BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
SUMBER DATA Dalam proses pembuatan animasi ini, penulis memperoleh data dan informasi
yang dibutuhkan melalui riset dari berbagai sumber. Data dan informasi yang didapat digunakan untuk mendukung proses pembuatan animasi baik secara cerita maupun secara visual. Beberapa sumber data dan metode yang digunakan adalah: literatur buku, artikel dari penelusuran internet, referensi film dan video, dan observasi lapangan secara langsung.
2.1.1 Referensi Buku Sebagai data pendukung, penulis menggunakan buku-buku untuk mencari data dan informasi yang berkaitan dengan cerita sesuai tema animasi, ataupun berkaitan dengan konsep visual yang akan digunakan. Beberapa diantaranya adalah : 1. Neverwhere oleh Neil Gaiman 2. Black Interview oleh Andre Syahreza 3. The Five People You Meet in Heaven oleh Mitch Albom 4. 14 Jurus Membuat Komik oleh Toni Masdiono 5. Perspective for Painters oleh Howard Etter dan Margit Malmstrom 6. Digital Cinematography oleh Ben de Leeuw 7. Mechanika oleh Doug Chiang 8. Marvel Comic Style Animation oleh Harry Green Buku-buku diatas adalah beberapa novel, majalah, kumpulan cerpen dan e-book yang digunakan untuk memperoleh data pendukung cerita dan visual animasi ini.
3
4
2.1.2 Artikel Selain buku, penulis juga menggunakan sumber data berupa tulisan-tulisan artikel yang dapat ditemukan melalui penelusuran internet. Beberapa diantaranya : 1. http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/05/05/sisi-lain-jakarta-dalamsebuah-garis-460709.html 2. http://www.scienceofidentityfoundation.net/ancient-wisdom-for-modernliving/what-is-the-difference-between-humans-and-animals.html 3. http://www.psychologytoday.com/blog/lets-connect/201108/why-we-arecreatures-routine 4. http://campusconcernfeusu.blogspot.com/2010/06/memberi-maknarutinitas_04.html 5. http://realtruth.org/articles/090806-002-science.html
2.1.3 Referensi Video dan Film Penulis juga menggunakan referensi berupa video dan film sebagai bahan pendukung proses pembuatan animasi pendek ini. Referensi video dan film juga digunakan sebagai pembanding konsep cerita dan visual animasi. Beberapa referensi video dan film yang digunakan antara lain : 1. City of Ember 2. The Island 3. Groundhog Day 4. Upside Down 5. Gotham City Impostors Game Trailer 6. In Between Short Animation 7. Dennou Coil 8. Clouds Short Animation 9. Paperman Short Animation
5
2.2
TINJAUAN UMUM
2.2.1 Animasi Animasi, atau lebih akrab disebut dengan film animasi, adalah film yang merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Pada awal penemuannya, film animasi dibuat dari berlembar-lembar kertas gambar yang kemudian di-"putar" sehingga muncul efek gambar bergerak. Dengan bantuan komputer dan grafika komputer, pembuatan film animasi menjadi sangat mudah dan cepat. Bahkan akhir-akhir ini lebih banyak bermunculan film animasi 3 dimensi daripada film animasi 2 dimensi.
2.2.1.1 Prinsip dasar animasi Dua orang animator profesional Thomas dan Johnston memberikan 12 prinsip animasi yang diadopsi dari animasi produksi Walt Disney. 12 prinsip animasi itu adalah sebagai berikut : 1. Pose to Pose 2. Timing and Spacing 3. Stretch and Squash 4. Anticipation 5. Secondary Action 6. Follow Through and Overlapping Action 7. Ease in - Ease out 8. Arcs 9. Exaggeration 10. Staging 11. Appeal 12. Solid Drawing
Masing-masing prinsip animasi ini memiliki peranan penting dalam pembuatan sebuah film animasi. Berikut adalah penjelasan sederhana mengenai masing-masing prinsip animasi.
6
1. Pose to Pose Pose to pose merupakan penentuan posisi key animation dan menjadi cara animator untuk menentukan gerak selanjutnya hingga gerakan penutup. 2. Timing and Spacing Satuan waktu, atau jeda waktu sangat penting dalam gerakan animasi. Dimana dalam satu detik terdapat 24 frame, dengan menentukan berapa frame waktu yang dibutuhkan, cepat lambatnya suatu gerak animasi, baik gerak konstan, gerak yang semakin cepat atau gerak yang semakin lambat. 3. Stretch and Squash Gerak sebuah obyek agar terlihat lebih hidup dan halus dalam animasi. Stretch and Squash memberikan sentuhan kelenturan pada suatu benda hingga memberikan kesan benda yang berbobot dan bervolume dalam gerak animasi. 4. Anticipation Antisipasi adalah ancang-ancang ketika ingin melakukan gerakan utama. Kesan yang ingin disampaikan adalah mengumpulkan tenaga untuk apa yang akan dilakukan karakter dalam animasi. 5. Secondary Action Yaitu aksi kedua, dimana merupakan gerakan yang muncul dikarenakan adanya akibat suatu gaya atau gerakan pada aksi pertama obyek animasi. 6. Follow Through and Overlapping Action Prinsip ini melibatkan dua benda yang bisa sama atau berbeda, namun saling berkaitan satu sama lain, sehingga saling mempengaruhi dalam setiap gerakannya. 7. Ease in - Ease out Gerakan ini tidak lepas dari hukum fisika, dimana terdapat gaya gravitasi, bobot, kecepatan, percepatan, daya, dll. Prinsipnya yaitu memperlihatkan bobot, kecepatan, dll. 8. Arcs Gerakan yang bersifat melingkar atau melengkung. Pada prinsipnya setiap gerakan seperti mempunyai gerak melengungnya, agar geraan animasi obyek terlihat lebih luwes, dinamis, hidup dan indah.
7
9. Exaggeration Biasanya teknik ini dipakai dikartun, aitu teknik mendramatisir adegan agar tampak lebih ekspresif, dan komunikatif, gerakannya teresan di lebih-lebihkan bahan secara ekstrim. 10. Staging Penataan panggung pertunjukan. Prinsip ini terletak pada penentuan tata letak obyek gambar pada bidang (frame) gambar dengan format standar televisi. Pertimbangan komposisi obyek gambar dengan background. 11. Appeal Prinsip appeal merupakan cara yang baik untuk menyampaikan sesuatu pesan dalam bentuk kesan yang menarik, cantik, dan komunikatif dari sebuah karakter yang ingin disampaikan. 12. Solid Drawing Kemampuan menggambar sebagai dasar dari animasi memegang peranan yang menentukan baik proses maupun hasil, terutama dalam animasi klasik. Meskipun saat ini komputer dapat menggantikan peran gambar manual, pengetahuan menggambar yang lebih baik akan memberikan animasi yang lebih memiliki "rasa".
Gambar 2.1 Prinsip Animasi
8
2.2.2 Definisi Film Pendek Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan
laboratorium
eksperimen
dan
batu
loncatan
bagi
seseorang/ sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis
film
ini
banyak dihasilkan oleh para
mahasiswa
jurusan
film
atau
orang / kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik.
Sekalipun
demikian, ada juga yang memangmengkhususkan
diri
untuk
memproduksi film pendek, umumnya hasilproduksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televise yang nantinya akan menayangkan film tersebut.
2.2.3 Teori Warna Dalam seni rupa, warna bisa berarti pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda. Misalnya pencampuran pigmen magenta dan cyan dengan proporsi tepat dan disinari cahaya putih sempurna akan menghasilkan sensasi mirip warna merah. Setiap warna mampu memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai kondisi sosial pengamatnya. Misalnya warna putih akan memberikan kesan suci dan dingin di daerah Barat karena berasosiasi dengan salju. Sementara di kebanyakan negara Timur warna putih memberikan kesan kematian dan menakutkan karena berasosiasi dengan kain kafan (meskipun secara teoritis sebenarnya putih bukanlah warna). Di dalam ilmu warna, hitam dianggap sebagai ketidakhadiran seluruh jenis gelombang warna, sementara putih dianggap sebagai representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi seimbang. Secara ilmiah, keduanya bukanlah warna, meskipu bisa dihadirkan dalam bentuk pigmen. Dalam teori warna, Brewster menyederhanakan warna yang ada di alam menjadi 4 kelompok warna. Keempat kelompok warna tersebut adalah : Primer, Sekunder, Tersier dan Netral. Teori ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1831.
9
Kelompok Warna : Primer, merupakan warna dasar yang tidak merupakan campuran dari warna-warna lain. Warna yang termasuk dalam golongan warna primer adalah merah, biru, dan kuning. Sekunder, merupakan hasil pencampuran warna-warna primer denga proporsi 1:1. Misalnya warna jingga merupakan hasil campuran warna merah dengan kuning, hijau adalah campuran biru dan kuning, dan ungu adalah campuran merah dan biru. Tersier, merupakan campuran salah satu warna primer dengan salah satu warna sekunder. Misalnya warna jingga kekuningan didapat dari pencampuran warna kuning dan jingga. Netral, adalah warna-warna yang tidak lagi memiliki kemurnian warna atau dengan kata lain bukan merupakan warna primer maupun sekunder. Warna ini merpakan campuran ketiga komponen warna sekaligusm tetapi tidak dalam komposisi tepat sama.
Gambar 2.2 Color Wheel
10
2.2.4 Teori Sinematografi Sinematografi mencakup interpretasi visual dan skenario, pemilihan jenis kamera, jenis bahan baku yang akan dipakai, pemakaian lensa, pemilihan filter yang akan dipakai pada lampu atau lensa, pemilihan lampu dan jenis lampu yang sesuai dengan konsep cerita dalam skenario. Sinematografi juga mencakup gerak kamera, membuat konsep visual, membuat perencanaan untuk efisiensi pengambilan gambar. Jenis angle yang biasa digunakan : 1. Extreme Close Up Shot 2. Close Up Shot 3. Medium Close Up Shot 4. Medium Shot 5. Wide Shot 6. Very Wide Shot 7. Extreme Wide Shot Jenis pergerakan kamera: 1. Crab 2. Dolly 3. Tilt 4. Pan 5. Boom 2.2.4.1 Camera framing Framing dalam kamera menentukan ukuran dan jarak objek dalam sebuah frame, beberapa jenis framing antara lain : 1. BCU : Big Close Up, wajah memenuhi frame. 2. CU : Close Up, dari kepala hingga pundak. 3. MCU : Medium Close Up, menampilkan seluruh permukaan wajah hingga setengah badan. 4. MS : Medium shot, menyerupai MCU, tetapi tangan masuk ke dalam frame. 5. Three Quarter Shoot. 6. FLS : Full Length Shot, seluruh badan tampak dalam frame.
11
2.3
TINJAUAN KHUSUS
2.3.1 Psikologi Psikologi adalah pembelajaran tentang pola pikir dan perilaku manusia. Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk menjelaskan bagaimana manusia berpikir, bertindak, dan merasa. Psikologi adalah hasil evolusi dari dua ilmu, filosofi dan biologi. Kata Psikologi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani Psyche yang berarti 'hidup' atau 'bernafas'. Arti lain dari kata itu adalah 'jiwa' atau 'diri sendiri'.
2.3.2 Psikologi Rasa Jenuh Alex Lickerman, M.D., dalam sebuah artikel menjelaskan mengenai rasa jenuh dari sudut pandang psikologis. Rasa jenuh yang ia maksud dalam artikelnya bukanlah rasa bosan sementara yang dirasakan orang ketika, misalnya, mengantri sebuah wahan di taman hiburan, atau mengantri di sebuah ruang tunggu rumah sakit. Rasa jenuh yang ia maksud adalah suatu titik di mana seseorang merasakan hidupnya tak lagi menarik dan bahkan tak memiliki tujuan. Hal ini ia sebut sebagai kejenuhan eksistensial. Kejenuhan eksistensial ini mendefinisikan ketidakmampuan seseorang untuk merasa tertarik atau bergairah akan segala sesuatu yang dalam kehidupannya. Kejenuhan semacam ini memanifestasikan diri dalam bentuk mood atau suasana hati yang, tanpa alasan tertentu, membuat segala sesuatu nampak tidak memuaskan. Terutama kegiatan yang dilakukan sehari-hari secara berulang-ulang seperti browsing internet, membaca buku, berjalan di dalam rumah, makan, minum, semua hal ini seperti bertujuan untuk mencari sesuatu yang menarik, namun pada akhirnya sama sekali tidak menimbulkan perasaan atau ketertarikan apapun. Dalam dunia psikologi ada istilah Anhedonia, yaitu sebuah ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Anhedonia adalah salah satu gejala depresi secara klinis, namun hal ini dapat terjadi kepada semua orang karena satu dan lain hal. Misalnya, merasa bahwa hidup ini tidak memiliki arti tertentu. Ketika seseorang merasa bosan dengan kehidupannya dan mulai berpikir bahwa tidak ada maksud 'mulia' atau tujuan khusus kehidupannya di
12
dunia, orang tersebut kemungkinan telah mengalami kejenuhan eksistensial, atau lebih jauh lagi, Anhedonia. Namun kejenuhan (baik kejenuhan eksistensial maupun Anhedonia) bukanlah sebuah penyakit atau kelainan pada seseorang, melainkan hanya pola pikir manusia yang dapat diubah dari dalam diri sendiri. Cara terbaik untuk mengatasi kejenuhan ini adalah mengubah pola pikir kita. Hal ini dapat diawali dengan menyadari bahwa setiap keadaan, setiap aktivitas, memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang menarik. Jika kita menunggu untuk sesuatu yang luar biasa terjadi dalam hidup sehari-hari, kita akan dengan mudah merasa jenuh. Tetapi jika kita mengubah persepsi kita dan mulai mencoba membuat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup sehari-hari berharga, kita bisa menemukan berbagai hal menarik yang terjadi dari kegiatan yang bahkan terasa membosankan sebelumnya. Misalnya, ketika sedang mengantri, kita bisa memulai percakapan dengan orang lain. Kita bisa mengagumi arsitektur sebuah gedung ketika dalam perjalanan pulang dari kantor. Kita bisa mencoba jalur lain untuk pergi ke kampus, dan banyak lagi. Singkatnya, kita bisa menempatkan diri kita dalam situasi yang lebih menarik untuk mengusir rasa jenuh dari kegiatan rutinitas sehari-hari.
2.3.3 Rutinitas Rutinitas adalah sebuah rangkaian kegiatan, sebuah serial aktivitas yang dilakukan berulang-ulang setiap hari sehingga menjadi kebiasaan dan menyebabkan baik otak dan tubuh kita berada dalam kondisi autopilot, atau dalam keadaan otomatis. Rutinitas seringkali dikaitkan dengan kejenuhan dalam hidup. Namun rutinitas tidak selalu berarti negatif. Rutinitas yang dibangun dengan baik, berisi rangkaian kegiatan yang positif, dapat sangat membantu kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, bangun pagi hari, kemudian sarapan, berolahraga, mandi, bersiap-siap berangkat kerja, adalah contoh rutinitas yang dilakukan hampir semua orang. Rutinitas ini membantu menghemat waktu yang dibutuhkan kita pada pagi hari untuk mengambil keputusan, dengan kata lain, mengeliminasi pilihan-pilihan yang harus dibuat otak kita seperti sarapan atau tidak, berapa lama harus mandi, apa jenis olahraga pagi kita, dan lain-lain. Rutinitas membuat kita dapat hidup dalam autopilot dan tetap berhasil mencapai apa yang menjadi target kita dalam satu hari. Mempercepat proses berpikir dan mengurangi beban pikiran.
13
2.3.4 Psikologi Dalam Rutinitas Secara psikologis, rutinitas dalam kehidupan sehari-hari dapat berperan mengurang stres dan meringankan beban pikiran. Rutinitas yang baik dapat membangun struktur sehari-hari yang baik. Dalam dunia psikologis, rutinitas mampu menjaga seseorang tetap 'waras' menghadapi kehidupan sehari-harinya. Rutinitas pada tingkatan tertentu bahkan mampu membuat seseorang bertahan hidup. Ada sebuah cerita tentang 33 orang penambang yang terjebak dalam sebuah tambang yang runtuh selama 3-4 bulan. Penambang yang lebih tua dan berpengalaman menciptakan sebuah sistem kerja dan mengorganisir penambang yang lain untuk bekerja menyingkirkan sekitar 3.000 ton batu agar mereka bisa keluar. Para penambang ini menetapkan disiplin dan menciptakan sebuah rutinitas selama mereka terjebak, misalnya mereka baru boleh makan setelah menyingkirkan batu dalam jumlah tertentu. Salah seorang penambang menciptakan sebuah altar ibadah dan mengatur sebuah buddy system untuk saling membantu antara penambang satu dengan lainnya. Dari cerita tersebut, tampak bahwa rutinitas dan disiplin para penambang itu berhasil mempertahankan 'kewarasan' mereka selama terjebak dalam tambang. Mereka bahkan berhasil menyingkirkan sejumlah batu yang menghalangi jalur keluar mereka dan memudahkan tim penyelamat yang datang untuk mengeluarkan mereka. Charles Duhigg, pengarang buku "The Power of Habit : Why We Do What We Do in Life and Business" mengatakan bahwa rutinitas pada dasarnya memberi kita kebebasan secara mental untuk memikirkan hal-hal yang lebih penting. Dengan demikian kita tidak perlu memikirkan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Jadi rutinitas sebenarnya memberi dampak baik bagi kehidupan sehari-hari manusia. Sampai pada batas-batas tertentu. Meg Selig, pengarang buku "Changepower! 37 Secrets to Habit Change Success", menulis dalam sebuah artikel, dampak negatif dari rutinitas yang buruk sudah jelas, namun bahkan rutinitas yang baik dapat menyebabkan dampak kurang baik pada diri kita apabila kita tidak meninjau kembali rutinitas kita dari waktu ke waktu.
14
2.3.5 Masyarakat Perkotaan Setelah membahas rutinitas serta psikologi yang terdapat dalam sebuah rutinitas kehidupan manusia, hal berikutnya yang mempengaruhi psikologis seseorang adalah lingkungan di mana mereka tinggal. Lingkungan tentunya juga berpengaruh terhadap rutinitas seseorang yang mana akan menentukan aktivitas mereka, serta seberapa sering sebuah rutinitas dilakukan setiap harinya. Mereka yang tinggal di sebuah kota besar tentunya akan memiliki aktivitas yang berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau di sebuah kota yang lebih kecil. Penduduk kota besar seperti New York, Beijing, Paris, Jakarta itu sendiri biasanya terdiri dari berbagai jenis masyarakat dan komunitas yang sangat bervariasi, pendatang dari kota lain, pendatang dari daerah, turis, dan banyak lagi. Penulis membatasi pembahasan mengenai hal ini di dalam kota Jakarta, kota tempat tinggal penulis. Masyarakat yang tinggal di Jakarta sangat beragam. Mulai dari mereka yang memang berasal dari kota Jakarta, sampai pendatang-pendatang yang berasal dari kota-kota lain untuk bekerja di Jakarta. Beragamnya penduduk di Jakarta ini juga membuat budaya dan bahasa yang ada di Jakarta menjadi beragam. Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam
dan
luar
Nusantara.
Suku-suku
yang
mendiami
Jakarta
antara
lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya
Jakarta
juga
banyak
menyerap
dari
budaya
luar,
seperti
budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis. Jakarta merupakan daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku bangsa di Indonesia, untuk itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa digunakan dalam perdagangan yaitu Bahasa Melayu. Penduduk asli yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa Melayu tersebut. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng, dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik, yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
15
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi. Untuk penduduk asli di Kampung Jatinegara Kaum, mereka masih kukuh menggunakan bahasa leluhur mereka yaitu bahasa Sunda. Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura, Bugis, Inggris dan Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia. Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa asing. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan diplomatik, pendidikan, dan bisnis.Bahasa Mandarin juga menjadi bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis Tionghoa. Sebagaimana umumnya kota megapolitan, kota yang berpenduduk di atas 10 juta, Jakarta memiliki masalah stress, kriminalitas, dan kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan dan privatisasi lahan telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga menambah tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas, menurunnya interaksi sosial karena gaya hidup individualistik juga menjadi penyebab stress. Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak humanis menyisakan ruang-ruang sisa yang mengundang tindak laku kriminal. Penggusuran kampung miskin dan penggusuran lahan usaha informal oleh pemerintah DKI adalah penyebab aktif kemiskinan di DKI.
2.3.6 Psikologi Masyarakat di Kota Besar Banyaknya ragam budaya, bahasa, komunitas dan golongan masyarakat yang ada di sebuah kota besar tentunya menciptakan suatu kondisi di mana keadaan psikologis orang-orang yang tinggal di dalamnya mengalami proses adaptasi dan 'dipaksa' mengikuti kebutuhan aktivitas dan kesibukan sehari-hari mereka.
Kelly McGonigal Ph.D. menjelaskan dalam sebuah artikel mengenai sebuah tes yang melibatkan orang-orang yang tinggal di kota besar dan orang-orang yang
16
tinggal di lingkungan pedesaan. Mereka dihadapkan pada sebuah tes matematis yang memiliki tingkat kesulitan tinggi sementara aktivitas otak mereka dipantau dengan menggunakan mesin fMRI. Ketika mereka membuat kesalahan dalam mengerjakan soal tes tersebut, para eksperimenter secara sengaja mengkritik mereka untuk melihat reaksi otak mereka. Hasil tes menunjukkan bahwa mereka yang tinggal di kota besar memberi respon yang lebih kuat terhadap kritik eksperimenter tersebut dibanding mereka yang tinggal di pedesaan. Lebih lanjut, McGonigal menjelaskan bahwa menurutnya, kehidupan di kota besar bukanlah membuat seseorang menjadi lebih stres (ditunjukkan oleh respon kuat otak ketika menghadapi kritik), tetapi bertumbuh di kota besar menuntut aktivitas otak seseorang untuk memberi respon lebih cepat dan kuat dalam menghadapi sistem sosial yang kompleks. Di kehidupan kota besar yang serba cepat dan memiliki begitu banyak ragam situasi, otak dituntut memiliki respon lebih kuat ketika berhadapan dengan petunjuk-petunjuk sosial serta mempelajari konflik sosial yang terjadi. Dalam tes tersebut, kritik dari eksperimenter menjadi pemicu untuk subjek tes yang tinggal di kota besar yang memberi peringatan bahwa mereka tidak cukup baik untuk memenuhi sebuah standar sosial dan hal ini mengakibatkan otak memberi respon yang lebih kuat. Peran Tekhnologi Masyarakat saat ini sangat terhubung satu dengan yang lain melalui tekhnologi, terutama social networking yang diprakarsai koneksi internet dan text messaging, atau pesan singkat. Akan tetapi hal-hal ini pada saat bersamaan juga membuat mereka saling menjauh satu dengan yang lain dalam kehidupan di luar internet. Sherry Turkle, Ph.D. mengatakan bahwa hal ini mengubah bagaimana cara kita berinteraksi secara maya, akan tetapi membatasi relasi kita secara personal. Michael Price menulis dalam situs American Psychological Association bahwa salah satu cara mengatasi hal ini adalah membatasi penggunaan tekhnologi tersebut. Misalnya ketika makan, berjalan-jalan di taman, atau ketika sedang menikmati keindahan alam.
17
2.3.7 Utopia Utopia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah tempat yang sempurna, sebuah komunitas atau kehidupan sosial yang sangat diidamkan sebagai impian tertinggi dari kehidupan seseorang. Istilah ini pertama digunakan oleh Sir Thomas More di Yunani dalam bukunya Utopia pada tahun 1516. Dalam buku tersebut, Sir Thomas More menggambarkan Utopia sebagai sebuah pulau fiksi di Samudera Atlantik di mana segala sesuatu di pulau itu sempurna. Istilah ini dalam perkembangannya digunakan untuk mendeskripsikan sebuah komunitas ideal atau secara fiksi, sebuah komunitas (atau tempat) yang sempurna. Dalam tugas akhir ini, penulis menggambarkan sang tokoh utama secara kebetulan menemukan sebuah Utopia, tempat yang menurut pandangannya sempurna, sebuah situasi dan lokasi yang berada di luar rutinitasnya yang ia rasa jenuh. Utopia sendiri diilutrasikan secara beragam oleh banyak orang.
18
Gambar 2.3 Contoh ilustrasi Utopia
2.3.8 Teori Utopia Ketika membahas tentang teori Utopia, nama Richard Dyer seringkali muncul sebagai seorang pencetus Utopian Theory. Beliau adalah seorang spesialis di bidang perfilman dan merupakan seorang profesor yang mengajar tentang film di King's College London dan Universitas St. Andrews. Menurut Dyer, Utopia adalah sebuah tempat yang sempurna dan ideal. Dalam teori Utopian, disebutkan bahwa orang-orang yang real atau nyata, yaitu orang-orang yang hidup dalam dunia yang sebenarnya, membaca, menonton, dan mendengarkan fiksi sebagai bentuk pelarian atau pengalihan dari kehidupan sehari-hari mereka yang monoton. Dyer juga menyatakan bahwa media hiburan memiliki kaitan dengan kepercayaan terhadap Utopia, dalam hal tujuan media hiburan seperti film untuk menggambarkan sebuah idealisme di mana kehidupan manusia dapat diatur
19
sedemikian rupa. Hal ini juga berkaitan dengan asumsi media hiburan sebagai "pelarian" dari kehidupan nyata. Media hiburan menawarkan "sesuatu yang lebih baik" dari kehidupan nyata yang dijalani konsumennya sehari-hari. Teori Dyer ini berkaitan erat dengan teori Pembenaran, yaitu sebuah usaha pembelajaran mengenai mengapa masyarakat secara aktif mencari sebuah pelarian dengan media-media hiburan dan "membenarkan" media-media tersebut untuk memuaskan kebutuhan mereka terhadap hal-hal tertentu.
2.3.9 Utopia dan Psikologi Dalam pembahasan mengenai Utopia, ditemukan dasar-dasar psikologis yang membangun alasan mengapa manusia membutuhkan sebuah Utopia sebagai pelarian dari rutinitas mereka sehari-hari. Dalam blognya, Aisha Yaqub menulis teori yang menarik mengenai Utopia secara psikologis. Ia mengatakan bahwa manusia tertarik pada konsep Utopia karena dengan membaca, menonton, atau mendengarkan cerita tentang tempat yang sempurna ini, kita mulai membayangkan dunia tersebut dan berimajinasi seandainya kita tinggal di dunia tersebut. Kebanyakan kisah fiksi membantu kita mengimajinasikan diri kita sendiri untuk berada di dunia yang ada dalam kisah fiksi tersebut. Yang berbeda dari kisah tentang Utopia adalah, kisah ini membawa kita ke dalam sebuah dunia yang "sempurna" yang berhubungan dan sekaligus menjadi tempat pelarian dari dunia di mana kita hidup sehari-hari. Lebih lanjut, Yaqub menulis bahwa apabila kita menerjemahkan konsep Utopia ke dalam kehidupan nyata, dan mengaplikasikannya ke dalam konsep kognitif dan pola pikir manusia, kita akan mendapati bahwa Utopia menyediakan sebuah alternatif "kebahagiaan" dan membentuknya secara ekstrim. Hal ini sebenarnya adalah Utopia psikologis yang dibangun seseorang dalam pikiran mereka sendiri. Pikiran manusia sangatlah kuat. Manusia memiliki pikiran yang mampu berimajinasi, dan kemampuan imajinasi ini adalah sesuatu yang spesial. Seseorang dapat melakukan banyak hal hanya dengan imajinasi mereka. Kita menggunakan imajinasi ini untuk banyak hal, membuat keputusan, memahami masalah, dan lainnya. Oleh karena itu, sebuah Utopia yang dibangun dalam pikiran seseorang akan menjadi semacam benteng tersendiri yang memiliki dampak positif maupun negatif.
20
Dampak positif dari Utopia yang dibangun dalam pikiran seseorang adalah orang tersebut akan memiliki perasaan yang lebih bahagia dan nyaman karena menurut pikirannya yang berada dalam Utopia yang ia ciptakan, tempat di mana ia berada, hidup dan melakukan kegiatannya sekarang ini adalah sebuah tempat yang sempurna, sebuah tempat di mana ia seharusnya berada. Namun hal ini juga dapat menjadi dampak negatif bagi seseorang yang menciptakan baginya sebuah Utopia psikologis. Karena ia sudah merasa bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupannya sudah tepat dan sempurna, ia akan menolak segala perubahan yang terjadi dalam dunianya. Mereka akan kehilangan emosi dan terjebak dalam sebuah delusi di mana segala sesuatu yang mereka lihat dan hadapi adalah yang terbaik bagi mereka. Hidup mereka justru berbalik menjadi sebuah Dystopia, yaitu kebalikan dari Utopia, sebuah tempat yang negatif, rusak dan menakutkan, bagi orang lain. Mereka akan memiliki sedikit sampai tidak ada sama sekali hubungan sosial dengan manusia lainnya dan mereka tidak akan melakukan sesuatu untuk mengubah hal ini karena menurut pandangan mereka, dunia mereka adalah sempurna, dan dunia di luar adalah tempat yang menakutkan.
2.3.10 Perbandingan Dunia Nyata dan Utopia Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Utopia adalah sebuah tempat yang dibuat sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin berbeda dengan dunia nyata tempat manusia tinggal karena tujuannya adalah menjadi sebuah pelarian, alternatif dari kenyataan. Beberapa Utopia dibuat secara ekstrim untuk menggambarkan perbedaan dari dunia nyata secara drastis, keras dan mengesankan bahwa dunia nyata adalah tempat yang sangat negatif. Namun tidak semua Utopia berbeda sedemikian jauh dari dunia nyata. Utopia dapat digambarkan dengan banyak hal dan dalam banyak bentuk. Aisha Yaqub memberi contoh tentang seorang anak yang selalu di-bully oleh teman-temannya di sekolah. Anak ini membangun Utopia dalam pikirannya bahwa semuanya baik-baik saja sehingga ia tidak menganggap perbuatan teman-temannya di sekolah perlu dilaporkan pada orang tuanya atau guru di sekolah. Ia menjalani hari demi hari dalam keadaan tersebut, hingga pada akhirnya Utopia yang ia buat hancur dan ia melihat bahwa kehidupannya sangatlah tidak baik, namun ia terlambat menyadarinya dan tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah hal itu.
21
Dari contoh tersebut, Utopia dan dunia nyata si anak tidaklah berbeda jauh. Keduanya berada di realita yang sama, hanya keadaan yang disimulasikan si anak yang berbeda, satu keadaan di mana ia tertindas, dan keadaan lain di mana ia baikbaik saja. Hal ini menunjukkan bahwa penggambaran Utopia sangatlah bergantung pada keadaan seseorang yang mencari Utopia bagi dirinya tersebut. Berikut adalah beberapa gambar perbandingan antara dunia nyata dan Utopia yang tercipta dalam kisah yang sama dalam usaha membentuk sebuah Utopia yang berbeda dan menjadi alternatif dari dunia nyata dalam kisah tersebut : Dalam film City of Ember, digambarkan sebuah kota di bawah tanah di mana cahaya sangat terbatas dan merupakan sumber daya yang mahal dan dapat habis. Utopia dalam film ini adalah dunia luar (atas tanah) yang disinari matahari dengan cahaya tak terbatas.
Gambar 2.4 Perbedaan dunia di film City of Ember
Dalam cerita Charlie and the Chocolate Factory, digambarkan bahwa dunia tempat tinggal Charlie adalah sebuah kota kumuh dan rumahnya yang kecil dan sempit. Utopia baginya adalah pabrik coklat Willy Wonka yang fantastis.
22 Gambar 2.5 Perbedaan dunia di film Charlie and the Chocolate Factory
Dalam film The Lorax yang diangkat dari buku cerita karangan Dr. Seuss, digambarkan sebuah kota Thneedville yang dirancang sebagai sebuah Utopia di mana kehidupan berjalan sempurna namun tidak ada satupun tumbuhan hidup, semua pohon dan tanaman terbuat dari plastik. Pada akhirnya Thneedville justru menjadi sebuah Dystopia bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya dan Utopia bagi mereka adalah sebuah alam hijau yang ditumbuhi pohon-pohon hidup.
Gambar 2.6 Perbedaan dunia dalam film The Lorax
2.4 Target Audience 2.4.1 Target Primer Target utama dari film animasi pendek ini adalah dewasa muda berusia 20-25 tahun, laki-laki dan perempuan, dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke atas. Menyukai film animasi, dan memiliki daya imajinasi tinggi. 2.4.2 Target Sekunder Target sekunder dari film animasi pendek ini adalah laki-laki dan perempuan, remaja hingga dewasa, dengan rentang usia di bawah dan/atau di atas target primer, 18-30 tahun. Kondisi sosial ekonomi menengah ke atas, menyukai film animasi, dan memiliki imajinasi yang baik.
23
2.5 Analisis SWOT Strength, cerita yang diangkat penulis adalah kejadian yang dialami seharihari, sehingga dapat menarik perhatian penonton karena berhubungan dengan kehidupan mereka. Kejadian sederhana ini ditambah dengan sebuah insiden fantasi yang menjadi klimaks film pendek ini. Weakness, ide cerita yang agak kompleks dan mengandung lebih banyak unsur penceritaan dibanding action membuat reaksi penonton sulit ditebak sehingga penerimaan penonton akan film pendek ini masih belum dapat dipastikan. Opportunity, antusiasme masyarakat terhadap film animasi yang semakin meningkat. Dengan konsep visual animasi 2D, film animasi pendek ini diharapkan memberi hiburan tersendiri di tengah maraknya film animasi 3D. Threat, masyarakat lebih menyukai genre komedi dan action sehingga cerita bertema fantasi lebih sulit mendapat penonton. Selain itu yang menjadi perhatian adalah banyaknya film-film animasi pendek dengan kualitas tinggi yang berasal dari luar negeri yang mungkin akan jadi prioritas tontonan masyarakat.
2.6 Pembanding 2.6.1 Buku Dalam buku berjudul Neverwhere karangan Neil Gaiman, diceritakan tentang seorang bernama Richard Mayhew yang terseseat ke dunia London bawah ketika ia berusaha menolong Door, seorang gadis kecil misterius. Perjalanan Richard di dunia London bawah memberi gambaran kota London yang berbeda dari yang biasa kita lihat. Kisah petualangannya juga memperlihatkan bagaimana manusia bisa berubah ketika situasi di sekitarnya berubah.
24
Gambar 2.7 Buku Neverwhere
2.6.2 Film dan Video a. City of Ember City of Ember bercerita tentang kehidupan sebuah kota dibawah tanah yang mulai mengalami krisis cahaya sebagai sumber energy. Di tengah krisis itu, ada dua orang remaja yang mencari jalan keluar dari kota itu dan menemukan sebuah jalur menuju dunia di atas kota mereka.
Gambar 2.8 Film City of Ember
25
b. The Island The Island menceritakan tentang sebuah komunitas buatan yang ada di bawah tanah di sebuah tempat terpencil. Hingga suatu waktu ada yang memberontak untuk keluar dari penjara buatan itu dan melihat dunia luar, dunia yang disembunyikan dari mereka.
Gambar 2.9 Film The Island