BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Cerita Ilmu sastra mempunyai bermacam-macam jenis wacana (genre). Menurut Warren Wallek (1995:298) bahwa genre sastra bukan sekedar nama, karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya membentuk ciri karya tersebut. Menurutnya, teori genre adalah suatu prinsip keteraturan. Sastra dan sejarah diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan drama. Menurut
Nurgiyantoro
(1998:1)
dunia
kesusastraan
mengenal
prosa
(Inggris:prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Foster (dalam Nurgiyantoro, 1995:91) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan waktu. Cerita sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Kenny (dalam Nurgiyantoro,1995:91)
Universitas Sumatera Utara
Fabel (cerita binatang) termasuk kedalam prosa, dan prosa dalam istilah kesusastraan sering disebut pula dengan istilah fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Istilah ini berarati bahwa fiksi berarti cerita kahyal atau cerita rekaan. Semi (1988:79) mengatakan : “Dongeng adalah cerita khayal atau fantasi yang mengisahklan tentang keanehan dan keajaiban sesuatu seperti menceritakan tentang sal mula suatun tempat atau suatu negeri, atau mengenai peristiwa-peristiwa yang aneh dan menakjubkan tentang kehidupan manusia atau binatang. Bila yang didongengkan itu menyangkut tentang hal ikhwal kejadian, sifat atau tingkah laku binatang, dongeng itu biasanya disebut fabel. Ahli sastra Arab Wahbi menyebutkan bahwa:
// ḥikāyatu -l-ramziah hiya ḥikāyatun khayāliyyatun turmῑ ilā ibrāzi mugazzῑ khuluqiy yuẑkaru fῑ awwali ḥikāyatin aw ākhirahā, wakhāṣṣatan mā yumaṡṡilu fῑhi alhayawānu dawra -l-insāni fῑ al-kalāmi wa al-amal// `fabel adalah cerita kahyal ( cerita rekaan) yang disebutkan pada bagian awal atau pada bagian akhirnya pemunculan unsur-unsur akhkak (etika, budi pekerti). Cerita ini khusus cerita yang didalamnya terdapat hewan (binatang)m yang berperan sebagai manusia, baik dalam dialognya ataupun dalam tindak tanduknya (perilaku). Berdasarkan definisi di atas, dapatlah disimpulkan bahwa fabel adalah cerita khayal (fiksi) penuh hikmah yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh hewan atau benda yang berkelakuan seperti perilaku manusia yang tujuannya adalah untuk memberikan pengajaran tentang kehidupan nyata yang di tamsilkan dalam bentuk cerita hewan.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pengertian Pesan Setiap cerita atau kisah akan mengadung pesan untuk di sampaikan kepada khalayak pembaca.Pesan adalah bagian dari unsur instrinsik di antara unsur-unsur lainnya dalam sebuah karya sastra, unsur-unsur tersebut yaitu: tema, alur/plot, penokohan, gaya bahasa. Sudut pandang.pesan merupakan hikmah yang dapat diambil dari sebuah cerita untuk dijadikan sebagai cermin maupun pandangan hidup. Melalui pesan-pesan moral yang terungkap dalam cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah untuk di terapkan dalam kehidupan ( Nurgiyantoro, 1995:321). Pesan adalah merupakan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagsan pesan itu. Hal ini selalu juga dikenal sebagai amanah dari sebuah karangan. Dalam Kamus Al- Maurid (1988:573) dijelaskan bahwa kata amanat dalam bahasa Arab disebut dengan: – /risālatun: khitābun, maktῡbun, muhimmatun wājibun au hadafun lil hayāti/ Pesan : penyampaian,tulisan yang penting yang wajib atau pandangan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Nurgiyantoro dan Luxemburg (1995:121) membagi pesan menjadi dua yaitu: pesan religius, dan pesan kritik sosial. 1.
Pesan Religius/ Keagamaan Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan , sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mangun Wijaya : Pada awalnya segala sastra adalah religius. Istilah “religius” yang berkonotasi pada makna agama. Religius dan agama memang berkaitan erat, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya mempunyai makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religius, di pihak lain, melihat aspek yang ada di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi manusia. Dengan demikian religius bersifat lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, resmi (Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro: 326-327). Religius bermakna kepercayaan kepada Tuhan akan adanya kekuatan di atas manusia, misalnya kepercayaan animisme, dinamisme. Agama adalah kesalehan dapat di peroleh melalui pendidikan misalnya meneliti penyebab terjadinya petir sehingga di ketahui pula siapa yang menjadikan peristiwa alam itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, 2003:943)
2.
Pesan Kritik Sosial Setiap karya sastra yang berbentuk kisah juga didapati pesan kritik sosial yang mengungkapkan tentang kehidupan masyarakat. Kritik sosial adalah berasal dari kata kritik dan sosial, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
(KBBI). Kritik adalah kecaman dan anggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan
baik buruk terhadap suatu hasil karaya, pendapat dan
sebagainya. Sedangkan kata sosial adalah lazimnya berkenaan dengan masyarakat. Amanat dalam bentuk pesan kritik sosial yakni pesan berupa kritik sosial di mana pengarang memberi kritikan atas kehidupan sosial di lingkungan tertentu sesuai dengan realitas yang ada. Kritik sosial yang ada didalam kisah tersebut dapat dimengerti sesuai interpretasi pembaca. (hartoko,1992:63). Satra mengandung pesan kritik dapat juga disebut sebagai kritik sastra
kritik ini biasanya akan lahir di tengah
masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang baik atau kurang menyenangkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Paling tidak, hal itu dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan.Hal- hal yang memang salah dan bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan tidak akan di tutupi. (Nurgiyantoro, 1995: 331).
2.3 Pengertian Tokoh Masalah tokoh dan perwatakan ini merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan, karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita. Istilah tokoh menunjuk kepada orangnya atau kepada pelaku cerita, sedangkan perwatakan menunjuk kepada sifat dan sikap para tokoh itu, seperti yang ditafsirkan
Universitas Sumatera Utara
oleh pembaca, dan lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro,1995:165) . Abrams (dalam Nurgiyantoro,1995:165) tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suara karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan sang tokoh. Tepatnya tokoh cerita yakni sebagai pelaku yang di kisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur cerita, baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan. Dalam cerita fiksi anak ; tokoh cerita tidak harus berwujud manusia, seperti anak-anak atau orang dewasa lengkap dengan nama dan karakternya, melainkan juga dapat berupa binatang atau suatu objek yang lain yang biasanya merupakan bentuk personifikasi manusia yang selalu disukai oleh anakanak. Dalam hal ini anak juga dapat menerima secara wajar percakapan yang terjadi antara manusia dan binatang (Sastra anak Nurgiyantoro,2005:222-223). Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan dalam kisah itu. Pada umumnya, fiksi mempunyai tokoh utama (a central character), yaitu orang yang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa atau
kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap
terhadap diri tokoh atau pandangan kita sebagai pembaca, terhadap tokoh tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya setelah membaca peristiwa itu pembaca menjadi benci, menjadi senang atau menjadi simpati kepadanya. Menurut Semi (1998:39-40), cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi ada dua macam, yakni : a) secara analitik b) secara dramatis. a)
Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.
b) Secara dramatis,yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui: (1) Pilihan nama tokoh (misalnya nama seperti sarinem untuk babu; mince untuk gadis yang rada-rada genit, bonar untuk nama tokoh yang garang dan gesit, dan seterusnya. (2) Melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan, dan seterusnya (3) Melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain. Pada umumnya, pengarang memilih cara campuran, mempergunakan teknik langsung dan tidak langsung dalam sebuah karya misalnya dalam cerita anak, tokohtokoh cerita itu mudah diidentifikasikan sehingga anak akan mudah menemukan hero (kepahlawanan) pada diri tokoh yang bersangkutan. Adapun klasifikasi dan pembedaan tokoh dalam suatu karya fiksi tergantung dari sudut pandang mana tokoh itu dipandang.
Universitas Sumatera Utara
Untuk lebih jelasnya, pembedaan tokoh menurut Nurgiyantoro (1995: 176-190) adalah: a)
Tokoh utama dan tokoh tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Di sisi lain, pemunculan tokohtokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dianggap penting dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tidak langsung. b)
Tokoh protagonis dan antagonis Tokoh protagonist adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya
secara popular disebut hero. Tokoh yang merupakan pembawa norma-norma, nilainilai, yang ideal bagi kita (Alternberrnd dan Lewis, dalam Nurgiyantoro, 1995:178). Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut juga tokoh antagonis. Tokoh ini, barangkali dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonist secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin. c)
Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana dan tokoh tambahan (simple atau flat character), tokoh yang
hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, suatu sifat atau watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkapkan tentang berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku tokoh sederhana bersifat datar, hanya mencerminkan satu watak tertentu
Universitas Sumatera Utara
( Nurgiyantoro, :181-182). Dalam hal ini penulis membatasi kajian hanya membahas tentang karakter tokoh utama saja dalam cerita
/aẑ-ẑibu l-khāinu/ serigala pengkhianat.
2.4 Pengertian Nilai Sastra Bergaul dengan sastra, anak-anak memperoleh berbagai manfaat,nilai buat dirinya sendiri. Dengan kata lain, sastra dapat memberi nilai instrinsik bagi anakanak. Pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan paraktis bagi anak. (Wahidin:2009/http://makalahkumakalahmu.-Wordpress.com/2009/03/18/ hakikat-sastra-anak/). Purwadarminta dalam Departemen Pendidikan (1998:245) mengartikan nilai sebagai kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Bertolak dari pengertian itu, maka dalam suatu karya sastra akan terkandung banyak nilai , yaitu nilai sastra itu sendiri yang lebih cenderung pada nilai estetis, juga terdapat nilai-nilai budaya,sosial, keagamaan dan nilai-nilai moral. Penanaman nilai-nilai dapat dilakukan sejak anak masih belum dapat berbicara dan belum dapat membaca. Nyanyian-nyanyian yang biasa didendangkan seorang ibu untuk membujuk agar si buah hati segera tertidur atau sekedar untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga bernilai kesastraan dan sekaligus mengandung nilai yang besar andilnya bagi perkembangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan (Nurgiyantoro, 2005 : 35-36). Nurgiyantoro (2005:41) menyatakan nilai sastra untuk anak-anak terbagi ke dalam dua bagian besar, niai personal dan nilai pendidikan. 1. Nilai Personal a. Perkembangan Emosional Anak usia dini yang belum dapat berbicara, atau baru berada dalam tahap perkembangan bahasa satu kata atau kalimat dalam dua atau tiga kata,
Universitas Sumatera Utara
sudah ikut tertawa-tawa ketika diajak bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Anak akan tampak menikmati lagu-lagu bersajak yang ritmis dan larut dalam kegembiraan. b. Perkembangan Intelektual Lewat cerita, anak tidak hanya memperoleh “kehebatan” kisah yang menyenangkan dan memuaskan hatinya. Cerita menampilkan urutan kejadian yang menampilkan yang mengandung logika pengaluran. Logika pengaluran memperlihatkan hubungan antar peristiwa yang di perani oleh tokoh baik protagonist maupun antagonis. c. Perkembangan Imajinasi Berhadapan dengan sastra, baik yang berwujud suara maupun tulisan, sebenarnya kita lebih berurusan dengan masalah imajinasi, Sesuatu yang abstrak yang berada di dalam jiwa, sedang secara fisik sebenarnya tidak terlalu berarti. d. Pertumbuhan Rasa Sosial Bacaan cerita mendemonstrasikan bagaimana tokoh berinteraksi dengan sesama dan lingkungan. Bagaimana tokoh-tokoh itu saling berinterksi untuk kerja sama, saling membantu, bermain bersama, melakukan aktivitas keseharian bersama, menghadapi kesulitan bersama, membantu mengatasi kesulitan orang lain, dan lain-lain yang berkisah tentang kehidupan bersama dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
e. Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius Selain menunjang pertumbuhan dan perkembangan unsur emosional, intelektual, imajinasi, dan rasa sosial, bacaan cerita sastra juga berperan dalam perkembangan aspek personalitas yang lain, yaitu rasa etis dan religius. 2. Nilai Pendidikan a. Eksplorasi dan Penemuan Ketika membaca cerita, pada hakikatnya anak dibawa untuk melakukan sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif, ke sebuah dunia relatif yang belum dikenalnya yang menawarkan berbagai pengalaman kehidupan. Berhadapan dengan cerita, anak dapat di biasakan mengkritinya, misalnya ikut menebak sesuaatu seperti dalam cerita detektif dan misterius, menemukan bukti-bukti, alasanbertindak,menemukan jalan keluar kesulitan yang dihadapi tokoh, dan lain-lain termasuk mempredisikan bagaimana penyelesaian kisahnya. b. Perkembangan Bahasa Sastra adalah sebuah karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek bahasa memegang peran penting di dalamnya. Sastra tidak lain adalah suatu bentuk permainan bahasa, dan bahkan dalam genre puisi unsur permainan tersebut cukup menonjol. Bacaan sastra untuk anak yang baik antara lain adalah yang tingkat kesulitan berbahasanya masih dalam jangkauan anak , tetapi bahasa yang terlalu sederhana untuk usia tertentu, baik kosakata maupun struktur kalimat,
Universitas Sumatera Utara
justru kurang meningkatkan kekayaan bahasa anak. Peningkatan penguasaan bahasa anak tersebut harus dipahami tidak hanya melibatkan kosakata dan struktur kalimat. c. Perkembangan Nilai Keindahan Ketika anak berusia1-2 tahun dinina bobokkan dengan nyanyian dengan kata-kata yang bersajak dan berirama indah, anak sebelumnya belum dapat memahami makna di balik kata–kata itu, tetapi sudah dapat merasakan keindahanya. Hal itu dapat dilihat dari reaksi anak, misalnya yang berupa ekspresi wajah yang ceria dan tertawa, atau gerakan anggota tubuh yang lain. Keindahan dalam genre fiksi antara lain dicapai lewat bahasa yang tepat. Artinya, aspek bahasa itu mampu mendukung hidupnya cerita, mendukung ekspresi sikap dan perilaku tokoh, mendukung gagasan tentang dunia yang disampaikan, dan dari aspek bahasa itu juga dipilih kata, struktur, dan ungkapan yang tepat. d. Penanaman Wawasan Multikultural Berhadapan dengan bacaan sastra, anak dapat bertemu dengan wawasan budaya berbagai kelompok sosial dari berbagai belahan dunia. Lewat Sastra dapat di jumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Sastra tradisional atau folklore, misalnya, mengandung berbagai aspek kebudayaan tradisioanal masyarakat pendukungnya, maka dengan membaca cerita tradisional
dari
berbagai
daerah
akan
Universitas Sumatera Utara
diperoleh pengetahuan dan wawasan tentang kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. e.
Penanaman Kebiasaan Membaca Kata–kata bijak yang mengatakan bahwa buku adalah jendela ilmu pengetahuan, buku adalah jendela untuk melihat dunia, menemui relevansinya yang semakin kuat dalam abad informasi dewasa ini. Adanya arus global yang melanda dunia dan yang mengandaikan semakin cepatnya arus informasi dari berbagai belahan dunia hanya dapat diikuti dengan baik jika orang mau membaca. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada pengkajian tentang nilai sastra bagi pendidikan anak. Aspek-aspek nilai pendidikan tersebut berupa: eksplorasi dan penemuan, Perkembangan bahasa, perkembangan nilai keindahan,penanaman
wawasan
multikultural,
penanaman
kebiasaan
membaca.
Universitas Sumatera Utara