BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945
Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Untuk memahami kompleksitas kemiskinan pada ranah praktik, pengetahuan tentang beragam diskursus kemiskinan tidak diperlakukan sebagai tipe-tipe ideal. Kemiskinan justru dianalisis bersamaan dengan kompleksitas saling hubung dan pengaruh antar diskursus. Oleh karena kekuasaan terintegrasi dalam setiap interaksi, maka hubungan antar diskursus maupun antara tataran diskursif dan praktik juga berupa hubungan kekuasaan (Foucault 2002d: 143). Kekuasaan beroperasi sesuai dengan kehendak untuk memunculkan landasan bagi berlangsungnya diskursus dan praktik (enabling surface of emergence) penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan kemunculan diskursus tertentu mulamula golongan miskin dalam diskursus tersebut memang muncul. Kehendak untuk menanggulangi kemiskinan selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk beroperasi mengelola atau menghilangkan kemiskinan yang telah muncul tersebut. Permasalahan penelitian ini berkaitan dengan tujuan pertama, yaitu menginterpretasi
kemunculan
kekuasaan,
praktik
dan
keragaman
pengelolaan
diskursus,
kemiskinan
strategi di
penggunaan
pedesaan.
Upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah dibentuk oleh beragam diskursus dan praktik kemiskinan, sehingga interpretasi dapat dilakukan terhadap beragam upaya tersebut. Dalam waktu yang sangat panjang telah terbentuk diskursus berbagi kelebihan, yang berguna untuk mengelola warga yang kekurangan di dalam desa. Kekuasaan menyembunyikan golongan kekurangan dengan cara membantunya, sehingga mampu menghindari perbedaan yang mencolok antar tetangga. Arena pola nafkah penting untuk membantu, mengelola dan menyembunyikan golongan
194
miskin berupa budidaya di dalam desa atau migrasi sambil memberikan remitan ke dalam desa. Warga desa yang mengikuti aliran mistik atau hakikat justru sengaja hidup menyerupai golongan miskin. Diskursus menginginkan kesederhanaan ini berguna untuk mengelola tubuh pribadi agar semakin suci, sekaligus mengajak warga sedesa atau lain desa untuk menjalankan laku menuju kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempraktikkan laku prihatin untuk menjaga jarak dari kebendaan, menjauhkan diri dari mencuri dan korupsi. Diskursus kemiskinan rasial dan etnis berkembang bersamaan dengan kemunculan permasalahan golongan Indo, hasil perkawinan (sering kali tidak resmi) antara pejabat Belanda dan wanita pribumi. Kekuasaan beroperasi melalui pengembangan prasangka abnormalitas etnis dan ras bagi tubuh-tubuh miskin. Normalisasi mengoperasikan kekuasaan untuk menciptakan panduan menuju golongan normal, yaitu keluarga batih yang bertempat tinggal secara menetap dan menjalankan berbagai fungsi domestik maupun kemasyarakatan. Dalam periode yang hampir sama, berkembang pula diskursus kemiskinan sosialis. Kemiskinan muncul sebagai masalah konsekuensi hubungan kelas miskin dengan feudal, kolonial dan kapitalis lain. Upaya penanggulangan kemiskinan mengarahkan kekuasaan untuk mengambil alat produksi dari kaum feudal dan kaum kapitalis (termasuk kapitalis global). Meskipun simpatisan dari kelas atas memandangnya sebagai persoalan, pada saat yang sama kelas miskin tidak melihat kemunculan eksploitasi tersebut. Oleh sebab itu kekuasaan dioperasikan dalam kegiatan penyadaran dan agitasi guna mendapatkan kepercayaan kelas miskin, serta mengorganisasikan kelas miskin dalam aksi perebutan alat produksi. Sejak dekade 1970-an berkembang diskursus potensi golongan miskin. Kekuasaan dioperasikan untuk mempercayai orang miskin dan menggali potensi mereka untuk mandiri. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) menggunakan diskursus ini untuk mengoperasikan pembukaan beragam akses modal usaha, akses prasarana ekonomis dan pendampingan. Kekuasaan diarahkan untuk memunculkan dan bekerjasama dengan golongan miskin dalam kelompok. Interaksi dalam kelompok menghasilkan kekuasaan untuk mengembangkan usaha sambil tetap menjaga solidaritas.
195
Sejak dekade 2000 kian menguat diskursus kemiskinan produksi. Pengetahuan
tentang
kemiskinan
mengoperasikan
kekuasaan
untuk
mengidentifikasi tubuh-tubuh miskin sebagai ketidakmampuan berproduksi. Upaya pengelolaan tubuh miskin selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk menyediakan prasarana produksi, dan sebagian pada permodalan mikro dan kecil. Golongan miskin dilatih agar memenuhi syarat untuk memasuki dan bersaing dalam produksi dan pemasaran. Modal usaha diberikan dalam program pemerintah untuk tubuh-tubuh yang telah memiliki usaha. Tujuan kedua dalam penelitian ini ialah menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Pencapaian tujuan berguna untuk menjawab pertanyaan ketiga, yaitu mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus menerus. Di samping kekuasaan untuk memunculkan diskursus dan praktik tersebut, dalam penelitian ini kekuasaan juga dikaji dalam mendominasi pihak lain, sebagaimana tersaji pada bab sepuluh. Perang diskursus dan praktik selalu berbentuk hubungan aksi dan reaksi yang sulit berhenti. Kemenangan satu diskursus untuk aktif menafsir kemiskinan bersifat dinamis, karena pada saat yang sama juga muncul reaksi dari diskursus dan praktik lain dalam bentuk manipulasi tafsir. Hubungan kekuasaan antara satu diskursus dan praktik kemiskinan dengan lainnya tidak hanya mendominasi, melainkan sekaligus membuka permukaan bagi manipulasi tafsir baru yang menguntungkan diskursus dan praktik lainnya. Penelitian ini menunjukkan pengambilalihan tafsir bisa berlangsung pada tataran diskursus (dari partisipasi marhaen untuk aksi sepihak, menjadi partisipasi warga desa untuk menyerahkan upah kepada Program PNPM Perdesaan), tataran habitus (alasan bersolidaritas melalui mekanisme tanggung renteng dalam kelompok, diubah menjadi mekanisme pendisiplinan angsuran anggota kelompok), dan tataran arena (perencanaan partisipatoris untuk melatih kemandirian warga desa diubah tafsirnya menjadi wahana masukan program dalam perencanaan birokrasi daerah). Dengan demikian kemenangan satu diskursus dan praktik dalam perang ini selalu bersifat tertunda, bukan kemenangan total dan selesai. Selalu terdapat
196
reaksi dari diskursus dan praktik lainnya untuk turut serta menggunakan kemenangan tersebut. Sebagai contoh, meskipun seluruh kecamatan telah dimasuki diskursus kemiskinan produksi melalui PNPM sejak tahun 2008, pendisiplinan melalui UU Fakir Miskin pada tahun 2011 mengharuskan penerimaan panoptisme oleh Kementerian Sosial yang mendapatkan satu-satunya mandat pengelolaan kemiskinan di dalam negeri. Akhirnya, pertanyaan pertama dan pokok dalam penelitian ini ialah, mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Sesuai dengan sifat diskursus yang membangun ruang untuk berkuasa, semakin kuat diskursus kemiskinan berkembang, maka tubuh-tubuh miskin semakin banyak muncul. Konsekuensinya, perluasan domain kemiskinan –dari individu bertambah keluarga, kelompok, usahawan kecil, hingga pemerintah daerah—kian banyak memberikan identitas miskin kepada semakin banyak pihak. Penguatan diskursus kemiskinan sekaligus menunjukkan peningkatan kebutuhan akan tubuh-tubuh miskin. Dalam episteme produksi saat ini, tubuh-tubuh miskin di negara miskin justru dibutuhkan untuk mengefisienkan produksi barang dan jasa. Untuk menjaga agar harga buruh tetap rendah, di masa lalu dikembangkan nilai-nilai negatif terhadap buruh yang juga miskin tersebut, seperti pemalas, bodoh, dan dijauhi Tuhan. Mekanisme kekuasaan yang digunakan dalam perang antar diskursus dan praktik diterapkan untuk mengelola perluasan domain kemiskinan dan penanganannya. Subyek yang miskin tidak hanya menubuh pada individu, melainkan meluas dalam keluarga atau kelompok, hingga etnis. Identitas miskin juga meliputi buruh tani, petani kecil, hingga pedagang kecil. Penanganan kemiskinan tidak hanya dikelola antar tetangga, tetapi telah berbentuk panoptisme di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan global. Panoptisme menghubungkan pengelolaan dari tingkat lokal hingga global, sekaligus memudahkan pendisiplinan terhadap berbagai pihak yang mengelola kemiskinan melalui prosedur-prosedur penanganan yang kian formal dan kian rinci. Pada saat ini pendisiplinan program partisipatoris telah membuat tubuh-tubuh lain yang berbicara, merepresentasikan tubuh-tubuh miskin itu sendiri. Disiplin partisipatoris kembali menyembunyikan tubuh miskin.
197
Berkaitan dengan itu muncullah tujuan penelitian ketiga, yaitu memunculkan golongan miskin untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri. Evaluasi terhadap diskursus dan praktik berbagi kelebihan menunjukkan operasi kekuasaan untuk menyembunyikan tubuh miskin dalam hubungan ketetanggaan. Diskursus dan praktik menginginkan kesederhanaan menyembunyikan tubuh miskin dalam laku nyepi, namun secara individual memunculkan tubuh miskin yang suci dalam laku ngrame. Diskursus serta praktik kemiskinan ras dan etnis menyembunyikan bahkan mengalihkan tubuh miskin dalam operasi prasangkaprasangka budaya. Berorientasi pada formalitas, diskursus kemiskinan produksi justru tidak pernah memunculkan tubuh miskin dalam arena-arena formal penanggulangan kemiskinan. Arena yang dibangun hendak memunculkan pemerintah daerah dan pusat. Tubuh orang miskin baru muncul dan aktif dalam diskursus serta praktik kemiskinan sosialis dan potensi golongan miskin. Perbedaan keduanya terletak pada penguatan salah satu sisi sifat kekuasaan. Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menguatkan kekuasaan untuk mendominasi, sementara diskursus potensi golongan miskin menguatkan kekuasaan untuk bersolidaritas. Melalui sudut pandang kekuasaan untuk bersolidaritas, potensi golongan miskin dapat mengoperasikan
kekuasaan
untuk
memunculkan
golongan
miskin,
mengembangkan habitus untuk mempercayai golongan miskin, serta menciptakan arena bagi kemunculan dan aktivitas atau gerakan tubuh-tubuh miskin. Epilog: Tubuh Miskin dan Konstitusi Peneliti telah menyajikan narasi beragam diskursus, habitus, dan arena kemiskinan, baik dalam dinamika kelompoknya sendiri, maupun dalam peran dengan kelompok lainnya. Distingsi satu kelompok ditunjukkan terutama oleh operasi kekuasaan untuk menciptakan metode pemunculan dan pengelolaan golongan miskin yang berbeda dari kelompok lainnya. Diskursus potensi golongan miskin, misalnya, meminta warga desa aktif menghitung sendiri tubuh miskin di wilayahnya, sementara diskursus kemiskinan produksi menyediakan tenaga pencacah untuk mengukur tubuh miskin yang dipasifkan.
198
Sementara itu, perang yang tak kunjung usai antar kelompok diskursus dan praktik
1
dapat menunjukkan kelonggaran atau cairnya mekanisme untuk
mendominasi sekaligus memanipulasi penggunaan tafsir, pemikiran, dan pengorganisasian kemiskinan. Sikap yang dianjurkan peneliti ialah terus menerus menggali pemikiran dan praktik kemiskinan yang sesuai atau bertentangan dengan diskursus yang diikuti. Dalam konteks ini telah diketahui cairnya makna kemiskinan telah menjadi arena perang rezim kebenaran diskursus dan praktik. Khusus untuk diterapkan di bumi Indonesia, selayaknya diskursus dan praktik tersebut mampu memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dalam batang tubuh konstitusi telah dinyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia memiliki mandat untuk memunculkan dan mengelola tubuh fakir miskin, tubuh peserta sistem jaminan sosial, tubuh lemah dan tubuh yang tidak mampu. Pengelolaan tubuh miskin sekaligus mengarahkan ekonomi nasional menuju keadilan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh amandemen menjadi Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Adi Sasono mewakili CIDES dalam rapat MPR 28 Pebruari 2002 menyatakan hubungan ekonomi dan kesejahteraan sosial tersebut (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 2010: 737). Dalam kajian yang dilakukan oleh CIDES, saya menyimpulkan bahwa pasal-pasal ekonomi seperti juga paham lain, itu tidak bisa diletakkan dalam semangat yang netral dan bebas milih. Cara para pendiri republik kita ini merumuskan adalah refleksi dari keyakinan milih yang dianut. Jadi kita tidak bisa mempertimbangkan dalam semangat yang sifatnya bebas milih. Sistem yang dirumuskan berorientasi kepada pasal-pasal yang terkait. Jadi pendidikan Pasal 23 tentu terkait dengan Pasal 33. Penjudulan dari Bab XIV Kesejahteraan Sosial, itu menunjukkan bahwa ekonomi haruslah diletakkan dalam fungsi untuk membangun kesejahteraan sosial, bukan suatu yang berdiri sendiri….. Oleh karena itu, saya memahami bahwa pembahasan pasal ekonomi itu selalu berkaitan dengan pendidikan dan itu berkaitan
1
Ivanovich Agusta, Persilangan Diskursus Kemiskinan, Kompas, 15 Juli 2010 halaman 6.
199
dengan Pasal 34 yang di bawah judul kesejahteraan sosial sebagai fungsi dari usaha ekonomi. Walaupun merupakan mandat konstitusi, namun pengelolaan golongan miskin oleh negara disesuaikan dengan kemampuan pemerintah. Hal ini dimungkinkan oleh terciptanya Pasal 34 Ayat 4, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Afandi dari Fraksi TNI/Polri memberikan penjelasan dalam pengusulan ayat tambahan ini (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 2010: 743). Kemudian untuk Pasal 34, "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara". Kami sarankan perlu dipertimbangkan Ayat (1) ini untuk ditambahkan kata-kata, "dan diatur dengan undang-undang". Tanpa ada tambahan kata-kata tersebut, seolah-olah ketentuan itu bersifat mutlak dan pasti dapat diberlakukan dan negara mempunyai kemampuan. Padahal pada kenyataannya tidak demikian. Dalam arti bahwa negara belum mempunyai kemampuan yang penuh sehingga ketentuan tersebut berlaku relatif sesuai dengan perkembangan kemampuan negara dan pengaturan yang berlaku. Dengan tambahan kata-kata, "dan diatur dengan undang-undang", maka akan bermakna bahwa semangatnya atau tujuan puncaknya memang demikian, yaitu semua fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, namun dalam pelaksanaannya diatur sesuai kondisi kemampuan negara. Dalam perkembangan mutakhir, program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat desa hingga nasional. Sayangnya, tidak diwajibkan hadirnya tubuh miskin –atau tokoh di antara golongan miskin—selama perjalanan mekanisme perencanaan pembangunan tersebut. Menurut UU 13/2011 tentang fakir miskin, tubuh miskin didisiplinkan dalam permukiman dan rumah panti. Akan tetapi, berlawanan dari penenggelaman tubuh miskin itu, diskursus potensi golongan miskin pernah memunculkan tubuh miskin dalam kerjasamanya dengan berbagai orang luar. Pengalaman ini dapat digunakan untuk menguatkan
200
posisi tubuh miskin dari dalam golongan mereka sendiri, agar bersambut dengan upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Perkembangan
mutakhir
tersebut
memberikan
pelajaran
untuk
memanfaatkan konsep kekuasaan dalam penelitian ini guna menjalin solidaritas antar berbagai pihak –bukan kekuasaan untuk mendominasi pihak lain. Solidaritas diarahkan untuk memunculkan tubuh miskin,1 dan mendampinginya membuka sendiri potensi kemandirian, serta bersama-sama menuju kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.2
1
Ivanovich Agusta, Personifikasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Kompas, 13 Juli 2011 halaman 7. 2 Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla. Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera: Visi, Misi dan Program. Jakarta, 20 Mei 2004.