BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pengertian Gadai Menurut UU hukum perdata pasal 1150 pengertian Gadai dalam buku Yusuf, Wiroso, (2011:165) adalah Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan. Sedangkan menurut Sudarsono (2012:171) perusahaan pegadaian adalah sebagai berikut : Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti yang dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 di atas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Sesuai dengan hukum gadai bahwa calon peminjam mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang bergerak miliknya sebagai agunan kepada perusahaan pegadaian, disertai dengan pemberian hak kepada pegadaian untuk melakukan penjualan secara lelang.Lelang dimaksudkan sebagai penjualan barang agunan oleh perusahaan pegadaian apabila setelah batas waktu perjanjian kredit berakhir, nasabah tidak dapat melunasi pinjaman atau menebus barang tersebut, atau tidak memperpanjang kredit. Yusuf, Wiroso (2011:165)
11
2.1.2 Pengertian Gadai Syariah Dalam buku Sudarsono (2012:171) berpendapat bahwa gadai adalah sebagai berikut : Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, rahn berarti tetap berlangsung dan menahan sesuatu barang sebagaimana tanggungan utang. Dalam definisinya rahn adalah barang yang digadaikan, rahin adalah orang yang menggadaikan, sedangkan murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman. Pengertian rahn menurut Sudarsono (2012:172) yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barangnya itu. Firman Allah dalam surat al-Muddatstsir (74) ayat 38 mengatakan “Setiap diri bertanggung atas apa yang telah diperbuatnya’’, dan surat al-Baqarah (2) ayat 283 menyebutkan “Hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang”. Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab alMughni dalam buku Sudarsono (2012:172) adalah “Sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al-Anshary, dalam kitabnya Fathul Wahab, mendefinisikan rahn adalah “menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta benda itu bila utang tidak dibayar”. Pengertian Rahn menurut Yusuf, Wiroso (2011:141) adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan. Atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Rahn sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 sebagai berikut : 12
Pertama :Hukum Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut : Kedua : Ketentuan Umum 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang dilunasi). 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. 4. Besar pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan Marhun • Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya. • Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. • Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan, dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. • Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
2.2 Landasan Hukum Gadai Syariah Pada dasarnya, gadai adalah salah satu akad yang diperbolehkan dalam Islam. Adapun dalil-dalil yang menjadi landasan diperbolehkannya gadai menurut Firdaus et al (2005:18) adalah : 1. Al-Quran : “Jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
13
dipercyai itu menunaikan amanat (utang) nya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT”. (QS.Al – Baqarah [2] : 283).
2. Al-Hadist : “Dari Anas ra. Nabi Saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi tersebut berkata : “Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Rasulullah Saw. Menjawab : “Bohong, sesungguhnya aku orang yang jujur diatas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku, pasti aku tunaikan.Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya” (HR.Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. Bersabda : “Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya” (HR.Jamah kecuali Muslim dan Nasa’i).
Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. Bersabda : “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian” (HR.Syafi’i dan Daruqutni).
2.2.1 Rukun Gadai Syariah Dalam menjalankan gadai syariah diwajibkan untuk memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut menurut Sudarsono (2012:175) antara lain : 1. Ar-Rahn (yang Menggadaikan) Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan. 2. Al-Murtahin (Penerima gadai/ yang Memberikan Pinjaman) Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai). 3. Al-marhun / Rahn (barang yang digadaikan) Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang. 4. Al-Marhun Bih (Utang) Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
14
5. Sighat, Ijab dan Qabul Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
2.2.2 Syarat Gadai Syariah Sedangkan syarat sah gadai syariah menurut Sudarsono (2012:175), antara lain : 1) Sighat a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang. b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan. 2) Rahin dan Murtahin Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat.Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan. 3) Marhun bih (utang) a. Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin. b.Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah. c. Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya. 4) Marhun (barang) a. Harus diperjual belikan. b. Harus berupa harta yang bernilai. c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah. d.Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung. e. Harus dimiliki oleh rahin setidaknya harus seizin pemiliknya.
2.2.3 Ketentuan Gadai Barang Dalam Sudarsono (2012:176) menggadaikan barang di layanan jasa gadai syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1) Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan. Artinya barang yang digadaikan diakui oleh masyarakat memiliki nilai yang bisa dijadikan jaminan. 2) Tidak sah menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang pinjam dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai penutup utang dengan benda-benda yang digadaikan, 15
padahal barang yang di-gasab, dipinjam dan barang-barang yang telah diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan tidaklah dapat digunakan sebagai penutup utang. 3) Gadai itu tidak sah apabila utangnya belum pasti. Gadai yang utangnya sudah pasti hukumnya sah, walaupun utangnya belum tetap, seperti utang penerima pesanan dalam akad salam terhadap pemesan. Gadai dengan utang yang akan menjadi pasti juga sah, seperti harga barang yang masih dalam masa khiar. 4) Disyaratkan pula agar utang piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua pihak. Ini dikatakan oleh Ibnu Abdan dan pengarang kitab al-Istiqsha’ serta Abu Khalaf al-Thabari yang diperkuat oleh Ibnu Rif’ah. 5) Menerima barang gadai oleh pihak pemberi gadai adalah salah satu rukun akad gadai atas tetapnya gadaian. Karena itu, gadai belum ditetapkan selama barang yang digadaikan itu belum diterima oleh pihak gadai. 6) Seandainya ada orang menggadaikan barang namun barang tersebut belum diterima oleh pihak gadai, maka orang tersebut boleh membatalkannya. Sebab, gadaian yang belum diterima akan akadnya masih jaiz (boleh) diubah oleh pihak nasabah sebagaimana masa khiar dalam jual beli. 7) Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pihak gadai, maka akad rahn (gadai) tersebut telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali. 8) Penarikan kembali (pembatalan) akad gadai itu adakalanya dengan ucapan dan adakalanya dengan tindakan. Jika pihak gadai menggunakan barang gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status kepemilikan, maka batallah akad gadai itu. Sebagai contoh, bila pihak gadai menjual barang, menjadikannya sebagai mas kawin atau upah kerja, maka akad gadai menjadi batal. Begitu juga, bila barang gadaian digadaikan lagi kepada oang lain, atau penggadai memberikan barang gadaian tersebut kepada orang lain, maka tindakan penggadai ini mengakibatkan akad gadai menjadi batal. 9) Jika masa akhir sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya tidak termasuk pembatalan. Ketentuan tersebut juga telah dipastikan oleh Abu Hamid dan al-Baghawi dan telah di nas-kan oleh Imam Syafi’i, juga telah di-katam-kan oleh Imam Nawawi dalam tambahan Kitab al-Raudhah. 10) Jika membayar utang pada gadai lebih awal daripada masa sewa (masa sewanya lebih lama dari masa gadai) maka tidaklah termasuk pembatalan gadai, dan memperbolehkan penjualan barang yang digadaikan hal ini termasuk kaul yang ashah. 11) Barang gadaian adalah amanat ditangan penerima gadai, karena ia telah menerima barang itu dengan ijin nasabah. Maka status amanat barang gadai, seperti amanat berupa barang yang disewakan. Jadi, pihak gadai tidak wajib menanggung kerusakan barang gadai, kecuali jika disengaja atau lengah, tak ubahnya dengan amanat-amanat lain.
16
12) Jika barang gadaian tersebut musnah tanpa ada kesengajaan dari pihak gadai, maka pihak gadai tidak wajib menanggung barang tersebut dan jumlah pinjaman yang telah diterima oleh penggadai tidak boleh dipotong atau dibebaskan. Sebab,barang tersebut adalah amanat dari nasabah untuk mendapatkan pinjaman, maka pinjaman itu tidak boleh dibebaskan akibat musnahnya barang gadaian itu. Sama halnya dengan kematian orang yang menjamin dalam masalah jaminan, dan kematian orang yang menjadi saksi dalam masalah kesaksian. 13) Seandainya pihak gadai mengaku bahwa barang gadaian tersebut musnah, maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dengan disertai sumpah, jika pihak gadai tidak menjelaskan sebab-sebab musnahnya barang tersebut, atau ia menyebutnya tapi tidak jelas. Berbeda halnya apabila pihak gadai menyebut sebab-sebab musnahnya barang tersebut dengan jelas maka pengakuannya tidak dapat diterima kecuali dengan bukti-bukti. Sebab pihak gadai tersebut bisa menunjukkan buktibukti apabila sebab musnahnya barang tersebut jelas. 14) Seandainya pihak gadai mengaku telah mengembalikan barang gadaian, pengakuan tidak dapat diterima kecuali dengan disertai bukti (kesaksian) sebab bukti bagi pihak gadai itu tidak sulit, dan lagi barang yang ditangan pihak gadai itu untuk piutangnya sendiri, maka pengakuannya tidak dapat diterima kecuali disertai dengan bukti sama halnya dengan pengakuan musta’ir (peminjam). 15) Jika pihak gadai lengah atau merusak barang gadaian karena sengaja memanfaatkan barang yang dilarang untuk dipergunakan, maka pihak gadai harus menggantinya. Diantara contoh kesengajaan ini adalah memanfaatkan barang gadaian berupa binatang yang dapat dinaiki atau dipergunakan untuk mengangkut barang sehingga membuat binatang menjadi sakit.
2.2.4 Akad Perjanjian Gadai Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa layanan jasa gadai bisa sah bila memenuhi tiga syarat : 1) Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan. 2) Penetapan kepemilikan gadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. 3) Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai. Berdasarkan tiga syarat diatas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian tersebut adalah : 1) Akad al-Qardul Hasan Akad ini dilakukan pada nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pihak gadai (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhun).
17
2) Akad al-Mudharabah Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau pembiayaan yang bersifat produktif. Dengan akad ini, nasabah (rahin) akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang didapat nasabah kepada pihak gadai (murtahin) sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam dilunasi. 3) Akad Bai’ al-Muqayadah Akad ini dilakukan apabila nasabah (rahin) ingin menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Seperti pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman, nasabah harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin. Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas barang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, pihak gadai (murtahin) dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli, sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai dengan kesepakatan antara keduanya. Firdaus et al (2005:28)
2.2.5 Persamaan dan Perbedaan Perbedaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional dapat dibuat dalam sebuah tabel berikut : Tabel 2.1 Persamaan dan perbedaan antara Gadai Syariah dengan Konvensional Persamaan a. Hak gadai atas pinjaman uang
Perbedan
a. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal. b. Adanya agunan sebagai jaminan utang b. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak sedangkan dalam hukum islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak. c.Tidak boleh mengambil manfaat c. Dalam rahn tidak ada istilah bunga barang yang digadaikan (biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan dan penaksiran). Singkatnya biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali dikenakan. 18
d.Biaya barang yang digadaikan d.Dalam hukum perdata gadai ditanggung oleh para pemberi gadai dilaksanakan melalui suatu lembaga yang ada di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga. e. Apabila batas waktu pinjaman uang habis barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang. Sudarsono (2012:181)
2.2.6 Mekanisme Layanan Jasa Gadai Syariah Operasi layanan jasa gadai syariah menggambarkan hubungan diantara nasabah dan pihak gadai. Adapun teknis layanan jasa gadai syariah menurut Sudarsono (2012:185) adalah sebagai berikut : 1) Nasabah menjaminkan barang kepada pihak gadai syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pihak gadai menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan. 2) Pihak gadai syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan dan sebagainya. 3) Pihak gadai syariah menerima biaya-biaya administrasi dibayar diawal transaksi, sedangkan untuk jasa simpan pinjam disaat pelunasan. 4) Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.
Perbedaan utama antara biaya gadai dengan bunga gadai adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda sementara biaya gadai hanya sekali ditetapkan di muka. Adapun teknis layanan jasa gadai syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut :
19
Gambar 2.1 Skema Layanan Jasa Gadai Syariah
Marhun Bih (pembiayaan)
3. Layanan jasa gadai membayar nasabah
2. Akad Layanan Jasa Gadai
Nasabah
4. Menebus
1. Nasabah menyerahkan jaminan Marhun (jaminan)
2.3 Pengertian Pengendalian Internal Dalam buku Rama dan Jones yang diterjemahkan oleh Wibowo, M.S. (2008:132) mendefinisikan pengendalian internal sebagai berikut : “Pengendalian Intern (Internal Control) sebagai suatu proses, yang dipengaruhi oleh dewan direksi entitas, manajemen, dan personal lainnya, yang dirancang untuk memberikan kepastian yang beralasan yang terkait dengan pencapaian sasaran kategori sebagai berikut : efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan keuangan, dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku”. Menurut Warren, Reeve, dan Fees yang diterjemahkan oleh Farahmita, Ama Nugrahani, dan Hendrawan (2006:235), “Pengendalian Internal adalah kebijakan dan prosedur yang melindungi aktiva perusahaan dari kesalahan penggunaan, memastikan bahwa informasi usaha yang disajikan akurat dan meyakinkan bahwa hukum serta peraturan telah diikuti”. Dalam bukunya Boynton et al (dalam Rajoe, P.A., Gania,G., Budi, I.S, 2003:373) mendefinisikan pengendalian internal sebagai berikut :
20
Pengendalian internal (Internal Control) adalah suatu proses, yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen, dan personal lainnya dalam suatu entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan dalam katagori seperti : keandalan pelaporan keuangan, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, serta efektivitas dan efisiensi operasi.
2.3.1 Komponen Pengendalian Internal Untuk menyediakan suatu struktur dalam mempertimbangkan banyak kemungkinan pengendalian yang berhubungan dengan tujuan entitas, laporan COSO mengidentifikasi lima komponen pengendalian internal (components of internal control) yang saling berhubungan, yaitu : •
Lingkungan pengendalian (control environment) menetapkan suasana suatu organisasi, yang mempengaruhi kesadaran akan pengendalian dari orangorangnya. Lingkungan pengendalian merupakan fondasi dari semua komponen pengendalian intern lainnya, yang menyediakan disiplin dan struktur.
•
Penilaian resiko (risk assessment) merupakan pengidentifikasian dan analisis entitas mengenai resiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan entitas, yang membentuk suatu dasar mengenai bagaimana resiko harus dikelola.
•
Aktivitas pengendalian (control activities) merupakan kebijakan dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa perintah manajemen telah dilaksanakan.
•
Informasi dan komunikasi (information and communication) merupakan pengidentifikasian, penangkapan, dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang mampu melaksanakan tanggung jawabnya.
•
Pemantauan (monitoring) merupakan suatu proses yang menilai kualitas kinerja pengendalian intern pada suatu waktu. Boynton et al (dalam Rajoe, P.A., Gania,G., Budi, I.S, 2003:374)
2.3.2 Tujuan Sistem Pengendalian Internal Menurut Arens & Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A (2003:258) manajemen
dalam
merancang
struktur
pengendalian
internal
mempunyai
kepentingan-kepentingan sebagai berikut : 21
1. Keandalan Pelaporan Keuagan Manajemen bertanggung jawab dalam menyiapkan laporan keuangan bagi investor, kreditor, dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah disiapkan sesuai standar laporan, yaitu prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Mendorong efisiensi dan efektivitas operasional Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencegah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek usaha, dan untuk mengurangi penggunan sumber daya yang tidak efisien dan efektif. 3. Ketaatan pada hukum dan peraturan Banyak sekali peraturan yang harus diikuti oleh perusahaan, beberapa diantaranya berkaitan tidak langsung dengan akuntansi, misalnya UU Lingkungan Hidup dan UU Perburuhan, sedangkan peraturan lain yang sangat berkaitan erat dengan akuntansi contohnya adalah UU Perpajakan dan UU Perseroan Terbatas.
2.3.3 Peran dan Tanggung Jawab Dalam Sistem Pengendalian Intern Laporan COSO menyimpulkan bahwa setiap orang dalam suatu organisasi memiliki tanggung jawab terhadap pengendalian intern organisasi, dan sebenarnya merupakan suatu bagian dari pengendalian intern organisasi. Selain itu, beberapa pihak
eksternal
seperti
auditor
independen
dan
pembuat
aturan,
dapat
mengkontribusikan informasi yang berguna kepada organisasi dalam mengefektifkan pengendalian, tetapi mereka tidak bertanggung jawab atas efektivitas pengendalian intern. Beberapa pihak yang bertanggung jawab dan peran mereka menurut Boynton et al (dalam Rajoe, P.A., Gania,G., Budi, I.S, 2003:376) adalah sebagai berikut :
22
•
Manajemen. Lingkungan pengendalian yang efektif dapat mengurangi kemungkinan kekeliruan atau kecurangan dalam suatu entitas. Manajemen senior yang membawahi unit-unit organisasi (divisi, dan lain-lain) harus bertanggung jawab untuk mengendalikan aktivitas dari unit mereka. Para pejabat teknologi informasi dan akuntansi serta keuangan memainkan suatu peran sentral dalam merancang, mengimplementasikan, dan memonitor sistem pelaporan keuangan entitas, mengembangkan anggaran dan rencana keseluruhan entitas, menelusuri dan menganalisis kinerja, serta mencegah dan mendeteksi pelaporan keuangan yang curang, semua yang merupakan bagian dari pengendalian intern.
•
Dewan direksi dan komite audit. Anggota dewan, sebagai bagian dari pengaturan umum dan tanggung jawab terhadap kekeliruan, harus
menentukan bahwa manajemen telah memenuhi tanggung jawabnya untuk menciptakan dan memelihara pengendalian intern. Komite audit (atau bila tidak ada, dewan direksi sendiri) harus waspada dalam mengidentifikasi keberadaan penolakan manajemen atas pengendalian atau pelaporan keuangan yang curang, dan segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk membatasi tindakan yang tidak sesuai oleh manajemen. •
Auditor internal. Auditor internal harus memeriksa dan mengevaluasi kecukupan pengendalian intern suatu entitas secara periodik dan membuat rekomendasi untuk perbaikan, tetapi mereka tidak memiliki tanggung jawab utama untuk menciptakan dan memelihara pengendalian intern.
•
Personel entitas lainnya. Peran dan tanggung jawab dari semua personel lain yang menyediakan informasi kepada, atau menggunakan informasi yang disediakan oleh, sistem yang mencakup pengendalian intern, harus memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengkomunikasikan masalah apapun yang tidak sesuai dengan pengendalian atau tindakan melawan hukum yang mereka temui kepada tingkat yang lebih tinggi dalam organisasi.
•
Auditor independen. Sebagai hasil dari prosedur audit laporan keuangan, seorang auditor eksternal mungkin akan menemukan kekurangan dalam pengendalian intern yang akan dikomunikasikan kepada manajemen, komite audit, atau dewan direksi, bersamaan dengan rekomendasi perbaikan. Hal ini diterapkan terutama pada pengendalian pelaporan keuangan, dan pada pengendalian ketaatan serta operasi dalam cakupan yang lebih sempit. Akan tetapi, karena studi auditor mengenai sistem pengendalian intern klien dalam audit laporan keuangan dilaksanakan terutama agar auditor dapat secara tepat merencanakan suatu audit, baik akan menyatakan suatu pendapat atau efektivitas pengendalian intern, maupun dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua, atau bahkan kelemahan yang paling signifikan dalam pengendalian internal.
•
Pihak eksternal lainnya. Pembuat aturan menetapkan persyaratan minimum untuk pengadaan pengendalian intern oleh entitas-entitas tertentu.
2.4 Pengertian Audit Pada dasarnya pemeriksaan bertujuan untuk menilai apakah pelaksanaan sudah selaras dengan apa yang telah ditetapkan. Untuk memberikan gambaran yang jelas maka peneliti mengemukakan beberapa pendapat tentang pengertian auditing. Dalam bukunya Boynton et al (dalam Rajoe, P.A., Gania,G., Budi, I.S, 2003:5) mendefinisikan auditing sebagai berikut :
23
“Auditing menurut Report of Committee on Basic Concepts of the American Accounting Association yaitu “suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan”. Menurut Arens et al yang diterjemahkan oleh Wibowo,H. (2008:4), “Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk melaporkan dan menentukan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen”. Dalam mengaudit dibutuhkan seseorang yang mampu bersikap independen. Seperti apa yang ditegaskan dalam pengertian auditing menurut Agoes (2008:3) Auditing merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai laporan keuangan tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan auditing adalah suatu proses pemeriksaan yang dilakukan oleh orang yang objektif dan independen terhadap
laporan
keuangan
untuk
memberikan
pendapat
yang
hasilnya
dikomunikasikan kepada pihak manejemen.
2.4.1 Pengertian Audit Internal Audit
internal
berkewajiban
untuk
menyediakan
informasi
tentang
kelengkapan dan keefektifan sistem pengendalian internal organisasi dan kualitas suatu pelaksanaan tanggung jawab yang ditugaskan. Adapun pengertian audit internal menurut Standards for the Professional Practice of Internal Auditing yaitu, Audit internal adalah aktivitas pemberian keyakinan obyektif yang independen dan aktivitas konsultasi yang dilakukan untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kinerja operasi organisasi. Aktivitas tersebut membantu organisasi 24
mencapai tujuannya dengan melaksanakan pendekatan yang sistematis dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas, manajemen resiko, kecukupan kontrol, dan proses tata kelola. Sawyer (2009:21) “Internal Auditing atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian independen dalam suatu fungsinya berorganisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan”. Tugiman (2006:11)
Menurut Agoes (2008:221) mengenai audit internal sebagai berikut : Audit internal adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa audit internal adalah aktivitas yang meberikan pelayanan kepada manajemen yang meliputi audit dan penilaian terhadap seluruh tingkat organisasi. Audit internal sebagai perantara untuk meningkatkan keefektifitasan dan keefesienan suatu organisasi dengan menyediakan wawasan dan rekomendasi berdasarkan analisis dan dugaan yang bersumber dari data dan proses usaha. Para auditor internal dikenal sebagai karyawan yang dibentuk untuk melakukan audit internal.
2.4.2 Tujuan, Fungsi, dan Tanggung Jawab Audit Internal Tujuan umum audit internal pada dasarnya adalah untuk memberikan pendapat secara professional dalam menguji dan mengevaluasi kecermatan dan keberhasilan dari struktur pengendalian manajemen yang digunakan perusahaan sehingga dapat mencapai tujuan perusahaan sesuai dengan rencana dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan perusahaan.
25
Tujuan
pemeriksaan
internal
menurut
Tugiman
(2006:11)
adalah
“pemeriksaan internal akan melakukan analisis, penilaian, dan mengajukan saransaran.Tugas pengawasan mencakup pula pengembangan pengawasan yang efektif dengan biaya yang wajar”. Menurut Suripto Samid (dalam Bismark, 2005:25) tujuan audit internal adalah sebagai berikut : Pada dasarnya audit internal membantu para manajer dalam mengembangkan tujuan dan sasaran perusahaan melalui sistem yang ditetapkan. Fungsi pokonya adalah memastikan apakah perencanaan sesuai dengan kenyataan dan apakah informasi yang digunakan relevan serta cermat. Demikian pula apakah pengendalian yang ada cocok dan menyatu dalam program serta pelaksanaannya. Jadi tujuan audit internal adalah sebagai berikut : • • • •
Untuk menilai pengendalian yang dilakukan oleh suatu organisasi. Untuk mencapai tujuan yang efektif, efisien, dan ekonomis. Untuk membantu anggota manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya yang efektif. Untuk membantu dalam merekomendasi dan memberi komentar yang objektif mengenai kegiatan yang telah di-review.
Standar Profesi Akuntan Publik dalam IAI memberikan pernyataan mengenai fungsi audit internal, sebagai berikut : Fungsi audit internal dapat terdiri dari satu atau lebih individu yang melaksanakan aktivitas audit intern dalam suatu entitas. Mereka secara teratur memberikan informasi tentang berfungsinya pengendalian intern, memfokuskan sebagian besar perhatian mereka pada evaluasi terhadap desain dan operasi pengendalian intern. Mereka mengkomunikasikan informasi tentang kekuatan dan kelemahan dan rekomendasi untuk memperbaiki pengendalian intern. Bismark (2005:25) Wewenang yang dimiliki oleh auditor internal dalam melakukan audit adalah kebebasan untuk me-review dan menilai kebijakan-kebijakan, rencana, prosedur, dan sistem yang telah ditetapkan. Wewenang yang diberikan harus bersumber dari manajemen dan disetujui oleh dewan direksi.
26
Adapun tanggung jawab audit internal menurut Komite Ikatan Akuntan Indonesia dalam Standar Profesional Akuntan Publik adalah sebagai berikut : Auditor internal bertanggung jawab untuk menyediakan jasa analisis dan evaluasi, memberikan keyakinan dan rekomendasi, dan informasi lain kepada manajemen entitas dan dewan komisaris, atau pihak lain yang setara wewenang dan tanggung jawabnya. Untuk memenuhi tanggung jawabnya tersebut, auditor intern mempertahankan objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya. Tanggung jawab penting fungsi audit intern adalah memantau kinerja pengendalian entitas. Bismark (2005:26)
Menurut Kaunang (2012:7) wewenang dan tanggung jawab auditor sebagai berikut : Berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan, auditor intern tidak memiliki wewenang langsung dalam suatu organisasi yang sedang di-review. Oleh karena itu, auditor intern harus bersikap bebas (independent) untuk me-review dan menilai kebijaksanaan, rencana-rencana, dan prosedur serta catatan-catatan yang ada, sehingga auditor yang melakukan penilaian dan review harus terbebas dari pekerjaan rutin dalam organisasi perusahaan sesuai dengan jabatan dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka. Atas dasar tujuan, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab auditor internal, dapat diketahui bahwa audit internal merupakan fungsi staf yang lepas dari fungsi administratif atau pencatatan dan fungsi keuangan. Oleh karena itu, auditor internal tidak mempunyai wewenang untuk memberi perintah langsung (line authority) pada pegawai-pegawai bidang operasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa audit internal hanya bertanggung jawab sebatas pada evaluasi yang dilakukannya, sedangkan tindakan koreksinya merupakan tugas dari manajemen.
2.4.3 Empat Elemen Utama Audit Internal Menurut Kaunang (2012:92) audit internal harus mempertimbangkan keterbukaan resiko yang berhubungan dengan struktur organisasi, operasi, dan sistem informasi yang berkaitan dengan beberapa hal berikut : 27
•
Akurasi dan Integritas Informasi Finansial dan Operasional Auditor Internal menilik kembali kebenaran dan integritas informasi tentang finansial dan operasional serta cara-cara untuk mengidentifikasi, mengukur, mengelompokkan, dan melaporkan informasi tersebut.
•
Efektifitas dan Efisiensi Tindakan Auditor Internal harus menilai dari sisi ekonomi dan efisiensi sumber daya yang dimanfaatkan. Juga, mereka harus menilai kembali tindakan-tindakan atau program-program yang dilakukan untuk memastikan kesesuaian hasilhasil tersebut dengan tujuan dan target yang telah ditentukan. Dan, memastikan apakah semua tindakan operasional sudah dijalankan sesuai dengan yang direncanakan.
•
Pengamanan Aset Auditor Internal harus memeriksa kembali sarana yang dipakai dalam memastikan dan memverifikasi keberadaan asset.
•
Memenuhi Hukum, Regulasi, dan Kontrak Auditor Internal harus menilai kembali sistem yang telah dibentuk untuk memastikan kesesuaian sistem tersebut dengan aturan, rencana, prosedur, hukum, regulasi, dan kontrak-kontrak penting yang mampu memberikan efek sigifikan terhdap operasi dan laporan.Juga, menentukan apakah organisasi tersebut memenuhi aturan atau tidak.
2.4.4 Efektivitas, Efisiensi, Ekonomis (3 E’s) Efektivitas adalah menyelesaikan sasaran yang dipilih setelah mempertimbangkan alternatif yang ada. Efisiensi adalah menyelesaikan sasaran dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan biaya yang serendah mungkin. Ekonomis adalah menghapuskan/menghindari pemborosan dan duplikasi pekerjaan. Kaunang (2012:71)
2.5 Metodologi Penelitian 2.5.1 Gambaran Umum Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis teoritis yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki dan mengkaji sistem pengendalian internal dalam berbagai aspek baik kelebihannya maupun kekurangannya yang diterapkan pada PT.Pegadaian 28
(Persero) dalam menjaga barang jaminan milik nasabah agar tidak rusak/cacat atau hilang. Pada hakekatnya penelitian sistem pengendalian internal dapat dipahami dengan mempelajari berbagai aspek yangmendorong si peneliti untuk melakukan penelitian tersebut. Peneliti memilih “Pegadaian Syariah Kramat Raya” untuk dijadikan objek penelitian dengan tujuan untuk menambah pengetahuan serta informasi yang terkait dengan sistem pengendalian internal pada layanan jasa Pegadaian Syariah. Penelitian ini merupakan suatu bentuk penyelidikan yang diharapkan mampu meningkatkan sejumlah pengetahuan atas suatu masalah yang terkait yang sekiranya memerlukan jawaban pasti. Oleh karena itu keinginan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan menjadi motivasi bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini.
2.5.2 Sumber dan Metode Pengumpulan Data Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data, disamping jenis data. Sumber data penelititan menurut Indriantoro, Supomo (2002:146) terdiri atas : sumber data primer, dan sumber data sekunder.
Data Sekunder (Secondary Data) Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
29
Data Primer (Primary Data) Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelititan. Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Peneliti dengan data primer dapat mengumpulkan data sesuai dengan yang diinginkan, karena data yang tidak relevan dengan tujuan penelitian dapat dieliminir atau setidaknya dikurangi. Ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data primer, yaitu : (1) metode survei, dan (2) metode observasi.
1. Metode Survei (Survey Method) Wawancara (Interview) Menurut Indriantoro, Supomo (2002:152) Wawancara merupakan : Wawancara adalah teknik pengumpulan data dalam metode survei yang menggunakan pertanyaan secara lisan kepada subyek penelitian. Teknik wawancara dilakukan jika peneliti memerlukan komunikasi atau hubungan dengan responden. Data yang dikumpulkan umumnya berupa masalah tertentu yang bersifat kompleks, sensitif atau kontroversial, sehingga kemungkinan jika dilakukan dengan teknik kuesioner akan kurang memperoleh tanggapan responden. Teknik wawancara dilakukan terutama untuk responden yang tidak dapat membaca menulis atau jenis pertanyaan yang memerlukan penjelasan dari pewawancara atau memerlukan penerjemahan. Hasil wawancara selanjutnya dicatat oleh pewawancara sebagai data penelitian. Teknik wawancara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : melalui tatap muka atau melalui telepon.
2. Metode Observasi (Observation Method) Dalam buku Indriantoro, Supomo (2002:161) selain metode survei, pengumpulan data primer dapat dilakukan dengan menggunakan metode observasi. Metode survei lebih menekankan pada tanggapan responden dalam bentuk respon verbal dan tertulis, sedangkan metode observasi lebih menekankan pada bentuk respon ekspresi. Metode observasi dapat diakukan secara langsung (observasi 30
langsung) atau dengan bantuan peralatan mekanik. Penerapan teknik observasi langsung dapat dilakukan dengan sepengetahuan subyek yang diamati (visible observation) atau tanpa sepengetahuan subyek penelitian (hidden observation).
3.Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research Method) Merupakan segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangankarangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Indriantoro, Supomo (2002:162)
31