BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Kepemimpinan 2.1.1
Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri seseorang yang memimpin, yang tergantung dari macam-macam faktor, baik faktor-faktor intern maupun faktor-faktor ekstern (Winardi, h.47). Menurut
George
R.
Terry,
”Kepemimpinan
adalah
aktivitas
mempengaruhi orang-orang untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara sukarela (Hersey & Blanchard, h.98).” Dari definisi tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa (Winardi, h.56): -
aktivitas memimpin pada hakikatnya meliputi suatu hubungan;
-
adanya satu orang yang mempengaruhi orang-orang lain agar mereka mau bekerja ke arah pencapaian sasaran tertentu. Robert
Tannenbaum,
mendefinisikan
Irving
kepemimpinan
R.
Weschler,
sebagai
dan
”pengaruh
Fred
Messarik
antarpribadi
yang
dilakukan dalam suatu situasi dan diarahkan, melalui proses komunikasi, pada pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.” Harold Koontz dan Cyril O’Donnel
mengemukakan
bahwa
”kepemimpinan
adalah
upaya
mempengaruhi orang-orang untuk ikut dalam pencapaian tujuan bersama.”
31
Hasil tinjauan terhadap penulis-penulis lain mengungkapkan bahwa para penulis manajemen umumnya sepakat bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu (Hersey & Blanchard, h.99).
2.1.2
Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, h.49). Adapun sebagian besar teori kepemimpinan memfokuskan pada gaya kepemimpinan. Variabel ini sangat penting karena gaya kepemimpinan mencerminkan apa yang dilakukan oleh pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya untuk merealisasi visinya. Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik gaya yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukkan, secara langsung maupun tidak langsung, tentang keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya. Artinya, gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya (Veithzal Rivai, h.64).
32
2.1.3
Fungsi Kepemimpinan Secara
operasional
dapat
dibedakan
dalam
lima
fungsi
pokok
kepemimpinan, yaitu (Veithzal Rivai, h.53): a. Fungsi instruksi Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di mana perintah itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain agar mau melaksanakan perintah. b. Fungsi konsultasi Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan
keputusan,
pemimpin
kerapkali
memerlukan
bahan
pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi dari pimpinan pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik (feed back) untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Dengan menjalankan fungsi konsultatif dapat
diharapkan
keputusan-keputusan
pimpinan,
akan
mendapat
33
dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya, sehingga kepemimpinan berlangsung efektif. c. Fungsi partisipatif Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orangorang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan pelaksana. d. Fungsi delegasi Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan.
Orang-orang
penerima
delegasi
itu
harus
diyakini
merupakan pembantu pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi dan aspirasi. e. Fungsi pengendalian Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses atau efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan
34
bersama secara maksimal. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan.
2.1.4
Teori-teori Gaya Kepemimpinan
2.1.4.1 Studi Kepemimpinan Universitas Ohio Studi-studi kepemimpinan yang diawali pada tahun 1945 oleh Bureau of Business Research di Universitas Negeri Ohio berusaha mengidentifikasi berbagai dimensi perilaku pemimpin. Staf peneliti di biro itu, yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku seseorang pada saat mengarahkan
aktivitas
kelompok
pada
pencapaian
tujuan
akhirnya
mempersempit uraian perilaku pemimpin dalam dua dimensi: struktur inisiasi dan konsiderasi (initiating structure and consideration). Struktur inisiasi mengacu pada ”perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya sendiri dengan anggota kelompok kerja dan dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik”. Sebaliknya, konsiderasi mengacu pada ”perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya”. Dalam mempelajari perilaku pemimpin, staf Universitas Ohio menemukan bahwa struktur inisiasi dan konsiderasi merupakan dimensi-dimensi yang terpisah dan berbeda. Perilaku pemimpin dapat dilukiskan sebagai gabungan kedua dimensi tersebut. Dengan demikian, selama berlangsungnya studi-studi
35
itulah perilaku pemimpin pertama sekali diplotkan pada dua poros yang terpisah dan tidak pada satu kontinum saja. Selanjutnya dibentuk empat kuadran untuk menunjukkan variasi kombinasi struktur inisiasi (perilaku tugas) dan konsiderasi (perilaku hubungan) (Hersey & Blanchard, h.104).
2.1.4.2 Studi Kepemimpinan Universitas Michigan Penelitian kepemimpinan yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Survei Universitas Michigan pada waktu yang kurang lebih bersamaan dengan penelitian yang dilakukan di Ohio, mempunyai sasaran penelitian serupa: mencari karakteristik perilaku pemimpin yang tampak terkait dengan ukuran efektivitas kinerja. Kelompok Michigan juga menghasilkan dimensi perilaku kepemimpinan yang
mereka
sebut
berorientasi-karyawan
dan
berorientasi-produksi.
Pemimpin yang berorientasi karyawan dideskripsikan sebagai menekankan pada hubungan antarpribadi; mereka secara pribadi berminat pada kebutuhan bawahan mereka dan menerima perbedaan individual di antara anggotaanggota. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi-produksi, cenderung menekankan pada aspek teknis atau tugas atas pekerjaan tertentu, perhatian utama mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-anggota kelompok merupakan alat untuk mencapai hasil akhir itu. Kesimpulan yang didapatkan oleh para peneliti Michigan sangat menitikberatkan kepada pemimpin dengan perilaku berorientasi-karyawan.
36
Pemimpin yang berorientasi-karyawan dikaitkan dengan peningkatan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja. Pemimpin yang berorientasiproduksi cenderung dikaitkan dengan penurunan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja (Stephen P. Robbins, h.436).
2.1.4.3 Teori Kepemimpinan Kisi-kisi Majerial Penggambaran grafis atas pandangan dua-dimensi gaya kepemimpinan dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Mereka mengemukakan kisi-kisi manajerial (managerial grid) (sering kali juga dikenal sebagai kisi-kisi kepemimpinan) berdasarkan pada gaya ”kepedulian dan orang” dan ”kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasikaryawan dan berorientasi-produksi dari Michigan (Stephen P. Robbins, h.437). Robert R. Blake dan Jane S. Mouton telah mempopulerkan kedua konsep itu (menekankan pada penyelesaian tugas dan pengembangan hubungan pribadi) dalam geradi manajemen mereka dan telah menggunakan geradi itu secara ekstensif dalam program-program pengembangan organisasi dan manajemen (Hersey & Blanchard, h.106).
37
2.1.4.4 Teori Kontinjensi a. Teori Kontinum Perilaku Pemimpin Tannenbaum dan Schmidt (1958) (Wirawan, h.97) mengemukakan teori kontinum perilaku pemimpin. Menurut teori ini perilaku pemimpin ditentukan oleh kontinum antara 4 faktor: 1. Perilaku berorientasi tugas (task oriented) yaitu berapa besar pemimpin memusatkan perhatiannya kepada tugas yang harus diselesaikan dan menghasilkan produksi yang ditargetkan. 2. Perilaku berorientasi hubungan (relationship oriented) yaitu berapa besar pemimpin memperhatikan hubungannya dengan para pengikutnya. 3. Jumlah
otoritas
yang
dipergunakan
pemimpin
dalam
mempengaruhi pengikutnya. 4. Jumlah kebebasan yang dimiliki pengikut dalam melaksanakan tugasnya. b. Teori Gaya Kepemimpinan Berbagi Kekuasaan Teori ini mengambil pola pikir Tannenbaum dan Schmidt dan mengembangkan
model
gaya
kepemimpinan
berbagi
kebebasan
menggunakan kekuasaan. Model ini disusun dengan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan proses interaksi kekuasaan antara pemimpin dan para pengikutnya. Hubungan tersebut didasarkan pada dua dimensi yaitu tinggi rendahnya kebebasan penggunaan kekuasaan oleh pemimpin
38
dan
tinggi
rendahnya
kebebasan
pengikut
untuk
menggunakan
kekuasaannya dalam interaksi kepemimpinan (Wirawan, h.98). Dari dua dimensi tersebut gaya kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi lima jenis gaya kepemimpinan. Lima gaya kepemimpinan tersebut adalah (Wirawan, h.100): 1. Gaya kepemimpinan otokratik. 2. Gaya kepemimpinan paternalistik. 3. Gaya kepemimpinan partisipatif. 4. Gaya kepemimpinan demokratif. 5. Gaya kepemimpinan pemimpin terima beres (free rein atau laissez faire). c. Teori Konsep Kecocokan Pemimpin (Leadership Match Concept) Teori model kontinjensi keefektifan kepemimpinan dari Fiedler kemudian dikembangkan menjadi Leader Match Concept oleh Fiedler dan Chemers (1984). Teori Leadership Match ditentukan oleh 2 faktor: 1. Gaya kepemimpinan Menurut Fiedler dan Chemers gaya kepemimpinan adalah derajat hubungan antara seseorang dengan teman sekerjanya dengan siapa ia paling tidak ingin bekerja atau Least Preffered Coworker (LPC). Derajat hubungan tersebut diukur dengan suatu test yang disebut LPC scale atau Skala Teman Sekerja Paling Kurang Disukai.
39
Berdasarkan hasil test tersebut pemimpin dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (Wirawan, h.104): a. Pemimpin Termotivasi Hubungan (Relationship Motivated Leaders) b. Pemimpin Sosio-independen (Sosio-independent Leaders) c. Pemimpin Termotivasi Tugas (Task-motivated Leaders) 2. Situasi Kepemimpinan Ada tiga komponen yang menentukan kontrol dan pengaruh dalam suatu situasi (Wirawan, h.106) yaitu: a. Hubungan pemimpin dan pengikut (Leader-member relation) yaitu sampai seberapa besar pengikut atau kelompok mendukung dan loyal kepada pemimpin. b. Struktur tugas (Task Structure). Sampai seberapa rinci tugas menyatakan tujuan, prosedur dan pedoman khusus untuk melaksanakan tugas. c. Kekuasaan possional (Position Power). Sampai seberapa besar posisi atau jabatan memberikan otoritas atau wewenang kepada pemimpin untuk memberi imbalan dan menghukum pengikut. 3. Mencocokan Gaya Kepemimpinan dengan Situasi Kepemimpinan Tidak semua gaya kepemimpinan cocok dengan semua situasi kepemimpinan. Dengan kata lain pemimpin harus mencocokannya
40
dengan situasi kontrol kepemimpinan yang dihadapinya (Wirawan, h.109).
2.1.4.5 Teori Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard Kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara (2) kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin; (2) kadar dukungan sosio-emosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin; dan (3) level kesiapan (“kematangan”) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu (Hersey & Blanchard, h.178). Gaya kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku yang diperlihatkan orang itu pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain. Gaya kepemimpinan seseorang terdiri dari kombinasi dari perilaku tugas dan perilaku hubungan. Kedua jenis perilaku itu, tugas dan hubungan, yang merupakan inti konsep gaya kepemimpinan, didefinisikan sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.114): -
Perilaku tugas adalah kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut); menjelaskan aktivitas setiap
anggota
serta
kapan,
di
mana,
dan
bagaimana
cara
menyelesaikannya; dicirikan dengan upaya untuk menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi, dan cara penyelesaian pekerjaan secara rinci dan jelas.
41
Pendapat tersebut jelas bahwa perilaku tugas dapat menentukan apa yang dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan dikerjakan, untuk apa, jumlah biaya, darimana dan dengan siapa mengerjakannya dan kesemuanya ini disampaikan kepada karyawan. Adapun instrumen untuk mengukur perilaku tugas menurut Hersey, Blanchard dan Hembleton yang didasarkan dalam lima dimensi perilaku sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.191): Tabel 2.1 Instrumen untuk Mengukur Perilaku Tugas Pemimpin DIMENSI INDIKATOR PERILAKU PERILAKU TUGAS Sejauh mana pemimpin … Penyusunan tujuan
Menetapkan tujuan yang perlu dicapai orang-orang.
Pengorganisasian
Mengorganisasi situasi kerja bagi orang-orangnya.
Menetapkan batas waktu
Menetapkan batas waktu bagi orang-orangnya.
Pengarahan
Memberikan arahan spesifik.
Pengendalian
Menetapkan dan mensyaratkan adanya laporan regular tentang kemajuan pelaksanaan pekerjaan.
-
Perilaku hubungan adalah kadar upaya pemimpin membina hubungan pribadi di antara mereka sendiri dan dengan para anggota kelompok mereka
(pengikut)
dengan
membuka
lebar
saluran
komunikasi,
42
menyediakan
dukungan
sosio-emosional,
”sambaran-sambaran
psikologis”, dan pemudahan perilaku. Adapun instrumen untuk mengukur perilaku hubungan menurut Hersey, Blanchard dan Hembleton yang didasarkan dalam lima dimensi perilaku sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.191): Tabel 2.2 Instrumen untuk Mengukur Perilaku Hubungan Pemimpin DIMENSI INDIKATOR PERILAKU PERILAKU HUBUNGAN Sejauh mana pemimpin … Memberikan dukungan
Memberikan dukungan dan dorongan.
Mengkomunikasikan
Melibatkan orang-orang dalam diskusi yang bersifat "memberi dan menerima" tentang aktivitas kerja.
Memudahkan interaksi
Memudahkan interaksi di antara orang-orangnya.
Aktif menyimak
Berusaha mencari dan menyimak pendapat dan kerisauan orang-orangnya. Memberikan balikan tentang prestasi orang-
Memberikan balikan orangnya.
43
Dua hal yang biasa dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahan atau pengikutnya adalah: Perilaku Tugas dan Perilaku Hubungan (Thoha, h.77). Perilaku tugas ialah suatu perilaku seorang pemimpin untuk mengatur dan merumuskan peranan-peranan dari anggota-anggota kelompok atau para pengikut; menerangkan kegiatan yang harus dikerjakan oleh masing-masing anggota, kapan dilakukan, di mana melaksanakannya, dan bagaimana tugastugas itu harus dicapai. Selanjutnya disifati oleh usaha-usaha untuk menciptakan pola organisasi yang mantap, jalur komunikasi yang jelas, dan cara-cara melakukan jenis pekerjaan yang harus dicapai. Perilaku hubungan ialah suatu perilaku seorang pemimpin yang ingin memelihara hubungan-hubungan antarpribadi di antara dirinya dengan anggota-anggota kelompok atau para pengikut dengan cara membuka lebarlebar jalur komunikasi, mendelegasikan tanggungjawab, dan memberikan kesempatan pada para bawahan untuk menggunakan potensinya. Hal semacam ini disifati oleh dukungan sosio-emosional, kesetiakawanan, dan kepercayaan bersama. Pengenalan kedua perilaku di atas sebagai suatu dimensi penting dari perilaku pemimpin, telah dikenal sebagai suatu bagian yang penting dari kerja keras ahli-ahli manajemen beberapa dasawarsa terakhir ini.
44
Gambar 2.1 Empat Gaya Dasar Kepemimpinan
Empat gaya dasar kepemimpinan yaitu (Thoha, h.67): 1. Gaya 1 (G1): Instruksi (memberitahukan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan. Gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin memberikan batasan peranan pengikutnya dan memberitahu mereka tentang apa, bagaimana, bilamana, dan di mana melaksanakan berbagai tugas. Inisiatif
45
pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin. 2. Gaya 2 (G2): Konsultasi (menjajakan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan. Dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan komunikasi dua arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun dukungan
ditingkatkan,
pengendalian
(control)
atas
pengambilan
keputusan tetap pada pemimpin. 3. Gaya 3 (G3): Partisipasi (mengikutsertakan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan. Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya 3 ini, pemimpin dan pengikut saling tukar-menukar ide dalam pemecahan masalah dan pembuat keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, dan peranan pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar berada pada pihak
46
pengikut. Hal ini sudah sewajarnya karena pengikut memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas. 4. Gaya 4 (G4): Delegasi (mendelegasikan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan. Pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan pertunjukkan mereka sendiri karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggungjawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri.
2.2 Kematangan/ Kesiapan Pengikut atau Kelompok Kematangan (maturity) didefinisikan sebagai kemampuan dan kemauan (ability and willingness) orang-orang untuk memikul tanggungjawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri. Variabel-variabel kematangan itu hendaknya hanya dipertimbangkan dalam kaitannya dengan tugas tertentu yang perlu dilaksanakan. Artinya, seseorang atau suatu kelompok tidak dapat dikatakan matang atau tidak matang dalam arti menyeluruh. Semua orang cenderung lebih atau kurang matang dalam hubungannya dengan tugas, fungsi, atau sasaran
47
spesifik yang diupayakan pemimpin untuk diselesaikan melalui upaya mereka (Hersey & Blanchard, h.179). Kesiapan pengikut terdiri dari dua komponen yaitu: a. Kemampuan atau ability pengikut. Adalah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dibawa oleh individual atau kelompok pengikut untuk melaksanakan tugas atau aktifitas tertentu. b. Kemauan atau wilingness. Yaitu sampai seberapa besar individu atau kelompok pengikut mempunyai kepercayaan diri, komitmen dan motivasi untuk melakukan suatu tugas tertentu. Berdasarkan kemampuan dan kemauan, kesiapan atau readiness pengikut dapat dikelompokkan menjadi empat level kesiapan, seperti tertera pada tabel di bawah ini: Tabel 2.3 Kontinum Tingkat Kematangan Pengikut
48
Indikator dari kesiapan setiap level tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dalam Kesiapan Level 1 (M1), pengikut tidak mampu dan kurang komitmen dan motivasi untuk melaksanakan tugasnya atau dapat juga pengikut tidak mampu dan merasa tidak percaya diri untuk melaksanakan tugasnya. Indikator R1 atau tak mampu dan tidak mau antara lain adalah: a. Tidak melakukan tugas pada level yang dapat diterima. b. Terintimidasi oleh tugasnya. c. Tidak jelas mengenai arah tugas. d. Penundaan pelaksanaan tugas. e. Mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai tugas. f. Menghindari tugas. g. Menjadi defensif atau tidak enak untuk melaksanakan tugas. 2. Dalam Kesiapan Level 2 (M2), pengikut tidak mampu akan tetapi mempunyai kemauan untuk melaksanakan tugas. Pemimpin kurang kemampuannya akan tetapi termotivasi untuk berupaya melaksanakan tugasnya. Atau pengikut tidak mampu tapi punya percaya diri untuk melaksanakan tugasnya sepanjang pemimpin berada di dekatnya untuk memberikan panduan. Indikatornya adalah sebagai berikut: a. Punya keinginan dan senang. b. Tertarik dan responsif. c. Menunjukkan kemampuan sedang. d. Mau menerima masukan.
49
e. Penuh perhatian. f. Antusiastik. g. Mau melaksanakan tugas baru tanpa pengalaman. 3. Dalam Kesiapan Level 3 (M3), pengikut mempunyai kemampuan akan tetapi tidak mempunyai kemauan untuk mempergunakan kemampuannya untuk melaksanakan tugas. Dapat juga pengikut mempunyai kemampuan akan tetapi tidak mempunyai percaya diri untuk melaksanakan tugasnya. Indikator kesiapan ini adalah sebagai berikut: a. Telah menunjukkan pengetahuan dan kemampuan. b. Tampak ragu-ragu untuk menyelesaikan atau mengambil langkah berikutnya dalam melaksanakan tugas. c. Kelihatannya takut, kaget dan bingung. d. Tampak masa bodo untuk melaksanakan tugas sendiri. e. Sering meminta balikan. 4. Dalam Kesiapan Level 4 (M4), pengikut mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan tugas. Atau mungkin juga pengikut mempunyai kemampuan dan mempunyai percaya diri untuk melaksanakan tugasnya. Indikator dari kesiapan ini adalah: a. Membuat atasan selalu terinformasi tentang kemajuan pelaksanaan tugas. b. Mempergunakan sumber secara efisien. c. Bertanggungjawab dan berorientasi pada hasil.
50
d. Dapat melaksanakan tugas secara independent. e. Berbagi berita baik dan buruk. f. Membuat keputusan yang efektif mengenai tugas. g. Melaksanakan standar tinggi. h. Berbagi ide kreatif. i. Menyelesaikan tugas tepat waktu atau lebih cepat.
2.3 Komponen Kematangan Konsep kematangan terdiri dari dua dimensi yaitu (Hersey & Blanchard, h.187): 1. Kematangan pekerjaan Dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Orang-orang yang memiliki kematangan pekerjaan yang tinggi dalam bidang tertentu memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu tanpa arahan dari orang lain. Seseorang yang tinggi kematangan kerjanya boleh jadi akan mengatakan: ”Saya benar-benar berbakat dalam bagian pekerjaan saya yang ini. Saya dapat bekerja sendiri dalam bidang itu tanpa memerlukan banyak bantuan dari pimpinan saya.” Untuk mengukur kematangan pekerjaan menurut Hersey, Blanchard dan Hembleton digunakan skala kematangan sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.189):
51
Tabel 2.4 Format Pengharkatan Skala Kematangan Pekerjaan oleh Manajer
2. Kematangan Psikologis Dikaitkan dengan kemauan atau motivasi untuk melakukan sesuatu. Hal ini erat kaitannya dengan rasa yakin dan keikatan. Orang-orang yang sangat matang secara psikologis dalam bidang atau tanggungjawab tertentu merasa bahwa tanggungjawab merupakan hal yang penting serta memiliki rasa yakin terhadap diri sendiri dan merasa dirinya mampu dalam aspek pekerjaan tertentu. Mereka tidak membutuhkan dorongan ekstensif untuk mau melakukan hal-hal dalam bidang tersebut. Komentar orang yang sangat matang secara psikologis kemungkinan besar adalah: ”Saya sangat menyenangi aspek pekerjaan saya yang ini. Atasan saya tidak perlu mengawasi saya dengan ketat atau mendorong saya untuk melakukan pekerjaan dalam bidang itu.” Untuk mengukur kematangan psikologis menurut Hersey, Blanchard dan Hembleton digunakan skala kematangan sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.189):
52
Tabel 2.5 Format Pengharkatan Skala Kematangan Psikologis oleh Manajer
2.4 Gaya Pemimpin Versus Kematangan Pengikut Gaya kepemimpinan yang sesuai (gaya pemimpin) bagi level kematangan tertentu dari pengikut digambarkan dengan kurva preskriptif yang bergerak melalui keempat kuadran kepemimpinan. Kurva berbentuk lonceng itu disebut kurva preskriptif karena hal itu menunjukkan gaya kepemimpinan yang sesuai langsung di atas level kematangan yang berkaitan.
53
Hubungan gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan dilukiskan dalam gambar berikut ini (Thoha, h.70):
Gambar 2.2 Model Kepemimpinan Situasional
Gambar di atas berusaha menggambarkan hubungan antara tingkat kematangan para pengikut atau bawahan dengan gaya kepemimpinan yang sesuai untuk diterapkan ketika para pengikut bergerak dari kematangan yang sedang ke kematangan yang telah berkembang (dari M1 sampai dengan M4). Hubungan tersebut dapat diikuti uraian penjelasannya sebagai berikut (Thoha, h.71): 1. G1 (Instruksi), diberikan untuk pengikut yang rendah kematangannya. Orang yang tidak mampu dan mau (percaya diri) (M1) memiliki tanggungjawab
54
untuk melaksanakan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki keyakinan. Dalam banyak kasus ketidakinginan mereka merupakan akibat dari ketidakyakinannya
atau
kurangnya
pengalaman
dan
pengetahuannya
berkenaan dengan suatu tugas. Dengan demikian, gaya pengarahan (G1) memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik. 2. G2 (Konsultasi), adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang. Orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan (M2) untuk memikul tanggungjawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. Dengan demikian, gaya konsultasi (G2) yang memberikan perilaku mengarahkan, karena mereka kurang mampu, juga memberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias, tampaknya merupakan gaya yang sesuai digunakan bagi individu pada tingkat kematangan seperti ini. 3. G3 (Partisipasi), adalah bagi tingkat kematangan dari sedang ke tinggi. Orangorang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkeinginan
(M3)
untuk
melakukan
suatu
tugas
yang
diberikan.
Ketidakinginan mereka itu seringkali disebabkan karena kurangnya keyakinan. Namun bila mereka yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau, maka keengganan mereka untuk melaksanakan tugas tersebut lebih merupakan persoalan motivasi dibandingkan persoalan keamanan. Dengan demikian, gaya yang mendukung, tanpa mengarahkan, partisipasi (G3) mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi untuk diterapkan bagi individu dengan tingkat kematangan seperti ini.
55
4. G4 (Delegasi), adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang-orang dengan tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggungjawab (M4). Dengan demikian, gaya delegasi yang berprofil rendah (G4) memberikan sedikit pengarahan atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu-individu dalam tingkat kematangan seperti ini.
Adapun gaya kepemimpinan yang sesuai dalam kaitannya dengan berbagai level kematangan dapat dilihat pada tabel berikut ini (Hersey & Blanchard, h.183): Tabel 2.6 Gaya Kepemimpinan yang Sesuai dengan Berbagai Level Kematangan LEVEL KEMATANGAN
GAYA YANG SESUAI
M1
G1
Rendah Tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin
Memberitahukan Perilaku tinggi tugas dan rendah hubungan
M2 Rendah ke sedang Tidak mampu tetapi mau atau yakin
G2 Menjajakan Perilaku tinggi tugas dan tinggi hubungan
M3 Sedang ke tinggi Mampu tetapi tidak mau atau tidak yakin
G3 Mengikutsertakan Perilaku tinggi hubungan dan rendah tugas
M4 Tinggi Mampu/ kompeten dan mau/ yakin
G4 Mendelegasikan Perilaku rendah hubungan dan rendah tugas
56
2.5 Kinerja Karyawan 2.5.1
Definisi Kinerja Karyawan Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Kanada (1979), berasal dari akar kata ”to perform” dengan beberapa ”entries” yaitu: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute); (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow); (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggungjawab (to execute or complete an understaking); dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine). Beberapa pengertian berikut ini akan memperkaya wawasan kita tentang kinerja (Rivai, h.14). 1.
Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch and Keeps: 1992).
2.
Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja (Griffin: 1987).
57
3.
Kinerja dipengaruhi oleh tujuan (Mondy and Premeaux: 1993).
4.
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Hersey and Blanchard: 1993).
5.
Kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan (Casio: 1992).
6.
Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik (Donnely, Gibson and Ivancevich: 1994).
7.
Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu, yakni: (a) tugas individu: (b) perilaku individu: dan (c) ciri individu (Robbin: 1996).
8.
Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang
dilakukan
oleh
individu,
kelompok
maupun
perusahaan
(Schermerhorn, Hunt an Osborn: 1991). 9.
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O),
58
yaitu kinerja = f ( A × M × O) . Artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins: 1996). Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintanganrintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat.
Dengan demikian, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat
dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.
59
2.5.2
Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya masing-masing secara keseluruhan. Manfaat penilaian kinerja bagi semua pihak adalah agar mereka mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam manfaat penilaian kinerja adalah (Rivai, h.55): 1. Manfaat bagi karyawan yang dinilai Bagi karyawan yang dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja adalah antara lain: -
Meningkatkan motivasi;
-
Meningkatkan kepuasan kerja;
-
Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan mereka;
-
Umpan balik dari kinerja lalu yang akurat dan konstruktif;
-
Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan menjadi besar;
-
Pengembangan perencanaan untuk meningkatkan kinerja dengan membangun kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal mungkin;
-
Adanya kesempatan untuk berkomunikasi ke atas.
2. Manfaat bagi penilai (Supervisor) -
Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan kecenderungan kinerja karyawan untuk perbaikan manajemen selanjutnya;
60
-
Kesempatan untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang pekerjaan individu dan departemen yang lengkap;
-
Memberikan peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan baik untuk pekerjaan manajer sendiri, maupun pekerjaan dari bawahannya;
-
Identifikasi gagasan untuk peningkatan tentang nilai pribadi;
-
Peningkatan kepuasan kerja;
-
Pemahaman yang lebih baik terhadap karyawan, tentang rasa takut, rasa grogi, harapan dan aspirasi mereka;
-
Meningkatkan kepuasan kerja, baik dari para supervisor maupun dari para karyawan.
3. Manfaat bagi perusahaan Bagi perusahaan, manfaat penilaian adalah antara lain: -
Perbaikan seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan, karena: a) Komunikasi menjadi lebih efektif mengenai tujuan perusahaan dan nilai budaya perusahaan b) Peningkatan rasa kebersamaan dan loyalitas c) Peningkatan
kemampuan
dan
kemauan
manajer
untuk
menggunakan keterampilan atau keahlian memimpinnya untuk memotivasi
karyawan
dan
mengembangkan
kemauan
dan
keterampilan karyawan -
Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan oleh masing-masing karyawan;
61
-
Meningkatkan kualitas komunikasi;
-
Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan;
-
Meningkatkan
keharmonisan
hubungan
dalam
pencapaian
tujuan
perusahaan; -
Peningkatan segi pengawasan melekat dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh karyawan;
-
Harapan dan pandangan jangka panjang dapat dikembangkan.
2.6 Identifikasi Variabel Penelitian
Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi (Sugiyono, h.33): a. Variabel Independen Variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, prediktor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). b. Variabel Dependen Sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
62
c. Variabel Moderator Adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan memperlemah) hubungan antara variabel independen dengan dependen. Variabel disebut juga sebagai variabel independen kedua. d. Variabel Intervening Adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi (memperlemah dan memperkuat) hubungan antara variabel independen dengan dependen, tetapi tidak dapat diamati dan diukur. e. Variabel Kontrol Adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga pengaruh variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. Variabel kontrol sering digunakan oleh peneliti, bila akan melakukan penelitian yang bersifat membandingkan.
2.7 Penentuan Pengelompokkan Data
Data diperlukan dalam penelitian sebagai bahan acuan untuk membuat analisa. Ada berbagai sumber data yang bisa dikumpulkan atau diakses oleh periset untuk menghasilkan informasi. Dilihat dari asal atau sumbernya data dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu (Istijanto, h.26): 1. Data Sekunder Data sekunder dapat didefinisikan sebagai data yang telah dikumpulkan pihak lain, bukan oleh periset sendiri, untuk tujuan lain. Artinya, periset adalah
63
”tangan kedua” yang sekadar mencatat, mengakses, atau meminta data tersebut (yang kadang sudah berwujud informasi) ke pihak lain yang telah mengumpulkannya di lapangan (Istijanto, h.27). 2. Data Primer Data Primer adalah data asli yang dikumpulkan sendiri oleh periset untuk menjawab masalah risetnya secara khusus (Istijanto, h.32).
2.8 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari sampel penelitian, dilakukan dengan metode tertentu sesuai dengan tujuannya. Ada berbagai metode yang telah kita kenal antara lain wawancara, pengamatan (observasi), kuesioner (angket) dan dokumenter. a. Observasi Metode observasi dijalankan dengan mengamati dan mancatat pola perilaku orang, objek, atau kejadian-kejadian melalui cara yang sistematis (Malhotra, 1996). Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Penyaksian terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat, mendengarkan, merasakan, yang kemudian dicatat seobjektif mungkin. Proses pengamatan terdiri atas: -
Persiapan termasuk latihan (training)
-
Memasuki lingkungan penelitian
64
-
Memulai interaksi
-
Pengamatan dan pencatatan
-
Menyelesaikan tugas lapangan
b. Wawancara Wawancara adalah metode yang digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung, mendalam, tidak terstruktur, dan individual, ketika seorang responden ditanyai pewawancara guna mengungkapkan perasaan, motivasi, sikap, atau keyakinannya terhadap suatu topik SDM (diadaptasi dari Malhotra, 2004). Menurut Muhammad Ali, keunggulan wawancara sebagai alat penelitian adalah: -
Wawancara dapat dilaksanakan kepada setiap individu tanpa dibatasi oleh faktor usia maupun kemampuan membaca.
-
Data yang diperoleh dapat langsung diketahui objektifitasnya karena dilaksanakan secara tatap muka.
-
Wawancara dapat dilaksanakan langsung kepada responden yang diduga sebagai sumber data (dibandingkan dengan angket yang mempunyai kemungkinan diisi oleh orang lain).
-
Wawancara dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki hasil yang diperoleh baik melalui observasi terhadap objek manusia maupun bukan manusia; juga hasil yang diperoleh melalui angket.
65
-
Pelaksanaan wawancara dapat lebih fleksibel dan dinamis karena dilaksanakan dengan hubungan langsung, sehingga memungkinkan diberikannya penjelasan kepada responden bila suatu pertanyaan kurang dapat dimengerti.
Meskipun wawancara mempunyai banyak manfaat, namun terdapat pula beberapa kelemahan antara lain: -
Oleh karena wawancara biasanya dilakukan secara perseorangan, maka pelaksanaannya menuntut banyak waktu, tenaga, dan biaya, terutama bila ukuran sampel cukup besar.
-
Faktor bahasa baik dari pewawancara maupun responden, sangat mempengaruhi hasil atau data yang diperoleh.
-
Sering terjadi wawancara yang dilakukan secara bertele-tele.
-
Wawancara menuntut penyesuaian diri secara emosional atau mentalpsikis antara pewawancara dan responden.
-
Hasil wawancara banyak tergantung pada kemampuan pewawancara dalam menggali, mencatat, dan menafsirkan setiap jawaban.
Wawancara dilihat dari bentuk pertanyaan dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu: a. Wawancara berstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban dalam pola pertanyaan yang dikemukakan. b. Wawancara tak berstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara bebas oleh responden tanpa terikat pada pola-pola tertentu.
66
c. Wawancara campuran, dimana bentuk ini merupakan campuran antara wawancara berstruktur dan tak berstruktur. c. Kuesioner Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang digunakan periset untuk memperoleh data secara langsung dari sumber melalui proses komunikasi atau dengan mengajukan pertanyaan. Apabila metode pengamatan dan wawancara menempatkan peneliti dalam hubungan langsung dengan responden, maka hubungan itu dilakukan melalui media, yaitu daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden. Keunggulan kuesioner antara lain: -
Dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel.
-
Dalam menjawab pertanyaan, responden dapat lebih leluasa karena tidak dipengaruhi oleh sikap mental hubungan antara peneliti dan responden.
-
Setiap jawaban dapat dipikirkan masak-masak terlebih dahulu, karena tidak terikat oleh cepatnya waktu yang diberikan kepada responden untuk menjawab pertanyaan sebagaimana dalam wawancara.
-
Data yang dikumpulkan dapat lebih mudah dianalisis, karena pertanyaan yang diajukan kepada setiap responden adalah sama.
67
Kelemahannya antara lain: -
Pemakaian kuesioner terbatas pada pengumpulan pendapat atau fakta yang diketahui responden, yang tidak dapat diperoleh dengan jalan lain.
-
Sering terjadi, kuesioner diisi oleh orang lain (bukan responden yang sebenarnya), karena dilakukan tidak secara langsung berhadapan muka antara peneliti dan responden.
-
Kuesioner diberikan terbatas kepada orang yang tidak buta huruf.
d. Metode dokumenter Dokumen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Jurnal dalam bidang keilmuan tertentu termasuk dokumen penting yang merupakan acuan bagi peneliti dalam memahami objek penelitiannya. Bahkan, literatur-literatur yang relevan dimasukkan pula dalam kategori dokumen yang mendukung penelitian.
2.9 Penetapan Skala Kuesioner
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, h.84). Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian
68
indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif (+) sampai sangat negatif (-) yang dapat berupa kata-kata, antara lain (Sugiyono, h.86): 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Ragu-ragu 4. Tidak setuju 5. Sangat tidak setuju
2.10
Pretest Kuesioner
Pretest merupakan pengumpulan data pendahuluan yang boleh dikatakan sebagai suatu gladi bersih untuk turun ke lapangan yang sebenarnya. Tempat untuk pretest harus dipilih sedemikian rupa sehingga hampir bersamaan atau sama dengan lapangan yang sebenarnya. Hasil dari pretest ini dapat dilihat kelemahan-kelemahan dari suatu kuesioner. Mungkin ada beberapa pertanyaan yang tidak relevan, atau range (jangka) dari pendapatan tidak cukup banyak, ataupun desain dari penelitian yang kurang sesuai. Hasil dari analisa tersebut akan dijadikan bahan untuk mengadakan perubahan ataupun penyesuaian dalam membuat daftar pertanyaan yang baru.
69
Beberapa hal perlu mendapat perhatian dalam mengadakan analisa terhadap pretest, yaitu: -
Jawaban yang diperoleh memperlihatkan ketidakadaan atau kekurangan dalam hal distribusi ataupun urutan, ataupun tidak memperlihatkan suatu pola tertentu. Hal ini mungkin disebabkan oleh item dalam pertanyaan kurang baik dibuat.
-
Terlalu banyak jawaban yang sama untuk semua responden, ataupun terlalu banyak jawaban mengiyakan. Hal ini menunjukkan ada kelemahan dalam membuat daftar pertanyaan mengenai item tertentu, sehingga responden memberikan responsi klise.
-
Terlalu banyak yang menjawab ”tidak tahu” atau ”tidak mengerti”. Ini dapat diakibatkan oleh pertanyaan yang terlalu sulit untuk dimengerti. Pertanyaan yang kurang jelas juga dapat mengakibatkan jawaban ”tidak tahu”.
-
Banyak pertanyaan yang tidak dijawab oleh responden memperlihatkan bahwa pertanyaan tersebut terlalu pribadi, ataupun jaminan kerahasiaan penelitian tidak dicantumkan ataupun kurang dipercayai oleh responden.
2.11
Pengolahan Data
2.11.1 Statistika Deskriptif
Definisi statistika deskriptif menurut Wallpole (1995) (Wallpole, h.2) adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian
70
suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Pada dasarnya statistika deskriptif memberikan informasi mengenai data dan sama sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus data induknya yang lebih besar. Analisis pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik setiap variabel pada sampel penelitian melalui analisis deskriptif. Alat-alat analisis yang dipakai pada analisis deskriptif adalah: -
Tabel distribusi frekuensi sederhana
-
Diagram statistik
-
Perhitungan ukuran tendensi pusat dan ukuran dispersi
-
Estimasi parameter.
2.11.2 Uji Validitas
Validitas adalah derajat yang menyatakan suatu test mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu test tidak begitu saja melekat pada test itu sendiri, tetapi tergantung penggunaan dan subjeknya. Test yang valid untuk penggunaan tertentu, yaitu valid untuk tujuan khusus tertentu dan untuk kelompok tertentu, belum tentu valid untuk penggunaan yang lain atau kelompok subjek dengan karakteristik yang lain. Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh suatu alat ukur mengukur apa yang hendak diukur. Pengujian validitas menggunakan
71
teknik item-item consistency, yaitu dengan menghitung nilai korelasi antara skor setiap item dengan skor total item. Suatu item dikatakan valid apabila hasil uji korelasi menunjukkan item tersebut mempunyai korelasi yang signifikan terhadap skor total. Dalam hal ini digunakan nilai rtabel berderajat (n-2) dan tingkat signifikansi 0.05 sebagai nilai pembanding untuk menentukan penolakan atau penerimaan H 0 . Uji validitas dilakukan untuk semua pertanyaan pada kuesioner, adapun syarat adar dikatakan valid adalah rtabel < rhitung . Data yang diuji adalah 30, oleh karena itu daperoleh nilai df = (n-2) = 30-2 = 28. Untuk level of significance 0.05 for two-tailed test dan df = 28, maka diperoleh nilai rtabel = 0.374 (lampiran). Namun apabila rhitung
< rtabel , maka pertanyaan tersebut
dieleminasi, kemudian dilakukan uji validitas lagi. Hal tersebut terus dilakukan hingga semua pertanyaan memiliki nilai rhitung > rtabel (Santoso, h.77).
2.11.3 Uji Reliabilitas
Reliabilitas suatu test adalah seberapa besar derajat test mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Reliabilitas dinyatakan dalam bentuk angka, biasanya sebagai koefisien. Koefisien tinggi berarti reliabilitas tinggi.
72
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat seberapa jauh alat ukur memberikan hasil yang relatif sama bila dilakukan pengukuran kembali terhadap gejala yang sama untuk waktu yang berbeda. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode internal
consistency yaitu dengan menghitung Coefficient Alpha Cronbach ( α ), yaitu interkorelasi antar item-item dalam suatu alat ukur yang sama. Untuk uji reliabilitas, dari nilai Alpha Cronbach yang diperoleh akan dibandingkan dengan nilai rtabel berderajat (n-2) dan tingkat signifikansi 0.05. Dalam banyak penelitian di bidang sosial, suatu alat ukur dikatakan telah reliabel jika menunjukkan nilai Alpha Cronbach lebih besar dari rtabel . Pengolahan dengan SPSS 12.00 Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.204): 1. Masukkan hasil pre-test ke dalam lembar, setiap kolom untuk setiap pertanyaan. 2. Dari menu Analyze pilih submenu Scale kemudian Reliability Analysis. 3. Pada bagian Model, pilihlah pada Alpha. 4. Abaikan kotak pilihan List Item Model. 5. Klik tombol Statisticts, pada bagian Descriptives for (terletak di kiri atas) dan untuk keseragaman pilih ketiga pilihan yang ada (Item, Scale, Scale if Item Deleted).
6. Tekan Ok.
73
2.11.4 Perhitungan Nilai Rata-rata (mean) Populasi
Definisi populasi adalah (Walpolle, h.7) keseluruhan pengamatan yang menjadi perhatian kita. Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.48): a. Buka lembaran kerja/ file sesuai kasusnya, atau jika sudah terbukti ikuti langkah selanjutnya. b. Dari baris menu Analyze lalu pilih submenu Descriptive Statisticts. Dari serangkaian pilihan Descriptive, sesuai kasus pilih Frequencies untuk menampilkan tabel frekuensi.
Frequencies Statisticts
Untuk mendapatkan deskripsi dan rangkuman statistik untuk data kuantitatif, klik tombol Statisticts pada dialog box Frequencies. -
Dispersion (Sebaran) •
Std. Deviation (standar deviasi) Merupakan sebuah ukuran dari berapa banyak jumlah pengamatan menyimpang dari nilai rata-ratanya.
•
Minimum
•
Maximum
74
-
Central Tendency •
Mean Merupakan harga rata-rata aritmetik.
c. Tekan Ok jika semua pengisian sudah selesai.
2.11.5 Uji Rataan Dua Populasi
Prosedur statistik Uji Beda Mean dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan hasil dari perlakuan yang berbeda. Teknik statistik yang digunakan adalah Uji Beda Mean untuk sampel bebas (Independent Samples T-Test). Yang
dimaksud
perbedaan
perlakuan
dalam
penelitian
ini
adalah
pengelompokkan sampel menjadi dua kelompok berbeda yaitu divisi produksi
box dan divisi perakitan panel akhir. Selanjutnya yang dimaksud hasil adalah gaya kepemimpinan situasional, tingkat kematangan bawahan dan kinerja karyawan. Sebelum melakukan Uji Beda Mean dilakukan pengujian varian kedua sampel penelitian untuk mengetahui apakah keduanya memiliki varian yang sama atau berbeda. Karena perbedaan varian kedua sampel menyebabkan berbedanya teknik perhitungan yang digunakan dalam uji rataan ini. Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.94): a. Buka file penelitian
75
b. Dari menu utama SPSS pilih menu Analyze kemudian pilih submenu Compare Mean, lalu pilih Independent Sample T-Test.
c. Pada kotak dialog Test Variables, masukkan variabel yang ingin diuji perbedaannya, yaitu variabel gaya kepemimpinan situasional, tingkat kematangan bawahan dan kinerja karyawan. d. Pada Grouping Variable, masukkan variabel yang bertipe kualitatif, yaitu divisi kerja, lalu klik Define Group. Isikan 1 untuk group 1 dan 2 untuk group 2. e. Tekan Continue, dan lanjutkan ke menu sebelumnya. f. Untuk kolom Options, biarkan tingkat kepercayaan tetap 95%. Klik Continue.
g. Klik Ok.
2.11.6 Korelasi Pearson
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dua variabel penelitian. Metode statistik yang digunakan adalah dengan melakukan uji korelasi Pearson. Apabila didapat suatu hubungan antara dua variabel penelitian, maka akan dihitung nilai koefisien korelasi r untuk melihat tingkat keeratan yang terjadi antara kedua variabel. Uji korelasi dilakukan pada taraf interval kepercayaan 95% atau tingkat signifikansi α (Level of Significance) sebesar 0.05. Pengambilan keputusan
76
terhadap semua hipotesis dilakukan dengan ketentuan: H 0 ditolak jika
signifikansi uji yang diperoleh lebih kecil dari 0.05. Nilai koefisien korelasi r berkisar antara 0 – 1, dimana semakin mendekati angka 1, semakin kuat hubungan yang terjadi antara kedua variabel. Sebaliknya semakin mendekati 0, maka semakin lemah hubungan kedua veriabel. Koefisien korelasi dapat bertanda positif atau negatif. Jika harga r bertanda positif, dikatakan memiliki korelasi positif. Artinya semakin meningkat nilai satu variabel, maka semakin meningkat pula nilai variabel lainnya. Sebaliknya dengan nilai r bertanda negatif, dikatakan memiliki korelasi negatif. Artinya semakin tinggi nilai satu variabel, maka semakin rendah nilai variabel lainnya. Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.149): a. Buka file penelitian b. Dari menu SPSS, pilih menu Analyze kemudian pilih submenu Correlate, dan pilih Bivariat. c. Pada kotak Variables, masukkan nama variabel yang akan diuji. Misal: masukkan variabel gaya kepemimpinan situasional dan kinerja karyawan. d. Pada pilihan Correlation Coefficients, pilih Pearson. e. Test of Significance, pilih Two-tailed untuk uji dua sisi. f. Aktifkan Flag Significance Correlations.
77
g. Klik tombol Options. Pada pilihan Statisticts diabaikan saja dan aktifkan pilihan Exclude Cases Pairwise. h. Klik Ok.
2.11.7 Regresi Linear Berganda
Analisis regresi dilakukan untuk melihat pengaruh suatu variabel bebas (Independent Variable) terhadap variabel terikat (Dependent Variable). Tujuan lain dilakukannya analisis regresi adalah untuk menaksir besarnya efek kuantitatif suatu kejadian terhadap kejadian lain. Analisis regresi dimana hanya terdapat lebih dari satu variabel bebas disebut sebagai regresi linear berganda (Multiple Regression). Bentuk umum persamaan regresi linear berganda adalah:
Y = b0 + b1 x1 + b2 x2 + ... + bk xk Keterangan:
Y
= variabel terikat (dependent variable)
x1 , x2 ,..., xk
= variabel bebas (independent variable)
b1 , b2 ,..., bk
= koefisien regresi
Dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi linear berganda (Multiple Regression). Regresi linear berganda adalah regresi dimana terdapat lebih dari satu variabel bebas. Dari teknik regresi linear berganda ini akan
78
diketahui apakah ada pengaruh secara bersama-sama variabel bebas yang ada terhadap variabel terikat. Model regresi linear berganda untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = a + b1 x1 + b2 x2 Keterangan:
Y
= kinerja karyawan
x1
= gaya kepemimpinan situasional
x2
= tingkat kematangan bawahan
Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.164): a. Buka file data penelitian b. Dari menu utama SPSS, pilih Analyze kemudian submenu Regression, lalu pilih Linear. c. Pada kotak Dependent, masukkan variabel bebas kinerja karyawan. d. Pada kotak Independent, masukkan variabel gaya kepemimpinan situasional dan tingkat kematangan bawahan. e. Pada pilihan Method, pilih Enter. f. Klik Ok.
79
2.11.8 Design Of Experiment (DOE) Tujuan Design Of Experiment
Pada umumnya, percobaan digunakan untuk mempelajari suatu proses atau sistem. Menurut Douglas Montgomery, sebuah perancangan percobaan adalah sebuah tes dengan membuat perubahan-perubahan pada variabel masukan
dari
sebuah
proses
supaya
kita
dapat
mengamati
dan
mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada keluaran dari proses tersebut. Tujuan dari perancangan percobaan adalah sebagai berikut: 1 Menentukan variabel yang paling mempengaruhi variabel respon, y. 2. Menentukan nilai dari variabel yang berpengaruh supaya variabel respon mendekati nilai target. 3. Menentukan nilai dari variabel yang berpengaruh supaya variasi variabel respon kecil. 4. Menentukan nilai dari variabel yang berpengaruh supaya pengaruh dari faktor gangguan dapat diperkecil. Perancangan percobaan dapat mempelajari pengaruh dari beberapa faktor dalam suatu proses pada saat yang bersamaan. Ketika melakukan sebuah percobaan, memvariasikan level dari faktor-faktor pada saat yang bersamaan daripada satu persatu lebih efisien baik dari sisi waktu maupun biaya, dan juga dapat mempelajari interaksi di antara faktor-faktor. Interaksi adalah faktor penggerak dalam banyak proses. Tanpa penggunaan percobaan faktorial, faktor interaksi yang penting mungkin tidak akan terdeteksi.
80
Prinsip Dasar Design Of Experiment (DOE)
Untuk dapat memahami perancangan percobaan lebih lanjut maka perlu memahami terlebih dahulu tiga prinsip dasar yang biasa digunakan dalam perancangan percobaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah replikasi, randomisasi atau pengacakan dan kontrol lokal atau blocking. 1. Replikasi Replikasi adalah pengulangan kembali perlakuan yang sama dalam suatu percobaan dengan kondisi yang sama untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi. Replikasi diperlukan karena dapat: -
Memberikan taksiran kekeliruan percobaan yang dapat dipakai untuk menentukan panjang interval konfidensi atau dapat digunakan sebagai satuan dasar pengukuran untuk penetapan taraf signifikansi dari perbedaan-perbedaan yang diamati.
-
Menghasilkan taksiran yang lebih akurat untuk kekeliruan percobaan.
-
Memungkinkan kita untuk memperoleh taksiran yang lebih baik mengenai efek rata-rata dari suatu faktor.
Selain itu, dikemukakan pula bahwa penambahan replikasi akan mengurangi tingkat kesalahan percobaan secara bertahap, namun jumlah replikasi dalam suatu percobaan dibatasi oleh sumber yang ada yaitu waktu, tenaga, biaya dan fasilitas.
81
2. Pengacakan atau Randomisasi Dalam percobaan, selain faktor-faktor yang diselidiki pengaruhnya terhadap suatu variabel, juga terdapat faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan/ tidak diinginkan seperti kelelahan operator, naik/ turun daya mesin, dan lain-lain. Hal tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan. Pengaruh faktor-faktor tersebut diperkecil dengan menyebarkan pengaruh selama percobaan melalui randomisasi (pengacakan) urutan percobaan. Secara umum randomisasi dimaksudkan untuk: -
Meratakan pengaruh dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan pada semua unit percobaan.
-
Memberikan kesempatan yang sama pada setiap unit percobaan untuk menerima suatu perlakuan sehingga diharapkan ada kehomogenan pengaruh dari setiap perlakuan yang sama.
-
Mendapatkan hasil pengamatan yang bebas (independen) satu sama lain.
Dalam perancangan percobaan akan banyak test atau uji signifikansi dilakukan dan umumnya untuk setiap prosedur pengujian, asumsi-asumsi tertentu perlu diambil dan dipenuhi agar supaya pengujian yang dilakukan menjadi berlaku. Salah satu asumsinya adalah pengamatan-pengamatan (jadi juga kekeliruan-kekeliruan) berdistribusi secara independen. Asumsi ini sukar untuk dapat dipenuhi, akan tetapi dengan jalan berpedoman kepada prinsip sampel acak (random sample) yang diambil dari sebuah
82
populasi atau berpedoman pada perlakuan acak terhadap unit percobaan, maka pengujian dapat dilakukan seakan-akan asumsi yang telah diambil benar adanya. Dengan kata lain, pengacakan menyebabkan pengujian menjadi berlaku yang menyebabkan pula memungkinkannya data dianalisis, dengan anggapan seolah-olah asumsi tentang independen dipenuhi. Pengacakan memungkinkan kita untuk melanjutkan langkahlangkah berikutnya dengan anggapan soal independensi sebagai suatu kenyataan. Ini berarti bahwa pengacakan tidak menjamin terjadinya indepedensi, melainkan hanyalah memperkecil adanya korelasi antar pengamatan (jadi juga antar kekeliruan). Jika replikasi dengan tujuan untuk memungkinkan dilakukannya test signifikan, maka randomisasi bertujuan menjadikan test tersebut valid dengan menghilangkan sifat bias. Randomisasi dapat dilakukan dengan menggunakan tabel bilangan acak, mengundi, menggunakan mata uang dan sebagainya. Ada beberapa teknik randomisasi yang dapat dilakukan seperti randomisasi lengkap dengan blok, pengulangan sederhana, split-plot design, dan lain-lain. Pemilihan teknik yang digunakan tergantung dari masalah yang diselidiki, hasil yang diharapkan, data yang didapat, dan penyesuaian yang akan dilakukan dengan teknik-teknik yang ada. 3. Kontrol lokal atau blocking Kontrol lokal merupakan sebagian daripada keseluruhan prinsip percobaan yang harus dilaksanakan. Biasanya merupakan langkah-langkah atau
83
usaha-usaha
yang
berbentuk
penyeimbangan,
pengkotakan
atau
pemblokan dan pengelompokkan dari unit-unit percobaan yang digunakan dalam percobaan. Jika replikasi dan pengacakan pada dasarnya akan memungkinkan
berlakunya
uji
signifikansi,
maka
kontrol
lokal
menyebabkan percobaan lebih efisien, yaitu menghasilkan prosedur pengujian dengan kuasa yang lebih tinggi. Dengan pengelompokkan akan diartikan sebagai penempatan sekumpulan unit-unit percobaan yang homogen ke dalam kelompok-kelompok agar supaya kelompok yang berbeda memungkinkan untuk mendapatkan perlakuan yang berbeda pula. Pemblokan berarti pengalokasian unit-unit percobaan ke dalam blok sedemikian sehingga unit-unit dalam blok secara relatif bersifat homogen sedangkan sebagian besar daripada variasi yang dapat diperkirakan di antara unit-unit telah baur (confounded) dengan blok. Ini berarti, berdasarkan pengetahuan si peneliti mengenai sifat atau kelakuan unit-unit percobaan, maka dapat dibuat perancangan percobaan sedemikian rupa sehingga kebanyakan dari variasi yang dapat diduga tidak menjadi bagian dari kekeliruan percobaan. Dengan jalan demikian dapat diperoleh percobaan yang lebih efisien. Dengan penyeimbangan diartikan usaha memperoleh unit-unit percobaan, usaha pengelompokkan, pemblokan, dan penggunaan perlakuan terhadap
84
unit-unit
percobaan
sedemikian
rupa
sehingga
dihasilkan
suatu
konfigurasi atau formasi yang seimbang. Untuk percobaan tertentu mungkin proses penyeimbangan ini praktis tidak dapat dicapai, dalam hal lainnya mungkin dapat menghasilkan keseimbangan sebagian, hampir terjadi keseimbangan atau keseimbangan sempurna.
Istilah dalam Design Of Experiment (DOE)
Dalam Design Of Experiment (DOE) terdapat beberapa istilah yang sering dipakai. Berikut ini adalah penjelasan dari istilah-istilah yang terdapat dalam
Design Of Experiment (DOE): 1. Perlakuan (treatment) Perlakuan diartikan sekumpulan kondisi eksperimen yang digunakan terhadap unit eksperimen dalam ruang lingkup yang dipilih. Perlakuan ini dapat berbentuk tunggal atau bentuk kombinasi. 2. Satuan percobaan Satuan percobaan adalah unit yang dikenai perlakuan tunggal (dapat berupa gabungan beberapa faktor) dalam sebuah replikasi eksperimen dasar. 3. Kekeliruan eksperimen (galat percobaan) Kekeliruan eksperimen menyatakan kegagalan dari dua unit eksperimen identik yang dikenai perlakuan untuk memberikan hasil yang sama. Hal
85
ini dapat terjadi karena, misalnya kekeliruan waktu menjalankan eksperimen, kekeliruan pengamatan, variasi antara unit eksperimen, variasi bahan eksperimen, dan pengaruh gabungan semua faktor tambahan yang mempengaruhi karakteristik yang sedang dipelajari. 4. Satuan amatan Satuan amatan adalah anak gugus dari unit percobaan tempat dimana respon perlakuan diukur. 5. Faktor Faktor adalah suatu peubah bebas yang dicocokan dalam percobaan sebagai penyusun struktur perlakuan. 6. Taraf (level) Taraf adalah nilai-nilai peubah bebas (faktor) yang dicobakan dalam percobaan.
Langkah- langkah perhitungan: 1. H 0 1
:
Faktor A tidak signifikan
H0 2
:
Faktor B tidak signifikan
H0 3
:
Interaksi faktor A dan B tidak signifikan
2. H1 1
:
Faktor A signifikan
H1 2
:
Faktor B signifikan
H1 3
:
Interaksi faktor A dan B signifikan
86
3. Pilih suatu taraf nyata α 4. Wilayah kritik: a. Tolak H 0 1 jika f1 > f α [dof A , dof E ] b.Tolak H 0 2 jika f2 > f α [dof B , dof E ] c. Tolak H 0 3 jika f3 > f α [dof A × dof B , dof E ] 5. Perhitungan: • Menghitung Total Sum of Squares
SST
=
a
b
i =1
j =1
∑∑
n
∑ y 2ijk − k =1
y2 abn
• Menghitung Faktor Sum OF Square
∑
yi 2 y 2 ... − bn abn
b
yi 2 y 2 ... − an abn
a
SS A
SS B
=
i =1
=
∑ i =1
SS A× B =
a
b
yij 2
i =1
j =1
n
∑∑
−
y 2 ... − SS A − SS B abn
• Kesalahan Variansi SS E
= SST − SS A − SS B − SS A× B
• Degrees of Freedom masing-masing variabel Faktor A
= a -1
Faktor B
= b -1
87
Faktor AxB = ( a – 1)( b -1) Sehingga, untuk kesalahan variansi adalah = a b (n-1)
Error Jadi, Total •
•
= Faktor A + Faktor B + Faktor AxB + Error
Menghitung Mean Square
MS A
=
SS A a −1
MS B
=
SS B b −1
MS AB
=
SS AB (a − 1)(b − 1)
MS E
=
SS E ab(n − 1)
Menghitung Variansi Rasio FA
=
MS A MS E
FB
=
MS B MS E
FAB
=
MS AB MS E
88
Tabel 2.7 Tabel Analisa Varian (Analysis of Variance)
Source of variation A B AB Error Total
6.
Sum of square (SS) SSA SSB SSAB SSE SST
Dof Level A - 1 Level B – 1 (level A-1) (level B-1) Dof total- DofA- DofB- DofAB Jumlah data – 1
Kesimpulan: a. Terima/ tolak H 0 1 dan simpulkan bahwa ... b. Terima/ tolak H 0 2 dan simpulkan bahwa ... c. Terima/ tolak H 0 3 dan simpulkan bahwa ...
Mean Square (MS) SSA/ DofA SSB/ DofB SSAB/ DofAB SSE/ DofE
Fo MSA/ MSE MSB/ MSE MSAB/ MSE