10
BAB 2 KAJIAN LITERATUR
2.1
Preferensi
Lokal
dalam
Demokratisasi
dan
Desentralisasi
Pembangunan Kota Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Demokrasi memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan kebutuhannya dan memperoleh apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, demokrasi merupakan sistem politik yang bersifat terbuka dan liberal. Dalam pembangunan yang bersifat demokratis, aspirasi masyarakat menjadi sangat penting untuk diperhatikan agar pembangunan dapat berhasil. Pembangunan yang berhasil tersebut juga tidak terlepas dari indikasi adanya dukungan masyarakat dan tercapainya alokasi sumber daya publik yang efektif dan efisien. Pada dasarnya, cara kerja demokrasi dalam sistem politik sama dengan cara kerja pasar dalam sistem ekonomi (Wittman, 1989 : 1395). Perwujudan demokrasi dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menghasilkan efisiensi dalam alokasi sumber daya publik. Hal ini dikarenakan dalam pasar demokrasi juga terdapat persaingan sempurna antar pihak yang berkepentingan dalam pembangunan. Pasar demokrasi akan menghasilkan kebijakan yang efisien yang mencerminkan agregasi dari preferensi seluruh stakeholder yang berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut Witmann (1989), terdapat beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran bahwa demokrasi akan menghasilkan efisiensi, yakni sebagai berikut : 1. Sistem demokrasi mendorong terciptanya kompetisi dalam disain institusi politik sehingga akan berimplikasi pada tercapainya efisiensi. Adanya faktor kompetisi, reputasi, monitoring, dan disain kontrak yang optimal dalam suatu sistem demokrasi dapat mengurangi kesempatan terjadinya prilaku elit politik yang tidak bertanggung jawab. Partai politik dapat diibaratkan sebagai produsen dalam sistem pasar ekonomi. Apabila elit
11
politik dari suatu partai politik memiliki reputasi dan kinerja yang buruk, maka masyarakat tidak akan memilihnya kembali untuk periode berikutnya dan masyarakat bisa saja memberhentikannya. Hal ini tentu membuka peluang bagi partai-partai politik oposisi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dengan demikian, tercipta kompetisi antar partai politik yang mendorong partai-partai tersebut berupaya melaksanakan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak. Kompetisi tersebut akan mendorong terciptanya efisiensi meskipun biaya untuk melakukan monitoring publik cukup mahal.
2. Keterbatasan informasi dan kemungkinan terjadinya bias informasi yang diperoleh masyarakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan masyarakat untuk membuat pilihan secara rasional. Meskipun beberapa individu membuat pilihan yang tidak rasional, hukum large number cenderung akan menghasilkan pilihan mayoritas yang rasional. Efisiensi dapat tercapai meskipun masyarakat yang membuat pilihan (voter) tidak memperoleh informasi yang lengkap. Dengan hanya mengetahui tindakan apa yang akan diambil para calon elit politik yang akan dipilih, voter dapat memutuskan pilihan yang rasional yaitu pilihan yang sesuai dengan preferensinya. Oleh sebab itu, para elit politik yang berkompetisi tidak perlu menyediakan informasi yang terlalu detail ketika terdapat ketidaksesuaian antara preferensi voter dengan outcome dari proses politik.
3. Berkembangnya demokrasi dalam sistem politik dapat mengurangi besarnya biaya negosiasi/biaya transfer (biaya untuk menghasilkan keputusan). Eksternalitas muncul karena adanya biaya negosiasi dan biaya transfer yang tinggi (terdapat perbedaan antara biaya privat dan biaya sosial, seperti biaya yang timbul karena terjadi perubahan keputusan mayoritas menjadi keputusan minoritas yang tidak diinginkan). Pasar politik menjadi tidak efisien apabila suatu
kelompok
tidak
memperhitungkan
biaya
atau
manfaat
yang
12
ditimbulkannya terhadap kelompok lain. Dalam sistem demokrasi, partai politik dapat berperan dalam mengurangi eksternalitas antara badan legislatif. Outcome yang dihasilkan akan tetap sama untuk berbagai alokasi hak politik selama biaya negosiasi tersebut rendah. Cara kerja demokrasi secara tidak langsung akan menekan biaya sosial yang timbul akibat aktivitas rent seeking. Jika rent seeking bukan merupakan masalah yang dipandang serius dalam psar ekonomi, maka hal itu juga bukan merupakan masalah yang serius dalam pasar politik.
4. Prilaku politik yang mempengaruhi efisiensi seperti kompetisi pressure group, kegagalan badan legislatif, pilihan median voter dapat dikoreksi dengan adanya demokrasi dalam sistem politik. Maksimasi pemungutan suara akan menghasilkan kebijakan yang efisien. Voter akan memilih kandidat yang menjanjikan kepuasan yang maksimal bagi voter jika kandidat tersebut terpilih. Jadi, probabilitas voting merupakan fungsi diferensial dari utilitas voter baik voter tersebut masuk ke dalam pressure group maupun tidak sehingga distorsi yang disebabkan pressure group dapat diabaikan.
Perwujudan demokrasi dalam pembangunan juga berkaitan dengan pentingnya
desentralisasi
dalam
pembangunan.
Proses
institusionalisasi
demokrasi partisipatif akan terdorong melalui desentralisasi dan devolusi kewenangan ke tingkat lokal karena partisipasi optimum warga dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran dari unit pengambilan keputusan (Suhirman, 2006 : 23). Melalui penerapan desentralisasi, pemerintah lokal yang berada dekat dengan masyarakat lokal lebih dapat merespon apa yang menjadi preferensi masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, dalam desentralisasi, aspirasi dan kepentingan masyarakat menjadi orientasi utama pembangunan wilayah atau kota. Hal ini berarti desentralisasi pembangunan dapat membantu demokrasi bekerja dengan baik.
13
Melalui
perwujudan
desentralisasi,
preferensi
masyarakat
dapat
terakomodasi dengan baik karena pemerintah lokal dapat merespon aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara langsung dan cepat. Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa desentralisasi yang sesungguhnya tidak hanya sebatas menyerahkan sebagian tugas dan fungsi pemerintah pusat kepada pemerintah lokal. Akan tetapi, desentralisasi seharusnya menempatkan nilai demokrasi sebagai hal utama yang mendasari penyelenggaraan pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan (ekonomi publik) pada dasarnya bertujuan untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien, mencapai distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang diinginkan, serta mempertahankan perekonomian yang stabil dan maju (Oates, 1968 : 37). Berdasarkan tujuan tersebut, dalam desentralisasi pembangunan, dikenal adanya desentralisasi fiskal yang menekankan pada penentuan fungsi atau instrumen pemerintah yang paling baik untuk didesentralisasikan dalam penyelenggaraan pembangunan. Fungsi pemerintah tersebut meliputi tiga fungsi pokok yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan dan pelayanan barangbarang publik yang peruntukannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan. Fungsi distribusi terkait dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Fungsi stabilisasi mencakup pengaturan variabel ekonomi makro untuk mencapai stabilitas ekonomi secara nasional. Pada sistem sentralisasi pembangunan, pemerintah pusat mendominasi ketiga fungsi tersebut. Sedangkan pada sistem desentralisasi, sebagian besar wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah/kota. Dengan kata lain, sebagian tugas dan kewenangan pemerintah pusat yang meliputi alokasi, distribusi dan stabilisasi diserahkan kepada pemerintah daerah/kota. Hal ini bertujuan agar pembangunan daerah/kota dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Bila ditinjau dari derajat kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah/kota, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan diantara ketiga fungsi tersebut. Pemerintah daerah memiliki derajat kewenangan dan tanggung jawab
14
yang paling besar pada fungsi alokasi, kemudian diikuti dengan fungsi distribusi dan paling kecil pada fungsi stabilisasi. Fungsi stabilisasi yang dipegang oleh pemerintah daerah hanya terbatas pada penciptaan stabilitas dalam lingkup lokal yang tidak berdampak secara nasional. Beberapa faktor yang mendasari bahwa peran alokasi sebaiknya didominasi oleh pemerintah daerah/kota yaitu (Oates, 1999): •
Pemerintah lokal berada lebih dekat dengan masyarakat lokal sehingga lebih mengetahui kondisi daerah dan preferensi masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Implikasinya, penyediaan barang dan jasa publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah/kota cenderung akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan selera penduduk setempat. Namun berbeda halnya bila penyediaan barang dan jasa publik dilakukan oleh pemerintah pusat karena penyediaan barang dan jasa publik kemungkinan bersifat seragam dengan daerah lainnya sehingga kurang sesuai dengan selera penduduk setempat. Dengan demikian, penyediaan barang dan jasa publik oleh pemerintah lokal akan lebih efisien dan kesejahteraan masyarakat lokal juga dapat meningkat. Output penyediaan barang dan jasa publik yang efisien tentunya berada pada level yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
•
Ketika penduduk di suatu daerah merasa tidak puas dengan penyediaan barang dan jasa publik di daerahnya, maka sebagian besar penduduk di daerah tersebut kemungkinan besar akan pindah ke daerah lain yang menyediakan barang dan jasa yang lebih sesuai dengan selera dan preferensi mereka. Hal ini tentu saja akan berdampak pada penurunan perolehan pendapatan daerah berkaitan dengan besarnya pajak yang diterima daerah dari penduduk lokal. Implikasinya, pemerintah lokal akan terdorong untuk menciptakan inovasi serta mengutamakan apa yang menjadi preferensi masyarakat lokal dalam penyediaan barang dan jasa publik. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, pemerintah dari berbagai level
memerlukan instrumen fiskal yang spesifik. Sebagian penerimaan pajak dari tiaptiap daerah dikumpulkan oleh pemerintah pusat untuk kemudian dibagikan kembali ke masing-masing daerah dalam bentuk intergovermental grants.
15
Pemerintah pada level tertentu juga dapat memberikan surplus pendapatan yang diperolehnya kepada pemerintah pada level yang lebih rendah (hal ini dikenal dengan istilah revenue sharing). Pemberian grant dapat menginternalisasi eksternalitas benefit antar jurisdiksi dan dapat mengembangkan sistem pajak yang lebih baik secara keseluruhan. Bentuk grant itu sendiri dapat dibedakan menjadi conditional grant dan unconditional grant. Conditional grant merupakan bentuk pemberian dana dari pemerintah pusat yang penggunaannya dibatasi untuk kepentingan pembangunan tertentu. Sedangkan unconditional grant dimaksudkan untuk tujuan pemerataan fiskal yang dapat membantu perkembangan daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Dengan demikian, desentralisasi fiskal dapat berimplikasi
terhadap
perkembangan
ekonomi
daerah
dan
peningkatan
performansi politik pada berbagai tahapan pembangunan yang berbeda-beda. Berkembangnya demokratisasi dan desentralisasi dalam pembangunan tersebut secara eksplisit berimplikasi pada pentingnya mempertimbangkan preferensi lokal dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kota. Dengan mengetahui preferensi lokal, maka pemerintah kota akan mampu untuk menyusun kebijakan pembangunan yang efektif dan efisien bagi kotanya. Penyusunan kebijakan yang efektif dan efisien tersebut akan berimplikasi pada penyediaan barang dan jasa publik yang dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh segmen masyarakat kota (Tannian dan Stapleford, 1981 : 37). Bersamaan dengan itu, penduduk kota akan mendukung implementasi prioritas pembangunan kota sehingga sasaran pembangunan kota juga dapat tercapai. Dalam pencapaian kesesuaian antara tujuan dan sasaran kebijakan dengan kenyataan di lapangan, terdapat faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kegagalan implementasi suatu kebijakan pembangunan. Faktor penyebab kegagalan tersebut diantaranya yaitu kurangnya informasi dalam merumuskan kebijakan dan kurangnya dukungan dari seluruh segmen masyarakat kota terhadap kebijakan tersebut. Kekurangan informasi akan mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik pada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya (Tangkilisan, 2003 : 10).
16
Implementasi kebijakan juga akan sulit untuk dilaksanakan bila dukungan masyarakat terhadap kebijakan tersebut sangat kurang. Selain itu, program pembangunan akan berlangsung secara berkelanjutan jika didukung oleh partisipasi masyarakat yang tinggi. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam menyatakan preferensi mereka sangat diperlukan pada tahapan penyusunan prioritas pembangunan. Pemahaman preferensi lokal dalam kerangka otonomi daerah terkait dengan kerangka tata pemerintahan yang baik (good governance) dan keberhasilan
implementasi
kebijakan
pembangunan.
Dengan
memahami
preferensi lokal, maka informasi mengenai apa yang sebenarnya menjadi preferensi masyarakat terhadap prioritas pembangunan kota dapat teridentifikasi secara tepat dan jelas. Dengan demikian, pemerintah kota dapat menyusun program kerja yang efektif yang mendekati keinginan masyarakatnya karena memang sudah seharusnya masyarakat kota memperoleh apa yang mereka inginkan. Menurut Hirschmann (1970), terdapat tiga karakteristik utama prilaku individu yang merupakan respon terhadap pembangunan kota yang tidak sesuai dengan preferensi mereka atau yang tidak memberikan kepuasan yang maksimal bagi mereka. Dengan memahami karakteristik tersebut, maka dapat diketahui implikasinya terhadap perkembangan suatu kota sehingga dapat dirumuskan upaya untuk mengantisipasi dampak negatif dari karakteristik prilaku tersebut. Ketiga karakteristik prilaku tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Exit Dalam merespon ketidaksesuaian pembangunan di suatu kota dengan preferensi lokal, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat di kota tersebut pindah ke kota lain yang pembangunannya sesuai dengan preferensi mereka. Tindakan respon tersebut juga dikenal dalam konsep public choice dengan istilah public choice through mobility. Menurut Tiebout, salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih tempat tinggalnya adalah besarnya pajak dan set pelayanan yang tersedia. Jika terdapat banyak daerah dengan besar pajak dan set pelayanan yang berbeda satu sama lainnya, tiap individu
17
tentunya akan memilih lokasi yang dapat memberikan kepuasan terbesar bagi mereka. Akan tetapi, apabila daerah menggunakan pajak property dalam menyediakan set pelayanan publiknya, maka masyarakat cenderung tidak akan melakukan exit sebagai respon terhadap ketidakpuasan mereka pada pembangunan kota meskipun pada akhirnya pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Asumsi yang digunakan Tiebout dalam konsep public choice through mobility (Fisher, 1996) tersebut adalah : 1. Individu bebas melakukan pergerakan atau perpindahan ke lokasi yang dapat memberikan kepuasan maksimum bagi mereka 2. Individu memiliki pengetahuan yang jelas tentang perbedaan besarnya pajak dan set pelayanan yang tersedia di setiap lokasi 3. Terdapat banyak lokasi yang dapat menjadi pilihan 4. Tidak ada batasan atas perpindahan atau pergerakan individu 5. Tidak terdapat spillover atas keuntungan dan pajak pelayanan publik di lokasi tersebut 6. Adanya manager di setiap lokasi yang dapat menarik populasi dalam jumlah yang tepat untuk meminimumkan besarnya rata-rata penyediaan barang publik
2. Voice Karakteristik prilaku voice dalam konsep public choice merupakan salah satu bentuk dari public choice without mobility (Fisher, 1996). Ketika masyarakat lokal merasa tidak puas dengan pembangunan yang tidak sesuai dengan preferensinya, respon masyarakat dapat berupa tindakan menyuarakan atau merundingkan
preferensinya
dengan
pemerintah
atau
profesional
pembangunan. Tindakan tersebut juga bisa diwujudkan dengan mekanisme voting. Voice merupakan suatu bentuk dalam mengekspresikan ketidakpuasan terhadap hasil pembangunan atau kualitas pelayanan yang diperoleh dengan menyuarakan keinginannya dan menuntut adanya peningkatan kualitas.
18
Sedangkan
exit merupakan suatu bentuk ketidakpercayaan dan keraguan
bahwa tidak akan ada upaya perbaikan kondisi pembangunan,
Masyarakat cenderung akan memilih prilaku exit apabila masyarakat memiliki banyak pilihan untuk bertempat tinggal atau membuka usaha di kota lain yang dapat memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik daripada kota yang ditempatinya. Sedangkan prilaku voice dipilih karena tidak tercipta kompetisi yang cukup ketat antar satu kota dengan kota yang lain sehingga masyarakat merasa tidak ada peningkatan kualitas pelayanan yang akan mereka peroleh apabila mereka exit atau pindah ke kota lain. Masyarakat akan cenderung lebih memilih voice daripada exit apabila fungsi demand mereka terhadap pembangunan bersifat tidak elastis dan kesempatan untuk exit sangat kecil.
Karakteristik masyarakat yang memilih voice yaitu berupaya melakukan perubahan terhadap suatu kebijakan pembangunan yang dianggap tidak efektif dan tidak efisien. Bentuk voice bisa berupa aksi protes individu maupun aksi dalam memobilisasi opini publik (seperti demonstrasi, tindakan protes atau memberi petisi secara kolektif). Masyarakat yang merasa tidak puas terhadap pembangunan tersebut bahkan
bisa
saja melakukan tindakan yang
mengganggu jalannya pembangunan dan bukan membantu terciptanya perbaikan.
3. Loyalty Individu
yang memiliki
karakteristik loyalty
tidak
berupaya
untuk
mempengaruhi pembangunan agar sesuai dengan yang diinginkannya. Individu tersebut berharap bahwa profesional pembangunan akan mampu melakukan upaya koreksi sendiri tanpa perlu diberitahu. Individu yang memilih prilaku loyalty biasanya merasa bahwa dia tidak dapat memiliki pengaruh yang berarti terhadap kebijakan pembangunan. Selain itu, prilaku loyalty juga cenderung dipilih apabila tidak ada media sebagai sarana individu untuk dapat menyuarakan keinginannya serta biaya untuk exit sangat tinggi
19
dan hampir tidak mungkin dilakukan. Karakteristik loyalty ini juga biasanya dimiliki oleh masyarakat yang telah memiliki kecintaan terhadap tempat tinggalnya yang memiliki nilai historis tersendiri. Dalam karakteristik masyarakat loyalty tersebut, sulit tercapai upaya perbaikan kualitas pelayanan atau pembangunan dalam jangka pendek.
Perumusan kebijakan pembangunan pada dasarnya sangat bergantung pada hasil analisis kebijakan, namun pada kenyataannya seringkali tidak terlepas dari aspek politik. Padahal dalam melakukan analisis kebijakan tersebut, dibutuhkan intelectual skill sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Analisis preferensi lokal merupakan bagian dari analisis mikroekonomi. Analisis mikroekonomi tersebut menjadi salah satu fundamental skill dalam analisis kebijakan (Friedman, 1976 : 3). Menurut Friedman, perumusan kebijakan yang hanya melibatkan proses politik tanpa adanya analisis (skill) tidak akan menghasilkan efisiensi dan equity. Padahal kesejahteraan masyarakat dapat tercapai apabila tercipta efisiensi dan equity. Sebagian besar perumusan kebijakan pembangunan kota berkaitan erat dengan alokasi sumber daya. Ketersediaan sumber daya yang terbatas sedangkan kebutuhan elemen masyarakat kota baik resident maupun business yang tidak terbatas dan berbeda satu sama lain menuntut penggunaan sumber daya agar efektif, efisien dan merata. Dalam hal ini, kebijakan publik dalam mengalokasikan sumber daya yang tersedia tentu saja perlu melibatkan keputusan kolektif dari berbagai segmen masyarakat lokal dalam suatu kota. Alokasi sumber daya akan efisien apabila seseorang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa menurunkan kesejahteraan orang lain. Dalam pemahaman terhadap konsep efisiensi tersebut, penting untuk memahami bagaimana preferensi individu dalam membuat keputusan alokasi sumber daya. Setiap individu tentu saja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda dalam menggunakan sumber daya yang terbatas dan berusaha memaksimumkan tingkat kepuasan mereka. Menurut Friedman, terdapat empat asumsi yang digunakan untuk memodelkan keputusan individu dalam mengalokasikan sumber daya, yaitu :
20
1. Setiap individu memiliki urutan preferensi Setiap individu dapat membandingkan kemungkinan bundle atau koleksi barang dan jasa dan akan prefer atau menganggap setara yang satu terhadap yang lain.
2. Tingkat kepuasan individu tidak terbatas Tingkat kepuasan individu setidaknya terhadap suatu barang bersifat tidak terbatas, meskipun umumnya kepuasan individu terhadap barang tertentu pada periode waktu tertentu bersifat terbatas selain karena dibatasi oleh budget.
3. Setiap individu lebih menginginkan keragaman dalam penggunaan paket (bundle) yang tersedia
4. Setiap individu memutuskan pilihan alokasi sumber daya yang sesuai dengan urutan preferensinya Hal ini menunjukkan bahwa individu lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dan terinformasi dengan baik (mengetahui pilihan mana yang terbaik untuk diputuskan). Asumsi ini merupakan model rasionalitas individu dalam mengambil keputusan.
Tiga asumsi yang pertama merupakan fungsi ordinal utilitas (ordinal utility function). Asumsi yang keempat merupakan bentuk tindakan rasional individu dalam memaksimalkan utilitasnya. Preferensi individu tersebut kemudian dapat dianalisis secara statistik dan dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan alokasi sumber daya yang efisien. Efisiensi akan tercapai ketika Marginal Rate of Substitution setiap individu, yang diperoleh dari fungsi ordinal utilitas tersebut adalah sama. Marginal Rate of Substitution menggambarkan besarnya pengorbanan atas konsumsi suatu barang untuk menaikkan konsumsi barang lainnya. Selanjutnya, konsep efisiensi tersebut diintegrasikan dengan konsep equity (pemerataan alokasi sumber daya) sehingga menghasilkan fungsi social welfare.
21
Fungsi social welfare tersebut menunjukkan hubungan antara distribusi tingkat utilitas seluruh elemen dalam masyarakat dengan penilaian mengenai kepuasan sosial secara keseluruhan yang diperoleh dari distribusi sumber daya. Dari analisis fungsi
tersebut,
dapat
ditentukan
kebijakan
pembangunan
yang
dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota. Dengan mengetahui preferensi lokal terhadap prioritas pembangunan, maka selanjutnya dapat dilakukan penyusunan anggaran pembangunan yang tepat. Struktur pendapatan daerah dapat didisain sedemikian rupa sehingga dapat membiayai penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan preferensi lokal. Dengan demikian, alokasi dana pembangunan dapat dilakukan dengan efisien. Selain itu, tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
2.2
Studi – Studi Mengenai Preferensi Lokal Studi mengenai preferensi lokal di Indonesia yang sudah pernah dilakukan
yaitu studi mengenai preferensi lokal di kota - kota metropolitan Jabodetabek sebagai suatu faktor yang penting dalam mendukung pembangunan dan manajemen kota metropolitan yang berkelanjutan (Johnny Patta, 2004). Dalam studi mengenai preferensi lokal tersebut, disebutkan bahwa dalam sistem desentralisasi fiskal yang dikembangkan pada masyarakat yang demokratis, pemerintah lokal diharapkan dapat menyediakan pelayanan yang mendekati preferensi masyarakat lokal baik local resident maupun local business. Dengan mengetahui preferensi lokal secara tepat, maka pemerintah lokal akan mampu menyusun kebijakan yang sesuai untuk penyediaan pelayanan yang efektif dan alokasi sumber daya yang efisien secara spasial (Johnny Patta, 2004 : 2). Studi mengenai preferensi lokal di kota-kota di Jabodetabek dilakukan dengan metode survey research untuk mendapatkan informasi mengenai preferensi masyarakat dalam hal pelayanan perkotaan di wilayah studi. Selanjutnya, dilakukan review terhadap pelayanan – pelayanan dasar perkotaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setelah otonomi daerah diberlakukan. Hasil studi tersebut kemudian dapat memberikan masukan bagi
22
institusi pemerintah daerah dan DPRD dalam menyusun kebijakan mengenai penyediaan pelayanan yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal, menciptakan efektivitas pelayanan perkotaan dan efisiensi alokasi sumber daya serta membangun kesadaran masyarakat lokal untuk membayar pajak daerah (Johnny Patta, 2004 : 5). Selain studi preferensi lokal di kota-kota di Jabodetabek, juga pernah dilakukan studi dengan isu utama preferensi lokal yaitu preferensi lokal terhadap set pelayanan umum dengan mengambil studi kasus Kota Depok (Johnny Patta, 2006). Studi tersebut memfokuskan pembahasan pada perubahan iklim politis (demokratisasi dan desentralisasi) apakah mengarah pada kesesuaian dengan teori-teori dan model-model pengelolaan pembangunan perkotaan di negara maju atau tidak. Pembahasan dalam studi tersebut juga tidak lupa mencatat bahwa kondisi yang ada di Indonesia belum tentu cocok dengan kondisi di negara maju. Dengan menggunakan metode survey research, hasil penelitian tersebut memberikan penjelasan mengenai preferensi local resident terhadap set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok. Secara garis besar, studi-studi mengenai preferensi lokal tersebut menekankan pada pentingnya preferensi lokal untuk diperhatikan dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kota sejak otonomi daerah diberlakukan. Salah satu bentuk perwujudan otonomi daerah tersebut adalah dikembangkannya desentralisasi fiskal dan demokrasi dalam pembangunan sehingga penyediaan pelayanan umum perkotaan sudah seharusnya disesuaikan dengan preferensi masyarakat lokal. Hal tersebut dimaksudkan agar keputusan pembiayaan penyediaan pelayanan perkotaan mendekati biaya yang sebenarnya. Dengan demikian, penyediaan pelayanan umum perkotaan dan penanggaran pembangunan akan lebih efisien apabila sesuai dengan karakteristik lokalnya. Sistem desentralisasi fiskal juga akan berimplikasi pada penyediaan pelayanan umum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sehingga penetapan pajak daerah juga berbeda-beda. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan local resident maupun local business dalam memilih lokasi tempat tinggal ataupun lokasi usaha. Masyarakat lokal tentu akan
23
cenderung menggunakan hak politik untuk memilih tinggal di kota yang menetapkan pajak dan penyediaan paket pelayanan umum yang sesuai dengan apa yang menjadi preferensinya. Dengan demikian, preferensi lokal menjadi isu yang penting dalam pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan.
2.3
Preferensi Lokal dalam Konteks Pembangunan Kota di Indonesia Pembangunan di Indonesia yang kini bersifat desentralistik berjalan
seiring dengan perkembangan demokratisasi. Pemerintah daerah kini diberikan wewenang untuk mengatur daerahnya secara otonom dan aspirasi masyarakat juga semakin dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi pengembangan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kotakota di Indonesia, termasuk pembangunan di Kota Bandung. Di samping itu, berkembangnya desentralisasi dan demokratisasi dalam pembangunan kota juga mengindikasikan pentingnya memahami dan mempertimbangkan preferensi lokal dalam pengambilan kebijakan pembangunan kota.
2.3.1 Perkembangan Menjelang Otonomi Daerah di Indonesia Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur atau menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada masa orde baru, dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut, pelaksanaan pembangunan dilandaskan pada asas trilogi pembangunan yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Namun karena terjadi tindakan penyalahgunaan kekuasaan pada masa orde baru yaitu tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka tujuan pembangunan tersebut tidak dapat tercapai. Selanjutnya, Indonesia memasuki masa orde reformasi dan berusaha memulihkan kondisi politik dan ekonomi yang terpuruk. Akan tetapi, pada masa orde reformasi tersebut, perekonomian masih memburuk, pengangguran meningkat, kualitas pelayanan publik menurun, dan kurs devisa meningkat. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan dampak lanjutan dari kegagalan orde baru dalam menjalankan pembangunan sebagaimanamestinya.
24
Untuk memperbaiki kondisi pembangunan di Indonesia yang semakin memburuk, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk menerapkan desentralisasi dalam pembangunan. Pemerintah menyadari adanya kelemahan dalam sistem sentralisasi yang selama ini diterapkan dalam pembangunan yaitu terdapat kesulitan dalam melaksanakan program daerah secara efektif untuk negara yang sangat besar seperti Indonesia. Pemerintah juga menyadari perlunya memasukkan pengalaman dan pengetahuan mengenai daerah dalam proses pembentukan atau pengambilan keputusan karena sebelumnya kesempatan pemerintah daerah untuk terlibat dalam melaksanakan program pembangunan nasional masih kurang. Oleh sebab itu, kebijakan desentralisasi tersebut bertujuan untuk mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah, peningkatan PAD dan pengurangan subsidi dari pemerintah pusat, serta mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing daerah (Suparmoko, 2002 : 16). Kebijakan
desentralisasi
tersebut
kemudian
diwujudkan
dengan
pengembangan otonomi daerah yang menekankan pada upaya memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan daerah mencakup kewenangan hampir setiap aspek dalam pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan pembangunan ekonomi secara makro. Keputusan yang lebih banyak ditentukan pemerintah pusat meliputi keputusan yang berkaitan dengan aspek pemerataan antar daerah, kemampuan administrasi pemerintah daerah yang masih lemah, kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah, pengurangan gerakan separatis, serta perencanaan nasional dalam pembangunan sosial dan ekonomi (Suparmoko, 2002 : 19). Melalui pengembangan otonomi, daerah diharapkan mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan preferensi atau keinginan masyarakat. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan penduduk diharapkan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri sehingga kesalahan atau kekurangan yang dibuat dalam mekanisme pengambilan keputusan akan lebih
25
sedikit. Proses politik juga diharapkan akan lebih cepat, sederhana dan efisien, serta akan terdorong terciptanya inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi. Namun, pada kenyataannya, pengembangan otonomi daerah di Indonesia masih menghadapi banyak kendala dan tantangan, terutama dalam hal kesiapan daerah yang meliputi keuangan dan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola dana dan menciptakan pelayanan yang berkualitas baik kepada masyarakat. Pemerintah daerah juga masih terlihat boros dalam mengalokasikan dana pembangunan sehingga belum tercapai efisiensi. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menjadi apatis dan kurang mendukung kebijakan pemerintah, terutama dalam membayar pajak.
2.3.2 Desentralisasi Fiskal di Indonesia Pengembangan otonomi daerah di Indonesia juga berimplikasi terhadap sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Kebijakan mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia terdapat pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan pengganti UU No 25 Tahun 1999. Pada era desentralisasi, pemerintah kota kini memiliki wewenang yang lebih besar dalam menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dibandingkan dengan era sebelumnya. Dalam UU No. 33 Tahun 2004, disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah meliputi : •
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi/potongan ataupun bentuk lain sebagai hasil dari penjualan/pengadaan barang/jasa oleh daerah.
•
Dana perimbangan, meliputi dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan
imbangan
kewenangan
antara
provinsi
dan
26
kabupaten/kota. Sedangkan DAK ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). •
Lain-lain pendapatan, yang terdiri dari pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat.
•
Pinjaman daerah, yang terdiri dari pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Ketentuan dana perimbangan berdasarkan undang-undang tersebut adalah
sebagai berikut : 1. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum DAU yang dibagikan kepada daerah berasal dari APBN dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 % dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal (kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah) dan alokasi dasar (berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah).
3. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus juga berasal dari APBN dan dialokasikan bagi kabupaten/kota untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Daerah penerima DAK wajib memiliki dana pendamping sekurangkurangnya 10 % dari alokasi DAK untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab dari pemerintah daerah yang bersangkutan. DAK dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan yang sulit diperkirakan dengan rumus alokasi
27
umum, seperti pembangunan jalan di kawasan terpencil dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional seperti proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar, proyek yang dibiayai donor nasional dan internasional, dan dana reboisasi.
Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat di daerah dibiayai atas beban APBN. APBD dipersiapkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD (satu bulan setelah penetapan APBD). Perubahan APBD tersebut selambat-lambatnya 3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Komposisi pengeluaran dalam APBD meliputi pengeluaran rutin (gaji pegawai dan belanja barang, pembiayaan DPRD dan Kepala Daerah) dan pengeluaran pembangunan untuk sektor-sektor (transportasi, lingkungan hidup dan pendidikan). Pajak daerah tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan daerah. Pajak juga dapat berperan sebagai alat pengatur alokasi dan distribusi kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah. Sebagai sumber pendapatan daerah, penetapan pajak tersebut harus memenuhi prinsip Smith’s Canons yaitu (Suparmoko, 2002 : 56-57) : •
Keadilan (equity), beban pajak harus dirasakan adil oleh berbagai golongan pendapatan yang berbeda (vertikal) dan dirasakan adil oleh berbagai sektor yang berbeda pada golongan pendapatan yang sama (horizontal).
•
Kepastian (certainty), pajak dikenakan secara jelas, pasti dan tegas kepada setiap wajib pajak sehingga menolong pemerintah dalam membuat perkiraan mengenai rencana pendapatan daerah dan ada keikhlasan dan kesungguhan bagi wajib pajak dalam membayar pajak.
•
Kelayakan (convenience), wajib pajak harus dengan senang hati membayar pajak kepada pemerintah karena pajak yang dibayarnya layak dan tidak memberatkan wajib pajak. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menggunakan uang pajak untuk menyediakan pelayanan secara optimal dan masyarakat tahu bahwa uang tersebut tidak diselewengkan penggunaannya.
28
•
Efisien, pajak daerah jangan sampai menciptakan biaya pemungutan yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan pajak yang diterima pemerintah daerah.
•
Ketepatan (adequacy), pajak tersebut tepat pada waktunya dan jangan sampai memperberat anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah yang bersangkutan.
2.3.3 Preferensi Lokal dalam Perencanaan Pembangunan di Kota Bandung Dalam UU No. 32 Tahun 2004, diatur mengenai berbagai aspek pemerintahan daerah, salah satunya adalah regulasi mengenai perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut, terdapat dokumen perencanaan dan penganggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang terdiri dari : 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 3. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) 4. Rencana Kerja Pemerintah/Pembangunan Daerah (RKPD) 5. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) Secara substansi, dokumen perencanaan tersebut bersifat hirarkis yaitu dokumen yang jangka waktunya lebih panjang menjadi rujukan bagi dokumen yang jangka waktunya lebih pendek. Di samping itu, pemerintah daerah juga berkewajiban menyusun perencanaan tata ruang. Akan tetapi, tampaknya dokumen perencanaan pembangunan dengan dokumen perencanaan tata ruang belum terintegrasi dengan baik. Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki laju pembangunan cukup pesat dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
di
Indonesia. Berdasarkan hasil Susenas 2005, penduduk Kota Bandung berjumlah sekitar 2.270.970 jiwa dengan perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Pada tahun 2005, laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung mencapai 1,72 % dan tingkat kepadatan sebesar 13.575 jiwa/km2. Luas wilayah Kota Bandung yaitu 167,3 km2 dan terbagi atas 6 Wilayah
29
Pengembangan (WP) yang terdiri dari Wilayah Pengembangan Cibeunying, Karees, Tegallega, Bojonegara, Ujung Berung, dan Gedebage. Tenaga kerja di Kota Bandung terserap paling banyak pada sektor perdagangan dan jasa, selanjutnya di sektor industri, transportasi dan komunikasi, keuangan, listrik/gas/air, dan pertanian. Oleh sebab itu, sektor industri, perdagangan dan jasa memegang peranan yang sangat penting dalam mendorong peningkatan laju petumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Sebagian besar penduduknya berstatus buruh atau karyawan yakni sekitar 58,24 % dan berusaha sendiri sekitar 25, 76 %. Potensi sumber daya manusia di Kota Bandung tergolong tinggi, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Terdapat banyak ahli di berbagai bidang dan pemuka agama dan tercipta kerukunan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana di Kota Bandung juga telah mengikuti berbagai tuntutan perkembangan aktivitas kota. Akan tetapi, penataan ruang Kota Bandung masih belum teratur apalagi sejak peristiwa terjadinya longsor sampah di kawasan TPA Leuwigajah yang memakan korban jiwa. Pemerintah Kota Bandung kemudian mengalami kesulitan mencari lokasi TPA yang baru sehingga banyak sampah yang tidak terangkut dan dibiarkan menumpuk di TPS. Akibatnya kualitas pelayanan sampah di Kota Bandung menjadi sangat buruk dan kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas menjadi terganggu. Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kota Bandung pada tahun 2004 – 2008, terdapat visi, misi, tujuan, strategi, program dan kegiatan daerah. Renstra tersebut
memberikan
arahan
bagi
Pemerintah
Kota
Bandung
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelaksanaan pelayanan publik di Kota Bandung untuk periode tahun 2004-2008. Dalam rencana strategis tersebut, disebutkan bahwa keberhasilan implementasi rencana pembangunan ditentukan oleh komitmen yang kuat oleh setiap stakeholder pembangunan, kondusifitas kota (ketentraman, ketertiban, keberadaan sarana dan prasarana, komitmen untuk menegakkan supremasi hukum), dan faktor pendukung lainnya seperti aksesibilitas yang tinggi dan perekonomian yang cukup baik.
30
Adapun yang menjadi visi Kota Bandung dalam Renstra tersebut yaitu Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat). Penjabaran visi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kota Bandung bersih dari sampah, KKN, penyakit masyarakat yang bertentangan dengan moral agama dan budaya (judi, pelacuran, narkoba, premanisme) 2. Kota Bandung memberikan kemakmuran bagi warganya 3. Warga Kota Bandung menjadi warga yang taat agama, hukum, dan aturan sehingga tercipta kemanan, kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat 4. Warga Kota Bandung menjadi warga yang bersahabat, santun, akrab, dan menyenangkan bagi orang yang berkunjung serta ramah lingkungan Dari visi tersebut, ditetapkan misi Kota Bandung yang meliputi : •
Mengembangkan SDM yang handal dan religius (pendidikan, kesehatan, moral keagamaan).
•
Mengembangkan
perekonomian
kota
yang
adil,
yang
mencakup
peningkatan perekonomian kota yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. •
Mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi serta berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga, pemuda dan olah raga serta kesetaraan gender.
•
Meningkatkan penataan kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan daya dukung lingkungan kota .
•
Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat.
31
•
Mengembangkan sistem keuangan kota, mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat. Untuk mencapai misi yang telah ditetapkan tersebut, maka disusun
program-program pembangunan sebagai berikut : •
pendidikan, pengembangan IPTEK, kesehatan (pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, pengawasan obat, makanan, bahan berbahaya), kehidupan dan pendidikan beragama
•
pengembangan industri, perdagangan, usaha koperasi, usaha kecil, investasi, pariwisata (produk dan pemasaran), agrobisnis
•
kerukunan
beragama,
ketenagakerjaan,
pelayanan/partisipasi
sosial,
pemberdayaan perempuan, pelayanan kependudukan, pembinaan pemuda dan olahraga, seni budaya •
pengembangan
Kawasan
Gedebage,
penataan
sarana
dan prasarana,
transportasi, lingkungan hidup, permukiman, tata ruang dan penatagunaan tanah, pedayagunaan aset pemerintah kota •
perencanaan kota, peningkatan hukum, sarana dan prasarana aparatur pemerintah kota, pengembangan aparatur, kelembagaan, kualitas pengawasan, pelayanan, partisipasi politik, kerjasama antara daerah dan kota, ketentraman dan ketertiban lingkungan
•
sistem pembiayaan pembangunan, kinerja BUMD, pengembangan kemitraan Adapun yang menjadi bidang prioritas pembangunan di Kota Bandung
yaitu : •
pendidikan : Bandung Cerdas 2008
•
kesehatan : Bandung Sehat 2007
•
kemakmuran : Pencapaian LPE 11 % Tahun 2008
•
lingkungan hidup : Bandung Hijau 2006
•
seni dan budaya : Bandung Kota Seni dan Budaya 2008
•
olahraga : Bandung Berprestasi 2008
•
agama : Bandung Kota Agamais 2008
32
Berdasarkan RKPD Kota Bandung Tahun 2006, pendapatan Kota Bandung Tahun 2006 diprediksikan sejumlah Rp 1.108.912.798.881,3 dengan rincian sebagai berikut. Pendapatan Asli Daerah (208.043.201.891,31) - Pajak Daerah : Rp 133.147.649.210,- Retribusi Daerah : Rp 64.493.392.586,- Lain-lain PAD yang sah : Rp 10.402.160.095,Dana Perimbangan (880.544.673.470,93) - DAU : Rp 493.105.017.143,- Bagi hasil pajak dan bantuan keuangan dari propinsi : Rp 264.163.402.042,Lain-lain pendapatan yang sah : Rp 123.276.254.285,Selanjutnya, prediksi anggaran belanja mengacu pada pencapaian visi dan ketujuh
bidang prioritas
pembangunan.
Untuk
tahun 2006,
mengingat
keterbatasan anggaran maka pembagian alokasi anggaran per misi pembangunan didasarkan kepada lomponen-komponen pencapaian IPM Kota Bandung. Pembagiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel II.1 Alokasi Anggaran Belanja Kota Bandung Tahun 2006 Per Misi Pembangunan No. 1 2 3
4 5
6
Program Pencapaian Misi
Persentase Alokasi Anggaran Belanja
Mengembangkan SDM yang handal dan religius Mengembangkan perekonomian kota yang adil Mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi dan berhati nurani Meningkatkan penataan kota Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan Mengembangkan sistem keuangan kota
Sumber : Rencana Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung Tahun 2006
15 % 20 % 15 %
30 % 10 %
10 %
33
Selain Renstra dan RKPD, juga disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung (RTRW) yang menjadi acuan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang di Kota Bandung. Berdasarkan RTRW Kota Bandung Tahun 2003-2013, terdapat beberapa isu strategis pembangunan di Kota Bandung yaitu : 1. Masih terpusatnya sistem kegiatan perkotaan 2. Upaya antisipasi perkembangan yang kurang responsif terutama yang disebabkan oleh tekanan ekonomi 3. Terdesaknya bangunan yang memiliki nilai historis oleh bangunan baru 4. Belum optimalnya fungsi kota Bandung sebagai kota jasa 5. Penggunaan ruang publik yang tidak sesuai dengan yang direncanakan 6. Kualitas pelayanan publik yang belum optimal 7. Tingkat pelayanan (level of service) jalan dan sarana transportasi yang rendah 8. Rendahnya kemampuan pemeliharaan dan pengendalian pemanfaatan ruang publik Rencana struktur pelayanan Kota Bandung berdasarkan RTRW Kota Bandung Tahun 2003-2013, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
34
Gambar 2.1 Rencana Struktur Pelayanan Kota Bandung
Sumber : RTRW Kota Bandung Tahun 2003-2013
35
Keterlibatan masyarakat juga diupayakan dalam kegiatan perencanaan pembangunan maupun penataan ruang di Kota Bandung. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada UU No. 24/1992 tentang penataan ruang dan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam perspektif UU No.25 Tahun 2004, partisipasi merupakan salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan yaitu perencanaan yang dilaksanakan dengan melibatkan
semua
pihak
yang
berkepentingan
(stakeholders)
terhadap
pembangunan (Suhirman, 2006 : 27). Dalam undang-undang tersebut, juga disebutkan bahwa tujuan perencanaan salah satunya adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, sebagai bentuk perwujudan partisipasi masyarakat, maka dalam proses melakukan perencanaan dan penganggaran daerah terdapat tahapan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang melibatkan partisipasi masyarakat luas. Dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah tersebut, terdapat dua kegiatan penting yang menentukan kualitas dokumen perencanaan yaitu kegiatan menyusun rancangan awal dokumen rencana yang dilakukan oleh pemerintah melalui birokrasi dan kegiatan Musrenbang dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kegiatan yang pertama merupakan proses yang teknokratis sedangkan kegiatan kedua adalah proses partisipatif. Hal tersebut menandakan bahwa proses perencanaan pembangunan, terutama pada tahap awal perencanaan, belum seluruhnya melibatkan partisipasi masyarakat untuk menyatakan preferensinya terhadap pembangunan kota. Dalam forum Musrenbang, pemerintah dan masyarakat bersama-sama merumuskan dan memutuskan prioritas program yang akan dibiayai. Berdasarkan mekanisme Musrenbang, warga telah dilibatkan baik sebagai peserta maupun sebagai pengambil keputusan (Suhirman, 2006 : 28). Dengan demikian, dalam proses musrenbang tersebut, masyarakat lokal seharusnya dapat menyatakan preferensi mereka terhadap pembangunan di daerah mereka. Namun, pada kenyataannya, belum seluruh anggota masyarakat turut berpartisipasi dalam proses Musrenbang tersebut sehingga preferensi masyarakat lokal secara umum tidak terefleksikan dalam prioritas pembangunan yang akan didanai. Selain itu,
36
partisipasi masyarakat secara umum juga hanya dalam lingkup wilayah yang kecil (belum dalam konteks Kota Bandung secara luas). Mekanisme Musrenbang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel II.2 Proses Musrenbang Berdasarkan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Tahap
Kegiatan
Musyawarah di Tingkat Desa/Komunitas
•
Musyawarah di Tingkat Kecamatan
• • • •
•
Forum-Forum Sektoral
• •
•
• •
Musyawarah di Tingkat Kota/Kabupaten
• •
Pemisahan program skala desa (DAUD) dan yang akan diusulkan ke tingkat yang lebih tinggi (didanai APBD)
Kompilasi usulan desa ke dalam sektor dengan skala kecamatan Daftar program investasi yang diusulkan untuk skala kecamatan Pembahasan estimasi alokasi anggaran untuk kecamatan Penetapan prioritas program investasi di kecamatan (misal 5 prioritas) Penetapan prioritas program skala kota/kabupaten Daftar program skala kecamatan dan skala kota/kabupaten Delegasi dari berbagai kecamatan membahas program investasi dengan sektor Pembahasan tujuan dan program sektoral serta estimasi alokasi anggaran sektor Penetapan prioritas program investasi (dirinci per kecamatan) Penetapan program yang akan diajukan untuk dana Non-APBD Menetapkan tujuan dan indikator pencapaian kinerja pemerintahan Penyepakatan estimasi pendapatan daerah
• •
•
•
•
•
•
Kelembagaan Masyarakat Peserta : terbuka untuk setiap warga Pemilihan delegasi desa untuk perencanaan di tingkat yang lebih tinggi (3-5 orang) Peserta : perwakilan dari desa, asosiasi di tingkat kecamatan Pemilihan delegasi kecamatan (jumlah 3-5 orang)
Peserta : delegasi kecamatan dan organisasi sektor yang bergerak dalam skala kota Pemilihan delegasi forum sektoral skala kota untuk hadir di forum Musrenbang kota/daerah Peserta : delegasi kecamatan dan delegasi forumforum sektoral
37
Tahap •
• •
•
Pasca – Musyawarah di Tingkat Kabupaten
Kelembagaan Masyarakat
Kegiatan
• • • • • •
Mendaftar prioritas program/proyek skala kecamatan dan kota/kabupaten Penetapan program/proyek skala kecamatan dan kota/kabupaten Inventarisasi program/proyek yang telah disepakati dalam Musrenbang Kota/Kabupaten Dokumentasi program/proyek dan alokasi anggaran yang telah disepakati Penyusunan RKPD Penyusunan Kebijakan Umum, Strategi, dan Plafon APBD Penyusunan RKA – SKPD Pembahasan dan Penetapan APBD Pelaksanaan Program Monitoring dan evaluasi program
Sumber : Suhirman, 2006 : 29
•
Peserta : delegasi kecamatan dan forum sektoral yang hadir dalam Musrenbang kabupaten/kota