BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.
Environmentally Sustainable, Healthy and Liveable Human Settlement Topik ini secara umum dapat diterjemahkan sebagai “Lingkungan yang Para Penghuninya Hidup Sehat dan Sejahtera Secara Berkelanjutan”. Environmentally sendiri berasal dari kata environment yang berarti lingkungan, sedangkan sustainable memiliki arti berkelanjutan. Pengertian sustainability dapat dipahami dengan definisi dari sustainable development menurut Bruntland Report (1987): “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” atau bila diterjemahkan, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa harus mengorbankan
kemampuan
generasi
masa
depan
dalam
memenuhi
kebutuhannya. Sehingga yang terpenting adalah memahami bagaimana kita memanfaatkan sumber daya lingkungan yang ada secara bijaksana sehingga tidak menghabiskan cadangan sumber daya lingkungan untuk generasi masa depan. Salah satu kunci dalam memahami sustainability adalah memahami keterkaitan antar berbagai aspek dalam lingkungan. “Healthy and Liveable” dapat diartikan sebagai “sehat dan sejahtera” dalam arti lingkungan yang ditinggali ini harus bisa memberikan dampak positif terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan bagi si penghuninya. “Human Settlement”diartikan sebagai suatu tempat untuk sekelompok manusia
tinggal,
bernaung,
berlindung.
Sehingga
“Environmentally
Sustainable, Healthy and Liveable Human Settlement” memiliki definisi, “Suatu lingkungan tempat sekelompok manusia yang pembangunannya dapat memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa harus mengorbankan generasi mendatang, dan memberikan dampak positif terutama kesehatan dan kesejahteraan bersama”. Selain itu, hasil dari“ Sustainable Human Settlements” tergantung dari pembangunan yang dilakukan, diharapkan membawa perubahan yang lebih baik melalui hubungan antara penghuni, bangunan dan lingkungannya, ramah lingkungan - tidak saling merusak tetapi ada keselarasan melalui kesatuan bentuk bangunan dengan lingkungan sekitar, 17
18
bisa juga melalui warna yang disesuaikan kebutuhan sehingga hal ini membuat segalanya menjadi harmonis. Desain dari bangunan dan lingkungannya diharapkan memberikan pengaruh pada kebiasaan penghuni di dalam dan sekitarnya sehingga kesehatan dan kesejahteraan orang tersebut berubah ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, konsep, metode pembangunan, dan pengaplikasiannya memiliki peran penting dalam pembangunan tsb. “Promote, where appropriate, planning and good design in human settlements, both in new developments and in upgrading and rehabilitation, while emphasizing asethetics qualities as well as sound and sustainable technical and functional qualities, enriching and enlightening to overall quality of life of people”. (un-documents.net/ha-4c.htm) Perencanaan dan desain yang baik pada lingkungan hunian manusia, diharapkan mampu meningkatkan mutu dan memperbaiki keadaan kesehatan dan kesejahteraan manusia yang tinggal di dalamnya dan di sekitar bangunan tersebut. Melalui estetika dan faktor lain seperti suara, konsep berkelanjutan, kualitas fungsi ruang dalam bangunan sehingga mencerahkan keseluruhan kualitas hidup manusianya. Menurut Abraham H.Maslow, faktor internal & eksternal mempengaruhi perkembangan psikologis seseorang. Menurut Teori Rapoport, pendekatan perilaku penghuni menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda-beda pula, menyesuaikan keadaan penghuninya. Salah satu ciri yang menonjol dari seorang pecandu narkoba adalah pola perilaku mereka. Melalui pola perilaku mereka, kita bisa mengamati serta memahami kebutuhan
yang mereka perlukan. Karena, sesungguhnya
rehabilitasi sosial atau pendekatan emosi lebih menentukan setelah masa rehabilitasi selesai, agar mereka tidak kembali menggunakan narkoba. Pendekatan perilaku, menekankan pada keterkaitan antara ruang, dengan masyarakat atau individu yang memanfaatkan atau menghuni ruang tersebut. Melalui pendekatan ini, kita akan melihat perlunya memahami perilaku manusia atau masyarakat (yang berbeda-beda dalam setiap tempat, waktu dan kondisi) dalam memanfaatkan ruang. Ruang dalam pendekatan ini dilihat mempunyai arti dan nilai yang plural dan berbeda, tergantung tingkat apresiasi dan kognisi individu-individu yang menggunakan ruang tersebut.
19
Dengan kata lain pendekatan ini melihat bahwa aspek-aspek norma, kultur, psikologi masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda, (Rapoport, 1969). Secara konseptual pendekatan perilaku dalam proses perencanaan dan perancangan pusat rehabilitasi narkoba, menekankan bahwa para rehabilitan merupakan makhluk berpikir yang mempunyai persepsi dan keputusan tersendiri dalam berinteraksi dengan lingkungan (seputar pusat rehabilitasi). Dengan
demikian,
dalam
menyusun
konsep
perencanaan
dan
perancangan juga harus memperhatikan psikologi rehabilitan, serta aspek interaksi antara para rehabilitan dengan lingkungannya. Penciptaan lingkungan yang familiar adalah merencanakan bangunan yang akrab dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Bangunan pusat rehabilitasi yang akrab dengan lingkungan sekitar, salah satunya adalah dengan memanfaatkan elemen-elemen yang ada disekitarnya ke dalam perencanaan dan perancangan pusat rehabilitasi, karena suasana lingkungan sekitar dapat mendukung proses pemulihan pecandu narkoba.
2.2.
Narkotika Penyalahgunaan narkoba adalah sebuah permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia, bahkan negara-negara lainnya. Istilah NARKOBA sesuai dengan Surat Edaran Badan Narkotika Nasional ( BNN ) No. SE/ 03/ IV/ 2002, merupakan akronim dari NARkotika, psiKOtropika, dan Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat - zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Istilah narkoba sebenarnya muncul sekitar tahun 1998 karena banyaknya penggunaan maupun pemakaian barang - barang yang termasuk narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya. Di dalam masyarakat sudah banyak mengenal macam-macam narkoba walaupun tidak seluruhnya, antara lain : ganja, heroin, sabu-sabu, inek, putaw dan lain sebagainya ( Zulkarnain, 2007 : 2 ) Narkoba disuatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan (waktu operasi, untuk penenang), akan tetapi di sisi lain penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, (Taufik makaro, 2007 : 17)
20
2.2.1. Jenis-jenis Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang N0. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika dibagi menjadi 3 golongan yaitu : 1.) Golongan pertama Golongan opoida atau opiate yaitu narkotik yang didapat dari tanaman papaver somnivrum (biji, buah, bunga, jerami). Opium mentah didapat dari getahnya. Opium yang sudah dimasak berupa candu, jicing, jicingko. Opium yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama morfin yang dibuat dari opium mentah sebagai alkaloid utama menurut cara yang telah ditentukan jenis opoida yang paling sering disalahgunakan di dunia adalah heroin, yang penggunaannya dapat lewat suntikan ataupun di drag (isapan). 2.) Golongan kedua Golongan kokain yaitu diambil dari tanaman koka (Erythroxylonyp). Zat ini dibuat dari semua bagian tanaman koka, yang basah maupun kering kemudian dihaluskan dalam bentuk kokain murni. Orang Jawa mengenal tanaman ini dengan nama kokoino yang biasa dipakai untuk menghilangkan rasa sakit (analgetika). 3.) Golongan ketiga Ganja yang didapat dari tanaman Canabis sp. Pada mulanya, tanaman ini di Amerika Latin dipakai untuk makanan ternak atau sering juga seagai bumbu masak. Sekarang sudah tersebar di seluruh dunia, dan di propinsi Aceh terkenal sebagai daerah penghasil ganja di Indonesia. Peredaran ganja yang sudah banyak beredar adalah dalam bentuk rokok daun ganja kering.
2.2.2. Penyalahgunaan Narkotika Dalam UU No. 35 Tahun 2009 Bab I angka 15 Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Dalam masyarakat modern ini dimana kehidupan sudah sangat rumit, maka diperlukan pengaturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat, apalagi jika diamati banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang begitu cepat. Dengan adanya perubahan yang sangat cepat
21
maka itu berarti kejahatan yang terjadi dalam masyarakat juga semakin bervariasi, oleh karena itu diperlukan peranan penegak hukum untuk menangani masalah kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.
2.3.
Pecandu Narkotika Menurut UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Bab I Ketentuan Umum angka 13, Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
2.4.
Ketergantungan Narkotika Menurut UU No, 35 tahun 2009 tentang Narkotika Bab I Ketentuan Umum angka 14, Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba menimbulkan gejala fisik dan psikis yang sama. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki. Hasil penelitian Rilley dan Schutte dalam (Handoko, 2009) menunjukkan
bahwa
prediktor
penting
di
dalam
permasalahan
penyalahgunaan NAPZA adalah kecerdasan emosional yang rendah. Penelitian Caruso, Mayer, dan Salovey dalam (Handoko, 2009) juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang rendah berhubungan secara signifikan
dengan
penyalahgunaan
NAPZA,
alkohol,
serta
dapat
meningkatkan perilaku menyimpang. Penelitian yang dibuktikan oleh Alcoholics Anonymous dan program pemulihan obat terlarang yang didasarkan pada lebih dari 200 orang pasien pecandu heroin dapat disembuhkan dengan mengajarkan kecerdasan emosional yang mendasar cenderung akan menghilangkan keinginan untuk menggunakan obat terlarang (Goleman, 2007). Mayoritas
pecandu
Narkoba
adalah
remaja.
Alasan
remaja
mengkonsumsi narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, identitas dan kelabilan emosi (Supriatna, 2012). Kelompok remaja merupakan populasi berisiko dalam penyalahgunaan narkoba. Masa
22
remaja seringkali identik dengan masa pencarian jati diri sehingga mendorong remaja berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru diketahui termasuk mencoba mengkonsumsi NAPZA. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan (Syam, 2007) bahwa rasa ingin tahu bagi kalangan muda tidak hanya sebatas pada hal-hal yang negatif. Akan tetapi rasa ingin tahu terhadap narkotika dan psikotropika ini merupakan salah satu pendorong bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang menyimpang termasuk keingintahuan terhadap NAPZA (Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) yang pada akhirnya sampai menimbulkan ketergantungan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa informan pada usia 15 tahun telah mengenal dan mengkonsumsi NAPZA. Solidaritas persahabatan seringkali dijadikan sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan untuk dilakukan secara bersama. Pada usia ini, kematangan secara psikologi belum stabil, masih sering merasa kurang bermanfaat di lingkungannya dan sangat mudah terprovokasi dari orang lain, hal ini medorong mereka untuk berperilaku menyimpang termasuk mengkonsumsi NAPZA. Hal ini sesuai dengan penelitian (Adisukarto, 2001); (Yurliani, 2007), bahwa 47,7 % korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja. Di samping pengetahuan, usia, faktor internal yang mempengaruhi informan dalam mengkonsumsi NAPZA adalah faktor pendidikan. Pendidikan merupakan modal utama yang sangat diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan hidupnya dengan baik. Baik pendidikan formal maupun non formal. Dengan pendidikan, seseorang akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak seharusnya dilakukan. Sehingga dengan pendidikan yang baik seseorang tidak akan terjerumus ke dalam permasalahan penyakit-penyakit masyarakat (Supriatna, 2012). Hal ini menjadi catatan penting bahwa seyogyanya pihak sekolah secara dini memperkenalkan kepada siswa tentang NAPZA agar menjadi tambahan informasi yang sangat penting bagi siswa bahwa mengkonsumsi NAPZA merupakan perilaku yang membahayakan baik bagi diri siswa, keluarga, dan lingkungan masyarakat.
2.5.
Tipikal Manusia dan Penyalahgunaan Nakoba - Pembuat Narkoba
23
- Pengedar/ Bandar Narkoba - Pengecer Narkoba - Pecandu Narkoba
2.6.
Jenis Pecandu yang di Rehabilitasi Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pihak panti rehabilitasi dan data dari perpustakaan BNN, jenis pecandu yang direhabilitasi, yaitu: - Pecandu yang tertangkap polisi (di tindak pidana lalu di masukan ke Panti Rehabilitasi Narkoba milik pemerintah) - Pecandu yang diserahkan oleh keluarga/ menyerahkan diri langsung ke Panti Rehabilitasi Narkoba; tidak akan ditindak pidana. Pecandu yang akan masuk ke Panti Rehabilitasi harus bebas dari penyakit TBC dan Hepatitis, selain itu tidak sakit jiwa, dan masih sadar.
2.7.
Tingkatan Pecandu Narkoba a.) Abstinence Periode dimana seseorang tidak menggunakan narkoba sama sekali untuk tujuan rekreasional. b.) Social Use Periode di mana seseorang sudah mulai mencoba narkoba untuk tujuan rekreasional namun tidak berdampak pada kehidupan sosial, financial, dan juga medis si pengguna. Artinya si pengguna ini masih bisa mengendalikan kadar penggunaan narkoba tersebut. c.) Early Problem Use Periode dimana individu sudah menyalahgunakan zat adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah menimbulkan efek negatif dalam kehidupan sosial si penyalahguna seperti malas sekolah, bergaul dengan orang-orang tertentu saja, dll. d.) Early Addiction Kondisi si pecandu yang sudah menunjukan perilaku ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini mengganggu kehidupan sosial yang bersangkutan. Si pecandu ini sangat sulit untuk menyesuaikan dengan pola kehidupan normal, dan cenderung untuk melakukan hal - hal yang melanggar nilai dan norma yang berlaku.
24
e.) Severe Addiction Periode
dimana
seseorang
yang
hanya
hidup
mempertahankan
kecanduannya dan sudah mengabaikan kehidupan sosial dan diri sendiri. Pada titik ini, si pecandu akan berani melakukan tindakan kriminal demi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba.
2.8.
Dampak Narkoba Menurut Julianan Lisa FR dan Nengah Sutrisna WR dalam bukunya “Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa”, dampak narkoba dan psikotropika terhadap kesehatan secara umum ada 3 yaitu: 1.) Depresan - menekan atau memperlambat fungsi sistem syaraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh. - dapat membuat pemakai merasa tenang, memberikan rasa melambung tinggi, memberi rasa bahagia, bahkan tertidur atau tidak sadar diri. 2.) Stimulan - merangsang sistem syaraf pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran. - mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan, mempercepat detak jantung, tekanan darah, dan pernafasan. 3.) Halusinogen - dapat mengubah rangsangan indra yang jelas serta mengubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi. Akibat yang ditimbulkan oleh narkotika dan obat terlarang adalah : -Habituation, adalah kebiasaan buruk, yaitu menggantungkan diri pada jenis obat-obat tertentu dalam bentuk ketergantungan psikis. Dalam hal ini penyetopan secara mendadak akan menimbulkan efek-efek kejiwaan seperti merasa seolah-olah tidak pernah sembuh, sehingga akhirnya akan memakai obat-obatan lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang lagi. - Addiction/ kecanduan Pemakaian
narkotika
dapat
mengakibatkan
kecanduan,
adapun
tanda-tanda orang yang mengalami kecanduan adalah : a) Tolerance, yaitu kebutuhan akan dosis yang semakin lama semakin meningkat.
25
b) Withdrawal, yaitu reaksi kemerosotan kondisi fisik, sehingga pengurangan obat / penyetopan pemakaian akan menimbulkan gejala - Keringat dingin, gemetaran, gugup dan cemas - Sensitif, depresi - Sakit kepala, tidak bisa tidur - Pupil mata mengecil - Kekurangan gizi, rasa mual, berak-berak dan perut kejang - Bekerja dan berpikir tanpa tujuan - Tidak punya ambisi, kemauan dan perhatian - Detak jantung bertambah cepat - Mudah terkena infeksi - Menjadi seperti gila - Rusaknya sel-sel syaraf dan bagian otak - Mendatangkan kematian c) Mengasingkan diri dari masyarakat Mereka yang mengalami ketergantungan obat akan mengingkari tata hidup yang berlaku dalam masyarakat bahkan memberontak terhadap tatanan yang berlaku. Sehingga mereka ingin hidup bebas, yaitu tidak teganggu norma-norma atau peraturan. Berikut adalah efek dan tanda-tanda pada fisik bagi pengguna narkotika dan obat terlarang : 1.) Cocaine - Pada otak : memiliki kegembiraan berlebihan, harga dirinya meningkat, sensitif dan mudah berkelahi. Sering tidak punya uang dan mencuri. - Pada mata : manik mata melebar, tetapi akan tidur tanpa makan dan minum berhari-hari. - Pada pencernaan : mual-mual dan muntah angin, sering kejang. - Pada jantung : tekanan darah tinggi, gelisah dan berkeringat dingin. 2.) Ganja - Pada otak : tidak peduli dengan lingkungan, apatis, pemakaian jangka lama menyebabkan struktur syaraf rusak, merasa senang terus tetapi depresi. - Pada mata : mata merah - Pada pencernaan : nafsu makan meningkat
26
3.) Ekstasi - Pada otak : penyempitan pembuluh darah pada otak, depresi, paranoid, bahkan kerusakan permanen pada otak, hiperaktif. - Pada rongga mulut : dehidrasi karena selalu merasa haus 4.) Shabu-shabu - Membuat pemakainya berubah kepribadian mudah panik, menjadi paranoid/
ketakutan
berlebihan
selama
lebih
dari
12
jam,
berhalusinasi,sakit perut dan mual.
2.9.
Tahapan Pemulihan Para Pecandu Narkoba Proses kegiatan rehabilitasi ketika pasien menjalani proses rehabilitasi, setiap pecandu narkoba yang memasuki pusat rehabilitasi narkoba ini menjalani serangkaian proses kegiatan. Untuk membagi berbagai macam kegiatan dengan tujuan yang berbeda-beda, terdapat beberapa macam bidang kegiatan dalam perencanaan pusat rehabilitasi narkoba, antara lain yaitu : 1.) Pelayanan Rehabilitasi Medis Pelayanan rehabilitasi medis ini bertujuan untuk mengeluarkan racun dari tubuh pecandu narkoba sehingga untuk selanjutnya, racun-racun dari zat adiktif tersebut dapat hilang atau berkurang sehingga rehabilitan terlepas dari ketergantungan obat-obat terlarang tersebut secara fisik. Pelayanan rehabilitasi medis ini wajib dijalani oleh semua pecandu narkoba yang datang dalam berbagai kondisi, baik nantinya rehabilitan menjalani rawat jalan, inap, maupun program rehabilitasi menyeluruh. Secara umum, bidang ini meliputi : A.) Bidang Penerimaan Awal Pada tahap ini, merupakan proses yang dijalani para rehabilitan ketika datang dan akan memulai menjalani proses rehabilitasi. Proses yang ada pada penerimaan awal ini diantaranya : a.) Calon rehabilitan yang merupakan pecandu narkoba datang dengan didampingi orang tua maupun rekomendasi dari dinas sosial ataupun pihak berwajib yang telah menyepakati kerjasama. Proses ini dimaksudkan untuk membangun komunikasi antara wali/orang tua rehabilitan, rehabilitan itu sendiri dan juga dengan pihak pusat rehabilitasi.
27
b.) Pendaftaran dilakukan untuk mendata calon rehabilitan apakah sudah pernah datang ataukah baru pertama kalinya. c.) Pemeriksaan awal ini adalah berupa wawancara antara calon rehabilitan dengan para konselor/ pembimbing. Wawancara ini berkisar mengenai riwayat penggunaan obat-obatan rehabilitan dan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh mereka. Hal ini diperlukan untuk dijadikan dasar/ pegangan dalam penanganan selanjutnya. d.) Penyusunan program sementara dilakukan setelah mengetahui diagnosa sementara dan dilakukan tindakan sementara, dengan tujuan untuk menyelamatkan rehabilitan (terutama rehabilitan gawat darurat yang mengalami over dosis). Selain itu, dalam tahap ini para rehabilitan, dianalisa apakah perlu menjalani perawatan inap ataukah cukup dengan rawat jalan. B.) Bidang Poliklinik Setelah pemilihan sistem penyembuhan yang meliputi apakah rehabilitan cukup menjalani rawat jalan, rawat inap, atau menjalani serangkaian program rehabilitasi. Pemeriksaan yang dilakukan di poliklinik antara lain adalah : a.) Pemeriksaan interna atau penyakit dalam, yaitu rehabilitan diperiksa keadaan kesehatan organ tubuhnya yaitu jantung, ginjal dan paru-paru. Hal ini dilakukan karena organ-organ itu merupakan yang sering terkena dampak langsung dari konsumsi narkoba. Bila diketahui terdapat gangguan pada fungsi organ tersebut, maka dokter interna akan memberikan rujukan untuk menjalani program detoksifikasi atau pengeluaran racun. b.) Pemeriksaan psikologis dan psikiater ini pemeriksaan rehabilitan dan pengantar berada dalam ruang pemeriksaan bersama psikiater dan psikolog untuk dimintai keterangan tentang latar belakang pemakaian, jenis narkoba yang dikonsumsi, cara pemakaian dan lainnya yang berhubungan dengan riwayat pemakaian. Tahap ini perlu dilakukan untuk mengetahui keadaan psikis rehabilitan dan obat atau materi yang akan diberikan untuk menghilangkan ketergantungan rehabilitan terhadap narkoba. c.) Pemeriksaan laboratoriumdijalani untuk pemeriksaan kondisi
28
darah, urine, dan ludah untuk mengetahui kandungan kadar obat dan racun yang ada di dalam tubuh. Proses ini dilakukan untuk mengetahui tindakan selanjutnya dalam menentukan pemberian dosis untuk pengeluaran racun. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan USG dan pemeriksaan radiology untuk mengetahui kemungkinan adanya
komplikasi
penyakit
lain
yang
disebabkan
oleh
ketergantungan narkoba. C.) Bidang Perawatan Medis Setelah
menjalani
beberapa
tahap
pemeriksaan
sebelumnya,
rehabilitan ketergantungan narkoba melaksanakan proses pemulihan atau rehabilitasi, selanjutnya yaitu detoksifikasi dan stabilisasi. a.) Detoksifikasi adalah pengeluaran racun dari dalam tubuh rehabilitan sehingga kondisi rehabilitan pecandu narkoba terbebas dari pengaruh zat-zat adiktif yang telah mengendap akibat mengkonsumsi narkoba. Selain itu juga, untuk membebaskan dari kondisi ketergantungan. b.) Stabilisasi, merupakan tahap penenangan terutama bagi rehabilitan yang mengalami tingkat ketergantungan patologik, yaitu kadar zat yang dikandung dalam darah lebih tinggi dari standar ketergantungan biasa/ melebihi ambang toleransi. Rehabilitan yang mengalami tingkat ketergantungan ini kesadarannya sangat rendah. Kecuali itu jika konsumsi narkoba dihentikan akan mengalami gejala putus obat atau yang lebih dikenal dengan sebutan sakaw, yaitu mengalami kesakitan diseluruh tubuh, pemberontakan dan mungkin melakukan hal-hal berbahaya lainnya yang membahayakan dirinya dan juga orang lain. Dengan keadaan demikian maka rehabilitan memerlukan perawatan dan keamanan yang sangat insentif. Biasanya rehabilitan dengan kasus seperti ini mempunyai ruangan khusus yang terpisah dari rehabilitan lainnya yang mempunyai ketergantungan secara psikologik atau yang lebih tenang. Disamping itu, perawatan khusus lainnya juga diperuntukkan bagi rehabilitan dengan kasus seperti komplikasi gangguan penyakit dalam seperti paru-paru, ginjal, dan jantung. Hal ini dikarenakan mereka memerlukan penanganan yang berbeda dari rehabilitan biasa.
29
c.) Perawatan Sosialisasi/ Rehabilitan Ketergantungan Psikologik Sistem perawatan pada tahap ini yaitu rehabilitan beristirahat total, dengan pemeriksaan kunjungan oleh dokter untuk pemantauan kondisinya setiap hari. Biasanya rehabilitan pada tahap ini adalah rehabilitan dengan ketergantungan psikologik dengan kadar zat beracun dalam darah sesuai standar. Biasanya mereka bersifat lebih tenang, sehingga dapat bergabung dengan rehabilitan yang lain. Selain itu, rehabilitan juga mendapatkan bimbingan psikologis untuk memberikan ketenangan dalam menjalani proses detoksifikasi. Perawatan medis ini memerlukan waktu yang berbeda-beda pada setiap pasien, karena tergantung pada keadaan kadar zat psikotropika dalam darah. Biasanya waktu yang diperlukan dalam tahap ini adalah 1 sampai 3 minggu. Setelah kadar zat dalam darah normal dan atas pemeriksaan
dokter
direkomendasikan
dinyatakan
untuk
menjalani
pulih, tahap
maka
rehabilitan
selanjutnya,
yaitu
rehabilitasi sosial. 2.) Bidang Rehabilitasi Sosial Pada tahap ini rehabilitan telah sembuh secara fisik dari ketergantungan narkoba. Selain bersih secara fisik dari ketergantungan narkoba, para pecandu narkoba ini juga memerlukan pendekatan berupa bimbingan sosial agar secara lahiriah, jiwa mereka juga terbebas dari godaan narkoba. Usaha rehabilitasi sosial ini bertujuan untuk menimbulkan semangat kembali atau self-motivation agar mereka dapat kembali ke tengah-tengah masyarakat. Aspek-aspek terapi yang dilakukan pada tahap ini antara lain adalah : A.) Terapi Psikologis Adalah terapi yang meliputi segala usaha yang bertujuan memupuk, membimbing, menumbuhkan serta meningkatkan rasa tanggung jawab dari dalam diri para rehabilitan. Selain itu juga setiap rehabilitan menjalani proses sharing atau bimbingan konseling dengan psikolog secara pribadi (bertatap muka) dan juga sharing secara bersama-sama dengan rehabilitan yang lain dengan bimbingan psikolog. B.)Terapi Religius
30
Adalah terapi yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran para rehabilitan akan kedudukan manusia dan Tuhan sebagai Sang Penciptanya. C.) Terapi Emosional Merupakan terapi yang memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap para rehabilitan dalam mengendalikan emosi yang kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari berupa rasa marah, sedih, gembira, benci, dll. Hal ini merupakan salah satu komponen penting bagi para pecadu narkoba yang telah sembuh agar dapat memberikan rasa rileks/ pandangan baru dalam bersikap dan tidak melampiaskan emosinya
untuk
menggunakan
obat-obatan
terlarang
dan
menyalurkannya kepada hal-hal yang bersifat lebih positif. 3.) Bidang Bimbingan Lanjut/ After Care Tahap ini merupakan tahap akhir dari serangkaian program rehabilitasi yang diberikan. Tahap bimbingan lanjut atau after care diberikan kepada para rehabilitan dalam rangka agar mereka dapat mempunyai tujuan serta bekal keterampilan dalam menghadapi tantangan hidup di masyarakat. Beberapa bimbingan yang diberikan pada tahap ini diantaranya yaitu : A.)Terapi Vokasional Merupakan terapi dengan tujuan untuk menentukan kemampuan kerja rehabilitan serta cara mengatasi rintangan untuk penempatan dalam pekerjaan yang sesuai, juga memberikan bekal keterampilan yang diminati maupun yang belum dimiliki agar dapat bermanfaat bagi rehabilitan. B.) Seminar dan Konseling Program after care ini berupa seminar-seminar yang diadakan bekerja sama dengan pihak luar yang diselenggarakan bagi tambahan pengetahuan untuk para rehabilitan. Seminar yang diadakan membahas seputar masalah narkoba serta isu-isu sosial yang mempengaruhinya. Sedangkan untuk kegiatan konseling/ share yang dimaksud sedikit berbeda dengan sebelumnya. Yaitu berupa sharing yang dilakukan secara bersama-sama ini didampingi oleh seorang mantan pengguna narkoba yang ditunjuk sebagai seorang konselor. Diharapkan seorang mantan pecandu narkoba bisa lebih memahami
31
serta mengerti keadaan para rehabilitan yang sedang berusaha untuk terlepas dari jeratan obat-obat terlarang. Sehingga diskusi menjadi lebih intim dan akrab serta terdapat rasa saling mengerti antara pecandu (rehabilitan) dengan seseorang yang telah bebas dari narkoba (konselor). C.) Pertemuan Orang tua Merupakan program yang diadakan sebagai pendekatan kembali para rehabilitan pecandu narkoba, dengan keluarganya, yang salah satunya dengan acara pertemuan orang tua ini. Dalam program ini, para pecandu dapat menumpahkan isi hati mereka (sharing), didepan keluarganya secara langsung. Hal ini diharapkan dapat mencairkan ketegangan dan salah paham yang terjadi diantara keduanya, yang tentunya akan sangat membantu rehabilitan terlepas dari jeratan narkoba. D.) Terapi Fisik Merupakan terapi yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan rehabilitan secara fisik, sehingga rehabilitan kembali merasa sehat dan bugar. 4.) Bidang Kegiatan Asrama Untuk mendukung proses rehabilitasi narkoba, para rehabilitan yang telah melalui tahap pemeriksaan awal dan mendapatkan diagnosa awal maupun surat rujukan untuk menjalani program rehabilitasi sosial menyeluruh, maka diharuskan untuk bertempat tinggal di asrama yang telah disediakan.
Adanya
program
ini
dimaksudkan
untuk
pecandu
ketergantungan patologik, maupun pecandu dengan ketergantungan psikologik yang bersedia menjalani program ini dengan sukarela demi kesembuhannya. Untuk
kegiatan
sehari-hari,
disamping
diharuskan
menjalankan
program-program Ada 3 tahap dalam pemulihan para pecandu narkoba yaitu, tahap rehabilitasi medis berupa detoksifikasi, tahap rehabilitasi non medis berupa program detoksifikasi dan rehabilitasi, dan tahap after care yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1.) Tahap Rehabilitasi Medis (Detoksifikasi) Pada tahapan ini, pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan
32
mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung jenis narkoba dan berat ringannya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna mendeteksi gejala kecanduan tersebut. Menurut Direktur Utama Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta, Laurentius Panggabean, ada dua cara detoksifikasi yang dipakai di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat): a.) Rapid Detoksifikasi Terapi ini memerlukan waktu 2-3 hari. Pecandu di detoksifikasi dengan cara di suntik obat “Naltrekson” untuk mengurangi rasa sakit yang akan timbul akibat sakau, tetapi tubuh dibiarkan membangun imun sendiri untuk mengobati bagian yang rusak akibat efek obat-obatan tersebut. b.) Detoksifikasi yang sering dipakai di RSKO Terapi ini memerlukan waktu 10 - 14 hari. Pada hari ke - 1 - 4, pasien di isolasi di ruang detoks, dan pasien akan merasa sakit akibat dari efek sakau. Terutama pada hari keempat merupakan puncak sakau dan pihak rumah sakit hanya memberi obat penenang. Pada hari ke - 5 rasa sakit mulai menurun. Umumnya, hari ke - 10, bisa dinyatakan bersih; tapi ada juga yang sampai 2 minggu/ 14 hari. 2.) Tahap Rehabilitasi Non-Medis dengan metode Therapeutic Community
2.10. Therapeutic Community Program rehabilitasi terstruktur yang termasuk sebagai kelompok bantu diri (self-help group). TC tidak melihat terapi narkoba sebagai proses yang bersifat satu arah dari staf yang terlatih kepada pasien, tetapi lebih melihat terapi sebagai suatu proses yang timbul dari adanya pembauran total pada semua orang yang terlibat, baik staff maupun pasien, dengan aturan, struktur, dan intervensi terapeutik yang disepakati bersama di antara para anggotanya. Pendekatan TC menggunakan program komunitas sebagai metode untuk mengubah
perilaku
pecandu
(Leon,
2000).
Berdasarkan
Jurnal
Penyalahgunaan Narkoba (UNDPC, 1990) dan data BNN, metode Therapeutic
33
Community yang mengutamakan pemulihan melalui komunitas dalam panti rehab dengan penekanan pada pembangunan karakter dan kecerdasan emosi penghuninya ini memiliki tingkat keberhasilan sebesar 80%, dengan indikatornya, si penyalahguna berhasil bertahan pada kondisi bebas zat (abstinensia) dalam waktu yang lebih lama, dengan catatan si residen tersebut mengikuti seluruh tahapan hingga selesai. Oleh karena itulah metode ini dipertimbangkan oleh Departemen Sosial, guna mengembangkan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Metode ini pulalah yang banyak diterapkan di pusat pusat rehabilitasi yang ada di Indonesia, seperti Pusat Rehabilitasi Narkoba milik BNN di Lido, Jawa Barat. Therapeutic community membutuhkan waktu 5 -7 tahun untuk mendapatkan hasil yang maksimal bagi pecandu narkoba. TC melihat korban narkoba sebagai individu yang mengalami gangguan secara menyeluruh (disorder of the whole person) jadi bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual, intelektual, emosi, dan perilaku. Daya gangguan kepribadian tersebut berangsur angsur terbentuk selama dia menyalahgunakan NAPZA atau yang disebut sub-culture. Hal ini yang harus ditangani selama rehabilitasi, dan ini memerlukan waktu yang lama dan secara intensif. Pada umumnya gangguan sub-culture ini tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan selama rehabilitasi tetapi dilanjutkan dalam masa aftercare.
2.10.1.
Konsep 5 Pilar dan 4 Struktur Di dalam metode Therapeutic Community, dikenal konsep 5 pilar dan 4
struktur. Lima pilar tersebut adalah: 1.) Konsep Lingkungan Keluarga, dengan norma dan nilai-nilai kasih sayang 2.) Konsep Tekanan Teman Sebaya (peers), untuk mendorong kesembuhnsituasi bahwa teman sebaya (peers/ teman senasib) memerlukan dorongan untuk kesembuhan. 3.) Konsep Therapeutic (lingkungan yang mendukung proses terapi) 4.) Konsep Kegiatan Spiritual (keagamaan) 5.) Konsep peran contoh (role model), dimana orang-orang yang sudah berhasil melepaskan diri dari narkoba dapat memberikan contoh dan dorongan Therapeutic Community memiliki 4 kategori struktur program, dimana
34
program-program tersebut akan membantu residen untuk membentuk dirinya: 1.) Behaviour Management Shaping (pembentukan tingkah laku) 2.) Emotional and Psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) 3.) Intellectual and Spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian) 4.) Vocational and Survival (Keterampilan kerja dan keterampilan bersosial serta bertahan hidup)
2.10.2.
Teori dalam Metode Therapeutic Community Berdasarkan teori mengenai definisi dari TC, TC merupakan sebuah keluarga, TC memakai istilah residen bagi penghuninya, karena residen adalah bagian dari keluarga, dari sebuah home. Maka home di sini tidak hanya dalam pengertian sebagai sebuah keluarga inti. Home memiliki 6 dimensi (Gifford, 1995) yaitu: haven, order, identity, connectedness, warmth, dan physical suitability. Di dalam sebuah home ada definisi tempat bernaung, tempat dimana ada aturan yang mengatur kita secara kontinyu sebagai bukti dari eksistensi kita. Kemudian home juga merupakan identitas kita, keterkaitan kita dengan orang atau waktu. Home juga memberikan perasaan penerimaan dan bentuk fisik dari home tersebut dapat mewadahi kesemuanya.
2.11. Panti Rehabilitasi Narkoba Milik Pemerintah (LIDO – BNN) Pelayanan
rehabilitasi
pada
Pusat
Rehabilitasi
Narkotika
yaitu
berdasarkan Standar Minimal dan Pedoman Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkotika oleh Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI), 2003 adalah pemenuhan kebutuhan residen berupa makan
3
kali
sehari
yang
dilakukan
di
ruang
makan
dengan
mempertimbangkan kecukupan gizi, pelayanan kesehatan residen, pelayanan rekresional berupa penyediaan pesawat televisi pada ruang berkumpul, alat musik dan rekreasi di tempat terbuka. Pelayanan rehabilitasi pada Pusat Rehabilitasi Narkotika berdasarkan LIDO BNN RI yaitu menggunakan sistem Therapeutic
Community
(TC).
Menurut
Leon (2000:9) Therapeutic
Community adalah sebuah struktur dan hirarki di dalam rangkaian program, kebutuhan untuk mengisolasi individu dari pengaruh luar selama menjalani treatment yang dilakukan secara intensif dan bertahap.
35
Gambar 2.1. Proses Rehabilitasi Narkoba di Lido-BNN Sumber: Jurnal Online Fitriani, A., FT UT, 2014
Screening
&
Intake
(Assessment),
meliputi
wawancara,
observasi,
pemeriksaan fisik dan psikis. Detoksifikasi, meliputi pemutusan penggunaan narkoba dengan cara simptomatik serta dilakukannya pelayan psikologis dan psikiatris. Fase detoksifikasi ini dilaksanakan selama 3 minggu. 1.) Entry dilakukan kegiatan komunitas yang melalui tahap orientasi berfokus pada penyesuaian diri. Fase entry dilakukan selama 2 minggu. Tahap ini dimulai dengan kegiatan orientasi diri dan lingkungannya. 2.) Primary merupakan fase residen mulai bersosialisasi dan bergabung dalam komunitas terstruktur yang memiliki hirarki. Fase ini dilakukan selama 4 bulan. Pada tahap ini residen dibagi menjadi 3 tahap yaitu younger member, middle member, older member. 3.) Re-Entry merupakan fase terakhir dalam program TC, residen berada dalam tahap adaptasi dan kembali bersosialisasi dengan masyarakat luas di luar komunitas residensial. Fase ini dilakukan selama 1 bulan.
Sarana dan prasarana Pusat Rehabilitasi Narkotika berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Standar Lembaga
Rehabilitasi
Sosial
Korban
Penyalahgunaan
Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya pasal 17 yaitu perkantoran, ruang pelayanan teknis, ruang pelayanan umum, peralatan lembaga rehabilitasi social, alat transportasi yang terdiri dari alat transportasi perkantoran dan alat
36
transportasi. Susunan pelaku pada Pusat Rehabilitasi Narkotika berdasarkan BNN RI. Berikut ini struktur organisasi Pusat Rehabilitasi Narkotika Lido:
Gambar 2.2. Struktur Organisasi di Panti Rehabilitasi Narkoba di Lido-BNN Sumber: Jurnal Online Fitriani, A., FT UT, 2014
Berikut adalah site plan dari komplek Panti Rehabilitasi BNN - Lido,
Gambar 2.3. Site Plan Komplek Panti Rehabilitasi Narkoba di Lido-BNN Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
37
Gambar 2.4. Pintu Gerbang Komplek Panti Rehabilitasi Narkoba di Lido-BNN Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Gambar 2.5. Panti Rehabilitasi Narkoba di Lido-BNN Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Memasuki lingkungan terapi ini, kita akan disambut oleh pintu gerbang dengan pengawasan yang ketat karena harus melewati pemeriksaan dari petugas keamanan. Di kiri-kanannya terdapat pagar tinggi dari besi. Di kanan jalan ada bangunan sport hall dan gedung dengan gaya minimalis. Terdapat gedung berlantai tiga seperti pada gambar yang berfungsi sebagai primary house pada unit terapi ini. Terdapat juga perawatan medis berupa detoksifikasi yang terdapat di gedung utama dimana terdapat staff-staff medis juga didalamnya. Gedung tempat TC (primary house) berupa gedung berlantai tiga dengan gaya minimalis berdinding putih dengan aksen ornamen garis-garis vertikal, horizintal dan segi 8 menutupi bagian depan bangunan.
38
Gambar 2.6. Fasade Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Bagian dalam bangunan ini tidak terlihat seperti asrama, melainkan seperti sebuah kantor institusi. Didominasi dengan lantai marmer, dinding putih, dan kaca-kaca besar dengan lorong yang memiliki pintu-pintu kaca agar bisa dengan mudah memantau kegiatan residen. Selain itu, furniture per-ruangan diseragamkan, sehingga menimbulkan kesan kaku pada ruangan ini dan dingin. Gedung ini dilengkapi dengan asrama dan fasilitas lainnya yang dapat dipergunakan residen.
Gambar 2.7. Interior Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
39
Gambar 2.8 Denah pada Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Lantai yang efektif digunakan secara keseluruhan adalah lantai 2 dan lantai 3, sementara lantai 1 sebagai ruang publik dimana orang luar dapat keluar masuk area ini dan juga terdapat fasilitas seperti gym, sauna, ruang musik, clinical room (ruang staff) yang berfungsi sebagai tempat administrasi bagi pelaksanaan Therapeutic Community secara administratif keorganisasian formal. Untuk ruang kamar tidur, digunakan sistem bed susun. Bagian kamar mandi menggunakan shower dengan sekat-sekat per ruangan dan toilet dipisah dengan shower untuk memudahkan aktifitas, kesemuanya memiliki pintu setengah sehingga kepala dan kaki orang yang sedang mandi masih dapat terlihat.
40
Gambar 2.9. Kamar Tidur, Kamar Mandi, dan Toilet pada Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Pada luar kamar mandi, terdapat loker untuk menyimpan peralatan mandi dan terdapat area untuk menjemur pakaian.
Gambar 2.10. Loker dan Ruang Jemur Pakaian pada Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Dengan pembagian sayap kiri dan kanan yang merupakan aktifitas individu (asrama dan fasilitasnya) keduanya dihubungkan dengan ruang yang menjadi tempat aktifitas komunal. Yang menjadi pusat dari bangunan ini adalah multifunction hall yang dilatarbelakangi oleh void dari lantai dasar dengan aksen garis vertikal seperti teralis yang ditutup kaca. Bagian depan bangunan terdapat ruang makan bersama, pada sayap terdapat ruang menonton televisi yang memiliki dinding batas dari kaca sehingga segala aktivitas dapat terlihat dari luar ruangan. Sementara pada sayap kanan dan kiri digunakan sebagai business official room dimana terdapat meja-kursi dan alat alat kantor.
41
Gambar 2.11. Ruang Makan dan Multifunctional Hall pada Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Ruang makan dan multifunctional hall ini di gunakan secara bebas oleh residen. Ruangan ini memiliki pencahayaan alami yang berasal dari void. Semua ruangan yang ada dibersihkan sendiri oleh para residen, mulai dari menyapu dan mengepel lantai, mengelap perabot yang ada, mengatur kursi - meja dan tetap diawasi oleh mentor melalui laporan seperti “apel” pada jam-jam tertentu.
Gambar 2.12. Ruang Menonton TV dan Lorong pada Primary House Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Area yang ada diberi sekat ruang menggunakan material kaca dengan tujuan adar setiap kegiatan para residen selalu dapat terpantau dan tidak ada ruang dimana mereka dapat mencoba-coba misalkan melukai diri, dan sebagainya.
42
2.12. Panti Rehabilitasi Narkoba Milik Swasta (FAN CAMPUS) FAN Campus atau For All Nations Campus ini didirikan oleh Ibu Inti Nusantari Subagiyo, pimpinan Yayasan Segala Bangsa. Ciri khas bangunan ini serasa di rumah peristirahatan dengan tetumbuhan hijau, suara aliran air sungai, dan udara pegunungan yang bersih dan sejuk.
Gambar 2.13. Siteplan dari FAN Campus Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
FAN Campus sebagai rumah rehabilitasi narkoba juga menggunakan metode Therapeutic Community. Dalam FAN Campus, program primary berjalan 6 bulan.
Gambar 2.14. Suasana panti rehabilitasi FAN Campus (kiri atas- Primary House, suasana rumah peristirahatan; kanan atas – gerbang masuk; Kiri bawah-guest house; kanan bawah - pemandangan dari guest house) Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
43
Gambar 2.15. Denah Primary House pada FAN Campus Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Gambar 2.16. Denah dan Keterangan Primary House lantai 1 pada FAN Campus Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
44
Gambar 2.17. Denah dan Keterangan Primary House lantai 2 pada FAN Campus Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
Gambar 2.18. Denah dan Keterangan Primary House lantai 3 pada FAN Campus Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
45
Tabel 2.1. Perbandingan Pengolahan Ruang yang Ada di BNN Lido dengan FAN Campus Sumber: Thesis Ayu Oktaviani, FT UI, 2010
46
2.14. Bangunan Panti Rehabilitasi Narkoba Pendekatan
perancangan
bangunan
Pusat
Rehabilitasi
Narkotika
berdasarkan Therapeutic Environtment atau lingkungan pemulihan dibagi menjadi 3 yaitu: - environmental psychology (efek psiko-sosial dari lingkungan) - psychoneuroimmunology (efek dari lingkungan terhadap sistem imun tubuh) - neuroscience (bagaimana otak merasakan pengalaman arsitektur)
Menurut Chiara dan Callender (1987) Faktor-faktor yang dapat membawa Therapeutic Environtment ke dalam fasilitas yaitu: - menghilangkan pemicu stress dari lingkungan dengan menghilangkan kesan padat di dalam sebuah ruang - memberikan pengalihan perhatian yang positif - menyediakan kesempatan untuk dukungan sosial, dan sense of control.
Selain sistem pendekatan perancangan, fasilitas yang memadai juga dibutuhkan di dalam sebuah Pusat Rehabilitasi Narkotika dengan sistem Therapeutic Community (TC). Menurut Leon (2000) Karakteristik fisik dari program TC atau therapeutic community adalah ukuran, kondisi dan ruang dalam bangunan yang disesuaikan dengan tujuan TC dan pengajarannya dalam berbagai macam cara. Salah satu ruang yang penting yaitu sebuah ruang yang dapat memfasilitasi residen pada tahap pelepasan zat (withdrawal) yaitu ruang detoksifikasi. Peralatan yang terdapat di dalam ruang detosifikasi terdiri dari peralatan medik dan peralatan nonmedik (Departemen Kesehatan, 2010).
Dalam model rehabilitasi ini, residen akan menjalani beberapa tahapan: 1.)
Primary Stage Tahapan program dimana residen ditempa memiliki stabilitas fisik dan emosi. Residen juga dipacu motivasinya untuk melanjutkan tahap terapi selanjutnya. Periode tahapan ini berlangsung selama 6-9 bulan, para residen akan menjalani tahapan sebagai berikut:
a.)
Younger Member Residen mengikuti program dengan proaktif. Residen boleh dikunjungi
47
oleh orang tua atau keluarga 1x dalam 2 minggu. Pertemuan ini juga didampingi oleh relawan sosial dan senior di program TC. Residen juga boleh menerima telepon namun didampingi oleh residen senior ataupun relawan. b.)
Middle Peer Residen sudah harus bisa bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan operasional panti/ lembaga, membimbing Younger Member dan residen yang masih dalam proses orientasi, residen juga boleh menerima telpon tanpa didampingi, diizinkan meninggalkan panti didampingi orang tua dan senior, secara bertahap mulai dari 4 - 12 jam. Residen berperan sebagai pendamping bagi residen yang baru masuk.
c.) Older Member Pada tahapan ini, tanggung jawab residen semakin besar, karena ia harus memikirkan operasionalpanti dan memiliki tanggung jawab pada residen junior. Di sisi lain, residen pada tahapan ini sudah boleh meninggalkan panti rehabilitasi selama 24 jam, dengan pendampingan keluarga dan senior.
Kegiatan tahap Primary Stage: a.)
Morning Meet Setiap pagi residen berkumpul bersama, membacakan filosofi TC,
memberikan pernyataan pribadi, mengemukakan konsep hari ini, mendapat nasihat/ peringatan, pengumuman bersama, menjalani permainan. Agar residen mengawali hari agar meningkatkan kepercayaan diri, melatih kejujuran, mengidentifikasi perasaan, dan menanggapi isu dalam rumah residen yang harus diselesaikan. b.)
Encounter Group Kesempatan mengungkapkan perasaan marah, sedih, kecewa, dll. melalui
secarik
kertas kepada orang tertentu. Kegiatan ini dilakukan 1x dalam
seminggu. Tujuannya adalah untuk membangun kepribadian residen agar berani mengungkapkan perasaan, disiplin, meningkatkan tanggung jawab. c.)
Static Group Diskusi kelompok
d.)
PAGE (Peer Accountability Group Evaluation) Kesempatan memberikan penilaian positif dan negatif kepada sesama
48
residen secara berkelompok 10-15 orang. e.)
Haircut Pemberian sanksi kepada residen yang melanggar aturan.
f.)
Weekend Wrap Up Residen bebas membahas apa saja yang dialaminya selama 1 minggu,
terutama residen yang mendapatkan kelonggaran untuk keluar bersama keluarga ataupun teman-teman seangkatannya. g.)
Learning Experiences Bentuk sanksi yang diberikan kepada residen setelah menjalani haircut,
family haircut, dan general meeting. 2.)
Re-Entry Stage Tahapan program rehabilitasi, dimana residen mulai memantapkan kodisi
psikologis dalam dirinya, mendayagunakan nalarnya dan mampu mengembangkan keterampilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Periode tahapan ini berlangsung selama 3-6 bulan, para residen akan menjalani tahapan sebagai berikut: a.)
Orientasi Tahap penyesuaian residen dengan lingkunganre-entry
b.)
Fase A (1,5 - 2 bulan) Residen mendapat hak berupa uang jajan setiap minggu, kunjungan orang
tua setiap waktu, ijin pulang 1x dalam 2 minggu (menginap), boleh beraktivitas di luar panti bersama residen lain. c.)
Fase B Residen mendapat hak berupa tambahan uang jajan, boleh melakukan
aktivitas di luar panti seperti les, kuliah, atau bekerja. Boleh ijin pulang dan menginap 2 malam pada hari Jumat, Sabtu, Minggu. d.)
Fase C Pada fase ini residen boleh pulang, bebas memilih hari. Jika sudah sampai
tahap ini mereka akan mendapatkan konseling perorangan untuk menentukan apakah residen bisa re-sosialisasi ke masyarakat atau tidak.
Kegiatan dalam tahap Re-Entry: a.)
Group Re-Entry
b.)
Treatment; dengan unsur dalam kegiatan ini:
49
- Allowances/ uang saku - Task - Home Leave/ Business Pass - Spiritual - Counseling - Les/ kuliah/ berkerja - Time management - Request - Night Entertainment - Leisure Time - Outdoor Sport - Static Outing
3.)
Tahap After Care Program yang terdiri dari berbagai macam intervensi, pelayanan dan asistensi yang disediakan untuk recovery yang merupakan kelanjutan dari program primer/ primary treatment, yaitu Primary Stage, Re-Entry Program.
Berdasarkan metode Therapeutic Community inilah Panti Rehabilitasi ini diciptakan, untuk menjawab kebutuhan ruang pada panti rehabilitasi yang menggunakan pendekatan metode tersebut ditentukan dan menjawab rumusan masalah ruang ada, agar memenuhi standar kesehatan dan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penghuninya. Banyak pihak pengelola rumah sakit pemerintah maupun swasta yang beranggapan bahwa pemulihan kesehatan hanya dapat dilakukan dengan jalan medis saja. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Salah satu faktor pendukung yang dominan bagi pemulihan kesehatan seseorang adalah faktor psikologis yang mempengaruhi penderita tersebut. Dalam praktik di lapangan tidak jarang faktor tersebut diabaikan dan dianggap tidak penting (Kaplan dkk, 1993). Seperti dipaparkan dalam uraian di atas, artikel ini menegaskan bahwa dengan pendekatan holistik masalah penyembuhan seseorang merupakan kompleksitas yang terjalin antara kondisi fisiologis dengan kondisi psikologis (inner mind) dari pasien. Keduanya mempunyai kontribusi dalam proses penyembuhan seseorang. Untuk mendukung kondisi psikologis pasien perlu
50
diciptakan lingkungan yang nyaman, dalam arti secara psikologis lingkungan memberikan dukungan positif bagi proses penyembuhan. Dalam konteks tersebut kontribusi faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang besar (40%) dalam proses penyembuhan, faktor medis 10%, faktor genetis 20% dan faktor lain 30% (Kaplan dkk, 1993). Ditinjau dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa faktor lingkungan mempunyai peran terbesar dalam proses penyembuhan, maka seharusnya faktor lingkungan tersebut mendapat perhatian yang cukup besar pada sebuah fasilitas penyembuhan. Desain interior merupakan lingkungan binaan yang keberadaannya berhubungan langsung dengan pasien. Melalui elemen-elemen yang pembentuk ruang dalam (interior) seperti elemen warna, dapat diciptakan sebuah lingkungan atau suasana ruang yang mendukung proses penyembuhan. Lingkungan buatan meliputi semua tempat yang sebagian besar telah direncanakan dan diciptakan oleh manusia, seperti: ruangan, gedung, lingkungan sekitar, dan kota (Hemistra and McFarling, 1974). Pada saat mengamati interaksi manusia dengan lingkungan tertentu yang ditempatinya, maka akan ditemukan karakteristik dasar pada pola perilaku yang berbeda pada tiap interaksi tersebut. Dengan demikian manusia membentuk bangunan dan selanjutnya bangunan akan membentuk manusia. Manusia menyesuaikan responnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus dapat diubah sesuai dengan kebutuhan manusia (Wohlwill, 1974). Adaptasi merupakan penyesuaian respon terhadap stimulus. Manusia berusaha untuk melakukan perubahan terhadap lingkungan sekitarnya untuk disesuaikan dengan dayadaya dan kebutuhan yang dimilikinya.