BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Waralaba Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
menjelaskan, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Menurut International Franchise Association (IFA), waralaba adalah metode untuk memperluas bisnis dan mendistribusikan barang dan jasa melalui hubungan perizinan, Dalam waralaba, franchisor (orang atau lembaga yang memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk menjalankan bisnis dibawah mereka) tidak hanya menentukan produk dan jasa yang akan diberikan kepada franchisee (orang atau lembaga yang diberikan lisensi untuk menjalankan bisnis dengan merek dagang dari pemberi waralaba), tetapi juga menyediakan sistem operasi, merek, dan dukungan bagi mereka.
2.1.1 Pemberi Waralaba (Franchisor) Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.
9
10
2.1.2 Penerima Waralaba (Franchisee) Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki Penerima Waralaba.
2.1.3 Bentuk Waralaba Menurut David Hess dalam Suharnoko (2009), waralaba dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu produk dan perdagangan waralaba, dan format bisnis waralaba. a.
Produk dan Perdagangan Waralaba Dalam bentuk yang pertama ini pemberi waralaba memberikan lisensi kepada penerima waralaba untuk menjual produk-produk pemberi waralaba.
b.
Format Bisnis Waralaba Dalam bentuk yang kedua ini pemberi waralaba memberikan seluruh konsep bisnis yang meliputi strategi pemasaran, pedoman dan standar pengoperasian usaha dan bantuan dalam mengoperasikan waralaba. Penerima waralaba dalam hal ini mempunyai identitas yang tidak terpisahkan dari pemberi waralaba. Asosiasi Franchise Indonesia membagi bisnis berformat waralaba menjadi tiga,
yaitu: a.
Waralaba (Franchise) Waralaba merupakan usaha yang sudah terbukti berhasil; memiliki keunikan, baik pada produk, maupun brand dan tampilan; memiliki contoh cabang
yang
berhasil
(prototype);
dan
perkembangannya selama lima tahun terakhir.
dapat
menunjukkan
neraca
11
b.
Peluang Bisnis (Business Opportunity) Sistem business opportunity adalah sebuah sistem usaha yang hanya membutuhkan modal dalam jumlah kecil (mulai dari Rp 1,5 juta). Cirinya ialah usaha dengan sistem ini dapat dijalankan dengan ketentuan jual beli putus. Merek atau nama sudah ada dan mitra bisnis berhak untuk menggunakannya atau tidak. Kegiatan promosi tetap dilakukan, namun tidak wajib. Selain itu, ada jumlah tertentu yang dialokasikan untuk royalti dan sebagian lain untuk biaya iklan rutin.
c. Lisensi Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
2.1.4 Kriteria dan Persyaratan Waralaba Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba telah mengatur kriteria yang harus dipenuhi oleh waralaba, yaitu : a.
memiliki ciri khas usaha;
b.
terbukti sudah memberikan keuntungan;
c.
memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
d.
mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e.
adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f.
Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
12
2.1.5 Keunggulan Waralaba Seperti dalam retail, waralaba menawarkan keuntungan untuk memulai suatu bisnis baru dengan cepat berdasar pada suatu merek dagang yang telah terbukti bisnisnya, tidak sama seperti dengan membangun suatu merek dan bisnis baru dari awal mula (Ozkurt, 2010:5). Selain itu menurut Rachmadi (2007), keunggulan lainnya dari sistem franchise bagi franchisee, antara lain: a.
Pihak pemberi waralaba memiliki akses pada permodalan dan berbagi biaya dengan penerima waralaba resiko yang relatif lebih rendah.
b.
Pihak penerima waralaba mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah bisnis dengan cara cepat dan biaya lebih rendah dengan produk atau jasa yang telah teruji dan terbukti kredibilitas mereknya.
c.
Lebih dari itu, penerima waralaba secara berkala menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran. Sukandar (dalam Halim, 2013) mengatakan, kriteria sebuah perusahaan yang
dapat disebut sebagai bisnis waralaba adalah : (1) Sukses, yang dapat diukur dari jumlah konsumen, peningkatan penjualan dan bukti lain yang otentik; (2) Memiliki prototype yang digunakan sebagai model yang dapat digunakan oleh penerima waralaba untuk mengembangkan bisnisnya; (3) Memiliki keunikan yang tidak dapat ditiru oleh kompetitor. Keunikan ini dapat berupa produk, pelayanan, sistem, proses, ataupun sistem operasional; (4) Memiliki standar; (5) Dapat dikembangkan oleh penerima waralaba dalam periode yang singkat; (6) Efisien dan menghasilkan keuntungan; (7) Memiliki product life-cycle yang panjang, masih di tahap growth; (9) Memiliki customer-base. Menurut Reim (2000), Praditbatuga (2005), Justis dan Judd (2002), dan Sherman (2011), Keunggulan Waralaba memiliki dimensi Bisnis yang Terbukti dengan indikator Keterkenalan Merek, Keuntungan Keuangan, dan Ketersediaan Pangsa Pasar (Ketersediaan Konsumen); dan dimensi Dukungan Pemberi Waralaba dengan indikator Dukungan di awal memulai bisnis (memilih lokasi, design lokasi),
13
Dukungan sewaktu menjalankan bisnis (operasional, pemasaran), Bantuan dalam rekrutmen dan pelatihan, Standard Operating Procedure (SOP) untuk menjalankan bisnis, Adanya aplikasi teknologi informasi sesuai kebutuhan, dan Promosi bersama dari perusahaan waralaba.
2.2
Norma Subjektif Norma subjektif merupakan keyakinan individu mengenai harapan orang-orang
sekitar yang berpengaruh (significant other) baik perorangan ataupun perkelompok untuk menampilkan perilaku tertentu atau tidak. Pengertian diatas menjelaskan bahwa norma subjektif adalah produk dari persepsi individu tentang beliefs yang dimiliki orang lain. Significant other memberikan panduan tentang hal yang tepat untuk melakukannya (Triastity dan Saputro, 2013). Menurut Fishbein dan Ajzen (dalam jurnal oleh Triastity dan Saputro, 2013), norma subjektif secara umum mempunyai dua komponen berikut: a.
Normatives beliefs Persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku atau tidak. Keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh panutan tersebut apakah subjek harus melakukan atau tidak suatu perilaku tertentu. Ajzen (2006) menambahkan, pada beberapa perilaku, rujukan sosial yang dianggap penting juga memasukkan rujukan sosial yang berasal dari orang tua, pasangan pernikahan, sahabat, rekan kerja, dan rujukan lain yang berhubungan dengan suatu perilaku.
b.
Motivation to Comply Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut. Norma subjektif dapat dilihat sebagai dinamika antara dorongan-dorongan yang dipersepsikan individu dari orang-orang disekitarnya (significant others) dengan motivasi untuk
14
mengikuti pandangan mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tersebut. Secara umum, individu yang yakin bahwa banyak referent yang membuat dirinya termotivasi untuk mengikuti, berpikir bahwa dirinya harus menampilkan perilaku, akan merasakan tekanan sosial untuk melakukannya. Sebaliknya, individu yang yakin bahwa kebanyakan referent akan tidak menyutujui dirinya menampilkan perilaku tertentu maka hal ini akan menyebabkan dirinya memiliki norma subjektif yang menempatkan tekanan pada dirinya untuk menghindari melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005). Ajzen dan Fishbein juga menyatakan, keyakinan individu akan mempengaruhi perilaku manusia melalui perilaku dan norma subjektif, yang kemudian akan mempengaruhi niat (dalam Lu et al., 2015). Menurut Praditbatuga (2005), Halim (2008), Justis dan Judd (2002), Sherman (2011), Norma Subjektif memiliki dimensi Maturitas dengan indikator Lamanya tahun diwaralabakan, Banyaknya cabang/penerima waralaba, Komunikasi yang baik antara pemberi waralaba dan penerima waralaba; dimensi Dokumen Penting dengan indikator Memiliki sertifikat merek/paten, Memiliki kontrak waralaba yang jelas, Dokumen resmi usaha (SIUP/ TDP/Akte Pendirian Usaha) dan dokumen industri terkait (kesehatan, perdagangan, setifikat halal), Laporan keuangan; dimensi Rekomendasi dengan indikator Rekomendasi dari asosiasi waralaba, Rekomendasi dari teman atau keluarga; dan dimensi Informasi Finansial dengan indikator Proyeksi keuangan (keuntungan, balik modal), Biaya-biaya (royalty, franchise fee dan investasi awal).
2.3
Percaya Percaya merupakan dimensi hubungan bisnis yang menentukan tingkat dimana
orang merasa dapat bergantung pada integritas janji yang ditawarkan oleh orang lain. Hal ini secara mendasar merupakan keyakinan bahwa seseorang akan memberikan apa yang dijanjikan.
15
Percaya pada dasarnya berhubungan dengan perasaan seseorang terhadap suatu objek yang didasarkan pada berbagai pertimbangan. Percaya terkait dengan rasa percaya atau tidak percaya dalam diri seseorang terhadap apa yang ditawarkan oleh orang lain, karena itu percaya juga berhubungan dengan perasaan yakin atau tidak yakin yang dimiliki oleh seseorang terhadap apa yang dijanjikan oleh orang lain. Selanjutnya, Yusafzai et al. (dalam Fitriani 2013), menyatakan setidaknya terdapat enam definisi mengenai percaya (trust), sebagai berikut : a.
Percaya adalah keyakinan bahwa kata atau janji seseorang dapat dipercaya dan seseorang akan memenuhi kewajibannya dalam sebuah hubungan pertukaran.
b.
Percaya akan terjadi apabila seseorang memiliki percaya diri dalam sebuah pertukaran dengan mitra yang memiliki integritas dan dapat dipercaya.
c.
Percaya adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya.
d.
Percaya adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain.
e.
Percaya adalah kemauan untuk membuat dirinya peka pada tindakan yang diambil oleh orang yang dipercayainya berdasarkan pada rasa percaya dan tanggung jawab.
f.
Percaya adalah penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang percayanya dalam suatu lingkungan yang penuh ketidakpastian. Percaya adalah kesediaan atau kerelaan untuk berstandar pada rekan yang
terlibat dalam pertukaran yang diyakini. Kerelaan merupakan hasil dari sebuah keyakinan bahwa pihak yang terlibat dalam pertukaran akan memberikan kualitas yang konsisten, kejujuran, bertanggung jawab, dan berbaik hati. Keyakinan ini akan menciptakan sebuah hubungan yang dekat antar pihak yang terlibat pertukaran.
16
Dalam penelitiannya, Costabile yang dikutip oleh Suhardi (2006) menyatakan, percaya atau trust didefinisikan sebagai persepsi akan kehandalan dari sudut pandang konsumen didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urutan-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan. Ciri utama terbentuknya percaya adalah persepsi positif yang terbentuk dari pengalaman.
2.3.1 Faktor Percaya Mayer et al. (2005) menyatakan, faktor yang membentuk percaya seseorang terdiri dari tiga yaitu sebagai berikut: a.
Kemampuan (Ability) Kemampuan mengacu pada kompetensi dan karakteristik penjual/organisasi dalam mempengaruhi dan mengotori wilayah yang spesifik. Dalam hal ini, bagaimana penjual mampu menyediakan, melayani, sampai mengamankan transaksi dari gangguan pihak lain. Artinya bahwa konsumen memperoleh jaminan kepuasan dan keamanan dari penjual dalam melakukan transaksi.
b.
Kebaikan hati (Benevolence) Kebaikan hati merupakan kemauan penjual dalam memberikan kepuasan yang saling menguntungkan antara dirinya dengan konsumen. Profit yang diperoleh penjual dapat dimaksimumkan, tetapi kepuasan konsumen juga tinggi. Penjual bukan semata-mata mengejar profit maksimum semata, melainkan juga memiliki perhatian yang besar dalam mewujudkan kepuasan konsumen.
c.
Integritas (Integrity) Integritas berkaitan dengan bagaimana perilaku atau kebiasaan penjual dalam menjalankan bisnisnya. Informasi yang diberikan kepada konsumen apakah benar sesuai dengan fakta atau tidak. Kualitas produk yang dijual apakah dapat dipercaya atau tidak.
17
2.3.2 Percaya terhadap Pemberi Waralaba Davies et al. (2011) mengungkapkan, percaya merupakan atribut yang berintegral terhadap pencapaian dalam pemenuhan kepada penerima waralaba, keselarasan tujuan, dan kepuasan dalam hubungan waralaba. Percaya diidentifikasi sebagai faktor penting yang membantu untuk mengurangi situasi rentan ketika manfaat terasa tidak diperoleh, juga berkontribusi secara positif terhadap transparansi internal dan tanggung jawab bersama. Percaya meningkatkan keyakinan penerima waralaba terhadap kompetensi dan integritas pemberi waralaba, yang mengarah pada perilaku yang lebih koperatif dan kepuasan terhadap hubungan kerjasama waralaba. Secara khusus, percaya dari penerima diukur dengan berapa banyak informasi dan data yang dibagikan dengan pemberi waralaba sehingga menciptakan komunikasi simetris (pertukaran pengetahuan). Hal ini dianggap penting dalam membangun hubungan yang terpercaya (Watson et al, 2010). Dengan demikian, ada korelasi langsung antara peran percaya dalam organisasi, pemenuhan, kepuasan waralaba. Tingkat percaya yang tinggi antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba akan mengurangi kasus ketidakpuasan oleh penerima waralaba. Senada dengan itu, Altinay dan Brookes (2012) juga berpendapat percaya memiliki dampak positif terhadap kelangsungan waralaba dalam jangka waktu panjang dengan mengurangi kemungkinan akan konflik. Menurut Kreitner dan Kinicki (2007), Mohmed et al. (2013), Modell (2010), Jamaludin dan Ahmad (2013), Percaya pada Pemberi Waralaba memiliki dimensi Kepercayaan dengan indikator Kepercayaan kepada pemilik perusahaan waralaba, Kepercayaan kepada perusahaan waralaba; dan dimensi Reliabilitas dengan indikator Kompetensi Perusahaan.
2.4
Niat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), niat diartikan sebagai maksud
atau tujuan. Oxford Dictionary of Psychology mendefinisikan niat sebagai suatu
18
kecenderungan perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan bukan tanpa tujuan. Sedangkan Miller (2005), mengidentifikasi niat sebagai fungsi dari sikap terhadap perilaku dan norma subjektif terhadap perilaku tersebut, untuk memprediksi perilaku aktual. Ajzen (dalam Teo & Lee, 2010), mengemukakan niat adalah indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Secara umum, jika individu memiliki niat untuk melakukan suatu perilaku maka individu cenderung akan melakukan perilaku tersebut; sebaliknya, jika individu tidak memiliki niat untuk melakukan suatu perilaku maka individu cenderung tidak akan melakukan perilaku tersebut. Namun niat individu untuk melakukan suatu perilaku memiliki keterbatasan waktu dalam perwujudannya ke arah perilaku nyata, maka dalam melakukan pengukuran niat untuk melakukan suatu perilaku perlu untuk diperhatikan empat elemen utama dari niat, yaitu target dari perilaku yang dituju (target), tindakan (action), situasi saat perilaku ditampilkan (contex), dan waktu saat perilaku ditampilkan (time). Niat dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku, merupakan sesuatu yang sifatnya khusus dan mengarah pada dilakukannya suatu perilaku khusus dalam situasi khusus pula. Kekhususan niat tersebut, terdapat dalam empat dimensi pembatas, yaitu: a.
Perilaku, yaitu perilaku khusus yang nantinya akan diwujudkan. Perilaku dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perilaku yang general (umum) dan perilaku yang spesifik (khusus). Dalam hal ini, niat termasuk dalamperilaku yang khusus.
b.
Tujuan target, yaitu siapa yang akan menjadi tujuan perilaku khusustersebut. Komponen ini terdiri dari particular object (orang tertentu); a class of object (sekelompok orang tertentu); dan any object (orang-orang pada umumnya).
c.
Situasi, yaitu dalam situasi yang bagaimana perilaku itu diwujudkan. Dalam hal ini, situasi dapat diartikan sebagai tempat atau suasana situasi.
d.
Waktu, yaitu menyangkut kapan dan berapa lama suatu perilaku akan diwujudkan.
19
2.4.1 Niat Membeli Niat membeli termasuk dalam model perilaku konsumen (Howard dan Sheth, dalam Mangkunegara, 2005) yang menunjukkan suatu proses dan variabel yang mempengaruhi perilaku konsumen sebelum dan sesudah terjadinya pembelian. Niat membeli dapat didefinisikan sebagai keadaan mental yang merefleksikan rencana pembeli untuk membeli sejumlah produk tertentu dari merek yang sudah dikenal dalam jangka waktu tertentu. Menurut Justis dan Judd (2002), Sherman (2011), Chandon (2004), Niat Membeli Bisnis Waralaba memiliki dimensi Niat yang Terukur dengan indikator Mengikuti undangan seminar bisnis waralaba, Bersedia disurvei lokasi, Melakukan kesepakatan untuk dapat melihat perjanjian kontrak.
2.5
Pendidikan Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan terbagi menjadi 3 jalur yaitu pendidikan formal, pendidkan nonformal, dan pendidikan informal. Yang dimaksud dengan jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, sedangkan pendidikan non-formal djabarkan lebih lanjut dalam sub-bab dibawah.
20
2.5.1 Pendidikan Non-Formal Berdasarkan Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya Pasal 1 ayat 31, menyebutkan bahwa pendidika non-formal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan benrjenjang. Penyelenggaraan pendidikan nonformal diatur di dalam Pasal 26 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan juga Pasal 100 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, meliputi : penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal dan penyelenggaraan program pendidikan nonformal. Selanjutnya, lebih spesifik penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal diatur di dalam Pasal 100 ayat 2, sedangkan penyelenggaraan program pendidikan nonformal diatur di dalam Pasal 100 ayat 3. Penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal meliputi satuan pendidikan : Lembaga kursus dan lembaga pelatihan, Kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat, Majelis taklim, Pendidikan anak usia dini jalur nonformal. Penyelenggaraan program pendidikan nonformal meliputi : Pendidikan kecakapan hidup, Pendidikan anak usia dini (contohnya : Kelompok bermain, Taman penitipan anak), Pendidikan kepemudaan (Organisasi keagamaan, Organisasi pemuda, Organisasi kepanduan/kepramukaan, Organisasi palang merah, Organisasi pecinta alam & lingkungan, Organisasi kewirausahaan, Organisasi masyarakat, Organisasi seni dan olahraga, Organisasi lain yang sejenis), Pendidikan pemberdayaan perempuan, Pendidikan keaksaraan, Pend. ketrampilan & pelatihan kerja, Pendidikan Kesetaraan (Program paket A setara SD/MI, Program paket B setara SMP/MTs, Program paket C setara SMA/MA, Paket C Kejuruan setara SMK/MAK). Pendidikan nonformal berfungsi sebagai penambah pada pendidikan formal apabila pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh peserta didik pada satuan pendidikan formal dirasa belum memadai. Pendidikan nonformal berfungsi
21
sebagai pelengkap apabila peserta didik pada satuan pendidikan formal merasa perlu untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap melalui jalur pendidikan nonformal.
2.6
Teori Tentang Sikap (Theory of Attitude) Teori tentang sikap (attitude) merupakan teori yang menjadi dasar bagi Theory
of Reasoned Action dan Theory of Planned Behaviour. Dalam ilmu manajemen, teori tentang sikap merupakan bagian yang mempelajari perilaku konsumen. Ajzen (dalam Azwar 2007) menyatakan attitude atau sikap adalah fungsi dari kepercayaan tentang konsekuensi perilaku atau keyakinan normatif, persepsi terhadap konsekuensi suatu perilaku dan penilaian terhadap perilaku tersebut. Sikap juga berarti perasaan umum yang menyatakan keberkenaan atau ketidakberkenaan seseorang terhadap suatu objek yang mendorong tanggapannya. Faktor sikap merupakan point penentu perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh perubahan sikap seseorang dalam menghadapi sesuatu. Perubahan sikap tersebut dapat berbentuk penerimaan ataupun sebaliknya, penolakan.
2.7
Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Theory of Reasoned Action disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia
berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Ajzen (dalam Azwar 2007) mengungkapkan, teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention) dan perilaku (behavior). Ajzen (dalam Azwar 2007) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms).
22
Dalam penelitian ini, Keunggulan Waralaba merupakan variabel attitude towards behavior yang digunakan dalam hubungannya terhadap niat membeli bisnis waralaba. Theory of Reasoned Action dimulai dengan melihat niat berperilaku sebagai anteseden terdekat dari suatu perilaku. Dipercaya bahwa semakin kuat niat seseorang untuk menampilkan suatu perilaku tertentu, diharapkan semakin berhasil ia melakukannya. Niat adalah suatu fungsi dari beliefs dan atau informasi yang penting mengenai kecenderungan bahwa menampilkan suatu perilaku tertentu akan mengarahkan pada suatu hasil yang spesifik.
Gambar 2.1 Model Theory of Reasoned Action Sumber : Ajzen (2006)
23
2.8
Kerangka Pemikiran
H4 H1 H3
Ajzen – TRA (1980)
H2 Halim – Arrow Model (2015)
Ajzen – TRA (1980)
H5 Ajzen – TRA (1980)
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber : Hasil Pengolahan Data (2016)
H1 : Keunggulan Waralaba memiliki pengaruh terhadap Percaya pada Pemberi Waralaba. H2 : Norma Subjektif memiliki pengaruh terhadap Percaya pada Pemberi Waralaba. H3 : Percaya pada Pemberi Waralaba memiliki pengaruh terhadap Niat Membeli Bisnis Waralaba. H4 : Keunggulan Waralaba secara langsung memiliki pengaruh terhadap Niat Membeli Bisnis Waralaba. H5 : Norma Subjektif secara langsung memiliki pengaruh terhadap Niat Membeli Bisnis Waralaba.