensi tinggi 4
5 kursi. Untuk pengukuran tinggi kursi perlu juga dipertimbangkan penambahan tinggi sepatu. 4. Jarak lipat lutut ke bokong merupakan jarak horizontal dari bagian belakang bokong hingga bagian belakang lutut di bawah paha ketika duduk dengan lutut membengkok sebesar 90°. Menurut Nurmianto (2003:50), penerapan data antropometri akan dapat dilakukan jika tersedia nilai rata-rata dan standar deviasi dari suatu distribusi normal. Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal pula istilah persentil yang merupakan suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut (Nurmianto, 2003:51). Nurmianto (2003:52) juga menyebutkan bahwa 95 persentil menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil menunjukkan tubuh berukuran kecil. 2.1.2 Kursi Duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri, karena hal ini dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki, namun sikap duduk yang keliru akan menyebabkan adanya masalah-masalah punggung. (Turmuzi, 2013:1-2). Untuk menjamin kenyamanan pengguna tempat duduk, fleksi lutut (kelengkungan lutut ke arah depan tubuh) harus berkisar antara 30°-60° (Hignett & McAtamney, 2000, seperti disitasi oleh Sulaiman, Taha, & Zawiah, 2013:26). Selain itu, lutut sebaiknya tetap dijaga setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pinggul (Samara, 2004:66). Sementara untuk panjang alas duduk yang baik adalah lebih pendek dari jarak lipat lutut ke garis punggung. Namun panjang alas duduk yang terlalu pendek ditambah dengan tinggi alas duduk yang terlalu tinggi akan menyebabkan penekanan berlebih pada syaraf dan pembuluh darah paha (Hastuti & Sugiharto, 2010:12). Sudut sandaran punggung sebesar 5°-15° harus digunakan (Hudiaman, et.al, 2013:5). Sudut sandaran punggung sebesar 5°-15° akan mencegah bentuk punggung kifosis yaitu punggung yang melengkung ke arah luar tubuh seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1a. Apabila bentuk kursi tegak 90° maka punggung akan membentuk kifosis dan menimbulkan peningkatan tekanan pada sendi tulang belakang (Sanders & McCormick, 1993:438).
a. b. Gambar 2.1 Posisi Punggung pada Saat Duduk Sumber: Chimote & Gupta (2013:208)
6 2.1.3 Sudut Pengelihatan
Gambar 2.2 Sudut Pengelihatan yang Nyaman Sumber: Kroemer (2009:229)
Gambar 2.2 menunjukkan batas sudut pengelihatan yang nyaman dalam jarak sejauh jangkauan lengan. Pergerakan mata yang nyaman adalah sejauh 15° ke atas dan ke bawah dari rata-rata sudut garis pengelihatan normal (Kroemer, 2009:229). 2.2
Pencahayaan Salah satu sumber cahaya yang perlu diperhatikan dalam pendirian suatu bangunan adalah matahari. Handayani (2010:105) menyebutkan bahwa, “Arah timur sebagai arah terbit matahari memberikan efek panas yang tidak menyenangkan pada kisaran jam 09.00-11.00. Sedangkan arah barat sebagai arah terbenamnya matahari memancarkan panasnya secara maksimal pada jam 13.00-15.00. Sehingga dalam pemilihan arah hadap bangunan perlu memperhatikan pola pergerakan matahari dan arah mata angin.” Handayani (2010:106) juga menyebutkan bahwa hal yang dibutuhkan dari matahari adalah cahayanya, sedangkan efek panas dan silau akibat radiasi matahari perlu dihindari. Lebih lanjut ia juga menyebutkan bahwa penempatan muka bangunan ke arah utara atau selatan akan memberikan kenyamanan yang lebih dibandingkan muka bangunan yang menghadap ke timur atau ke barat.
2.3
Penerangan Neufert (1996:130) menyebutkan lampu yang dapat digunakan untuk bangunan yang memiliki tinggi sampai 3 m pada ruangan terbuka sebaiknya memiliki kuat penerangan sampai 200 Lux dengan jenis lampu: berbahan cahaya, uap air raksa dan uap natrium. Neufert (1996:129) juga menyebutkan untuk besar daya dan bentuk lampunya, lampu berbahan cahaya sebaiknya memiliki daya sebesar 18-58 W dengan bentuk: a. lampu sorot, b. lampu mengarah ke atas, c. berbentuk segi empat, d. persegi panjang, dan e. untuk lampu uap air raksa 50-400 W dan lampu uap natrium 50-250 W dapat menggunakan lampu yang mengarah ke bawah. Bentuk-bentuk lampu dapat dilihat pada Tabel 2.1.
7
Tabel 2.1 Bentuk Lampu Sumber: Neufert (1996:129)
Bentuk Lampu
a. Lampu sorot
2.4
b. Lampu mengarah ke atas
c. Segi empat
d. Persegi panjang
e. Lampu mengarah ke bawah
Halte Pada umumnya halte adalah tempat perhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan (Departemen Perhubungan, 1996:1). Fasilitas utama halte untuk transportasi umum adalah (Departemen Perhubungan, 1996:2): 1. Identitas halte berupa nama dan/atau nomor 2. Rambu petunjuk 3. Papan informasi trayek 4. Lampu penerangan 5. Tempat duduk Sedangkan fasiltas tambahan halte untuk transportasi umum adalah (Departemen Perhubungan, 1996:2): 1. Telepon umum 2. Tempat sampah 3. Pagar 4. Papan iklan/pengumuman
Gambar 2.3 Kapasitas Lindungan (10 berdiri, 10 duduk) Sumber: Departemen Perhubungan (1996:21)
8 Gambar 2.3 menunjukkan kapasitas lindungan atau luas area yang perlu diperhatikan untuk mencakup sekitar 20 orang di dalam halte. Keterangan Gambar 2.3 adalah sebagai berikut: 1. Ruang gerak per penumpang di tempat henti 90 cm 60 cm. 2. Jarak bebas antara penumpang 30 cm. 3. Ukuran lindungan minimum 4 m 2 m.
Gambar 2.4 Tampak Atas Halte (10 berdiri, 10 duduk) Sumber: Departemen Perhubungan (1996:24)
Gambar 2.4 menunjukkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat halte: 1. Ukuran minimum dengan luas efektif halte adalah panjang ≥ 4 m dan lebar ≥ 2 m. 2. Ukuran minimum dengan luas efektif atap adalah panjang efektif halte + ≥ 40 cm (20 cm sisi kanan dan 20 cm sisi kiri) dan lebar efektif halte + ≥ 20 cm (penambahan pada bagian depan). Menurut Kemitraan Australia Indonesia (2011:6), untuk ruang gerak orang ketika duduk digunakan jarak 90 X 90 cm. Hal ini juga didukung oleh keterangan dari Gambar 2.3 bahwa ruang gerak orang yang duduk adalah 90 cm X 60 cm namun memiliki jarak bebas sebesar 30 cm (Departemen Perhubungan, 1996:21). 2.5
Model Empiris Proporsi Ukuran Data Sampel Terdapat formula yang cukup mudah untuk menghitung jumlah sampel yang diperlukan (Yamane (1967:886), seperti disitasi oleh Israel (1992:154)):
dimana n adalah jumlah data sampel, N adalah ukuran jumlah populasi, dan e adalah tingkat presisi. 2.6
Analisis Pareto Dalam analisis Pareto, hal-hal yang diperhatikan diidentifikasi dan diukur dengan skala tertentu dan diurutkan berdasarkan urutan descending sebagai distribusi kumulatif. Pada umumnya, 20% dari hal-hal yang telah diurutkan akan memberikan 80% atau lebih kontribusi untuk total aktivitas (Niebel & Freivalds, 2003:23). Dengan demikian, Pareto dapat digunakan
9 sebagai langkah pertama untuk menciptakan pengembangan di lingkungan kerja tertentu (Jafari, 2013:241). 2.7
Perhitungan Kekuatan Atap Rumus perhitungan untuk tegangan aktual
adalah (Gere &
Timoshenko, 1996:232):
dimana
adalah momen dan
adalah section modulus. Sedangkan
rumus untuk menghitung section modulus adalah (Gere & Timoshenko, 1996:232):
dimana d adalah diameter. Rumus untuk mengitung momen negatif pada sisi dalam dari tumpuan untuk komponen struktur yang dibuat menyatu (Badan Standarisasi Nasional, 2002:53): M = wtotal dimana L adalah panjang rangka dan wtotal adalah beban total.