BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Teori – Teori Dasar/Umum Dengan judul “Program Sosialisasi PT. Pertamina Pusat (Persero) dalam
Meningkatkan Pemahaman Internal Branding (Studi Kasus Sosialisasi di Makassar Pada Tahun 2011) maka penulis menggunakan teori-teori untuk membahas hal-hal tersebut, yakni di antaranya;
2.1.1
Public Relations Menurut Rex. F. Harlow dalam buku Cutlip, Center dan Broom Effective Public
Relations yakni Public Relations adalah “fungsi manajemen tertentu yang membantu membangun dan menjaga lini komunikasi, pemahaman bersama, penerimaan mutual dan kerjasama antara organisasi dan publiknya; PR melibatkan manajemen problem atau manajemen isu; PR membantu manajemen agar tetap responsif dan mendapat informasi terkini tentang opini publik; PR mendefinisikan dan menekankan tanggung jawab manajemen untuk melayani kepentingan publik; PR membantu manajemen tetap mengikuti perubahan dan memanfaatkan perubahan secara efektif, dan PR dalam hal ini adalah sebagai sistem peringatan dini untuk mengatisipasi arah perubahan (trends); dan PR menggunakan riset dan komunikasi yang sehat dan etis sebagai alat utamanya” (2009:5). Rhenald Khasali (1994:6) dalam buku Iriantara (2004:44) yang mengutip John R. Marston, menyebut public relations sebagai “komunikasi persuasif dan terencana yang 11
12
dirancang untuk mempengaruhi publik yang signifikan”. Publik yang signifikan tersebut adalah stakeholder lembaga. Definisi lain yang dikutip Khasali diambil dari Public Relations News yang menyatakan, “ public relations adalah fungsi manajemen yang melakukan evaluasi terhadap sikap-sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan prosedur seseorang/sebuah perusahaan terhadap publiknya, menyusun rencana serta menjalankan program-program komunikasi untuk
memperoleh pemahamamn dan
penerimaan publik”. Dari kedua definisi mengenai public relations tersebut dapat disimpulkan bahwa Public Relation memiliki fungsi yang berhubungan dengan memanajemen kepentingan antara suatu organisasi dan publik stakeholder-nya, hal ini bertujuan untuk membangun dan/atau mempertahankan citra positif organisasi terhadap publiknya. Sehingga menghasilkan suatu hubungan baru antara dan/atau tetap antara organisasi dan publiknya. Menurut Cutlip, Center, dan Broom yang diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S (2009: hal 6), unsur-unsur yang lazim dijumpai dalam banyak definisi PR menyatakan bahwa PR: 1. Melakukan program terencana dan berkesinambungan sebagai bagian dari manajemen organisasional. 2. Menangani hubungan antara organisasi dan publik stakeholder-nya. 3. Memonitor kesadaran, opini, sikap dan perilaku di dalam dan di luar organisasi. 4. Menganalisis dampak dari kebijakan, prosedur, dan aksi terhadap publik stakeholder.
13
5. Mengidentifikasi kebijakan, prosedur, dan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan publik dan kelangsungan hidup organisasi. 6. Memberi saran kepada manajemen dalam hal pembentukan kebijakan baru, prosedur baru, dan tindakan baru yang sama-sama bermanfaat bagi organisasi dan publik. 7. Membangun dan mempertahankan komunikasi dua arah antara organisasi dan publiknya. 8. Menciptakan perubahan yang terukur dalam kesadaran, opini, sikap dan perilaku di dalam dan di luar organisasi. 9. Menghasilkan hubungan yang baru dan/atau tetap antara organisasi dan publiknya. Menurut Machfoedz (2010:179) dalam perusahaan pada umumnya, PR berfungsi memberikan laporan kepada Chief Executive Officer (CEO). Pengendalian aktivitas PR dilakukan secara langsung dan bertujuan untuk menyampaikan informasi sesuai tentang entitas perusahaan dan untuk membangun itikad baik dengan stakeholder. Untuk tujuan tersebut PR dipandang sebagai aktivitas yang berbeda dan terpisah dari pemasaran. Kotler dan Mindak (1978) dalam buku Machfoedz (2010:179-180), mengemukakan lima cara yang dapat diaplikasikan oleh perusahaan untuk mengelola hubungan antara pemasaran dan PR. Berikut gambar yang melukiskan aplikasi yang diterangkan oleh kedua penulis tersebut.
14
Pemasaran
PR
Pemasaran
Model A
PR
Model B
PR Pemasaran Pemasaran-PR PR
Model C
Pemasaran
Model D
Model E
Gambar 2.1 Aplikasi perusahaan untuk mengelola hubungan antara pemasaran dan PR Sumber: Kotler dan Mindak (1978)
Penjelasan mengenai gambar-gambar diatas: a. Model A melukiskan pandangan konvesional tentang fungsi PR dan pemasaran dalam sebuah perushaan. Keduanya terpisah dan sama sekali tidak berhubungan. Pemasaran bekerja untuk meningkatkan kemampulabaan perusahaan, sedangkan PR berfungsi meningkatkan itikad baik. b. Model B, fungsi pemasaran dan PR masih dipahami mempunyai tingkat signifikan yang sama, tetapi ada bagian yang tumpang tindih, di mana kedua fungsi dapat membantu pengembangan tujuan perusahaan. Terutama keduanya dapat membantu dalam positioning produk. Dengan pengembangan kredibilitas
15
dan daya tarik produk, PR dapat membantu meningkatkan posisi kompetitif dan kemampulabaan produk. c. Model C, PR berposisi sebagai salah satu di antara berbagai fungsi dalam bagian pemasaran. Dalam model ini PR ditunjukkan sebagai alat bantu seluruh upaya pemasaran, dengan menciptakan lingkungan
yang memudahkan
perusahaan untuk memasarkan produk. d. Model D diilustrasikan bahwa PR menciptakan lingkungan perusahaan yang memungkinkan tercapainya keberhasilan perusahaan. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perusahaan bertujuan memberikan kepuasan kepada berbagai stakeholder sementara konsumen adalah salah satu di antaranya dan tujuan pemasaran adalah memenuhi kebutuhan mereka. Karena itu, pemasaran harus dikendalikan oleh PR agar itikad baikterhadap semua stakeholder tetap terjaga. e. Model E menggambarkan fungsi PR dan pemasaran sama dalam tujuan dan prinsip yang menjadi dasar keduanya. Keduanya memahami arti segmentasi pasar dan memberikan kepuasan yang berbeda. Setiap fungsi memerlukan dukungan PR dan pemasaran dalam memahami sikap, persepsi, dan kesadaran yang terdapat pada setiap pasar atau stakeholder. Dengan demikian konflik internal pun dapat dikurangi secara efektif sehingga memudahkan penyampaian informasi kepada semua stakeholder secara terkoordinir, positif dan konsisten. Wasesa dan Macnamara (2010: 128-129), kalau aktifitas PR kita pilah menjadi dua bagian, yaitu fungsi internal dan aktifitas eksternal, maka akan berbentuk tabel seperti dibawah ini:
16
Tabel 2.1 Perbedaan Fungsi Internal dan Eksternal PR Internal
Eksternal
1. Mengkomunikasikan kebijakan direksi 1. Mensosialisasikan dan manajemen kepada karyawan. 2. Menjelaskan
perubahan
memahami
dasar
jaringan
hasil
komunikasi
dasar
Pemegang Saham. pemasaran
4. Membantu proses restrukturisasi, mulai 5. Mensosialisasikan sosialisasi
kebijakan
hingga
untuk
pengembangan
buruk restrukturisasi. 5. Membantu peningkatan rasa memilik
yang
bentu
tanggung
program-program masyarakat, jawab
sebagi
perusahaan
kepada publik.
karyawan terhadap perusahaan. terciptanya
prestasi
dicapai oleh perusahaan.
pelatihan untuk mengurangi dampak 6. Mengembangkan
budaya 7. Menyiapkan sarana bagi publik untuk
perusahaan yang sesuai dengan visi organisasi.
dan
hasil
menciptakan citra produk.
dan direksi.
6. Membantu
Umum
diadakannya Rapat Umum Luar Biasa
interktif antara karyawan, manajemen, 4. Membantu
dari
Rapat
Pemegang Saham.
pengambilan 3. Menjelaskan
keputusan yang diambil. 3. Membangun
perusahaan kepada publik.
kebijakan 2. Menjelaskan
direksi dan manajemen agar karyawan
kebijakan
melihat perusahaan secra langsung. 8. Menyiapkan sarana bagi pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk melihat kinerja perusahaan.
Dari kedua pendapat mengenai fungsi Humas/Public Relations tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa PR memiliki fungsi yang terbagi atas dua hal yaitu kegiatan organisasi/perusahaan pada internal dan eksternal. Kegiatan tersebut mencakup hal-hal yang memiliki tujuan untuk membangun citra positif perusahaan, selain itu membuat
17
program-program untuk kepentingan menciptakan relasi yang berkaitan dengan perusahaan untuk mendukung pembangunan citra positif yang sedang dilakukan oleh pihak perusahaan Sedangkan menurut Public Relations Society of America (PRSA) dalam buku Cutlip, Center dan Broom (2009:hal 7) sebagai sebuah fungsi manajemen, PR mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Memperkirakan, menganalisis, dan menginterpretasikan opini dan sikap publik, dan isu-isu yang mungkin memenuhi operasi dan rencana organisasi, baik itu pengaruh buruk maupun pengaruh baik. b. Memberi saran kepada manajemen disemua level di dalam organisasi sehubungan dengan pembuatan keputusan, jalannya tindakan dan komunikasi, dan mempertimbangkan ramifikasi publik dengan tanggung jawan sosial atau kewarganegaraan organisasi. c. Meriset, melaksanakan dan mengevaluasi secara rutin program-program aksi dan komunikasi untuk mendapatkan pemahaman publik yang dibutuhkan untuk kesuksesan tujuan organisasi. Ini mungkin mencakup program marketing, finansial, pengumpulan dana, karyawan, komunitas atau hubungan pemerintah, dan program-program lain. d. Merencanakan dan mengimplementasikan usaha organisasi untuk memengaruhi atau mengubah kebijakan publik. e. Menentukan tujuan, rencana, anggaran, rekrutmen dan training staf, mengembangkan fasilitas-ringkasnya, mengelola sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan semua hal tersebut di atas.
18
f. Contoh-contoh ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam praktik PR professional adalah seni komunikasi, psikologi sosial, sosiologi, ilmu politik, ekonomi, dan prinsip manajemen dan etika. Pengetahuan teknis dan keahlian teknik dibutuhkan untuk riset opini, analisis isu publik, relasi media, direct email, publikasi advertising institutisonal, produksi film/video, acara special, pidato, dan presentasi. Berdasarkan pernyataan di atas dalam hal fungsi manajemen, menurut Iriantara (2004:45) menyebutkan tugas public relations yang secara rinci yakni tugas-tugas tersebut adalah: a. Memberi saran kepada manajemen tentang semua perkembangan internal dan eksternal yang mungkin mempengaruhi hubungan organisasi dengan publik-publiknya; b. Meneliti dan menafsirkan untuk kepentingan organisasi, sikap publikpublik utama pada saat ini atau antisipasi sikap publik-publik pokok terhadap organisasi; c. Bekerja sebagai penghubung (liaison) antara manajemen dan publikpubliknya; dan d. Memberi laporan berkala kepada manajemen tentang semua kegiatan yang mempengaruhi hubungan publik dan organisasi. Menurut Iriantara (2004:53) mengenai proses dalam kegiatan public relations merupakan proses yang berkelanjutan. Bukan sebuah proses yang terhenti begitu satu kegiatan diselesaikan atau satu objektif terselesaikan. Proses yang berkesinambungan tersebut akan terus berlangsung selama organisasi yang kegiatan public relations sebagai
19
fungsi manajemen terus bertahan. Proses tersebut perlu terus berjalan, mengingat lingkungan organisasi pun bergerak secara dinamis, sehingga organisasi perlu menanggapi dinamika itu. Mengenai public relations yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa seorang public relations dalam menjalankan tugas harus dapat memaksimalkannya dengan melihat apa saja yang menjadi komponen-komponen dari fungsi manajemen dan dapat mengikuti alur dari segala hal yang berkaitan dengan perusahaan atau dapat disebut juga mampu bergerak dengan dinamis dalam menanggapi segala persoalan.
2.1.2
Strategi Public Relations Menurut Stephen P. Robbins dalam buku Cutlip, Center dan Broom (2009:353)
mengenai definisi strategi yang memuat esensi pemikiran strategis dan ekspetasi manajemen adalah strategi dapat didefinisikan sebagai penentuan tujuan dan sasaran usaha jangka panjang, dan adopsi upaya pelaksanaan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam buku Iriantara (2004:12) mengenai definisi dari strategi oleh Steiner dan Meiner menyatakan bahwa strategi mengacu pada “formulasi misi, tujuan dan objektif dasar organisasi; strategi-strategi program dan kebijaksanaan untuk mencapainya; dan metode yang diperlukan untuk memastikan bahwa strategi diimplementasikan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi”, sedangkan strategi oleh Porter (ibid) diartikan sebagai “formula-berbasis luas mengenai cara bisnis bersaing; tujuan apa yang ingin dicapai, dan kebijakan apa yang di perlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hakikat perumusan
strategi
yang
kompetitif
adalah
mengaitkan
organisasi
dengan
20
lingkungannya”. Berikut model unsur-unsur manajemen strategis yang dibuat oleh Robson dalam buku Iriantara (2004:13):
Memahami situasi strategis Analisis strategi Sering Disebut Taktik
Formulasi Strategi Pilihan Strategis
Implementasi Strategi
Gambar 2.2 Model Unsur-Unsur Manajemen Strategis Sumber: Iriantara (2004:13)
Setelah mengetahui apa itu definisi dari Public Relations dan strategi, selanjutnya akan dibahas mengenai definisi strategi public relations itu sendiri. Pengertian strategi public relations (Ruslan, 2008:134) adalah “alternatif optimal yang dipilih untuk ditempuh guna mencapai tujuan public relations dalam kerangka suatu rencana public relations (public relations plan).” Cutlip, Center dan Broom (2009:356) perencanaan strategis dalam PR melibatkan pembuatan keputusan tentang tujuan dan sasaran program, mengidentifikasi publik kunci, menentukan kebijakan atau aturan untuk memandu pemilihan strategi, dan menentukan strategi. Harus ada kaitan erat antara tujuan program keseluruhan, sasaran yang ditentukan untuk masing-masing publik, dan strategi yang dipilih. Poin utamanya
21
adalah bahwa strategi dipilih untuk mencapai hasil tertentu (sebagaimana dinyatakan dalam tujuan atau sasaran). Dari pengertian mengenai strategi public relations tersebut, PR juga harus dapat membuat analisis dan menyiapkan strategi bagaimana isu yang akan dimunculkan mampu menggeser isu-isu lain yang sudah lebih dulu muncul di media massa. Menurut Hendrix (2001) dalam buku Silih Agung Wasesa (2010:167-168), PR harus mempersiapkan beberapa hal agar program yang dibuat, berkaitan dengan pemerintah ataupun dewan legislatif, dapat segera terwujud: 1. Reputation Audit Reputation Audit adalah bagaimana kita melihat dari banyak aspek mengenai keberadaan organisasi kita, baik dalam hal keuangan, sumber daya manusia dan juga hubungan yang pernah terjalin dengan pemerintah maupun lembaga perwakilan rakyat. PR harus dengan saksama memperhatikan hubungan dengan pemerintah, dewan dan komunitas tempat perusahaannya berkembang, baik hubungan masa lalu, hubungan masa sekarang, dan prediksi hubungan yang akan datang. Dari pola hubungan tersebut, PR melakukan analisis saksama mengenai kekuatan dan kelemahan dari pola yang pernah ada, terutama bagaimana komunikasi yang paling menguntungkan untuk membina hubungan yang baik dengan mereka. 2. Issues management Berbeda dari reputation audit yang melihat sisi internal organisasi, manajemen isu menitikberatkan analisis pada kondisi eksternal dalam memahami sebuah isu
22
yang berkembang. Proses ini meliputi analisis resiko politik, monitor situasi sosial dan kecenderungan arah isu politik yang berkembang baik dalam tingkat lokal, nasional ataupun internasional. 3. Audience Research Pada proses penelitian audiensi, selain tetap memperhatikan metode penelitian, juga harus dipahami bahwa government relation setidaknya harus meneliti 3 audiensi mereka, yaitu: a. Komunitas publik. b. Pemerintah. c. Anciliary Public yaitu kelompok publik terdekat yang terdiri atas perusahaan, anggota dewan, dan media massa yang mampu menjangkau keberadaan publik. Setelah ketiga langkah tadi diseleraskan dalam sebuah data yang komprehensif terkait denan rencana persiapan penyebaran isu ataupun informasi, maka data tersebut akan menjadi dasar atau pijakan bagi PR untuk menyiapkan rencana strategis pengembangan isu dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.1.3
Citra dan Identitas Merek Sulit jika sebuah subfungsi diklasifikasikan secara terpisah. Identitas, citra dan
reputasi adalah suatu strategi dari sebuah perusahaan yang merupakan bagian terpenting dari fungsi korporat manapun. Strategi-strategi tersebut memiliki perbedaan dan bentukbentuk operasi pada korporatnya.
23
Menurut Argenti yang dialihbahasakan oleh Putri Aila Idris (2010: hal 93), citra dari sebuah perusahaan adalah fungsi dari bagaimana konstituen melihat organisasi tersebut berdasar atas semua pesan yang organisasi itu sampaikan melalui nama dan logo dan melalui presentasi diri, termasuk ekspresi-ekspresi dari visi korporatnya. Citra adalah sebuah cerminan dari identitas sebuah organisasi. Dengan kata lain, citra adalah organisasi sebagaimana terlihat dari sudut pandang konstituennya. Tergantung pada konstituen mana yang terlibat, sebuah organisasi dapat memiliki banyak citra yang berbeda. Dengan begitu, untuk mengerti identitas dan sama dengan mengetahui seperti apa organisasi itu sebenarnya dan ke mana ia menuju.(Argenti, 2010:78) Dengan definisi tersebut, citra memiliki hubungan erat dengan brand atau identitas suatu perusahaan. Apabila perusahaan tersebut memiliki pencitraan yang baik maka tidak mungkin identitas perusahaan tersebut buruk. Akan tetapi, semua hal itu di tinjau kembali dari bagaimana dan posisi apa konstituen itu memandang. Dimensi pencitraan yang dikembangkan Silih Agung Wasesa dan Jim Macnamara (2010: 21) dalam buku Strategi Public Relations yaitu:
24
Gambar 2.3 Dimensi Pencitraan Sumber: Wasesa dan Macnamara, 2010:21
Dimensi pencitraan di atas dikembangkan sesuai kebutuhan pencitraan di Indonesia oleh penulis dengan mensinergikan konsep dasar yang dikembangkan oleh Kapferer (1992) mngenai dimensi merek, Seitel (1992) tentang backbone PR, dan Daryl Travis (2000) mngenai elemen-elemen kunci pengembangan merek. Kalau melihat dari akurasi dimensi pencitraan di atas, akan terlihat pada titiktitik mana peran pencitraan bisa diperankan oleh PR. Salah satu dari dimensi pencitraan tersebut yakni mengenai kategori ruang (space category), di mana kategori tersebut membagi aktivitas pencitraan organisasi, menjadi 2, yaitu bagian internal dan eksternal sebagai berikut:
25
a. Internal adalah kategori yang berkaitan dengan aktivitas pencitraan yang disebabkan oleh bagian internal organisasi. Adapun dimensi kategori internal terdiri atas Organisasi, Budaya dan Citra Perseorangan. b. Eksternal adalah kategori yang berkaitan dengan aktivitas eksternal organisasi dan memiliki kedekatan pengaruh terhadap model pencitraan. Kategori inilah yang selama ini diperankan oleh PR secara maksimal. Skema ini meliputi Fisik, Relationship, dan Refleksi. Menurut Argenti (2010:78) mengenai definisi identitas, identitas sebuah perusahaan adalah manifestasi aktual dari realita perusahaan seperti yang disampaikan melalui nama perusahaan, logo, moto, produk, layanan, bangunan, alat-alat tulis, seragam, dan barang-barang bukti nyata yang diciptakan oleh organisasi tersebut dan dikomunikasikan kepada beragam konstituen.
2.2
Teori-Teori Khusus yang berhubungan dengan Topik yang Dibahas Berikut adalah teori-teori khusus yang berhubungan dengan teori yang dibahas
adalah mengenai strategi komunikasi public relations yang penulis gunakan untuk menganalisis pembangunan identitas merek perusahaan. Strategi tersebut meliputi strategi branding, komunikasi internal organisasi atau internal branding dan sosialisasinya. 2.2.1
Strategi Branding Brand bagi sebuah perusahaan itu dapat dikatakan sebagai nama. Nama disini
fungsinya begitu penting yaitu sebagai pembeda dengan para pesaingnya, seperti pernyataan dari William Shakespare yang mengatakan bahwa apalah arti sebuah nama
26
tidak relevan jika diterapkan dalam dunia bisnis. Oleh sebab itu, perusahaan memberikan nama berupa merek (brand) pada setiap produk yang dihasilkannya agar konsumen mudah untuk mengenal produk-produk tersebut. Merek adalah sebuah janji kepada konsumen bahwa dengan hanya menyebut namanya, timbul harapan bahwa merek tersebut akan memberikan kualitas terbaik, kenyamanan, status dan lain-lain yang menjadi pertimbangan konsumen ketika melakukan pembelian (Chevron dalam Shimp, 2003:8) Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa merek tidak hanya dipandang sebagai pembeda, akan tetapi pada merek yang telah memiliki positioning baik di pelanggannya, merek akan memberikan implikasi pada kepuasan konsumen dan keuntungan pada perusahaan. Oleh karena itu pemberian nama untuk merek tidaklah sembarangan. Jika merek dapat bertahan lama berarti merek tersebut memiliki jati diri yang lahir dari keyakinan internalnya. Membangun merek dengan keyakinan berarti menemukan keyakinan internal yang dianggap benar dan dijadikan sebagai kekuatan pendorong positif yang mampu merefleksikan nilai-nilai perusahaan di pasar. Pertanyaannya, mengapa harus keyakinan internal? Karena hanya itulah satu-satunya yang paling dikenali dan dimengerti oleh perusahaan serta merupakan kekuatan yang melekat pada diri perusahaan sejak awal. Sayangnya keyakinan ini sering terabaikan karena sifatnya yang abstrak (sadat, 2009:8). Keyakinan tersebut menjadikan merek serta perusahaannya tetap bertahan walaupun mendapat hal-hal yang merugikan dari para kompetitor. Hal-hal tersebut membuat merek atau perusahaan menjadi siap dan memiliki kekuatan dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, seluruh elemen internal
27
perusahaan harus memiliki keyakinan tersebut, agar menjadi suatu kekuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan perusahan. Selain itu, karena sifat dari keyakinan itu abstrak, maka keyakinan juga dapat menjadi sesuatu yang paling susah untuk diimitasi oleh para kompetitor. Keyakinan merek dapat berasal dari berbagai sumber (Sadat, 2009:35-36), sebagai berikut: a. Pendiri (founding person) Keyakinan merek diperoleh dari orang yang pertama kali menciptakan dan mengembangkannya. b. Sejarah merek Sejarah munculnya merek banyak diwarnai oleh keyakinan-keyakina yang ada di sekelilingnya. Nilai-nilai yang diserap di masa lalu dan terbukti dapat berfungsi dengan baik akan di anggap sebagai kebenaran. c. Evolusi merek Perjalanan panjang merek dalam mengarungi samudera pasar dan persaingan juga merupakan sumber keyakinan.
2.2.2
Internal Branding Komunikasi dua arah yang membahas strategi dan pengarahan itu penting
dilakukan karena untuk melancarkan proses internalisasi brand. Argenti (2009:211), melalui komunikasi internal di abad XXI itu lebih daripada sekedar memo, publikasi, dan siaran yang mencakupnya. Ini tentang membangun sebuah budaya korporat
28
berdasarkan pada nilai-nilai dan memiliki potensi untuk mengarahkan perubahan organisasional. Menurut Ditta Amahorseya, Corporate Affairs Head Citibank Indonesia, dalam buku Silih Agung Wasesa (2009:243), pekerjaan PR yang paling awal adalah menyakinkan manajemen bahwa yang diusulkan akan berguna untuk menunjang aktivitas perusahaan. PR harus mampu meyakinkan manajemen agar mau “membeli” program tersebut. Kalau pada tahap awal ini gagal maka akan sulit bagi praktisi PR untuk bekerja lebih lanjut secara optimal. Syarat sebuah program PR harus dibeli oleh manajemen menjadi mutlak perlu karena aktivitas PR, sekecil apapun, harus dilakukan dengan restu dari manajemen. Manajemen harus yakin pada awalnya sehingga mereka akan melakukan back up secara penuh pada titik berikutnya. Setiap aktivitas PR harus mendapatkan dukungan dari berbagai aspek dari para karyawan. Hal ini dapat dikatakan sebagai terjemahan bahwa setiap karyawan adalah PR dari perusahaan. Citra internal yang baik dengan sendirinya akan menghemat biaya pengembangan sumber daya manusia, setidaknya biaya pengembangan sumber daya manusia menjadi lebih optimal. Hal ini disebabkan oleh loyalitas dari para karyawan yang menunjukan peningkatan sehingga biaya untuk pengembangan SDM dapat diarahkan pada peningkatan kualitas pada SDM yang sudah ada, di bandingkan untuk melatih SDM-SDM yang masih baru. Dalam fungsinya pada internal perusahaan, peran PR juga mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Meningkatnya persaingan antar perusahaan yang pastinya membutuhkan tenaga kerja yang andal agar dapat bersaing dan mahalnya biaya untuk melatih tenaga kerja baru tersebut, menuntut perusahaan untuk menggunakan PR
29
dalam hal membina loyalitas dari para karyawan. Cutlip, Center dan Broom (2009:254) mengatakan bahwa hubungan terpenting dalam organisasi adalah hubungannya dengan karyawan di semua level. Istilah publik internal dan publik karyawan mengacu pada baik itu manajer maupun orang-orang yang menjadi bawahannya. Publik ini merupakan sumber daya terbesar dari organisasi—orang-orangnya. Menurut Alvie Smith, mantan direktur komunikasi korporat General Motors dalam buku Cutlip, Center dan Broom (2009:254), faktor yang mempengaruhi komunikasi internal dengan karyawan dan menambah rasa hormat manajemen terhadap salah satu dari fungsi PR ini: 1. Manfaat dari pemahaman, teamwork, dan komitmen karyawan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Aspek positif dari perilaku karyawan ini sangat di pengaruhi oleh komunikasi interaktif yang efektif di seluruh organisasi. 2. Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi manajer yang kuat, yang membuat setiap supervisor di semua level dapat melakukan komunikasi secra efektif dengan karyawannya. Kebutuhan itu lebih dari sekadar menciptakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan tetapi juga harus memuat informasi bisnis dan isu publik yang memengaruhi organisasi secara keseluruhan. Dalam buku Cutlip, Center dan Broom (2009:255-256), Opinion Research Corporation sejak 1950 telah meneliti opini karyawan tentang komunikasi internal organisasi. Sebagian besar mengakui kredibilitas organisasi, tetapi kurang dari separuh yang mengatakan bahwa organisasi “memberi tahu mereka apa yang sedang terjadi,” atau komunikasi ke bawah (manajemen ke karyawan). Juga hanya kurang dari separuh
30
yang mengatakan bahwa organisasi mau “mendengar pendapat mereka, “ atau komunikasi ke atas (karyawan ke manajemen). Akan tetapi, sebagai bagian dari fungsi PR yang lebih luas, tujuan hubungan internal adalah membangun dan mempertahankan hubungan yang sama-sama bermanfaat antara organisai dan karyawan, di mana kesuksesan atau kegagalan organisasi akan tergantung kepada karyawan (Cutlip, Center dan Broom:257). Branding internal juga penting untuk membangun semangat dan menciptakan sebuah tempat kerja di mana karyawan “terlibat” dengan pekerjaan mereka. Collin Mitchell dalam buku Argenti (2010:226-227) menyatakan walaupun para komunikator sudah menginformasikan karyawan mengenai kampanye-kampanye iklan yang baru, mereka jarang menyadari kebutuhan untuk “menjual” karyawan atas ide-ide yang sama yang mereka coba jual kepada publik. Branding internal penting khususnya ketika sebuah organisasi sedang melakukan perubahan-perubahan seperti sebuah merger atau perubahan di dalam kepemimpinan. Kampanye-kampanye branding internal juga dapat diluncurkan ketika hasil-hasil audit internal mengungkapkan bahwa karyawan sedang tidak berhubungan dengan sebuah visi perusahaan atau ketika semangat mereka sedang turun (Argenti, 2010: hal.227). Bahkan ketika karyawan mengerti janji merek perusahaan atau penyampaian konsumen utama, sebelum mereka memercayainya, mereka tidak akan dapat benarbenar membantu perusahaan membawa hal itu keluar. Seperti kampanye branding eksternal bertujuan untuk menciptakan ikatan emosional di antara konsumen kepada perusahaan anda, tujuan branding internal adalah untuk melakukan hal yang sama kepada karyawan (Argenti, 2010: hal 228).
31
2.2.3
Sosialisasi
Setelah mengetahui definisi dari strategi branding dan bagaimana cara peningkatan pemahaman karyawan terhadap internal branding-nya, kedua hal tersebut juga tidak luput dari proses sosialisasi yang berjalan pada perusahaan. Setiap perusahaan memiliki cara-cara sosialisasi yang berbeda, hal tersebut dilakukan berdasarkan dari program apa yang ingin dijalankan oleh perusahaan. Ardts, Jansen dan van der Velde dalam The Journal of Management Development , 2001 (last update 2010), The breaking in of new employees: effectiveness of socialization tactics and personnel instrument ,“the studies into organisation socialization can be divided into: the process, the content and the outcome of socialization, the socialization behavior of the newcomer, the abstract tactics which allow the organisation to steer socialization, and the concrete socialization practices and instruments that an organisation
applies”.
(http://search.proquest.com/docview/216353002/1367939DE147E9E365B/1?accountid= 31532). Pada pernyataan tersebut berarti bahwa sosialisasi tidak hanya ada satu macam, akan tetapi dibagi menjadi beberapa bagian. Beberapa bagian tersebut harus di sesuaikan dengan instrumen yang berlaku di organisasi yang bersangkutan. Sosialisasi
juga
merupakan
suatu
rangkaian
proses
yang
saling
berkesinambungan. Socialization can be viewed as a learning process that consists of a number of phases (Feldman, 1976; Schein, 1978; Wanous, 1992). In general, three phases can be distinguished: an anticipatory phase, an encounter phase, and an acquisition phase. In the first phase, through school, family, and friends a person will be prepared for work and he or she will make a choice for a specific job and/or
32
organisation. In the second phase, the newcomer will actually get in touch with the new organisation for the first time. In this phase, the initial expectations will be tested against the reality and a tentative adjustment in attitude and behaviour will take place. Commencing in the third stage is a more long-term adjustment in tasks, roles, values and norms of the group and the organisation. (Ardts, Jansen dan van der Velde dalam The
Journal
of
Management
Development)
(http://search.proquest.com/docview/216353002/1367939DE147E9E365B/1?accountid= 31532). Dari pengertian tersebut dapat diketahui beberapa tahap atau fase penyesuaian yang dapat dilakukan dengan tujuan agar proses sosialisasi lebih terarah dan tepat sasaran.
33
2.3
Kerangka Pikir
PT. PERTAMINA PUSAT
Strategi Branding PR
F e e d b a c k
Peningkatan Internal Branding
Program Sosialisasi Internal
Karyawan Paham
Karyawan tidak paham
Hasil
Gambar 2.4 Analisis Strategi Branding dan Internal branding dalam peningkatan pemahaman karyawan perusahaan.
Sumber: Penulis
34
Penjelasan mengenai kerangka pikir diatas; Bahwa permasalahan pada PT. Pertamina Pusat mengenai bagaimana pemahaman mengenai internal branding oleh para karyawan perusahaan. Segala bentuk brand dari PT. Pertamina yakni
logo dan tagline PT. Pertamina seringkali tidak
dimengerti arti dan maknanya oleh para karyawan perusahaan tersebut. Padahal proses internal branding merupakan salah satu strategi untuk mendukung proses pemasaran produk-produk yang ada pada perusahaan, jika karyawan mengerti betul mengenai bagaimana perusahaannya, maka publik akan menganggap perusahaan memiliki nilai tambah dan publik sebagai konsumen akan loyal terhadap segala bentuk produk dari perusahaan. Pada kerangka pikir di atas mengenai peningkatan internalisasi brand kepada para karyawan dilakukan dalam bentuk mengadakan program sosialisasi Corporate Brand Book dan Corporate Brand Guidelines. Di dalam buku tersebut terdapat penjelasan mengenai segala bentuk brand Pertamina dan cara-cara penempatan logo yang tepat. Sosialisasi tersebut telah dilakukan di Makassar pada tahun 2011 lalu dan penulis mendapatkan data stastistik mengenai hasil dari sosialisasi tersebut serta penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu karyawan Pertamina yang berada di Makassar sebagai penerima manfaat dari sosialisasi. Hal ini dilakukan agar penulis mendapatkan hasil penelitian dengan data yang dapat dibuktikan kebenarannya.