BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Pendahuluan 1. Hasil Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao sebelum dan sesudah hidrolisis diperoleh data seperti terlihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Rata-rata kadar gula pereduksi sebelum dan sesudah hidrolisis substrat kulit buah kakao. Sampel substrat
Rata-rata kadar gula pereduksi substrat kulit buah kakao
Substrat sebelum hidrolisis (mg/ml)
Substrat setelah hidrolisis HCl 4N(mg/ml)
207,50±30,50
319,56±15,25
Berdasarkan Tabel 4.1, terlihat jelas perbedaan rata-rata jumlah gula pereduksi yang dihasilkan melalui uji Somogyi-Nelson sebelum dan sesudah hidrolisis yaitu 207,50±30,50 mg/ml sebelum hidrolisis dan 319,56±15,25 mg/ml setelah hidrolisis. Hal ini karena terjadi perombakan lignin, selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer-monomer glukosa. Gugus H+ dari HCl akan mengubah gugus serat pada substrat kulit buah kakao menjadi gugus radikal bebas. Gugus radikal bebas ini kemudian akan berikatan dengan gugus OH - dari air dan bereaksi sehingga menghasilkan gugus glukosa. Dalam hal ini air berfungsi sebagai penyetabil radikal bebas serat. Menurut hasil penelitian
33
34
Hamelinck et. al., (2005), gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90%. Kosentrasi gula pereduksi sebelum pretreatment terdapat sekitar 207,50±30,50 mg/ml. Hal ini terjadi karena pada kulit buah kakao sudah terdapat gula sederhana yang berasal dari karbohidrat. Pada komposisi kulit buah kakao terdapat karbohidrat sekitar 16,27% (Ashadi, 2009). Karbohidrat termasuk pati yang memiliki struktur yang lebih sederhana dibandingkan dengan lignoselulosa, sehingga tidak memerlukan pretreatment khusus untuk memecah karbohidrat menjadi gula sederhana. Hanya dengan perlakuan fisik, yaitu penggilingan kulit buah coklat menjadi serbuk yang lebih halus sudah cukup untuk memecah karbohidrat menjadi gula-gula yang lebih sederhana dan lebih mudah larut dalam air. Kulit buah kakao mengandung senyawa kompleks yang bisa dijadikan sebagai bahan senyawa bioetanol seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa (pentosan). Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzedah dan Karimi, 2008). Setelah lignin terlepas dari selulosa maka selulosa tersebut akan lebih mudah dihidrolisis, sehingga kadar gula pereduksi yang terukur menjadi bertambah. Molekul selulosa merupakan mikrofibil dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya membentuk rantai polimer yang sangat panjang. Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa,
35
sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Riyanti, 2009). Besar tingginya pembentukan gula pereduksi hasil hidrolisis tergantung pada kosentrasi HCl optimum yang digunakan untuk menghidrolisis substrat. Selain itu, tidak hanya dari selulosa saja, kandungan karbohidrat lain seperti disakarida, pati dan lain sebagainya penyusun kulit buah coklat dapat ikut dihidrolisis dan dapat mempengaruhi kandungan gula sederhana. Hidrolisat selanjutnya difermentasi menggunakan ragi tape dengan berbagai kosentrasi. 2. Perlakuan fisik substrat dan Penentuan Kadar HCl terbaik Kulit coklat yang diambil dari perkebunan coklat di daerah Cioray di jemur hingga kering untuk mengurangi kandungan air kemudian ditumbuk. Tujuan penumbukan yaitu agar ukuran partikel substrat menjadi lebih kecil dan luas permukaan lebih luas, sehingga dapat memperluas permukaan kontak antara substrat dengan HCl dan kandungan gula yang dihasilkan akan lebih optimum dibandingkan dengan substrat yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widowati (2010) bahwa ukuran partikel mempengaruhi laju hidrolisis. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan kelarutan dalam air. Setelah itu, substrat masuk tahap hidrolisis untuk studi pendahuluan. Studi pendahuluan ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui jumlah kosentrasi HCl yang paling optimal untuk menghidrolisis substrat kulit buah kakao sehingga di dapat gula pereduksi paling tinggi untuk selanjutnya difermentasi oleh ragi. Kosentrasi HCl yang diuji yaitu mulai dari 1N, 2N, 3N,
36
4N, dan 5N. Hasil uji Somogyi-Nelson menunjukan data rata-rata kadar gula pereduksi setelah pretreatment, disajikan dalam Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Rata-rata kosentrasi gula pereduksi dari hasil hidrolisis dengan masing-masing kosentrasi HCl 1N sampai 5N. Kosentrasi gula pereduksi masing-masing kosentrasi HCl (N) Pengulangan sampel
Kosentrasi gula pereduksi (mg/ml) 1
2
3
4
5
1
177,61
226,17
282,21
356,92
252,32
2
185,08
237,38
300,89
394,27
241,12
3
170,14
214,97
282,21
543,69
278,47
4
211,23
203,76
338,24
506,34
244,85
Rata-rata
186,09 ± 17,88
220,57 ± 14,47
300,89 ± 26,41
450,30 ± 88,92
254,19 ± 16,84
Berdasarkan data pada Tabel 4.2, maka kosentrasi gula pereduksi tertinggi didapatkan pada kosentrasi HCl 4N yaitu rata-rata 450,30 ± 88,92mg/ml. Jelas terlihat kenaikan hasil gula pereduksi yang didapat mulai dari 1N sampai 4N yaitu dari 186,09 ± 17,88 sampai 450,30 ± 88,92 . Tetapi setelah 5N, kosentrasi gula pereduksi yang di dapat mulai turun yaitu 254,19 ± 16,84. Hal ini terjadi karena pada konsentrasi HCl yang lebih pekat maka kandungan airnya lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrasi HCl yang lebih encer, sehingga kebutuhan OH (dari ionisasi H2O) untuk pengikat radikal bebas serat lebih sedikit dan glukosa yang dihasilkan lebih rendah. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Hikmayanti dan Yanie (2007) jika penambahan konsentrasi asam terlalu banyak, akan terbentuk lebih banyak gugus radikal bebas serat, tetapi menyebabkan
37
semakin sedikit air dalam komposisi larutan hidrolisa, sehingga kebutuhan OH sebagai pengikat radikal bebas serat berkurang dan glukosa yang dihasilkan semakin sedikit, sehingga pada kosentrasi HCl 5N menghasilkan gula pereduksi lebih rendah dari HCl 4N. Pada kosentrasi yang lebih encer misalnya pada kosentrasi HCl 1N, 2N, dan 3N, gugus H+ yang terbentuk dari HCl lebih sedikit daripada kosentrasi HCl 4N, sehingga hanya sedikit gugus H+ yang akan mengubah gugus serat pada kulit buah kakao menjadi gugus radikal bebas. Jumlah gugus radikal bebas yang berikatan dengan OH- juga sedikit, maka glukosa yang terbentuk juga sedikit atau lebih kecil daripada kosentrasi HCl 4N. Selain itu, peningkatan konsentrasi HCl yang digunakan akan menurunkan glukosa yang dihasilkan karena glukosa yang terbentuk akan terdegradasi lebih lanjut sehingga menghasilkan produk sampingan yang dapat menghambat pembentukan etanol pada proses fermentasi. Penentuan kosentrasi asam yang akan digunakan untuk hidrolisis harus diperhatikan agar tidak mengganggu proses fermentasi karena menurut Ashadi (1988), hidrolisis menggunakan asam pada konsentrasi tinggi, gula yang dihasilkan akan diubah menjadi senyawa-senyawa beracun yang akan menghambat proses fermentasi.
3. Pembuatan Kurva Standar Alkohol Langkah ini sangat penting dilakukan karena akan dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi. Kurva Standar Alkohol didapat dengan cara melakukan titrasi NaOH pada kosentrasi
38
alkohol 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18 dan 20%. Hasil titrasi NaOH pada masingmasing variasi kosentrasi alkohol dilakukan analisis regresi untuk mendapatkan persamaan yang digunakan untuk meramalkan jumlah etanol pada hasil fermentasi. Berikut adalah kurva hasil analisis regresi Kurva Standar Alkohol:
NaOH (ml)
Kosentrasi Alkohol %(v/v)
Gambar 4.1 Kurva Standar Alkohol
Persamaan rumus regresi y =ax+b. Berdasarkan kurva di atas maka didapat rumus persamaan regresi untuk menghitung kadar etanol yaitu, y = 26,14667 0,24061x.
B. Pengaruh Kosentrasi Rage Tape dan Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol, Kadar Gula Pereduksi dan pH Pada Hasil Fermentasi Berdasarkan hasil uji pendahuluan, kadar HCl terbaik untuk hidrolisis substrat kulit buah coklat adalah 4N. Maka pretreatment kimiawi dengan HCl yang diencerkan dengan Aquades sampai konsentrasi 4N kemudian ditambahkan
39
dengan gula starter sebanyak 5% (v/v) sebelum masuk tahap fermentasi. Hal ini bertujuan untuk untuk menghasilkan biomassa sel yang optimum dalam mengubah substrat pada awal fermentasi dan untuk mempersingkat masa adaptasi khamir dalam medium kompleks (Away, 1989). Analisis yang dilakukan setelah fermentasi alkohol selama 6 hari meliputi analisis kadar alkohol, kadar glukosa, dan pH. Semua itu disajikan dan dibahas satu persatu. 1. Kadar alkohol dan Waktu Fermentasi Optimum Inti dari penelitian ini adalah penentuan kadar etanol yang didapat selama 6 hari penelitian. Hasil penelitian diperoleh data seperti tampak pada Tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3 Rata-rata kadar etanol dengan kosentrasi ragi tape 0% sampai 5% selama 6 hari. Rata-rata kadar etanol (% )masing-masing selama 6 hari pengamatan Kosentrasi Ragi Tape
1
2
3
4
5
6
0%
19,828±0,167
19,837±0,204
19,890±0,187
19,900±0,144
19,967±0,535
19,967±0,535
1%
19,890±0,254
20,006±0,356
20,011±0,339
20,131±0,331
20,193±0,336
20,261±0,461
2%
19,837±0,303
19,857±0,240
20,054±0,0334
20,145±0,336
20,323±0,308
20,607±0,936
3%
19,842±0,282
19,967±0,319
20,396±0,308
20,203±0,339
20,473±0,432
20,694±0,391
4%
19,895±0,349
20,208±0,327
20,064±0,303
20,554±0,349
20,593±0,970
20,834±0,928
5%
20,049±0,477
20,179±0,353
20,574±0,288
20,660±0,764
21,0505±0,496
20,901±0,509
Dari Tabel 4.3 dapat dilihat kadar alkohol yang di hasilkan selama 6 hari pengamatan dengan kosentrasi ragi tape masing-masing 0%, 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%. Secara umum terjadi peningkatan kadar alkohol yang didapat dari mulai hari
40
pertama hingga hari terakhir pengamatan untuk masing-masing kosentrasi ragi tape. Peningkatan kadar alkohol terjadi secara signifikan. Hal ini terbukti dari uji signifikan yang menunjukkan nilai Sig. dibawah taraf signifikansi penelitian yaitu 0,05. Selanjutnya dilakukan Uji Tukey untuk menentukan kadar alkohol yang paling tinggi dihasilkan pada perlakuan 5% (v/v) yaitu 20,901±0,509 mg/ml dan waktu fermentasi optimum pada hari ke enam. Hal ini dibuktikan dari nilai Mean difference yang tertinggi yaitu pada perlakuan 5% dan hari ke enam (Lampiran 4). Selain itu, nilai Sig.kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu di bawah 0,05. Berdasarkan Tabel 4.3 kosentrasi ragi tape 0% merupakan perlakuan kontrol yang seharusnya tidak terdapat alkohol, tetapi yang terjadi adalah terdapat alkohol pada kontrol. Hal ini terjadi akibat kontaminasi. Pada perlakuan dengan kosentrasi ragi tape 1% sampai dengan 5% didapat kadar etanol terus meningkat dari hari pertama hingga hari keenam. Kadar etanol dipengaruhi oleh lama fermentasi (Ashadi, 1988). Semakin lama fermentasi maka semakin banyak etanol yang didapat. Tetapi perlu diingat setelah mencapai waktu optimum kadar etanol akan kembali menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2002:127) bahwa semakin lama fermentasi, kadar alkohol akan optimum dan akhirnya akan menurun. Hal ini karena alkohol akan dikonversi menjadi senyawa lain oleh mikroba yang terdapat pada ragi tape. Pertumbuhan kapang dalam substrat tergantung pada suplai zat gizi, antara lain gula sebagai sumber karbon dan energi. Kapang memenuhi kebutuhan sumber karbon tersebut, dengan mensintesis enzim yang dapat mendegradasi sumber karbohidrat (lignoselulosa) yang terdapat dalam substrat (Sari et al.,
41
2008). Menurut Samsuri (2007), selulosa didegradasi dengan enzim selulase menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa didegradasi dengan enzim xilanase menghasilkan gula pentosa (xilosa, arabinosa), gula heksosa (mannosa, glukosa, galaktosa). Semakin banyak kosentrasi ragi tape maka semakin banyak kapang yang merombak selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Hal yang sama juga terjadi pada khamir. Semakin banyak gula yang tersedia maka akan semakin banyak sel khamir yang tumbuh dan berkembang. Peningkatan jumlah sel khamir diikuti peningkatan enzim yang dihasilkan untuk merombak gula menjadi etanol (Mulyono, 1991). Dengan demikian pada kosentrasi ragi tape 5%, jumlah mikroba yang merombak selulosa dan hemiselulosa lebih banyak dibandingkan kosentrasi 1-4%, sehingga dihasilkan lebih banyak gula. Semakin banyak gula yang dihasilkan maka akan semakin banyak sel khamir yang tumbuh, sehingga semakin banyak enzim yang dihasilkan untuk mengubah gula menjadi etanol. Terlihat pada hari keenam, jumlah etanol yang dihasilkan lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Hal ini menandakan sel khamir mengalami pertumbuhan dan peningkatan metabolisme pada hari keenam sehingga etanol lebih banyak.
2. Kadar Gula Pereduksi Kadar gula pereduksi yang didapat dari 6 hari penelitian disajikan pada Gambar berikut ini:
42
400 350 Gula pereduksi (mg/ml)
300 R0 250
R1
200
R2
150
R3
100
R4 R5
50 0 0
1
2
3 4 Hari ke
5
6
7
Gambar 4.2 Rata-rata kadar gula pereduksi dengan kosentrasi rage tape 0% sampai 5% selama 6 hari fermentasi.
Kadar gula pereduksi yang di dapat dengan metode Somogy-Nelson berdasarkan Gambar 4.2, umumnya semakin lama semakin menurun. Pada kosentrasi 0% ragi tape atau kontrol, kadar gula pereduksi juga mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat kontaminasi. Berdasarkan parameter yang diukur, penurunan kadar gula pereduksi dipengaruhi oleh waktu fermentasi dan jumlah kosentrasi ragi tape. Semakin lama fermentasi dan semakin banyak kosentrasi, maka kadar gula pereduksi akan semakin menurun. Kedua parameter tersebut berbanding lurus. Tetapi parameter terhadap perlakuan berbanding terbalik. Hal ini menandakan bahwa adanya penggunaan glukosa oleh khamir, misalnya untuk tumbuh dan berkembangbiak dan yang terpenting yaitu glukosa tersebut dikonversi menjadi etanol. Hasil Identifikasi yang dilakukan oleh Anggara (2010) menyebutkan bahwa di dalam ragi tape Kuningan terdapat 7 isolat murni yaitu Saccharomyces roseii,
43
Saccharomyces ludwigii, Endomycopsis fibuligera, Endomycopsis vinii, Rhizopus stoloniferus, Mucor sp dan bakteri bentuk basil. Kelompok kapang dan khamir dari jenis Saccharomyces, Endomycopsis dan Rhizopus, sehingga fermentasi menggunakan ragi tape disebut
heterofermentasi atau fermentasi yang
menggunakan lebih dari satu mikroorganisme yang berbeda spesies. Spesies kapang dari jenis Amylomyces mempunyai kemampuan merubah pati menjadi glukosa, sedangkan spesies khamir dari jenis Endomycopsis dan Saccharomyces mempunyai kemampuan merubah gula menjadi alkohol. Tidak hanya kapang dan khamir, bakteri juga mampu merubah glukosa menjadi etanol. Bakteri mampu merubah glukosa menjadi etanol dengan bantuan enzim, tetapi dengan jumlah sedikit (Sari et al., 2008) Semakin banyak kosentrasi ragi tape maka semakin banyak kapang dan khamir yang terdapat di dalamnya. Hal ini akan menyebabkan jumlah gula sederhana yang terbentuk semakin banyak oleh kapang, tetapi jumlah khamir yang banyak juga akan mempengaruhi penurunan gula pereduksi karena di ubah menjadi etanol. Hal ini sangat jelas terlihat pada kosentrasi 5% dibandingkan dengan kosentrasi 1-4%. Pada kosentrasi 5% penurunan gula pereduksi lebih signifikan terutama pada hari ke 6 yaitu 133,53 mg/ml, sehingga jumlah etanol yang dihasilkan lebih tinggi. Adams (2009) menyatakan bahwa jumlah etanol yang dihasilkan tergantung pada banyaknya gula yang tersedia di dalam substrat. Jika dilihat secara terperinci, pada kosentrasi ragi tape 2% pada hari kedua, rata-rata gula pereduksi mengalami kenaikan, selanjutnya menurun pada hari ketiga. Hal ini terjadi karena kapang yang mendegradasi karbohidrat berupa
44
selulosa dan hemiselulosa tidak diikuti oleh pertumbuhan sel khamir, sehingga jumlah gula pereduksi meningkat. Peningkatan jumlah sel khamir dapat mempengaruhi penurunan kadar gula dalam substrat (Sari et al., 2008). Apabila sel khamir meningkat maka kadar gula pereduksi semakin turun, karena pembentukan etanol meningkat oleh khamir. Hal yang sama juga terjadi pada kosentrasi ragi tape 5% pada hari ke 4. Uji korelasi antara kadar alkohol dengan kadar gula pereduksi berdasarkan uji statistik (Lampiran 5) menunjukkan bahwa nilai korelasi antara kadar alkohol dengan gula yaitu – 0,755. Tanda negatif menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik antara kadar alkohol dengan kadar gula pereduksi. Angka korelasi tersebut adalah signifikan, dilihat dari nilai Sig. pada tabel yaitu: 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian yaitu 0,05. Dalam penelitian ini semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyak kosentrasi ragi tape maka semakin banyak kadar alkohol yang didapat. Hasil penelitian ini sejalur dengan penelitian Sugiarti (2007), semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi pula kadar alkohol yang dihasilkan dan semakin banyak dosis ragi yang diberikan maka kadar alkohol juga semakin tinggi.
3. pH medium Salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisme dalam suatu medium adalah pH. Berikut ini disajikan gambar hasil uji pH medium selama 6 hari:
45
6
Kosentrasi Ragi tape
5 H5
4
H1 H2
3
H3 2
H4 H6
1 0 0
1
2
3
Hari ke
4
5
6
7
Gambar 4.3 Rata-rata pH medium selama 6 hari pengamatan pada masingmasing kosentrasi Ragi Tape.
Berdasarkan Gambar 4.3 menunjukkan terjadinya penurunan pH medium dari hari pertama sampai hari keenam. Penurunan pH umumnya sangat drastis terjadi pada kosentrasi ragi tape 4 dan 5% yaitu dari pH 5 menjadi pH 4 pada hari keenam. Dalam proses fermentasi etanol dihasilkan karbondioksida (CO2). Hal ini sangat jelas pada saat uji Somogy-Nelson, sebelum pengenceran larutan terlebih dahulu dikocok pada tabung reaksi dengan ditutup ibu jari. Pada saat dibuka, gelembung dengan tekanan keras mendorong keluar seperti minuman bersoda yang dikocok. Pada kosentrasi 5% kekuatan tekanan dapat dirasakan lebih kuat dibandingkan kosentrasi 0-4%. Sehingga menandakan CO2 yang dihasilkan pada kosentrasi 5% lebih tinggi dibanding kosentrasi lainnya. CO 2 yang dihasilkan akan bereaksi dengan air dalam medium fermentasi dan akan membentuk asam karbonat (HCO3). Asam tersebut jika terakumulasi pada
46
medium akan menyebabkan pH medium turun, sehingga semakin lama waktu fermentasi maka akan semakin asam. Hal ini juga dapat mempengaruhi lingkungan mikroba untuk dapat hidup, sehingga berpengaruh juga terhadap hasil etanol yang didapat. Mikroba yang terdapat di dalam medium membutuhkan pH yang optimum. Konsentrasi bioetanol yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, sumber karbon (Anindyawati, 2009). Mikroorganisme dapat hidup dengan pH 4,5 – 5,5 (Branita, 2010). Pada perlakuan awal, sebelum masuk tahap fermentasi, pH hidrolisat di atur pada pH sekitar 5. Pada semua sampel terjadi penurunan pH. Hal ini mengindikasikan terjadinya fermentasi dalam medium. Semakin banyak kosentrasi ragi tape yang diberikan maka semakin banyak asam yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 4.3 pada kosentrasi ragi tape 0% atau pada kontrol, terjadi penurunan pH. Hal ini karena pengaruh dari aktivitas mikroba alami yang sudah ada pada substrat, selain itu juga pengaruh kontaminasi selama penelitian. Uji korelasi antara pH dengan alkohol berdasarkan uji statistik (Lampiran 5) menunjukkan bahwa nilai korelasi antara kadar alkohol dan pH adalah -0,585. Tanda negatif menunjukkan terdapatnya hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dengan pH. Angka korelasi tersebut adalah signifikan dilihat dari nilai sig. pada tabel menunjukkan 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian yaitu 0,05.
47
C. Hasil Pengujian Skala Pilot Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan penelitian utama yang didukung oleh uji statistik maka untuk penelitian skala pilot digunakan HCl 4N untuk menghidrolisis substrat kulit buah coklat dengan penambahan kosentrasi ragi tape sebanyak 5% (v/v) dan difermentasi selama 6 hari. Untuk pH awal di atur pada pH 5, penambahan gula starter 5% (v/v) suhu inkubasi 30ºC.
1. Destilasi. Destilasi merupakan suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepataan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan atau didefinisikan sebagai teknik pemisahan campuran berdasarkan titik didihnya (Sakinah, 2010). Etanol murni mempunyai titik didih lebih rendah daripada air, yaitu 78ºC, sedangkan air 100ºC pada kondisi standar. Hasil fermentasi dimasukkan kedalam destilator kemudian dipanaskan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap dan melalui unit kondensasi akan dihasilkan etanol pada persentase tertentu, bergantung pada kestabilan suhu yang dipasang. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masingmasing komponen akan menguap pada titik didihnya (Sarifudin, 2010) Untuk
mendapatkan
kadar
etanol
yang
baik
(semakin
mendekati
kemurniannya) dilakukan destilasi bertingkat yaitu hasil destilasi pertama didestilasi lagi dan begitu seterusnya. Dari satu liter hasil fermentasi dilakukan destilasi bertingkat dan pengukuran persentase alkohol. Hasil destilasi dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini:
48
Tabel 4.4 Hasil destilasi bertingkat Destilasi bertingkat D1 D2 D3
Rendemen (ml) 700 350 80
Hasil Kadar etanol 5% 10% 55%
Jumlah etanol (ml) 35 42 44
Berdasarkan Tabel 4.4, dapat dilihat kenaikan persentase kadar etanol dan jumlah etanol yang didapat. Hal ini menunjukkan tingkat kemurnian etanol yang diperoleh dari hasil rendemen semakin meningkat. Dari satu liter hasil fermentasi dilakukan destilasi pertama yang menghasilkan etanol sebanyak 35 ml dengan kadar alkohol 5% dalam 700 ml rendemen. Hasil destilasi kedua menghasilkan 42 ml etanol dengan kadar 10% dalam 350 ml rendemen. Destilasi terakhir memperlihatkan jumlah etanol sebanyak 44 ml dengan kadar 55% dalam 80 ml rendemen. Hasil destilasi terakhir inilah yang didapat dari skala pilot penelitian.
2.
Uji Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS). Secara umum, kromatografi merupakan teknik pemisahan yang didasarkan
atas partisi sampel diantara suatu fasa gerak yang berupa gas atau cair dan fase diam yang bisa berupa cairan ataupun padatan (Sarifudin, 2010). Sampel dimasukkan menggunakan Injection system ke dalam kolom. Dalam gas chromatography, carrier gas digunakan untuk membawa sampel melewati lapisan material sehingga disebut mobile phase karena gas tersebut bergerak sedangkan lapisan material yang diam disebut stationary phase. Ketika fase bergerak membawa sampel melewati fase diam, sebagian komponen sampel akan
49
menempel pada fase diam dan akan bergerak lebih lama dibanding fase lainnya, sehingga masing-masing komponen akan keluar dari fase diam pada saat yang berbeda. Hal ini yang menyebabkan komponen-komponen sampel akan terpisah, sehingga dapat diketahui jenis-jenis dan kadar zat (%) yang terdapat di dalam sampel, dalam hal ini etanol yang dihasilkan dari skala pilot. Inilah yang menjadi prinsip kerja GC-MS. Uji GC-MS dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Di Akademi Kimia Analisis (AKA) Bogor. Hasil uji GC-MS menunjukkan bahwa dalam sampel terkandung etanol 84,12%, Asam asetat 6,93%, Benzene 3,04%, furfural 0,50%. Berdasarkan Lampiran 8 tentang hasil analisis GC-MS, persentase kandungan masingmasing substansi tidak murni 100% zat tersebut, tetapi ada beberapa jenis zat yang terkandung didalamnya misalnya etanol 84,12% tidak murni etanol tetapi merupakan gabungan dari beberapa jenis etanol seperti etanol absolut, alkohol anhidrous, oxyethane dan lain-lain. Keberadaan etanol membuktikan bahwa adanya aktivitas mikroba yang mengkonversi gula-gula sederhana menjadi etanol. Salah satu produk samping yang bersifat toksik adalah furfural. Hal ini merupakan salah satu dampak penggunaan asam yang terlalu tinggi. Kemungkinan terjadinya perombakan produk gula yang dihasilkan
menjadi senyawa lain seperti furfural sangat besar pada kosentrasi asam tinggi (Syam et al., 2009). Keberadaan furfural pada kosentrasi yang relatif kecil tidak terlalu berbahaya. Berdasarkan hasil uji GC-MS, maka penelitian ini layak untuk dilakukan karena kandungan etanol yang cukup tinggi.
50