8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Umum 2.1.1 Definisi Teater Teater berasal dari bahasa Yunani kuno θέατρον (théatron, “a place for viewing”) dan θεάοµαι (theáomai, “to see", "to watch", "to observe”). Teater merupakan suatu bentuk kolaboratif dari seni murni yang menggunakan penampilan seniman atau pemain secara langsung untuk menyajikan pengalaman peristiwa nyata maupun fiksi kepada penonton pada tempat tertentu. Para pemain dapat mengkomunikasikan pengalaman ini kepada penonton melalui gerakan, ucapan, mimik, musik, lagu, atau tarian. Elemen-elemen desain dan tata panggung digunakan untuk menghadirkan latar yang mendekati nyata demi tercapainya pengalaman estetis saat menonton pertunjukan. Menurut kamus online Merriam-Webster, kata theatre memiliki 2 definisi utama, yakni teater sebagai sebuah bentuk ekspresi seni pertunjukan itu sendiri (adjective; kata sifat); dan teater sebagai suatu ruang untuk mementaskan seni pertujukan (noun; kata benda). Berdasarkan artikel Regina Alsian dalam blog Teater 35 (2009), secara etimologis teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam arti luas, teater berarti segala bentuk tontonan yang dipertunjukan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media percakapan, gerak dan laku
9 didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekorasi, musik, nyanyian, tarian, dsb. Dari berbagai sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa gedung pertunjukan, atau dalam bahasa Inggris lebih sering disebut dengan theatre, merupakan sebuah tempat di mana para seniman mempertunjukan karya seninya yang memiliki unsur audio-visual, berupa gerakan yang bisa dilihat atau ditonton dan suara yag bisa didengar, baik musik maupun vokal.
2.1.2 Sejarah Umum Pada mulanya, pertunjukan seni yang berkembang di masyarakat biasa dipentaskan di mana saja. Tidak ada tempat yang difungsikan secara khusus sebagai ruang pertunjukan sebagaimana yang ada pada masa sekarang ini. Pertunjukan yang ditambilkan pun masih berhubungan dengan adat istiadat dan tradisi dari penduduk setempat, seperti upacara adat yang berisi tari-tarian dan nyanyian
yang
dipersembahkan
untuk
dewa-dewi.
Pertunjukan
bisa
dilangsungkan di tempat terbuka seperti lahan kosong, panggung terbuka, amphitheatre, bahkan taman. Di masa lampau, pembangunan gedung pertunjukan terfokus pada pembuatan panggung yang dapat memberikan pengalaman visual dan akustik terbaik untuk para penonton. Dalam bukunya yang berjudul Construction and Design Manual, Theatres and Concert Halls, Brigit Scmolke menjelaskan dengan detail mengenai sejarah perkembangan arsitektur teater pada dunia barat. A. Teater Masa Yunani Kuno Belum diketahui secara pasti bagaimana arsitektur teater Yunani bisa muncul di sekitar akhir abad 6SM. The Dyonisian Mysteries, yang biasa
10 dirayakan di dalam kompleks kuil, ditinjau secara umum sebagai asal muasal drama. Teater Yunani Kuno biasa ditampilkan di luar kota pada lahan yang miring, di mana penontonnya juga terlibat dalam prosesi. Setelah masa itu, berkembang 2 genre pertunjukan, yakni teater dan drama. Pertunjukan yang semula berupa perayaan, perlahan mulai dikompetisikan di dalam komplek teater awal ini. Gambar 2.1 Teater di Epidaurus
Sumber : tours.keytours.gr Gambar 2.2 Teater Epidaurus, ground plan
Sumber : www.whitman.edu
Pada peiode Hellenistic, bangunan-bangunan monumental telah didirikan, begitu juga dengan gedung teater yang baik panggung maupun kursinya terbuat dari batu. Ukuran gedung teater pada masa itu sangatlah besar, dapat menampung 13.000 hingga 17.000 penonton. Hal ini dikarenakan pertunjukan teater tidak diadakan setiap hari atau dalam jangka waktu yang dekat, hanya dilakukan beberapa hari dalam setahun, sehingga
11 menarik minat penonton yang datang dari seluruh penjuru negeri. B. Teater Masa Romawi Pada akhir abad 2SM, seni pertunjukan Yunani mulai mempengaruhi bangsa Romawi dan desain panggung mereka. Bangsa Romawi membangun gedung teater mereka di dalam kota pada lahan terbuka yang luas. Ukurannya tidak jauh berbeda dengan teater buatan Yunani, dengan kapasitas 17.500 penonton. Perbedaan lain dengan teater Yunani adalah kursi dari teater bangsa Romawi dilengkapi dengan kayu penyangga. Panggung Romawi jauh diperlebar dengan sehingga ruang auditorium dan panggung mampu mencapai kesatuan spasial. Ketinggian panggung lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian panggung Yunani. Teater Romawi memiliki skene, dinding latar dari batu yang berada di belakang panggung. Gambar 2.3 Teater di Pompeii
Sumber : www.walkersworld.com
Teater pada masa lampau sangat mengandalkan pencahayaan alami, berbeda dengan teater pada masa sekarang yang menggunakan pencahayaan buatan, karena pencahayaan alami lebih cepat membuat mata lelah. Perlu diingat bahwa aktor pada masa lampau menggunakan topeng, gerak tubuh yang sedehana, dan menggunakan boddy padding. Hal demikian dilakukan untuk mempermudah pandangan penonton dan penyampaian pesan dari aktor kepada penonton yang jumlahnya bisa belasan ribu orang.
12 C. Teater Masa Abad Pertengahan Abad pertengahan dimulai ketika kekaisaran Romawi runtuh dan gereja menjadi penguasa Eropa pada masa itu. Gereja melarang pertunjukan -pertunjukan yang tidak berhubungan dengan agama. Di saat yang bersamaan kelompok-kelompok pertunjukan jalanan mulai bermunculan, seperti penari, penyanyi, pemakan api, dan komedian. Pada abad ke-11M, pertunjukan drama mulai masuk ke dalam gereja. Genre yang berbeda kerap kali tampil bergantian sehingga memperkaya pertunjukan, sehingga tidak ada keseragaman komposisi. Pada abad ke-16M, kelompok teater profesional menampilkan karya merekan di pekarangan sebuah penginapan dengan galeri sebagai area khusus untuk penonton. Penampilan
pertama
yang
memberikan
dampak
besar
terhadap
perkembangan teater, termasuk Globe Theatre, merupakan hasil dari upaya James Burbage selama periode Elizabethan, tahun 1576. Pada masa ini tidak ada tirai maupun backdrop yang digunakan. Dekorasi yang digunakan hanya sebatas properti panggung dan kostum pemain saja. D. The Globe Theatre Di Inggris, pengaruh kebudayaan kuno telah lama ditinggalkan. Di Globe Theatre di London, William Shakespeare mementaskan dramadramanya pada panggung berbentuk cekung. Pada masa Shakespeare, teater berlokasi di luar kota dan dengan demikian juga berada di luar lingkup para pemimpin kota yang sudah lama berusaha untuk menegakkan larangan pertunjukan publik. Sekitar 3.000 penonton dari berbagai kelas sosial datang untuk menyaksikan pertunjukan di gedung tanpa atap yang mengandalkan cahaya
13 matahari sebagai sumber penerangan. Penonton yang lebih kaya duduk di area balkon, sedangkan yang miskin berdiri di tengah-tengah bangunan. Panggung menjorok jauh ke tengah, sehinggah sekuruh penonton berjarak relatif dekat dengan aktor. Gambar 2.4 The Globe Theatre di London
Sumber : www.webbaviation.co.uk Gambar 2.5 The Globe Theatre, England
Sumber : wikis.engrade.com
E. Opera di Italia Tahun 1637, Republic of Venice menyelesaikan pembangunan gedung opera pertama, memperkenalkan bentuk baru auditorium, berbentuk silindris dan kotak berbentuk sarang lebah yang menjadi cikal bakal class-oriented theatre. Area berdiri terdapat di lantai dasar yang disediakan untuk umum,
14 dan kotak balkon yang disediakan untuk para bangsawan. Di Jerman, dibuat sebuah gedung khusus untuk konser pada akhir abad yang sama. Secara bersamaan, dibangun pula gedung dengan tujuan yang sama di Italia dan Perancis. Pertunjukan musik sudah hadir di Eropa sejak lama, biasa diadakan di ballroom atau tempat lainnya yang bukan berfungsi utama sebagai tempat konser. Di akhir abad ke-18M, pembangunan gedung opera menyebar ke seluruh penjuru Eropa. Desain auditorium Italia mencitrakan kombinasi ideal antara kenyamanan visual dan akustik. Gaya desain ini mencapai puncaknya pada pembangunan teater La Scala di Milan pada tahun 1778. Pada masa itu gedung teater telah menjadi tempat pertemuan baru bagi masyarakat, dan menjadi karakter budaya baru yang unik bagi penduduk Eropa dan negara-negara yang terpengaruh budaya Eropa. Gambar 2.6 Teater La Scala, Milan
Gambar 2.7 Interior Teater La Scala, Milan
Sumber : www.globeimages.net
Sumber : www.britannica.com
F. The Festival Theatre in Bayreuth Di awal tahun 1872, Richard Wagner mendesain gedung teater festival di kota Beirut yang akan dibuka pada tahun 1876. Banyak perubahan dilakukan Wagner untuk desain gedung pertunjukan yang berdampak hingga sekarang. Tujuannya adalah untuk memberikan pandangan yang baik kepada setiap penonton dan menata kursi penonton pada sikap keadilan sosial, socially equitable manner.
15 Panggung dibuat hanya menggunakan struktur kayu dan untuk memberikan jarak pandang yang sama bagi setiap penonton. Bagian depan panggung terdiri dari 2 lengkung proscenium yang sama besar dengan internal taper. Hal ini menciptakan sebuah ilusi optik dengan maksud menghilangkan kesan jarak,yang disengaja. Penonton juga dibuat duduk dalam kelompok kecil. Secara keseluruhan, 1.645 penonton dapat ditampung dalam auditorium ini. Pemain orkestra yang jumlahnya sangat banyak membuat Wagner menambah area. Orchestra pit dibuat besar dan masuk ke dalam di bawah panggung dan dapat menampung 130 pemusik. Gagasan ini membuat orkestra tidak terlihat karena menurutnya orkestra menjadi pengalih perhatian penonton dari pertunjukan. Orchestra pit menjadi penghubung antara aktor dengan penonton. Secara akustik, konstruksi seperti ini memudahkan musik bergabung dengan latar dan langsung berkaitan dengan panggung. Pada teater Wagner ini, gelombang suara memiliki waktu dengung yang relatif panjang yang mampu menghasilkan kolaborasi suara yang baik. G. Teater di Abad ke-19 Pada abad ke-19, teater dengan konsep tradisional dan Wagnerian hadir berdampingan. The Prinzgntntheater di Munich, mengambil inspirasi dari teater Wagner di Beirut. Meskipun memiliki ukuran yang identik, teater ini memiliki kapasitas kursi yang lebih sedikit, yakni 1.106 penonton. Hal ini disebabkan ukuran kursi yang diperbesar dari 52x70cm menjadi 60x80cm. Keuntungan akustik lainya adalah dinding pemencar berbentuk irisan yang bukan berfungsi untuk menyebar gelombang suara, seperti yang di Beirut,
16 namun untuk memfokuskan gelombang suara. Gambar 2.8 Interior Teater Wagner, Beirut
Sumber : continuo.wordpress.com Gambar 2.9 Tata Letak Kursi di Teater Wagner, Beirut
Sumber : auralarchitectures.blogspot.com
Permasalahan desain yang utama bagi para asitek di zaman itu adalah bagaimana bernegosiasi dengan sifat panggung arena dengan panggung proscenium yang menjorok ke arah auditorium, memberikan jarak antara aktor dengan latar dan ilusinya. Hingga memasuki abad ke-19, merupakan hal yang umum bagi arsitek untuk mengatasi masalah akustik tanpa beralih pada pendekatan ilmiah, tetapi murni dengan memanfaatkan pengalaman mereka dan pemilihan bahan yang tepat. H. Teater di Abad ke-20 Seiring dengan perkembangan teknologi, sosial, dan artistik yang terjadi di masa tersebut, desain dari gedng teateerr mengalami tansformasi yang
17 mendalam. Latar panggung yang dicat dan menggunakan gambaran tradisional akan ruang dan perspektif dibuang demi mewujudkan bangun 3 dimensi yang abstrak. Munculnya bioskop berkontribusi untuk pertunjukan visual yang baru. Sebagai pembeda antara bioskop dengan teater, dramaturgi kini membuat sang aktor sebagai pusat perhatian itu sendiri. Backdrop kini dianggap sebagai penghambat. Lengkung proscenium kini tdak lagi dianggap sebagai bingkai megah, namun lebih sebagai struktur sekunder yang biasa saja. Panggung dibagi menjadi 3 zona, yakni panggung utama dan 2 sisi panggung. I. Teater Masa Sekarang Gambar 2.10 International House of Music, Moscow
Sumber : www.matthewfries.com
Kegiatan pertunjukan yang bervariasi membutuhkan jenis panggung yang berbeda pula. Jadi sudah menjadi hal biasa apabila diperlukan latihan untuk beradaptasi dengan latar dan bentuk panggung yang tersedia. Satu panggung diabangun untuk mengakomodasi suatu jenis pertunjukan, tidak disarankan untuk jenis pertunjukan lainnya, berkaitan dengan spesifikasi dan fasilitas yang disediakan. Tren terbaru menunjukan bahwa panggung dan auditorium sebagai sebuah kesatuan. Sebuah aula besar tanpa struktur dasar menjadi sebuah open floor plan yang bertujuan untuk menciptakan kesetaraan posisi antara panggung dengan penonton.
18 2.1.3 Fungsi dan Tujuan Terlepas dari fungsi serta keterkaitannya dengan aspek sosial dan budaya, teater dapat dipahami sebagai tempat yang digunakan sebagai panggung untuk mementaskan pertunjukan. A. Teater Sebagai Rumah Seperti yang diungkapkan Andrew Robert Filmer (2006) dalam thesisnya mengenai Opera House, tempat-tempat pertunjukan sudah menjadi tempat yang umum bagi banyak peradaban. Di mana pun manusia mengembangkan teater sebagai produk budayanya dalam mengekspresikan diri, mereka juga akan membangun tempat sebagai rumah untuk kegiatan itu, atau paling tidak meluangkan ruang alami untuk tujuan tersebut. Filmer
melanjutkan,
"Istilah
sehari-hari
seperti
'rumah'
dapat
mengindikasikan dengan kuat dasar dari fungsi gedung teater, yakni hanya sebagai bangunan atau sebatas ruangan. Namun pada perumpamaan ini, saya ingin mempertajam fungsi dari teater; teater berfungsi sebagai wadah abadi untuk kegiatan teater. Di dalamnya terdapat pemahaman yang lebih luas mengenai koneksi penting antara tempat dan pertunjukannya, dibandingkan dengan pemahaman semiotik tentang bangunan teater sebagai bingkai saja." B. Teater Sebagai Aktor Seperti telah dijelaskan sebelumnya, gedung pertunjukan dibangun sebagai tempat
untuk
melangsungkan
pertunjukan.
Gedung-gedung
pertunjukan itu sendiri merupakan sebuah "pertunjukan abadi" yang disutradai oleh arsitek, yang juga berperan sebagai pengarang cerita. Gedung pertunjukan atau teater, sebagai aktor, menjadi landmark terbaik yang mewakili kebudayaan kota di mana teater itu berdiri melalui bentuk,
19 warna, tampilan, dan ruang, bagai menyanyikan alunan nada. (Yin, 2012:3)
2.1.4 Klasifikasi Jenis Kegiatan A. Secara Universal Ada banyak ragam kegiatan pertunjukan yang diproduksi untuk ditampilkan di teater atau gedung pertunjukan. Kegiatan-kegiatan yang beragam tersebut harus memiliki fleksibilitas yang tinggi agar dapat ditempatkan dalam ruang yang sama. Ham (1987:13) dalam bukunya menjelaskan kegiatan tersebut adalah: 1) Drama Dalam pementasan drama, jumlah pemain yang menampilkan pertunjukan adalah 2 sampai 20 orang, namun biasanya tidak lebih dari 12 orang pemain. Gambar 2.11 Cats karya Andrew Lloyd Webber,Broadway (2012)
Sumber : www.chicagotheaterbeat.com
2) Drama (ukuran besar) Gambar 2.12 Romeo&Juliet karya Shakespeare, Renowned Globe Theater(2013)
Sumber : www.desertsafariabudhabitour.com
20 Pada beberapa pementasan drama, seperti drama-drama karya Shakespeare, memiliki banyak pemain dengan banyak figuran. 3) Grand opera, full-scale ballet, musicals, pantomim Pertunjukan ini melibatkan penyanyi, penari, dan paduan suara. Gaya pementasan dan dekorasi yang digunakan biasanya spektakuler dan menyiratkan bentuk panggung proscenium. Gambar 2.13 The Nutcracker karya Willam Christensen, Ballet West (2012)
Sumber: online.wsj.com
4) Chamber opera, chamber ballet, music hall and variety, cabaret, plays with music Para pemainnya tidak sebanyak pementasan drama, namun harus dibuat pengaturan letak yang tepat untuk para musisi. Musisi bisa ditempatkan satu panggung sebagai latar. Gambar 2.14 Ophelia's Gaze karya Steve Everett (2012)
Sumber: http://vimeo.com/2643909
5) Concerts Simfoni orkestra rata-rata menampilkan 90 orang pemain, bahkan bisa lebih dari 120 orang. Pada konser jazz, pop , dan musik tradisional
21 biasanya menampilkan jumlah pemain sekitar 10 hingga 12 orang, tetapi terkadang bisa mencapai 50 orang. Recital adalah pertunjukan musik dengan skala terkecil, yakni menampilkan seorang penyanyi solo dan seorang instrumentalist yang disertai pengiring. Gambar 2.15 Susunan Duduk Pemain Orchestra
Sumber: www.basilicata.travel
6) Film Gedung pertunjukan biasanya juga dilengkapi dengan proyektor film untuk memenuhi ketentuan gedung pertunjukan. Sebuah gedung pertunjukan yang pada awal perencanaannya didesain untuk bioskop (cinema) memang tidak cocok dan tidak diperkenankan untuk pertunjukan langsung, namun film tentu bisa dipertunjukan dengan sangat baik pada gedung yang memiliki fungsi utama sebagai gedung untuk pertunjukan langsung. B. Secara Khusus Pertunjukan seni dan budaya merupakan cerminan dari kebudayaan suatu bangsa. Indonesia memiliki beragam budaya yang kaya dan patut dibanggakan oleh warga negaranya. Meskipun berbeda latar belakang budaya, masyarakat Indonesia tetap merasa sebagai satu bangsa. Ada begitu banyak kesenian budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Kesenian yang umum dipentaskan dalam tradisi Indonesia adalah tari-tarian,
22 musik tradisional, upacara adat, dan juga pementasan wayang. Kesenian ini pada awalnya dilakukan sebagai salah satu metode penyebaran agama atau pengajaran adat, bukan sebagai suatu pertunjukan hiburan. Seiring perkembangan budaya, masyarakat mulai menggunakan pertunjukan adat sebagai suatu media hiburan. Oleh karena itu dapat kita temuai seni teater tradisional seperti wayang orang, lenong, ludruk, dan lain-lain. Pertunjukan yang dilakukan biasanya sudah menjadi sebuah "paket", misalnya upacara adat yang dibuka oleh tarian yang diiringi oleh nyanyian dan musik adat. Atau misalnya dalam pertunjukan wayang orang, ada sesi permainan lakon wayang, diselingi oleh tarian adat, dan diiringi oleh sinden dan gamelan. Gambar 2.16 Wayang Orang Bharata
Sumber : wisatajuwa.wordpress.com
Kesenian-kesenian adat ini terus berkembang hingga saat ini. Pengaruh-pengaruh budaya asing dan modernisasi turut memperkaya variasi kesenian yang ada. Pengembangan dan pembaruan karya juga terus dihadirkan untuk menciptakan sebuah kesenian era baru yang sesuai dengan zamannya sehingga tidak kehilangan penggemar, tanpa melupakan nilai dan esensi dari seni itu sendiri. Kesenian yang sering disebut dengan tradisional-kontemporer ini menggunakan elemen-elemen klasik secara bebeas dan kreatif, sesuai dengan rasa estetik penatanya.
23 Gambar 2.17 Tari Kontemporer
Sumber : http://tari.isi-dps.ac.id/about
Untuk pertunjukan seni peran, kisah yang dibawakan mengalami beberapa adaptasi. Cerita disesuaikan dengn kondisi masyarakat sekarang, dramatisasi juag ditambahkan, alur cerita tidak sepanjang dan serumit dulu. Hal ini lebih disebabkan fungsi utama seni saat ini sebagai komoditas hiburan dan ekspresi jiwa.
2.1.5 Klasifikasi Jenis Aktifitas Pada pembahasan ini, segala aktivitas yang dibahas merupakan aktivitas yang dilakukan di dalam area gedung pertunjukan. A. Pemain 1) Persiapan pertunjukan Sebelum pertunjukan dipentaskan, para pemain mempersiapkan diri terlebih dahulu. Aktivitas yang dilakukan seperti latihan dapat dilakukan beberapa saat sebelum pertunjukan dimulai langsung di atas panggung, latihan pun hanya sebatas penentuan blocking saat pentas. Untuk gladiresik biasanya dilakukan di ruangan lain di area gedung pertunjukan atau bisa dilakukan di tempat lain. Kegiatan merias dan berganti kostum juga dilakukan sebelum pentas dimulai. 2) Pentas pertunjukan Saat pertunjukan berlangsung, para pemain bergantian masuk ke
24 area pentas (panggung) sesuai dengan bagiannya masing-masing. Para pemain yang tidak sedang tampil dapat menunggu giliran di belakang panggung atau menunggu di area samping panggung. Pada pertunjukan teater, interaksi dan komuikasi harus mampu dibangun oleh para pemain kepada penonton melalui dialog, tarian, nyanyian, dan
gerakan-gerakan serta ekspresi wajah yang berkaitan
dengan akting dan perannya dalam cerita tersebut. Selain skill dan kemampuan sang pemain, sampai atau tidaknya pesan dari pemain kepada penonton turut dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti jarak penonton dengan panggung, fasilitas sound system, dan lain sebagainya.
B. Tim produksi (Crew) Crew pertunjukan terdiri dari sutradara dan para asistennya, penulis naskah, tim properti, tim wardrobe dan make-up, management, tim lighting, tim sound system, dan semua orang dari pihak internal teater yang ikut serta di dalam produksi sebuah pementasan. 1) Persiapan pertunjukan Sebelum pertunjukan dimulai, tim produksi akan mengutamakan pemasangan properti untuk setting panggung. Pengecekan dan percobaan lighting dan check sound juga dilakukan agar pertunjukan dapat berlangsung lancar dan maksimal. 2) Penanganan properti Properti yang digunakan untuk pementasan biasanya dikerjakan di tempat lain (workshop). Properti tersebut dibawa ke area gedung dan dipasang untuk pertunjukan, kemudian dibongkar lagi. Kegiatan
25 bongkar-pasang serta loading barang menjadi tanggung jawab pihak teater yang melakukan pertunjukan. C. Penonton 1) Duduk Pertunjukan teater biasanya berlangsung selama 2 sampai 3 jam. Dengan waktu yang cukup panjang tersebut, kenyamanan duduk dan ruang sirkulasi menjadi perhatian utama dalam mendesain area duduk penonton. Tingkat kenyamanan pun harus disesuaikan agar tidak membuat penonton tertidur saat pertunjukan. Jarak antar baris yang lebar memang dapat meningkatkan kenyamanan duduk dibandingkan dengan jarak baris yang sempit, namun hal ini mempengaruhi kapasitas kursi di dalam ruang auditorium yang berdampak pada penurunan nilai ekonomis, atau posisi baris paling belakang yang jauh melampaui batas maksimum penglihatan. Pada pertunjukan yang bersifat langsung, jarak kursi yang terlalu dekat juga dapat merusak suasana dan konsentrasi penonton untuk merasakan pengalaman teatrikal. 2) Melihat Jarak pandangan penoton tentu memiliki batas maksimum untuk dapat melihat penampilan pemain dengan jelas, nyaman, dan detail. Secara teoritis, para penonton harus cukup dekat untuk melihat mimik wajah dari para pemain. Untuk pertunjukan teater, batas maksimum penglihatan kira-kira 20 meter dari proscenium stage ke penonton. Sedangkan untuk pertunjukan opera atau konser, di mana mimik wajah tidak terlalu diperhatikan,
26 batas maksimum penglihatan kurang lebih 30 meter dari proscenium stage. Proscenium stage adalah area panggung terdepan yang berada di depan layar. Christina E. Mediastika dalam bukunya yang berjudul Akustika Bangunan menjelaskan bahwa kemampuan mata manusia untuk melihat dengan jelas dan nyaman tanpa perlu memalingkan muka berada pada sudut 20° ke arah kiri dan 20° ke arah kanan atau total 40°. Oleh karena itu idealnya dibuat panggung yang lebarnya tidak melebihi lebar bagian depan lantai penonton. Selanjutnya, posisi penonton untuk melihat dengan jelas dan nyaman ke arah panggung adalah sekitar 100° ke kiri dan 100° ke kanan dari ujung depan kiri-kanan panggung. Penonton yang berada pada sudut lebih besar dari 100° akan mendapatkan sudut pandang yang kurang nyaman ke arah panggung. Kunci dimensi pada perhitungan jarak pandang bergantung pada ketinggian mata seseorang pada posisi duduk dari atas lantai dan ketinggian ujung atas kepala dari mata. Namun, bukan hanya dimensi anthropometric individu yang menonton, postur dan posisi duduk penonton juga dapat mempengaruhi penglihatan penonton. Dengan kata lain, apabila seseorang anak-anak duduk di belakang orang dewasa bertubuh tinggi besar, ia pasti tidak akan bisa melihat pertunjukan karena terhalang orang dewasa tersebut, dan kasus-kasus seperti ini tidak bisa diselesaikan secara matematis (Ham, 1987:29). 3) Mendengarkan Aktivitas mendengarkan yang dilakukan oleh penonton sangat berkaitan erat dengan karakter akustik ruang pada area penonton.
27 Karakteristik akustik bergantung pada perilaku pantulan suara dan periode dengung suara. Periode dengung harus pendek bila ruangan digunakan untuk acara seperti pidato, sehingga penonton dapat mendengar suara dengan jernih; harus lebih panjang untuk pertunjukan musik; dan harus lebih panjang lagi untuk nyanyian paduan suara. Ada dua hal yang mempengaruhi periode dengung suara, yakni jumlah suara yang diserap dan dipantulkan oleh permukaan ruang auditorium dan volume auditorium dan panggung. Terlepas dari sistem penataan suara, apabila ruang auditorium terisi penuh maka suara dari pemain akan lebih sulit terdengar, namun bila penonton sedikit maka suara pemain akan terdengar lebih keras dan jelas. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki kemampuan menyerap gelombang suara, semakin banyak penonton maka suara akn semakin banyak diserap dan lebih sedikit dipantulkan. 4) Menunggu pertunjukan Sebelum pertunjukan siap dimulai, atau pada kebiasaan di Indonesia sebelum bunyi gong pertama, para penonton dilarang memasuki ruang pertunjukan. Penonton pun diwajibkan untuk data paling tidak 30 menit sebelum pertunjukan dimulai. Sambil
mengunggu
diperbolehkan
masuk
ke
dalam
area
pertunjukan, para penonton bisa bercengkrama, makan dan minum, menyaksikan pertunjukan kecil di area-area lain di dalam gedung, atau berbelanja. D. Pengelola 1) Mengatur program dan pertunjukan
28 Menangani grup pementasan dan mengelola pertunjukan, mengatur tata cahaya dan tata suara pertunjukan. 2) Menjalankan pemasaran Kegiatan promosi ke pihak-pihak terkain dan ke khalayak umum (hubungan masyarakat). 3) Menjalankan administrasi Mengelola keuangan dan kepegawaian kantor. 4) Mengelola sarana dan prasarana Melakukan perawatan gedung dan menyediakan peralatan yang mendukung fasilitas gedung.
2.1.6 Klasifikasi Fasilitas Secara garis besar fasilitas yang terdapat di dalam sebuah gedung pertunjukan dapat dibedakan menjdi: A. Fasilitas Utama 1) Ruang Panggung Panggung adalah ruang yang menjadi orientasi utama dalam sebuah ruang pertunjukan. Panggung diperuntukan bagi penampil untuk mengekspresikan materi yang disajikan. Bentuk dan dimensi panggung sangat bermacam-macam. Mediastika (2005:93) mengklsifikasi panggung menurut bentuk dan tingkat komunikasinya dengan penonton, dibedakan menjadi 4 jenis: a) Panggung Proscenium Merupakan panggung dengan peletakan konvensional, yaitu penonton hanya dapat melihat pertunjukan dari arah depan saja.
29 Komunikasi antara pemain dan penonton pada panggung semacam ini sangat minim. Komunikasi yang dimaksud adalah tatapan mata, perasaan kedekatan antara pemain dan penonton, dan keinginan penonton untuk secara fisik terlibat dengan materi yang disajikan, misalnya ikut bergoyang, dsb. Panggung ini lebih cocok digunakan untuk pertunjukan seni tari klasik atau seni musik klasik. Gambar 2.18 Panggung Proscenium
Sumber : drama-music.wikispaces.com Gambar 2.19 Muriel Kauffman Theatre
Sumber : www.kauffmancenter.org
b) Panggung Terbuka Masyarakat awam seringkali salah paham dengan menganggap bahwa semua ruang pertunjukan yang tidak beratap adalah panggung terbuka. Panggung terbuka adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pengembangan dari panggung proscenium yang memiliki sebagian area panggung menjorok ke arah penonton,
30 sehingga
memungkinkan
penonton
bagian
depan
untuk
menyaksikan pemain dari arah samping, contohnya catwalk tempat peragaan busana. Tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya atap ruangan. Komunikasi antara pemain dan penonton pada panggung seperti ini lebih baik dan lebih terbangun. Gambar 2.20 Panggung Terbuka
Sumber : www.pageout.net Gambar 2.21 Catwalk oleh Spectrum Production
Sumber : www.spectrumproductions.co.uk
c) Panggung Arena Panggung
arena
adalah
panggung
yang
terletak
di
tengah-tengah penonton, sehingga penonton dapat berada pada posisi di depan, samping,, atau bahkan di belakang penampil. Panggung seperti ini biasanya dibuat semipermanen dalam sebuah auditorium multifungsi. Komunikasi antara penampil dan penonton pun dapat berlangsung dengan sangat baik. Panggung arena cocok
31 sekali untuk pertunjukan musik yang santai seperti group band dengan atraksi panggung yang lincah. Panggung area kerap kali dibuat dapat berputar, sehingga semua penonton pada sisi yang berbeda dapat melihat penampil dari semua sudut. Gambar 2.22 Panggung Arena
Sumber : nurainas17.blogspot.com Gambar 2.23 Arena Stage at the Mead Center for American Theater
Sumber : archrecord.construction.com
d) Panggung Extended Bentuk panggung extended merupakan pengembangan dari bentuk proscenium yang melebar ke arah samping kiri dan kanan. Bagia pelebaran ini tidak dibatasi dinding samping, sehingga penonton dapat menyaksikan penampil dari arah samping. Bentuk panggung seperti ini cocok digunakan untuk sajian acara yang terdiri dari beberapa bagian pertunjukan, misalnya penganugerahan penghargaan, yang terdiri dari acara penganugerahannya sendiri,
32 sajian musik, dan mungkin dilengkapi pula dengan sajian komedi. Masing-masing sajian tersebut dapat menempati sisi panggung yang berbeda, sehingga penempatan dekorasi masing-masing panggung tidak saling mengganggu. Gambar 2.24 Panggung American Idol
Sumber : archuletafanscene.com
Lain halnya dengan Ham (1987:17) yang mengelompokan jenis panggung berdasarkan tingkat pengepungan panggung oleh penonton, sebagai berikut: a) 360° encirclement Gambar 2.25 360º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:17)
Panggung jenis ini dikelilingi penonton dari setiap sisinya, disebut juga sebagai center stage, island stage, arena, atau theatre-in-the-round. b) Transverse stage
33 Panggung
ini
berbentuk
melintang
dan
jarang
sekali
ditemukan. Gambar 2.26 Transverse Stage
Sumber : Ham (1987:18)
c) 210° -220° encirclement Panggung seperti ini banyak dijumpai pada teater Yunani kuno dan Helenistik. Jalur masuk ke dalam area pentas dapat dibuat berupa dinding vertikal pada bagian yang terbuka. Area pentas utama berada pada fokus dari semua tempat duduk. Yang terpenting dari teater Yunani asli adalah lokasinya yang di ruang terbuka. Gambar 2.27 210º-220º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:19)
d) 180° encirclement Teater Bangsa Romawi memiliki bentuk seperti ini dan teater pertama masa Renaissance memiliki pola seperti ini. Penekanan fokus pertunjukan telah bergerak ke arah dinding belakang yang sekarang telah menjadi batas area pentas. Versi terbaru dari bentuk
34 ini biasa disebut thrust stage, peninsular atau three-sided stage. Thrust stage sekarang ini memiliki beragam tingkat kelengkungan dan jarang yang mirip dengan teater kuno. Gambar 2.28 180º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:20)
e) 90° encirclement Bentuknya
yang
seperempat
lingkaran
mengharuskan
pertunjukan dilihat terhadap latarnya. Panggung seperti ini memilikin banyak sekali variasi yang mungkin digunakan, dengan luasan latar yang lebih beesar dibandingkan dengan thrust stage. Namun
memiliki
jarak
pandang
yang
terbatas.
Teknik
pertunjukannya tidak jauh berbeda dengan pertunjukan yang mengunakan panggung proscenium. Gambar 2.29 90º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:20)
f) Zero encirclement
35 End stage, begitu biasa disebut, hanyalah sebuah panggung terbuka yang area pentasnya menjadi satu dengan area penonton. Batas pandangan tercipta bukan karena adanya latar, namun memang dikarenakan keterbatasan fisik bangunan. Kondisi ini disebabkan oleh pembatasan truktur yang ada secara sengaja. Pada dasarnya
berbentuk
proscenium
namun
tanpa
lengkungan
proscenium dan tanpa area persiapan. Gambar 2.30 Zero Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:21)
g) Space stage Panggung yag mengelilingi penonton dari semua sisinya, disebut juga sebagai wrapped-around stage atau calliper stage. Gambar 2.31 Space Stage
Sumber : Ham (1987:21)
Latar tidak bisa diletakan pas di belakang dinding proscenium, karena bisa menghalangi safety curtain dan house curtain. Garis di mana properti latar tidak boleh diletakan disebut setting line dan biasanya berjarak 1 meter di belakang proscenium. Bagian dari
36 panggung antara setting line hingga ujung panggung disebut forestage. Apabila panggung dimajukan lagi ke arah penonton maka bagian itu disebut apron stage, dan dapat berfungsi sebagai panggung terbuka dengan melakukan pentas di bagian tersebut. Perlengkapan yang terletak di atas area panggung (over stage equipment) digunakan sebagai pendukung dan penggantung latar, peralatan lampu, dan barang lainnya yang berhubungan dengan pementasan. Semua latar panggung yang berukuran besar dan lebar dapat dengan mudah disingkirkan dari area latar dengan adanya flying. Tanpa area terseut, pembersihan dan penyimpanan latar seperti dinding, ceiling, cycloramas menjadi masalah teknis yang menyulitkan. Gambar 2.32 Over Stage Equipment
Sumber : Cole (1949 :137)
2) Ruang Penonton atau Auditorium Ham (1987:11) mengungkapkan dalam bukunya, bahwa hal pertama yang terlintas bila membahas ruang penonton tentu kapasitas kursi yang dimiliki ruang pertunjukan.
37 Kecil
kurang dari 500 kursi
Sedang
500-900 kursi
Besar
900-1500 kursi
Sangat Besar
lebih dari 1500 kursi
Ham juga menjelaskan kapasitas kursi bukanlah satu-satunya penentu dari ukuran sebuah gedung pertunjukan. Ukuran panggung, fasilitas produksi yang mendukung pertunjukan, dan skala pertunjukan juga sangat banyak berpengaruh. Sebuah kekeliruan jika menghubungkan biaya produksi sebuah teater dengan jumlah kursi yang ada tanpa memikirkan standar ruang, peralatan teknis, yang sesuai dengan tujuan awal dibangunnya. Untuk alasan ekonomis semata, seluruh kapasitas penonton diharuskan tercapai. Padahal bila hubungan anatara penonton dengan panggung tidak terjalin baik maka penonton pun tidak lagi merasa nyaman dan terhibur sehingga tidak lagi menonton pertunjukan. Kapasitas yang ditentukan harus berasal dari pertimbangan batas visual dan akustik ruang sesuai dengan jenis pertunjukan dan hubungan interaksi panggung antara pemain dan penonton. Cole (1949:32) berpendapat jika batas visual dan akustik diaplikasikan pada bidang horizontal untuk auditorium panggung proscenium, maka akan mengurangi area duduk dengan kualitas maksimum yang kira-kira berbentuk elips. Susunan kursi berbentuk kipas menjadi solusi untuk jumlah kursi yang lebih banyak dengan pandangan ke panggung yang lebih terpusat dan relatif lebih sedikit kekurangannya dibandingkan dengan susunan kursi horizontal. Pusat dari kelengkungan auditorium terdapat pada garis tengah, dengan jarak
38 sebesar antara batas proscenium dengan dinding paling belakang auditorium, yang terletak di belakang proscenium ke arah panggung. Gambar 2.33 Titik Pusat Kelengkungan Auditorium
Sumber : Cole (1949:33) Gambar 2.34 Radial Aisles
Sumber : Cole (1949:34)
Lorong yang terdapat di dalam auditorium hendaknya disesuaikan dengan pembagian zona kenyamanan kursi. Oleh karena itu, lorong dengan bentuk radial (radial aisles) merupakan yang terbaik, dengan menggunakan sudut yang bertumpu pada pusat kelengkungan auditorium. Meletakan lorong di tengah auditorium sangat tidak dianjurkan karena akan mengurangi jumlah kursi dengan kualitas kenyamanan terbaik. Berbeda dengan sistem continental seating yang memiliki jarak antar baris yang lebar, auditorium dengan jarak baris normal pada umumnya menggunakan lorong dengan jumlah kursi paling banyak 14 buah. (Cole, 1949:34)
39 B. Fasilitas Pendukung 1) Ruang Persiapan Pementasan a) Ruang Ganti (Dressing room) Letak terpenting untuk ruang ganti adalah sirkulasinya harus langsung berhubungan dengan jalur masuk ke panggung. Posisi terbaiknya adalah berada pada level yang sama dengan panggung, atau tidak boleh lebih dari 2 pijakan di atas atau di bawah panggung. Para
pemain
seringkali
keluar-masuk
ruang
ganti
dengan
terburu-buru, sehingga lebar pintu tidak boleh kurang dari 850 mm, dan lebar koridornya tidak boleh kurang dari 1500 mm untuk menghindari tabrakan dengan pemain lainnya. Ketentuan mengenai ruang ganti ditentukan dari jenis kegiatan pertunjukan yang ditampilkan. Perlu dibedakan antara ruang ganti yang digunakan oleh aktor dan para pemain teater lainya yang harus berganti kostum, berdandan, dengan ruang ganti yang digunakan oleh musisi pada pertunjukan orchestra yang hanya tinggal mengganti pakaian biasa mereka dengan gaun malam dalam waktu singkat. Pembagian kapasitas ruang ganti pun bisa bermacam-macam, mulai dari yang paling sederhana, satu ruangan besar yang digunakan bersama-sama, terpisah antara pria dan wanita, hingga yang rumit, ada ruang khusus untuk bintang pertunjukan (star dressing room), ruang bersama-sama untuk pemain lainnya, ruang untuk paduan suara, ruang untuk musisi, dan lain sebagainya. Dengan pembagian rungan yang rumit seperti ini, dapat dilihat
40 bahwa status peran seorang pemain memperlihatkan hirarki pengaturan ruang ganti. Gambar 2.35 Ruang ganti untuk 1 orang dengan piano
Sumber : Ham (1987:183) Gambar 2.36 ruang ganti untuk 1 orang, bersebelahan
Sumber : Ham (1987:183) Gambar 2.37 Ruang ganti bersama
Sumber : Ham (1987:183)
41 Gambar 2.38 Ruang ganti untuk 4 orang
Sumber : Ham (1987:182) Gambar 2.39 Ukuran minimum meja rias
Sumber : Ham (1987:181)
Furnitur yang berada di ruang ganti biasanya built-in dengan kursi-kursi lepasan. Rak penyimpanan dan laci pada tiap meja rias penting untuk menyimpan barang-barang pribadi pemain. Untuk menyimpan pakaian dan kostum dibutuhkan lemari baju gantung dengan kedalaman minimum 600 mm dengan lebar beragam, tergantung dari jenis pertujukan dan kebutuhan kostum si pemain. Kursi yang paling tepat adalah yang tanpa lengan, upholstered, dapat berputar, bisa diatur sendiri. Meja riasnya sendiri memiliki ukuran yang beragam, namun kedalaman meja sebaiknya tidak lebih dari 450 mm dihitung dari permukaan cemin, sehingga aktor
42 tidak terlalu jauh dan dapat melihat dengan nyaman. Di dalam star dressing room umum dijumpai sofa atau daybed. Setiap ruang ganti harus dilengkapi dengan cermin panjang dengan lampu-lampu agar pemain dapat memerikasa kembali kostumnya sebelum memasuki area panggung. Fungsi khusus ruang ganti adalah untuk mempersiapkan make-up panggung yang harus dilakukan dengan bantuan penerangan buatan dengan kualitas yang menyerupai penerangan panggung. Ruang ganti tradisional biasanya menggunakan bohlam tungsten yang mengelilingi cermin meja rias. Bohlam tidak boleh lebih dari 40 watt agar tidak pusing. Lampu fluorescent sangat tidak dianjurkan. Tiap meja rias sebaiknya memiliki saklar lampu masing-masing, sehingga ketika selesai make-up, aktor dapat beristirahat dan mematikan lampu meja riasnya sendiri agar tidak pusing karena terlalu banyak cahaya. Soket sebaiknya diletakan diantara dua meja yang bersebelahan. Tujuannya untuk penggunaan hair drier, curler, atau bisa untuk vacuum cleaner. Bukan untuk kepentingan konsumsi makanan seperti memanaskan air atau untuk microwave. Untuk fasilitas mandi dan mencuci, selayaknya dipersiapkan 1 basin untuk tiap 4 pemain, dengan kaca dan rak handuk. Untuk shower juga memiliki perbandingan yang sama. Namun untuk alasan ekonomis, showers bisa dikelompokan dan dibuat area mandi bersama untuk dressing room dengan kapasitas yang besar. Akses antara kamar mandi dengan dressing room harus mudah dan
43 dekat. Toilet untuk pemain juga memiliki perbandingan idealnya sendiri. 1 wc untuk tiap 5 wanita, 1 wc untuk tiap 8 pria, dan 1 urinal untuk tiap 5 pria. Seorang aktor akan menghabisakan banyak waktu di dalam ruang ganti selama pertunjukan dan di sela-sela waktu pertunjukan. Selain pencahayaan buatan, pencahayaan alami dan sirkulasi udara sangat baik untuk psikologi pemain. Bukaan seperti jendela menjadi penghubung para pemain dengan dunia luar. Tirai atau blinds dapat dipasang untuk mencegah cahaya matahari masuk ketika sedang merias wajah. b) Jalur masuk ke panggung (Entrances to stage) Perlu
ditempatkan
koridor
sebagai
penghubung
antara
panggung dengan ruang ganti untuk mencegah kebocoran cahaya. Perlu diingat juga bahwa mata manusia membutuhkan waktu untuk beradaptasi dari ruangan yang terang benderang ke area panggung yang redup. Pencahayaan di area backstage perlu diatur untuk mengurangi intensitas cahaya sebelum sampai di koridor panggung. Koridor ini juga berfungsi sebagai pengunci suara yang menyaring dan meredam suara yang berasal dari ruang ganti. Para pemain juga bisa berdiri di sini sambil mendengarkan pertunjukan dan menunggu giliran tampil. Harus ada setidaknya 2 jalur masuk ke panggung, 1 jalur pada tiap sisinya. Kadang, jalur masuk terpisah diperluka untuk mencegah pemain berkerumun. Pada panggung proscenium, sebuah jalur yang menghubungkan sisi panggung yang satu dengn yang
44 lainnya menjadi hal yang penting. Sebuah koridor yang mengelilingi belakang panggung bisa berfungsi sebagai area persiapan dadakan atau untuk sirkulasi pemain. Koridor ini harus bebas dari kabel-kabel atau benda-benda lainnya yang dapat menghalangi bahkan mencelakai pemain. Area ini harus tetap redup dan minim suara. Gambar 2.40 Stage and wing
Sumber : theatredesigner.wordpress.com
Jalur masuk tambahan, seperti misalnya balkon Juliet harus dipertimbangkan teknis pemasangan dan teknis mencapainya. Jangan samapai menghambat dan membahayakan pemain, karena semua setting dilakukan dalam gelap. c) Ruang Latihan (Rehearshal rooms) Setiap produksi pertunjukan pasti membutuhkan ruang untuk melakukan latihan. Panggung seringkali digunakan untuk latihan terkahir (gladiresik) dengan menggunakn kostum, sehingga penata latar dan penata cahaya dapat ikut berlatih sebelum pertunjukan. Pada teater besar dengan jadwal pertunjukan yang padat, kadang memiliki peraturan untuk tidak menggunakan panggung
45 sebagai tempat latihan. Ruang latihan dibutuhkan untuk kondisi seperti ini. Ruang laihan merupakan tempat yang dapat digunakan seluruh peroduksi pertunjukan untuk mempersiapkan pertunjukan mereka. Ukurannya harus sesuai dengan panggung pentas. Ruangan lain yang juga digunakan untuk latihan menanyi atau pidato tidak perlu seluas panggung asli, tempat seperti itu disebut practice studio. Gambar 2.41 Ruang latihan, Signature Theatre
Sumber : www.akustiks.com
Letak ruang latihan harus berdekatan dengan dressing room, dan jika memungkan berdekatqn dengan panggung juga. Ruang latihan sebaiknya multifungsi, sehingga bisa dijadikan ruang ganti tambahan, dengan dilengkapi wash basin. Atau menjadi tempat latihan tari dengan dinding cermin besar yang juga bisa ditutup bila tidak sedang digunakan. Bisa juga dilengkapi dengan piano. 2) Entrance, hall, foyers, lobby Pintu masuk utama seharusnya tidak berhadapan langsung dengan foyer, sehingga kebisingan jalan raya tidak masuk ke dalam ruangan setiap kali pintu dibuka. Perlu ditempatkan sebuah lobby dengan pintu ganda yang dapat menutup sendiri. Pada beberapa bengunan, area ini dapat juga dijadikan ruang tunggu atau tempat
46 box office. Foyer dibuat untuk menhantarkan para penonton ke dalam ruang pertunjukan. Foyer harus clear, dapat diberi beberapa dekorasi seperti poster, lukisan, atau karya seni lainnya. Gambar 2.42 Lobby auditorium utama, Wuxi Grand Theatre
Sumber : www.bustler.net
3) Refreshment area Para penonton tiba di gedung teater setengah jam sebelum pertunjukan dimulai. Sebagian dari mereka tentu akan pergi ke bar atau restoran untuk sekedar menghabiskan waktu. Selama interval, kesempatan untuk membeli makanan dan minuman lebih besar. Kadang, kopi dan teh disediakan di foyer bagi para penonton, makanan-makanan kecil juga dijual di sana. a) Bar Refreshment area yang berada di area foyer, disediakan untuk aktivitas yang intens. Bar yang tersedia harus cukup untuk menampung pembeli. Lokasi bar harus berhubungan langsung dengan sirkulasi publik yang mengrah ke ruang pertunjukan. Waktu yang dibutuhkan untuk konsumsi harus diperhitungkan. Semua harus disajikan sepraktis mungkin. Penyajian, penyimpanan, dan servis menjadi perhatian utama bagi pihak front-of-house.
47 b) Restoran Bagi gedung pertunjukan baru, sebuah restoran mampu menjadi daya tarik tersendiri. Sebuah restoran dengan tema teatrikal tentu menjadi keunikan yang menguntungkan bagi manajemen, sedangkan bagi
pelanggan
akan sangat memudahkan dan
memberikan kenyamanan. Namun, jika ingin menempatkan sebuah restoran di dalam gedung pertunjukan haruslah direncanakan sejak awal. Karena sebuh restoran memiliki turannya sendiri dan struktur-struktur teknis yang berbeda dengan fungsi gedung pertunjukan. 4) Toilet Toilet pada area publik biasanya digunakan dalam waktu yang singkat selama interval. Namun biasanya jumlah penonton yang memasuki toilet banyak. Dan ketika pertunjukan selesai biasanya para penonton akan beramai-ramai memasuki toilet. Untuk mencegah antrian yang panjang, maka perlu diperhitungkan jumlah toilet yang sesuai dengan kapasitas penonton. Apabila foyer dan refreshement area terdapat di beberapa lantai, toilet harus disebar sehingga memudahkan penonton untuk mencapai akses menuju toilet. Toilet wanita sebaiknya memiliki powder room untuk berdandan, dilengkapi dengan cermin dan rak sebagai meja rias kecil. Kursi, asbak, tissue juga sebaiknya disediakan demi kenyamanan pengunjung. Toilet pria tidak memerlukan area berdandan, namun sebaiknya disediakan tempat juga untuk merapikan penampilan. 5) Loket tiket
48 Gambar 2.43 Box office, Traverse Theatre Edinburg
Sumber : www.traverse.co.uk
Ticket box, istilah lain untuk loket tiket, berfungsi sebagai tempat untuk membeli tiket on the spot. Lokasi yang paling tepat untuk loket tikar adalah di dekat pintu masuk utama teater, di mana setiap penonton pasti melewatinya. Keamanan area ini sangat penting karena terjadi transaksi pembelian tiket dan terdapat antrian, sehingga memungkinkan terjadi tindak kriminal. C. Fasilitas Servis 1) Gudang peralatan Gudang peralatan yang terdapat pada gedung-gedung pertunjukan di Indonesia biasanya menyimpan properti panggung seperti kursi, meja, lampu, karpet, dan perlengkapan lainnya yang umum digunakan untuk pementasan. Properti seperti ini yang disimpan dalam jangka waktu panjang dan dapat digunakn oleh siapa saja. Untuk properti khusus seperti pohon, rumah-rumahan, atau benda-benda lainnya biasanya dibawa sendiri oleh pihak produksi teater. 2) Ruang generator Ruang ini berhubungan dengan listrik dan sumber energi untuk pertunjukan. 3) Ruang pengendali
49 Ada ruang pengendali suara (sound system), ruang pengendali lighting, ruang pengendali latar. Masing-masing ruang pengendali ini harus memiliki akses langsung ke arah panggung. Biasanya berupa jendela observasi. Nicholas W. Roberts (2004:200) menyatakan perlatan elektronik sistem audio harus ditempatkan pada rak peralatan di dalam ruang kontrol. Rak tersebut berukuran 24"x24" (60cmx60cm) dengan tingi 7 ft (210cm). Sangat tidak wajar jika ruang kontrol memiliki banyak sekali rak peralatan; 1 atau 2 untuk peralatan kecil, 4 sampai 8 untuk peralatan yang besar. Sirkulasi sebesar 3 ft (90cm) harus disediakan di depan masing-masing rak untuk operasi, dan 3 ft (90cm) di belakangnya untuk instalasi, pemeliharaan, dan servis. Posisi operator harus dekat dengan ruang peralatannya dan terletak pada posisi penonton.
2.1.7 Persyaratan Umum Pada setiap bangunan yang diperuntukan sebagai fasilitas umum, tentu ada persyaratan umum yang harus dipenuhi, baik berupa standarisasi lokal maupun secara internasional. Berikut ini adalah beberapa persyaratan umum dari sebuah gedung pertunjukan disertai dengan pembahasan secara mendalam. A. Garis pandang 1) Garis pandang vertikal Garis pandang vertikal harus diperiksa melalui beberapa tempat di dalam ruang pertunjukan. Beberapa faktor yang mempengaruhi garis pandang antara panggung dengan area penonton dan sebaliknya adalah: a) Jarak maksimum yang dapat dicapai oleh penonton dari
50 tempatnya berada ke pemain. b) Kedalaman acting area dan ketinggian vertikal pentas sesuai dengan tipe pertunjukan. c) Titik terendah dan terdekat panggung yang harus dapat dilihat oleh seluruh penonton. d) Titik tertinggi dari acting area harus bisa dilihat oleh para penonton yang letaknya paling jauh dari panggung. Dinding penutup balkon, proscenium, atau border tidak boleh merusak garis pandang tersebut. Gambar 2.44 Metode penghitungan kemringan balkon
Sumber : Ham (1987:33) Gambar 2.45 Kemiringan lantai auditorium harus berkelanjutan.
Sumber : Ham (1987:34)
2) Garis pandang horizontal Garis pandang horizontal selalu menjadi hal yang kritis bagi gedung pertunjukan dengan panggung proscenium. Dengan acting area
51 yang lebar, garis pandang justru akan semakin terbatas dan berpengaruh pada lebar area tempat duduk yang dapat disediakan. Pandangan dari penonton yang duduk di barisan paling samping membatasi luasan acting area pada panggung. Adanya proscenium atau border lainnya semakin memangkas acting area. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, solusi bagi permasalah penonton yang duduk tepat di belakang penonton lain adalah letak kursi selang-seling. Namun perlu diingat bahwa kepala dari penonton di baris depannya akan mempersempit lebar panggung yang dapat dilihat. B. Akustik ruang Akustik diartikan sebagai sesuatu yang terkait dengan bunyi atau suara, sebagaimana yang diungkapkan Dwi Retno Sri Ambarwati dalam jurnalnya, bahwa akustik merupakan pengolahan tata suara pada suatu ruang untuk menghasilkan kualitas suara yang nyaman untuk dinikmati, merupakan unsur penunjang terhadap keberhasilan desain yang baik karena pengaruhnya sangat luas dan dapat menimbulkan efek-efek fisik dan emosional dalam ruang sehingga seseorang akan mampu merasakan kesan-kesan tertentu. J. Pamudji Suptandar mengungkapkan dalam perancangan akustik ruang, Faktor yang sangat penting yaitu masalah gaung suara agar bisa merata ke seluruh pemirsa dalam waktu yang bersamaan meskipun posisi duduknya saling berjauhan dari sumber suara. Persyaratan tata akustik gedung pertunjukan yang baik dikemukakan oleh Doelle (1990:54) yang menyebutkan bahwa untuk menghasilkan kualitas suara yang baik, secara garis besar gedung pertunjukan harus memenuhi syarat :
52 1) Kekerasan (Loudness) yang Cukup Kekerasan yang kurang terutama pada gedung pertunjukan ukuran besar disebabkan oleh energi yang hilang pada perambatan gelombang bunyi karena jarak tempuh bunyi terlalu panjang, dan penyerapan suara oleh penonton dan isi ruang (kursi yang empuk, karpet, tirai ). Hilangnya
energi
bunyi
dapat
dikurangi
agar
tercapai
kekerasan/loudness yang cukup. Dalam hal ini Doelle (1990:54) mengemukakan persyaratan yang perlu diperhatikan untuk mencapainya, yaitu dengan cara memperpendek jarak penonton dengan sumber bunyi, penaikan sumber bunyi, pemiringan lantai, sumber bunyi harus dikelilingi lapisan pemantul suara, luas lantai harus sesuai dengan volume gedung pertunjukan, menghindari pemantul bunyi paralel yang saling
berhadapan,
dan
penempatan
penonton
di
area
yang
menguntungkan. a. Memperpendek Jarak Penonton dengan Sumber Bunyi. Mills (1976:15) mengemukakan pendapat mengenai persyaratan jarak penonton dengan sumber bunyi untuk mendapatkan kepuasan dalam mendengar dan melihat pertunjukan, "Jarak tempat duduk penonton tidak boleh lebih dari 20 meter dari panggung agar penyaji pertunjukan dapat terlihat dan terdengar dengan jelas." Akan tetapi untuk mendapatkan kekerasan yang cukup saja (tanpa harus melihat penyaji dengan jelas), misalnya pada pementasan orkestra atau konser musik, toleransi jarak penonton dengan penyaji dapat lebih jauh hingga jarak maksimum dengan pendengar yang terjauh adalah 40 meter, sebagaimana yang
53 dikemukakan Mills (1976:8). b. Penaikan Sumber Bunyi Sumber bunyi harus dinaikkan agar sebanyak mungkin dapat dilihat oleh penonton, sehingga menjamin gelombang bunyi langsung yang bebas (gelombang yang merambat secara langsung tanpa pemantulan) ke setiap pendengar. c. Pemiringan Lantai Lantai di area penonton harus dibuat miring karena bunyi lebih mudah diserap bila merambat melewati penonton dengan sinar datang miring (grazing incidence). Aturan gradien kemiringan lantai yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 1:8 atau 30°-35° dengan pertimbangan keamanan dan keselamatan. Kemiringan lebih dari itu menjadikan lantai terlalu curam dan membahayakan. Bila sumber bunyi ditinggikan dan area tempat penonton dimiringkan 30° maka pendengar akan menerima lebih banyak bunyi langsung yang menguntungkan kekerasan suara. d. Sumber bunyi harus dikelilingi lapisan pemantul suara Untuk mencegah berkurangnya energi suara, sumber bunyi harus dikelilingi oleh permukaan-permukaan pemantul bunyi seperti gypsum board, plywood, flexyglass dan sebagainya dalam jumlah yang cukup banyak dan besar untuk memberikan energi bunyi pantul tambahan pada tiap bagian daerah penonton, terutama pada tempat-tempat duduk yang jauh .Langit-langit dan dinding samping auditorium merupakan permukaan yang tepat untuk memantulkan bunyi. Sehubungan dengan upaya penguatan bunyi tersebut Mills
54 (1976:28) berpendapat sebagai berikut,"Salah satu cara untuk memperkuat bunyi dari panggung adalah dengan menyediakan pemantul di atas bagian depan auditorium untuk memantulkan bunyi secara langsung ke tempat duduk bagian belakang, dimana bunyi langsung (direct sound) terdengar paling lemah." Permukaan-permukaan pemantul bunyi (acoustical board, plywood, gypsum board dan lain-lain) yang memadai akan memberikan energi pantul tambahan pada tiap-tiap bagian daerah penonton, terutama pada bagian yang jauh. Ukuran permukaan pemantul harus cukup besar dibandingkan dengan dengan panjang gelombang bunyi yang akan dipantulkan. Sudut-sudut permukaan pemantul harus ditetapkan dengan hukum pemantulan bunyi dan langit-langit serta permukaan dinding perlu dimanfaatkan dengan baik agar diperoleh pemantulan-pemantulan bunyi singkat yang tertunda dalam jumlah yang terbanyak. Ketepatan dalam meletakkan langit-langit pemantul dengan pemantulan bunyi yang makin banyak ke tempat duduk yang jauh, secara efektif menyumbang kekerasan yang cukup. Langit-langit dan bagian depan dinding-dinding samping auditorium merupakan permukaan yang cocok untuk digunakan sebagai pemantul bunyi. e. Kesesuaian luas lantai dengan volume ruang Terkait dengan kapasitas tempat duduk, The Association of British
Theatre
Technicians
oleh
Mills
(1976:32)
mengklasifikasikan gedung pertunjukan dari yang berukuran kecil hingga sangat besar yakni: ukuran sangat besar berkapasitas 1500
55 atau lebih tempat duduk, ukuran besar 900-1500 tempat duduk, ukuran sedang 500 – 900 tempat duduk dan ukuran kecil kurang dari 500 tempat duduk. Doelle (1990:58) menyebutkan bahwa nilai volume per tempat duduk penonton yang direkomendasikan untuk gedung pertunjukan serbaguna minimal 5.1 m³, optimal 7.1 m³ dan maksimal 8.5 m³. Dari perbandingan tersebut dapat diperoleh standar ukuran volume yang dipersyaratkan untuk gedung ukuran tertentu sehingga kelebihan ataupun kekurangan kapasitas ruang dapat dihindari . f. Menghindari pemantul bunyi paralel yang saling berhadapan Bentuk plafond paralel secara horisontal tidak dianjurkan, kana akan terjadi pemantulan kembali sebagian besar bunyi scara langsung (direct sound) ke sumber bunyi, dan sebagian lagi dipantulkan ke langit-langit dengan waktu tunda singkat yang terbatas baru kemudian disebarkan ke arah penonton sehingga bunyi langsung yang diterima penonton lebih sedikit sehingga kekerasan sangat berkurang. Disarankan bentuk permukaan pemantul bunyi yang miring dengan permukaan yang tidak beraturan, terutama daerah plafond di atas sumber bunyi, agar sebagian besar bunyi langsung (direct sound) menyebar ke arah penonton dengan waktu tunda yang panjang sehingga bunyi langsung dapat diterima sebagian besar penonton hingga ke tempat duduk terjauh. g. Penempatan penonton di area yang menguntungkan Penonton harus berada di daerah yang menguntungkan, baik
56 saat menonton maupun melihat pertunjukan, yakni berada pada area sumbu longitudinal. Area sumbu longitudinal merupakan area untuk pendengaran dan penglihatan terbaik, sehingga harus diefektifkan untuk tempat duduk. Harus dihindari perletakan lorong sirkulasi di area ini. Selain ditinjau dari kualitas mendengar dan melihat dari segi penontonnya, juga harus dilihat dari segi kenyamanan pemainnya. Agar pemain masih bisa leluasa dalam melakukan aksi panggungnya, maka rentang sudut yang masih bisa ditolerir 135° dari sumber bunyi. 2. Pemilihan Bentuk Ruang yang Tepat Doelle (1995:95) menyebutkan
bahwa bentuk
ruang juga
mempengaruhi kualitas bunyi. Ada beberapa bentuk ruang pertunjukan yang lazim digunakan , yaitu: bentuk empat persegi (rectangular shape), bentuk kipas (fan shape), bentuk tapal kuda (horse-shoe shape) dan bentuk hexagonal (hexagonal shape). Bentuk Ruang Empat Persegi (rectangular shape) merupakan bentuk tradisional yang paling umum digunakan Ruang-ruang konser dari abad ke- 19 dan awal abad ke-20 seperti The Grosser Musikvereinsaal, Vienna, Andrew’s Hall Glasgow, The Concertgebouw Amsterdam, The Stadt Casino Basel dan Symphony Hall Boston, semuanya mempunyai bentuk lantai empat persegi. Keuntungan dari bentuk ruang ini dijelaskan Mills (1976:28),"Bentuk ruang empat persegi panjang (rectangular shape) memiliki tingkat keseragaman suara yang tinggi sehingga terjadi keseimbangan antara suara awal dan suara akhir.
57 Sisi lebar yang lebih kecil dapat merespon bunyi lateral /bunyi samping, diperkuat dengan pantulan yang berulang-ulang antar dinding samping menyebabkan bertambahnya kepenuhan nada, suatu segi akustik ruang yang sangat diinginkan pada ruang pertunjukan." Kelemahan dari bentuk ini adalah pada bagian sisi panjangnya, karena menjadikan jarak antara penonton dengan panggung terlalu jauh.Solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mempersempit area panggung dan memperlebar sisi depannya. Lantai bentuk Kipas (Fan Shape) membawa penonton dekat dengan sumber bunyi karena memungkinkan adanya konstruksi balkon. Keuntungan lain dari bentuk ini menurut Mills (1986: 29) adalah bentuk kipas dapat menampung penonton dalam jumlah banyak, disamping itu juga menyediakan sudut pandang yang maksimum bagi penonton. Akan tetapi disisi lain, banyak pula kekurangan dari bentuk ini memiliki kekurangan yang membuat reputasi akustiknya kurang baik, karena bentuk dinding samping yang melebar ke belakang menyebabkan pemantulan yang terlalu cepat ke dinding belakang yang dilengkungkan sehingga menciptakan gema dan pemusatan bunyi sehingga ruang ini cenderung memiliki akustik yang tidak seragam, dengan kondisi area duduk penonton bagian tengah yang kurang baik. Ruang Bentuk Tapal Kuda (Horse-shoe shape) merupakan bentuk yang memiliki keistimewaan karakteristik yakni adanya kotak-kotak yang berhubungan (rings of boxes) yang satu di atas yang lain. Walaupun tanpa lapisan permukaan penyerap bunyi pada interiornya, kotak-kotak ini berperan secara efisien pada penyerapan bunyi dan menyediakan
58 waktu dengung yang pendek. Disamping itu bentuk dindingnya membuat jarak penonton dengan pemain menjadi lebih dekat. (Doelle:1990). Akan tetapi disisi lain terdapat kekurangan yaitu permukaan dinding bagian belakang yang cekung merupakan bentuk yang tidak dianjurkan karena akan terjadi penyerapan suara yang terlalu tinggi di bagian belakang. Bentuk Lantai Hexagonal (Hexagonal Shape) di di bawah ini dapat membawa penonton sangat dekat dengan sumber bunyi, keakraban akustik dan ketegasan, karena permukaan-permukaan yang digunakan untuk menghasilkan pemantulan-pemantulan dengan waktu tunda singkat dapat dipadukan dengan mudah ke dalam keseluruhan rancangan arsitektur. 3. Distribusi Bunyi yang Merata Energi bunyi dari sumber bunyi harus terdistribusi secara merata ke setiap bagian ruang, baik yang dekat maupun yang jauh dari sumber bunyi. Untuk mencapai keadaan tersebut menurut Doelle (1990:60) perlu diusahakan pengolahan pada elemen pembentuk ruangnya, yakni unsur langit-langit, lantai dan dinding, dengan cara membuat permukaan yang tidak teratur, penonjolan elemen bangunan, langit-langit yang ditutup, kotak-kotak yang menonjol, dekorasi pada permukaan dinding yang dipahat, bukaan jendela yang dalam dll. Pengolahan bentuk permukaan elemen pembentuk ruang terutama dibagian dinding dan langit-langit dengan susunan yang tidak teratur dan dalam jumlah dan ukuran yang cukup akan banyak memperbaiki kondisi dengar, terutama pada ruang dengan waktu dengung yang cukup panjang.
59 4. Ruang harus bebas dari cacat-cacat akustik Cacat akustik merupakan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada pengolahan elemen pembentuk ruang gedung pertunjukan yang menimbulkan permasalahan akustik. Adapun cacat akustik yang biasa terjadi pada sebuah gedung pertunjukan yang tidak di desain dengan baik menurut Doelle (1990:64) ada delapan jenis, yakni: gema/echoes, pemantulan yang berkepanjangan (long - delayed reflections), gaung, pemusatan bunyi, ruang gandeng (coupled spaces), distorsi, bayangan bunyi, dan serambi bisikan (whispering gallery). Gema (echoes) merupakan cacat akustik yang paling berat, terjadi bila bunyi yang dipantulkan oleh suatu permukaan tertunda cukup lama untuk dapat diterima dan menjadi bunyi yang berbeda dari bunyi yang merambat langsung dari sumber suara ke pendengar. Terkait dengan hal ini Mills (1990:28) berpendapat: Reflections off large plane surfaces risk being heard as echoes, that is discrete delayed repetitions of the direct sound. Jadi pemantulan suara yang mengenai permukaan datar yang lebar beresiko terdengar sebagai gema, yang ditandai dengan adanya penundaan yang berulang-ulang dari bunyi langsung. Pemantulan yang Berkepanjangan (Long - Delayed Reflections) adalah cacat akustik yang sejenis dengan gema, tetapi penundaan waktu antara penerimaan bunyi langsung dan bunyi pantul agak lebih singkat, sedangkan gaung merupakan cacat akustik yang terdiri atas gema-gema kecil yang berturutan dengan cepat. Peristiwa ini dapat diamati bila terjadi ledakan singkat seperti tepukan tangan atau tembakan yang dilakukan di antara dua permukaan dinding atau pemantul bunyi yang
60 sejajar dan rata.Waktu dengung (reverberation time) berperan penting dalam menciptakan kualitas musik dan kemampuan untuk memahami suara percakapan dalam ruang. Ketika permukaan ruang memiliki daya pantul yang tinggi, bunyi akan terus memantul atau menggema secara berlebihan sehingga mengakibatkan bunyi tidak dapat didengar dan dimengerti dengan jelas . Pemusatan Bunyi atau disebut juga dengan hot spots atau titik panas, merupakan cacat akustik yang disebabkan oleh pemantulan bunyi pada permukaan-permukaan cekung. Intensitas bunyi di titik panas sangat tinggi dan merugikan daerah dengar karena menyebabkan distribusi energi bunyi tidak dapat merata . Ruang Gandeng (Coupled Spaces) merupakan cacat akustik yang terjadi bila suatu ruang pertunjukan berhubungan langsung dengan ruang lain seperti ruang depan dan ruang tangga, maka kedua ruang tersebut membentuk ruang gandeng. Selama rongga udara ruang yang bergandengan tersebut terbuka maka masuknya bunyi dengung dari ruang lain tersebut akan terasa meski dengung di dalam ruang pertunjukan telah diatasi dengan baik. Gejala ini akan mengganggu penonton yang duduk dekat pintu keluar masuk yang terbuka. Distorsi merupakan cacat akustik yang disebabkan oleh perubahan kualitas bunyi yang tidak dikehendaki. Hal ini terjadi akibat ketidakseimbangan atau penyerapan bunyi yang terlalu besar oleh permukaan-permukaan dinding. Bayangan Bunyi merupakan cacat akustik yang terjadi apabila bunyi terhalang untuk sampai ke penonton. Gejala ini dapat diamati pada
61 tempat duduk di bawah balkon yang menonjol terlalu jauh dengan kedalaman lebih dari dua kali tingginya. Serambi Bisikan (Whispering Gallery) merupakan cacat akustik yang disebabkan oleh adanya frekuensi bunyi tinggi yang mempunyai kecenderungan untuk merangkak sepanjang permukaan-permukaan cekung yang besar (kubah setengah bola). Suatu bunyi yang sangat lembut seperti bisikan yang diucapkan di bawah kubah tersebut akan terdengar pada sisi yang lain. Meskipun gejala ini kadang menyenangkan dan tidak merusak, akan tetapi tetap saja merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan bagi akustik yang baik. 5. Penggunaan Bahan Penyerap Bunyi Pemilihan bahan penyerap bunyi yang tepat untuk melapisi elemen pembentuk ruang gedung pertunjukan sangat dipersyaratkan untuk menghasilkan kualitas suara yang memuaskan. Doelle (1990:33) menjelaskan mengenai bahan-bahan penyerap bunyi yang digunakan dalam perancangan akustik yang dipakai sebagai pengendali bunyi dalam ruang-ruang bising dan dapat dipasang pada dinding ruang atau di gantung sebagai penyerap ruang yakni yang berjenis bahan berpori dan panel penyerap (panel absorber) serta karpet. C. Tatanan tempat duduk Gambar 2.46 Metode menghitung posisi pandangan , titik P berada di bawah
Sumber : Ham (1987:30)
62 Gambar 2. 47 Sudut maksimum kemiringan penglihatan.
Sumber : Roberts (2004:202)
Tata letak duduk penonton menjadi hal yang penting untuk dipahami. Seperti yang tertulis pada pembahasan sebelumnya, kenyamanan saat menonton pertunjukan dipengaruhi batas jarak pandang dan kemampuan mendengarkan dari tiap individu penonton. Tiap baris dibuat bertingkat sehingga tiap penonton secara teori tidak terhalang oleh orang di depannya. Kemiringan lantai minimal 30°. Namun, masalah terhalang kepala orang yang duduk di depan masih sering terjadi, maka pola duduk selang-seling menjadi solusinya. Gambar 2.48 Posisi duduk selang-seling
Sumber : Ham (1987:35)
Dengan pola duduk seperti ini, seorang penonton tidak lagi terhalang oleh kepala orang yang duduk di depannya. Kepala orang yang duduk 2 baris di depannya yang mungkin akan menghalangi pandangan lurus ke depannya. Namun orang tersebut duduk 2 baris di bawahnya. Baris di depannya hanya akan sedikit mempersempit lebar pandangan sisi kiri dan
63 kanan. Melengkungkan barisan kursi juga dapat menambah fokus pandangan ke arah pusat panggung. Area balkon yang juga menampung penonton pada area atas harus didesain sedemikian rupa sehingga mencegah digunakannya tembok balkon sebagai tempat meletakan barang-barang seperti tas yang mungkin jatuh dan menimpa orang lain di bawahnya. Bila terlalu tipis, akan membut penonton merasa ngeri, tebal idealnya sekitar 250 mm. Railing penjaga perlu dipasang di setiap ujung dinding balkon. Gambar 2.49 Kursi Balkon
Sumber : Ham (1987:56)
Jarak sirkulasi pada area penonton menjadi faktor penting berikutnya. Berdasarkan buku Theatre Planning ABTT, Ham(1987:54) menyebutkan bahwa: - A : jarak back-to-back tiap baris untuk kursi dengan sandaran adalah 760 mm (minimum). -B
: jarak back-to-back tiap baris untuk kursi tanpa sandaran
adalah 610 mm (minimum). - C : Lebar kursi dengan sandaran tangan adalah 510 mm (minimum). - D : Lebar kursi tanpa sandaran tangan adalah 460 mm (minimum).
64 - E : Jarak antar baris minimum adalah 305mm. - F : Jarak maksimum untuk kursi dari lorong adalah 3060mm. - G : Lebar minimum lorong adalah 1070 mm. Gambar 2.50 Auditorium Seating
Sumber : Ham (1987:55)
D. Instalasi suara dan komunikasi Instalasi suara dan komunikasi diatur di dalam sebuah sound control room. Leaknya bisa bersebelahan dengan lighting control room, atau bahkan di dalam satu ruangan. Sound control room harus memiliki jendela observasi yang langsung menghadap panggung dan orchestra pit jika ada, tanpa ada halangan. Ada saat ketika operator (sound mixer) harus memonitor suara secara langsung sama seperti pendengaran penonton, bukan suara dari
65 loudspeaker. Ruangan harus memadai dan kedap suara, serta akustik di dalamnya sebisa mungkin serupa dengan yang berada di auditorium. Segalam macam kebel sound system akan berakhir di ruang kontrol ini. 1) Microphone Mikrofon dari cardioid, harus diletakan dengan cara digantung sepanjang sisi luar panggung. Jumlahnya tergantung lebar panggung. Mikrofon ini harus dilengkapi dengan shock absorbent fixings sehingga getaran dari panggung itu sendiri tidak mempengaruhi mikrofon. Alternative lain untuk mikrofon gantung adalah dengan menggunakan long-range gun microphones yang menghadap langsung ke ke panggung
dari
posisi
front-of-house.
Sebuah
omni-directional
microphone adalah jenis mikrofon yang paling berguna, namun membutuhkan penyangga dan kabel yang cukup panjng untuk memudahkan pergerakan di atas panggung. Apapun jenisnya, mikrofon yang digunakan harus sekecil mungkin. Pemilihan
jenisnya
tergantung
dari
penggunaan
dan
posisi
ditempatkannya. Kondisi akustik ruangan juga berhubungan dengan pemilihan mikrofon. 2) Loudspeaker Loudspeaker untuk membantu kegiatan pidato atau produksi musik harus diletakkan sehingga suara timbul dari arah panggung. Pada teater proscenium, loudspeaker biasanya berada di depan proscenium. Hal ini dikarenakan line source speakers memiliki desain yang compact dan kualitas yang baik. Speaker jenis ini aslinya digunakan untuk membantu kegiatan pidato. Namun untuk fleksibilitas, modifikasi dilakukan untuk
66 kegiatan musik juga. Gambar 2. 51 Posisi Speaker pada ceiling.
Sumber : Cole (1949:173)
3) Cables Semua kabel permanen harus terpasang tegang (tidak menjuntai) dan terukur beratnya. Spesifikasi dan penempatan kabel mikrofon juga penting karena gangguan dari sumber luar mungkin terjadi. Kabel layar harus berada pada jarak minimum 150 mm dari semua kabel ac utama, harus bersih dari saklar roda, transformer, dan dimmer. Kabel loudspeaker biasanya lebih berat dibandingkan dengan kabel mikrofon. Konduktornya terisolasi dan dibungkus dengan pvc atau karet tebal. E. Tata cahaya panggung Dalam bukunya Cole (1949:155) menyatakan tata cahaya panggung memiliki 4 fungsi: 1) Visibility - membuat para penonton dapat melihat dengan jelas, dan untuk sutradara agar dapat menatur perhatian dengan variasi intensitas dan warna cahaya. 2) Naturalism - pencahayaan panggung harus dapat mengimitasi pencahayaan alami maupun buatan pada tempat di mana adegan
67 tersebut dilakukan, sehingga dapat menciptakan ilusi yang mudah dipercaya. Fungsi ini termasuk di dalamnya cahaya matahari dan bulan, desa dan kota, inteior dan eksterior, pada tempat yang nyata maupun imajinasi. 3) Design - pada oranisasi teater, tata cahaya panggun gmerupakan bagian dari desain latar. Sang desainer bartanggungjawab untuk mengatur pencahayaan pertunjukan. 4) Mood - banyak desainer dan sutradara bergantung pada pencahayaan
sebagai fasilitas penting untuk menciptakan suasana yang diinginkan.
Seorang sutradara pada produksi teater, atau seorang koreografer pada pertunjukan tari memiliki peran penting dalam keseluruhan pertunjukan. Mereka harus memikirkan efek-efek yang dibangun, baik visual maupun aural, termasuk di dalamnya pencahayan panggung. Karena keterbatasn daya, maka sutradara membutuhkan seorang penata cahaya (lighting designer) untuk membantunya. Seorang penata cahaya harus bekerja sama dengan sutradara dan penata latar sehingga dapat memahami gaya visual yang diinginkan. Semua skema cahaya panggung harus didasari oleh penerangan general. Dalam pementasan drama, pencahayaan menjadi sumber dari pusat perhatian mata penonton. Sebaik apapun posisi duduk penonton dalan hubunganny dengan panggung, komunikasi akan hilang apabila sang aktor tidak diterangi dengan baik. Gambar 2.52 2 cara menyinari pemain
68
Sumber : Ham (1987:113)
Pencahayaan pada acting area dapat diperoleh dari lampu dengan bias cahaya yang lebar. Sekali pencahayaan ditampilkan, perhatian penonton dapat menjadi sebuah tuntutan untuk meraih efek dramatis atau dekoratif (motivating lighting). Hasil seperti ini dapat diciptakan menggunakan permainan warna, arah, dan intensitas. Gambar 2.53 Teori peletakan lampu panggung
Sumber : Ham (1987:114)
Ada beberapa posisi dasar pencahayaan panggung dengan hasil tampilan aktor dan latar yang jelas. Namun jika dimungkinkan, mengabungkan beberapa lampu dengan sudut berbeda akan menghasilkan komposisi yang lebih efektif. Beberapa lampu besar dari arah penonton harus disusun sedemikian rupa sehinnga menyorot wajah aktor dengan kemiringan 45°. Bila sudutnya lebih curam akan menimbulkan bayangan gelap di bawah alis mata, dan apabila sudutnya lebih datar akan
69 menimbulkan bayangan yang merusak pada latar atau pada aktor lain. Spotlight jarang diarahkan lurus ke arah aktor, biasanya diarahkan menyilang.
Lebar
panggung
dan
ketinggian
lampu
akan
sangat
mempengaruhi sudut kemiringan. Semua pengaturan lighting dikerjakan di dalam lighting control room yang juag memiliki jendela observasi yang memungkinkan bagi operator untuk melihat langsung ke arah panggung, sayap panggung, dan dari lantaipanggung hingga border. Ruangan sebesar 3 m × 2.4 m seharusnya cukup, namun harus dipertimbangkan lagi peralatan seperti apa yang disediakan. Akses normal ke ruang kontrol ini seharusnya dari luar auditorium dan terpisah dari area publik, namun harus memiliki pintu langsung ke arah auditorium yang diperlukan untuk kepentingan latihan. Pintu-pintu yang ada harus kedap cahaya sehingga tidak ada cahaya yang bocor ke dalam auditorium. Meskipun peralatan cahaya panggung dapat berubah dari segi ukuran dan daya listriknya, prinsip -prinsip penting yang mendasari pengelompokan peralatan tersebut tetap standar. Ada 4 tipe dasar: 1) Spotlight - untuk penerangan di depan, penekanan khusus pada acting area. 2) Strip light - penerangan pada border, footlight, cyclorama strip. 3) Floodlights - motivating lights, latar 4) Projector - effects, scenery, shadows. Berikut ini adalah beberap ajenis lampu yang digunakan untuk tata cahaya panggung. Tabel 2. 1 Jenis-jenis Lampu Panggung
70
No. 1
Gambar
Nama Spotlight, lensa fresnel
Sumber : www.archiexpo.com
2
Projector parobolic reflector
Sumber : www.ivasart.md
3
Spotlight Ellipsoidal reflector
Sumber : www.theaterlighting.net
4
Conventional PAR strip light Sumber : www.theaterlighting.net
5
LED strip-footlight
Sumber : www.theaterlighting.net
6
Conventional MR-16 striplight Sumber : www.theaterlighting.net
7
Floodlight
Sumber : www.wickes.co.uk
71 8
Chauvet LED Techno Strobe
Sumber : www.wickes.co.uk
9
Follow spot
Sumber : www.theaterlighting.net
Gambar 2. 54 Recomended Basic Layout of Lighting Instrument
Sumber : Cole (1949:156)
F. Pengaturan suhu ruangan dan ventilasi Ventilasi harus dirancang untuk menghasilkan aliran udara yang baik denga suhu tang tepat. Orang-orang akan lebih nyaman jika hembusan udara
72 bertiup ke arah wajah daripada tertiup udara dai arah belakang kepala. Udara harus dapat menjangkau tiap sudut ruangan tanpa menyisakan stagnant zone dan suhu udara harus tetap di setiap area ruangan. Sistem penghawaan juga harus beroperasi dengan tingkat kebisingan yang sangat rendah. Jika dinding atau atap dari auditorium di-expose tanpa dilapisi oleh bagian bangunan yang lain, maka beban pada sistem penghawaan akan lebih besar. Atap yang buruk, misalnya, akan menyerap panas matahari dan meradiasikannya kembali pada penonton yang berada tepat di bawahnya. Apabila dinding auditorium juga di-expose dengan sedikit sekali perlindungan, akan semakin membuat penonton menjadi tidak nyaman. Pasokan udara ke dalam auditorium sebaiknya tidak kurang dari 28m3/jam tiap orang. Apabila aliran udara terlalu besar maka ada kemungkinan tiri-tirai dan latar akan tertiup juga. Ada dua tipe sistem ventilasi untuk ruang auditorium, yakni upward system of ventilation dan downward system of ventilation. Upward system of ventilation hanya bisa digunakan jika udara yang masuk memiliki suhu yang sama dengan udara yang sudah ada di dalam ruangan. Bila selisih temperatur udara besar, akan terjadi angin dingin. Downward system of ventilation adalah cara terbaik untuk menghadirkan udara sejuk ke dalam auditorium tanpa menyebabkan angin. Inlet dapat diletakan di langit-langit atau di dinding samping dan belakang pada posisi yang tinggi. G. Keamanan Arsitek dan pihak manajemen gedung harus paham dan mengerti mengenai prinsip-prinsip keamanan gedung, dan bekerja sama untuk
73 mewujudkannya. Selain permasalahan teknis konstruksi bangunan, perlu juga dikakukan konsultasi antara pihak arsitek, manajemen gedung, dan pemerintah daerah tempat gedung tersebut didirikan untuk membahas mengenai standar keamanan gedung yang berlaku di lokasi tersebut. Terlepas dari semua masalah teknis yang sudah direncakana dan sudah dibangun, Ham (1987:42) mengungkapkan bahwa jaminan keamanan publik yang terbaik adalah efisiensi dan integritas manajemen pengelola sehari-hari, dan ini dapat mendukung jika yang bersangkutan memiliki keyakian dan pemahaman tentang perngaturan keamanan. 1) Bahaya dan perlidungan Bagi panggung pementasan kuno, bahaya terbesar berasal dari kebakaran di atas panggung. Api akan sangat sulit dipadamkan bila kanvas dan kayu menjadi material utama panggung. Penggunaan kanvas tahan api membuat kanvas lebih sulit terbakar. Namun ketika sudah terbakar, asap yang ditimbulkan menjadi pekat. Kebakaran yang terjadi pada panggung akan sangat merusak keseluruhan bangunan. Strategi untuk menangani kebakaran di area panggung adalah dengan mebatasi api dengan keempat sisi dinding panggung dan membuat cerobong asap beserta dengan penyedot asapnya, sehingga menjauhkan api dan asap dari penonton. 2) Dinding proscenium Dinding proscenium dibuat untuk memberikan batasan antara panggung dengan area penonton. Dinding proscenium dilengkapi dengan safety curtain yang akan menutup area panggug dan mencegah keluarnya api dan asap.
74 3) Lentera panggung Ventilasi udara otomatis atau stage lantern (lentera panggung) merupakan perlindungan terhadap api yang paling penting yang harus dimiliki panggung pertunjukan. 4) Ventilasi auditorium Ventilasi pada ruang auditorium didesain untuk mengaatur aliran udara menuju panggung setiap saat. Harus ada sistem pada lobby untuk mencegah hantamn udara menuju jalan keluar dari arah panggung. Bila kebakaran terjadi di atas panggung, maka stage lantern akan terbuak secara manual, secara otomatis, atau dengan cara terakhir dengan memecahkan kaca tipis khusus yang berada di bawah panggun guntuk mengeluarkan panas. Safety curtain diturunkan dan drencher dinyalakan untuk mencegahnya membengkok akibat panas. Sprinkler otomatis di aats panggung akan membantu mengurangi besar kobaran api sebisa mungkin. Pada kondisi seperti ini, para pemain dan crew hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk menyelamatkan diri, dan hal semacam ini sudah harus direncanakan sejak awal, termasuk untk bagian selain panggung seperti stage basement, the flys, dan the grid. Letak ruangan lainnya seperti ruang ganti pribadi, gudang properti, kantor, dll, harus terpisah dari panggung. Petugas pengelola gedung harus dapat memandu para pengguna gedung untuk dapat menyelamatkan diri dan tiba di tempat perlindungan yang aman, karena merekalah yng seharusnya memahami seluruh seluk beluk gedung dan jalur-jalur evakuasi yang ada.
75 5) Peralatan pemadaman api Peralatan pemadaman api dan peletakannya di dalam gedung harus dikonsultasikan kepada ahlinya, sesuai dengan regulasi yang ada. Peralatan yang berada di dalam auditorium dan area publik dipasang secara
permanen
dan
memiliki
gulungan
selang.
Panggunng
menggunakan sistem sprinkler yang juga dilengkapi dengan hydrant, gulungan selang dan ember. Panggung dan dressing room harus memiliki lapisan dari wool tebal atau asbestos. Area belakang panggung harus memiliki pemadam jenis air yang bisa dibawa oleh tangan, yang juga diletakan di koridor. Berbagai macam jenis pemadam api diciptakan untuk tujuan yang berbeda-beda. Pemadam dari karbon dioksida digunakan untuk memadamkan api yang bersumber dari peralaran listrik. Pemadam berupa foam untuk kebakaran yang bersumber dari minyak. 6) Pertanggungjawaban pengelola Jika harus melakukan proses evakuasi, mental dan pelatihan staff sangat
penting.
Mereka
harus
memiliki
keyakinan
bahwa
langkah-langkah keamanan yang tepat harus siap dilaksanakan kapanpun. Kesadaran staff bahwa beberapa peralatan tertentu tidak pernah dipelihara dan ada beberapa bagian yang tidak bekerja semsetinya, sekecil apapun, akan mengakibatkan bencana. Permasalahan yang dihadapi pengelola harus benar-benar diperhatikan. Survei secara berkala dan inspeksi harus dilakuakn untuk meninjau apakah sarana dan prasarana gedung dipelihara dan dalam kondisi aman. H. Jalan Keluar
76 Dari sekian banyak pengunjung yangdatang ke sebuah gedung pertunjukan, pasti ada sebagian yang baru pertam akali datang. Ada juga yang belum merasa familiar dengan gedung. Bila terjadikondisi darurat yang mengharuskan tindak evakuasi dalam waktu singkat, maka akan timbul kepanikan yang malah akan membuat suasana semakin kacau. Oleh alasan inilah makan jalur evakuasi perlu dibuat dan disosialisasikan kepada seluruh pengguna gedung. Paling sedikit terdapat 2 jalur evakuasi pada tiap lantainya. Tiap-tiap jalur harus berdiri sendiri dan berjauhan satu sama lain. Dua jalur yang berdekatan dan berkaitan sau sama lain bukanlah jalur alternatif. Jalur keluar dari auditorium harus didistribusikan dengan aman dan harus terhubung dengan sirkulasi normal pada area publik. Gambar 2.55 Scissors escape stairs
Sumber : Ham (1987:53)
Pada kondisi darurat, seseorang pasti akan menjauhi sumber bahaya. Bila terjadi kebakaran pada area panggung misalnya, semua orang akan berlarian menuju baris paling belakang, meskipun safety curtain sudah ditutup. Sangat tidak bijak bila hanya menyediakan pintu keluar di dekat
77 proscenium. Oleh karena itu pintu keluar pada area belakang auditorium akan sangat berguna. Lagipula berjalan menaiki undakan area duduk akan lebih aman dibandingkn dengan menuruninya. Sedangkan apabila kebakaran terjadi di bagin belakang auditorium, di mana keadaan ini jarang sekali terjadi, para penonton dapat keluar melalui pintu di dekat panggung. Lebar pintu keluar berhubungan dengan fungsinya. Ham (1987:51) menuliskan,"Rata-rata pergerakan orang di dalam gedung tater adalah 45 orang tiap menit tiap pintu dengan lebar 520-530 mm. Pada bangunan baru, lebar pintu keluar sebaiknya tidak kurang dari 960-1070 mm." Jumlah pintu keluar dan lebarnya harus sesuai dengan asusmsi bahwa 1 orang penonton harus dapat meninggalkan auditorium dalam waktu 2,5 menit. Seluruh pintu keluar harus bisa dnegan mudah dibuka dan mudah dikenali. Jalur evakuasi juga perlu dilengkapi dengan penerangan darurat. Semua pintu darurat harus dibuka dengan arah keluar. Hanya pintu masuk utama gedung yang perlu didbuat dapat dibuka dari kedua arahnya. Pintu putar dan pintu geser sangat tidak dianjurkn karena akan susah dibuka dan malh membuat susah saat terjadi kondisi darurat. Jalur evakuasi sebisa mungkin terpisah dari jalur lainnya dan menuju langsung ke tempat yang aman. Harus dibangun menggunakan material tahan api dan aman untuk digunakan dalam keadaan panik. Bentuk-bentuk yang tidak wajar serta permukaan yang tidak rata harus dihindari.
2.1.8 Persyaratan Fasilitas Perizinan dan peraturan bangunan teater pada awalnya dimaksudkan sebagai pedoman untuk menjaga ketertiban umum. Pemberian izin seperti ini terkait
78 dengan persyaratan keamanan gedung dan fungsinya. Berdasarkan alasan inilah mengapa prosedur untuk mendapatkan persetujian otoritas lokal untuk tempat hiburan umum berbeda dari persyaratan untuk gedung lainnya. Pejabat lokal yang bertugas untuk mengatur perundangan, harus memiliki rasa kepedulian terhadap keberlangsungan seni pertunjukan. Regulasi hanya dapat dibuat untuk menangani jenis-jenis bangunan yang dikenal, bukan untuk mengantisipasi ide-ide baru atau bentuk kostruksi. Di Indonesia, undang-undang tentang bangunan gedung diatur dalam Undang-Undang RI. Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Di dalam undang-undang ini dijabarkan secara rinci mengenai fungsi, persyaratan penyelenggaraan, peran masyarakat, dan pembinaan. Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya; mewujudkan tertib penyelenggaraan banguna gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; serta mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Berikut ini adalah peraturan perundangan yang terkait dengan pelestarian Gedung Kesenian Jakarta: Pasal 38 (1) Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. (2) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
79 Daerah
dan/atau
Pemerintah
dengan
memperhatikan
ketentuan
perundang-undangan. (3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya. (4) Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahi ketentuan fungsi dan/atau karakter
cagar
budaya,
harus
dikembalikan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. (5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal ini mengamanatkan bahwa bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan, guna mendukung upaya perlindungan dan pelestarian bangunan dan lingkungan cagar budaya tersebut, perlu disusun peraturan yang diharapkan dapat memberikan panduan baik bagi masyarakat pada umumnya, para perancang bangunan dan lingkungan serta asosiasi di bidang bangunan dan lingkungan, dan khususnya bagi Pemerintah Daerah. Setiap upaya pelestarian (konservasi) di Indonesia harus selaras dengan maksud dan tujuan yang tersurat dan tersirat dalam aturan perundangan tersebut. Pengelolaan Gedung Kesenian Jakarta mengacu pada Peraturan Gubernur
80 Provinsi DKI Jakarta No. 83 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Gedung Kesenian. Fungsi dan tugas pokok Gedung Keseina Jakarta mengacu pada Keputusan Kepada Dinas Kebudayaan dan Permuseuman provinsi DKI Jakarta No.210/2006 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata kerja Pengelola Gedung Kesenian Jakarta.
2.2. Tinjauan Khusus Untuk mendapatkan refernsi mengenai gedung-gedung pertunjukan budaya, perlu dilakukan kegiatan survey terhadap gedung-gedung pertunjukan di Jakarta,
81 seperti Gedung Kesenian Jakarta, Teater komunitas Salihara, dan graha Bhakti Budaya. Selain mengobservasi gedung-gedung pertunjukan, perlu juga dilakukan pengumpulan data mengenai tempat-tempat pertunjukan pariwisata dan budaya yang sudah ada, seperti Bali Theatre di Bali Safari and Marine Park dan juga Siam Niramit di Thailand. 2.2.1 Gedung Kesenian Jakarta Gedung Kesenian Jakarta berlokasi di Jalan Gedung Kesenian no.1, Jakarta Pusat. Gedung yang dibangun pada masa kolonial Belanda ini masih digunakan hingga hari ini dan menjadi tempat bagi para seniman dari seluruh Nusantara, maupun internasional, mempertunjukkan hasil kreasi seninya, seperti drama, teater, tari, film, sastra, dan lain sebagainya. Gambar 2.56.Tampak Serong Depan GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
Gambar 2.57 Tampak Samping GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
A. Sejarah 1) Masa Inggris Ide munculnya gedung ini berasal dari Gubernur Jendral Belanda, Daendels. Kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814 yang merasa prihatin ketika pertama kali menduduki Batavia pada tahun 1811 karena menyaksikan kota ini tidak memiliki gedung kesenian. Pada tanggal 27 Oktober 1814 gedung pertunjukan yang tidak mengesankan dibuka dan diresmikan. Dinding gedung terbuat dari
82 gedek dan bagian atasnya ditutup dengan alang-alang, berdiri di atas lahan kosong dekat daerah Pasar Baru. Walau bentuk teater tersebut buruk, namun mencapai tujuannya untuk menghibur tentara Inggris yang haus hiburan. Dengan bangga gedung tersebut mereka beri nama "Gedung Teater militer di Weltevreden" tapi orang Belanda mengejeknya dengan sebutan "Bamboo Theater". Gedung inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya Gedung Kesenian Jakarta. 2) Masa Belanda "Bamboo Theater" pun akhirnya berpindah tuan. Beruntung penguasa Belanda tidak menghancurkan gedung pertunjukan tersebut. Bangunan yang semula bermaterial bambu, atas dukungan langsung dari Pemerintah Kolonial Belanda, akhirnya diganti menjadi gedung kesenian yang ideal dan permanen yang dibuka secara resmi pada tanggal 7 Desember 1821 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan ini sering dikenal dengan nama Gedung Kesenian Pasar Baru, Gedung Komidi (Comedelgebow) dan Schouwburg (gedung pertunjukan, dalam bahasa Belanda). Gedung ini bergaya Yunani baru (Neo Grekse Stijl), merupakan perkembangan dari gaya Rococo yang populer pada masa itu. Shcouwburg pada masa itu memang menjadi pusat perhatian seni pertunjukan, sehingga tak mengherankan apabila Pangeran Hendrik dari Belanda ketika berkunjung ke Batavia juga pernah mendapat suguhan sandiwara di gedung ini. Dan pada tahun 1833 didatangkan rombongan
83 sandiwara dari Perancis, setelah itu secara bergiliran ditampilkan rombongan kesenian setempat ditambah rombongan yang didatangkan dari Perancis dan Belanda. 3) Masa Jepang Masa yang paling menyedihkan dalam perjalanan gedung kesenian ini adalah ketika masa pendudukan Jepang. Tidak hanya karena tempat ini telah "dipaksa" harus menyesuaikan diri dengan kepentingan mereka sebagai penguasa Asia, gedung ini untuk beberapa lama dipakai sebagi markas tentara sehingga banyak hiasan dan perlengkapan gedung yang rusak atau hilang. Baru setelah dibentuknya Badan Urusan Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada bulan April 1943, bangunan ini digunakan kembali sebagai tempat pertunjukan dengan nama Siritsu Gekizyoo. Menjelang kemerdekaan Indonesia, Gedung Kesenian juga dijadikan ajang persiapan para seniman muda progresif untuk menghadapi tugas-tugas untuk menyiapkan kemerdekaan. Ketika bala tentara Sekutu mendarat di Jakarta setelah Perang Dunia Kedua usai, mereka membentuk perkumpulan yang mereka beri nama "Seniman Merdeka". Kelompok ini beranggotakan Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Soerjo Soemanto, D. Djajakususma, Soedjono S., Basuki Resobowo, Rosihan Anwar, Sarifin, Suhaimi, dan satu-satunya gadis yakni Malidar Malik. Mereka berkeliing menggunakan sebuah truk yang berhasil mereka bawa dari Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Shidosho). Truk tersebut digunakan untuk mengadakan pertunjukan sandiwara keliling
84 seta memberi dorongan dan semangat rakyat agar serempak menentang penjajah. Sedangkan gedung kesenian mereka gunakan sebagai pangkalan tetap selama perjuangan mereka. 4) Masa Kemerdekaan Menurut catatan sejarah, Gedung Kesenian Jakarta yang waktu itu masih bernama Gedung Kesenian pernah digunakan untuk sidang pertama KNIP, yakni pada tanggal 29 Agustus 1945 atau tept 12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa penting ini dicatat karena merupakan peristiwa politik pertama yang menggunakan gedung kesenian itu. KNIP sendiri waktu itu bisa disetarakan dengan parlemen atau DPR. Peristiwa ini semakin penting karena dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Pada tahun 1951 gedung pertunjukan ini sempat pula " melenceng" dari fungsi sebenarnya, yakni dijadikan ruang kuliah para mahasiswa Fakultas Ekonomi dan hukum Universitas Indonesia, pada pagi hari. Tetapi dimalam hari tetap dijadikan tempat pentas oleh beberapa kelompok teater dan drama. Pada tahun 1968, gedung ini kembali berganti peran, yakni sebagai bioskop "Diana" di bawah pimpinan Prof. Siswabessy yang kemudian menjadi Menteri Kesehatan tahun 1968, Disinilah masyarakat bisa menonton film-film India. Tahun 1969 dibentuk Yayasan Gedung Kesenian di bawah Almarhum Brigjen Pringadi yang bertujuan menjaga agar gedung tetap terawat. Setahun kemudian, yayasan tersebut berubah menjadi bioskop "City Theater " yang khusus memutar film mandarin. Gedung menjadi tak terawat dan kehilangan fungsinya. Sementara
85 bangunan lainnya ada yang digunakan sebagai tempat bilar dan kantor pajak (dibagian belakang). Bahkan ada juga bangunan lama di lingukngan ini yang dijadikan tempat tinggal. Setelah mengalami satu periode yang terlantar dan keluhan para seniman akan butuhnya tempat pertunjukan lain yang lebih memenuhi syarat, selain Taman Ismail Marzuki (TIM), tiba-tiba terbersit suatu ide dari Gubernur R. Suprapto untuk merenovasi gedung yang bersejarah ini dan dikembalikan kepada fungsinya lewat SK Gubernur DKI Jakarta NO. 4248/14/1984. Arsitektur dari Gedung Kesenian tidak berubah hanya di dalam gedung direnovasi secara total dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. Pada tanggal 5 September 1987 Gedung Kesenian Jakarta diresmikan oleh Gubernur R . Suprapto yang menjabat kembali sebagai Gubernur DKI jakarta pada periode itu dan Gedung Kesenian Jakarta kembali sebagai teater yang mempergelarkan kesenian, serupa masa lampau. Penyelenggaraan pertunjukan kesenian di Gedung Kesenian Jakarta dilaksanakan oleh grup-grup yang terpilih berdasarkan inovasi dan kreatifitas yang mewakili kesenian lokal, nasional maupun internasional. Hal ini terus dilakukan agar Gedung Kesenian Jakarta tetap menjadi tempat pertunjukan yang representative, eksklusif dan bertaraf internasional disamping menjadi oase budaya bagi masyarakat Jakarta, persinggahan dan dialog budaya para seniman dan seniwati dalam dan luar negeri. Dalam perjalanannya hingga saat ini , Gedung Kesenian Jakarta telat menerima beberapa penghargaan, yakni
86 1. Tahun 2004 Penghargaan Adikaryottama Wisata 2. Tahun 2001 Penghargaan Adikaryottama Wisata 3. Tahun 1997 Penghargaan Gedung Kesenian Jakarta Termasuk 60 Bangunan Terpilih dalam tahun 1996 yang Mendukung Pelestarian Tapak Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Ibukota Negara Republik Indonesia 4. Tahun 1997 Penghargaan Adikaryottama Wisata 5. Tahun 1996 Penghargaan Adikaryottama Wisata 6. Tahun 1995 Penghargaan Adikaryottama Wisata B. Visi dan Misi Viai Gedung Kesenian Jakarta adalah menjadi gedung seni petunjukan kebanggaan Jakarta khususnya, dan Indonesia serta di tingkat internasional. Untuk mendukung visi tersebut di atas Gedung Kesenian Jakarta mempunyai misi: 1) Menyajikan pertunjukan kesenian yang memiliki kualitas yang baik 2) Menjadi sumber inspirasi bagi proses perkembangan budaya bangsa, khususnya dlaam bidang seni pertunjukan, serta mengkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni budaya 3) Menjadi wadah dialog budaya para seniman/seniwati lokal, nasional, dan mancanegara melalui karya-karya inovatif yang diciptakan 4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam mengimbangi persaingan atas maraknya gedung-gedung pertunjukan dan galeri-galeri yang ada serta berperan dalam bidang kesenian melalui pelayanan secara baik dan profesional.
87 C. Fungsi dan Tugas Pokok Mengacu pada Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta no. 210/2006 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Pengelola Gedung Kesenian Jakarta, fungsi dan tugas pokok Gedung Kesenian Jakarta adalah: 1. Turut berperan aktif dalam mengembangkan serta meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian, khususnya seni pertunjukan dalam nuansa etnik, klasik, tradisi, sampai modern di bidang seni musik, tari, teater, balet, seni kolaborasi dalam skala nasional khususnya dan Internasional umumnya. 2. Mendukung Pemda Provinsi DKI Jakarta dalam menampilkan program -program seni budaya berkualitas sebagai sarana pendukung bidang pariwisita, ekonomi sekaligus menunjang perkembangan seni budaya khususnya seni pertunjukan. 3. Meningkatkan saling pengertian internasional melalui kegiatan pertukaran budaya. 4. Menjalin berbagai hubungan
kemitraan demi pengembangan
kesenian Indonesia. 5. Melaksanakan misi Gedung Kesenian Jakarta sebagai etalase budaya dan tempat yang bergengsi untuk menampilkan kesenian berbobot. 6. Menyediakan fasilitas yang memadai untuk pementasan karya-karya seni upaya memberi motivasi kepada seniman dalam berkarya. 7. Menyelenggarakan pelayanan yang optimal terhadap mitra kerja Gedung Kesenian Jakarta termasuk grup pengisi acara dan penonton kesenian.
88 8. Menyediakan tempat untuk menjalin hubungan antar bangsa melalui pementasan kesenian dan saling bertukar apresiasi sebagai sarana memupuk perkembangan kesenian, persahabatan sekaligus sebagai rangsangan peningkatan kreatifitas. D. Struktur Organisasi Pengelolaan Gedung Kesenian Jakarta mengacu pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.83 Tahun 2006 tenteng Pedoman Pengelolaan Gedung Kesenian. Keputusan Kepala Dinas Permuseuman dan Kebudayaan provinsi DKI Jakarta No.83 tahun 2006 tentang Stuktur Organisasi Gedung Kesenian Jakarta. Diagram 2.1 Struktur Organisasi GKJ
Sumber : GKJ
Pada tahun 2010, Gedung Kesenian Jakarta memiliki 5 orang PNS dan 23 orang Non-PNS. Saat ini, jumlah pegawai meningkat hingga hampir 40 orang dengan jumlah PNS 6 orang di bagian Administrasi, Keuangan, dan Sarana Prasarana. Sisanya pegawai Non-PNS.
89 Pengelola GKJ dipimpin oleh seorang direktur dan 4 orang pembantu direktur yang mengepalai divisinya masing-masing. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tugas yang dimiliki para pegawai GKJ : 1) Divisi Artistik - berhubungan dengan kegiatan pemantasan dan pihak penampil yang akan melakukan pertunjukan a) Subdivisi Program mengurus perogram-program yang akan diselenggarakan di GKJ, dan berhubungn langsung dengan pihak penampil yang akan melakukan pertunjukan. b) Subdivisi Pergelaran mengurus jalannya pertunjukan terdiri dari seorang stage manager, seorang lighting operator, seorang sound operator, dan 5 orang crew panggung. 2) Divisi Pemasaran - berhubungan dengan pihak-pihak di luar GKJ, selain grup penampil. a) Subdivisi Promosi menangani kegiatan promosi program -program GKJ. b) Subdivisi Humas menjadi pihak yang berhubungan dengan pihak luar seperti media, kedutaan besar, pusat kebudayaan asing, dan sponsor. 3) Divisi Administrasi - mengurus bagian administrasi GKJ. a) Subdivisi Umum mengurus kepentingan karyawan. b) Subdivisi Keuangan mengurus keuangan manajemen GKJ. 4) Divisi Sarana Prasarana - mengurus berbagai keperluan gedung a) Subdivisi Perlengkapan - menyediakan semua kebutuhan operasional gedung dan kebutuhan pertunjukan. b) Subdivisi Gedung - melkukan pemeliharaan terhadap gedung.
90 E. Kegiatan Dalam penyelenggaraan kegiatan program, Gedung Kesenian Jakarta mendapat bantuan/subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Periwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Perolehan dana tersebut digunakan untuk bantuan biaya operasional grup kesenian. Di luar bantuan/subsidi tersebut Gedung KEsenian Jakarta memperoleh dana dari kerjasama dengan grup kesenian berupa kegiatan berikut ini. 1) Penjualan Tiket Pola kerjasama pergelaran dilakukan dengan maksud dapat menghasilkan pendapatan yang baik dari setiap penyelenggaraan kegiatan pertunjukan, dengan menggunakan pola kerjasama baik untuk kedua belah pihak baik Gedung Kesenian Jakarta maupun grup penampil yang tentunya dengan menampulkan pergelaran seni pertunjukan yang memiliki kualitas 2) Penggunaan Gedung Tidak sedikit pergelaran yang ditampilkan di Gedung Kesenian Jakarta tanpa bantuan biaya operasional ataupun kerjasama bagi hasil pernjualan tiket dengan Badan Pengelola Gedung Kesenian Jakarta. Penampil dapat tampil di Gedung Kesenian Jakarta melalui seleksi materi pertunjukan dan membayar kompensasi biaya penggunaan fasilitas gedung pertunjukan.
Hasil Kompensasi biaya penggunaan fasilitas ini dialokasikan untuk gaji pengawal , perawatan dan pengadaan peralatan ringan, perlengkapan gedung dan kantor, pengadaan bahan promosi dan pengeluaran lain yang
91 dianggap perlu. F. Ruang Lingkup Kegiatan Di bawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta menjalin hubungan baik dengan badan / instansi pemerintah lainnya diantaranya : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesian, Dinas Penerangan Jalan Umum (PJU) Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat, Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta dan lainnya. Dalam menunjang programnya Gedung Kesenian
Jakarta
menjalin
hubungan baik dengan: a. Kedutaan Besar b. Pusat Kebudayaan Asing c. Para Penampil diantaranya : 1) Para Seniman 2) Komunitas seni 3) Institusi Pendidikan , diantaranya : Sekolah Balet, Sekolah,Musik,Lembaga Kesenian,Sanggar Teater, Wayang Orang , Sekolah dan Universitas di Jakarta, Rumah Produksi d. Mitra Sponsor e. Media Partner diantaranya : 1) Media Cetak (surat kabar,majalah,tabloid) 2) Media elektronik (televisi, radio) 3) Media Online (website, situs) G. Fasilitas dan Ruang Khusus
92 1) Entrance dan Lobby Entarnce menjadi tempat masuknya penonton. GKJ memiliki dua pintu masuk utama pada sisi depan gedung, dan masing-masing satu pintu masuk di setiap sisi gedung. Pada bagian depan juga terdapat ticket box. Sedangkan Lobby berfungsi sebagai area transisi antara auditorium dan teras gedung. Gambar. 2.58 Teras depan GKJ
Gambar. 2.59 Gong di Lobby GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
Sumber : dokumentasi penulis
Gambar. 2.60 Ticket Box GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
2) Foyer Foyer merupakan tempat bersantai bagi pengunjung. Di Gedung Kesenian Jakarta, foyer terletak di sisi kiri dan kanan auditorium, disediakan tempat duduk dan juga terdapat counter penjualan makanan dan minuman, serta 1 set gamelan jawa. Gambar. 2.61.Foyer kanan GKJ
93
Sumber : dokumentasi penulis
3) Auditorium Auditorium GKJ memiliki kapasitas tempat duduk 472 kursi; 395 di bagian bawah dan 77 kursi di balkon. Gambar. 2.62 Auditorium GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
4) Panggung Ukuran panggung 10.5×14.8×4.5 meter dengan kedalaman panggung 1.17meter. Lantai panggung terbuat dari kayu. Gambar. 2.63 Tampak Depan Panggung GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
Gambar 2.64 Peralatan Scenery Panggung
Sumber : dokumentasi penulis
Gambar 2.65 Border Panggung
94
Sumber : dokumentasi penulis
4) Belakang Panggung GKJ menyebut area di belakang panggungnya sebagai green room, berfungsi ssebagai tempat istirahat pemain dan ruang tunggu. Ruangan ini dipenuhi poster-poster pertunjukan dan dilengkapi dengan TV. Gambar 2.66 Green Room GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
5) Wing Panggung GKJ memilii 2 buah wing, satu di kiri dan satu lagi di kanan. Wing menjadi jalur masuknya pemain ke acting area. Wing juga terhubung langsung dengan green room dan ruang rias. Gambar 2.67 Wing Kiri Panggung GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
6) Ruang Rias Gambar 2.68 Ruang Rias Atas di GKJ 1
Gambar 2.69 Ruang Rias Atas di GKJ 2
95
Sumber : dokumentasi penulis
Sumber : dokumentasi penulis
GKJ memiliki 2 buah ruang rias yang masing-masing dapat menampung kurang lebih 80 orang pemain. DI dalam ruang rias ini disediakan meja-meja rias dan gantungan-gantungan baju. Di dalamnya juga terdapat kamar mandi. 7) Gudang Properti Gudang properti disediakan untuk menyimpan dan mempersiapkan berbagai properti yang digunakan untuk pertunjukan. Gambar 2.70 Gudang Properti GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
8) Kantor Pengelola Kantor digunakan oleh para karyawan GKJ untuk melakukan berbagai aktivitas kerjanya. Awalnya kantor pengelola berada di dalam gedung pertunjukan. Namun saat kepemimpinan direktur yg kedua, kantor dipindahkan ke bangunan rumah yang berda di bagian belakang area GKJ. Gambar. 2.71 Kantor Pengelola GKJ
96
Sumber : dokumentasi penulis
H. Fasilitas Lainnya 1) Fasilitas Tata Cahaya di GKJ Tabel 2.2 Fasilitas Tata Cahaya GKJ
BARANG
JUMLAH
Plano Convex Spot (1000 watt / 220 Volt)
15
Fresnel Spot (1000 watt / 220 Volt)
15
PAR 64 (1000 watt / 220 Volt)
10
Fixed Beam Frofil 19°
6
Fixed Beam Frofil 26°
10
Fixed Beam Frofil 36°
10
CYC 1 Kw
12
Follow Spot 750 SR (1000 watt / 220 Volt)
2
Lighting Control Console (180 Pf, 20 Page, 20SM)
1
Dimmer Cabinet (130x15A, 4x25A)
1
Moving Head
1
Smoke Gun
1
Hazer
1
Strobelight 1,5 Kw
1 Sumber : GKJ
2) Fasilitas Tata Suara di GKJ
97 Tabel 2.3 Fasilitas Tata Suara GKJ
BARANG
JUMLAH
Mixer Type Allen & Heath / GL2800-48 Chanel
1
Digital Processor For Speaker TOA Type DP-0206
2
Multi Channel Power Amplifier 2x250watt TOA DA-250 F
2
Multi Channel Power Amplifier 2x250watt TOA DA-550 F
3
CD Recorder TASCAM CD-RW 900SL
1
CD Player DENON
2
Tape Recorder TASCAM 202 mkV
1
Headphone AKG / K240 Studio
1
Speaker System W/Box FOH
4
Power Conditioner Furman PS-Pro E II
1
Stage Monitor Speaker System TOA SR-M3L
2
Stage Monitor Speaker System TOA SR-M3R
2
FGM Speaker (Delay) TOA Z-240 G
4
2 Way Monitor Speaker System (R.Kontrol) TOA Z-240G
2
2 Way Monitor Speaker System (R.Lighting) TOA Z-240G
1
2 Way Monitor Speaker System (Foyerl) TOA Z-240G
2
MIC Dynamic
16
Hanging MIC
6
Wireless Clip-on
6
Stand Mic Tinggi
15
Stand Mic Pendek
15
Wireless Handhall
4 Sumber : GKJ
98 I. Elemen Interior 1) Lantai Untuk ruang auditorium lantai dibuat menanjak dan ditutupi semua oleh karpet berwarna merah yang berfungsi sebagai penyerap suara. Untuk area lainnya menggunakan keramik. Gambar. 2.72 Ramp menuju toilet
Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar 2.73 Lorong pada barisan kursi
Sumber : Dokumentasi Penulis
2) Dinding Ruang auditorium dibuat dapat memantulkan suara dan menyerap suara secara terarah dan teratur menggunakan dinding bata dan diselingi dengan dinding berbahan penyerap suara dan juga kayu. Terdapat ornamen ukiran dengan gaya rococo yang dicat warna emas. Sedangkan untuk ruangan lainnya menggunakan dinding bata yang dicat putih. Gambar 2.74 Detail dinding auditorium
Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar. 2.75 Greenroom
Sumber : Dokumentasi Penulis
3) Ceiling Pada
ruang
auditorium,
ceiling
berbentuk
kubah
dengan
99 penambahan material pendukung akustik di atas kursi bagian belakang. Kubah dicat putih sama seperti dinding dengan ornamen ukiran classic. Untuk ruang foyer, ketinggian ceiling cukup tinggi sekitar 5 meter, dan ceiling juga dihiasi dengan profil-profil khas bangunan classic. Untuk ruangn lainnya ceiling dibuat rata dan dicat putih. Gambar. 2.76 Detail ceiling auditorium
Gambar 2.77 Detail ornamen ukiran
Sumber : Dokumentasi Penulis
Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar. 2.78 Detail ceiling backstage
Sumber : Dokumentasi Penulis
4) Pencahayaan Penerangan yang digunakan berbeda untuk setiap pengelompokan ruang. Pada ruang auditorium pencahayaan berasal dari downlight yang dipasang pada sisi samping area duduk, sumber cahaya lain bisa berasal dari lampu panggung. Ruangan harus segelap mungkin ketika pertunjukan berlangsung. Area panggung memiliki sistem pencahayaan sendiri yang diatur oleh operator dari control room. Untuk foyer, pencahayaan saat siang hari mengandalkan cahaya matahari langsung yang masuk melalui jendela-jendela besar di sisi
100 bangunan, sedangkan pada malam hari lampu-lampu antik seperti chandelier dan lampu dinding yang sudah ada sejak awal gedung ini berdiri menjadi sumber cahaya yang cantik. Sedangkan untuk area di belakang
panggung,
pencahayaan
menggunakan
lampu
TL
(fluorescent). Gambar 2.79 Pencahayaan pada foyer
Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar 2.80.Pencahayaan Panggung
Sumber : Dokumentasi Penulis
5) Penghawaan Sistem penghawaan yang digunakan adalah AC central yang disalurkan ke setiap ruangan di dalam gedung. Namun, ceilingnya yang tinggi uga dapat sangat membantu menciptakan hawa yang sejuk ketika AC sedang tidak digunakan. 6) Akustik Akustik pada auditorium dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mendukung kegiatan pertunjukan. Lantai dibuat menanjak dan dilapisi dengan karpet tebal, dinding dan ceiling juga diberi lapisan akustik. Pintu-pintu juga didesain untuk mencegah kebocoran suara. Sedangkan untuk area lainnya, seperti area di belakang panggung, sistem akustik tidak dirancang maksimal akibat keterbatasan dana renovasi. Akibanya orang yang berada di green room dan wing harus menjaga ketenangan
101 dengan berbisik saat biacara atau tidak bicara sama sekali. Gambar 2.81Auditorium GKJ
Sumber : Dokumentasi Penulis
7) Keamanan Untuk menjaga sistem keamanan, sejak tahun 2011 Gedung Kesenian Jakarta telah dilengkapi dengan CCTV pada setiap sudut ruangan. Dan untuk menangani masalah darurat, setiap sisi auditorium dilengkapi beberapa pintu yang akan dibuka untuk jalur evakuasi. J. Permasalahan Terdapat berabagai permasalahan yang ditemukan pada Gedung Kesenian Jakarta, antar lain: 1) Kurangnya kepedulian pengunjung terhadap peraturan dasar, seperti tidak membawa makanan dan minuman ke dalam auditorium, dan pengunjung yang tidak berpakaian formal. 2) Beberapa bagian gedung belum mendapatkan pemeliharaan yang baik, seperti kerusakan pada dinding penutup balkon yang belum diperbaiki. 3) Akses antara Control room untuk lighting dan sound system terpisah cukup jauh dan peralatan yang ada sudah tua sekali, pihak operator mendambakan ruangan yang lebih nyaman dan berdekatan.
102 4) Ruang ganti yang disediakan sudah cukup besar namun peralatan yang ada di dalamnya kurang terjaga dengan baik. 5) Kapasitas kursi yang tidak banyak menyebabkan penonton pertunjukan menjadi terbatas.
2.2.2 Komunitas Salihara Gambar 2.82 Teater Salihara
Sumber : anekafestival.blogspot.com
Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008, dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia. Berlokasi di atas sebidang tanah seluas sekitar 3.800 m2 di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kompleks Komunitas Salihara terdiri atas tiga unit bangunan utama: Teater Salihara, Galeri Salihara, dan ruang perkantoran. Saat ini, Teater blackbox Salihara adalah satu-satunya yang ada di Indonesia. Pada saat ini kompleks Komunitas Salihara sedang diperluas dengan tambahan fasilitas untuk studio latihan, wisma seni dan amfiteater. Komunitas Salihara dibentuk oleh sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis, dan peminat seni. Sejak berdiri, Komunitas Salihara telah menampilkan berbagai macam acara seni dan pemikiran; sebagian datang dari mancanegara, dan berkelas dunia pula. Pernah didapuk sebagai “The Best Art Space” (2010) oleh majalah Time Out Jakartadan sebagai satu dari “10 Tempat Terunik di Jakarta” (2010) versi Metro
103 TV, arsitektur Komunitas Salihara juga dinobatkan sebagai “Karya arsitektur yang menerapkan aspek ramah lingkungan” oleh Green Design Award 2009. Saat ini Komunitas Salihara banyak dikunjungi oleh masyarakat yang ingin menikmati program-program kesenian dan pemikiran, klasik dan mutakhir, dan bermutu tinggi. Di samping itu, Komunitas Salihara menjadi tempat berkumpul bagi berbagai kelompok minat—misalnya sastrawan, pembuat film, koreografer, arsitek muda, peminat filsafat, penerjemah, pencinta buku, dan lain-lain. Komunitas Salihara dapat juga disebut pusat kebudayaan alternatif: ia tidak dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun kedutaan asing. A. Sejarah Komunitas Salihara berdiri pada 2008, tetapi sejarahnya telah dimulai sejak 1994.Sekitar setahun setelah majalah Tempo diberedel pemerintah Orde Baru pada 1994, sebagian pengasuh majalah tersebut, bersama sejumlah wartawan, sastrawan, intelektual dan seniman mendirikan Komunitas Utan Kayu. Berbentuk sebuah kantong budaya di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur, Komunitas Utan Kayu terdiri atas Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Galeri Lontar, Teater Utan Kayu (TUK), Kantor Berita Radio 68H, dan Jaringan Islam Liberal. Tiga di antaranya yang bergerak di lapangan kesenian—Galeri Lontar, Teater Utan Kayu, dan Jurnal Kebudayaan Kalam (jurnal ini terbit sejak awal 1994, dengan dukungan penuh majalah Tempo)—secara terus-menerus berupaya menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual, baik melalui pertunjukan kesenian, pameran seni rupa, ceramah dan diskusi tentang beragam topik, maupun lewat tulisan yang diterbitkan Kalam. Galeri Lontar memamerkan karya para seniman dalam dan luar negeri
104 berupa gambar, lukisan, karya grafis, foto, patung, atau instalasi—terutama berdasarkan
kualitas
dan
semangat
inovatifnya.
Galeri
ini
telah
memperkenalkan para seniman yang kini menempati posisi terdepan dalam khazanah seni rupa Indonesia. Teater Utan Kayu secara berkala menyelenggarakan pementasan lakon, musik, tari, pemutaran film, serta ceramah dan diskusi tentang kebudayaan, seni, dan filsafat. Teater ini memberi ruang seluas-luasnya bagi seniman dari khazanah tradisi maupun seniman mutakhir yang ingin bereksperimen dan menawarkan kebaruan. Komunitas Utan Kayu pun sudah biasa mengelola kegiatan berskala internasional, di antaranya Jakarta International Puppetry Festival (2006), Slingshort Film Festival (2006), dan International Literary Biennale yang berlangsung tiap dua tahun sejak 2001. Setelah berusia sekitar satu dekade, sayap kesenian Komunitas Utan Kayu bertekad meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dicapai. Demi menampung perluasan aktivitas itu, para pendiri dan pengelolanya lantas mengambil prakarsa membangun kompleks Komunitas Salihara. Dari segi rancang bangun, kompleks Komunitas Salihara dapat dipandang sebagai sebuah percobaan arsitektur yang unik. Ia karya tiga arsitek dengan kecenderungan masing-masing—gedung teater dirancang oleh Adi Purnomo, gedung galeri oleh Marco Kusumawijaya, dan gedung perkantoran oleh Isandra Matin Ahmad. Ketiganya kemudian duduk bersama untuk memadukan rancangan ke dalam visi yang sama: membangun rumah baru bagi kesenian dan pemikiran yang ramah lingkungan dan hemat energi. Gambar 2.83 Tampak Luar Kompleks Komunitas Salihara
105
Sumber : rezaprimawanhudrita.wordpress.com
Berdiri sejak 2008, Komunitas Salihara tumbuh bersama khalayak yang makin cerdas, terbuka, dan demokratis. Para pengelolanya percaya bahwa kepiawaian di bidang seni adalah investasi yang tak ternilai bagi pertumbuhan masyarakat Indonesia sejak hari ini. Khalayak adalah bagian sangat penting dalam menyuburkan kepiawaian tersebut. B. Visi dan Misi Visi Komunitas Salihara adalah memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual. Kami perlu menegaskan visi ini, karena di Indonesia saat ini, yang sudah menjalankan demokrasi elektoral dalam dua dasawarsa terakhir, kebebasan berpikir dan berekspresi masih sering terancam dari atas (dari aparat Negara) maupun dari samping (dari sektor masyarakat sendiri, khususnya sejumlah kelompok yang mengatasnamakan agama dan suku). C. Fungsi dan Tugas Pokok Dalam
pemrograman,
Komunitas
Salihara
memprioritaskan
kesenian-kesenian baru. Kebaruan ini adalah, bagi kami, bukan hanya
106 menandakan masyarakat pendukung kesenian yang dinamis, tapi juga sikap kreatif terhadap berbagai warisan kesenian Indonesia dan dunia. Komunitas Salihara mengajak penonton untuk mendukung kebaruan ini. Namun diperlukan proses yang agak panjang untuk mencapai situasi ideal ini. Karena itu, Komunitas Salihara masih menampilkan kesenian yang bersifat “biasa”, yang kami anggap bisa menjadi jembatan bagi penonton umum untuk menuju kesenian baru yang kami maksud. Dengan demikian, kami berharap, pada tahun-tahun mendatang, Komunitas Salihara dapat mementaskan lebih banyak lagi kesenian baru dan memperluas lingkaran penonton yang berwawasan baru pula. Dalam menjalankan program-programnya, Komunitas Salihara dibantu oleh berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga swasta maupun perorangan. Di samping itu Komunitas Salihara selalu berusaha bekerjasama dengan sejumlah lembaga asing—misalnya pusat-pusat kebudayaan asing yang ada di Jakarta—untuk mendatangkan sejumlah kelompok ke Indonesia. Mitra Penyelenggara adalah lembaga-lembaga non-pemerintah dan non-profit yang bersama Komunitas Salihara menyelenggarakan program seni dan pemikiran di Komunitas Salihara. Lembaga yang pernah menjadi mitra penyelenggara Komunitas Salihara adalah: • Goethe Institut Jakarta • Centre Culturel Francais Jakarta • The Japan Foundation • Erasmus Huis • Istituto Italiano • Austrian Embassy
107 • Winternatchten • Australian Government Institute • North-Territory Writers’ Centre • Switzerland Embassy • Writer’s Journey • Opera Jelajah Anak Indonesia
D. Kegiatan Dalam satu tahun, Komunitas Salihara menampilkan sekitar 100 mata acara pentas tari dan teater, konser musik, pembacaan dan diskusi sastra, pameran seni rupa, pemutaran film, dan bengkel kerja tari, sastra, dan musik. Di samping itu, Komunitas Salihara juga menyelenggarakan diskusi dan ceramah, untuk menggiatkan perbincangan publik yang saat ini belum banyak ruangnya; baik tentang isu yang sedang hangat, maupun pemikiran tokoh dari bidang humaniora tertentu. Relatif dirancang secara jangka panjang, seluruh program disusun oleh Dewan Kurator yang beranggotakan sastrawan dan seniman terkemuka Indonesia. Beberapa program khusus sebagai berikut: 1. FESTIVAL SALIHARA 2. BIENAL SASTRA SALIHARA 3. FORUM SENIMAN PEREMPUAN SALIHARA 4. FORUM TEATER SALIHARA 5. SALIHARA JAZZ BUZZ 6. DISKUSI BULANAN SALIHARA 7. SERI KULIAH UMUM SALIHARA E. Fasilitas dan Ruang Khusus
108 Sebagai wadah untuk kreasi seni dengan berbagai kegiatan yang dilakukan, komunitas salihara mempunyai fasilitas-fasilitas yang dapat mengakomodasi semua kegiatan seni yang akan dilakukan. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain: 1. Teater Salihara Teater Salihara dapat menampung hingga 252 penonton. Inilah gedung teater black box pertama di Indonesia. Berdinding kedap suara, teater ini dilengkapi ruang rias berikut segala peralatan tata panggung, tata suara, dan tata cahaya modern. Gambar 2.84 Kursi Penonton Teater Salihara 1
Sumber: http://www.flickr.com/
Gambar 2.85 Dinding Teater Salihara
Sumber: http://www.flickr.com/
Teater salihara tidak mempunyai penggung untuk pementasan. Hal ini ditujukan agar para pemain dapat disatukan kembali dengan penonton. Selain itu ada beberapa hal yang unik pada black box atau teater salihara ini. Diawali dengan kursi penonton yang dapat dibongkar pasang sesuai dengan kebutuhan. Setting untuk kursi penonton ini dapat diubah menjadi berbagai layout seperti menjadi dua sisi yang berhadapan, dimajukan atau dimundurkan. Setting yang dilakukan untuk perubahan layout kursi penonton ini dilakukan selama kurang lebih 16 jam. 2. Galeri Salihara
109 Berbeda dengan bangunan galeri pada umumnya, Galeri Salihara berbentuk silinder dengan lingkar sedikit oval. Interior dengan dinding melingkar tanpa sudut memberi ruang pandang lebih luas. Sebuah ruang serbaguna dan kedai dengan pemandangan terbuka terletak di bawah bangunan ini. Lantai nya menggunakan barcement dengan dinding finishing cat berwarna putih. Gambar 2.86 Galeri Salihara 1
Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar 2.87 Galeri Salihara 2
Sumber : Dokumentasi Penulis
3. Serambi Salihara Gambar 2.88 Serambi Salihara
Sumber : tommytoxcum.blogspot.com
Ruangan ini, yang terletak tepat di bawah Galeri Salihara, dapat digunakan untuk acara diskusi, kuliah umum, atau pemutaran film, dengan daya tampung sekitar 70 orang. Serambi Salihara juga berfungsi sebagai ruang tunggu yang menyediakan bahan bacaan (buku, majalah, dan katalog pameran) yang hanya bisa dibaca di tempat.
110 Serambi salihara ini menggunakan barcement sebagai lantai nya yang di-coating glossy. Finishing untuk dinding adalah cat berwarna putih. Finishing yang untuk ceiling juga cat berwarna putih. 4. Teater Atap Inilah ruang terbuka yang merupakan atap bangunan Teater Salihara. Atap ini juga berfungsi sebagai penyerap air hujan dengan lantai tanah berumput yang membuat ruangan Teater Salihara di bawahnya tetap sejuk. Sebagai ruang teater tebuka, Teater Atap telah dicoba untuk pergelaran wayang kulit, konser musik, pembacaan sastra, pemutaran film, dan pembukaan pameran seni rupa. Teater Atap jugadilengkapi dengan fasilitas bar mini yang menyediakan makanan dan minuman bagi penonton yang sedang menikmati pertunjukan di sana. Gambar 2.89 Teater Atap 1
Gambar 2.90 Teater Atap 2
Sumber : http://www.flickr.com/
Sumber : Dokumentasi Penulis
5. Kedai Kopitiam Oey-Salihara Sambil menunggu pertunjukan dimulai atau untuk menikmati suasana Komunitas Salihara, pengunjung dapat mencoba menu spesial dari Kedai Kopi Tiam Oey yang terkenal. Kedai Kopitiam Oey-Salihara pun menyediakan fasilitas internet nirkabel (WiFi) gratis.
111 Gambar 2.91 Kedai Kopitiam Oey-Salihara
Sumber : Dokumentasi Penulis
6. Gerai Salihara Gerai
mungil
ini
mulai
dikelola
sejak
April
2011
menggabungkan berbagai cindera mata (merchandise) karya seniman yang pernah berpameran di Galeri, tampil di teater atau bekerja sama dengan Salihara; mendekatkan pengujung dengan para seniman atau kelompok seni yang karya-karyanya diminati. Gambar 2.92 Gerai Salihara
Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar 2.93 Gerai Salihara 2
Sumber : toysrevil.blogspot.com
7. Perkantoran Kompleks Komunitas Salihara juga memiliki area perkantoran di dalamnya. Area tersebut juga didesain selaras dengan konsep arsitekturnya. Gambar 2.94 Kantor di Kompleks Salihara
112
Sumber : buildingindonesia.biz
F. Elemen Interior 1) Lantai Sebagian besar lantai bangunan di Kompleks Komunitas Salihara ini menggunakan material barcement. Finishing ini terkesan sederhana dan menyatu dengan denga konsep eco building. Gambar 2.95 Lantai Teater Salihara
Sumber : www.flickr.com
2) Dinding Gambar 2.96 Susunan Bata pada Dinding Teater Salihara
Sumber: buildingindonesia.biz
Kompleks Komunitas Salihara menggunakan dinding bata
113 sebagai material dinding, terutama pada teater blackbox. Batu bata dususun sdengan kemiringan 5° untuk sistem akustiknya. 3) Ceiling Pada ceiling teater tidak menggunakan trap-trap atau susunan ceiling sebagai suatu pertimbangan untuk akustiknya. Hal ini cukup menarik untuk dipertimbangkan. Pada teater prosenium ketika penonton hampir dipastikan selalu duduk ditempat yang sama, plafon menjadi bagian yang dipertimbangkan untuk pemantulan dan sebagainya. Untuk lantai menggunakan barcement karena bangunan ini konsep utamanya adalah eco buiding yang ramah lingkungan. 4) Pencahayaan Menurut perancang bangunan ini, lighting yang fleksibel dan sedikit rongga jalur ternyata dianggap cukup. Untuk ruang teater, pencahayaan mengandalkan pencahayaan buatan, sedangkan untuk ruangan-ruangan lainnya pencahayaan alami menjadi andalan di siang hari. 5) Penghawaan Gambar 2.97 Lobby Salihara
Sumber : karbojournal.org
Dengan bukaan ruang yang besar, udara bisa keluar masuk dengan bebas ke dalam ruangan-ruangan di kompleks ini. Desain
114 semi-outdoor juga sangat membantu penggunaan AC. Beberapa ruangan tetap tertutup dan mengandalkan AC untuk alasan privasi, seperti kantor dan juga ruang teater yang harus menampung banyak sekali penonton. 6) Akustik Keunikan teater ini adalah sistem akustik yang terdapat pada desainnya tidak menggunakan material peredam suara seperti pada teater kebanyakan. Sistem akustik dengan mengandalkan pantulan suara pada dinding bata dengan susunan tertentu seperti ini dinilai cukup oleh para arsiteknya. 7) Keamanan Kompleks Komunitas Salihara dilengkapi dengan CCTV untuk membantu menjaga keamanan. Penjaga kemanan juga disediakan untuk meningkatkan keamanan di area tersebut. Untuk bencana alam dan kebakaran, ruang-ruang di dalam komplek ini telah dilengkapi juga dengan alat pemadam kebakaran dan jalur-jalur evakuasi. G. Permasalahan Terdapat berbagai permasalahan yang ditemukan pada Kompleks Komunitas Salihara, antar lain: 1) Kapasitas kursi yang tidak banyak menyebabkan penonton pertunjukan menjadi terbatas. 2) Lahan parkir yang terbatas menjadi salah satu permasalahan ketika diadakan pertunjukan yang relatif besar dan diminati pengunjung. Saat ini Kompleks Komunitas Salihara hanya dapat menampung 30-60
115 mobil. 3) Pengunjungnya sebagian besar adalah anggota komunitas dan para pecinta seni sastra dan seni pertunjukan. Belum banyak masyarakat awam yang datang dan tertarik bergabung dengan Komunitas Salihara.
2.2.3 Graha Bhakti Budaya Gambar 2.98 Tampak Depan Graha Bhakti Budaya
Sumber : Dokumentasi Penulis
Graha Bhakti Budaya berlokasi di Jalan Cikini Raya no. 37 Jakarta Pusat. Letaknya di dalam kompleks Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, menjadikannya salah satu gedung pertunjukan yang ramai digunakan oleh masyarakat ibukota. Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri juga dapat ditemukan di tempat ini. Selain Graha Bhakti Budaya, Pusat kesenian Jakarta (PKJ) juga memiliki beberapa gedung atau area lain yang juga dapat digunakan sebagai tempat pertunjukan atau pameran seni, seperti Teater Halaman, Teater Kecil, Galeri Cipta II, dan Galeri Cipta III.
116 A. Sejarah TIM berlokasi di Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Diresmikan pembukaannya oleh Gubernur Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta Jenderal Marinir Ali Sadikin pada tanggal 10 November 1968. Ismail Marzuki (1914 - 1957) adalah seorang komponis pejuang kelahiran Betawi (Jakarta) yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu diantaranya merupakan lagu - lagu perjuangan bangsa yang hingga kini masih sering diperdengarkan. Lagu tersebut antara lain Halo Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai, dan Sepasang Mata Bola. Atas jasanya itu, komponis Betawi ini diabadikan namanya untuk penamaan Pusat Kesenian Jakarta yang terkenal dengan sebutan Taman Ismail Marzuki (TIM). TIM dibangun di atas areal tanah seluas 9 hektar. Dulu tempat ini dikenal sebagai ruang rekreasi umum Taman Raden Saleh (TRS). Pengunjung TRS selain dapat menikmati kesejukan paru - paru kota dan menonton sejumlah hewan, juga bisa menonton balap anjing yang kini berubah menjadi kantor dan ruang kuliah mahasiswa fakultas perfilman dan televisi IKJ. Ada juga lapangan bermain sepatu roda berlantai semen. Fasilitas lainnya adalah 2 gedung bioskop, Garden Hall dan Podium melengkapi suasana hiburan malam bagi warga yang suka nonton film. Namun, sejak 37 tahun yang lalu. Suasana seperti itu sudah tidak dapat ditemukan khususnya setelah Bang Ali mengubah tempat ini menjadi Pusat Kesenian Jakarta TIM. Kejelian Bang Ali dalam mengatur tatanan kota Jakarta menjadi bagian penting dalam sejarah pembangunan kota metropolitan sebagai ibukota negara. Termasuk salah satunya adalah upaya menyatykan para seniman
117 Jakarta dalam satu wadah dengan didirikannya TIM. Mengingat para seniman waktu itu terpecah belah karena kekuatan politik. RUANG EKSPRESI TIM sejak berdiri tahun 1968 lalu hingga kini telah menjadi ruang ekspresi seniman yang menyajikan karya - karya inovatif. Pertunjukan eksperimen, suatu dunia atau karya seni yang sarat dengan dunia ide. Membuka pintu seluas - luasnya bagi ruang berpikir dan berkreasi menuju seni yang berkualitas. Untuk beberapa waktu lamanya harapan muncul suatu karya dalam dunia penciptaan, menjadi kenyataan. Panggung TIM menjadi marak dengan karya - karya eksperimen yang sarat ide. Ini ditandai dengan sejumlah kreator seni yang sempat membuka peta baru di atas pentas. Diantaranya Rendra, pimpinan Bengkel Teater Yogya dari kampung Ketanggungan Wetan Yogyakarta. Awalnya karya Rendra, berupa drama Be Pop atau drama mini kata SSSTTT ditanyangkan di layar kaca TVRI. Menyusul pentas drama klasik Yunani Oedipus Rex, Menunggu Godot, Hamlet dan karya pentas mini kata lainnya. Koreografer kondang, Sardono W. Kusumo, melalui pentas tari Samgita Pancasona menyuguhkan konsep gerak yang memiliki skala tak terbatas. Balerina terkemuka, Farida Oetojo mewarnai TIM dengan karya balletnya yang berani. Slamet Abdul Sjukur, yang lama bermukin di Perancis menggedor publik dengan konser piano sumbat yang membuat penonton terpana. Sutradara teater Arifin C. Noer, Teguh Karya, Suryana Anirun (Bandung) , mempesona publik. Koreografer senior, Bagong Kusudiarjo, Huriah Adam, pelukis Affandi, Trisno Sumardjo, Hendra Gunawan, Agus Djaya, Oesman Effendi, S. Sudjojono, Rusli, Rustamadji, Mustika mengisi
118 TIM dengan karya - karya mereka yang artistik. B. Visi dan Misi Visi kami adalah ingin mendorong para seniman untuk mengembangkan kreativitas dan penciptaaan karya seni; menyalurkan berbagai karya seni bermutu kepada masyarakat serta memelihara, mengembangkan dan membangun kesenian di Jakarta. DKJ menjadi payung yang mengayomi, memelihara dan menjembatani masyarakat seni dengan masyarakat umum, agar Jakarta menjadi kota seni terdepan. Selain itu mengakomodasi terciptanya iklim inspiratif bagi para seniman agar dapat mempersembahkan kreativitas kesenian yang bermutu. C. Struktur Organisasi Graha Bhakti Budaya dikelola oleh Pusat Kesenian Jakarta yang juga berkantor di lokasi yang sama. Gambar 2. 99 Struktur Organisasi PKJ-TIM
Sumber : www.tamanismailmarzuki.com
D. Fasilitas dan Ruang Khusus 1) Entrance
119 Pintu masuk utama Graha Bhakti budaya terletak di bagian depan gedung. Gedung ini memang hanya memiliki satu sisi yang terbuka untuk publik. Pintu utama berupa pintu kaca yang secara langsung memperlihatkan lobby dari gedung pertunjukan ini.Pada area ini juga terdapat ticket box yang terdiri dari 4 loket. Gambar 2.100 Pintu Utama GBB
Sumber : leosecondtimes.blogspot.com
Gambar 2. 101 Ticket Box GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
2) Lobby GBB memiliki 3 buah lobby yang terdapat di setiap lantai. Lobbby tersebut kosong, dapat digunakan sebagai area pameran atau refreshment area bagi para pengunjung. Lantainya menggunakan marmer dan dinding dicat warna gading serta ceiling dicat putih biasa. Gambar 2. 102 Lobby lantai 1GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
3) Koridor GBB memiliki koridor samping sebagai penghubung antara lobby dengan wing panggung. Pada koridor samping ini terdapat pintu
120 samping dari auditorium. Koridor ini juga menjadi penghubung ke area perkantoran GBB. Gambar 2.103 Koridor kiri, lantai 1GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
4) Auditorium Gambar 2. 104 Auditorium GBB
Sumber : tamanismailmarzuki.com
Gambar 2.105 Barisan kursi di GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
Auditorium GBB berkapasitas 850 kursi, baris A hingga P di lantai bawah dan baris O hingga W pada bagian balkon. Pintu masuk utama ke dalam auditorium adalah melalui lobby lantai 2, dan melalui lobby lantai 3 untuk masuk ke area balkon. Auditorium berbentuk melebar dengan lantai yang menurun hingga ke panggung.
5) Panggung Panggung yang dimiliki GBB cukup besar, yakni berukuran 15x10x6 meter, dengan bentuk extended. Lantai panggung terbuat dari kayu. Gambar 2.106 Panggung GBB
121
Sumber : Dokumentasi Penulis
6) Dressing room GBB memiliki 1 buah ruang ganti yang berukuran cukup luas di belakang panggung. Ruang ganti ini dilengkapi dengan cermin besar di sepeanjang dinding nya dan juga memiliki kamar mandi di dalamnya. Ruang ganti ini dapat menampung hingga 100 orang. 7) Backstage dan wing Area belakang panggung yang dimiliki GBB sangat luas dan memiliki pintu samping untuk keluar-masuk properti pertunjukan. Selain itu, lantai dan dindingnya berwarna hitam, hal ini dimaksudkan agar ketika pertunjukan dilangsungkan, area ini jadi tidak terlihat dan tidak mengganggu pertunjukan. Gambar 2.107 Wing dari panggung GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
E. Elemen Interior 1) Pencahayaan Pencahayaan alami dapt diandalkan ketika siang hari untuk ruangan
122 yang berhubungan langsung ke area luar gedung seperti pada area lobby. Namun untuk ruangan lainnya, penerangan buatan sangat dibutuhkan, karena gedung ini tidak memiliki banyak jendela. 2) Penghawaan Graha Bhakti Budaya sangat mengandalkan AC untuk penghawaan pada setiap ruangnya. Ketika AC dimatikan, seperti pada saat gedung tidak digunakan, ruangan akan terasa sangat panas dan pengap. 3) Akustik Ruang auditoriun GBB menggunakan lantai karpet dan dinding yang juga dilapisi dengan material akustik untuk menunjang kegiatan pertunjukan. Ruang ini juga menggunakan beberapa perlatan sound system. 4) Keamanan GBB belum dilengkapi dengan CCTV, sehingga keamanannya belum maksimal. Untuk bencana alam dan kebakaran, ruang-ruang di dalam komplek PKJ ini telah dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran dan jalur-jalur evakuasi. Semua pengunjung akan diarahkan langsung ke lapangan parkir yang terletak tepat di depan GBB. F. Permasalahan Terdapat berabagai permasalahan yang ditemukan pada Graha Bhakti Budaya, antar lain: 1) Kurangnya kepedulian pengunjung terhadap peraturan dasar, seperti tidak membawa makanan dan minuman ke dalam auditorium, dan pengunjung yang tidak berpakaian formal. 2) Kondisi gedung sudah cukup tua dan terkesan lama dan lusuh.
123 Dibutuhkan
suatu
pembaharuan
sehingga
dapat
meningkatkan
kenyamanan dan kepuasan pengunjung terhadap gedung tsb. 3) Ruang ganti yang ada berukuran cukup besar, namun kondisinya juga kurang terawat. 4) Graha Bhakti Budaya tidak dilengkapi dengan fasilitas pendukung, hanya auditorium saja. Lobby juga dibiarkan kosong, tidak ada treatment khusus pada interiornya. 2.2.4 Bali Theatre Gambar 2..108 Logo Bali Theatre
Sumber : twitter.com
Bali Theatre adalah kompleks teater indoor berkapasitas 1200 penonton, yang dibangun dengn standar internasional yang memiliki tata cahaya panggung, state-of-art dan sound system, tempat duduk yang mewah, lounge yang luas, dan fasilitas modern lainnya. Terletak di jantung Bali Safari and Marine Park di sepanjang jalan raya pantai yang baru dikembangkan, Jalan Ida Bagus Mantra, Bali Selatan. A. Pertunjukan Teater ini mempersembahkan suatu bentuk pertunjukan seni baru yang mengkombinasikan tari tradisional dan kontemporer, boneka modern dan parade hewan hidup. Semua ini diiringi dengan 3 pengaruh musik yang berbeda. Musik ditulis secara khusus dan dibawakan oleh orkestra Barat yanf disertai dengan ensamble pentatonik gamelan Bali secara langsung dan simbal Cina.
124 Sebuah konsep yang segar tanpa menambah atau mengurangi esensi warisan budaya Bali. Kolaborasi besar dari 180 pemainnya mencerminkan setiap aspek sejarah pulau itu dari masa lalu. Bali Agung, demikian judul pertunjukannya, menceritakan kembali kisah epik Bali dengan adegan surga pulau itu, suasana kerajaan dan hutan ajaib yang adalah latar untuk adegan romantis dan heroik. Gambar 2. 109 Bali Agung 1
Sumber : www.balitheatre.com
Gambar 2. 110 Bali Agung 2
Sumber : www.balitheatre.com
Gambar 2. 111 Bali Agung 3
Gambar 2. 112 Bali Agung 4
Sumber : www.balitheatre.com
Sumber : www.elexmedia.co.id
Semua ini ditampilkan setiap hari, Selasa hingga Minggu pukul 2.30 sampai dengan pukul 3.30 sore di teater modern, yang merupakan pertama di Bali terutama untuk melayani penonton internasional. Fitur khusus termasuk parade sepuluh gajah hidup (memang dahulu raja-raja Bali berkeliling pulau menggunakan gajah), kolam sungai nyata dengan nakhoda perahu dan kapal tradisional di atasnya, wayang dan dalang yang menceritakan kembali sejarah kerajaan dan beberapa hewan eksotis
125 termasuk harimau, rusa, dan berbagai jenis burung hidup yang meningkatkan nilai pertunjukan. B. Cerita Dalam masa jabatannya pendek dan penuh gejolak antara 1179 - 1181M, Raja Sri Jaya Pangus dari dinasti Warmadewa memerintah dalam apa yang mungkin menjadi masa bersejarah dan yang paling menggembirakan dari kerajaan Bali. Dia menentang hukum adat dengan mengambil orang asing, Kang Ching Wie dari dinasti Kang Cina, menjadi permaisurinya. Teguran dari imam besar tidak menghentikan raja dan kekuatan cinta sejatinya. Gambar 2.113 Karakter Utama dalam Bali Agung
Sumber : www.balitheatre.com
Sang Raja memindahkan istananya ke lokasi baru yang dikenal sebagai Balingkang, dari kata-kata "Bali" dan "Kang" (dinasti). Di sana, dalam waktu yang relatif singkat, ia segera memperoleh pengikut yang kuat, menjadi salah satu dari raja-raja Bali yang paling dihormati. Sayangnya, tanpa restu dari imam besar, pasangan itu memiliki anak. Frustrasi, raja berangkat ziarah ke kuil terdekat dari Gunung Batur. Di sana ia bertemu dengan dewi danau, Dewi Danu, dan asmara yang segera timbul di antara mereka. Pasangan ini dikaruniai bayi laki-laki. Inilah kisah cinta dan perkelahian sengit yang ternyata pada akhirnya ia bersama dengan
126 permaisurinya dikutuk menjadi patung batu. Namun keilahian pasangan kerajaan ini masih sangat dihormati oleh orang-orang Bali hari ini, di mana stupa mereka dibawa berkeliling selama perayaan Galungan dan Kuningan. C. Fasilitas Gambar 2. 114 Lobby Bali Theatre
Gambar 2. 115 Lounge Bar Bali Theatre
Sumber : www.balitheatre.com
Sumber : www.balitheatre.com
Gambar 2. 116 Auditorium Bali Theatre 1
Sumber : www.facebook.com/BaliTheatre Gambar 2.117 Auditorium Bali Theatre 1
Sumber : www.facebook.com/BaliTheatre
2.2.5 Siam Niramit
127 Gambar 2. 118 Logo Siam Niramit
Sumber : www.tica.or.th
Siam Niramit merupakan pertunjukan seni dan kebudayaan Thailand kelas dunia. Pertunjukan spektakuler ini menjadi tontonan wajib bagi para wisatawan internasional. Siam Niramit memiliki dua tempat pertunjukan, satu di Bangkok dan satu lagi di Phuket. A. Pertunjukan Pertunjukan dilakukan setiap hari pada pukul 8 malam selama 80 menit tanpa istirahat. Pertunjukan dilakukan di atas panggung raksasa yang terdaftar Guinness World Records ini menampilkan lebih dari 100 orang pemain, kostum mewah, dan desain set yang menakjubkan. Efek khusus dan teknologi
tercanggih
digunakan
untuk
menghasilkan
pengalaman
menyaksikan pertunjukan yang sangat realistis dan inspiratif. Gambar 2. 119 Siam Niramit Show
Sumber : www.charmingasiatours.com
B. Cerita Ada 3 judul cerita dalam pertunjukan di Siam Niramit. Cerita pertama berjudul Journey Back into History, mengisahkan tentang Negeri Siam dengan peradaban pada masa lampau telah menjadi rumah bagi beberapa
128 budaya berbeda. Perkembangan budaya yang terjadi dan pengaruh-pengaruh budaya lain seperti Cina dan Eropa semua diceritakan dengan sangat indah di sini. Gambar 2. 120 Siam Niramit Act 1
Sumber : www.siamniramit.com
Gambar 2.121 Siam Niramit Act 2
Sumber : www.siamniramit.com
Gambar 2. 122 Siam Niramit Act 3
Sumber : www.siamniramit.com
Yang kedua adalah Journey Back into Imagination. Meskipun beragam budaya dan mata pencaharian, semua rakyat Thailand terikat oleh suatu kepercayaan umum dalam prinsip agama dari Hukum Karma. Perbuatan baik atau perbuatan buruk di dunia ini akan menghasilkan kebaikan atau penderitaan dalam kehidupan berikutnya. Yang ketiga adalah Journey Through Joyous Festivals. Pada cerita ini kita semua diajak untuk melihat kepercayaan Thai Buddhist secara lebih dekat. Kepercayaan yang sudah menjadi budaya ini memiliki banyak sekali perayaan dan festival keagamaan yang dilakukan setiap tahunnya dengan penuh warna dan kebahagiaan. C. Atraksi dan Fasilitas
129 Selain pertunjukan teatrikal, Siam Niramit juga memiliki atraksi-atraksi lainnya yang juga tak kalah menarik. Atraksi-atraksi ini bisa dinikmati sebelum pertunjukan dimulai, yakni pada saat lokasi dibuka untuk umum pada pukul 17.30. Atraksi dan fasilitas lainnya adalah: - Village of the 4 regions - Musik dan tarian tradisional serta atraksi outdoor - Menunggangi dan memberi makan gajah - Pijat tradisional Thai - Toko suvenir - Restaurant Siam Niramit juga memiliki fasilitas antar jemput gratis dari Thailand Cultural Center MRT yang datang setiap 15 menit. Mushola juga tersedia di tempat wisata ini. 2.2.6 Kuisioner Untuk melihat seberapa besar antusiasme masyarakat terhadap pertunjukan seni dan budaya, penulis membuat sebuah kuisioner online yang disebar kepada masyarakat secara acak melalui situs jejaring sosial. Dalam 7 hari, dari ratusan orang yang diminta untuk mengisi kuisioner ini, didapat 61 responden. Tabel 2.4 Hasil survei kuisioner HASIL SURVEY KUISIONER KATEGORI
PILIHAN
JML RESPONDEN
PERSENTASE
pria
24
39
wanita
37
61
jenis kelamin 15-19
7
11
20-25
45
74
26-35
2
3
36-40
0
0
usia
130
pekerjaan
suka seni pertunjukan
suka pertunjukan tradisional
pertunjukan apa yg diminati
jika jakarta punya gedung pertunjukan budaya
41-50
0
0
di atas 50
7
11
pelajar/mahasiswa
40
67
seniman/budayawan
1
2
pelaku bisnis
6
10
profesional
6
10
lain-lain
8
11
ya
54
89
tidak
5
8
tidak tahu
2
3
ya
28
46
tidak
33
54
tidak tahu
0
0
musik
44
48
tari
16
18
teater
31
34
ya
36
59
untuk turis
17
28
tidak
1
2
tidak tahu
7
11
Pada pertanyaan esai, jika pergi ke negara lain, sebagian besar responden akan menonton pertunjukan budaya khas negara tersebut. Semua berpendapat bahwa kebudayaan lain sangat menarik dan jika menonton pertunjukan tersebut akan sangat memperkaya wawasan. Hanya ada 1 responden yang berpendapat bahwa pertunjukan di luar negri sangat menarik, tidak seperti di Indonesia. Tempatnya bagus dan terpelihara, pertunjukannya juga berkelas. 2.2.7 Kesimpulan Hasil Survey dan Observasi Tabel 2.5 Kesimpulan Hasil Survey Lokasi SUBJEK Kapasitas Desain Akustik Panggung Fasilitas lain
GKJ
SALIHARA
GBB
131 Pemeliharaan Akses ke lokasi Ekslusivitas
sangat baik;
cukup baik;
kurang baik
Dari ketiga gedung pertunjukan di Jakarta yang sudah disurvey, ketiganya memiliki keunggulan masing-masing. Namun dapat kita lihat bahwa Gedung Kesenian Jakarta merupakan yang terbaik. Kapasitasnya cukup besar meskipun masuk dalam kategori gedung pertunjukan kecil, karena kurang dari 500 kursi. Gedung cukup terpelihara, meskipun ada beberapa bagian yang masih perlu direnovasi, namun gedung dengan usia ratusan tahun ini masih terbilang relative baik. Teater Salihara sebetulnya juga baik secara desain dan usianya yang baru dibangun. Namun kursi teaternya yang tidak permanen dan tidak memiliki panggung kurang cocok untuk dijadikan sebagai panutan untuk gedung pertunjukan budaya yang sesuai dengan judul penulisan ini. Sedangkan Graha Bhakti Budaya memang berkapasitas besar, namun kurang terpelihara. Gedungnya juga tidak memiliki fasilitas penunjang lainnya selain auditorium. Tidak memberikan kesan apapun terhadap pengunjung.
Untuk kegiatan pertunjukan, Bali Theatre dan Siam Niramit dapat menjadi contoh yang baik. Cerita, musik, dan tarian yang ditampilkan mampu mewakili kebudayaan daerahnya. Pertunjukan juga dikemas dengan fantastis, sangat menarik minat wisatawan. Dari keduanya dapat diambil kesimpulan bahwa pertunjukan yang ditampilkan harus dapat dipahami oleh semua orang, dari semua belahan bumi. Meskipun menggunakan bahasa daerah atau bahasa
132 Indonesia, gerak tubuh, ekspresi pemain, tata suara, tata cahaya, dan semua perlengkapan
yang
digunakan
harus
dimaksimalkan
untuk
menunjang
pementasan. Selain itu, untuk pertunjukan berskala internasional, interior gedung pertunjukan harus menunjang pertunjukan yang ada. Jangan sampai pertunjukan yang bagus jadi kurang peminatnya lantaran tempatnya kurang menunjang. Antusiasme masyarakat terhadap pertunjukan budaya memang belum besar untuk saat ini, namun jika disediakan fasilitas yang baik dan dikemas lebih menarik maka peminatnya akan terus bertambah. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakuakan, dapat dianalisa bahwa sebenarnya masyarakat tertarik dengan hal-hal yang baru dan belum pernah dilihat. Pertunjukan tradisional juga dapat menyaingi kualitas pertunjukan budaya di luar negeri apabila ditangani dengan baik.