Perubahan Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD Tahun 1945, Dillema Menghidupkan Kembali Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN dan Deficit Demokrasi.
Cut Maya Aprita Sari, S.Sos., M.Soc.Sc
Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected]
Pendahuluan
Pasca reformasi 1998 Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar dalam sistem politiknya. Salah satu aspek penting dalam bidang politik yang menjadi sasaran utama perubahan adalah kekuasaan pemerintahan yang pada masa Suharto kekuasaan ini dikelola secara sentralistis, yakni berpusat pada satu institusi atau satu penguasa. Memang tidak semua kekuasaan yang sentralistis senantiasa buruk. Ide Plato tentang the philosopher king yang menunjukkan bahwa kekuasaan sentralistis jika dijalankan oleh seorang penguasa yang amat bijaksana dapat membuahkan hal-hal positif bagi integrasi, keadilan dan perkembangan masyarakat negara yang bersangkutan (Legowo, 2004: 39). Namun yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, pemerintahan otoriter selama 32 tahun menutup akses demokrasi bagi rakyat, sehingga kejatuhan pemerintahan Orde Lama berpeluang besar untuk menerapkan demokrasi secara komprehensif.
Pergantian sistem politik indonesia dari otoriter menuju orde reformasi yang dicirikan dengan liberalisasi politik dan ekonomi, dimana liberalisasi
adalah
usaha
untuk
mengaktifkan
kembali
hak-hak
individu
yang
pelaksanaannya dilindungi oleh negara dan bebas dari tindakan negara yang sewenang-wenang. Setelah Presiden Suharto turun, pengaktifan hak-hak rakyat terlihat dari adanya suatu partisipasi politik yang tinggi dari rakyat, jumlah partai
politik
peserta
pemilu
1999
pun
mengalami
lonjakan.
Dalam
perjalanannya, sistem politik di indonesia pasca reformasi menunjukkan perubahan yang cepat. Terdapat perkembangan positif bahwa dengan runtuhnya rezim Orde Lama, kebebasan sipil yang dulu tidak bisa dinikmati kini dapat dinikmati walaupun terkadang sering kali keluar dari norma-norma yang berlaku.
Terlepas dari
itu, masyarakat kini lebih bebas berpendapat,
menyuarakan aspirasinya dan berpolitik.
Dari segi konstitusional, runtuhnya pemerintahan orde lama disusul dengan perubahan UUD 1945 yang berimplikasi kepada berubahnya kedudukan MPR. Pasca reformasi 1998, MPR menjadi lembaga yang kedudukannya sejajar dengan lembaga kenegaraan lainnya. Pemilihan presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan dipilih langsung oleh rakyat sehingga presiden tidak bertanggungjawab terhadap MPR. Konsekuensi lainnya adalah GBHN tidak lagi menjadi arah pembangunan Negara.
Dihapuskannya
GBHN
memunculkan
banyak
pandangan
bahwa
Indonesia sekarang tidak lagi memiliki haluan bernegara. Tidak adanya GBHN ditakutkan akan menyebabkan Indonesia kehilangan arah pembangunan nasionalnya. Sistem presidensial yang berlaku juga berdampak kepada arah pembangunan nasional yang mengacu kepada visi misi presiden dan dituangkan dalam
RPJN.
Sehingga
berpotensi
besar
untuk
menyelewengkan
arah
pembangunan nasional demi kepentingan politik presiden maupun partai pendukungnya.
Ketakutan ini menjadi perdebatan panjang dan menghadirkan wacana untuk menghidupkan kembali GBHN. Namun demikian, keinginan ini memerlukan kajian yang komprehensif agar keputusan yang dihasilkan memberikan manfaat yang besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan tatanegara Indonesia pasca empat kali amandemen UUD Tahun 1945 dan penting atau tidaknya menghadirkan kembali perencanaan pembangunan Nasional model GBHN dilihat dari perspektif demokrasi Indonesia.
Perubahan Ketatanegaraan pasca amandemen UUD tahun 1945
Pasca diamandemenya UUD 1945 sebanyak empat kali,
tatanegaraan
Indonesia mengalami perubahan konstitusi. Perubahan amandemen ini mengakibatkan
reformasi
dibidang
ketatanegaraan
Indonesia.
Beberapa
diantaranya adalah dibentuknya sebuah lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD). Sejak dibentuknya DPD maka sistem perwakilan di Indonesia berubah dari unikameral menjadi bikameral. Sebagaimana kita ketahui, bentuk Negara kesatuan lebih kompatibel dengan sistem unikameral. Sedangkan bicameral hanya cocok diterapkan di Negara federal.
Namun demikian, keberadaan DPD tidak pula dapat dikatakan sebagai bentuk bikameral yang lazim. Terkait dengan kedudukannya, terdapat dua sifat bikameral yaitu Strong Bicameralism jika DPR dan DPD sama kuat dan Soft Bicameralism jika keduanya tidak sama kuat. Dan ternyata, bikameral di Indonesia tidak memenuhi kriteria keduanya. Dalam urusan legislatif, DPD tidak memiliki kekuasaan apapun. DPD hanya memberikan masukan, pertimbangan,
usul, ataupun saran. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR (Ashhiddiqie, 2003: 18).
DPD yang tadinya dianggap dapat merepresentasikan kepentingan daerah dalam kenyataannya belum berfungsi dengan baik. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan di tingkat nasional masih saja kurang memperhatikan rakyat daerah sehingga muncul ketidakpuasan dan keinginan memisahkan diri dari beberapa daerah di Indonesia. Ketidakpuasan ini disebabkan oleh reaksi serta ketidakpuasan terhadap pembangunan secara fisik, sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak seimbang yang dijalankan oleh satu pemerintahan pusat terhadap satu wilayah tertentu (Bahar ,1998: 187-188).
Selanjutnya, pasca reformasi banyak sekali lembaga-lembaga dan komisikomisi independen yang dibentuk (Ashhiddiqie, 2006: 25-27) . Ini menyebabkan terjadinya fragmentasi kekuasaan melihat terbagi-baginya kekuasan kedalam institusi politik baru. Fragmentasi ini menyebabkan fungsi intitusional lembagalembaga Negara saling tumpang tindih yang pada akhirnya menimbulkan ketidakharmonisan antar lembaga. KPK misalnya, secara perlahan-lahan justru mengambil alih fungsi lembaga hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian. Wacana menghadirkan kembali Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN dan kelangsungan demokrasi Indonesia. Keberadaan
wacana
untuk
menghadirkan
kembali
perencanaan
Pembangunan nasional model GBHN menambah Persoalan ketatanegaraan diatas. Perlu dipahami bahwa meskipun pasca amandemen UUD 1945 GBHN telah dihapuskan, bukan berarti Indonesia kehilangan arah pembangunan nasionalnya. Di era presiden Megawati, pembangunan Indonesia mengacu kepada UU Sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) yang kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam UU Pembangunana Jangka Panjang Nasional (RPJP) tahun 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Visi dan Misi presiden terpilih akan dimuat dalam RPJM untuk dijalankan selama masa pemerintahannya. Hal ini pula diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Justru, jika kita tetap memaksakan untuk menerapkan kembali perencanaan pembangunan nasional model GBHN akan muncul masalah baru terkait dengan ketatanegaraan Indonesia dan kelangsungan demokrasi. Permasalahan tersebut antara lain:
Pertama, menerapkan kembali GBHN mengharuskan
kita untuk
memberikan kembali wewenang tertinggi kepada MPR yang secara otomatis akan mengubah sistem presidensial. Hal ini akan berimplikasi kepada bergesernya konsep kedaulatan Negara dan sistem tatanegara indonesia. Dimana semua lembaga Negara harus tunduk kepada GBHN sebagai haluan Negara yang dijalankan oleh tangan MPR. Artinya MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi Negara dan kondisi akan kembali seperti masa sebelum reformasi 1998 serta menunjukkan inkonsistensi Negara dalam memperkuat sistem presidensial. Pola-pola hubungan antar lembaga kenegaraan akan kembali diatur oleh MPR sehingga tidak sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan Negara dan akan mengarah kepada sistem parlementer.
Kedua, berdasarkan hal diatas, lama kelamaan demokrasi mungkin saja akan hilang mengingat MPR memiliki kemungkinan untuk mengganti sistem pemilihan presiden dari pemilihan langsung menjadi pemilihan atas penunjukan MPR. Presiden harus menjalankan haluan Negara berdasarkan apa yang ditetapkan dalam GBHN. Sehingga kalaupun terpilih, seorang presiden tidak memiliki kebebasan untuk menerjemahkan apa yang menjadi keinginan rakyat dan hanya menjalankan pemerintahan berdasarkan GBHN. Selain itu, dalam
Negara yang demokratis, rakyat berhak mengajukan gugatan atas pemberlakuan undang-undang. Sedangkan GBHN tidak dapat digugat. Sehingga esensi demokrasi yang menyiratkan kebebasan berpendapat tentu tidak dapat dilaksanakan.
Proses Menuju Defisit Demokrasi
Melihat kondisi tatanegara Indonesia pasca amandemen UUD 1945, GBHN tidak perlu dihadirkan kembali dalam perencanaan pembangunan nasional. Menghadirkan kembali GBHN sama dengan mempercepat Indonesia untuk
menuju
kearah
defisit
demokrasi.
Sanford
Levinson
(2007)
menggambarkannya sebagai kondisi dimana organisasi dan lembaga demokrasi tidak mampu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi dalam menghasilkan kebijakan publik.
Menghadirkan kembali GBHN akan berdampak kepada perubahan tatanan sistem tata negara Indonesia. GBHN tidak kompetibel dengan sistem presidensial, maka menghadirkan GBHN harus seiring dengan memberlakuan sistem parlementer. MPR akan kembali memegang kekuasaan tertinggi sehingga presiden dapat dipilih oleh MPR. Pemilihan dengan model seperti ini tentu saja menyekat akses kebebasan partisipasi rakyat. Padahal landasan konstitusi yang demokratis adalah kemerdekaan/kebebasan (Revitch dan Abigail, 2005).
Mengubah tata Negara akan membutuhkan cost politik yang besar sementara kita tidak dapat menjamin sebesar apa keuntungan yang didapatkan. Pada dasarnya, diberlakukan kembali atau tidaknya GBHN tetap berpotensi membawa Negara kearah defisit demokrasi. Tidak adanya GBHN bisa saja membawa pembangunan nasional yang mengacu kepada visi misi presiden dan
dituangkan dalam RPJN hanya memuat kepentingan politik presiden, partai, dan elit pendukungnya.
Disisi lain, jika GBHN diberlakukan kembali, maka demokrasi menjadi taruhannya. Maka persoalan penting yang muncul sekarang bukan terletak pada produk politik yang dihasilkan oleh Negara, ada atau tidaknya GBHN. Melainkan terletak pada implementasi produk hukum tersebut. Baik demokrasi, sistem ketatanegaraan maupun GBHN hanyalah alat politik yang membantu tercapainya tujuan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan. Sehingga tugas terberat sebenarnya terletak pada pengawalan atas sistem yang saat ini sedang berlaku serta memperbaiki moral dan prilaku aparatur Negara penyelenggara pemerintahan. Harapannya adalah, penyelenggara pemerintahan mampu menggunakan alat politik tersebut dengan baik dan sesuai tujuan dengan Negara demi ksejahteraan rakyat.
Referensi Asshiddiqie , Jimly. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii dengan
Tema
Penegakan
Hukum
Dalam
Era
Pembangunan
Berkelanjutan. Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli 2003.
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Struktur
%20Ketatanegaraan%20RI%20-%20Jimly%20Asshiddiqie.pdf diakses pada 8 September 2016 Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Bahar, Saafroedin. 1998. Sumbangan Daerah dalam Proses Nation Building dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Levinson, Sanford. 2007. How the United States Contribute to the democratic deficit in America. Drake Law Review Volume 55, Number 4, Summer 2007. Revitch, Diane and Thernstrom Abigail. 2005. Demokrasi Klasik & Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. TA, Legowo. 2004. Keadilan Sosial, Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia.Jakarta: Kompas