BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Peremajaan (Redevelopment) Peremajaan berdasarkan Panduan Pelaksanaan Peremajaan Pemukiman Perkotaan yang disusun oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (2007) yaitu sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kualitas melalui kegiatan perombakan dengan perubahan yang mendasar dan penataan yang menyeluruh terhadap kawasan hunian yang tidak layak huni tersebut. Menurut Danang Priatmodjo dalam Wisnu (2012), redevelopment atau pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari, atau seluruh unsur-unsur lama dari kawasan kota tersebut dengan unsur-unsur kota yang lebih baru dengan tujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas lingkungan kawasan tersebut. Merupakan upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dahulu melakukan pembongkaran sarana dan prasarana dari sebagian atau seluruh kawasan kota tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya. Tujuan peremajaan tersebut dimaksudkan agar wilayah yang diremajakan tersebut dapat menyumbang kontribusi yang lebih positif kepada kehidupan kota baik dilihat dari segi ekonomi, sosial budaya, fisik, dan bahkan segi politik. Upaya peremajaan umumnya selalu mengambil tempat pada kawasan yang dianggap memiliki potensi ekonomi yang paling besar untuk dikembangkan. 2.2 Jenis Alternatif Peremajaan (Redevelopment) Best Practice yang disadur dari Book of CODI update dengan tema Community
Upgrading Projects
yang dipublikasikan
oleh Community
Organizations Development Institute, Thailand Edisi Maret 2008 Nomor 5 halaman 10 dalam Elly Nova (2010). Di pemerintah negara berkembang seperti di Thailand tersebut yang telah mencanangkan Slum Upgrading dengan berbagai alternatif yang telah di laksanakan di negara tersebut. Beberapa alternatif penanganan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan di Negara Thailand tersebut, yaitu : 5
6 a. On-site Upgrading, yaitu penataan kembali atau peremajaan permukiman kumuh tanpa memindah lokasikan tempat tinggal yang terdapat dipermukiman tersebut, seperti pembangunan dan perbaikan tempat tinggal, lingkungan permukiman, jalan lingkungan dan ruang terbukanya. Dan proses ini melibatkan masyarakatnya secara langsung. b. On-site Reblocking, yaitu penataan kembali atau peremajaan permukiman kumuh dengan mengubah pola permukiman dari tidak teratur menjadi teratur dengan blok-blok perumahan. Upaya ini untuk menata perumahan yang tidak teratur dan membangun jalan utama, jalan lingkungan, saluran drainase, jaringan listrik dan jaringan air bersih. Namun dalam menata permukiman ini ada beberapa hunian yang harus dipugar dan dibangun kembali untuk membentuk suatu blok perumahan di lokasi yang sama. c. On-site Reconstruction, yaitu mengubah total permukiman yang tidak teratur dengan membongkar dan membangun kembali permukiman yang sama di lokasi yang sama. Tahapan pertama adalah persetujuan masyarakat di permukiman kumuh tersebut untuk dilakukan pemugaran dan pembangunan kembali serta dana yang dialokasikan untuk pemugaran dan pembangunan tersebut sudah harus ada. d. Land sharing, yaitu mengubah total dalam lingkup kawasan permukiman yang tidak teratur dengan memugar seluruhnya dan membangun kembali dengan membagi fungsi kawasan tersebut menjadi kawasan permukiman yang tertata dan kawasan komersial di lokasi yang sama. Hal ini ditinjau dari aktivitas dipermukiman tersebut berupa rumah-rumah tinggal, pertokoan ataupun perkantoran. e. Nearby or not-so-nearby Relocation, yaitu merelokasi sebuah kawasan permukiman kumuh ke lokasi yang baru, baik lokasi itu dekat atau jauh dari lokasi yang lama. Ini disebabkan karena tidak sesuai dengan tata guna lahan, dan terkait dengan kepemilikan lahan.
7 2.3 Permukiman Menurut UU No 4 Tahun 1992 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan,yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan. Menurut Soedarsono dalam Zaini Musthofa (2011) memberikan beberapa konsep permukiman sebagai berikut: a. Permukiman adalah suatu kawasan perumahan lengkap dengan sarana umum dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan, kepentingan dan kesadaran serta pemanfaatan sebagai lingkungan kehidupan. b. Permukiman memberikan ruang gerak, sumber tenaga dan pelayanan bagi peningkatan mutu kehidupan suatu kecerdasan warga penghuni, yang berfungsi sebagai ajang kegiatan sosial, budaya dan ekonomi. c. Permukiman adalah penataan kawasan yang dibuat oleh manusia untuk kepentingannya, yang merupakan hasil kegiatan manusia, dengan tujuan untuk bertahan hidup sebagai manusia agar hidup lebih mudah dan lebih baik, memberi rasa aman dan bahagia, dan mengandung kesempatan untuk pembangunan manusia seutuhnya. 2.4 Permukiman Kumuh Diana Puspitasari dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim) Kota Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya dan tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung membahayakan bagi penghuninya. Menurut Diana, ciri permukiman kumuh merupakan permukiman dengan tingkat hunian dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas rumah yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah. Menurut UU No. 4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata
8 ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya. Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof.DR. Parsudi Suparlan adalah : 1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai. 2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin 3. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. 4. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil. Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut: 1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan. 2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki: a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2 b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/ha. c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan). d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun < 20% dari luas persampahan. e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal.
9 f. Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan. g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya. 2.5 Karakteristik Permukiman Kumuh 2.5.1 Karakteristik Fisik Beberapa kriteria permukiman kumuh menurut Yudohusodo dalam Ridlo (2009), yaitu : a. Bentuk hunian tidak berstruktur b. Bentuk hunian tidak berpola dengan letak rumah dan jalan-jalannya tidak beraturan c. Tidak tersedianya fasilitas umum d. Tidak tersedia fasilitas, sarana dan prasarana permukiman dengan baik, misalnya tidak ada got, sarana air bersih dan jalan yang buruk. Kriteria-kriteria tersebut merupakan kriteria yang ditinjau dari kondisi permukiman kumuh pada umumnya. Permukiman kumuh merupakan permukiman yang tidak memiliki perencanaan sehingga tidak tertata, umumnya permukiman kumuh memiliki bentuk bangunan semi permanen atau non permanen dengan menggunakan material seadanya. Hal-hal inilah yang menyebabkan kondisi permukiman menjadi semakin kumuh dan tidak sehat. 2.5.2 Karakteristik Ekonomi Menurut Komarudin dalam Elly (2010), mengatakan bahwa timbulnya permukiman kumuh dapat ditinjau dari segi ekonomi masyarakat yang bermukim di kawasan permukiman kumuh, beberapa karakteristiknya adalah: a. Masyarakat berpenghasilan rendah b. Berprofesi sebagai pengangguran, buruh, pemulung, penjual dagangan pikul dan penjual dagangan gerobak dorong Karakteristik ekonomi masyarakat di permukiman kumuh sesungguhnya adalah kemampuan masyarakat dalam bertahan hidup di garis kemiskinan, disebut miskin karena pada umumnya masyarakat yang bermukim di permukiman kumuh merupakan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan
10 dan berpenghasilan rendah. Hal ini tentunya mempengaruhi cara hidup masyarakat di permukiman tersebut, khususnya dalam bentuk hunian tempat tinggal dan lingkungan huniannya. 2.5.3 Karakteristik Sosial Menurut Yudohusodo dalam Ridlo (2009) mengatakan bahwa, beberapa karakteristik sosial dalam permukiman kumuh adalah : a. Rata-rata masyarakat memiliki sosialisasi yang tinggi b. Ikatan keluarga yang erat Beberapa kriteria tersebut ditinjau dari pola hidup bersosialisasi di masyarakat permukiman kumuh pada umumnya. Masyarakat di permukiman kumuh rata-rata memiliki hubungan sosial yang tinggi karena persamaan nasib, pola hidup atau suku yang sama. Karena persamaan inilah timbul ikatan kekeluargaan yang erat, sehingga tidak ada perbedaan tingkat sosial tetapi timbul pola hidup masyarakat yang saling bekerjasama dan tolong-menolong. 2.5.4 Karakteristik Budaya Masyarakat Menurut Yudohusodo dalam Ridlo (2009) mengatakan bahwa, terkait dengan permukiman kumuh dengan pola hidup masyarakat yang menjadi kebiasaan hingga membudaya sehingga masalah kekumuhan sulit untuk diatasi, beberapa hal terkait dengan budaya masyarakat yang bermukim di permukiman kumuh, adalah : a. Membuang sampah sembarangan b. Umumnya permukiman kumuh berada di atas tanah negara, tanah perorangan, badan hukum atau yayasan yang belum dibangun pemiliknya c. Kondisi bangunan sangat buruk, bahan bangunan yang digunakan bersifat semi permanen dan non permanen. Berdasarkan beberapa pengertian dan karakteristik permukiman kumuh seperti yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh merupakan lingkungan permukiman yang berkembang tanpa ada suatu perencanaan sehingga secara keseluruhan memiliki kondisi fisik bangunan yang tidak layak dihuni, kondisi bangunan yang saling berhimpitan satu dengan lainnya, tidak memiliki sarana dan prasarana pendukung permukiman
11 yang memadai, memiliki tingkat kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk yang tinggi dan rata-rata dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah. 2.6 Kaitan Redevelopment dengan Permukiman Kumuh Kebutuhan masyarakat yang utama adalah kebutuhan tempat tinggal, dan ini terkait dengan perumahan yang layak huni. Perumahan tersebut merupakan harapan bagi semua masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Namun pada kenyataannya masyarakat tersebut tidak mampu untuk memenuhi kriteria kebutuhan tempat tinggal layak huni dan ini menimbulkan dampak terjadinya permukiman liar dan tak terkendali sehingga cenderung kumuh dan tidak layak huni. Hal ini mempengaruhi pemanfaatan ruang kota sehingga menurunkan kualitas lingkungan kota. Dan semakin berkembangnya kota maka semakin meningkat kebutuhan perumahan dan ini terkait dengan laju pertumbuhan penduduk dan tingkat pengangguran yang tidak dapat bersaing. Untuk itu perlu upaya dalam peremajaan tanpa mengenyampingkan kualitas lingkungan dan masyarakat kota itu sendiri. Menurut Yudhohusodo dalam Elly (2010), peremajaan permukiman kumuh merupakan upaya pembangunan yang terencana untuk memperbaharui suatu kawasan kota yang memiliki mutu lingkungannya rendah. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan lingkungan dengan memperbaiki tatanan sosial ekonomi masyarakatnya dan memperbaiki atau membangun sarana dan prasarana fisik sebagai fasilitas pendukung dalam menunjang pengembangan wilayah kotanya. 2.7 Ecovillage Konsep ecovillage lahir dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro Brazil, akibat dari laporan komite dunia mengenai lingkungan pada tahun 1987 yang mengakui pemanasanglobal, kelangkaan air, ancaman pada spesies yang hidup dan kemiskinan global yang terus meningkat (gen.ecovillage.org). Menurut Robert Gilman, seorang pemikir dalam bidang sustainability telah melakukan kajian dan menulis tentang ecovillage. Pada tahun 1991 ia mengemukakan definisi tentang ecovillage, yaitu: -
Berskala manusia
12 -
Hunian dengan fasilitas pendukung yang lengkap
-
Aktivitas manusia menyatu dan tidak mengganggu alam
-
Mendukung pembangunan yang sehat
-
Dapat berlangsung terus hinggan masa yang akan datang Jan Martin Bang (2005), in Ecovillages: A Practical Guide to Sustainable
Communities, menyatakan bahwa jumlah ideal penduduk ecovillage adalah antara 50 dan 500 jiwa. Menurut Capra dalam Jafar (2009), prinsip-prinsip ecovillage dapat diterapkan baik pada desa atau kampung maupun kota untuk pengembangan dan pengelolaan serta menyediakan solusi bagi kebutuhan manusia atau masyarakat, dan pada waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada lingkungan dan peningkatan kualitas hidup untuk semua pilihan. Hal ini berdasar pada pemahaman mendalam bahwa makhluk hidup dan segala sesuatu adalah saling berhubungan, selanjutnya ecovillage adalah sebagai bentuk interaksi manusia terhadap lingkungan untuk mencapai kehidupan berkelanjutan dan lestari. Menurut Nurlaelih dalam Astrini (2013), ecovillage merupakan konsep kampung berbasis lingkungan yang dapat mengatasi permasalahan lingkungan perkotaan pada saat ini. Sedangkan menurut Global Ecovillage Network adalah permukiman yang menggunakan prinsip berkelanjutan dengan mengedepankan aspek lingkungan dan berintegrasi dengan dimensi sosial, ekonomi, dan budaya. Pada intinya menyelenggarakan konsep permukiman atau kampung yang ramah lingkungan dengan aspek pendukung yaitu sosial, ekonomi, dan budaya. Menurut Subintomo dalam Astrini (2013), ecovillage dapat diterjemahkan sebagai kampung hijau yang berusaha mewujudkan suatu kawasan permukiman yang ramah lingkungan. Kampung hijau menerapkan asas pelestarian fungsi lingkungan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, baik pelestarian fungsi pada komponen lingkungan (biotik, abiotik maupun komponen sosial ekonomi dan budaya serta kesehatan masyarakat). 2.8 Karakteristik Ecovillage Menurut Jonathan Dawson dalam buku Ecovillages: New Frontiers for Sustainability (GreenBooks, 2006), terdapat 5 karakteristik dari ecovillage, yaitu:
13 1. Proyek ecovillage tidak dimulai oleh pemerintah dalam atau perusahaan, tetapi berasal dari inisiatif partisipasi masyarakatnya. 2. Nilai kehidupan ecovillage berasal dari komunitas masyarakatnya 3. Masyarakat ecovillage mencari untuk mendapatkan kembali ukuran kontrol atas sumber daya mereka sendiri di dalam komunitas: mereka tidak terlalu tergantung pada pemerintah, perusahaan, atau sumber terpusat lainnya misalnya air, makanan, tempat tinggal, listrik, dan kebutuhan dasar lainnya. 4. Masyarakat ecovillage memiliki rasa yang kuat dari nilai-nilai bersama, yang sering mereka cirikan dalam hal spiritual. 5. Ecovillage berfungsi sebagai lokasi penelitian dan sebagai lingkungan percontohan, dan banyak menawarkan pengalaman pendidikan kepada orang lain. 2.9 Dimensi Keberlanjutan Dalam Sebuah Ecovillage Dimensi-dimensi keberlanjutan dalam sebuah ecovillage yang dinyatakan oleh Global Ecovillage Network adalah sebagai berikut : 1. Dimensi ekologi Dapat dilihat dari konsep ecovillage yang memberi kesempatan manusia untuk memiliki pengalaman pribadi berhubungan dengan bumi, menikmati interaksi keseharian dengan tanah, air, angin, tanaman, dan satwa. Ecovillage menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, sambil menghargai siklus-siklus alam. Pada aspek ekologi, penerapan ecovillage dapat berupa: a. Menumbuhkan tanaman sebanyak mungkin. b. Mendirikan bangunan dengan material lokal c. Memanfaatkan desa berdasarkan sistem energi yang terbarukan d. Menjaga keanekaragaman hayati e. Membantu pengembangan prinsip bisnis ekologis f. Menilai daur kehidupan semua produk yang digunakan dalam ecovillage dari segi sosial dan spiritual sebagaimana halnya dari sudut pandangekologi g. Menjaga tanah, air, dan udara tetap sehat melalui pengelolaan energi danpengelolaan sampah
14 h. Menjaga area-area yang masih alami dan berfungsi sebagai penyangga 2. Dimensi sosial Dititikberatkan pada konsep komunitas dimana setiap orang mendapatkan dukungan serta bertanggung jawab terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Mereka memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap kelompoknya. Kelompok kecil yang setiap anggotanya dapat merasa aman, berdaya, diperhatikan, dan didengar, serta terbuka. Komunitas yang memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang menentukan kehidupan mereka sendiri. Dari segi komunitas, penerapan ecovillage dapat berupa: a. Mengenal dan berhubungan dengan orang lain b. Berbagi sumber daya publik dan saling membantu c. Mengembangkan kesehatan menyeluruh d. Menyediakan pekerjaan yang bermakna dan berkelanjutan untuk seluruh anggotanya e. Mempromosikan pembelajaran tanpa akhir f. Memperkuat persatuan melalui penghargaan terhadap perbedaan g. Membantu pengembangan ekspresi budaya 3. Dimensi budaya dan spiritual Konsep ecovillage dicapai dengan menghormati dan mendukung bumi dan segala sesuatu yang hidup di atasnya. Hal ini mencakup pengayaan budaya dan ekspresi seni serta keanekaragaman spiritual. Beberapa bentuk nyatanya adalah: a. Menguatkan budaya dan spiritual b. Berbagi kreativitas, ekspresi seni, kegiatan kebudayaan, ritual, dan Perayaan c. Mengembangkan perasaan kesatuan komunitas dan saling dukung d. Menciptakan kehidupan yang damai, penuh cinta, dan berkelanjutan 4. Dimensi ekonomi Ecovillage memiliki ekonomi yang lebih sehat dan penuh vitalitas dibandingkan ekonomi lokal. Kekuatan ekonomi bermakna: a. Menjaga uang tetap dalam komunitas b. Perputaran uang melalui sebanyak mungkin orang
15 c. Memperoleh, membelanjakan, dan menginvestasikan uang dalam bisnis barang dan jasa yang dimiliki anggotanya 2.10 Aspek-aspek Berkelanjutan Dalam Ecovillage Menurut Global Ecovillage Network, ecovillage adalah komunitas masyarakat
baik
perkotaan
maupun
pedesaan
yang
berjuang
untuk
mengintegrasikan sebuah lingkungan sosial yang mendukung dengan cara hidup yang tidak banyak mempengaruhi atau merusak lingkungan. Untuk mencapainya, mereka menggabungkan berbagai aspek seperti : a. Permaculture (permanen agriculture) Permaculture merupakan pendekatan dalam merancang habitat manusia dan sistem produksi makanan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan meniru hubungan-hubungan yang terdapat pada ekosistem alami, dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap sistem industri yang dianggap merusak lingkungan. Beberapa definisi permaculture diantaranya: - Bill Mollison, 1978: Permaculture adalah sistem desain untuk menciptakan lingkungan manusia yang berkelanjutan. - Cathe' Fish and Bill Steen, Drylands Permaculture Newsletter, 1988: Permaculture: penggunaan ekologi sebagai dasar untuk merancang sistem yang terintegrasi dari produksi pangan, perumahan, teknologi tepat guna, dan pengembangan masyarakat. Permaculture dibangun di atas etika merawat bumi dan berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang saling menguntungkan. Permaculture membantu kita untuk memahami dan menciptakan integrasi yang harmonis antara alam dan manusia dengan cara-cara yang berkelanjutan. Permaculture sangat cocok diterapkan baik untuk daerah perkotaan maupun pedesaan, serta untuk segala bentuk dan ukuran apapun. Permaculture pengelolaan
juga
menerapkan
praktik-praktik
tradisional
dalam
alam yang diintegrasikan dengan teknologi modern yang
sesuai. b. Bangunan ramah lingkungan Bangunan yang hemat energi atau bangunan yang berkelanjutan. Bangunan yang memperhatikan lingkungan sekitarnya seperti membuat taman di
16 lingkungan rumah. Untuk desain interior, menggunakan interior yang ramah lingkungan dan mengurangi pengunaan listrik yang sangat berlebihan. Bertujuan untuk menciptakan atau merancang sebuah bangunan yang ramah lingkungan atau bangunan yang ekologis. c. Produksi secara alamiah Produksi yang dihasilkan dengan menggunakan faktor alam. d. Energi alternatif Sumber energi yang bukan merupakan sumber energi tradisional atau sumber energi yang tidak merugikan lingkungan. e. Pembangunan komunitas Kumpulan orang-orang yang hidup di suatu tempat dimana mereka mampu membangun sebuah konfigurasi sosial budaya dan secara bersama-sama menyusun aktifitas-aktifitas bersama dengan saling berinteraksi. 2.11 Program Utama Dalam Pembangunan Ecovillage Menurut Uis Sunarti dalam buku Pengembangan Ecovillage dan Ekologi keluarga, Kualitas Hidup, Pengembangan Masyarakat (2012), terdapat beberapa program utama dalam pembangunan ecovillage, yaitu : a. Mengembangkan model tata ruang dan landscaping kawasan perdesaan dalam penyediaan ruang (space) yang mendukung pemenuhan pokok penduduknya b. Merumuskan strategi yang tepat dan efektif dalam penyelesaian masalah kemiskinan di perdesaan melalui: mengembangkan model ekonomi wilayah yang mendukung penyediaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha (terutama bagi keluarga miskin) baik melalui peningkatan produktivitas dan penggalian potensi sumberdaya alam lokal, maupun melalui peningkatan nilai tambah kegiatan ekonomi masyarakat. c. Penerapan teknologi tepat guna bagi peningkatan nilai tambah produk primer dan turunannya. d. Merancang desain material dan sistem thermal eco-house yang memenuhi syarat-syarat yang mendukung kenyamanan (kedap suhu, kedap air, kedap suara, serta aspek ergonomika) hidup individu dan keluarga, serta penghematan energi rumah tangga.
17 Ecovillage menuntut keterampilan hidup bersama dalam suatu tempat. Ecovillage merupakan Full featured settlement
yaitu
tempat tinggal yang
sebagian besar fungsi kehidupan normal, memadainya penyediaan pangan, adanya industri, fungsi rekreasi dan kehidupan social, dan aspek komersial tersedia secara proporsional. Ecovillage
menuntut
penyediaan
lapangan
pekerjaan
yang
dapat
mengimbangi penduduk usia kerja, dan tersedianya spesialisasi pekerjaan demikian pula keseimbangan kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Ciri atau prinsip penting lainnya dalam ecovillage adalah adanya siklus penggunaan sumber daya materi yang membawa kepada penggunaan sumber daya energi terbarukan (cahaya matahari, angin, air), diberlakukannya composting sampah organis. Program utama dalam pembangunan ecovillage, menurut Astrini (2010) yaitu: a. Pemanfaatan dan pengelolaan sampah b. Meningkatkan kualitas dan kuantitas taman atau open space c. Peningkatan Penghijauan d. Aksi kerja bakti setiap minggu dalam rangka sadar lingkungan. e. Membangun partisipasi aktif antara warga dalam pembenahan sarana fisik lingkungan dengan pendekatan partisipasi yang humanis f. Penggunaan teknologi ramah lingkungan g. Optimalisasi penghijauan di pekarangan rumah (penanaman tanaman produktif) 2.12 Studi Banding 2.12.1 Ecovillage di Ithaca Ecovillage di Ithaca terletak di West Hill dari Ithaca, di Finger Lakes, New York. Ecovillage di Ithaca sebuah ecovillage menggunakan model cohousing. Secara umum, ecovillage dimana masyarakat berusaha untuk hidup secara sosial dan dengan cara hidup lingkungan yang berkelanjutan. Ecovillage di Ithaca bukan hanya pilihan gaya hidup yang nyaman bagi masyarakatnya, tetapi mempengaruhi aspek dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
18 Tujuan utama dari ecovillage di Ithaca tidak lebih dari untuk mendesain ulang tempat tinggal manusia, dengan jumlah 500 warga yang akan menciptakan model komunitas masyarakat dengan memberikan contoh sistem hidup yang berkelanjutan. Sistem yang tidak hanya praktis dalam diri mereka sendiri, tetapi dapat ditiru oleh orang lain. Program ecovillage di Ithaca berupa desain yang memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti tempat tinggal, produksi pangan, energi, interaksi sosial, dan ruang terbuka hijau untuk melestarikan ekosistem alam (Ecovillage di Ithaca Mission Statement 1994).
Gambar 2.1 Siteplan Ecovillage Design di Ithaca, New York Sumber:http://www.intuswindows.com/ecovillage-at-ithaca-small-community-witha-global-purpose/
Ecovillage di Ithaca unik karena terdiri dari tiga lingkungan cohousing (neighborhoods )yaitu FROG, SONG, dan TREE. Ecovillage saat ini terdiri dari dua lingkungan co-housing masing-masing terdiri dari 30 rumah, yaitu FROG dan SONG, sementara lingkungan yang ketiga TREE sedang dalam tahap perencanaan.
Gambar 2.2 FROG dan SONG Neighborhood di Ithaca Sumber:http://ecovillagebook.org/ecovillages/ev-ithaca/
19 Dalam kehidupan kesehariannya, penduduk kampung di Ithaca memiliki kesempatan untuk berbagi makan malam bersama beberapa kali dalam seminggu di dua rumah bersama (common houses) yang terdiri atas ruang makan bersama dan dapur bersama. Penduduk kampung di Ithaca menemukan bahwa hidup bekerjasama membutuhkan banyak pembelajaran dan kerja, namun seimbang dengan hasil yang didapat yaitu kehidupan yang harmonis dan kebahagiaan sejati.
Gambar 2.3 Common House di Ithaca: Ruang Makan dan Dapur Bersama Sumber :http://ecovillagebook.org/ecovillages/ev-ithaca/
Adanya proses pengambilan keputusan atas kesepakatan bersama. Sebagaimana dalam co-housing, mereka membuat keputusan komunitas berdasarkan proses pengambilan keputusan bersama (consensus process). Pekerjaan komunitas dicapai melalui sistem tim kerja sukarela (voluntary work team system), dimana penduduk memilih sendiri area tugas yang paling mereka minati. Ada tim komunitas untuk memasak, mencuci piring, lapangan, pemeliharaan, rumah bersama, keuangan, kehidupan komunitas, dan lain sebagainya.
Gambar 2.4 Komunitas Tim Pembangun Perumahan Sumber: http://ecovillageithaca.org
20 Beberapa contoh penerapan desain ecovillage di Ithaca yaitu setiap lingkungan memiliki fasilitas umum sendiri, termasuk rumah umum untuk makan bersama, kebun masyarakat,fasilitas binatu bersama, dan taman bermain. Ecovillage memiliki fasilitas umum dimiliki olehsemua warga, termasuk infrastruktur (jalan, air dan pipa pembuangan, dan listrik), kolam (digunakan untuk pemadaman kebakaran dan rekreasi).
Gambar 2.5 Fasilitas Umum: Kebun dan Taman Bermain Anak di Ithaca Sumber: http://ecovillageithaca.org
2.12.2 Ecovillage di Nevada City, California Ecovillage di Nevada City terletak di California, sebuah ecovillage menggunakan model co-housing. Ecovillage di Nevada City bukan hanya pilihan gaya hidup yang nyaman bagi masyarakatnya, tetapi mempengaruhi aspek dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Gambar 2.6 Siteplan Ecovillage Design di Nevada City, California Sumber: http://www.nccoho.org/design.html
21
Gambar 2.7 Neighborhood di Nevada City, California Sumber:http://www.nccoho.org/
Dalam kehidupan kesehariannya, penduduk kampung di Nevada City memiliki kesempatan untuk berbagi makan malam bersama beberapa kali dalam seminggu di rumah bersama (common houses), yang terdiri atas ruang makan bersama, dapur bersama, ruang tamu, 2 kamar tidur untuk tamu, ruang laundry, ruang musik, workshop, dan ruang bermain anak. Ruang bersama ini dapat digunakan untuk acara seperti: pertemuan, dan acara tertentu seperti pesta ulang tahun, dan pernikahan.
Gambar 2.8 Common House di Nevada City: Ruang Makan Bersama Sumber:http://yubanet.com/regional/Nevada_City_Cohousing_project_gets_a_gree n_light_5597_printer.php
Beberapa contoh penerapan desain ecovillage di Nevada City yaitu adanya aktifitas bercocok tanam di kebun rumah seperti menanam beberapa sayuran dan buah-buahan. Ecovillage memiliki fasilitas umum dimiliki oleh
22 semua warga, termasuk infrastruktur (jalan, air dan pipa pembuangan, dan listrik) dan sarana rekreasi berupa taman bermain.
Gambar 2.9 Fasilitas Umum: Kebun dan Area Bermain Anak di Nevada City Sumber: http://www.nccoho.org/