BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Beton Beton adalah bahan gabungan yang terdiri dari agregat kasar dan halus yang
dicampur dengan air dan semen sebagai pengikat dan pengisi antara agregat kasar dan halus, seringkali ditambahkan admixture atau additive bila diperlukan (Subakti, 1994). Beton juga dapat didefinisikan sebagai bahan bangunan dan konstruksi yang sifat-sifatnya dapat ditentukan terlebih dahulu dengan mengadakan perencanaan dan pengawasan yang teliti terhadap bahan-bahan pembentuknya (Samekto, 2001). Beton digunakan sebagai material struktur karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mudah untuk dicetak, tahan api, kuat terhadap tekan, dan dapat dicor di tempat. Disamping keuntungan beton juga memiliki kelemahan, yaitu beton merupakan bahan yang getas, mempunyai tegangan tarik yang rendah dan volume beton yang tidak stabil akibat terjadinya penyusutan. Beton adalah campuran antara semen portland atau semen hidraulik yang lain, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan yang membentuk masa padat (SNI 03-2847-2002). Sifat-sifat positif dari beton antara lain relatif mudah dikerjakan serta dicetak sesuai dengan keinginan, tahan terhadap tekanan, dan tahan terhadap cuaca. Sedangkan sifat-sifat negatifnya antara lain tidak kedap terhadap air (permeabilitas beton relatif tinggi), kuat tarik beton rendah, mudah terdesintegrasi oleh sulfat yang dikandung oleh tanah (Murdock,1991). Sifat positif dan negatif dari beton tersebut ditentukan oleh sifat - sifat material pembentuknya,
perbandingan
campuran,
dan
cara
pelaksanaan
pekerjaan.
Berdasarkan berat satuannya beton dapat dibedakan atas beton normal dan beton ringan. Beton ringan adalah beton yang mempunyai berat satuan tidak lebih dari1900 kg/m3 (SNI 03-2847-2002). Beton ringan dapat diperoleh dengan membuat beton dari agregat ringan, penambahan udara, atau penambahan material yang mempunyai berat satuan yang kecil, seperti styrofoam. Beton dengan penambahan styrofoam dapat disebut beton-styrofoam (styrofoam concrete) yang disingkat ”styrocon”.
2.2
Styrofoam Styrofoam atau expanded polystyrene terdiri dari polystyrene, polystyrene
sendiri dihasilkandari styrene (C6H5CH9CH2), yang mempunyai gugus phenyl (enam
cincin karbon) yang tersusun secara tidak teratur sepanjang garis karbon dari molekul. Penggabungan acak dari bensena mencegah molekul membentuk garis yang sangat lurus sehingga hasilnya merupakan polyester mempunyai bentuk yang tidak tetap, transparan dan dalam berbagai bentuk plastik. Polystyrene merupakan bahan yang baik ditinjau dari segi mekanis maupun suhu, namun bersifat agak rapuh dan lunak pada suhu dibawah 100oC (Billmeyer, 1984). Polystyrene memiliki berat jenis sampai 1050 kg/m3, kuat tarik sampai 40 MPa, modulus lentur sampai 3000 MPa, dan angka poisson 0,33 (Crawford, 1998). Dalam bentuknya yang granular, styrofoam atau expended polystyrene memiliki berat satuan yang sangat kecil yaitu berkisar antara 13 – 22kg/m3. Selain ringan styrofoam juga memiliki kemampuan menyerap air yang sangat kecil (kedap air). Penggunaan styrofoam dalam beton dapat dianggap sebagai rongga udara. Namun keuntungan menggunakan Styrofoam dibandingkan menggunakan rongga udara dalam beton berongga adalah styrofoam mempunyai kekuatan tarik. Dengan demikian, selain akan membuat beton menjadi ringan dapat juga bekerja sebagai serat yang rapat meningkatkan kemampuan kekuatan dan khususnya daktilitas beton. Kerapatan atau berat satuan beton dengan campuran styrofoam dapat diatur dengan mengontrol jumlah Styrofoam yang digunakan dalam beton untuk memperoleh beton dengan berat satuan yang lebih kecil. Namun kuat tekan beton yang diperoleh tentunya akan lebih rendah.
2.3
Bambu Bambu yang dikenali secara umum merupakan tanaman yang dibudidayakan
ataupun yang tumbuh secara alami dalam ilmu botani merupakan anggota dari sub famili rumput-rumputan (Graminae) dan tersusun ruas-ruas sepanjang batangnya. Beberapa keunggulan yang dimiliki bambu antara lain adalah mudah ditanam, pertumbuhannya cepat, tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus, mempunyai ketahanan terhadap berbagai gangguan, rumpun bambu yang sudah terbakar masih bisa hidup dan potensial sebagai bahan pengganti kayu. (Janssen, 1987 : 84-86). Kekuatan bambu sebagai bahan struktur bangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah umur bambu saat dipotong, lingkungan dimana bambu tumbuh yaitu bambu yang tumbuh dilereng gunung mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu yang ditanam di daerah lembah, posisi atau letak
potongan (pangkal, tengah dan ujung). Bambu mempunyai kekuatan tarik sejajar serat yang tinggi namun kekuatan gesernya rendah (Janssen, 1991 : 94-101). Penelitian lebih lanjut oleh Morisco (1999:14-16) memperlihatkan bagian terkuat dari bambu adalah kulitnya. Kekuatan kulit ini sangat jauh lebih tinggi dari pada kekuatan bambu bagian dalam. Tebal kulit relatif seragam sepanjang batang, sedangkan tebal bambu sangat bervariasi dari pangkal sampai ujung.Oleh karena itu bambu yang tipis mempunyai porsi kulit besar, sehingga mempunyai kekuatan ratarata menjadi tinggi. Sedangkan bambu yang tebal mempunyai porsi kulit luar yang tipis sehingga mempunyai kekuatan rata-rata yang rendah. Sehingga untuk menilai kekuatan bambu sebaiknya berdasarkan ketebalannya, sehingga diperoleh hasil yang konsisten. Penggunaan bambu sebagai bahan baku atau komponen bangunan tergantung dari kadar airnya (moisture content). Pada musim hujan kadar airnya dapat mencapai dua kalinya. Kandungan air bambu ini sangat mempengaruhi kualitas bambu terutama pada saat akan dimanfaatkan sebagai komponen bangunan. Pemuaian dan penyusutan bambu hampir sama dengan kayu. Perubahan yang terjadi pada panjang, lebar serta tebal kurang lebih berbanding lurus dengan kadar air yang dikandung. Dibandingkan dengan kayu lunak sejenis spruce (famili pinus), bambu dua kali lebih lama terbakar. Kulit bambu yang mengandung silisic acid sangat membantu menahan rambatan api shingga proses terbakarnya lebih lama dibandingkan spruce. Bambu mempunyai sifat fisik sebagai berikut: • Pada proses pengeringan bambu yang belum dewasa sering retak. • Bagian dalam batang bambu biasanya lebih banyak mengandung kadar air bebas daripada bagian batang luar dan kulit. • Buku - buku (knots) mengandung kurang lebih 10 % air lebih sedikit dibandingkan bagian ruas. • Bambu tidak dapat diguanakan sebagai tulangan pada beton, karena bambu pada saat pengeringan menyusut, volumenya menurun sehingga lekatan dengan betonnya longgar. • Penyusutan bambu yang ditebang pada musim hujan sampai keadaan kering udara adalah pada arah longitudinal sebesar 0,2% sampai 0,5 %, arah tangensial sebesar 10-20% dan arah radial sebesar 15-30%. • Kuat lekat antara bambu kering dengan beton berkisar antara 2 – 4 kg/cm2.
2.4
Beton Serat Beton serat didefinisikan sebagai beton yang terbuat dari campuran beton yang
terbuat dari campuran semen, agregat halus, agregat kasar dan sejumlah kecil serat / fibre (ACI Cocommite 544, 1982). Bahan-bahan serat yang dapat digunakan untuk perbaikan sifat beton pada beton serat antara lain baja, plastic, kaca, karbon serta serat dari bahan alami seperti ijuk, rami maupun serat dari tumbuhan lain (ACI Cocommite 544, 1982). Pada beton serat, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kelacakan (workability) adukan beton dan teknik pencampuran serat. Kelacakan (workability) adukan yang sering diukur dengan nilai slump. Penambahan serat ke campuran beton akan menurunkan kelacakan (workability) campuran. Teknik pencampuran serat merupakan teknik dan upaya pencampuran agar serat yang ditambahkan ke dalam adukan beton segar dapat tersebar merata. (Mudji Suhardiman, 2011).
2.5
Perawatan Benda Uji Badan Standardisasi Nasional (SNI 03-2493-2011) mengatakan semua benda
uji yang dibuat di laboratorium harus dirawat basah pada temperature 23ᵒC + 1,7ᵒC mulai dari waktu percetakan sampai saat pengujian. Penyimpanan selama 48 jam pertama perawatan harus pada lingkungan bebas getaran. Seperti yang diberlakukan pada perawatan benda uji yang dibuka, perawatan basah berarti bahwa benda uji yang akan diuji harus memiliki air yang bebas yang dijaga pada seluruh permukaan pada semua waktu. Kondisi ini dipenuhi dengan merendam dalam air jenuh kapur dan dapat dipenuhi dengan penyimpanan dalam ruang jenuh air sesuai dengan AASHTO M 201. Benda uji tidak boleh diletakkan pada air mengalir atau air yang menetes. Dan untuk perawatan beton silinder struktur ringan sesuai dengan standar ini atau dengan SNI 03-3402-1994. Badan Standardisasi Nasional (SNI 03-4810-1998) mengatakan semua benda uji silinder yang dibuat di lapangan sebagai berikut: • Harus diletakkan pada temperature 23ᵒC + 1,7ᵒC sebelum 30 menit setelah pembukaan cetakan. • Tidak boleh lebih dari 3 jam diletakkan pada suhu antara 20ᵒC sampai 30ᵒC. • Benda uji juga tidak boleh terkena tetesan atau aliran air.
• Penyimpanan dalam keadaan basah, yaitu dengan perendaman dalam air kapur jenuh atau dengan ditutupi kain basah.
2.6
Penentuan Jumlah Benda Uji Menurut SNI 03-2493-2011 (Tata Cara Pembuatan dan Perawatan Benda Uji
Beton di Laboratorium) disebutkan bahwa jumlah benda uji dan jumlah campuran tergantung pada kebiasaan dan sifat program pengujian. Tuntunan biasanya diberikan dalam metode pengujian atau spesifikasi untuk benda uji yang dibuat. Biasanya tiga atau lebih benda uji dicetak untuk masing-masing umur pengujian dan kondisi pengujian, kecuali cara lain ditentukan. Benda uji yang melibatkan variabel yang telah ditentukan, harus dibuat dari tiga campuran terpisah yang dicampur pada hari yang berbeda. Jumlah benda uji yang sama untuk masing-masing variabel harus dibuat pada hari yang telah ditentukan. Bila tidak memungkinkan untuk membuat sesedikitnya satu benda uji untuk masing-masing ragam pada hari yang ditentukan, campuran seluruh seri benda uji harus diselesaikan dalam jumlah hari sesedikit mungkin, dan satu dari campuran harus diulang masing-masing hari sebagai standar pembanding.
2.7
Aplikasi Beton dengan EPS atau Styrocon Penggunaan styrocon atau beton dengan EPS belum banyak diketahui dan
dilirik oleh masyarakat. Penggunaan styrocon dapat berupa tembok luar atau dalam suatu bangunan, pembuatan perumahan terpencil, rumah yang dapat dipindahkan, rumah atau bangunan yang dapat dibongkar, tempat penampungan bencana, tembok penyekat, tembok tahan api, penangkal sinar matahari pada gedung bertingkat, untuk lantai dan atap. Salah satu perusahaan yang telah menggunakan aplikasi beton dengan EPS ini adalah MAK-Styrocon™. Panel beton dengan EPS mereka terbuat dari campuran semen Portland dan EPS bentuk butiran yang diletakkan diantara lapisan nonasbestos yang dilapisi dengan lapisan semen.
2.8
Perbandingan antara Penelitian ini dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian ini mengacu pada jurnal penelitian sebelumnya. Berikut adalah
rangkuman jurnal penelitian sebelumnya:
1.
Dari jurnal yang berjudul “Kajian Pengaruh Penambahan Serat Bambu Ori Terhadap Kuat Tekan dan Kuat Tarik Beton” yang disusun oleh Mudji Suhardiman
dari
Universitas
Janabadra
(2011)
disimpulkan
bahwa
penambahan serat bambu sampai sebesar 2 persen dari berat semen dapat menambah kuat tekan dan kuat tarik daripada beton biasa. 2.
Dari jurnal Smartek yang berjudul “Perilaku dan Kapasitas Lentur Balok Beton Berserat Bambu” oleh Agus Rivani dan Shyama Maricar (2009) disimpulkan bahwa penambahan serat bambu dapat meningkatkan kekuatan beton hingga 30 persen dari kekuatan beton biasa.
3.
Dari jurnal yang berjudul “Permeabilitas Beton dengan Penambahan Styrofoam” oleh I Gusti Ketut Sudipta dan Ketut Sudarsana (2009) dari Universitas Udayana disimpulkan bahwa semakin banyak penambahan styrofoam menyebabkan semakin meningkatnya nilai slump, semakin kecil berat satuan beton, dan semakin meningkat tingkat permeabilitasnya.
4.
Dari jurnal yang berjudul “Kuat Tarik Belah dan Lentur Beton dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon)” oleh I.B. Dharma Giri, I Ketut Sudarsana dan N.L.P. Eka Agustiningsih (2008) dari Universitas Udayana disimpulkan bahwa penambahan persentase styrofoam dalam campuran beton menambah jumlah rongga udara dalam beton yang mengakibatkan nilai slump meningkat, namun menurunkan berat satuan, kuat tarik belah dan kuat tarik lentur beton.
5.
Dari makalah tugas akhir “Pengaruh Penggunaan Expanded Polystyrene yang Dilapisi Surfaktan Sebagai Material Subtitusi Agregat Halus Pada Campuran Beton Terhadap Nilai Kuat Tekan dan Kuat Tarik Belah” oleh Alice Siauwantara (2013) dari Universitas Bina Nusantara disimpulkan bahwa penambahan expanded polystyrene menurunkan kuat tekan, kuat tarik belah dan berat jenis beton. Nilai berat jenis dan nilai kuat tekan terbesar beton expanded polystyrene yang dilapisi surfaktan adalah dengan kadarexpanded polystyrene sebesar 5% terhadap agregat halus.
6.
Dari makalah tugas akhir “Pengaruh Fly Ash Pada Kuat Tekan Campuran Beton Menggunakan Expanded Polystyrene Sebagai Subtitusi Parsial Pasir” oleh Gunaedi (2013) dari Universitas Bina Nusantara disimpulkan bahwa penambahan expanded polystyrene menurunkan kuat tekan dan berat jenis beton. Penambahan fly ash dapat meningkatkan kuat tekan dan berat jenis beton, tetapi kuat tekan beton menurun pada kadar fly ash 17,5%. Kuat tekan
dan berat jenis beton expanded polystyrene oprtimum berdasarkan kuat tekan tertinggi dan berat jenis terkecil yaitu beton dengan kadarexpanded polystyrene 30% dan fly ash 15%. 7.
Dari jurnal yang berjudul “Mechanical Properties of Bamboo Fibre Reinforced Concrete” oleh Dr. Shakeel Ahmad, Altamash Raza, dan Hina Gupta (2014) dari 2nd International Conference on Research in Science, Engineering and Technology (ICRSET’2014) di Dubai, disimpulkan bahwa kekuatan tekan dari sampel benda uji berbentuk kubus dengan serat bambu pada hari kedua puluh delapan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan beton normal, tetapi kekuatan tekannya bertambah menjadi dua kali lipat pada umur lima puluh hari. Disimpulkan juga bahwa modulus elastisitas dan kekuatan lentur dari beton dengan perkuatan tulangan bambu bertambah hingga hampir dua kali lipat. Dan beton dengan serat bambu ini dikatakan lebih ekonomis daripada beton normal.
8.
Dari jurnal yang berjudul “Research and Development on Bamboo Reinforced Concrete Structure” oleh Masakazu Terai dan Koichi Minami (2012) dari Universitas Fukuyama di Jepang menyimpulkan bahwa kuat tarik dari beton yang menggunakan perkuatan bambu akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Disimpulkan juga bahwa perilaku tarik dari bambu hampir sama dengan perilaku tarik dari baja polos dan kekuatan ikat dari bambu yaitu 1,2 sampai 1,35 MPa lebih baik dibandingkan baja polos.
9.
Dari jurnal yang berjudul “Review of Bamboo as Reinforcement Material in Concrete Structure” oleh Ajinkya Kaware, Prof. U.R.Awari, dan Prof. M.R. Wakchaure dari India dalam International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology Vol. 2, Issue 6 (2013) menyimpulkan bahwa bambu memiliki daya serap yang tinggi terhadap air sehingga diperlukan cara untuk mengatasi masalah ini, kuat tarik dari baik dan bambu bisa digunakan sebagai perkuatan strukur untuk proyek kecil dengan harga yang ekonomis, dan bambu memiliki ketahanan yang rendah terhadap geser sehingga tidak bisa digunakan untuk struktur dengan perkuatan geser. Dikatakan juga bahwa bambu memiliki kuat ikat yang lemah sehingga perlu dilapisi dengan epoxy dan tar.
10.
Dari jurnal yang berjudul “Pengaruh Penggantian Pasir Dengan Expanded Polystyrene Terhadap Kuat Tekan dan Berat Jenis Beton” oleh Ruddy Yusuf
(2011) dari Universitas Bina Nusantara disimpulkan bahwa penambahan EPS membuat berat isi beton berkurang, tapi juga mengurangi kuat tekan beton.
2.9
Perancangan Campuran Beton Perancangan campuran beton pada penelitian ini menggunakan SNI.03-2834-
2000 dengan judul buku Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal. Berikut langkah perhitungannya: 2.9.1 Penetapan Kuat Tekan Beton Penetapan kuat tekan beton yang disyaratkan (f'c) pada umur tertentu, (f'c=…MPa pada umur 28 hari). Kuat tekan beton yang disyaratkan ditetapkan sesuai dengan persyaratan perencanaan struktur dan kondisi setempat.
2.9.2 Penetapan Nilai Deviasi Standar (s) Deviasi
standar
ditetapkan
berdasarkan
tingkat
mutu
pengendalian
pelaksanaan campuran di lapangan. Makin baik mutu pelaksanaannya makin kecil nilai deviasi standarnya. Penetapan nilai deviasi standar (s) ini berdasarkan atas hasil perancangan pada pembuatan beton mutu yang sama dan menggunakan bahan dasar yang sama pula. Nilai deviasi standar (s) dihitung dengan rumus: n
∑ (f s=
c
− f cr ) 2
1
n −1
....................................... (3.1)
Dengan: fc
= Kuat tekan masing-masing hasil uji (MPa).
fcr
= Kuat tekan beton rata-rata hasil uji (MPa).
n
= Jumlah hasil uji kuat tekan.
Jika jumlah data hasil uji kurang dari 30 buah, maka dilakukan koreksi terhadap nilai deviasi standar dengan suatu faktor pengali, seperti pada tabel berikut: Tabel 2.1 Faktor Pengali Deviasi Standar Jumlah data Faktor Pengali
≥30 1,00
25 1,03
20 1,08
15 1,16
<15 Gunakan tabel 2.3
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Jika data uji lapangan untuk menghitung deviasi standar yang memenuhi persyaratan di atas tidak tersedia, maka kuat tekan rata-rata yang ditargetkan sebesar
f’cr = f’c + 12MPa ···································· (3.2) Untuk memberikan gambaran bagaimana cara menilai tingkat mutu pekerjaan beton, di sini diberikan pedoman sebagai berikut: Tabel 2.2 Nilai Deviasi Standar Untuk Berbagai Tingkat Pengendalian Mutu Pekerjaan di Lapangan Tingkat Pengendalian Mutu Pekerjaan Sangat Memuaskan Memuaskan Baik Cukup Jelek Tanpa Kendali
Nilai Deiviasi Standar, s (MPa) 2,8 3,5 4,2 5,0 7,0 8,4
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.3 Menghitung Nilai Tambah / Margin (m) Nilai tambah dihitung berdasarkan nilai deviasi standar (s) dengan rumus berikut:
m = k ⋅ s ··········································· (3.3) Dimana: m = Nilai tambah (MPa) k = 1,64 s = Deviasi standar (MPa) Bila tidak ada catatan hasil uji lapangan unuk perhitungan deviasi standar, maka kuat tekan rata-rata perlu (fcr) harus ditetapkan berdasarkan tabel 2.3 berikut: Tabel 2.3 Kuat Tekan Rata-Rata Perlu Jika Data Tidak Tersedia Persyaratan Kuat Tekan, f’c
Kuat Tekan Rata-Rata Perlu, f’cr
(MPa)
(MPa)
<21
f’c + 7,0
21-35
f’c + 8,5
>35
f’c + 10,0
Sumber : SNI 03-2847-2000, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung
2.9.4 Menetapkan Kuat Tekan Rata-Rata Yang Direncanakan Kuat tekan rata-rata yang direncanakan diperoleh dengan rumus: f’cr = f’c + m ············································· (3.4)
Dimana: f'c
= Kuat tekan beton yang disyaratkan (MPa)
f’cr
= Kuat tekan rata-rata beton yang ditargetkan (MPa)
m
= Nilai tambah (MPa)
2.9.5 Penetapan Jenis Semen Portland Menurut SII 0013-18 di Indonesia semen Portland dibedakan menjadi lima jenis, yaitu jenis I, II, III, IV, dan V. Tabel 2.4 Tipe Semen dan Fungsinya Tipe Semen I
II
III
IV
V
Deskripsi Semen Portland Jenis Umum (Normal PC) yaitu jenis semen untuk penggunaan dalam konstruksi beton seara umum yang tidak memerlukan sifat-sifat khusus, misalnya untuk trotoar, pasangan bata, dll Semen Portland Jenis Umum dengan perubahan-perubahan (Modified Portland Cement). Semen ini memiliki panas hidarasi yang lebih rendah dari Jenis I. Semen ini digunakan untuk bangunan-bangunan tebal seperti pilar, kolom, dll Semen Portland dengan kekuatan awal tinggi (High Early Strength PC). Jenis ini akan menghasilkan beton dengan kekuatan yang besar pada waktu singkat, biasanya digunakan untuk struktur yang mendesak digunakan, misalnya perbaikan jalan beton Semen Portland dengan panas hidrasi rendah (Low Heat PC). Jenis ini merupakan jenis khusus dengan panas hidrasi yang serendah-rendahnya. Digunakan untuk bangunan beton massa besar, seperti bendungan, dll Semen Portland tahan sulfat (Sulfat Resistant PC). Jenis PC yang khusus dimaksudkan untuk penggunaan pada bangunanbangunan yang kena sulfat seperti Industri Kimia dan lain-lain.
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.6 Penetapan Jenis Agregat Jenis kerikil dan pasir ditetapkan apakah berupa agregat alami (tak terpecahkan) ataukah jenis agregat batu pecah (crushed aggregate).
2.9.7 Penetapan Faktor Air Semen Berdasarkan jenis semen yang dipakai, jenis agregat kasar dan kuat tekan rata-rata silinder beton yang direncanakan pada umur tertentu, ditetapkan nilai faktor air semen dengan Tabel 2.4 dan Gambar 2.1.
Tabel 2.5 Perkiraan Kuat Tekan Beton (MPa) dengan Faktor Air Semen 0,50 Jenis semen
Semen Portland Tipe I, II dan IV
Semen Portland Tipe III
Jenis agregat kasar Batu tak dipecah Batu pecah Batu tak dipecah Batu pecah Batu tak dipecah Batu pecah Batu tak dipecah Batu pecah
3 17 19 20 23 21 25 25 30
Kekuatan tekan (MPa) Umur (hari) Bentuk benda uji 7 28 91 23 33 40 Silinder 27 37 45 28 40 48 Kubus 32 45 54 28 38 44 Silinder 33 44 48 31 46 53 Kubus 40 53 60
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
FAS dari tabel 2.5
f’c dari tabel 2.5
f’cr
Gambar 2.1 Grafik Hubungan Antara Kuat Tekan Beton dan FAS Beton untuk Benda Uji Kubus (15 cm x 15 cm x 15 cm) Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Gambar 2.2 Grafik Hubungan Antara Kuat Tekan Beton dan FAS Beton untuk Benda Uji Silinder (diameter 15 cm dan tinggi 30 cm) Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Langkah penetapannya dilakukan dengan cara sebagai berikut: •
Lihat Tabel 2.4, dengan data jenis semen, jenis agregat kasar dan umur beton yang dikehendaki, dibaca perkiraan kuat tekan silinder beton yang akan diperoleh jika dipakai faktor air semen 0,50.
•
Lihat Gambar 2.1 atau Gambar 2.2 (sesuai jenis benda uji yang dipakai), buatlah titik A dengan nilai faktor air semen 0,50 (sebagai absis) dan kuat tekan beton yang diperoleh dari Tabel 2.2 (sebagai ordinat). Pada titik A tersebut kemudian dibuat grafik baru yang bentuknya sama dengan 2 grafik yang berdekatan.
•
Selanjutnya ditarik garis mendatar dari sumbu tegak sisi kiri pada kuat tekan rata-rata yang dikehendaki sampai memotong grafik baru tersebut. Dari titik potong tersebut kemudian ditarik garis ke bawah sampai memotong sumbu mendatar sehingga diperoleh nilai faktor air semen.
2.9.8 Penetapan Faktor Air Semen Maksimum Penetapan nilai faktor air semen (FAS) maksimum dilakukan dengan tabel 2.5. Jika nilai faktor air semen ini lebih rendah daripada nilai faktor air semen dari langkah 2.5.6, maka nilai faktor air semen maksimum ini yang dipakai untuk perhitungan selanjutnya. Tabel 2.6
Persyaratan Faktor Air Semen Maksimum Untuk Berbagai Pembetonan dan Lingkungan Khusus Jenis pembetonan
Beton di dalam ruang bangunan a. Keadaan kaliling non korosif b. Keadaan keliling korosif, disebabkan oleh kondensasi atau uap korosif Beton di luar ruang bangunan a. Tidak terlindung dari hujan dan terik matahari langsung b. Terlindung dari hujan dan terik matahari langsung Beton yang masuk ke dalam tanah a. Mengalami keadaan basah dan kering berganti-ganti b. Mendapat pengaruh sulfat dan alkali dari tanah Beton yang selalu berhubungan dengan: a. Air tawar b. Air laut
Semen min per m3 beton (kg)
FAS maksimum
275
0,60
325
0,52
325
0,60
275
0,60
325
0,55 Lihat Tabel 2.5a Lihat Tabel 2.5b
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Tabel 2.5a Faktor Air Semen Maksimum untuk Beton yang Berhubungan dengan Air Tanah yang Mengandung Sulfat Konsentrasi Sulfat (SO3) dalam tanah (SO3) Total dalam (SO3) campuran (%) air tanah = 2:1 (gr/lt) <0,2
0,2 – 0,5
(SO3) dalam air tanah (gr/lt)
<1,0
1,0 – 1,9
<0,3
0,3 – 1,2
0,5 – 1,0
1,9 – 3,1
1,2 – 2,5
1,0 – 2,0
3,1 – 5,6
2,5 – 5,0
>2,0
>5,6
>5,0
Jenis Semen
Tipe I dengan atau tanpa pozolan (15 – 40 %) Tipe I tanpa Pozolan Tipe I dengan Pozolan 15 – 40 % (semen PortlandPozolan) Tipe II atau V Tipe I dengan Pozolan 15 – 40 % (semen PortlandPozolan) Tipe II atau V Tipe II atau V Tipe II atau V dan lapisan pelindung
Kandungan semen min dengan ukuran agregat maks (kg/m3)
FAS maks
40 mm
20 mm
10 mm
80
300
350
0,50
290
330
350
0,50
270
310
360
0,55
250
290
340
0,55
340
380
430
0,45
290 330
330 370
380 420
0,50 0,45
330
370
420
0,45
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Tabel 3.5b Faktor Air Semen untuk Beton Bertulang dalam Air
Jenis beton
Bertulang atau pra tegang
Berhubungan dengan:
FAS
Tipe Semen
Air tawar
0,50
Semua tipe I – V Tipe I + Pozolan 15 – 40 % (semen PortlandPozolan) Tipe II atau V Tipe II atau V
Air payau Air laut
0,45 0,50 0,45
Kandungan semen min (kg/m3) Ukuran agregat maks 40 mm 20 mm 280 300
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.9 Penetapan Nilai Slump Nilai Slump yang diinginkan dapat diperoleh dengan Tabel 2.6.
340
380
340 340
380 380
Tabel 2.7 Penetapan Nilai Slump (cm) Pemakaian Beton Dinding, pelat pondasi dan pondasi telapak bertulang Pondasi telapak tidak bertulang, kaison dan struktur di bawah tanah Pelat, balok, kolom dan dinding Pengerasan jalan Pembetonan masal
Maksimum
Minimum
12,5
5,0
9,0
2,5
15,0 7,5 7,5
7,5 5,0 2,5
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.10 Penetapan Besar Butir Agregat Maksimum Pada beton normal ada 3 pilihan besar butir maksimum, yaitu 40 mm, 20 mm, atau 10 mm. Penetapan besar butir agregat maksimum dilakukan berdasarkan nilai terkecil dari ketentuan-ketentuan berikut: • Tiga perempat kali jarak bersih minimum antar baja tulangan atau berkas baja tulangan. • Sepertiga kali tebal pelat.
2.9.11 Penetapan Jumlah Aair Yang Diperukan Per Meter Kubik Beton Berdasarkan ukuran maksimum agregat, jenis agregat, dan slump yang diinginkan, lihat Tabel 2.7. Tabel 2.8 Perkiraan Kebutuhan Air per m3 Beton (liter) Ukuran agregat maks
Jenis Batuan
10 mm
Slump (mm) 0 – 10
10 – 30
30 – 60
60 – 180
Batu tak dipecah Batu Pecah
150 180
180 205
205 230
225 250
20 mm
Batu tak dipecah Batu Pecah
135 170
160 190
180 210
195 225
40 mm
Batu tak dipecah Batu Pecah
115 155
140 175
160 190
175 205
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Dalam Tabel 2.7 apabila agregat halus dan agregat kasar yang dipakai dari jenis yang berbeda (alami dan batu pecah), maka jumlah air yang diperkirakan diperbaiki dengan rumus:
A=
2 1 ⋅Ah + ⋅Ak 3 3 ·················· (3.5)
Dimana: A
= Jumlah air yang dibutuhkan (lt/m)
Ah
= Jumlah air yang dibutuhkan menurut jenis agregat halusnya
Ak
= Jumlah air yang dibutuhkan menurut jenis agregat kasarnya
2.9.12 Berat Semen yang Diperlukan Dihitung Berat semen per m3 beton dihitung dengan membagi jumlah air (dari langkah 2.5.11) dengan faktor air semen yang diperoleh pada langkah 2.5.7 dan 2.5.8. Tabel 2.9 Kebutuhan Semen Minimum untuk Berbagai Pembetonan dan Lingkungan Khusus Jenis pembetonan Beton di dalam ruang bangunan a. Keadaan kaliling non korosif b. Keadaan keliling korosif, disebabkan oleh kondensasi atau uap korosif Beton di luar ruang bangunan a. Tidak terlindung dari hujan dan terik matahari langsung b. Terlindung dari hujan dan terik matahari langsung Beton yang masuk ke dalam tanah a. Mengalami keadaan basah dan kering berganti-ganti b. Mendapat pengaruh sulfat dan alkali dari tanah Beton yang selalu berhubungan dengan: a. Air tawar b. Air laut
Semen min per m3 beton (kg)
FAS maksimum
275
0,60
325
0,52
325
0,60
275
0,60
325
0,55 Lihat Tabel2.8a Lihat Tabel 2.8b
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Tabel 2.8a
Kandungan Semen Minimum untuk Beton Yang Berhubungan Dengan Air Tanah Yang Mengandung Sulfat
Konsentrasi Sulfat (SO3) dalam tanah (SO3) Total dalam (SO3) campuran (%) air tanah = 2:1 (gr/lt) <0,2
0,2 – 0,5
0,5 – 1,0
(SO3) dalam air tanah (gr/lt)
<1,0
1,0 – 1,9
1,9 – 3,1
<0,3
0,3 – 1,2
1,2 – 2,5
Jenis Semen
Tipe I dengan atau tanpa pozolan (15 – 40 %) Tipe I tanpa Pozolan Tipe I dengan Pozolan 15 – 40 % (semen PortlandPozolan) Tipe II atau V Tipe I dengan Pozolan 15 – 40 % (semen PortlandPozolan) Tipe II atau V
Kandungan semen min dengan ukuran agregat maks (kg/m3)
FAS maks
40 mm
20 mm
10 mm
80
300
350
0,50
290
330
350
0,50
270
310
360
0,55
250
290
340
0,55
340
380
430
0,45
290
330
380
0,50
1,0 – 2,0
3,1 – 5,6
2,5 – 5,0
Tipe II atau V
330
370
420
0,45
>2,0
>5,6
>5,0
Tipe II atau V dan lapisan pelindung
330
370
420
0,45
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Tabel 2.8b
Jenis beton
Bertulang atau pra tegang
Kandungan Semen Minimum Untuk Beton Bertulang Dalam Air (kg/m3) Kandungan semen min (kg/m3) Ukuran agregat maks 40 mm 20 mm
Berhubungan dengan:
FAS
Tipe Semen
Air tawar
0,50
Semua tipe I – V
280
300
0,45
Tipe I + Pozolan 15 – 40 % (semen PortlandPozolan)
340
380
0,50
Tipe II atau V
340
380
0,45
Tipe II atau V
340
380
Air payau
Air laut
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.13 Kebutuhan Semen Minimum Kebutuhan semen minimum ini ditetapkan untuk menghindari beton dari kerusakan akibat lingkungan khusus.Kebutuhan semen minimum ditetapkan dengan Tabel 2.8.
2.9.14 Penyesuaian Kebutuhan Semen Apabila kebutuhan semen yang diperoleh dari langkah 2.5.12 ternyata lebih sedikit daripada kebutuhan semen minimum (pada langkah 2.5.13), maka kebutuhan semen minimum dipakai yang nilainya lebih besar.
2.9.15 Penyesuaian Jumlah Air atau Faktor Air Semen Jika jumlah semen ada perubahan akibat langkah 2.5.14 maka nilai faktor air semen berubah. Dalam hal ini dapat dilakukan dua cara berikut: •
Faktor air semen dihitung kembali dengan cara membagi jumlah air dengan jumlah semen minimum.
•
Jumlah air disesuaikan dengan mengalikan jumlah semen minimum dengan faktor air semen.
2.9.16 Penentuan Gradasi Agregat Halus Berdasarkan gradasinya (lihat analisis ayakan), agregat halus yang akan dipakai dapat diklasifikasikan menjadi 4 daerah. Penentuan daerah gradasi itu didasarkan atas grafik gradasi yang diberikan dalam Tabel 2.10 atau Gambar 2.3, Gambar 2.4, Gambar 2.5 dan Gambar 2.6. Tabel 2.10 Batas Gradasi Agregat Halus Lubang Ayakan (mm) 10 4,8 2,4 1,2 0,6 0,3 0,15
Daerah I 100 90 – 100 60 – 95 30 – 70 15 – 34 5 – 20 0 – 10
Persentase Berat Butir yang Lolos Ayakan Daerah II Daerah III Daerah IV 100 100 100 90 – 100 90 – 100 95 – 100 75 – 100 85 – 100 95 – 100 55 – 90 75 – 100 90 – 100 35 –59 60 – 79 80 – 100 8 – 30 12 – 40 15 – 50 0 – 10 0 – 10 0 – 15
Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
GRAFIK GRADASI AGREGAT HALUS DAERAH I 100
100
100
95
90
90
Persentase Lolos (%)
80 70
70
60
60
50 40 34
30
30
20
20 15
10
10 5
0
0
0,15
0,3
0,6
1,2
2,4
4,8
9,6
Ukuran Saringan (mm)
Gambar 2.3 Batas Gradasi Agregat Halus Daerah I Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
GRAFIK GRADASI AGREGAT HALUS DAERAH II 100
100
90
90
100 90
Persentase Lolos (%)
80 75
70 60
59 55
50 40 35
30
30
20 10
10
0
0
0,15
8
0,3
0,6
1,2
2,4
4,8
9,6
Ukuran Saringan (mm)
Gambar 2.4 Batas Gradasi Agregat Halus Daerah II Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
GRAFIK GRADASI AGREGAT HALUS DAERAH III 100
100
100
90
90 85
Persentase Lolos (%)
80
79
75
70 60
60
50 40
40
30 20 12
10
10
0
0
0,15
0,3
0,6
1,2
2,4
4,8
9,6
Ukuran Saringan (mm)
Gambar 2.5 Batas Gradasi Agregat Halus Daerah III Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
GRAFIK GRADASI AGREGAT HALUS DAERAH IV 100
100 95
90
80
Persentase Lolos (%)
100 95
90 80
70 60 50
50
40 30 20 15
15
10 0
0
0,15
0,3
0,6
1,2
2,4
4,8
9,6
Ukuran Saringan (mm)
Gambar 2.6 Batas Gradasi Agregat Halus Daerah IV Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.17 Perbandingan Agregat Halus dan Agregat Kasar Penetapan dilakukan dengan memperhatikan besar butir maksimum agregat kasar, nilai Slump, faktor air semen, dan daerah gradasi agregat halus. Berdasarkan data tersebut dan grafik pada Gambar 2.7 atau Gambar 2.8 atau Gambar 2.9.
Gambar 2.7 Persentase Agregat Halus Terhadap Agregat dengan Ukuran Butir Maksimum 10 mm Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Gambar 2.8 Persentase Agregat Halus Terhadap Agregat dengan Ukuran Butir Maksimum 20 mm Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
Gambar 2.9 Persentase Agregat Halus Terhadap Agregat dengan Ukuran Butir Maksimum 40 mm Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.18 Berat Jenis Agregat Campuran Berat jenis agregat campuran dihitung dengan rumus:
BJ camp = P ⋅ BJ ah + K ⋅ BJ ak
··················· (3.6)
Dimana: BJcamp = Berat jenis agregat campuran BJah
= Berat jenis agregat halus
BJak
= Berat jenis agregat kasar
P
= Persentase berat agregat halus terhadap berat agregat campuran
K
= Persentase berat agregat kasar terhadap berat agregat campuran
2.9.19 Penentuan Berat Isi Beton Dengan data berat jenis agregat campuran dari langkah 2.5.18 dan kebutuhan air tiap m3 beton, maka dengan grafik pada Gambar 2.10 dapat diperkirakan berat isi betonnya. Caranya adalah sebagai berikut: •
Dari berat jenis agregat campuran pada langkah 2.5.18 dibuat garis miring berat jenis gabungan yang sesuai dengan garis miring yang paling dekat yang terdapat pada Gambar 2.10.
•
Kebutuhan air yang diperoleh pada langkah 2.5.11 dimasukkan ke dalam sumbu horizontal pada Gambar 2.10, kemudian dari titik ini ditarik garis vertikal ke atas sampai mencapai garis miring yang dibuat pada cara sebelumnya di atas.
•
Dari titik potong ini ditarik garis horizontal ke kiri sehingga diperoleh nilai berat isi beton.
Gambar 2.10 Penentuan Berat Isi Beton yang Dimampatkan Secara Penuh Sumber : SNI 03-2834-2000, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal
2.9.20 Kebutuhan Agregat Campuran Kebutuhan agregat campuran dihitung dengan cara mengurangi berat beton per m3 dengan kebutuhan air dan semen.
2.9.21 Berat Agregat Halus yang Diperlukan Dihitung Berdasarkan Hasil dari Langkah Q dan T Kebutuhan agregat halus dihitung dengan cara mengalikan kebutuhan agregat campuran dengan persentase berat agregat halusnya.
2.9.22 Berat Agregat Kasar yang Diperlukan yang Dihitung Berdasarkan Hasil dari Langkah T dan U Kebutuhan agregat kasar dihitung dengan cara mengurangi kebutuhan agregat campuran dengan kebutuhan agregat halus. Catatan:
Dalam perhitungan di atas, agregat halus dan agregat kasar dianggap dalam keadaan jenuh kering permukaan, sehingga apabila agregatnya tidak kering permukaan, maka harus dilakukan koreksi terhadap kebutuhan bahannya. Hitungan koreksi dilakukan dengan rumus sebagai berikut: •
Ah -A1 A -A Air = A-ቀ ቁ.B+ቀ k 2 ቁ.C.................................................................. (3.7) 100 100
•
Agregat halus
Ah -A1 = B+ቀ ቁ.B ................................................... (3.8) 100
•
Agregat kasar
Ak -A2 =C+ቀ ቁ.C..................................................... (3.9) 100
Dimana: A
= Jumlah kebutuhan air (lt/m3)
B
= Jumlah kebutuhan agregat halus (kg/m3)
C
= Jumlah kebutuhan agregat kasar (kg/m3)
Ah = Kadar air sesungguhnya dalam agregat halus (%) Ak = Kadar air sesungguhnya dalam agregat kasar (%) A1 = Kadar air dalam agregat halus jenuh kering permukaan/absorbsi (%) A2 = Kadar air dalam agregat kasar jenuh kering permukaan/absorbsi (%)