BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1. Latar Belakang Pendidikan Inklusif Pendidikan
bagi anak berkebutuhan
khusus
merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar
yang
sudah
tua,
yang
membentang
dari
kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa. Akar pendidikan inklusif ini dimulai dari sejarah sekolah dasar biasa. Sejarah pendidikan kebutuhan khusus tidak memperoleh banyak perhatian selama beberapa dekade yang lalu, tetapi minat orang terhadap bidang ini muncul lebih kuat selama beberapa tahun terakhir ini. Tentu saja individu yang berkebutuhan khusus
dan
menyandang
kecacatan
mempunyai
berbagai sisi sejarahnya sendiri di seluruh bagian dunia ini. Namun, kebanyakan yang didokumentasikan di dalam literatur barat berasal dari “dunia barat”. (Widyastono, 2004) Dalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang panjang sejak pengesahannya secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini, yaitu “untuk semua dan setiap orang”,
Merupakan
upaya
utama
dalam
bidang
pendidikan pada waktu itu, yang dilaksanakan oleh monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi Kristen pietism dan cameralism. Sekolah merupakan elemen kunci dalam proyek melek huruf keagamaan yang dikembangkan untuk 10
memfasilitasi tanggung
jawab individual setiap orang kepada Tuhan Kristen di samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan seratus tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini hingga
terlembagakannya
sekolah
dasar
sebagai
institusi pendidikan permanenbagi semua orang di seluruh bagian Norwegia. Isi pelajaran pada awal sejarah
sekolah
dasar
ini
adalah
membaca
dan
penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari doktrin Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar Norwegia ini telah memperluasisinya, dan sekarang telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan mata
pelajaran
“Pengetahuan
Kristen,
Pendidikan
agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor.(KUF 1997/1999, dalam http://www.idp-europe.org) Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah penggagas utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia membuat
buku
pelajaran
pertama,
yang
disebut
Penjelasan Pontoppidan (1739), yang menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar Norwegia. Di samping itu, dia juga menulis
tentang
pendidikan
dalam
banyak
teks
lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh Norwegia (yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat). Dalam tulisannya tentang pendidikan, Pontoppidan (1739) menunjukkan bahwa dia menyadari bahwa anak-anak belajar dengan cara yang
berbeda-beda
dan
dengan 11
kecepatan
yang
berbeda-beda. Penjelasan Pontoppidan adalah buku tebal, dan parasiswa diharapkan mampu menghafalnya di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa bagian
buku
teks
itu
dengan
menggarisi
bagian
tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak penting dipelajari oleh siswa yang mempunyai kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Buku teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan (1739)
itu
mengandung
sejumlah
contoh
tentang
kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal peluang belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi tentang
metode
pengajaran
yang
tepat
untuk
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh gagasan semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama sejarah pendidikan dasar di abad ke-18 dan ke-19. Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran gagasan antara Norwegia dan negara-negara Nordik serta
beberapa
bagian
Eropa
lainya.
Pemikiran-
pemikiran para ahli seperti Johan Amos Comenius dari Cekoslowakia
(1592-1670),
Francke
dari
Halle
di
Jerman, dan kemudian John Locke dari Inggris (16321704),
Jean-Jaques
Rousseau
(1712-1778)
dari
Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss (17461827)
ditafsirkan
dan
dibahas.
(Johnsen,
dalam
http://www.idp-europe.org) Walaupun demikian, namun terdapat juga ceritacerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap anak dan remaja dengan kesulitan belajar dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara, 12
yang disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian yang besar, yang membukajalan bagi hak-hak orang dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi mereka yang tidak berhasil lulus dari ujian konfirmasi itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menikah. Menurut undang-undang yang berlaku saat itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak bersekolah
dan
tidak
berhasil
dalam
belajar
pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari ujian
konfirmasi,
dapat
dimasukkan
ke
“rumah
rehabilitasi” dan bahkan di penjara, di mana mereka dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang tidak dapat diterima untuk konfirmasi, yaitu gila (mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau tunagrahita) dan tunarungu prabahasa. Sesungguhnya, apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa itu dapat dididik atau tidak, telah menjadi bahan perdebatan
selama
beberapa
abad,
yang
jejak
argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan Lutheran hingga dekade terakhir abad kesembilan belas.
Pontoppidan
ada
di
antara
mereka
yang
menentang edukabilitas orang tunarungu prabahasa itu .(Johnsen,www.idp-europe.org). Perkembangan pendidikan anak berkebutuhan khusus berkembang di Eropa, perkembangan dari upaya-upaya
pendidikan
yang
sporadis,
ke
keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolahsekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Di
Amerika
sejak
tahun
1960-an
presiden
Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar 13
biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan last restrictive environment yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. (Yusuf dan Indianto, 2010). Walaupun demikian ternyata pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang dijalankan melalui sekolah-sekolah luar biasa belum dapat memenuhi kebutuhan
anak
akan
pendidikan.
Hal
tersebut
bermula dari ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pendidikan segregatif, yang menyebabkan anak-anak membutuhkan layanan pendidikan khusus mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat normal, meskipun mereka telah memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk hidup layak di masyarakat. Alasan inilah yang memicu hadirnya
pendidikan
inklusif,
pendidikan
yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah
terdekat
di
kelas
biasa
bersama
teman-teman seusianya. (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_ BIASA) Tuntutan akan pendidikan inklusif ini mengacu pada
instrumen
internasional
yang
melandasi
pendidikan inklusif, yaitu: a) Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948) termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang. Dalam Deklarasi ini menegaskan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.” (http://www.komnasperempuan.or.id). Hal ini didasari
atas pandangan bahwa penyandang cacat bukanlah 14
sebagai manusia yang utuh, oleh karena itu seringkali haknya
direnggut.
Melalui
deklarasi
ini
maka
dihasilkanlah suatu keputusan yaitu bahwa semua penyandang cacat, tanpa memandang jenis dan tingkat keparahannya,
memiliki
hak
atas
pendidikan.
(UNESCO, 1994). b) Konvensi Hak Anak 1989 (PBB, diumumkan tahun 1991), Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua negara di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia; menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua (pasal 28). Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal mengenai
pendidikan,
yaitu:
(1)
non-diskriminasi
(pasal2) yang menyatakan secara spesifik tentang penyandang kebutuhan khusus/penyandang cacat; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan (pasal 6); dan (4) menghargai pendapat anak (pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak dapat
dipisahkan
satu
sama
lain,
dan
saling
berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas pendidikan khusus
bagi
atau
anak
berkelainan/berkebutuhan
penyandang
cacat
telah
disediakan
pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa, tetapi
hal
ini
“diperlakukan
dapat secara
pendapatnya dan lingkungan
melanggar
hak
non-diskriminatif”,
mereka dihargai
hak untuk tetap berada dalam
keluarga
dan
masyarakatnya.
(http://www.unicef.org). c) Pendidikan untuk semua (1990): Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk 15
Semua di Jomtien, Thailand (UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992), dalam Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk semua di Thailand pada tahun 1990, melangkah lebih jauh
dari pada Deklarasi Universal
dalam pasal III tentang universalisasi akses dan mempromosikan kesetaraan. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Hal ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat. Istilah
inklusi
tidak
digunakan
dalam
Deklarasi
Jomtien, tetapi terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orangorang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan umum (Sue Stubbs, 2002). Dalam Deklarasi Jomtien juga dinyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan
yang
sama
kepada
setiap
kategori
penyandang cacat/kelainan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan (Pasal II ayat 5 ). (UNESCO, 1990).,d) Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang
Cacat,
1993(PBB,
diumumkan
tahun
1994), Peraturan ini telah dikembangkan atas dasar pengalaman yang diperoleh selama Dekade Penyandang Cacat PBB (1983 - 1992). Piagam Internasional Hakhak Asasi Manusia, yang terdiri dari Deklarasi Hak Azazi
Manusia
Universal, 16
Perjanjian
Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Perjanjian Intemasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi tentang Penghapusan terhadap
Wanita,
Semua Bentuk Diskriminasi
maupun
Program
Aksi
Dunia
mengenai Penyandang Cacat, merupakan landasan politik
dan
peraturan
moral
ini
bagi
tidak
peraturan
wajib,
tetapi
ini.
Meskipun
dapat
menjadi
peraturan keluaran internasional jika ditetapkan oleh sejumlah besar Negara dengan tujuan menghormati suatu aturan dalam hukum internasional. Prinsipprinsip penting untuk bertanggungjawab, berbuat dan bekerja sama terkandung pula di dalamnya. Bidangbidang yang sangat penting bagi kualitas kehidupan dan demi tercapainya partisipasi penuh dan persamaan pun termuat. Peraturan ini dapat dipergunakan sebagai suatu instrumen bagi pembuatan kebijaksanaan dan pengambilan tindakan bagi para penyandang cacat serta organisasi-organisasinya. Peraturan ini dapat pula dipergunakan sebagai dasar bagi kerja sama teknik
dan
ekonomi
di
antara
negara-negara,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi organisasi internasional lainnya. Peraturan ini bertujuan untuk menjamin agar para penyandang cacat anak-anak maupun
dewasa,
laki-laki
ataupun
perempuan,
memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang
lain
sebagai
warga
masyarakatnya.
(Peraturan Standar tentang Persamaan kesempatan bagi Para penyandang cacat, Resolusi PBB No. 48/96 Tahun
1993).
Penyataan 17
Salamanca
tentang
Pendidikan
inklusif,
1994
(UNESCO
diumumkan
pertama tahun 1994, laporan akhir tahun 1995). Konsep pendidikan inklusif mulai mewujud dalam sebuah kerangka kerja yang jelas pada saat UNESCO menyelenggarakan The Salamanca World Conference on Special Needs Education pada
tahun 1994. Pada
paragraf ketiga dari The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang dihasilkan dari konferensi tersebut dinyatakan bahwa: “… schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.”
Jelas bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan mengakomodasi
yang ditujukan untuk mampu
semua
anak
tanpa
memandang
kondisi mereka. Sistem pendidikan ini tidak hanya sekadar untuk mengakomodasi kaum difabel, tetapi juga kelompok-kelompok anak lainnya, seperti anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari daerah terpencil dan sebagainya. Jadi, konsep pendidikan inklusif dimunculkan untuk menjamin akses pendidikan bagi semua anak. Model pendidikan ini diyakini sebagai alat yang paling efektif untuk memerangi diskriminasi, menciptakan perbedaan,
masyarakat dan
yang
menjamin
bisa
berjalannya
menerima konsep
pendidikan untuk semua sebagaimana yang dicitacitakan
oleh
UNESCO
sejak
18
konferensi
Jomtien
sebagaimana telah disebut di atas. (Yusuf dan Indianto, 2010) Di Indonesia, proses menuju pendidikan inklusif dimulai pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa
tunanetra
di
Bandung
dengan
dukungan
organisasi pada tunanetra sebagai satu kelompok penekan.
Sejumlah
pemuda
tunanetra
bersikeras
untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Pada akhir tahun 1970-an
pemerintah
mulai
menaruh
terhadap
pentingnya
pendidikan
perhatian
integrasi,
dan
mengundang Hellen Keller International, Inc, untuk membantu
mengembangkan
sekolah
integrasi.
Keberhasilan proyek ini menyebabkan diterbitkannya Surat
Keputusan
Menteri
Pendidikan
nomor:
002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu
berakhir,
implementasi
pendidikan
integrasi
semakin kurang dipraktikkan. Menjelang akhir tahun 1990-an
upaya
baru
dilakukan
lagi
untuk
mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Brailo Norway dan Direktorat PLB (Pendidikan
Luar
Biasa).
Agar
tidak
mengulangi
kesalahan di masa lalu dengan program integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada sustainabilitas program
pengimplementasian
(Firdaus,2010).
19
pendidikan
inklusif.
2.2. Pengertian Pendidikan Inklusif Inklusif berasal dari kata bahasa Inggris yaitu inclusion. Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan
dengan
kompeherensif
cara-cara
dalam
yang
kehidupan
realistik
dan
pendidikan
yang
menyeluruh. (Smith, 2006). Sedangkan,
Pendidikan
inklusif
Menurut
UNESCO(1994) : “ At the core of inclusive education is the human right to education, pronounced in the Universal Declaration of Human Rights in 1949. Equally important is the right of children not to be discriminated against, stated in Article 2 of the Convention on the Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this right is that all children have the right to receive the kind of education that does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion, language, gender, capabilities, and so on.
Artinya bahwa Pendidikan inklusif merupakan inti dari hak azazi manusia untuk memperoleh pendidikan. Hal ini telah dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang hak
azazi
manusia
kepentingan
adalah
di
tahun
hak
1949.
anak
Kesamaan
untuk
tidak
didiskriminiasikan, dinyatakan dalam pasal 2 dari Konvensi
tentang hak anak.
Konsekuensi logik dari
hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk
menerima
jenis
pendidikan
yang
tidak
mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya.
20
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan memperluas
yang
inovatif
akses
dan
strategis
untuk
pendidikan bagi semua anak
berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi,
perjuangan
persamaan
hak
dan
kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua,
peningkatan mutu pendidikan, upaya
strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. (Sunaryo, 2009). Alimin inklusi
(2005)
adalah
menjelaskan sebuah
bahwa
proses
pendidikan
dalam
merespon
kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan
modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan,
struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Selain itu, pendidikan inklusif sendiri menurut Sapon-Shevin (O’Neil, 1994) yaitu bahwa Pendidikan inklusif
adalah
sistem
layanan
pendidikan
yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah
terdekat
di
kelas
biasa
teman-teman seusianya.( Widyastono, 2004).
21
bersama
Disamping itu, Staub dan Peck (2005) menyatakan pendidikan
inklusi
adalah
penempatan
anak
berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Selanjutnya, Inklusif
adalah
Menurut program
Smith yang
(2006)Pendidikan
mengakomodasikan
seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk didalamnya siswa yang berlainan. Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam
usaha-usaha
menyatukan
anak-anak
yang
memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistik dan kompeherensif
dalam
kehidupan
pendidikan
yang
menyeluruh. (Smith, 2006). Berdasarkan inklusif,
bahwa
pengertian
tentang
pendidikan
pendidikan
inklusif
merupakan
pendidikan yang terbuka bagi semua, yang menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Dalam pendidikan inklusif setiap anak yang memiliki kelainan serta potensi kecerdasan dan bakat istimewa diberikan kesempatan
untuk
belajar
bersama,
tanpa
membedakan satu dengan yang lainnya, memahami perbedaan, serta bekerjasama melengkapi kekurangan yang ada. Sedangkan,untuk sekolah inklusif sendiri menurut Sapon-Shevin (O’Neil, 1994) Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menerima 22
semua
siswa
menyediakan
di
kelas
program
yang
sama.
pendidikan
Sekolah yang
ini
layak,
menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar peserta didik berhasil. Sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari suatu kelas dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun dengan anggota masyarakat lain agar
kebutuhan
individualnya
dapat
terpenuhi
(Stainback dan Stainback, 1990). Sejalan dengan itu, Choate (dalam Dyah, 2008) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang berkebutuhan khusus untuk dapat belajar dikelas pendidikan umum. Sekolah
penyelenggara
memenuhi ditentukkan
beberapa antara
pendidikan
inklusif
harus
persyaratan
yang
sudah
keberadaan
siswa
lain
berkebutuhan khusus, komitmen terhadap pendidikan inklusif, manajemen sekolah, sarana-prasarana, dan ketenagaan. (Suparno,2007) Dalam penerimaan siswa di sekolah inklusi perlu diadakannya identifikasi ABK oleh guru terutama oleh guru kelas. Identifikasi adalah usaha untuk mengenali atau
menemukan
anak
berkebutuhan
khusus
berdasarkan ciri yang ada. Dalam mengidentifikasi terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain: observasi, wawancara, dan tes psikologi. Setelah diidentifikasi
dilakukan
assesmen
yang
bertujuan
untuk: menyaring kemampuan anak, pengklasifikasian, 23
penempatan dan penetuan program, penentuan arah dan
tujuan
pendidikan,
pengembangan
pendidikan individual, penentuan strategi
program (Suparno
2007). Sekolah umum/reguler yang menerapkan program pendidikan
inklusif
akan
berimplikasi
secara
manajerial di sekolah, diantaranya adalah: a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran dengan pendekatan individual. c. Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif. d. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. e. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan (Direktorat PLB, 2007).
2.3. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Inklusi Menurut adalah
Mujito
memanusiakan
(2012)
Hakikat
manusia,
pendidikan
mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi masalah hidup yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Sedangkan Hakikat pendidikan inklusi terdiri dari 2, yaitu:
24
a. Pendidikan
inklusi
adalah
penggabungan
pendidikan regular dan pendidikan khusus ke dalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan untuk
mempertemukan
perbedaan
kebutuhan
semua. b. Pendidikan inklusi bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.(dalam,http://id.shvoong.com/socialsciences/education/). Selain itu pendidikan inklusi bertujuan, untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar juga untuk
menyamakan
pendidikan
antara
berkebutuhan
hak anak
khusus.
dalam normal
Hal
ini
memperoleh dengan
sesuai
anak dengan
penjelasan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat dasar dan menengah. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan
anak
berkelainan
dan
anak
berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak untuk
mendapatkan
pendidikan
yang
layak
sebagaimana anak-anak normal lainnya. (Padriastuti, 2010).
25
Gargiulo
dalam
Mudjito,2012
bahwa
tujuan
pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi Anak Berkebutuhan Khusus sedini mungkin agar : a. Meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus dan untuk memaksimalkan kesempatan anak terlibat dalam aktifitas yang normal; b. Memungkinkan untuk mencegah terjadinya kondisi yang
lebih
parah
dalam
ketidakteraturan
perkembangan sehingga menjadi anak yang tidak berkemampuan. c. Mencegah
berkembangnya
kemampuan
lainnya
sebagai
keterbatasan hasil
utama
diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya.
2.4. Peran dan Tanggung Jawab dalam Pelaksanaan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran) Dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah diamandemen memberikan jaminan seperti yang tercantum pada pasal 31, ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, ayat
(2)
setiap
warga
negara
wajib
mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Termasuk untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. Hal ini sejalan dengan seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai sebuah kesepakatan global. Dalam
pelaksanaannya
tentulah
melibatkan
banyak pihak. Oleh karena itu, setiap pihak yang 26
memainkan perannya dalam pendidikan inklusif perlu memahami peran serta tanggung jawabnya. Peran dan tanggung jawab tersebut mengacu
padakeputusan
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009, antara lain : A. Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah. Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009) menyatakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain : 1. Menyusun, mensosialisasikan, menerapkan pendidikan, dan kebijakan pendidikan inklusi seperti sumber daya manusia, dana, kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya. 2. Memfasilitasi proses pelaksanaan pendidikan inklusi di lingkungan inklusi di semua lingkungan pembelajaran. 3. Memperluas akses pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). 4. Membuka peluang pada pihak terkait untuk berkontribusi dalam LIRP. B. Peran dan Tanggung Jawab Guru. Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009) menyatakan bahwa peran dan tanggung jawab guru dalam mendukung pelaksanakan Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain : 1. Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu orang tua wali tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan berprestasi 2. Bekerja dengan masyarakat untuk menjaringanak yang tidak bersekolah.
27
3. Menjelaskan manfaat dan tujuan LIRP kepada orang tua peserta didik 4. Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari kurikulum, seperti mengunjungi museum, memperingat harihari besar keagamaan dan nasional. 5. Mengajak orang tua dan anggota masyarakat terlibat dalam kelas. 6. Mengkomunikasikan LIRP kepada orang tua wali peserta didik, komite sekolah serta pemimpin dan anggota masyarakat. 7. Bekerja sama dengan para orang tua untuk menjadi penyuluh LIRP dilingkungan sekolah maupun masyarakat. C. Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009) menyatakan peran dan tanggung jawab orang tua dalam mendukung pelaksanakan Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain : 1. Mendukung pelaksanaan LIRP 2. Berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan LIRP di berbagai komunitas 3. Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki. 4. Menginformasikan nilai-nilai positif dari pelaksanaan LIRPkepada masyarakat secara luas 5. Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau pihak lain dalam pengadaan sumber belajar. 6. Aktif bekerjasama dengan guru dalam proses pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. 7. Aktif dalam memberikan ide atau gagasan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran. Pendidikan inklusif akan berjalan secara efektif apabila setiap pihak yang terlibat dapat memahami 28
peran serta tanggung jawabnya secara baik. Oleh karena itu hal ini penting untuk dipahami mengingat bahwa hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian tujuan pendidikan inklusif.
2.5. Anak Berkebutuhan Khusus 2.5.1. Pengertian Slow Learner Anak lamban belajar atau slow learner adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu atau seluruh area akademik. Jika dilakukan pengetesan pada IQ (Intelegence Question), skor tes IQ mereka menunjukkan skor antara 70-90 (Wiley, 2007). Dijelaskan dalam “Dictionary of Psychology” slow learner is a non technical variously applied to children who are some what mentally retarted or are developing at a slower that normal rate. (Hillgrad,1962) Yusuf (2005) mengemukakan bahwa anak yang prestasi
belajarnya
rendah
tetapi
IQ
nya
sedikit
dibawah rata-rata disebut anak yang lamban belajar atau slow learner. Endang (2005) Menyatakan pembahasan tentang Borderline atau garis perbatasan taraf kecerdasan yang menjadi kelompok tersendiri, sering disebut sebagai kelompok lamban belajar. Sedangkan,
Toto
(2005)
dalam
makalah
seminarnya menyatakan siswa lamban belajar ialah siswa yang intelegensinya berada pada taraf perbatasan
29
(borderline)
dengan
IQ
70-85
berdasarkan
tes
intelegensi baku. Dari hasil penelitian yang dilakukan Purwandari (1993) ternyata anak lamban belajar (slow learner) mempunyai ciri-ciri emosi sebagai berikut : a. Daya konsentrasi rendah Daya konsentrasi hanya sebentar, seperti terikat dalam kegiatan belajar di kelas, anak hanya dapat mengikuti pelajaran denganbaik ± 20 menit, lebih dari itu anak kelihatan gelisah, dan kadang-kadang
mengganggu
teman-temannya
yang sedang belajar. b. Mudah lupa dan beralih perhatian Hal ini sangat berkaitan dengan daya ingat dan rangsangan dari luar. c. Eksplosif Anak sering menampakan sikap cepat bereaksi terhadap rangsangan tanpa ada pertimbangan pemikiran lebih dulu. Bila tidak diberi tugas akan nampak kecewa. Ciri-ciri anak dalam kategori slow learner: 1. Rata-rata
prestasi
belajarnya
selalu
rendah
(kurang dari KKM), 2. Dalam sering
menyelesaikan terlambat
tugas-tugas
dibandingkan
akademik
teman-teman
seusianya, 3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat, 4. Pernah tidak naik kelas.
30
2.5.2 Faktor Penyebab Anak Lamban Belajar 4 faktor yang menyebabkan terjadinya anak slow learner atau lamban belajar. Faktor tersebut antara lain: 1. Faktor Genetik dan Prenatal (Sebelum lahir). Perkembangan seorang anak dimulai dari sejak konsepsi sampai pembuahan. Seluruh bawaan biologis seorang anak yang berasal dari kedua orang tuanya (berupa kromosom yang memecah diri menjadi partikel kecil yang disebut dengan gen), akan menjadi apa anak tersebut. Terjadinya kelainan kromosom dapat menyebabkan terjadi pula kelainan yang berhubungan dengan fisik maupun fungsi-fungsi kecerdasan. Selain
dari
kelainan
pada
kromosom,
anak
lamban belajar atau slow learner juga dapat disebabkan adanya gangguan biokimia dalam tubuh, seperti galactosemia dan phenylketonuria. Galactosemia adalah suatu gangguan biokimia karena defisiensi enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme galaktosa yang layak. Sedangkan phenylketonuria
adalah
suatu
gangguan
metabolisme genetik, dimana oksidasi yang tidak lengkap dari asam amino yang menyebabkan kerusakan pada otak. 2. Faktor Biologis Non Keturunan Lamban belajar atau slow learner tidak hanya terjadi karena faktor genetik tetapi juga ada beberapa hal non genetik, antara lain: Obat-
31
obatan, keadaan Gizi Ibu yang buruk saat hamil, radiasi sinar x, faktor Rhesus, golongan darah. 3. Faktor Natal (Saat Proses kelahiran) Kondisi
kekurangan
oksigen
karena
proses
kelahiran yang lama atau bermasalah dapat menyebabkan transfer oksigen
ke otak bayi
menjadi terhambat. 4. Faktor Postnatal (sesudah lahir) dan lingkungan. Malnutrisi dan trauma fisik akibat jatuh atau kecelakaan, trauma pada otak atau beberapa penyakit seperti meningitis dan encephalis harus juga
diperhatikan.
Begitu
juga
dengan
lingkungan. Lingkungan dapat berperan sebagai penyebab terjadinya anak lamban belajar atau slow
learner.
Karena
stimulasi
yang
salah,
sehingga anak tidak dapat berkembang secara optimal.
Lingkungan
lingkungan
sekolah
yang dapat
dimaksud pula
dapat
lingkungan
rumah. Interaksi dari beberapa faktor dapat mempengaruhi fungsi mental anak.
2.6. Model Pembelajaran 2.6.1. Model-model Pembelajaran Pembelajaran dapat difenisikan sebagai suatu sistem
atau
proses
membelajarkan
subjek
didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar sbjek didik/pembelajar dapat mencapai kompetensi yang
dirumuskan
secara
(Komalasari,2011). 32
efektif
dan
efisien.
Gunter
et
al
(1990)
mendefinisikan
model
pembelajaran sebagai an instructional model is a stepby-step
procedure
that
leads
to
specific
learning
outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran digunakan
sebagai sebagai
kerangka pedoman
konseptual dalam
yang
melakukan
pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dasar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional
strategy
is
a
method
for
delivering
instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999). Model pembelajaran yang di kembangkan dengan pendekatan
Konstruktivistik
adalah
Model
pembelajaran berdasarkan Masalah (Problem based Learning) dan learning).
pembelajaran
Model
pendekatan
kooperatif (cooperative
pembelajaran
pembelajaran
luas,
ini
mencakup
dan
menyeluruh
(Areunds,1997). A. Pembelajaran kooperatif/Cooperative Learning Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) adalah
suatu
strategi
belajar
mengajar
yang
menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Dalam tiap kelompok terdiri dari siswa-siswa berbagai tingkat kemampuan, 33
melakukan
berbagai
meningkatkan pelajaran
kegiatan
pemahaman
yang
sedang
belajar
mereka
dipelajari.
untuk
tentang materi Setiap
anggota
kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar,
sehingga
bersama-sama
mencapai
keberhasilan. Semua siswa berusaha sampai semua anggota
kelompok
berhasil
memahami
dan
melengkapinya. Semua siswa berusaha sampai semua anggota
kelompok
melengkapinya.
berhasil
(Lie,2000).
memahami
Model
dan
pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu Hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu dan pengembangan keterampilan sosial. Prinsip model pembelajaran kooperatif yaitu 1) saling ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5) evaluasi proses kelompok. Belajar mampu
kooperatif
secara
mengembangkan
teoretik
bukan
dipandang
saja
capaian
akademik, tapi juga capaian non-akademik seperti hubungan Menurut
interpersonal Arends
dan
(2007)
kerjasama
kelompok.
belajar
kooperatif
dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting; yaitu prestasi akademik, toleransi dan penerimaan pengembangan
terhadap
keanekaragaman,
keterampilan
sosial.
Marning
serta dan
Lucking (1991) mengatakan bahwa belajar kooperatif selain memberikan kontribusi secara positif terhadap 34
prestasi akademik, juga meningkatkan keterampilan sosial dan self-esteem siswa. Pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe antara lain : 1. Tipe Jigsaw Dari sisi etimologi jigsaw berasal dari bahasa inggris
yaitu
gergaji
ukir
dan
ada
juga
yang
menyebutnya dengan istilah fuzzle, yaitu sebuah tekateki yang menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini juga mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (jigsaw), yaitu siswa melakukan sesuatukegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. Model pemebelajaran kooperatif model jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil bersama. (Lie,2000) Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi
dan
meningkatkan
keterampilan
berkomunikasi. (Arends, 2007) 2. Three Minute Review Model pembelajaran kooperatif tipe three-step review efektif untuk digunakan saat guru berhenti pada saat-saat
tertentu
selama
sebuah
diskusi
atau
presentasi berlangsung, dan mengajak siswa mereviu 35
apa yang telah mereka ungkapkan saat diskusi di dalam kelompok mereka. Siswa-siswa dalam kelompokkelompok itu dapat bertanya untuk mengklarifikasi kepada anggota lainnya atau menjawab pertanyaanpertanyaan dari anggota lain. Misalnya setelah diskusi tentang proses-proses kompleks yang terjadi di dalam tubuh manusia misalnya pencernaan makanan, siswa dapat membentuk kelompok-kelompok dan mereviu proses diskusi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengklarifikasi. 3. Tipe Group Investigazion Menurut Winataputra (1992) model GI atau investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai situasi dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai tingkat usia. Pada untuk
dasarnya model ini
membimbing
para
siswa
dirancang
mendefinisikan
masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah
itu,
mengumpulkan
data
yang
relevan,
mengembangkan dan mengetes hipotesis. Sifat demokrasi dalam kooperatif tipe GI ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman
kelompok
dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar. Guru dan murid memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. Jadi tanggung jawab utama guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kooperatif
dan
berlangsung siswa
memikirkan
dalam
masalah
pembelajaran
mempersiapkan
sarana 36
serta
sosial
yang
membantu
pendukung.
Sarana
pendukung yang dipergunakan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali berbagai informasi
yang
melakukan Model
proses
sesuai
dan
pemecahan
pembelajaran
diperlukan masalah
kooperatif
tipe
untuk
kelompok. investigasi
kelompok ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert A Thelen. (Winataputra, 1992) 4. Think Pair Share (TPS) TPS merupakan metode yang menempatkan guru sebagai motivator, fasilitator, mediator, evaluator dan pembimbing,
sedangkan
siswa
dalam
kegiatan
pembelajaran di dalam kelas memiliki peran aktif. (Kusuma dan Aisah, 2012) TPS menghendaki siswa untuk bekerja sendiri danbekerja sama saling membantu dengan siswa lain dalam suatu kelompok kecil. Denganmetode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa yang maju dan membagikan hasilnyauntuk seluruh kelas, teknik Think Pair Share memberi sedikitnya delapan kali kesempatan lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Anita Lie, 2008). Pelaksanaan pembelajaran TPS ini diawali dari berpikir (think) sendiri mengenai pemecahan suatu masalah. Tahap berpikir menuntut siswa untuk lebih tekun dalam belajar dan aktif mencari referensi agar lebih mudah dalam memecahkan masalah atau soal yang diberikan guru. Siswa kemudian diminta untuk mendiskusikan hasil pemikirannya secara berpasangan 37
(pair). Tahap diskusi merupakan tahap menyatukan pendapat masing-masing siswa guna memperdalam pengetahuan mereka. Diskusi dapat mendorong siswa untuk
aktif
menyampaikan
pendapat
dan
mendengarkan pendapat orang lain dalam kelompok, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Setelah mendiskusikan
hasil
pemikirannya,
pasangan-
pasangan siswa yang ada diminta untuk berbagi (share) hasil
pemikiran
yang
telah
dibicarakan
bersama
pasangannya masing-masing kepada seluruh kelas. Tahap
berbagi
mengungkapkan
menuntut
siswa
pendapatnya
untuk
secara
mampu
bertanggung
jawab, serta mampu mempertahankan pendapat yang telah disampaikannnya. (Kusuma dan Aisah, 2012) 5. CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition) Pembelajaran CIRC dikembangkan oleh Stevans, Madden, Slavin dan Farnish. Pembelajaran kooperatif tipe CIRC dari segi bahasa dapat diartikan sebagai suatu
model
pembelajaran
kooperatif
yang
mengintegrasikan suatu bacaan secara menyeluruh kemudian
mengkomposisikannya
menjadi
bagian-
bagian yang penting. Model
pembelajaran
CIRC
memiliki
lima
komponen. Kelima komponen tersebut antara lain: (1)Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2)Placement test, misalnya diperoleh
dari
rata-rata
nilai
ulangan
harian
sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada bidang tertentu;(3) Student creative, melaksanakan 38
tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4)Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya; (5)Team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara
cemerlang
kurang
dan
berhasil
kelompok
dalam
yang
dipandang
menyelesaikan
tugas.
(suyitno,2005) 6. Reciprocal teaching Tipe pengajaran timbal-balik (reciprocal teaching) merupakan salah satu tipe dari pembelajaran koperatif yang
dirancang
sehingga
siswa
menumbuhkan berfikir
kritis,
dengan dapat rasa
metode-metode belajar
tanggung
keaktifan
lebih jawab,
dalam
tertentu,
serius
dan
kerjasama,
bertanya
dan
keterlibatan dalam proses belajar. Strategi pengajaran reciprocal teaching adalah salah satu strategi dalam pembelajaran kooperatif, dalam pelaksanaannya, siswa dibentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 4 siswa dengan tugas masing-masing sebagai predictor, clarifier, questioner, dan summarizer, dan dalam proses pembelajaranya siswa dituntut untuk berinteraksi, ketergantungan, dan bekerjasama dengan kelompoknya dalam mengerjakan tugasnya. (http://library.um.ac.id)
39
7. STAD(Student Teams Achievement Divisions). Salah satu metode pembelajaran kooperatif yang efektif
adalah
STAD
(Student
Teams
Achievement
Divisions). STAD terdiri dari rangkaian pembelajaran yang sederhana, belajar kooperatif dalam memadukan kemampuan kelompok-kelompok dan kuis-kuis disertai penghargaan
yang
diberikan
kepada
kelompok-
kolompok yang anggotanya paling sukses melampaui nilai mereka sendiri sebelumnya. Kelebihan
dalam
penggunaan
pembelajaran
kooperatif metode STAD sebagai berikut: a. Mengembangkan serta menggunakan
keterampilan
berpikir secara kritis dan kerja sama kelompok. b. Menyuburkan hubungan antar pribadi yang positif diantara siswa yang berasal dari ras yang berbeda. c. Menerapkan bimbingan oleh teman. d. Menciptakan lingkungan yang menghargai nilai-nilai ilmiah. Kelemahan
dalam
penggunaan
pembelajaran
kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut: a. Sejumlah siswa mungkin bingung karena belum terbiasa dengan perlakuan seperti ini. b. Guru pada permulaan akan membuat kesalahankesalahan dalam pengelolaan kelas. Akan tetapi usaha sungguh-sungguh yang terus menerus akan dapat terampil menerapkan model ini. Langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut :
40
a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai dengan menggunakan berbagai pilihan dalam cara dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa,
antara
lain
dengan
metode
penemuan
terbimbing, tanya jawab atau metode ceramah. Langkah ini tidak harus dilakukan dalam satu kali pertemuan, tetapi dapat lebih dari satu. b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu sehingga akandiperoleh nilai awal kemampuan siswa. c. Guru
membentuk
beberapa
kelompok.
Setiap
kelompok terdiri dari 4-5 anggota, dimana anggota kelompok mempunyai kemampuan akademik yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari budaya atau
suku
yang berbeda
serta
memperhatikan
kesetaraan gender. d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah diberikan, mendiskusikan secara
bersama-sama,
saling
membantu
antar
anggota lain, serta membahas jawaban tugas yang diberikan memastikan
guru.
Tujuan
bahwa
utamanya
setiap
kelompok
adalah dapat
menguasai konsep dan materi. B. Model Pembelajaran Berbasis Masalah/ Problem Based Learning Pembelajaran
Berbasis
Masalah
(PBM)
atau
Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil 41
penelitian Barrow and Tamblyn (1980, Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanda pada tahun 60-an. PBM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBM sangat efektif untuk
sekolah
kedokteran
dimana
mahasiswa
dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. PBM lebih tepat dilaksanakan dibandingkan
dengan
pendekatan
pembelajaran
tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang
nanti
bertugas
pada
kenyataannya
selalu
dihadapkan pada masalah pasiennya sehingga harus mampu
menyelesaikannya.
Walaupun
pertama
dikembangkan dalam pembelajaran ilmu kedokteran tetapi
pada
perkembangan
selanjutnya
diterapkan
dalan pembelajaran ilmu yang lain. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu
model
pembelajaran
inovatif
yang
dapat
memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBM adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap
metode
ilmiah
sehingga
siswa
dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBM adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalahmasalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open 42
ended melalui stimulus dalam belajar. PBM memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata
siswa/mahasiswa,
(3)
mengorganisasikan
pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan
kelompok
kecil,
dan
(6)
menuntut
pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. (Fogarty,1997). Berdasarkan penjelasan tentang PBM tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau
guru),
kemudian
pengetahuannya
tentang
siswa apa
yang
memperdalam mereka
telah
ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga
mereka
terdorong
berperan
aktif
dalam
belajar. C. Program Pembelajaran Individual Istilah Program Pembelajaran individual (PPI) merupakan terjemahan dari Individualized Educaional Program
(IEP).
Mercer
and
Mercer
(1989)
dalam
Rochyadi dan Alimin (2003), mengemukakan bahwa program individual merujuk kepada suatu program
43
pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas –tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasiya. Lynch (1994), menyatakan bahwa IEP merupakan suatu kurikulum atau merupakan suatu kurikulum atau
merupakan
suatu
program
belajar
yang
didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhankebutuhan khusus anak dalam belajar. demikian
pada
dasarnya
Program
Individual
(PPI)
merupakan
suatu
Dengan
Pembelajaran program
yang
didasarkan kepada kebutuhan setiap individu. Program Pembelajaran Individual (PPI) disusun pada hakekatnya adalah mengacu pada pandangan bahwa inividu itu unik bahkan tidak ada seorang manusiapun yang akan sama sekalipun kembar. (Triani dan Amir,2013). Dengan demikian setiap anak memiliki potensi
masing-masing
yang
perlu
dikembangkan
sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya. Begitu juga dengan kebutuhannya, setiap peserta didik tentunya memiliki kebutuhan masing-masing yang mungkin akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam Program Pembelajaran Individual (PPI) terdapat prosedur dalam penyusunannya menurut Rochyadi dan Alimin (2003) yang menyebutkan bahwa Program
Pembelajaran
Individual
disusun
dengan
maksud untuk memenuhi kebutuhan tiap peserta didik. Prosedur ideal dalam pengembangan Program Pembelajaran Individual
dikemukakan Kitano dan
Kirby (1986) memiliki lima aspek yaitu :pembentukan tim
PPI,
menilai
kebutuhan
khusus
anak,
mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka 44
pendek, meancang metode dan prosedur pembelajaran dan menentukan evaluasi kemajuan anak. a. Membentuk Tim PPI Tim PPI bertugas merencanakan dan menyusun program
pembelajaran.
Anggota
tim
sebaiknya
terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti guru kelas atau guru mata pelajaran, kepala sekolah, orang tua dan tim ahli (jika memungkinkan). Tim ahli yang dimaksu adalah tim ahli yang terkait dengan masalah yang dihadapi atau pengembangan dari potensi peserta didik seperti : konselor, instruktur orientasi mobilitas, speech therapist, fisio therapist, pediatris atau psikolog. Namun jika sekolah belum memungkinkan menyertakan tim ahli, maka tim PPI tetap dapat terbentuk dengan melibatkan guru atau kepala sekolah dan orang tua. Tim PPI ini akan duduk bersama mendiskusikan tentang rancangan program pembelajaran yang akn diberikan kepada peserta didik. Dengan demikian antara pihak sekolah dengan pihak orang tua memiliki persepsi yang sama tentang program yang akan dilaksankan. Dengan demikian orang tua dan pihak sekolah sama-sama aktif dalam memberikan informasi atau melakukan treatment atau programprogram pembelajaran yang dianggap perlu. b. Menilai Kebutuhan Khusus Anak Menentukan kebutuhan khusus apa yang peserta didik perlukan, terlebih dahulu tim PPI melihat informasi tentang
yang
dperoleh
dari
kelemahan-kelemahan 45
hasil
assesmen
dan
kekuatan-
kekuatan yang dimiliki peserta didik. Berdasarkan dari
data
atau
informasi
tersebut
tim
baru
memutuskan kebutuhan khsus seorang peserta didik. c. Mengembangkan Tujuan Pembelajaran Jangka Panjang dan Jangka Pendek Tujuan
pembelajaran
melakukan
penyelarasan
dilakukan antara
dengan
target
yang
diharapkan dari kurikulum dengan kemampuan yag dimiliki peserta didik berdasarkan hasil assesmen yang telah dilakukan. Tujuan pembelajaran jangka panjang adalah tujuan yang hendak dicapai pada waktu yang relatif lama, seperti capaian yang tertera pada SK (Standar Kompetensi). Sedangkan tujuan pembelajaran jangka pendek adalah tujuan yang hendak dicapai dalam waktu yang relatif singkat, seperti capaian pada KD (Kompetensi Dasar).
Untuk
mempermudah
pengukuran
kebehasilannya, satu kompetensi dasar tentunya disusun
menjadi
menggunakan
kata
indikator-indikator kerja
dengan
operasional
dalam
penyusunannya. d. Menyusun
Metode
dan
Prosedur
Pembelajaran Metode
dan
Prosedur
Pembelajaran
yang
dirancang dalam Program Pembelajaran Individual ini, tentunya disusun secara jelas dan sistematis sehingga memudahkan dalam proses penilaiannya. Proses
pembelajaran
berkelompok
dapat
namun
tetap 46
dirancang
secara
dikelola
secara
individual. Banyak metode dan pendekatan yang dapat dilakukan seorang guru dengan berprinsip pada Pembelajaran yang Aktif Inovatif Kreatif dan menyenangkan
(PAIKEM).
Dengan
demikian
pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. e. Menentukan Evaluasi Kemajuan Anak Evaluasi kemajuan belajar anak henaknya dapat mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Dalam melakukan evaluasi sedapat mungkin mampu menggambarkan kondisi peserta
didik
bukan
membandingkan
dengan
peserta didik yang lain yang ada dikelasnya. Karena ketuntasan
belajar
yang
dimaksud
adalah
ketuntasan belajar individual sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Banyak ragam jenis evaluasi, tentunya jenis dna bentuk tes yang diberikan disesuaikan dengan kondisi anak serta tujuan dari pelaksanaan evaluasi itu
sendiri.
Dalam
pelaksanaan
evaluasi
ini
sebaiknya dilakukan baik evaluasi proses maupun product
atau
hasil.
Dengan
demikian
dapat
diperoleh informasi tentang kemajuan peserta didik baik dalam proses pelaksanaan pembelajarannya serta
tingkat
pencapaian
keberhasilan
tujuan
pembelajaran.
2.7. Model Pengembangan Pembelajaran Model
ialah
suatu
abstraksi
yang
dapat
digunakan untuk membantu memahami sesuatu yang tidak bisa dilihat atau dialami secara langsung. Model adalah representasi realitas yang disajikan dengan 47
suatu
derajat
struktur
dan
urutan
(Seels
&
Richey,1994). Gustafson model,yakni
(1981)
mengajukan
(1) classroom
development
models,
ID
(3)
model, systems
4
kategori
(2)
product
development
models, dan (4) organization development models. Model yang
berpusat
pada
kelas
atau classroom
ID
model berpijak pada asumsi bahwa telah ada seorang pembelajar, beberapa pebelajar, suatu kurikulum, dan suatu fasilitas. Sasaran pembelajar adalah untuk melakukan
peningkatan
pembelajaran.
Pembelajar
bukanlah bagian dari suatu tim peningkatan mutu kelas,
tetapi
hanya
sepanjang
memilih
untuk
menggunakan model yang dihasilkan. Model yang berpusat pada produk atau product fokus, product development models
bertujuan untuk menghasilkan
suatu produk yang bersifat spesifik yang menjadikan pembelajaran lebih efektif dan lebih efisien. Produk model pembelajaran yang dihasilkan diharapkan sesuai dengan
karakteristik
sebelumnya.
Model
pebelajar ini
yang
digunakan
telah
dalam
ada
bidang
pendidikan, di mana keputusan atas “ya atau tidaknya” pengembangan harus dilaksanakan oleh seseorang selain
dari
pengembang
itu
sendiri.
Model
yang
berfokus pada sistem atau systems development models berbeda
bila
dibandingkan
dengan
pengembangan
model yang berorientasi pada produk. Model yang berfokus
pada
sistem
mempunyai
tujuan
bahwa
masukan dan keluaran dianggap sebagai suatu sistem. Keluaran pengembangan meliputi material, peralatan, 48
suatu rencana manajemen, dan barangkali suatu pelatihan
instruktur.
Ini
berarti
bahwa
”sistem”
kemudian bisa ditempatkan sebagai target. Sistem menuntut
analisis
yang
luas:
(a)
lingkungan
penggunaan, (b) karakteristik tugas, dan (c) ya atau tidaknya
pengembangan
perlu
berlangsung.
Ini
merupakan suatu masalah yang perlu dipecahkan dengan
menggunakan
pendekatan
menuntut
pengumpulan data secara alamiah. Sedangkan model yang berpusat pada organisatoris atau organization development
models
tujuannya
tidak
hanya
meningkatkan pembelajaran, tetapi juga memodifikasi atau mengadaptasi organisasi itu dan personilnya kepada suatu lingkungan baru. Akhir-akhir ini, model yang berorientasi pada pengembangan untuk
pengembangan
fakultas,
ini digunakan pengembangan
organisasi, dan pengembangan pembelajaran sebagai tiga
komponen
yang
terpisah
tetapi
aktivitasnya
berhubungan. Penelitian ini termasuk dalam kategori system development models yang menuntut analisis yang luas antara lain : a) lingkungan penggunaan, b) karakteristik tugas, dan c) ya atau tidaknya pengembangan perlu berlangsung. Model pengembangan pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan model penelitian yang dikembangkan oleh Borg dan Gall. Menurut Borg and Gall (Borg and Gall, 1983) : “education research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products. The steps of this process are usually referred to as the R & D cycle, which consists of 49
studying research finding pertinent to the product to be developed, developing the product based on the finding, field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the field testing stage. In indicate that product meets its behaviorally defined objectives. (Borg and Gall, 1983)”
Artinya riset dan pengembangan pendidikan (R&D) adalah
suatu
proses
yang
digunakan
untuk
mengembangkan dan memvalidasi atau mengesahkan produk bidang pendidikan. Langkah–langkah dalam proses ini pada umumya dikenal sebagai siklus R&D, yang
terdiri
dari:
pengkajian
terhadap
hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas komponen-komponen
pada
produk
yang
akan
dikembangkan, mengembangkannya menjadi sebuah produk, pengujian terhadap produk yang dirancang, dan peninjauan ulang, dan mengoreksi produk tersebut berdasarkan hasil uji coba. Hal itu sebagai indikasi bahwa produk temuan dari kegiatan pengembangan yang dilakukan mempunyai objektifitas. Rangkaianrangkaian penelitian dan pengembangan dilakukan sesuai dengan siklus dan pada setiap langkah yang akan dilalui selalu mengacu pada hasil dari langkah sebelumnya hingga akhirnya akan diperoleh suatu sistem pendidikan yang baru. Dalam tentang
prosedur
pengembangan dan
teknologi
Gall
dan
pembelajaran, langkah-langkah
sudah banyak
(1983)
menyatakan
deskripsi penelitian
dikembangkan. Borg bahwa
prosedur
penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: 1) Mengembangkan produk, 50
dan 2) Menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan.
Tujuan
pengembangan
pertama sedangkan
disebut
sebagai
tujuan
kedua
fungsi disebut
sebagai validasi. Dengan demikan, konsep penelitian pengembangan lebih tepat diartikan sebagai upaya pengembangan yang sekaligus dsertai dengan upaya validasinya. Borg dan Gall menjelaskan serangkaian tahap yang
harus
pengembangan
ditempuh yaitu:
dalam
Research
penelitian and
dan
information
collecting, planning, develop preliminary form of product, preliminary field testing, main product revision, main field testing, final product revision, and, dissemination and implementation. Secara konseptual, pendekatan penelitian dan pengembangan mencakup 10 langkah umum, sebagaimana diuraikan borg and Gall (1983), dalam model dibawah ini : Research & Information Collecting
Planning
Operational Field testing
Operational Product Revision
Final Product Revision
Dissemination & Implementation
Develop preliminary form of prduct
Preliminary Field testing
Main field Testing
Main Product Revision
(Gbr. 2.1. Alur Prosedur pengembangan Borg dan Gall ,1983)
Keterangan gambar: 1. Research and information collecting; termasuk dalam langkah ini antara lain studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan
51
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8. 9.
persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian; Planning; termasuk dalam langkah ini merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan permasalahan, menentukan tujuan yang akan dicapai pada setiap tahapan, dan jika mungkin/diperlukan melaksanakan studi kelayakan secara terbatas; Develop preliminary form of product, yaitu mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung; Preliminary field testing, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam skala terbatas. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau angket; Main product revision, yaitu melakukan perbaikan terhadap produk awal yang dihasilkan berdasarkan hasil uji coba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam uji coba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diuji coba lebih luas; Main field testing, uji coba utama. Operational product revision, yaitu melakukan perbaikan/penyempurnaan terhadap hasil uji coba lebih luas, sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang siap divalidasi; Operational field testing, yaitu langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan; Final product revision, yaitu melakukan perbaikan akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final);
52
10. Dissemination and implementation, yaitu langkah menyebarluaskanproduk/modelyang dikembangkan. Skema tersebut dirujuk dari the major steps in the R&D cycle Borg dan Gall (1983). Pengadaptasiannya diwujudkan dalam bentuk perencanaan teknis sasaran dan jenis kegiatan yang akan dilakukan dalam tiap tahapnya. Sukmadinata kesepuluh
langkah
(2010)
penelitian
menjelaskan dan
”Jika
pengembangan
diikuti dengan benar, maka akan dapat menghasilkan suatu
produk
pendidikan
dipertanggungjawabkan”.
yang
dapat
Langkah-langkah
tersebut
bukanlah hal baku yang harus diikuti, langkah yang diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.
2.8. Penelitian Yang Relevan Dalam penelitian tentang Pengembangan Model Pendidikan Inklusif ini, penelitian yang relevan sebagai bahan pendukung penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Dyah S (2008), “Pengkajian Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan Pendidikan efektifitas sudah
Dasar
dan
Menengah”,
Inklusif ini adalah penyelenggara
berjalan
menunjukkan
bahwa
untuk mengetahui
pendidikan
selama
Pengkajian
ini.
efektifitas
inklusif
Hasil
yang
penelitian
penyelenggaraan
pendidikan inklusif dapat dilihat dinamikanya, seperti ketiadan Guru Pendamping Khusus (GPK), tenaga ahli, serta belum memiliki sarana – prasarana khusus untuk menangani ABK, atau jika mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang ada. 53
Penelitian yang dilakukan oleh Lomban (2012), yang meneliti tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon,
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi di Kota Ambon, dalam kategori buruk yakni 26% bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan. Martuti
(2011),
tentang
“Pelaksanaan
Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan Inklusi Siswa Tuna Netra Di SMP Negeri 4 Wonogiri”, hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
dalam
pelaksanannya kendala-kendala yang dialami yaitu faktor ekonomi orang tua, proses belajar mengajar, kesiapan ketrampilan dan kemampuan guru yang kurang variatif cenderung membosankan dan membuat pasif, keterbatasan guru untuk mengikuti pelatihan dan
perbedaan
pelayanan
kemampuan
antara
siswa
individu
regular
dalam
dengan
hal siswa
berkebutuhan khusus. Penelitian yang dilakukan oleh Barokah (2008) yang meneliti moralitas peserta didik pada pendidikan inklusif, hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik antara usia 6-12 yang sederajat dengan peserta didik sekolah dasar yang memiliki kecenderungan untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap orang tua, guru dan teman sebayanya. Penelitian tentang inklusi juga dilakukan oleh Istiningsih (2005) yang meneliti Manajemen Inklusi di Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali menyimpulkan
bahwa
manajemen 54
sekolah
inklusi
sudah cukup bagus, dan pemahaman konsep inklusi perlu untuk ditingkatkan. Dari
hasil-hasil penelitian
sebelumnya,
yang
menjadi kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif
antara
lain:
ketiadan
Guru
Pendamping
Khusus (GPK), tenaga ahli, serta belum memiliki sarana – prasarana khusus untuk menangani ABK, atau jika mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang ada serta pemahaman serta pengetahuan pendidikan
inklusif,
hal-hal
ini
yang
konsep menjadi
kelemahan dalam pelakasanaan pendidikan inklusif. Padahal,
komponen-komponen
ini
merupakan
hal
penting dalam penerapan pembelajaran inklusif. Penelitian yang hendak peneliti teliti saat ini lebih mengkhususkan
pada
pengembangan
model
pembelajaran inklusif di salah satu sekolah inklusif jenjang sekolah menengah pertama. Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah desain model pengembangan pembelajaran inklusif.
55