BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING
Perlakuan paripurna adalah perlakuan yang dilaksanakan di dalam tanur pengering pada akhir proses pengeringan. Perlakuan ini dilaksanakan dengan pengaturan yang baru terhadap suhu dan kelembaban. Perlakuan paripuma mencakup perlakuan penyeragaman kadar air, dan kondisioning (pembebasan sortimen kayu dari tegangan pengeringan). Perlakuan paripurna dilakukan apabila muatan kayu memperlihatkan beberapa fenomena ketidak-normalan setelah mengalami proses pengeringan. Abnormalitas itu dapat berupa keragaman kadar air akhir yang tinggi, besarnya tegangan pengeringan yang dialami oleh kayu atau bahkan kayu telah menderica case hardening (carat pengerasan pada kayu bagian luar). Untuk membeuktikan bahwa muatan kayu mangalami abnormalitas, maka beberapa pengujian perlu dilakukan.
10.1. Berbagai Jenis Pengujian dan Pengujian Kadar Air Akhir Proses pengeringan yang mengikuti skedul suhu dan kelembaban telah dilakukan sesuai dengan pengubahan suhu dan kelembaban serta sirkulasi udara secara bertahap di dalam tanur pengering. Pada bagian akhir dari proses pengeringan itu didapatkan kayu kering, dengan tingkat kekeringan yang sesuai dengan kadar air yang diharapkan atau direncanakan. Pada bagian akhir proses pengeringan tersebut, perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa contoh uji pengeringan untuk mengetahui tiga hal, yaitu (1) kadar air akhir, (2) distribusi kadar air di dalam papan dan (3) adanya tegangan pengeringan. Di samping terhadap contoh uji, pengujian untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan terhadap papan-papan kayu yang dikeringkan. Suctah tentu papan tersebut perlu dicuplik secara random dari muatan kayu yang dikeringkan. Berbagai jenis pengujian akhir ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut. (1) memotong contoh uji pengeringan atau papan kayu yang dikeringkan itu dalam arah memanjang, sehingga dihasilkan tiga buah contoh uji masing-masing sepanjang 1 inchi (2,54 cm). Pemotongan tidak dimulai dari ujung contoh uji atau ujung papan itu, tetapi beberapa (3 sampai 4) inci dari ujung contoh uji atau papan tersebut. (2) memisahkan masing-masing hasil pemotongan itu sesuai dengan kegunaannya, yaitu satu sebagai bahan untuk pengujian kadar air akhir, satu lagi untuk bahan pengujian distribusi kadar air di dalam papan, satu potongan yang ketiga digunakan untuk pengujian adanya cacat pengerasan pada bagian terluar kayu (case hardening).
Universitas Gadjah Mada
1
Pola pemotongan sortimen kayu untuk mendapatkan contoh-contoh uji bagi pengujian kadar air akhir, distribusi kadar air di dalam papan dan tegangan pengeringan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 24. Pola pemotongan contoh uji pada sortimen kayu Pengujian terhadap kadar air akhir proses pengeringan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Mengambil salah satu contoh uji yang diperuntukkan bagi kepentingan penentuan kadar air akhir tersebut, kemudian menimbangnya. 2. Mengeringkan contoh uji tersebut di dalam oven dan menimbangnya. Pengeringan dan penimbangan ini dilakukan secara berulang-ulang, sehingga contoh uji mencapai kondisi kering mutlak. 3. menghitung kadar air akhir dengan menggunakan rumus: Ka = ( (wb wo)) x 100% dengan keterangan bahwa wb adalah berat contoh uji yang baru saja dipotong dari satu sortimen kayu dan wo adalah berat contoh uji itu dalam kondisi kering mutlak. 10.2. Penyeragaman Kadar Air Penyeragaman kadar air merupakan suatu aktivitas pengaturan baru terhadap suhu dan kelembaban yang diberlakukan di dalam tanur pengering. Pengaturan ulang ini dilakukan pada saat perjalanan proses pengeringan mencapai tahap akhir. Penyeragaman kadar air ini bertujuan untuk mengusahakan keseragaman kadar air dalam setiap sortimen kayu yang dikeringkan. Perlakuan penyeragaman kadar air perlu dilakukan apabila kadar air yang dimiliki oleh setiap sortimen kayu mengalami variabilitas (keragaman) yang relatif mencolok pada akhir proses pengeringan. Sebaliknya perlakuan penyeragaman ini tidak perlu dilakukan apabila kadar air antar sortimen kayu tidak mengalami perbedaan yang mencolok. Dengan kata lain, bila kadar air relatif seragam pada setiap sortimen kayu yang berada pada akhir proses pengeringan, maka perlakuan penyeragaman kadar air tidak diperlukan.
Universitas Gadjah Mada
2
Keragaman kadar air akhir di antara sortimen kayu yang dikeringkan memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masing-masing sortimen kayu memiliki karakter pengeringan yang berbeda-beda antara yang satu terhadap yang lain. Perabedaan karakter tersebut disebabkan karena adanya perbedaan dalam sifat anatomi, sifat fisik, dan sifat kimia, pola penggolongan komposisi kayu teras dan kayu gubal penyusun sortimen, ketebalan dan kadar air awal. Perbedaan karakter pengeringan ini akan berakibat pada perbedaan kadar air akhir, meskipun dikeringkan dalam skedul suhu dan kelembaban yang sama. Kedua, masing-masing sortimen kayu menempati posisi yang berbeda-beda dalam tumpukan dan masing-masing tumpukan sebagai penyusun muatan kayu yang dikeringkan juga menempati posisi yang berbeda-beda di dalam ruangan tanur pengering. Sementara itu, kondisi udara juga berbedabeda di setiap bagian ruangan tanur pengering, meskipun udara tersebut telah diatur oleh satu skedul suhu dan kelembaban yang sama. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan variabilitas kadar air akhir pada masing-masing sortimen kayu. Dalam suatu proses pengeringan, terdapat banyak sortimen kayu yang dikeringkan secara bersama-sama. Ada sortimen yang menempati bagian bawah, ada sortimen yang menempati bagian tengah, serta ada pula sortimen yang menempati bagian atas pada satu tumpukan. Di camping itu, ada sortimen yang menempati bagian tepi tumpukan dan ada yang berada pada bagian tengah tumpukan. Pada tanur pengering yang berkapasitas kecil, ruangan tanur hanya mampu menampung satu tumpukan kayu sebagai muatan, sehingga proses pengeringan hanya berlangsung terhadap satu tumpukan saja. Sebaliknya, pada tanur pengering yang berkapasitas besar, ruangan tanur akan mampu menampung lebih banyak tumpukan kayu, sehingga masing-masing tumpukan akan menempati posisi yang berbeda-beda di dalam tanur pengering. Pada posisi yang berbeda-beda tersebut, kondisi suhu dan kelembaban, serta kecepatan sirkulasi udara juga akan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena setiap posisi tersebut memiliki jarak yang berbeda-beda terhadap sumber pangs dan sumber kelembaban. Dengan demikian, perbedaan posisi sortimen kayu di dalam tumpukan dan atau posisi tumpukan di dalam tanur pengering dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan kadar air akhir. Sebagai ilustrasi tentang adanya variabilitas yang besar atas kadar air akhir ini maka dapat diamati dalam data tentang kadar air pada masing-masing contoh uji berikut. Diasumsikan bahwa pengeringan kayu direncanakan untuk mencapai kadar air akhir sebesar 10 %. Ketika dilakukan pengukuran kadar air terhadap masing-masing contoh uji, diperoleh kadar air akhir secara berurutan sebesar 12,34 %, 16,02 %, 13,24 %, 11,45 %, 10,21 %, dan 8,76 %. Urutan kadar air tersebut berlaku bagi masing-masing contoh uji Universitas Gadjah Mada
3
nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Dengan demikian, maka terlihat bahwa variabilitas kadar air begitu mencolok, yakni terendah 8,76 % dan tertinggi 16,02 %. Apabila kondisi keragaman kadar air akhir sedemikian mencolok, maka dipandang perlu untuk melaksanakan perlakuan penyeragaman kadar air akhir. Menurut Rasmussen (1961), perlakuan penyeragaman kadar air mulai diteerapkan ketika kadar air pada contoh uji yang paling kering mencapai 2 % di bawah kadar air akhir yang dikehendaki. Sebagai contoh, bila pengeringan kayu menargetkan kadar air akhir sebesar 10 %, maka kadar air contoh uji terkering adalanh sebesar 8 %. Bila perlakuan penyeragaman kadar air tidak dilakukan, maka variasi kadar air akhir pada sortimen kayu seringkali menyebabkan munculnya hambatan atau bahkan kesulitan yang serius pada sortimen kayu tersebut. Hambatan itu baru muncul tatkala sortimen itu diolah, baik dalam proses pengolahan kayu atau permesinan kayu, maupun dalam pemanfaatan kayu. Di samping itu, variabilitas ini jugs akan menyebabkan kesulitan ketika melakukan perlakuan untuk melepaskan tegangan pengeringan, yang disebut kondisioning. Bahkan usaha untuk melepaskan tegangan pengeringan ini tidak dapat dilakukan sama sekali bila variabilitas kadar air akhir terlalu besar. Perlakuan penyeragaman kadar air akhir dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Menentukan titik waktu dimulainya perlakuan penyeragaman, yakni ketika kadar air contoh uji terkering mencapai 2 % lebih rendah dibandingkan dengan kadar air akhir yang menjadi target proses pengeringan. 2. Menentukan kadar air seimbang (KAS) penyeragaman didalam tanur pengering, kadar air seimbang tersebut adalah kadar air seimbang yang nilainya sama dengan kadar air contoh uji terkering. Pada ilustrasi diatas, KAS sama dengan 8 %, karena contoh uji terkering berkadar air 8 %. 3. Mengatur kondisi suhu dan kelembaban di dalam tanur pengering sesuai dengan kondisi suhu dan kelembaban bagi penyeragaman kadar air ini. Suhu ditetapkan setinggi suhu tertinggi yang dimungkinkan (diinginkan) dalam skedul suhu dan kelembaban yang sedang dioperasikan. Sementara itu, nilai kelembaban diatur atau ditentukan berdasarkan kadar air contoh uji terkering, yakni 8 %. Penentuan kelembaban dilakukan dengan bantuan tabel hubungan antara depresi suhu bola basah dan temperatur suhu bola kering. 4. Mempertahankan kondisi suhu dan kelembaban bagi penyeragaman ini secara terus-menerus sampai contoh uji terbasah mencapai kadar air akhir rata-rata yang dikehendaki. Dalam ilustrasi diatas, kadar air contoh uji terbasah sebesar 16,02 % itu diusahakan untuk mencapai 10 %.
Universitas Gadjah Mada
4
10.3. Pengujian Distribusi Kadar Air dalam Arah Tebal Papan Potongan yang kedua digunakan untuk menguji distribusi kelembaban (kadar air) dalam masing-masing lapisan atau bagian papan, yakni dari lapisan terluar papan (bagian luar papan) dan lapisan terdalam papan (bagian inti papan). Untuk mengetahui distribusi kadar air itu, maka dilakukan beberapa langkah aktifitas yang mengikuti prosedur berikut. Pertama berupa pemotongan papan untuk memisahkan kayu yang pada bagian terluar papan tersebut (lihat Gambar 25). Bagian terluar papan yang dipisahkan tersebut berketebalan 0,25 inci. Setelah aktifitas pemotongan pada bagian luar tersebut, akan menyisakan kayu yang berada pada bagian dalam. Masing-masing bagian ini secara berturutan sering disebut sebagai bagian kulit dan bagian inti. Kedua, menimbang secara terpisah bagian inti dan bagian kulit. Ketiga mengeringkan di dalam tanur kering masingmasing bagian kayu tersebut sehingga berkondisi kering mutlak dan menimbangnya. Keempat menghitung kadar air bagian kayu inti maupun bagian kayu luar dengan menggunakan rumus di atas. Kelima, membuat grafik yang menggambarkan disitribusi kadar air di dalam papan kayu.
Gambar 25. Pola pemotongan untuk menentukan distribusi kadar air. Sumber Rasmussen (1961). Dengan mengikuti prosedur tersebut, maka kadar air masing-masing bagian itu dapat ditampilkan dalam sebuah grafik dengan kemungkinan penampilan sebagai berikut:
Gambar 26. Grafik distribusi kadar air di dalam kayu Universitas Gadjah Mada
5
Dari grafik itu, terlihat bahwa grafik distribusi kadar air pada setiap lapisan kayu yang dibuat dalam arch tebal papan akan tampak sebagai bentuk parabola. Semakin kecil perbedaan antara kadar air pada kayu bagian luar dan kadar air bagian kayu yang lebih dalam, berarti distribusi kadar air semakin merata. Bila distribusi kadar air ini semakin merata, maka proses pengeringan terhadap kayu tersebut semakin berkualitas. Dengan kata lain, skedul suhu dan kelembaban yang diterapkan dalam mengeringkan kayu semakin sesuai dengan karakter kayu yang dikeringkan. Sementara itu, contoh uji (potongan) ketiga digunakan sebagai bahan pengujian terhadap tegangan pengeringan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui dua hal. Pertama untuk mengetahui ada tidaknya cacat pengerasan kayu bagian luar sebelum perlakuan kondisioning
diterapkan.
Kedua,
untuk
mengetahui
tingkat
kemanjuran
perlakuan
kondisioning dalam membebaskan cacat pengerasan tersebut. Sebagimana diketahui, bahwa perlakuan kondisioning perlu dilakukan terhadap muatan kayu yang menderita cacat pengerasan-kayu-bagian-luar.
Perlakuan
tersebut
diterapkan
dengan
tujuan
untuk
menetralkan atau menyembuhkan kayu tersebut dari cacat pengerasan yang telah menimpanya. Oleh karena itu, pada tahap akhir penerapan perlakuan kondisioning, maka pengujian terhadap adanya tegangan pengeringan ini perlu dilakukan. Dalam konteks inilah, pengujian teganan pengeringan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemanjuran perlakuan kondisioning tersebut bagi pembebasan cacat pengerasan tersebut. Prosedur untuk melaksanakan pengujian dalam rangka memastikan keberadaan cacat pengerasan kayu pada bagian luar, akan disajikan setelah sub-bab yang membahas tentang mekanisme terjadinya cacat pengerasan kayu bagian permukaan. Dengan demikian, prosedur pengujian tersebut akan dibahas pada sub-bab ke-4 di bawah ini.
10.4. Mekanisme Pengerasan Kayu Bagian Permukaan (case hardening). Proses
terjadinya
case
hardening
dapat
dijelaskan
dengan
mengadakan
pemintakatan (zonasi) antar bagian-bagian kayu pada penampang melintang sortimen gergajian. Dengan demikian, diasumsikan adanya zonasi bagian yang berlapis-lapis dari bagian permukaan sampai dengan bagian dalam atau inti sortimen kayu. Untuk mempermudah memahami konsep tersebut, berikut disajikan gambar zonasi lapisan lapisan kayu dari permukaan kayu sampai dengan ke pusat kayu.
Universitas Gadjah Mada
6
Gambar 27. Zonasi lapisan-lapisan pada penampang melintang kayu. Dengan mendasarkan diri pada prinsip bahwa kayu mengering dari lapisan terluar, maka pada tahap awal proses pengeringan, kayu pada lapisan terluar akan mengering terlebih dahulu. Sementara itu, lapisan bagian dalam akan mengering pada tahap berikutnya setelah lapisan terluar menjadi lebih kering. Dengan demikian pada suatu saat tertentu dalam proses pengeringan, terdapat dua kondisi kadar air yang berbeda antara lapisan terluar dan lapisan yang lebih dalam. Pada kondisi tertentu tersebut, lapisan kayu terluar telah mengering sedemikian rupa sehingga kadar aimya mencapai di bawah jenuh serat. Sementara itu, bagian yang lebih dalam kayu belum mengering sampai pada titik jenuh serat, sehingga pada bagian tersebut, lapisan kayu masih berkadar air di atas titik jenuh serat. Kondisi tersebut akan membawa konsekuensi tertentu, yaitu bahwa lapisan terluar tersebut telah mengalami penyusutan, sedangkan lapisan di dalamnya belum mengalami penyusutan sedikit pun. Hal itu menyebabkan bahwa ekspresi penyusutan yang terjadi pada lapisan terluar itu akan ditahan oleh lapisan yang lebih dalam. Artinya, penyusutan pada lapisan terluar tidak dapat diekspresikan secara sempurna. Oleh karena itu, maka besarnya penyusutan pada lapisan terluar yang dapat diwujudkan akan berkurang atau menjadi lebih kecil, bila dibandingkan dengan penyusutan yang terjadi seandainya lapisan terluar itu dipisahkan dari lapisan yang lebih dalam. Dengan kata lain, usaha untuk mewujudkan penyusutan pada lapisan luar itu tertahan oleh lapisan yang lebih dalam. Keadaan ini dapat dikatakan bahwa lapisan terluar berada di bawah kondisi ditarik atau mengalami gaya tank atau mengalami tension. Dengan demikian, lapisan terluar mengalami tegangan tank (regangan). Bila dalam kondisi mengalami tegangan tank demikian dan kemudian kayu bagian terluar ini mengalami pengerasan (setting atau hardening), maka lapisan terluar berada pada kondisi tertank yang telah membaku (setting) dan berlangsung secara nyata. Mengingat lapisan terluar ini berbentuk seperti wadah (case) yang melingkar pada setiap bagian luar papan, maka pengerasan lapisan terluar yang berada dalam kondisi tegangan tank ini disebut sebagai pengerasan kayu bagian permukaan (case hardening). Bila perhatian dialihkan fokusnya, yakni pada bagian atau lapisan yang lebih dalam papan tersebut, maka bagian yang lebih dalam ini belum mengering pada kadar air di bawah titik jenuh serat. Kondisi ini sudah tentu berarti bahwa dirinya belum mengalami penyusutan. Meskipun demikian lapisan yang lebih dalam yang belum menyusut ini, dipaksa untuk ikut menyusut. Pemaksaan untuk ikut menyusut ini dilakukan oleh lapisan yang lebih luar yang telah mengering di bawah kondisi tjs. Dengan demikian, lapisan kayu lebih dalam ini mengalami tekanan atau kompresi. Bila berada dalam kondisi kompresi ini kayu pada bagian
Universitas Gadjah Mada
7
lebih dalam itu mengalami pengerasan (setting) yang permanen (hardening), maka lapisan lebih dalam berada dalam kondisi kompresi. Dalam perjalanan proses pengeringan selanjutnya, maka lapisan kayu lebih dalam tersebut berubah statusnya dari kondisi kadar air di atas titik jenuh serat menjadi (memasuki) kondisi kadar air dibawah titik jenuh serat. Perubahan status kadar air ini akan diikuti dengan penyusutan. Mengingat kayu ini telah mengecil dimensinya ketika masih berstatus di atas titik jenuh serat yang diakibatkan oleh daya kompresi yang dipaksakan oleh lapisan kayu terluar, maka penyusutan yang diakibatkan oleh perubahan status kadar air pada dirinya tersebut akan mengakibatkan dimensi lapisan-kayu-lebih-dalam ini lebih kecil dibandingkan dengan dimensi yang dimiliki oleh lapisan-kayu-terluar. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pada diri lapisan kayu-lebih-dalam ini dari kondisi mengalami kompresi menjadi kondisi yang mengalami tensi. Situasi berlawanan terjadi pada lapisan-terluar-kayu. Lapisan terluar kayu akan berubah kondisinya dari kondisi yang mengalami tensi berubah menjadi kondisi yang mengalami kompresi. Hal ini disebabkan karena lapisan-terluar-kayu menerima daya penyusutan secara paksaan yang berasal dari lapisan kayu-lebih-dalam, yakni ketika lapisan kayu-lebih-dalam ini berubah status kadar air dari diatas TJS menjadi di bawah TJS. Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa perubahan yang dialami oleh lapisanterluar-kayu dari kondisi tensi menjadi kondisi kompresi dan perubahan yang dialami oleh lapisan-kayu-lebih-dalam dari kondisi kompresi menjadi kondisi tensi akan berlangsung seirama dengan perjalanan proses pengeringan. Apabila hubungan antara kedua perubahan itu dan perjalanan proses pengeringan ini diilustrasikan dengan grafts, maka dinamikanya dapat diamati dalam gambar berikut.
Gambar 28 . Dinamika perubahan lapisan kayu terhadap proses pengeringan 10.5. Pengujian terhadap Adanya Cacat Pengerasan Kayu Bagian Permukaan. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa potongan ketiga digunakan sebagai bahan pengujian tegangan pengeringan, untuk mengetahui tingkat kemanjuran perlakuan kondisioning dalam rangka untuk membebaskan cacat pengerasan kayu bagian luar tersebut. Prosedur pengujian case hardening dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Potongan ini digergaji sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai garpu (prong). Jika muatan mempunyai ketebalan kurang dari 6/4 inchi , maka pada arah Universitas Gadjah Mada
8
tebal sortimen itu digergaji untuk membentuk 3 buah ujung garpu, kemudian pusat garpu (bagian tengah garpu) dipenggal atau dihilangkan. Jika muatan mempunyai ketebalan 6/4 inchi atau lebih, maka dalam arah tebal itu digergaji untuk membentuk 6 buah ujung garpu, kemudian ujung garpu yang berdekatan dengan ujung garpu yang paling luar dihilangkan. Dengan demikian, ujung garpu kedua dan garpu kelimalah yang dipenggal atau dihilangkan. (lihat gambar di bawah ini ). 2. Melakukan evaluasi awal terhadap adanya cacat pengerasan kayu tersebut. Evaluasi ini dilakukan bersamaan dengan proses menggergaji potongan ketiga tersebut untuk dibentuk garpu. Bila ujung garpu yang paling luar dari contoh uji ini bergerak menjauhi bilah gergaji pada jarak yang sama dengan (atau bahkan lebih dari) ketebalan garpu, maka muatan biasanya bebas dari cacat pengerasan kayu bagian luar. Dengan demikian, tindakan untuk mematikan tanur pengering dapat dilakukan dan muatan dapat didinginkan dan kemudian dikeluarkan dari ruang pengeringan. Sebaliknya, apabila ujung garpu terluar masih lurus saja atau bahkan menjepit bilah gergaji, maka dapat dipastikan bahwa muatan mengalami cacat pengerasan tersebut. Dengan demikian, perlakuan kondisioning dapat dilanjutkan sampai terjadinya pelepasan yang cukup memuaskan atas tegangan yang ada pada muatan, dan hal itu ditandai bahwa pengujian garpu berikutnya memperlihatkan bahwa muatan sudah terbebas dari cacat ini. 3. Setelah melakuan evaluasi-evaluasi awal, operator perlu meletakkan irisan pengujian garpu itu di dalam ruangan selama 24 jam. Tabiat garpu itu perlu diamati lebih lanjut dengan tiga kemungkinan berikut: a. ujung garpu terluar telah bergerak secara nyata ke arah dalam; hal ini mengindikasikan bahwa muatan masih menderita cacat pengerasan, sehingga durasi kondisioning perlu diperpanjang bagi muatan dengan material yang sama yang akan dikeringkan periode berikutnya. b. Ujung garpu terluar berada dalm kondisi lurus, hal ini mengindikasikan bahwa kayu gergajian terbebas sepenuhnya dari cakuras, sehingga durasi kondisioning yang sama perlu diterpkan bagi muatan dengan material yang sama yang akan dikeringkan periode berikutnya. c. Ujung garpu terluar telah bergerak secara nyata ke arah luar; hal ini mengindikasikan bahwa muatan menderita cakuras terbalik, sehingga durasi kondisioning perlu diperpendek bagi muatan dengan material yang sama yang akan dikeringkan periode berikutnya.
Universitas Gadjah Mada
9
Gambar 29 . Pengujian adanya cacat pengerasan kayu bagian luar Sumber Rasmussen (1961)
10.6. Kerugian yang Menyertai Cacat Pengerasan Kayu Bagian Permukaan. Kerugian yang disebabkan oleh adanya cakuras sekurang-kurangnya ada tiga macam. Pertama, sambungan yang dibentuk oleh alur dan lidah akan melonggar. Kedua, papan akan melengkung ke arah bagian sisi yang lebih banyak dikenai proses pemasahan (penyerutan). Ketiga, pemotongan papan dalam arah panjang yang dilakukan pada bagian (tempat) yang lebih kering akan mengakibatkan terjadinya retak-dalam pada bagian (tempat) tersebut. Mengingat kerugian tersebut di atas, maka case hardening yang telah terjadi harus dipulihkan (disembuhkan atau dibebaskan). Pemulihan itu dilakukan dengan cara pengukusan (yaitu mengatur kelembaban relatif dalam tanur pengering pada posisi atau nilai yang lebih tinggi) yang dilakukan pada suhu yang tinggi pula. Kelembaban dan suhu yang tinggi pada udara yang dijadikan media pengeringan itu akan mengakibatkan kayu yang sedang dikeringkan menjadi plastis kembali. Plastisnya kembali jaringan kayu akan mengakibatkan terbebasnya kembali bagian kayu yang mengeras, baik berupa regangan (tension) pada bagian luar maupun tekanan (compression) yang dialami oleh bagian yang lebih dalam, dari papan kayu yang sedang dikeringkan. Proses pemulihan cakuras ini disebut sebagai perlakuan kondisioning (pengkondisian). Universitas Gadjah Mada
10
10.7. Perlakuan Kondisioning Perlakuan
kondisioning
dapat
dilakukan
dengan
diawali
oleh
perlakuan
penyeragaman kadar air (equalizing), tetapi dapat pula dilakukan tanpa diawali oleh perlakuan penyeragaman kadar air tersebut. Perlakuan penyeragaman ini tidak dilakukan bila kadar air tertinggi pada contoh uji sama dengan kadar air yang diminta . Perlakuan kondisioning dimulai pada saat kadar air contoh uji yang paling basah sama dengan kadar air akhir yang dicanangkan dalam proses pengeringan. Apabila kadar air rata-rata sampel yang terbasah belum mencapai kadar air rata-rata akhir yang dikehendaki, maka perlakuan kondisioning belum boleh untuk dimulai. Prosedur untuk melaksanakan perlakuan kondisioning terhadap sebuah muatan tanur pengering adalah sebagai berikut : a. Tingginya temperatur yang diterapkan dalam tahap kondisioning ini adalah sama dengan tingginya suhu yang tercantum pada bagian akhir dari skedul suhu dan kelembaban yang dioperasikan. Dengan kata lain, temperatur tertinggi pada kadar air seimbang dalam tahap kondisioning ini masih memungkinkan untuk dikontrol atau dikendalikan. Untuk kayu jarum (soft wood), temperatur suhu bola basah diatur sedemikian rupa sehingga k.a.s pada saat kondisioning akan 3% diatas nilai rata-rata kadar air akhir yang dikehendaki. Sementara itu, untuk kayu-daun (hard wood), temperatur suhu bola basah diatur sedemikian rupa sehingga k.a.s pada saat kondisioning ini akan 4% di atas nilai ratarata kadar air akhir yang dikehendaki (diminta) . Depresi suhu bola basah yang akan mengarah pada k.a.s kondisioning yang diinginkan diperoleh dari tabel yang menyajikan hubungan antara TSBK, DSBB, kadar air dan k.a.s. Jika nilai depresi suhu bola basah tidak memperlihatkan k.a.s yang dikehendaki, meskipun tingginya temperatur yang diinginkan pada perlakuan kondisioning tersebut telah diikuti, maka dipilih nilai depresi suhu bola basah yang terdekat dengan k.a.s yang lebih tinggi yang diberikan oleh temperatur tersebut. Sebagai contoh, diasumsikan bahwa kasus ini terjadi pada kayu-daun ( hard wood ) . Kadar akhir yang dikehendaki 8% dan temperatur saat perlakuan kondisioning adalah 170 °F . K.a.s pada perlakuan kondisioning tersebut adalah 12% ( lihat tabel 33 ) pada suhu 170 F dan depresi suhu bola basah 8% akan memberi k.a.s sebesar 12,4% ( lihat tabel 2 ). Jika muatan yang dikeringkan itui adalah kayu jarum, maka k.a.s saat kondisioning akan sebesar 11% dan depresi suhu bola basah adalah 10° . Contoh yang kedua. Pada suatu pengeringan kayu-daun mempersyaratkan : (1) kadar air akhir yang dikehendaki adalah sebesar 12% (kadar air ini merupakan rata-rata dari bagian tepi kayu yang kadar airnya 9% dan bagian tengah kayu yang kadar airnya 15%). (2) suhu akhir pengeringan menurut skedul yang diterapkan adalah 180 °F (82 °C), maka pada saat perlakuan kondisioning itu kondisi udara perlu diatur agar k.a.s nya 12% + 4% = 16%. Universitas Gadjah Mada
11
Berdasarkan tabel 2, k.a.s 16% pada suhu 180 °F ini akan menghasilkan kelembaban relatif 92 — 93% . b. Perlakuan kondisioning dilanjutkan selama durasi waktu tertentu sehingga pelepasan tegangan secara memuaskan dapat dicapai 10.8. Durasi Perlakuan Kondisioning Durasi waktu yang sungguh — sungguh diperlukan selama perlakuan proses kondisioning itu sangat bervariasi. Variasi tersebut ditentukan oleh banyak faktor, yaitu (1) spesies kayu yang dikeringkan, (2) ketebalan sortimen kayu gergajian, (3) derajat ketegangan yang terjadi pada kayu gergajian , (4) kadar akhir proses pengeringan, (5) tipe dan bentuk tanur pengering, juga (6) kinerja ( periformance ) tanur pengering . Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, perlakuan kondisioning bagi kayu daun pada umumnya memerlukan durasi 16 sampai dengan 24 jam untuk muatan yang berdimensi 4/4 inchi (2,54 cm), dan 16 s.d 48 jam untuk muatan yang berdimensi 8/4 inchi Bagi kayu jarum, durasi perlakuan pengkondisian itu lebih pendek lagi, yaitu lebih kurang hanya 4 jam untuk sortimen denangan ukuran ketebalan 4/4 inchi Durasi terpendek bagi perlakuan kondisioning itu perlu dicari dan ditentukan. Pencarian dan penentuan durasi terpendek yang diperlukan untuk mencapai tingkat pembebasan tegangan dalam ketebalan kayu tertentu dan pada spesies tertentu pula. Penentuan itu dilakukan berdasarkan uji garpu. Uji garpu dilakukan pada interval waktu tertentu, yaitu ketika ada keyakinan pada diri operator bahwa case hardening telah hampir dibebaskan
Informasi
yang
telah
dikumpulkan
tentang
hubungan
antara
durasi
kondisioning dan hasil uji garpu ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan lamanya proses kondisioning bagi muatan kayu berikutnya dari spesies dan sortimen yang sama Pencarian durasi waktu terpendek bagi kondisioning ini sangat dianjurkan. Hal itu dimaksudkan agar konsumsi uap dapat dikurangi atau dihemat, sehingga biaya pengeringan juga dapat ditekan. Disamping itu, durasi yang pendek ini juga sebagai usaha untuk menghindarkan adanya pengambilan kelembaban (desorbsi ) yang terlalu banyak, terutama pada kayu yang berat jenisnya rendah. Alasan yang ketiga, agar tidak terjadi kebalikan case haardening pada muatan. Cacat kebalikan case hardening juga merupakan cacat yang berakibat serius, seserius akibat case hardening. Bahkan apabila case hardening terbalik ini telah terjadi, tiada satu metode pun yang yang dapat dilakukan untuk pemulihan terhadap cacat ini dengan hasil yang cukup memuaskan. Alasan keempat yang merupakan alasan yang terpenting adalah bahwa proses kondisioning (yang sudah tentu mengoperasikan suhu (TSBK) dan kelembaban (k.a.s) yang tinggi ini ) akan mempercepat kemunduran kualitas (bangunan dan besi penyusun ) tanur pengering. Universitas Gadjah Mada
12
Berdasarkan atas keempat alasan itulah maka sangat disarankan untuk tidak memperpanjang (memperlama) proses kondisioning ini melebihi durasi waktu yang diperlukan. Dengan kata lain, sangat penting untuk menghindari suatu proses kondisioning yang lebih lama dari durasi yang tepat dan durasi yang sesungguhnya diperlukan bagi perlakuan pelepasan ketegangan itu. Daftar Pertanyaan 1. Mengapa perlakuan penyeragaman kadar air perlu dilakukan? 2. Bagaimana prosedur pelaksanaan perlakuan penyeragaman kadar air? 3. Bagiamana melakukan pengujian distribusi kadar air dalam arah tebal 4. Jelaskan mekanisme terjadinya pengerasan kayu bagian permukaan (case hardening). 5. Bagiamana cara melakukan pengujian terhadap cacat pengerasan permukaan kayu 6. Apa kerugian yang menyertai cacat pengerasan kayu bagian permukaan 7. Apakah yang dimaksud dengan perlakuan kondisioning 8. Mengapa durasi perlakuan kondisioning perlu diperhatikan?
Universitas Gadjah Mada
13