BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pembelajaran Matematika Matematika merupakan salah satu jenis dari enam materi ilmu yaitu: matematika, fisika, biologi, psikologi, ilmu-ilmu sosial dan linguistik. Didasarkan pada pandangan konstruktivisme, hakikat matematika yakni anak yang belajar matematika dihadapkan pada masalah tertentu berdasarkan konstruksi pengetahuan yang diperolehnya ketika belajar, dan anak berusaha memecahkannya (Hamzah, 2007). Melalui proses belajar matematika peserta didik dapat memiliki sarana berfikir yang jelas dan logis, sehingga diharapkan peserta didik dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika yang dilakukan di sekolah, hendaknya dapat mendorong peserta didik untuk berfikir secara kritis, kreatif dan mempunyi kemampuan kerjasama. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep, atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya. Namun demikian, dalam pembelajaran pemahaman konsep sering diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Selama mempelajari matematika di kelas, aplikasi hasil rumus atau sifat yang diperoleh dari penalaran deduktif maupun induktif sering ditemukan meskipun tidak secara formal hal ini disebut dengan belajar bernalar (Depdiknas, 2003). Sedangkan pembelajaran ialah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap (Dimyati dan Mudjiono, 2002). Dari beberapa uraian pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses yang 7
diselenggarakan oleh pengajar untuk membelajarkan peserta didik guna memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan matematika, serta berfikir secara jelas, logis, kritis, dan kreatif dalam memecahkan masalah dikehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran matematika itu sendiri adalah terbentuknya kemampuan bernalar pada diri siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistimatis dan memiliki sifat obyektif, jujur, disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan baik dalam bidang matematika, bidang lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari (PPPG, 2004). Hambatan Pembelajaran Matematika Matematika merupakan mata pelajaran pokok di setiap satuan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya matematika sering dianggap sebagai pelajaran yang sulit, menakutkan dan membosankan bagi sebagian besar anak sekolah, meskipun tidak sedikit yang menyenangi pelajaran ini. Bukan hal yang mengherankan bila sejak dulu begitu banyak bimbingan belajar atau pun les privat matematika sangat diminati, dan juga banyak metode belajar matematika yang bermunculan seperti sempoa, jarimatika ataupun jari magic. Semua itu bertujuan agar anak-anak dapat lebih mudah memahami matematika dan tidak lagi menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan. Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor intelegensi yang rendah, tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor selain intelegensi. Hal tersebut berarti bahwa IQ tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculia). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem syaraf pusat. Menurut Lerner (1981), ada beberapa karakteristik anak berkesulitan 8
belajar matematika, yaitu: adanya gangguan dalam hubungan keruangan, abnormalitas persepsi visual, asosiasi visual motor, perseverasi, kesulitan mengenal dan memahami simbol, gangguan penghayatan tubuh, kesulitan dalam bahasa dan membaca, score performance IQ jauh lebih rendah dari pada skor verbal IQ. Sulit belajar matematika tidak berarti anak tersebut tidak mampu belajar, tetapi mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Kesulitan belajar matematika pada umumnya berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam membaca, imajinasi, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal cerita. Anak-anak terkadang sulit untuk mencerna sebuah fenomena yang masih abstrak, sehingga sesuatu yang abstrak tersebut harus divisualisasikan atau dibuat konkret sehingga bisa dipahami. Menurut Abdurrahman (2003) kesulitan belajar dapat disebabkan dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang meliputi fungsi otak, biokimia, deprivasi lingkungan, atau kesalahan nutrisi. Menurut Soejono (1983) terdapat kesulitan khusus dalam belajar matematika seperti: (a). Kesulitan dalam menggunakan konsep, dalam hal ini dipandang bahwa siswa telah memperoleh pengajaran suatu konsep, tetapi belum menguasainya mungkin karena lupa sebagaian atau seluruhnya. Mungkin dikarenakan konsep yang dikuasainya kurang cermat. (b). Kesulitan dalam belajar dan menggunakan prinsip. Jika siswa kesulitan dalam menggunakan prinsip analisisa, tampaklah bahwa pada umumnya sebab kesulitan tersebut antara lain: siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untk mengembangkan prinsip sebagai butir pengetahuan yang perlu, miskin dari konsep dasar secara potensial merupakan sebab kesulitan belajar prinsip yang diajarkan dengan metode kontekstual (contoh nyata), siswa kurang jelas dengan prinsip yang telah diajarkan. (c). Kesulitan memecahkan soal berbentuk verbal. Artinya 9
keberhasilan dalam memecahkan persoalan berbentuk verbal tegantung kemampuan pemahaman verbal, yaitu kemampuan memahami soal berbentuk cerita dan kemampuan mengubah soal verbal menjadi model matematika, biasanya dalam bentuk persamaan serta kesesuaian pengalaman siswa dengan situasi yang diceritakan dalam soal. Soejono (1983) juga meyatakan bahwa kesulitan belajar dapat ditunjukkan dengan beberapa gejala yaitu: menunjukkan prestasi yang rendah, hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, keterlambatan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Berdasarkan uraian diatas kesulitan dalam belajar matematika disebabkan karena kurang memahami konsep, menggunakan konsep, menggunakan prinsip meyelesaikan masalah serta memecahkan masalah dalam bentuk verbal sehingga mengakibatkan prestasi yang rendah. Oleh karena hal tersebut, maka untuk saat ini dalam penyampaian pembelajaran matematika dapat digunakan berbagai model pembelajaran yang baru sebagai solusi alternatif. Sehingga dengan menggunakan model baru tersebut, dapat lebih membantu siswa untuk memahami konsep. Salah satu model tersebut adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Soedjadi (2001) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu. Selain model PMR masih ada model pembelajaran lain yang lebih inovatif, yaitu model pembelajaran kooperatif yang dijelaskan pada subab 2.2.
10
2.2 Pembelajaran Kooperatif Menurut Abdurrahman dan Bintoro batasan model pembelajaran kooperatif yaitu sebagai pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup dalam masyarakat nyata (Nurhadi dan Senduk, 2003). Abdurrahman dan Bintoro mengemukakan bahwa “kelompok belajar siswa kooperatif memiliki beberapa perbedaan dari pada kelompok tradisional”. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Perbedaan kelompok Kooperatif dengan Kelompok Tradisional Kelompok Kooperatif
Kelompok Tradisional
Saling ketergantungan positif.
Adanya anggota yang mendominasi atau bergantung pada kelompok atau anggota lain.
Akuntabilitas individual.
Tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok.
Anggota kelompok heterogen. Anggota kelompok homogeny. Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis.
Pimpinan kelompok sering ditentukan oleh guru.
Saling membantu dan saling Kadang yang bekerja hanya memberikan motivasi. satu, dua orang. Penyelesaian tugas Penyelesaian tugas tanpa mempertahankan hubungan memperhatikan hubungan interpersonal. interpersonal.
11
Keterampilan sosial dibutuhkan.
Tidak membutuhkan keterampilan social.
Guru melakukan observasi dan intervensi kelompok.
Guru sering tidak melakukan observasi dan intervensi kelompok.
Guru memperhatikan Guru sering tidak peduli keefektifan proses kelompok dengan keefektifan proses. belajar.
(Nurhadi, dkk. 2004: 62). Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang diupayakan untuk dapat meningkatkan peran serta siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok. Selain itu juga memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berinteraksi dan belajar secara bersama, meskipun mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Pembelajaran kooperatif menggunakan sistem pengelompokan yang terdiri dari empat sampai enam orang yang mempunyai kemampuan akademik, jenis kelamin, suku yang heterogen (Sanjaya, 2007). Pada proses pembelajarannya siswa diberi kesempatan bekerja dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah. Tugas kelompok dapat memacu para siswa untuk bekerjasama dalam mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliknya. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Depdiknas (2005), model pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri antara lain: Untuk menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif. Sedangkan kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, rendah. Serta jika didalam kelas terdapat siswa-siswa yang 12
terdiri dari bebrapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda. Maka diupayakan agar dalam tiap kelompokpun terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula. Untuk selanjutnya penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan. Untuk penguasaan materi pelajaran, setiap siswa dalam kelompok bertanggungjawab secara bersama dengan berdiskusi, saling tukar pendapat, pengetahuan dan pengalaman. Kemampuan atau prestasi setiap anggota kelompok sangat menentukan hasil pencapaian belajar kelompok, untuk itu penguasaan materi pelajaran setiap siswa ditekankan dalam setrategi pembelajaran kooperatif. Melalui model pembelajaran kooperatif diharapkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal dengan berfikir aktif selama proses belajar berlangsung. Menurut Depdiknas (2005) pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan setrategi pembelajaran kooperatif, paling tidak ada 3 tujuan yang hendak dicapai yaitu: Pertama hasil belajar akademik, dimana pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas akademik. Banyak ahli berpendapat bahwa model kooperatif unggul dalam membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit. Kedua pengakuan adanya keragaman, model kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latarbelakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Ketiga pengembangan keterampilan sosial, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat dan bekerja dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah pembelajaran (Ismail, 2003) yaitu: Pertama menyampaikan tujuan dan motivasi siswa, disini guru 13
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada mata pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Ke-dua menyajikan informasi, dalam hal ini guru menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Ke-tiga mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar, dengan maksud guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas. Ke-empat membimbing kelompok bekerja dan belajar, disini guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mengerjakan tugas. Ke-lima evaluasi, guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Ke-enam memberikan penghargaan, guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok. Bila diperhatikan langkah-langkah pembelajaran kooperatif diatas maka tampak bahwa proses demokratis dan peran aktif siswa dikelas lebih banyak selama pembelajaran. Kendala yang dihadapi dalam penerapan model pembelajaran kooperatif adalah siswa yang pandai merasa terbebani oleh temannya yang kurang pandai. Siswa yang pandai ini merasa memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam nilai kelompok. Hal ini dapat diatasi dengan menginformasikan sistem penilaian kepada siswa lebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Menurut Slavin (1995) salah satu perhitungan dalam penentuan nilai perkembangan siswa sebagai berikut:
Langkah 1 : Menetapkan skor dasar Masing-masing siswa diberikan skor dasar berdasarkan skor kuis sebelumnya. Langkah 2 : Menentukan skor terkini Siswa memperoleh skor dari kuis yang berkaitan dengan materi terkini. 14
Langkah 3 : Menghitung skor perkembangan Setiap siswa memperoleh poin peningkatan individu yang besarnya dihitung dari selisih skor sekarang dan dasar.
Poin tersebut ditentukan dengan menggunakan skala Tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 Kriteria Poin Perkembangan Nilai perkembangan Kriteria Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar 10 poin hingga 1 poin dibawah skor dasar Skor dasar hingga 10 poin diatas skor dasar Lebih dari 10 poin diatas skor dasar Pekerjaan sempurna tanpa memperhatikan skor dasar
5 poin 10 poin 20 poin 30 poin 30 poin
Pembelajaran dengan sistem pengelompokan dapat menyebabkan berpindahnya motivasi dari tataran eksternal pada tataran internal (Joyce, 2009). Atau dengan kata lain, ketika siswa bekerja sama dalam menyelesaikan sebuah tugas, mereka akan tertarik pada materi pembelajaran tersebut karena menyadari kepentingannya sebagai siswa terhadap materi tersebut. Secara rinci keuntungan menggunakan model pembelajaran kooperatif adalah: a) Dapat memberikan efek yang sangat ampuh pada waktu yang singkat, baik dalam aspek pembelajaran akademik maupun aspek skill. 15
b) Memberikan seorang (atau beberapa orang) pendamping belajar yang menyenangkan dan bersama-sama mengembangkan skill bersosial dan berempati terhadap orang lain. c) Dapat meningkatkan perasaan positif pada diri sendiri maupun orang lain. Menurut Sanjaya (2008) keunggulan dan kelemahan pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: Keunggulan yaitu siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kemampuan berfikir sendiri. Untuk selanjutnya siswa dapat mengembangkan kemampuan ide atau gagasan. Kemudian membantu anak untuk merespon orang lain yang ada disekitar mereka dan memberdayakan siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar. Siswa mampu meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial. Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengembangkan ide dan pemahamannya sendiri, saat menerima umpan balik. Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi, dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata. Dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir. Kelemahan pembelajaran kooperatif yaitu, luasnya pembelajaran sehingga apabila keluasan tersebut tidak dilaksanakan dengan optimal maka tujuan dari pembelajaran tersebut tidak akan tercapai. Penilaian kelompok dapat membutakan penilaian secara individu apabila guru tidak jeli dalam pelaksanaannya. Mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan waktu yang panjang. Selanjutnya dalam buku Isjoni (2009), keunggulan dari pembelajaran kooperatif adalah: Saling ketergantungan yang positif. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan penglolaan kelas. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan. Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dan guru.
16
Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan. Kelemahan pembelajaran kooperatif menurut Isjoni (2009) yaitu, guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran, dan waktu. Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan. Saat diskusi kelas terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
2.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Sebuah tim dalam STAD merupakan sebuah kelompok terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili heterogenitas kelas ditinjau dari kinerja, suku dan jenis kelamin (Mohamad, 2005). Menurut Mohamad (2005) STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu presentasi kelas, kerja tim, kuis, skor perbaikan individu dan penghargaan tim. a. Presentasi Kelas Presentasi ini paling sering menggunakan pengajaran langsung atau ceramah yang dilakukan oleh guru, namun presentasi dapat meliputi presentasi audio-visual atau penemuan kelompok (Mohamad, 2005). Pada kegiatan ini siswa harus sungguh-sungguh memperhatikan presentasi kelas karena dengan begitu dapat membantu mengerjakan kuis dengan baik. Serta skor kuis yang mereka peroleh menetukan skor timnya. b. Kerja Tim Dalam setiap kelompok terdiri dari empat atau lima siswa yang heterogen berdasarkan prestasi belajar, jenis kelamin dan suku. Setelah 17
guru mempresentasikan materi, tim tersebut berkumpul untuk mempeajari materi yang sudah diberikan dengan menggunkan lembar kerja. Pada tahap kerja kelompok ini siswa secara bersama mendiskusikan masalah dan membantu antar anggota dalam kelompoknya. Kerja tim yang paling sering dilakukan adalah membetulkan setiap kekeliruan atau misskonsepsi apabila teman sesama tim membuat kesalahan. c. Kuis
Sejauh mana keberhasilan siswa dalam belajar, dapat diketahui dengan diadakannya kuis oleh guru mengenai materi yang dibahas. Dalam mengerjakan kuis ini siswa harus bekerja secara individu, sekalipun skor yang mereka peroleh nanti dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan kelompoknya. Kepada setiap individu, guru memberikan skor yang digunakan untuk menentukan skor bersama bagi setiap kelompok.
d. Skor Perbaikan Individu Skor yang diperoleh setiap anggota dalam kuis berkontribusi pada kelompok mereka, dan didasarkan sejauh mana skor mereka telah meningkat dibandingkan dengan skor rata-rata awal yang telah mereka capai sebelumnya (Isjoni dkk, 2007). Berdasarkan skor awal setiap individu, dapat ditentukan skor peningkatan atau perkembangan. Rata-rata skor peningkatan dari tiap individu dalam suatu kelompok, digunakan untuk menentukan penghargaan bagi kelompok yang berperestasi. e. Penghargaan Tim Kelompok dapat memperoleh sertifikat atau penghargaan yang lain apabila skor rata-rata yang didapat melampaui kriteria tertentu. 18
Penghargan yang diperoleh menunjukkan keberhasilan dari setiap kelompok, dalam menjalin kerjasama antara anggota kelompok. Penghargaan kelompok dilakukan dengan memberikan penghargaan berupa sertifikat atau penghargaan lain atas usaha kerja keras yang dilakukan kelompok. Berdasarkan karakteristik sebuah model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Berikut uraian secara rinci kelebihan model pembelajaran tipe STAD: (1) Setiap siswa memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi yang substansial kepada kelompok dan posisi anggota kelompok adalah setara (Slavin, 2005). (2) Menggalakkan interaksi secara aktif dan positif dan kerjasama anggota kelompok menjadi lebih baik (Slavin, 2005) dan (Ahmadi, 2011). (3) Membantu siswa untuk memperoleh hubungan pertemanan lintas rasial yang lebih banyak (Slavin, 2005). (4) Melatih siswa dalam mengembangkan aspek kecakapan sosial di samping kecakapan kognitif dan peran guru juga menjadi lebih aktif dan lebih terfokus sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator (Isjoni, 2010). (5) Pengelompokan siswa secara heterogen membuat kompetisi yang terjadi di kelas menjadi lebih hidup. Prestasi dan hasil belajar yang baik, bisa didapatkan oleh semua anggota kelompok. (6) Kuis yang terdapat pada langkah pembelajaran membuat siswa lebih termotivasi. (7) Kuis tersebut juga meningkatkan tanggung jawab individu karena nilai akhir kelompok dipengaruhi nilai kuis yang dikerjakan secara individu. (8) Adanya penghargaan dari guru, sehingga siswa lebih termotivasi untuk aktif dalam pembelajaran. (9) Anggota kelompok dengan prestasi dan hasil belajar rendah memiliki tanggung jawab besar agar nilai yang didapatkan tidak rendah supaya nilai kelompok baik. (10) Dalam model ini siswa memiliki dua bentuk tanggung jawab belajar, yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok 19
untuk belajar. Selain itu, pada model ini siswa saling membelajarkan dengan sesama siswa lain atau pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) yang lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru. Digunakannya model ini dapat mengurangi sifat individualistis siswa. Hal tersebut dikarenakan belakangan ini, siswa cenderung berkompetisi secara individual, bersikap tertutup terhadap teman, kurang memberi perhatian ke teman sekelas, bergaul hanya dengan orang tertentu, ingin menang sendiri, dan sebagainya. Jika keadaan ini dibiarkan tidak mustahil dihasilkan warga negara yang egois, introfert (pendiam dan tertutup), kurang bergaul dalam masyarakat, acuh tak acuh dengan tetangga dan lingkungan, kurang menghargai orang lain, serta tidak mau menerima kelebihan dan kelemahan orang lain. Gejala seperti ini sudah mulai terlihat pada masyarakat kita, sedikitsedikit demonstrasi, main keroyokan, saling sikut dan mudah terprovokasi (Rusman, 2011). Selain berbagai kelebihan diatas, model STAD ini juga memiliki kelemahan. Semua model pembelajaran memang diciptakan untuk memberi manfaat yang baik atau positif pada pembelajaran, tidak terkecuali dengan model STAD ini. Namun, terkadang pada sudut pandang tertentu, langkah-langkah model tersebut tidak menutup kemungkinan terbukanya sebuah kelemahan, seperti yang dipaparkan berikut: (1) Berdasarkan karakteristik STAD jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (yang hanya penyajian materi dari guru), pembelajaran menggunakan model ini membutuhkan waktu yang relatif lama, dengan memperhatikan tiga langkah STAD yang menguras waktu seperti penyajian materi dari guru, kerja kelompok dan tes individual atau kuis. (2) Model ini memerlukan kemampuan khusus dari guru. Guru berperan sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator (Isjoni, 2010). Berdasarkan asumsi tidak semua guru mampu menjadi fasilitator, mediator, motivator dan evaluator dengan baik. 20
Menurut Momamad (2005) ada tiga tingkatan penghargaan yang diberikan berdasarkan skor tim ratarata. Ketiga tingkat tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.3 berikut: Tabel 2.3 Kriteria Penghargaan Kelompok Pengahargaan Kriteria (rata-rata tim) TIM BAIK 15 TIM HEBAT 20 TIM SUPER 25 Sumber: (Mohamad Nur, 2005:36) Berikut dijelaskan sintaks dari pembelajaran kooperatif tipe STAD yang terdiri atas 6 fase (Trianto, 2007), yaitu: Fase ke-1: menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa untuk aktif belajar. Fase ke-2: menyajikan materi ajar kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau melalui bahan bacaan. Fase ke-3: menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar . Fase ke-4: membimbing setiap kelompok belajar untuk belajar dan bekerja. Fase ke-5: mengevaluasi hasil belajar dan kerja masingmasing kelompok. Fase ke-6: Guru memberikan penghargaan kepada para siswa baik sebagai individu maupun kelompok, karena usaha yang telah mereka lakukan maupun karena hasil yang telah mereka capai.
21
2.4 Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Pembelajaran kooperatif tipe NHT menurut Isjoni (2010) adalah suatu model pembelajaran dimana siswa dalam kelompok kecil terdiri 4-6 orang, siswa belajar dan bekerja secara kolaboratif dengan struktur kelompok yang heterogen. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk meningkatkan partisipasi siswa dan mempersiapkan siswa agar memiliki sifat kepemimpinan. Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) merupakan salah satu teknik pembelajaran kooperatif, dimana melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran, dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut (Trianto, 2009). Selanjutnya Anita Lie (2008) menyatakan teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide - ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi (2010) menyatakan dimana terdapat lima langkah pembelajaran kooperatif tipe NHT, yaitu: Lima Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT: 1. Guru membentuk dan membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 3-5 orang dan diberi nomor untuk setiap siswa. Kelompok kooperatif merupakan pencampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar berbeda. 2. Guru mengajukan pertanyaan secara langsung atau melalui LKS. 3. Siswa mendiskusikan jawaban bersama-sama dan memastikan semua anggota kelompok mengetahui jawabannya. Jika perlu, ada anggota yang berfungsi untuk mengecek jawaban dari masing-masing anggota. 4. Guru memanggil siswa dengan menyebut nomor secara acak dan siswa dengan nomor tersebut 22
mengangkat tangan dan memberikan jawaban untuk disampaikan keseluruh siswa di kelas. 5. Pada akhir sesi, guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disampaikan. Sedangkan menurut Trianto (2010) sintaks NHT terbagi menjadi empat fase berikut : Fase Ke-1: Penomoran. Guru membagi siswa kedalam kelompok beranggota 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 5. Fase ke-2: Mengajukan pertanyaan. Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa, dimana pertanyaan tersebut dapat bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya. Misalkan, “ berapakah jumlah gigi orang dewasa? ”. Atau arahan, misalkan “ Pastikan setiap orang mengetahui 5 buah ibukota propinsi yang terletak di Pulau Sumatera ”. Fase ke-3: Berpikir bersama. Siswa menyatukan pendapat terhadap jawaban pertanyaan itu, dan menyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim. Fase ke-4: Menjawab. Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengangkat tangannya dan menjawab pertanyaan tersebut. Dari uraian kedua model sintaks diatas, penulis bertujuan untuk dapat membentuk suatu proses pembelajaran yang baik dan tepat bagi siswa atau peserta didik.
23
Berikut dijelaskan keunggulan atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe NHT menurut (Arends, 2008). Keunggulan atau kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu: (1) Terjadinya interaksi antara siswa melalui diskusi atau siswa secara bersama-sama dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. (2) Siswa pandai maupun siswa lemah samasama memperoleh manfaat melalui aktifitas belajar kooperatif. (3) Melalui kerjasama secara kooperatif ini, kemungkinan konstruksi pengetahuan menjadi lebih besar atau kemungkinan untuk siswa dapat sampai pada kesimpulan yang diharapkan. (4) Memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya, berdiskusi, dan mengembangkan bakat kepemimpinan. Kelemahan atau kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu: (1) Siswa yang pandai cenderung mendominasi sehingga dapat menimbulkan sikap minder dan pasif dari siswa yang lemah. (2) Proses diskusi tidak dapat berjalan dengan lancar, jika ada siswa yang sekedar menyalin pekerjaan siswa yang pandai tanpa memiliki pemahaman yang memadai. (3) Pengelompokan siswa memerlukan pengaturan tempat duduk yang berbeda-beda serta membutuhkan waktu khusus.
2.5 Hasil Belajar Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Daryanto, 2010). Djamarah (2008) mengatakan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor. Slameto (2010) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu 24
proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan. Dari beberapa uraian pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperolah suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, dalam memnuhi kebutuhan. Sedangkan pengertian hasil atau prestasi belajar menurut Sunarto (2009) yaitu suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Pengertian hasil belajar menurut Anni (2004) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Nawawi (1981) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes mengenai sejumlah pelajaran tertentu. Hasil belajar adalah perubahan perilaku peserta didik akibat belajar (Purwanto, 2011). Perubahan perilaku disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut lagi Purwanto mengatakan bahwa hasil belajar dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Sejalan dengan pendapat tersebut Sudjana (2003) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajar. Menurut Hamalik (2003) hasil belajar adalah sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang dapat diamati dan diukur bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat di artikan sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik sebelumnya yang tidak tahu menjadi tahu. Prestasi atau hasil belajar (achievement) merupakan realisasi dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang (Sukmadinata, 2005). Penguasaan hasil belajar dapat 25
dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Di sekolah, hasil belajar atau prestasi belajar ini dapat dilihat dari penguasaan siswa terhadap mata pelajaran yang telah ditempuhnya. Alat untuk mengukur prestasi atau hasil belajar disebut tes prestasi belajar atau achievement test yang disusun oleh guru atau dosen yang mengajar mata kuliah yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa hasil belajar bukti keberhasilan seseorang atau peserta didik dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes mengenai sejumlah pelajaran tertentu, serta perubahan tingkah laku peserta didik setelah menerima pengalaman belajar yang dapat diamati dan diukur bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan hasil belajar menurut Djamarah (2008) adalah: faktor lingkungan, instrumental, fisiologis, psikologis. Sedangkan menurut menurut Slameto (2010) faktorfaktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibagi menjadi dua macam yaitu faktor yang berasal dari diri siswa (intern) yang terdiri dari: faktor jasmani, psikologi, dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (ekstern) yaitu: Faktor keluarga, faktor sekolah, faktor masyarakat. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar dan Hasil belajar Menurut Djamarah (2008:176-202) faktorfaktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dapat dibagi antara lain: 1. Faktor Lingkungan (a). Lingkungan alami adalah lingkungan tempat tinggal anak didik, hidup, dan berusaha di dalamnya. Pencemaran lingkungan hidup merupakan malapetaka bagi anak didik yang hidup di dalamnya. (b). 26
Lingkungan sosial budaya diluar sekolah ternyata dapat menimbulkan sisi kehidupan yang mendatangkan problem tersendiri bagi kehidupan anak didik di sekolah. Seperti pembangunan pabrik dan hiruk pikuk lalu lintas yang tak jauh dari sekolah, dapat menimbulkan kegaduhan suasana kelas. 2. Instrumental (a). Kurikulum, kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansional dalam pendidikan. Muatan kurikulum mempengaruhi intensitas dan frekuensi belajar anak didik. (b). Program, setiap sekolah mempunyai program pendidikan. Program pendidikan disusun untuk dijalankan demi kemajuan pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya program pendidikan yang dirancang. (c). Sarana dan fasilitas, sarana dan fasilitas mempengaruhi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik. (d). Guru, guru merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Kehadiran guru mutlak diperlukan di dalam pendidikan. Kalau hanya ada anak didik, tetapi guru tidak ada, maka tidak terjadi kegiatan belajar mengajar di sekolah. 3. Fisiologis (a). Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan sehat jasmani akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. (b). Kondisi pancaindra juga tidak kalah penting, terutama mata sebagai alat untuk melihat dan sebagai alat untuk mendengar.
27
4. Psikologis (a). Minat, adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan suatu hubungan antara diri sendiri dengn sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, maka semakin besar minat. (b). Kecerdasan merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar di sekolah. (c). Bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Hampir tidak ada yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan keberhasilan. (c). Motivasi, motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. (d). Kemampuan kognitif, terdapat tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Slameto (2010:5) dapat dibagi menjadi dua macam yaitu faktor yang berasal dari diri siswa (intern) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (ekstern).
A. Faktor Internal 1.) Faktor jasmani a). Kesehatan Agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusaha kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan bekerja belajar, istirahat, tidur, makan, olah raga, rekreasi dan ibadah. b)Cacat tubuh 28
Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi hasil belajar. Siswa yang cacat badannya, belajarnya juga tergangu. 2.) Faktor psikologi Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi seseorang, di dalam faktor psikologis ada tujuan faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu: 1) Intelegensi; 2) Perhatian; 3) Minat; 4) Bakat; 5) Motif; 6) Kematangan; 7) Kesiapan; dan 8) Cara belajar. 3)Faktor kelelahan Kelelahan pada seseorang dapat di bedakan memjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan jasmani tubuh akan terasa lemas, dan hal ini akan membuat siswa belajar nya yang tidak kondusif, dan mengantuk. Hal ini berbeda dengan kelelahan rohani, kelelahan rohani berkaitan dengan keleluasan, kelelahan keduanya ini mengakibatkan hasil belajar yang kurang oftimal.
B. Faktor Eksternal 1.) Faktor Keluarga a.) Cara Mendidik Anak Orang tua yang kurang atau tidak memperhatikan pendidikan anak, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar anaknya, selanjutnya tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingankepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan atau melengkapi alat belajar, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan belajar dari anak, serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain, dari hal-hal tersebut dapat menyebabkan anak tidak atau kurang berhasil dalam belajarnya.
29
b.) Relasi Antara Keluarga Relasi antara anggota keluarga adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak. Wujud relasi itu apakah hubungan itu penuh kasih sayang dan pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, sebetulnya relasi antar anggota keluarga ini erat hubungannya dengan cara orang tua mendidik. Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensukseskan belajar anak sendiri. c.) Suasana Rumah Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar. Suasana rumah juga merupakan faktor penting yang tidak disengaja, suasana rumah yang gaduh atau ramai dan semrawut tidak akan memberi ketenangan kepada anak yang belajar. d.) Keadaan Ekonomi Keluarga Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuh kebutuhan pokoknya, missal makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain – lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang, dalam pengertian orang tua perlu memberikan dorongan dan perhatian dalam anak belajar. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah, kadangkadang anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya dan 30
membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak di sekolah, kalau perlu menghubungi guru anaknya untuk mengetahui perkembangannya. e.) Latar Belakang Kebudayaan Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar. 2. Faktor Sekolah a.) Metode Mengajar. Metode mengajar adalah suatu cara atau jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Menurut Ign. S. Ulih Bukit Karo Karo “Mengajar adalah menyajikan bahan pelajaran oleh orang kepada orang lain agar orang lain menerima, menguasai dan mengembangkannya”. b.) Kurikulum Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu. Jelaslah bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa. Kurikulum yang kurang baik berpengaruh tidak baik terhadap belajar. Perlu diingat bahwa sistem instruksional sekarang menghendaki proses belajar mengajar yang mementingkan kebutuhan siswa, guru perlu mendalami siswa dengan baik, harus mempunyai perencanaan yang mendetail, agar dapat melayani siswa belajar secara individual.
31
c.) Relasi Guru dengan Siswa Di dalam relasi (guru dengan siswa) yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa berusaha mempelajarinya sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya, jika siswa membenci gurunya, maka siswa segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya, akibatnya pelajarannya tidak maju. d.) Relasi Siswa dengan Siswa Siswa yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok. Akibat makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya. Lebih-lebih lagi siswa menjadi malas untuk masuk sekolah dengan alasan- alasan yang tidak-tidak karena di sekolah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman – temannya. Menciptakan relasi yang baik antar siswa adalah perlu, agar dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar siswa. e.) Disiplin sekolah Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai atau karyawan dalam pekerjaan administrasi dan kebersihan atau keteraturan kelas, gedung sekolah dan lain-lain. Oleh sebab itu agar siswa belajar lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar baik di sekolah, di rumah dan di perpustakaan, agar siswa disiplin haruslah guru beserta staf yang lain disiplin pula. Alat pelajaran erat hubungannya dengan model belajar siswa, karena alat pelajaran yang dipakai oleh guru pada waktu mengajar dipakai pula oleh siswa untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar 32
penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa. f.) Waktu sekolah Waktu sekolah adalah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi, siang, sore atau malam hari. Waktu sekolah juga mempengaruhi belajar siswa, jika terjadi siswa terpaksa masuk sekolah sore hari, sebenarnya kurang dapat dipertanggungjawabkan, dimana siswa harus istirahat tetapi terpaksa harus masuk sekolah sehingga mereka masuk sekolah dengan keadaan mengantuk dan sebagainya. Jadi memilih waktu sekolah yang tepat dapat memberi pengaruh yang positif terhadap belajar. g.) Standar Pelajaran Ukuran Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memberi pelajaran di atas ukuran standar. Bila banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar yang mengingat perkembangan psikis dan kepribadian siswa yang berbeda-beda, hal tersebut tidak boleh terjadi. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan siswa masingmasing. Yang terpenting tujuan dari apa yang telah dirumuskan dapat tercapai. h.) Keadaan Gedung Jumlah siswa yang banyak serta variasi karakteristik mereka masing-masing, menuntut keadaan gedung dewasa ini harus memadai di dalam setiap kelas. Supaya dimungkin mereka dapat belajar dengan baik, meskipun kelas tersebut tidak memadai bagi setiap siswa.
33
i.) Metode Belajar Banyak siswa malaksanakan cara belajar yang salah, dalam hal ini perlu pembinaan dari guru. Melalui metode belajar yang tepat dan efektif, diharapkan hasil belajar siswa meningkat. Selain itu dalam pembagian waktu belajar, terkadang siswa belajar tidak teratur, atau terus-menerus, dikarena akan menghadapi tes. j.) Tugas rumah Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di samping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan peserta didik di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain. 3. Faktor Masyarakat a.) Kegiatan Siswa Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa mengambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak, misalnya berorganisasi, kegiatankegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajarnya akan terganggu, terlebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktu. b.) Mass Media Mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar, majalah, buku-buku, komik-komik dan lainlain. Mass media yang baik memberi pengaruh yang baik terhadap siswa dan juga terhadap belajarnya, tetapi sebaliknya mass media yang buruk juga berpengaruh buruk terhadap siswa. Maka dari itulah perlu kiranya siswa mendapatkan bimbingan dan kontrol yang cukup bijaksana dari pihak orang tua dan
34
pendidik, baik di dalam keluarga, sekolah masyarakat agar tidak terjadi salah langkah.
dan
c.) Teman Bergaul. Pengaruh dari teman bergaul siswa lebih dapat masuk dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya, teman bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang bersifat buruk juga. d.) Bentuk Kehidupan Masyarakat Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik, dapat berpengaruh buruk kepada anak (siswa) yang berada di situ. Anak atau siswa tertarik untuk ikut berbuat seperti yang dilakukan oaring-orang di sekitarnya Lingkungan sekitar Keadaan lingkungan, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas dan sebagainya. Misalnya bangunan rumah penduduk yang sangat sempit, lalu lintas yang membisingkan, suasana hiruk pikuk orang disekitar, suara pabrik, polusi udara, iklim yang terlalu panas. semuanya akan mempengaruhi gairah dan minat belajar. Sebaliknya tempat yang sepi dengan iklim yang sejuk, ini akan menunjang proses belajar. Keadaan alam yang tenang dengan udara yang sejuk ikut mempengaruhi kesegaran jiwa murid sehingga memungkinkan hasil belajarnya lebih tinggi daripada lingkungan yang gaduh dengan udara yang panas dan kotor. Selain faktor-faktor yang telah diuraikan diatas, ada faktor lain yang tidak kalah penting berpengaruhnya terhadap hasil belajar. Faktor tersebut yaitu penggunaan model pembelajaran yang tepat pada saat proses pembelajaran.
35
Menurut revisi taksonomi Bloom (1956) Lorin Anderson, domain belajar terbagi menjadi empat yaitu: yaitu domain kognitif, afektif, psikomotorik, dan social, yang disebut sebagai Developing Human Potential in Four Domains for Learning and Doing (Peggy Dettmer, 2006). Keempat domain dalam taksonomi Bloom yang dikembangkan tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.4 Developing Human Potential in Four Domains for Learning and Doing Domain
Cognitive
Affective
Process
thinking
feeling
Content
intellectual
emotional
Purpose
Expand thinking
Enhance feeling
Goal
To gain knowledge
To develop selfunderstanding
Basic
Know
Learning
Comprehend
Applied
Apply Analyze Evaluate Synthesize Image Create
learning Ideational learning
Sensorimotor Sensing and moving physical Cultivate senses and movement
Social
Unified
interacting
doing
sociocultural
holistic
Enrich relationships
Optimize potential
To nurture selfexpression
To cultivate Socialization
To realize selffulfillment
Receive
Observe
Relate
Perceive
Respond
React
Communicate
Understand
Value Organize Internalize Characterize Wonder Aspire
Act Adapt Authenticate Harmonize Improvise Innovate
Participate Negotiate Adjudicate Collaborate Initiate Convert
Use Differentiate Validate Integrate Venture Originate
Sumber: Peggy Detmer (2006) Berdasarkan tabel 2.4 juga dilakukan pengembangan pada jenjang atau level pada setiap domain, dan setiap level tersebut akan dikembangkan lagi menjadi kata operasional yang kemudian akan digunakan untuk membuat butir pertanyaan dalam mencapai tujuan setiap domain. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi kata operasional pada setiap level domain yang berguna untuk mempermudah guru dalam merumuskan pertanyaan yang digunakan sebagai instrument pengukur prestasi belajar siswa. Berikut dijelaskan untuk masing-masing domain belajar: 36
Domain Kognitif Versi Baru Cognitive Domain (Ranah Kognitif), menggambarkan perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Menurut taksonomi Bloom (1956), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarkis yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, seintesis, dan evaluasi. Anderson dan Krathwohl's Taksonomi (2000) merevisi level kognitif tersebut menjadi: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi (Leslie Owen Wilson, 2006). Perbedaan utama versi lama dan baru adalah tidak hanya pada daftar atau rewordings dari nomina ke verba, atau dalam mengubah nama dari beberapa komponen, atau bahkan di reposisi dari dua kategori terakhir. Perbedaan utama terletak dalam penambahan lebih bermanfaat dan komprehensif tentang bagaimana memotong taksonomi dan bertindak atas berbagai jenis dan tingkat pengetahuan - faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Versi domain kognitif yang lebih terbaru lagi adalah pengembangan level kognitif menjadi 8 level. Pada tabel Developing Human Potential in Four Domains for Learning and Doing di atas, level kognitif ada 8 yaitu pengetahuan (know), pemahaman (comprehend), aplikasi (apply), analisis (analyze), evaluasi (evaluate), sintesis (synthesize), imajinasi (image), dan kreasi (create). Domain Afektif Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilakuperilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Level afektif versi lama terdiri dari 5 level yakni: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization by a value or value complex. Pada versi terbaru, level domain afektif terdiri dari receive, respond, value, organize, internalize, characterize, wonder, dan aspire (Peggy Dettmer, 2006). 37
Domain Sensorimotor Versi lama domain sensorimotor memiliki 7 level yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas. Pada versi yang terbaru, level domain sensorimotor adalah: mengamati (observe), bereaksi (react), bertindak (act), mengadaptasi (adapt), mengotentikasi (authenticate), menyelaraskan (harmonize), memperbaiki (improvise), dan berinovasi (innovate) (Peggy Dettmer, 2006). Domain Sosial Domain sosial merupakan versi terbaru dalam domain tujuan pendidikan. Domain ini mencakup penilaian terhadap kompetensi sosial siswa dalam pembelajaran. Sama seperti domain lainnya, domain sosial juga terdiri dari delapan level yaitu: relate, communicate, participate, negotiate, adjudicate, collaborate, initiate, dan convert (Peggy Dettmer, 2006).
2.6 Penelitian yang Relevan Berikut ditunjukkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan NHT, dimana hasil penelitian tersebut mendukung penelitian penulis: 1) Magor (2010), meneliti tentang Perbandingan Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model STAD (Student Teams Achievement Divisions) Dan NHT (Numbered Heads Together) Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Ekonomi Kelas VII pada Pokok Bahasan Kegiatan Pokok Ekonomi Manusia di SMP Negeri I Singosari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran kooperatif teknik STAD lebih efektif dibandingkan dengan kelas yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran kooperatif teknik NHT. 38
2) Nugroho (2011), melakukan penelitian tentang Perbedaan Hasil Belajar Kimia Antara Siswa yang Diberi Model NHT (Numbered Heads Together) dengan STAD (Student Teams Achievement Divisions) Kelas XI Konsep Laju Reaksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model belajar NHT memberikan pengaruh yang signifkan dibandingkan dengan model belajar STAD terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi. 3) Nababan (2012), meneliti tentang Perbedaan Peningkatan Hasil Belajar Kimia Siswa Dengan Menggunakan Metode STAD (Student Teams Achiviement Divisions) dan NHT (Number Head Together) Berbasiskan Peta Konsep Pada Materi Hidrokarbon Di Kelas X SMAN 7 Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode NHT (Number Head Together) lebih mempengaruhi peningkatan hasil belajar kimia siswa, dibandingkan metode STAD (Student Teams Achiviement Divisions). 4) Irmadani (2013), meneliti tentang Perbedaan Hasil Belajar Ekonomi Siswa yang Belajar Dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Number Head Together) Dengan Tipe STAD (Student Teams Achiviement Divisions) Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 7 Padang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar ekonomi siswa dengan metode pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih tinggi, dari pada hasil belajar ekonomi siswa yang diajar dengan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD. 5) Pramanik (2013), mengadakan penelitian tentang Perbedaan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar Kognitif Pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, Numbered Head Together (NHT) dan Student Teams Achievement Divisions (STAD), (Studi Eksperimen Pada Materi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Mata Pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup Di Kelas VII di SMP Negeri 2 Cilawu Garut). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar kognitif pada pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw dibanding NHT dan STAD pada Materi Pencemaran 39
dan Kerusakan Lingkungan. Perbedaan hasil belajar tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik dari tipe Jigsaw dan tipe NHT. 6) Ramadani (2013), meneliti tentang Perbedaan Motivasi dan Hasil Belajar Kognitif IPA Antara Kelas yang Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) dan Student Teams Achievement Divisions (STAD). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih efektif untuk meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar kognitif IPA dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2.7 Hipotesis Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 1996). Suatu hipotesis akan diterima bila data yang dikumpulkan mendukung pernyataan. Hipotesis merupakan asumsi dasar yang kemudian membuat suatu teori dan masih diuji kebenarannya. Berikut adalah hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini: a. Ho : µ1 = µ2
Tidak ada perbedaan hasil belajar siswa pada matapelajaran matematika yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas VIII A, dan model pembelajaran kooperatif tipe NHT di kelas VIII F, di SMP Negeri 1 Getasan.
40
b. H1: µ1 ≠ µ2
Ada perbedaan hasil belajar siswa pada matapelajaran matematika yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas VIII A, dan model pembelajaran kooperatif tipe NHT di kelas VIII F, di SMP Negeri 1 Getasan.
2.8 Kerangka Berpikir Berdasarkan penyajian diskripsi teoritik, dapat disusun suatu kerangka berpikir untuk memperjelas arah dan maksud penelitian dari suatu penelitian. Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan variabel yang dipakai dalam penelitian, yang mana dipakai untuk mengetahui perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1 Getasan. Keberhasilan dari proses belajar mengajar dapat dilihat dari hasil belajar siswa. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, salah satu diantaranya adalah model pembelajaran yang digunakan atau dipakai oleh guru. Penggunaan model mengajar yang tepat dapat memberi pengaruh yang besar terhadap keberhasilan guru dalam mengajar. Pemilihan model pengajaran yang tidak tepat dapat menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Berikut adalah skema kerangka berfikir: Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Hasil Belajar Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT 41