BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Peran Suami dan Istri dalam Keluarga Jepang Setelah Perang Dunia II, ekonomi Jepang mengalami pertumbuhan pesat, hal ini mempengarungi bertambahnya jumlah jam kerja. Pemerintah menetapkan lamanya jam kerja yang dimiliki oleh pekerja dalam waktu satu minggu adalah 40 jam, kemudian dapat ditambah dengan jam kerja lembur yang tidak ditentukan lamanya. Jam kerja yang panjang tersebut, menyebabkan kurangnnya partisipasi peran ayah di dalam keluarga dan mengakibatkan wanita memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak dan melakukan tugas rumah tangga (Iwashita, 2011:41). Kimoto dalam Iwashita (2011:42) melakukan penelitian mengenai peran ayah di dalam keluarga, penelitian ini dilakukan melalui wawancara terhadap pekerja pria. Dikatakan bahwa anggota keluarga menikmati kekayaan materi yang diperoleh sebagai pengganti dari keberadaan ayah di dalam keluarga. Kemudian hal ini menjadi semakin kuat dan memberikan pengaruh yang besar terhadap cara kerja pekerja sebagai bagian dari sistem perusahaan yang berhubungan dengan program kesejahteraan dan promosi. Osawa dalam Iwashita (2011:42) juga mengatakan bahwa lingkungan keluarga tanpa kehadiran ayah, dipengaruhi oleh lamanya jam kerja yang dimiliki oleh pekerja. Hal ini dianalisis melalui sudut pandang peran ayah, yang menunjukkan bahwa penyebab kurangnya peran ayah dalam mendidik anak dan urusan rumah tangga adalah tuntutan pekerjaan, kemudian peran ayah di dalam rumah tersebut digantikan oleh ibu. Ochiai dalam Iwashita (2011:41) melakukan penelitian mengenai hubungan antara keluarga dengan tenaga kerja. Berdasarkan penelitian tersebut, dikatakan bahwa terdapat keterkaitan hubungan yang kuat antara keluarga dan tenaga kerja dengan pembagian kerja berdasarkan gender. Pria mencurahkan tenaganya untuk pekerjaan dan wanita mendedikasikan dirinya di dalam rumah, sehingga pria menjadi pemimpin dalam keluarga dan wanita pengikutnya. Pembagian kerja berdasarkan gender juga diungkapkan oleh Kubo (2009:276), yang mengatakan tugas suami untuk bekerja dan istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Dalam hal ini suami memiliki peran sebagai pencari 9
10
nafkah dan istri memiliki peran dalam urusan rumah tangga. Sehingga hal ini tentunya berpengaruh terhadap posisi suami sebagai kepala keluarga dan istri mendukung suami. 2.2 Konsep Ryosai Kenbo terhadap Peran Wanita dalam Keluarga Pada zaman Tokugawa, peran wanita hanya sekedar untuk melahirkan anak. Kemudian muncul pemahaman mengenai pentingnya pendidikan wanita yang dianggap
dapat
memberikan
pengaruh
dalam
kemajuan
negara.
Dalam
perkembangan pendidikan wanita di akhir era Meiji (1868-1912), prinsip ryosai kenbo sangat ditekankan sebagai gagasan terbaik dan dihormati sebagai satu-satunya tujuan pendidikan untuk wanita. Ryosai Kenbo diartikan sebagai istri yang baik dan ibu yang bijak, dengan harapan terhadap wanita untuk tidak bekerja di luar lingkungan rumah tangga mereka (Watanabe, 2011:25). Prinsip ryosai kenbo memberikan pengaruh yang besar terhadap tujuan pendidikan dari banyak jogakko. Jogakko merupakan sekolah SMA khusus wanita dengan sedikitnya kurikulum matematika dan bahasa Inggris, namun menekankan pada keterampilan menjahit dan pekerjaan rumah tangga. Pada tahun 1899, disahkannya undang-undang sekolah SMA khusus wanita yang menyatakan bahwa “penyelesaian sistematis dari pendidikan berdasarkan pada prinsip ryosai kenbo”, sehingga jogakko dianggap sebagai lembaga pelatihan untuk wanita menjadi ryosai kenbo (Watanabe, 2011:30). Kemudian di era Taisho (1912-1924), gagasan ryosai kenbo mendapat pengaruh dari berbagai negara Eropa, yakni gagasan tersebut semakin menekankan pada kontribusi wanita terhadap negara. Pria diharapkan untuk memberikan kontribusi secara langsung kepada negara, yakni sebagai pekerja industri dan mengambil bagian dalam angkatan bersenjata. Di sisi lain, wanita juga diharapkan untuk membantu suaminya dalam tugas rumah tangga serta memberikan generasi selanjutnya, sehingga secara tidak langsung wanita turut memberikan kontribusinya untuk negara. Hal ini menjadikan peran wanita sebagai keberadaan yang sangat dibutuhkan bagi negara (Watanabe, 2011:30). Pada era Showa
(1925-1945), kebijakan ryosai kenbo
diharapkan
memberikan dampak yang baik untuk negara, yakni menyuburkan negara dan memperkuat militer. Sehingga konsep ini menjadi prinsip dasar bagi wanita untuk
11
mengambil bagian dalam kemajuan negara. Hal ini berkaitan erat dengan kontribusi pria dan wanita terhadap negara, yakni wanita dihimbau untuk mencurahkan perhatiannya pada keluarga, serta membantu dan mendukung suami mereka (Watanabe, 2011:31). Peran wanita sebagai istri sekaligus ibu, dianggap sebagai sumber kekuatan bagi negara untuk membina keluarga yang ideal dalam masyarakat. Wanita dihimbau agar merawat dan memberikan kasih sayangnya untuk keluarga, sehingga tercipta kebahagian dan kenyamanan di dalam rumah. Peran wanita sebagai istri yang baik adalah dengan cara mengikuti, mendukung dan patuh terhadap suami. Sedangkan peran wanita sebagai ibu yang bijak adalah dengan penuh kasih sayang membesarkan dan mendidik anak, sehingga moral anak bergantung pada pendidikan yang diajarkan oleh ibu. Micaela dan Nocedo (2012:8) mengungkapkan konsep ryosai kenbo mengalami perubahan setelah Perang Dunia II, hal ini disebabkan oleh perubahan sosial, ekonomi dan kependudukan yang dialami negara Jepang. Ochiai dalam Micaela dan Nocedo (2012:9), menjelaskan perubahan sistem ie ( 家 ) keluarga Jepang menjadi kakukazoku (核家族) atau keluarga inti memberikan dampak pada perubahan kependudukan masyarakat Jepang, Kemudian kondisi kependudukan tersebut memberikan dampak pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Jepang. Kondisi ekonomi Jepang pada masa tersebut, memberikan pengaruh terhadap menurunnya partisipasi pekerja wanita. Mayoritas wanita Jepang pada masa tersebut, setelah menikah memutuskan untuk berhenti bekerja, kemudian setelah anak mereka besar, mereka akan kembali berkerja lagi dan pada umumnya mereka akan memilih pekerjaan paruh waktu (Micaela dan Nocedo, 2012:9). 2.3 Disharmonisasi Keluarga Pernikahan merupakan penggabungan dua individu menjadi satu. Hal ini juga diungkapkan oleh Omari dalam Esere (2003:26), yang mengatakan pernikahan sebagai penyatuan secara resmi antara pria dan wanita sebagai suami dan istri. Di dalam penikahan terbina sebuah keluarga yang berfungsi untuk memberikan perlindungan dan kasih sayang untuk setiap anggota keluarga. Alhassan dalam Esere (2003:26) mengatakan bahwa pernikahan menjadi sebuah lembaga sosial yang membentuk dua individu yang berbeda ke dalam suatu
12
keluarga. Perbedaan individu yang dimiliki pasangan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya dishamonisasi dalam keluarga. Pengertian disharmonisasi keluarga dikemukakan oleh Esere (2003:26) sebagai sebuah indikasi yang menunjukkan adanya perselisihan di dalam hubungan antara suami dan istri. Perselisihan diantara suami-istri dapat memungkinkan kedua belah pihak untuk saling menyakiti satu sama lain atau bahkan memaafkan dan melupakan, sehingga pada akhirnya perselisihan tersebut menunjukkan adanya sebuah hubungan penting diantara pasangan. Menurut Esere (2003:27), penyebab disharmonisasi keluarga dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu : 1. Perbedaan Individu (Individual Differences) : Dalam hubungan pernikahan, setiap pasangan memiliki karakter yang berbeda-beda tergantung pada individu masing-masing. Perbedaan karakter tersebut dapat meningkatkan kencendrungan yang tinggi terhadap terjadinya disaharmonisasi keluarga, dibandingkan dengan pasangan yang memiliki kepsribadian yang mirip antar satu sama lain. 2. Ketidakdekatan Emosi (Emotional Closeness) : Dalam hubungan suami-istri, ketidakdekatan emosi dapat menjadi penyebab terjadinya disharmonisasi keluarga. Kesalahpahaman, frustasi, persaingan dan kemarahan dapat mengakibatkan hubungan antara pasangan menjadi buruk. 3. Harapan dan Norma (Expectations and Norms) : Bagi pasangan harapan dan norma yang mereka miliki sering dijadikan sebagai dasar untuk memberikan penilaian terhadap pasangan. Peran gender yang tidak sesuai, rutinitas dalam kehidupan penikahan, serta harapan yang berlebihan terhadap pasangan dapat menimbulkan adanya ketidaksepahaman. Ketika terjadi ketidaksepahaman terhadap norma atau harapan yang dimiliki oleh pasangan, maka akan terjadi perselisihan yang menimbulkan disharmonisasi keluarga. 4. Pikiran Irasional (Irrational Thinking) : Pikiran yang tidak logis dan tidak realistis dapat membuat hubungan antara pasangan menjadi buruk. Pikiran tersebut dapat menimbulkan konflik dan perilaku disfungsional, terutama dalam hubungan pernikahan.
13
Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan asumsi yang salah dalam pikiran pasangan. 5. Pernyataan yang Mutlak (Absolute Statements) : Pasangan yang mengharapkan hubungan timbal balik diantara kedua pihak, biasanya tidak menyadari bahwa ekspektasi yang dimilikinya salah. Sehingga ketika terjadi perbedaan antara kenyataan dengan hal yang diharapkannya, hal ini akan menjadi pemicu terjadinya konflik dalam hubungan pernikahan yang merupakan bagian dari disharmonisasi keluarga. Alhassan dalam Esere (2003:27) juga menambahkan bahwa perselisihan, kesalahpahaman dan frustrasi merupakan hal yang wajar terjadi dalam hubungan rumah tangga. Pasangan suami-istri yang hidup bersama selama bertahun-tahun pasti akan mengalami konflik dalam keluarga. Apabila salah satu pihak bersikap terus mengalah terhadap konflik tersebut, dalam jangka waktu yang panjang hal ini akan memberikan dampak buruk dalam hubungan keluarga. Sehingga konflik tersebut harus ditanggapi, kemudian pasangan saling berusaha mengurangi konflik dengan cara memperbaiki kesalahan. Konflik yang terjadi dalam hubungan pernikahan memiliki tingkat yang berbeda-beda sesuai dengan perselisihan yang terjadi di dalam keluarga. Menurut Ibid dalam Jent (2005:113), disharmonisasi keluarga terbagi menjadi lima tingkat, yaitu : 1. Konflik Tersembunyi (Concealed Conflict) : Suami atau istri yang berusaha menyembunyikan konflik dari pasangan, memiliki perasaan takut jika konflik diungkapkan kepada pasangan. Perasaan takut ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, yaitu takut mengecewakan pasangan, takut mengalami penolakan dari pasangan dan takut menyakiti pasangan. 2. Konflik secara Terbuka (Overt Conflict) : Konflik yang terjadi diantara pasangan saling diungkapkan dan dinyatakan
secara
jelas
kepada
pasangan.
Kedua
pihak
saling
mengungkapkan amarahnya dan tidak menyangkal terjadinya konflik.
14
3. Konflik Kronis (Chronic Conflict) : Hubungan suami-istri mengalami konflik yang diakibatkan adanya masalah diantara pasangan. Masalah tersebut menjadi semakin rumit dan terus terjadi karena tidak dapat terselesaikan. 4. Konflik Progresif (Progressive Conflict) : Pasangan mengalami konflik yang terus-menerus terjadi dalam hubungan pernikahan. Konflik tersebut disebabkan adanya masalah yang semakin memburuk dan terus berlanjut, kemudian ditambah lagi dengan terjadinya masalah yang baru. 5. Konflik menjadi Kebiasaan (Habitual Conflict) : Konflik diantara pasangan menjadi suatu kebiasaan, karena terjadi dalam intensitas yang sangat sering. Sehingga membuat pasangan mengalami tekanan yang besar, hingga akibatnya memberikan dampak pada kejiwaan mental dalam diri pasangan. 2.4 Konsep Natsukashisa Natsukashisa (懐かしさ) dapat diartikan sebagai nostalgia. Natsukashisa atau nostalgia memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Istilah nostalgia pada awalnya merupakan suatu istilah yang digunakan dalam dunia medis. Menurut Hofer dalam Horiuchi (2007:197), pada mulanya nostalgia digunakan untuk istilah yang mengarah pada gejala homesick. Kata nostalgia berasal dari bahasa Yunani, yaitu notos (帰郷) yang memiliki arti “pulang ke rumah”, dan algia (痛み) yang berarti “sakit atau kesedihan”. Definisi nostalgia sendiri berbeda-beda menurut para ahli, salah satunya yaitu menurut Jameson dalam Horiuchi (2007:197), dia menilai konsep nostalgia dari bidang kritik kesusasteran, yaitu secara umumnya nostalgia pada sekarang ini merupakan kumpulan dari gambaran masa lalu yang bersifat estetis dan diwujudkan dalam dunia bisnis. Dari definisi ini, tentunya berbeda jauh dengan konsep nostalgia yang berhubungan dengan penyakit. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Davis dalam Wilson (2005:22), yang mengatakan bahwa nostalgia telah berubah dari penyakit, menjadi sebuah emosi yang merindukan masa lalu. Emosi yang muncul berupa cinta (love), kecemburuan (jealousy), dan ketakutan (fear) dengan kondisi seperti melankolis, kepanikan yang
15
berlebihan (obsessive compulsion) atau ketakutan terhadap tempat sempit (claustrophobia). Wilson (2005:22) mengatakan bahwa ketika seseorang memiliki kenangan yang bersifat nostalgia, berupa hal yang menyenangkan di masa lalu dan kenyataannya dia tidak berada pada situasi tersebut, maka akan muncul perasaan sedih dan kehilangan dalam dirinya. Sehingga Wilson (2005:36) menyimpulkan bahwa nostalgia merupakan sebuah emosi yang merindukan masa lalu dan merupakan kunci yang menghubungkan antara pembelajaran di masa lalu dan kebutuhan di masa sekarang. Definisi natsukashisa / nostalgia yang berkaitan dengan masa lalu juga dikemukakan oleh Kaplan dalam Konno dan Yoshikawa (2011:186), yaitu : 懐かしさは、過去の特定の記憶と関連する高揚した精神状態や 高揚した気分をもたらす感情。 Terjemahan : Nostalgia adalah perasaan yang memperkuat suasana hati dan membangkitkan semangat terhadap hal yang berhubungan dengan kenangan khusus di masa lalu. Perasaan nostalgia berhubungan dengan kenangan khusus yang terjadi pada masa lalu. Kenangan khusus tersebut berupa hal menyenangkan yang bersifat positif. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Berman dan Holbrook dalam Konno dan Yoshikawa (2011:186), yang mengatakan bahwa terdapat emosi yang postif dalam natsukashisa / nostalgia, yakni sebagai berikut : 昔慣れ親しんた'ものや行為に対する好意的な感情や回想時に 生し'るホ'シ'ティフ' な感情体験とされている。 Terjemahan : Perasaan nostalgia dianggap sebagai pengalaman pribadi yang positif, menyebabkan perasaan mengenang hal-hal yang baik terhadap pengalaman di masa lalu. Konno dan Yoshikawa (2011:186) menggambarkan emosi positif yang terkandung dalam perasaan natsukashisa berupa perasaan santai yang menenangkan, seperti misalnya perasaan ketika seseorang sedang mendengarkan lagu kesukaannya, mendengar suara kicauan burung pada pagi hari atau suara air sungai mengalir.
16
Menurut Kaplan dalam Konno dan Yoshikawa (2011:186), terdapat natsukashisa normal (正常な懐かしさ) dan natsukashisa abnormal (病的な懐かし さ). Natsukashisa normal (正常な懐かしさ) diartikan sebagai pengalaman pribadi yang berkaitan dengan hal yang diterima pada masa lalu. Sedangkan pengertian dari natsukashisa abnormal (病的な懐かしさ) adalah keinginan yang sangat besar untuk mengulang kembali pengalaman pribadi yang pernah terjadi di masa lalu, karena tidak bisa menerima keadaan diri sendiri pada saat ini. Nagata dalam Konno dan Yoshikawa (2011:186), menjelaskan penyebab dari natsukashisa abnormal (病的な懐かしさ), sebagai berikut : 寂しさや苦悩なと'への対処として回想を頻繁に行う高齢者 は、現在の満足度や人生における満足度か'低く、人生を統合 することか'困難て'、死に対する不安傾 向か'強いことを見 出した。この場合の回想は、おそらく病的な懐かしさをともな ったものて'あると考えられる。 Terjemahan : Orang tua yang sering mengalami kesepian, kesedihan dan lainnya, memiliki tingkat kepuasan yang rendah terhadap kehidupan dan keadaan yang mereka hadapi pada saat ini, serta karena mereka sulit untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan, mengakibatkan munculnya kecemasan yang kuat terhadap kematian. Sehingga situasi seperti ini, memungkinkan untuk terjadinya nostalgia abnormal. Dalam penjelasan tersebut, dikatakan bahwa natsukashisa abnormal dilakukan untuk mengatasi perasaan kesepian dan kesedihan. Pada umumnya perasaan tersebut dialami oleh orang tua, dalam keadaan mereka yang merasa tidak puas terhadap kehidupan yang sedang mereka jalani. Perasaan tidak puas tersebut, membuat mereka mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupannya, sehingga muncul perasaan cemas yang kuat terhadap kematian.