PENGARUH PERLAKUAN TEMPERATUR PENGERINGAN TERHADAP KUALITAS UMBI BIBIT, PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA KULTIVAR BAWANG MERAH (Allium cepa L. group Aggregatum)
Oleh Devi Efriany Nurul Huda A34402063
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PENGARUH PERLAKUAN TEMPERATUR PENGERINGAN TERHADAP KUALITAS UMBI BIBIT, PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA KULTIVAR BAWANG MERAH (Allium cepa L. group Aggregatum)
Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Devi Efriany Nurul Huda A34402063
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN DEVI E. NURUL HUDA Pengaruh Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Kualitas Umbi Bibit, Pertumbuhan dan Produksi Dua Kultivar Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum). (Dibimbing oleh MEMEN SURAHMAN DAN PRASODJO SOEDOMO). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit, pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum). Percobaan dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung yang berada pada ketinggian 1250 m dpl. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli 2006 sampai Oktober 2006. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Sebagai petak utama adalah kultivar bawang merah yaitu kultivar Lampung Tembaga dan kultivar Batu, sedangkan sebagai anak petak adalah perlakuan temperatur pengeringan, yaitu tanpa dioven, pengeringan dengan sinar matahari selama 7 hari, pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 300 C, pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 350 C, pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 400 C dan pengeringan selama 4 jam pada suhu 450 C. Total perlakuan 10 dengan 3 ulangan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan temperatur pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase daya tumbuh pada pengamatan 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot umbi basah, bobot umbi kering kotor, bobot umbi kering bersih per tanaman dan per petak, kecuali penyusutan bobot umbi bawang merah setelah perlakuan temperatur pengeringan dan persentase daya tumbuh pada pengamatan 10 HST. Kultivar memberikan pengaruh nyata terhadap penyusutan bobot umbi bawang merah, persentase daya tumbuh pada 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan dan bobot kering bersih per petak. Rata-rata penyusutan bobot umbi setelah perlakuan temperatur pengeringan untuk kultivar Lampung Tembaga sebesar 12.04 %, sedangkan untuk kultivar Batu sebesar 5.34 %. Rata-rata persentase daya tumbuh tanaman pada pengamatan 10 HST untuk perlakuan temperatur pengeringan 45 0C menghasilkan nilai persentase daya tumbuh yang paling tinggi sebesar 82.86 % dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya, Perlakuan temperatur pengeringan 30 0C, menunjukkan persentase daya tumbuh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan temperatur pengeringan 45 0C, yaitu sebesar 80.94 %. Hingga akhir pengamatan pertanaman, rata-rata tinggi tanaman bawang merah kultivar Lampung Tembaga sebesar 48.67 cm, dan kultivar Batu 68.34 cm. Untuk jumlah anakan yang dihasilkan, kultivar Lampung Tembaga memiliki rata-rata anakan sebesar 9.26 dan kultivar Batu sebesar 2.88. Produksi umbi bawang merah yang dihasilkan pada percobaan untuk kultivar Lampung Tembaga adalah 5.0752 ton/ha, sedangkan untuk kultivar Batu sebesar 11.74 ton/ha.
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Devi Efriany Nurul Huda, dilahirkan di Lebak, Banten pada 18 April 1984. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Usman Sunarya dan Ibu Imas Yulianah. Jenjang pendidikan formal dimulai pada tahun 1990 di Sekolah Dasar Swasta Aneka Tambang PEPEC Cikotok, Banten dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 8 Bandung dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Bandung. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur SPMB dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Selain kegiatan perkuliahan, Penulis pernah melakukan kegiatan Magang di Balai Teknologi Pembenihan Kehutanan di Bogor pada tahun 2004, Program Kreativitas Mahasiswa ’Agriculture for Kids” tahun 2005, dan’Agriculture for Youth’ tahun 2006 dan melakukan penelitian di Balai Penelitian Sayuran Tanaman (Balitsa) Lembang, Bandung pada tahun 2006.
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Pengaruh Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Kualitas Umbi Bibit, Pertumbuhan dan Produksi Dua Kultivar Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum)” ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr.Ir. Memen Surahman, MSc sebagai pembimbing skripsi atas bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi. 2. Drs. Rd. Prasodjo Soedomo, APU sebagai pembimbing skripsi dari Balitsa yang telah bekerjasama dan membantu selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr. Ir. Yudiwanti W.E.K, MS, sebagai dosen penguji, atas semua saran dan nasehatnya yang berarti. 4. Ir.Baran Wirawan, MSc sebagai dosen pembimbing akademik penulis selama kuliah di IPB. 5. Bapak, Mama, Ceuceu dan Henu tercinta, terimakasih atas semua cinta yang tercurah. 6. Para Dosen dan staf Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. 7. Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bandung. 8. Tim Balitsa.Terimakasih atas kebersamaan suka dan duka 6 bulan di Lembang. Nuni, Yayu, Miftah ’bobi’ dan Hasyim. 9. Teman seperjuangan: Venty, Heny, Retno, Anti, Susi, Sulis, Nunung, Nana, Andriyani, Nining, Rury, Khotim, Mika, Dame, Atin, Misnen, Yogo, Panji, Ade, Sahala, Rofik, isnaini, M chotim, cici, Dees. 10. Mute ’39. Terimakasih atas semua pengalaman dan pelajaran hidup yang nyata.
11. Asrama A1 tahun 2002, Kamar 018, Iin, Dewi dan Ajeng atas semua waktu yang telah kita lewati bersama. It was fun. 12. Rumah keduaku dan penghuninya yang membuatku betah : Wisma FM, T Iam, T Yani, T Irma, M Deasy, M Chacha, M Penti, M Imay, M Gita, Inggit, M Kapsah. Serta warga Arsida 4 atas kebersamaannya, Nove, Retno, Siska, Kismi, Wage, Peni, M Nong, Niken, M Tita, M Ainun, Bella Dewi. 13. Tim PKM AFK dan AFY, Terimakasih atas kesabaran dan pengalaman ke Malang yang menyenangkan. Retno, Anti, Nidya dan Ray Tiran. 14. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis tulis satu persatu Demikianlah, semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Hal. PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan ............................................................................................................... 2 Hipotesis ........................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Bawang Merah ...................................................................................... Botani Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum )............................ Bibit Bawang Merah ......................................................................................... Pengeringan........................................................................................................
3 4 6 7
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ............................................................................................ Bahan dan Alat................................................................................................... Metode Penelitian .............................................................................................. Pelaksanaan Penelitian.......................................................................................
9 9 9 10
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum................................................................................................... Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah........................................................... Persentase Daya Tumbuh Tanaman................................................................... Tinggi Tanaman ................................................................................................. Jumlah Anakan................................................................................................... Bobot Basah ....................................................................................................... Bobot Kering Kotor ........................................................................................... Bobot Kering Bersih ..........................................................................................
14 16 17 21 22 23 25 26
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 29 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 30 LAMPIRAN...................................................................................................... 32
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia....
1
2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Kultivar (A), Perlakuan Temperatur (B), dan Interaksinya (A*B) ................................................. 15 3. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah.................................................. 16 4. Pengaruh Perlakuan Temperatur terhadap Peubah Persentase Daya Tumbuh Tanaman pada Pengamatan 10 HST ......................................... 19 5. Pengaruh Kultivar terhadap Tinggi Tanaman .......................................... 21 6. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Jumlah Anakan... 22 7. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Basah Bawang Merah ......................................................................................... 24 8. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Kering Kotor Bawang Merah .............................................................................. 25 9. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Kering Bersih Bawang Merah Per Tanaman ........................................................ 26 10. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Kering Bersih Bawang Merah Per Petak .............................................................. 27 Lampiran 1. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah.................................................. 33 2. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Persentase Daya Tumbuh Tanaman ......................................................... 33 3. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Tinggi Tanaman ....................................................................................... 34 4. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Jumlah Anakan ......................................................................................... 35 5. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Umbi Bawang Merah ..................................................................... 35 6. Data Cuaca di Kebun Percobaan Lembang dari Bulan Juli-Oktober ........ 37
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Bawang Merah Kultivar Lampung Tembaga dan Batu ........................ 20
Lampiran 1. Kondisi Pertanaman di Lapangan ......................................................... 38 2. Hasil Umbi Kultivar Lampung Tembaga Berbagai Perlakuan ............. 39 3. Hasil Umbi Kultivar Batu Berbagai Perlakuan..................................... 40
PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum) merupakan salah satu sayuran yang digunakan sebagai bumbu dapur untuk melezatkan masakan. Penggunaannya yang sedikit namun kontinyu, membuat bawang merah sebagai kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh konsumen rumah tangga sebagai pelengkap bumbu masak. Selain manfaatnya dalam hal bumbu masak, bawang merah mempunyai kegunaan lain, yaitu sebagai obat tradisional masyarakat. Tanaman bawang merah ini banyak ditanam di daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai 250 m dpl, tetapi tanaman bawang merah ini dapat pula diusahakan di daerah dataran tinggi (Sunaryono et al., 1984). Banyaknya manfaat yang terdapat pada bawang merah mengakibatkan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Namun permintaan tidak selalu diimbangi dengan produksi dan produktivitas yang ada. Produktivitas bawang merah umumnya masih rendah. Penyediaan umbi bibit berkualitas yang tahan hama penyakit, berdaya hasil tinggi, dan murah merupakan masalah utama dalam produksi bawang merah (Sumarni et al., 2005). Selain itu, kurang tersedianya pula teknologi produksi benih berkualitas (Sumiati et al., 2004). Tabel 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia Tahun Produksi (ton)
2001 861.150
2002 766.572
2003 762.795
2004 757.399
2005 762.795
Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha)
82.147
79.867
88.029
88.707
83.614
10.5
9.6
8.7
8.5
8.7
Sumber: BPS, 2007
Bawang merah termasuk tanaman semusim dan umumnya ditanam serentak bila musim tanam tiba, sehingga ketersediaanya melimpah pada musim panen dan kurang bila musim panen lewat. Tidak mantapnya ketersediaan sepanjang tahun dapat menyebabkan terjadinya perubahan harga bawang merah dengan fluktuasi yang menyolok. Menurut Rosliani et al., (2005), penggunaan umbi bibit bawang merah untuk perbanyakan, memakan biaya sekitar 40 % dari biaya produksi dalam penyediaan bibit.
Permasalahan di atas dapat diatasi dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan sistem penyimpanan yang memadai, didukung penanganan pasca panen yang baik. Karena pada umumnya, petani bawang merah menyimpan hasil panen yang diperoleh, dengan tujuan tertentu. Selain untuk menekan harga, penyimpanan umbi bertujuan untuk menyediakan umbi bibit untuk pertanaman selanjutnya. Sehingga umbi bibit yang akan digunakan telah mengalami penyimpanan yang bertujuan menghentikan masa dormansinya (Soedomo, 1992). Namun ketersediaan umbi bibit mengalami kendala. Hal ini terjadi karena penyimpanan umbi bibit bawang merah akan menyebabkan kenaikan harga umbi bibit melonjak hingga empat kali lipat harga umbi untuk konsumsi pada saat musim tanam. Di lain pihak, pada umumnya untuk penggunaan umbi bibit diperlukan masa istirahat (dormansi) umbi optimal selama 3 bulan. Perlakuan 300C atau 350C yang diaplikasikan pada umbi yang dipanen setelah 3 minggu, mempercepat pertunasan saat penyimpanan dengan suhu 150C. Temperatur tinggi demikian biasa diberikan untuk perawatan umbi segar yang baru dipanen (Brewster, 1994). TUJUAN Tujuan
penelitian
adalah
untuk
mengetahui
pengaruh
perlakuan
temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit, pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum). HIPOTESIS 1. Salah satu kultivar memberikan respon baik terhadap perlakuan temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum). 2. Terdapat perlakuan temperatur pengeringan guna meningkatkan kualitas umbi bibit terhadap pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum). 3. Terdapat interaksi antara kultivar dengan perlakuan temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit, pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum).
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Bawang Merah Tanaman bawang merah diduga berasal dari Asia Tengah, yaitu di sekitar India, Pakistan sampai Palestina. Sekitar abad ke VIII tanaman bawang merah mulai disebarluaskan ke wilayah Eropa Barat, Eropa Timur dan Spanyol. Dari belahan benua inilah bawang merah menyebar luas ke daratan Amerika, Asia Timur dan Asia Tenggara. Pada abad ke XIX bawang merah telah menjadi tanaman komersil di berbagai negara di dunia. Negara-negara produsen bawang merah antara lain Jepang, Amerika Serikat, Rumania, Italia, dan Meksiko. Di Indonesia, daerah yang merupakan sentra produksi bawang merah yang terkenal ialah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates (Yogyakarta), Lombok Timur dan Samosir (Medan) (Ameriana et al.,, 1996). Klasifikasi bawang merah berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut (Hanelt 1990 dalam Rabinowitch dan Brewster, 1990) : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Klas
: Monocotyledonae
Ordo
: Asparagales (Lilliiflorae)
Famili
: Alliacea (Amaryllidaceae)
Genus
: Allium
Species
: Allium cepa L. group Aggregatum
Ciri-ciri utama pada Allium adalah karakteristik aroma dan rasanya. Daunnya muncul dari batang bawah tanah dan seringnya memiliki pelepah/daun bawah yang dapat menentukan penampakan batang seperti halnya tipe pada bawang daun (leek). Hal ini disebut sebagai batang semu atau pseudostem (Brewster, 1994). Umbinya mempunyai kulit yang ’membranous’, serta memiliki variasi dalam bentuk, ukuran dan warna. Bunganya berwarna putih, berbentuk seperti bintang dengan tepal yang menyebar (Hanelt, 1990 dalam Rabinowitch dan Brewster, 1990).
Botani Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum ) Spesies Allium cepa terbagi ke dalam dua kelompok yaitu Common Onion (termasuk di dalamnya : Allium cepa var. cepa; Allium cepa L. ssp. cepa dan ssp. australe Trofim) dan Aggregatum Group (termasuk di dalamnya Allium ascalonicum auct non Strand; Allium cepa ssp. orientale Kazak; Allium cepa var. ascalonicum Baker) (Brewster, 1994). Bawang merah dinamakan Allium cepa var. aggregatum group yang berada dalam spesies yang sama dengan bawang bombay karena kemampuannya untuk disilangkan dengan bawang bombay dan menghasilkan anakan yang fertil (Brewster, 1994; Rabinowitch dan Kamenetsky, 2002). Umbi dari Aggregatum lebih kecil dibandingkan dari Common Onion karena umbinya terbagi dengan cepat dan membentuk cabang/lateral, kemudian membentuk kelompok umbi. Grup Aggregatum biasanya diperbanyak secara vegetatif (Brewster, 1994). Bawang merah merupakan tanaman terna rendah yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. Perakarannya berupa akar serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam di tanah. Seperti halnya bawang putih, tanaman ini termasuk tidak tahan kekeringan (Wibowo, 1999). Bawang merah termasuk tanaman semusim yang berdaun silindris seperti pipa memiliki batang sejati atau “diskus” yang bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas (titik tumbuh). Pangkal daun bersatu membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni dan Sumiati, 1997). Umbi bawang merah terutama disukai karena aroma sedapnya yang harum. Aroma utama bawang disebabkan oleh aktivitas enzim allinase yang mengubah senyawa yang mengandung belerang (S-alkyl sistein sulfoksida) jika jaringan tanaman rusak atau tergerus. Bawang merah juga mengandung flavonol, kuersetin dan kuersetin glikosida. Semua senyawa ini bersifat antibakteri dan anti cendawan dan juga menunjukan aktivitas anti kanker dan sifat anti koagulan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Pada setiap 100 gram, bawang merah mengandung air 88 g, protein 1.5 g, lemak 0.3 g, karbohidat 9 g, serat 0.7 g,
Ca 36 mg, P 40 mg, Fe 0.8 mg, vitamin A 5 IU, vitamin B1 0.03 mg, dan vitamin C 2 mg. Nilai energi yang dikandung adalah 160 kJ/100 g (Permadi dan Meer, 1994). Menurut Rabinowitch dan Kamenetsky (2002), pembentukan umbi pada tanaman bawang merah terjadi sebagai akibat dari respon terhadap lamanya fotoperiodisme, temperatur yang relatif tinggi, dan perbedaan kultivar yang dapat dibedakan dari panjang hari minimal yang dibutuhkan untuk menginduksi setiap kultivar dalam membentuk umbi. Pembentukan umbi dapat terjadi bergantung pada fotoperiodisme atau suhu. Pembentukan umbi dapat tejadi karena suhu yang tinggi, fotoperiodisme yang berlangsung lama dan rasio cahaya Red (R) : Far Red (FR) yang rendah. Namun, bila berada pada kondisi sebaliknya, pertumbuhan daun yang akan terjadi (Brewster, 1994). Proses pembentukan umbi pada bawang merah berlangsung serupa seperti yang terjadi pada bawang bombay. Namun pada bawang merah, bagian basal plate akan menghasilkan tunas lateral yang akan menjadi individu umbi yang baru. Brewster (1994), menggambarkan proses pembentukan umbi pada bawang bombay yang dimulai dari penebalan pada leher tanaman dan pembengkakan pada daun pelepah pertama. Penebalan ini terjadi karena ada perluasan sel dan tidak melibatkan pembelahan sel. Ketika daun pelepah mulai gugur, daun pipa mengalami senesen sementara daun-daun baru mulai bermunculan hingga akhirnya mengering dan digantikan daun pelepah dan daun pipa yang baru. Umbi mulai membengkak ketika bobot maksimum tanaman tercapai. Pada tahap ini, saat umbi mulai membengkak dan daun-daun mengering dalam waktu yang cepat, kulit terluar yang kering pada umbi mulai terbentuk. Pematangan umbi tercapai setelah jaringan leher tanaman mulai melunak dan kehilangan turgiditasnya, akibatnya tanaman rebah dan umbi mencapai ukuran maksimal (Brewster, 1994).
Ekologi Bawang Merah Tanaman bawang merah memiliki daya adaptasi luas karena dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1000 m diatas permukaan laut) dan baik diusahakan pada lahan bekas sawah maupun di tanah darat atau lahan
kering seperti tegalan, kebun dan pekarangan (Suwandi dan Hilman, 1997). Tanaman bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl. Namun demikian tanaman akan berumur lebih panjang dan hasil umbinya lebih rendah daripada di dataran rendah. Tanaman bawang merah termasuk tanaman hari panjang, menyukai tempat yang terbuka dan cukup mendapat sinar matahari (70%) terutama bila lamanya penyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni dan Rosliani, 1997). Untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman bawang merah memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Grubben (1990) dalam Rosliani et al., (2005), suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan bawang merah yaitu antara 20-30 0C dengan curah hujan 100-200 mm/bulan.
Bibit Bawang Merah Untuk menunjang produksi hasil-hasil pertanian, benih dan bibit merupakan salah satu sarana yang harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang bermutu. Benih dan bibit yang diinginkan adalah yang mampu memberi hasil maksimal sesuai potensi hasilnya apabila ditanam dalam lingkungan yang optimal. Faktor bibit memegang peranan penting untuk menunjang keberhasilan produksi tanaman bawang merah. Pada umumnya perbanyakan umbi dilakukan dengan menanam umbi secara utuh atau dengan memotong bagian atas umbi (Sunarjono dan Soedomo, 1989). Beberapa kelebihan umbi bibit bawang merah yang dipakai sebagai bahan tanam adalah pertanaman yang relatif seragam, populasi tanaman memiliki susunan genetik yang sama, serta mudah ditangkarkan sendiri. Umbi bibit yang baik adalah yang tidak mengandung penyakit, tidak cacat dan tidak terlalu lama disimpan (4 bulan) dalam gudang. Faktor yang cukup menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah ukuran umbi (Suwandi, 1989). Diameter umbi bibit yang besar cenderung dapat menyediakan cadangan makanan yang banyak diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya di lapangan. Menurut Wibowo (1999), syarat umbi bawang merah yang digunakan sebagai bibit adalah umbi yang diperoleh dari tanaman yang sehat
dan dipanen cukup tua sekitar umur 70-90 hari, tergantung varietas, tempat penanaman dan kondisi tanaman itu sendiri.
Pengeringan Proses pengeringan telah dikenal manusia sejak lama. Melalui proses pengeringan berbagai hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil laut dapat disimpan lama sehingga kehilangan pascapanen yang merugikan petani dan nelayan dapat dihindari. Proses pengeringan secara mekanis mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan cara pengeringan tradisional, antara lain dalam hal volume bahan yang dikeringkan, keseragaman hasil dan mutu (Mujumdar, 2001). Usaha untuk memperpanjang daya simpan dan meningkatkan mutu bawang merah sangat diperlukan, antara lain dengan teknologi pengeringan yang tepat. Menurut Mujumdar (2001), pengeringan adalah operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisika atau kimia, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perubahan mutu hasil. Prinsip pengeringan adalah terjadinya penguapan air dari bahan/material ke udara karena perbedaan kandungan air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis dapat menyebabkan terhambat atau terhentinya kebusukan (Musaddad et al., 1996). Pada benih, diperlukan adanya proses pengeringan, yang bertujuan untuk menurunkan kadar air benih sehingga benih tidak atau sedikit mengalami kerusakan pada tahap pengolahan selanjutnya. Pengeringan pada bawang merah merupakan salah satu upaya alternatif untuk meningkatkan ketegaran bawang, selain cara perbaikan lain yang digunakan, yaitu penyimpanannya. Selama ini pengeringan yang dilakukan oleh petani bergantung pada cuaca. Parameter – parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah : (1) suhu, (2) kelembaban, (3) laju alir udara, (4) kadar air awal dan (5) kadar air akhir. Makin tinggi kadar air awal, makin tinggi panas yang diperlukan untuk mengeringkan hasil pertanian dan semakin lama waktu yang dibutuhkan unuk mengeringkan bahan tersebut. Suhu berperan sangat penting, karena apabila suhu
terlalu rendah maka pengeringan akan memakan waktu lama serta dapat menurunkan mutu bahan yang dikeringkan (Balitsa, 1996). Cara pengeringan yang dilakukan petani bawang merah umumnya dimulai dengan proses pelayuan selama 2-3 hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses penjemuran di bawah sinar matahari selama 7-10 hari. Cara pengeringan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah cuaca adalah pengeringan secara mekanik. Proses pengeringan mekanik dapat digunakan dengan menggunakan beberapa alat pengering seperti Cabinet Dryer, kipas, ruang pengering berventilasi tanpa sumber panas buatan dan ruang berpembangkit Vorteks. Pengeringan berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan umbi bawang merah. Dengan pengeringan buatan, bahan yang dikeringkan akan lebih seragam mutunya, prosesnya cepat serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan (Histifarina et al., 1998).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Juli hingga Oktober 2006 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung (1.250 m dpl) dengan jenis tanah Andosol. Bahan dan alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi bibit bawang merah yang baru dipanen sekitar satu minggu. Dua kultivar umbi bibit yang digunakan adalah Lampung Tembaga dan Batu. Untuk penanaman diperlukan pupuk kandang (kotoran kuda) 10 ton/ha, pupuk NPK dengan dosis 135 kg N, 135 kg P2O5 dan 100 kg K2O serta fungisida. Alat yang digunakan adalah oven, timbangan, alat tanam, alat ukur, tampah, karung net, dan tali rafia.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) yang terdiri dari dua faktor. Sebagai petak utama adalah kultivar bawang merah (A) yaitu Lampung Tembaga (A1) dan Batu (A2). Sebagai anak petak adalah perlakuan temperatur pengeringan, yaitu tanpa dioven, pengeringan dengan sinar matahari selama 7 hari (kontrol) (B0), pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 30 0C (B1), pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 35 0C (B2), pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 400 C (B3) dan pengeringan selama 4 jam pada suhu 45 0C (B4). Sehingga, terdapat 10 kombinasi perlakuan sebagai berikut : A1B0, A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B0, A2B1, A2B2, A2B3, A2B4, yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 1 plot perlakuan. Model linier untuk tiap pengamatan adalah : Yijk = μ + Kk + Ai + δjk + Bj + (AB)ij + εijk i = 1, 2 j = 0, 1, 2, 3, 4, k = 1, 2, 3
Keterangan : ke-j dari perlakuan temperatur pada kelompok ke-k Yijk
= Nilai pengamatan (respon) pada taraf ke-i dari faktor kultivar dan taraf ke-j dari perlakuan temperatur pengeringan pada kelompok ke-k
μ
= Nilai rata-rata yang sesungguhnya
Kk
= Pengaruh aditif dari kelompok ke-k
Ai
= Pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor kultivar
δjk
= Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari faktor kultivar dalam kelompok ke-k (galat petak utama/galat a)
Bj
= Pengaruh aditif dari taraf ke-j perlakuan temperatur pengeringan
(AB)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor kultivar dan taraf ke-j faktor perlakuan temperatur pengeringan εijk
= Pengaruh galat pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke-i faktor kultivar dan taraf ke-j faktor perlakuan temperatur pengeringan (galat anak petak/galat b) Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika hasil uji F berpengaruh
nyata, maka akan dilakukan uji lanjutan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yaitu : perlakuan, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pengamatan.
Perlakuan Perlakuan dilaksanakan setelah mendapat umbi bibit bawang merah yang berasal dari Bulakamba Brebes untuk bawang merah kultivar Lampung Tembaga dan daerah Tuwel Tegal untuk bawang merah kultivar Batu. Umbi bibit bawang merah yang sehat dipilih untuk perlakuan. Bawang merah yang digunakan untuk percobaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: warna kulit umbi merah muda, bobot 1.7- 4.2 g/umbi (rata-rata 2.9 g/umbi), diameter 1.7-1.8 cm, tinggi 1.7-2.6 cm untuk kultivar Lampung Tembaga, sedangkan untuk kultivar Batu warna kulit umbi merah kekuningan, bobot 18.5-31.6 g/umbi (rata-rata 26.2 g/umbi), diameter 3.08-3.72 cm dan tinggi 3.7-4.2 cm. Perlakuan dilakukan dengan cara pemberian
temperatur pengeringan dengan menggunakan oven. Pengeringan dilakukan pada beberapa temperatur sesuai perlakuan yaitu 30 0C, 35 0C, 40 0C, 45 0C, selama 4 jam dan kontrol, yaitu dengan menjemur di bawah sinar matahari selama 7 hari. Umbi bibit bawang merah diletakkan pada wadah yang terbuat dari kertas sebelum dimasukkan ke dalam oven. Selanjutnya umbi dikeringkan sesuai perlakuan. Setelah umbi bibit dikeringkan, ujung tunasnya dipotong setebal/ setinggi/sebanyak setengahnya dari panjang umbi.
Pengolahan Lahan Lahan diolah dengan cara dicangkul, kemudian dihaluskan dengan dirotor. Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering dan kemudian diolah lagi sampai halus sebelum dilakukan perbaikan bedengan dengan rapih. Selanjutnya plot perlakuan dibuat dengan ukuran 1,2 m x 1,1 m = 1,32 m2. Plot-plot tersebut diberi pupuk kandang yang berasal dari kotoran kuda 10 ton/ha, pupuk NPK dengan dosis 135 kg N, 135 kg P2O5 dan 100 kg K2O. Umbi bibit yang telah diperlakukan ditanam dengan jarak tanam 20 x 15 cm sehingga populasi per plotnya adalah 42 umbi. Penanaman Penanaman umbi bibit bawang merah dilakukan pada lahan yang telah diberi pupuk kandang. Umbi bibit bawang merah ditanam dengan cara, membenamkan seluruh bagian umbi sebatas ujung tunas yang telah dipotong terlebih dahulu. Setelah selesai penanaman, penyiraman dilakukan kembali untuk menjaga kelembaban tanah. Untuk penyulaman, dilakukan penanaman umbi bibit sebagai cadangan pada tiap-tiap perlakuan.
Pemeliharaan Pemeliharaan terdiri dari beberapa kegiatan yaitu penyiraman, pemupukan pengendalian gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penyiraman dilakukan setiap hari pada fase awal pertumbuhan tanaman. Setelah mencapai umur 50 hari, penyiraman dilakukan 2 kali dalam seminggu. Pemupukan susulan dilakukan pada umur 10-15 hari dan 30-35 hari setelah tanam. Jenis dan dosis pupuk yang diberikan adalah pupuk NPK dengan dosis 135 kg N, 135 kg P2O5
dan 100 kg K2O. Pupuk diaduk rata dalam tong yang berisi air yang kemudian disiramkan langsung ke tanaman. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara menyiangi lahan tanaman secara manual sebanyak 4 kali selama masa tanam. Pengendalian hama penyakit disesuaikan dengan serangan pada tanaman bawang. Selama masa tanam, hama yang menyerang antara lain hama ulat grayak (Spodoptera exigua). Serangan hama ini ditandai dengan adanya bercak putih transparan pada daun. Serangan hama ulat bawang mulai terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah daun pada tanaman bawang. Pengendalian yang dilakukan adalah mengambil dan memusnahkan telur maupun ulat dewasa yang terdapat pada tanaman bawang merah selama masa tanam. Seiring dengan bertambahnya serangan, maka pengendalian dilakukan dengan cara menyemprot tanaman dengan Dhitane M45 dan Antracol.
Panen Umumnya indeks panen yang digunakan untuk bawang merah adalah jumlah hari setelah tanam. Panen bawang merah yang telah cukup tua biasanya dilakukan pada umur 60-70 hari di dataran rendah dan 80-100 hari di dataran tinggi. Menurut Musaddad et al., (1994), tanaman bawang merah dipanen setelah menampilkan tanda-tanda panen seperti pangkal daun bila dipegang sudah lemah, 70-80 % daun berwarna kuning, umbi lapis terlihat penuh berisi, sebagian umbi tersembul di atas permukaan tanah, timbul bau bawang merah yang khas, timbulnya warna merah tua atau keunguan pada umbi, daun bagian atas mulai rebah dan sebagainya. Pemungutan hasil sebaiknya dilaksanakan dalam keadaan kering dan cuaca cerah. Seluruh tanaman dicabut menggunakan tangan dengan hati-hati, kemudian setiap satu kepal (± 1 kg) diikat pada 1/3 daun bagian atas untuk mempermudah penanganan berikutnya. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan saat panen adalah luka yang dapat ditimbulkan akibat gesekan dengan tanah dan umbi yang tertinggal dalam tanah. Kondisi ini dapat terjadi bila tanah dalam keadaan kering. Karena itu, penyiraman tanaman dapat dilakukan 1-2 hari sebelum panen.
Pengamatan Pengamatan yang dilakukan terdiri dari beberapa peubah yaitu : 1. Kandungan air yang menguap atau susut bobot (%), yaitu dengan cara menimbang bobot bawang sebelum dan sesudah perlakuan pengeringan. Rumus penyusutan : bobot basah – bobot setelah perlakuan X 100 % bobot basah 2. Persentase daya tumbuh tanaman pada umur 10 dan 30 HST, dihitung dengan
P
= (a - b) x 100 % a
a= populasi tanaman per plot yang ditanam b= tanaman belum tumbuh/mati P= % tanaman hidup
3. Tinggi tanaman pada umur 15, 30, 45, 60 hari dan 75 HST, dengan cara mengukur yang dimulai dari pangkal batang yang langsung berhubungan dengan umbi (permukaan tanah) sampai dengan daun yang tertinggi. 4. Jumlah anakan per tanaman, perhitungan dilakukan terhadap semua banyaknya anakan yang tumbuh selama pertumbuhan tanaman. 5. Bobot basah kotor, tanaman yang baru dipanen ditimbang beserta daunnya. 6. Bobot kering kotor, tanaman yang telah dikeringkan dibawah sinar matahari ditimbang beserta daunnya yang telah mengering. 7. Bobot kering bersih per tanaman, umbi bawang yang telah dibersihkan dari kotoran serta daun kering yang melekat. 8. Bobot kering bersih per petak, umbi bawang kering dan bersih per petak yang ditimbang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli 2006 sampai dengan Oktober 2006 pada ketinggian 1250 m dpl dengan rata-rata suhu bulanan 23.8 0C, serta kelembaban udara 86.75 %. Lahan yang digunakan untuk percobaan adalah lahan bekas pertanaman tanaman sayuran caisim. Pada awal pertumbuhan, secara visual pertumbuhan tanaman bawang merah terlihat cukup baik. Kematian umbi pada awal pertanaman disebabkan oleh penyakit busuk umbi (Botrytis alli). Penyakit ini menyebabkan umbi membusuk pada bagian pangkal dan ujung, sehingga umbi yang terserang tidak dapat tumbuh. Penyakit lain yang teramati adalah penyakit moler (twisting desease). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Penyakit moler tergolong penyakit yang terbawa umbi (seed born) dan terbawa tanah (soil born). Ciri yang terlihat pada tanaman bawang merah adalah daun yang menguning serta akan yang mudah ditarik bila dicabut karena pertumbuhan akar yang tidak sempurna dan daun membusuk. Tanaman yang terserang daunnya akan mengalami kematian dari ujung dengan cepat. Untuk tanaman yang mati, dilakukan penyulaman sampai 10 HST. Untuk mengendalikan penyakit digunakan fungisida sistemik Dhitane M45 80 WP dan fungisida Antracol 70 WP yang digunakan secara bergantian. Gulma yang terdapat pada petak percobaan adalah Mimosa pudica, rumput, dan ciplukan, yang dikendalikan secara manual sebanyak 4 kali selama percobaan. Hama yang menyerang antara lain adalah ulat grayak (Spodoptera exigua). Hama ulat grayak mulai menyerang bawang merah pada ± 17 HST dengan indikasi serangan yaitu adanya lubang pada daun, terdapatnya telur ulat dan ulat pada batang daun, daun terserang menjadi transparan serta akan terlihat bercak-bercak putih, hingga akhirnya daun menjadi terkulai. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan temperatur pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase daya tumbuh pada pengamatan 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot basah, bobot kering kotor, dan bobot kering bersih per tanaman maupun per petak, kecuali penyusutan
bobot umbi bawang merah setelah perlakuan temperatur pengeringan dan persentase daya tumbuh pada pengamatan 10 HST. Kultivar memberikan pengaruh nyata terhadap penyusutan bobot umbi bawang merah, persentase daya tumbuh pada 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan dan bobot kering bersih per petak. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan temperatur pengeringan, kultivar bawang merah, dan interaksi antara keduanya terhadap peubah yang diamati disajikan pada Tabel 2 yang dirangkum dari Tabel Lampiran 1 sampai dengan Tabel Lampiran 5. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Kultivar (A), Temperatur Pengeringan (B), dan Interaksinya (A*B) Umur (HST)
Peubah Penyusutan Bobot Umbi
Kultivar (A)
Temperatur Pengeringan (B)
A*B
0.0080**
0.0001**
0.0016**
Persentase Daya Tumbuh
10 30
0.0585tn 0.0102*
0.0001* 0.3554tn
0.5750tn 0.3768tn
Tinggi Tanaman
15 30 45 60 75
0.0001** 0.0078** 0.0166* 0.0067** 0.0210*
0.0597tn 0.3182tn 0.3087tn 0.2217tn 0.5662tn
0.5632tn 0.1547tn 0.9105tn 0.3070tn 0.2373tn
0.0105*
0.3196tn
0.7137tn
0.1445tn
0.7352tn
0.8146tn
0.1556tn
0.2345tn
0.6991tn
Bobot Kering Bersih per Tanaman
0.1736tn
0.6276tn
0.3181tn
Bobot Kering Bersih per Petak
0.0307*
0.3134tn
0.8664tn
Jumlah Anakan Bobot Basah Bobot Kering Kotor
Keterangan
:
tn *
: tidak nyata ** : berbeda nyata pada α= 1 % : berbeda nyata pada α= 5 %
Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan temperatur pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyusutan bobot umbi bawang merah setelah dikeringkan. Pengeringan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari langsung, memberikan hasil penyusutan paling tinggi pada kedua kultivar dibandingkan dengan perlakuan temperatur pengeringan lainnya. Tabel 3. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah Perlakuan Temperatur Pengeringan
Kultivar Lampung Tembaga Batu ----------------%----------------
Jemur Matahari (kontrol)
11.88(19.95a)
2.12(8.09cde)
30 0C
3.69(11.03bc)
0.69(4.60ef)
35 0C
3.08(9.98bcd)
0.13(1.17f)
40 0C
4.92(12.80b)
1.02(5.47e)
45 0C
1.27(6.42de)
1.50(6.83de)
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Angka dalam kurung adalah hasil transformasi ArcSin √%
Penyusutan bobot umbi hasil pengeringan jemur matahari (kontrol) untuk kultivar Lampung Tembaga sebesar 19.95 %, sedangkan pada kultivar Batu sebesar 8.09 %. Pada kultivar Lampung Tembaga, perlakuan temperatur pengeringan 45 °C memberikan penyusutan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan temperatur pengeringan lainnya. Hal ini diduga pengaruh perlakuan temperatur pengeringan tinggi yang diberikan secara langsung, berdampak pada adanya pengerasan pada kulit bawang dan memberikan perlindungan terhadap penyusutan air yang terkandung. Pada kultivar Batu, perlakuan temperatur pengeringan 45 °C memberikan hasil penyusutan yang paling tinggi dibandingkan perlakuan temperatur pengeringan dengan menggunakan oven (perlakuan temperatur pengeringan selain perlakuan jemur matahari). Hal ini dipengaruhi
oleh sifat genetik, kandungan air maupun sifat morfologi yang dimiliki tiap kultivar adalah berbeda. Hasil penelitian Musaddad et al., (1994), bahwa perlakuan penyimpanan bawang
pada suhu 30 0C menghasilkan
tingkat kekerasan tertinggi setelah
disimpan selama 4 minggu dibandingkan dengan suhu rendah (0 0C) yang memberikan hasil tingkat kekerasan terendah. Terdapat kecenderungan semakin tinggi suhu penyimpanan semakin tinggi pula tingkat kekerasan bawang merah. Hal ini dapat menyebabkan adanya perlindungan yang kuat dari kulit bawang selama proses pengeringan. Sehingga penyusutan bobot umbinya bernilai kecil. Kualitas kulit bawang adalah salah satu faktor yang menentukan daya simpan dan mempunyai peran penting dalam menjaga dormansi (Fustos, 1997 dalam Rabinowitch, 2002). Umbi bibit bawang merah yang telah mengalami perlakuan temperatur pengeringan berupa pengeringan selama empat jam, mengalami penyusutan bobot. Kultivar, perlakuan temperatur pengeringan maupun interaksi kultivar dan perlakuan temperatur pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap penyusutan umbi bibit bawang merah. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi laju semua proses fisiologi dan biokimia (Pantastico, 1986 dalam Musaddad et al., 1994). Suhu tinggi akan menyebabkan meningkatnya laju respirasi dan transpirasi lewat daun. Pengeringan bawang merah yang dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari memiliki kelemahan yaitu bawang banyak tercecer, bawang dapat terbakar panas matahari yang mengakibatkan terjadi perubahan warna, lunak, berair dan kehilangan kadar air berlebih yang menyebabkan tingginya susut bobot (Asgar et al., 1992). Menurut Musaddad et al., (1996), sengatan matahari langsung dapat mengakibatkan terjadinya keriput dan rusaknya jaringan pelindung pada umbi sehingga dapat menyebabkan pemudaran warna kulit umbi.
Persentase Daya Tumbuh Tanaman Hasil pengujian yang terdapat direkapitulasi hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa persentase daya tumbuh tanaman pada 10 HST dipengaruhi oleh perlakuan temperatur pengeringan, sedangkan pada pengamatan 30 HST
hanya dipengaruhi oleh kultivar dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan temperatur pengeringan. Analisis ragam persentase daya tumbuh tanaman ditampilkan pada Tabel Lampiran 2. Persentase daya tumbuh tanaman pada 10 HST adalah sebesar 64.73 % untuk kultivar Lampung Tembaga dan 81.90 % untuk kultivar Batu. Pada pengamatan 30 HST, terjadi peningkatan persentase daya tumbuh tanaman. Persentase daya tumbuh tanaman untuk kultivar Lampung Tembaga sebesar 73.32 % dan 98.40 % untuk kultivar Batu. Penyulaman bibit bawang dilakukan setelah 10 HST, sehingga pada 30 HST terdapat peningkatan persentase tanaman yang tumbuh. Pada pengamatan 10 HST, daya tumbuh tidak dipengaruhi oleh kultivar, sedangkan pada pengamatan 30 HST kultivar memberikan pengaruh terhadap persentase daya tumbuh bawang. Hal ini karena kedua kultivar memberikan respon terhadap penyusutan bobot umbi setelah perlakuan temperatur pengeringan dan respon terhadap persentase daya tumbuh pada 10 HST berupa mulai tumbuhnya tunas bawang. Pada 30 HST, umbi bibit kedua kultivar menunjukkan perbedaan respon pertumbuhan, akibat adanya perbedaan sifat masing-masing kultivar. Reaksi dari umbi bawang kemungkinan berkaitan kepada sifatnya. Pertunasan yang terjadi pada umbi bawang merah dipengaruhi oleh kandungan air dari bawang merah. Perlakuan temperatur pengeringan yang dilakukan menyebabkan penyusutan bobot umbi bibit bawang merah. Umbi bawang merah setelah pemberian perlakuan temperatur pengeringan mengalami penyusutan rata-rata sebesar 12.04 % untuk kultivar Lampung Tembaga dan 5.34 % untuk kultivar Batu. Pengeringan menyebabkan umbi bibit kehilangan air pada saat proses pengovenan maupun pada saat konservasi sebelum umbi ditanam.
Rabinowitch
(2002)
melaporkan
meningkatnya
penghambat
pertumbuhan dan giberelin yang menurun selama pengeringan pada bawang cv.’Sochaczewska’. Pada biji, salah satu efek gibberelin adalah mendorong pemanjangan sel, sehingga radikula dapat mendongkrak endosperma kulit biji, atau kulit buah yang membatasi pertumbuhannya (Salisbury dan Ross, 1995). Percobaan dilakukan pada masa musim kemarau, kondisi ini berpengaruh terhadap irigasi bawang merah, sehingga pemeliharaan tanaman dalam bentuk penyiraman dilakukan hanya satu kali sehari (pagi hari atau sore hari).
Daerah Lembang yang terletak pada dataran tinggi mempunyai kelembaban tinggi yang ditunjukkan oleh sering adanya kabut pada pagi hari. Menurut Sumarni et al., (1995), daerah yang sering berkabut akan mengurangi intensitas cahaya selain dapat menimbulkan bencana penyakit. Tabel 4. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Persentase Daya Tumbuh Tanaman pada Pengamatan 10 HST Kultivar Perlakuan Temperatur Pengeringan
Lampung Batu Tembaga --------------%--------------
Rata-rata
46.02
68.25
57.13c
30 0C
76.18
85.71
80.94ab
35 0C
65.87
80.94
73.40b
40 0C
61.90
82.53
72.20b
45 0C Rata-rata
73.67
92.05
82.86a
64.72
81.89
Jemur Matahari (kontrol)
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %
Pada pengamatan 10 HST, perlakuan temperatur pengeringan memberikan pengaruh terhadap persentase daya tumbuh tanaman. Perlakuan temperatur pengeringan 45 0C memberikan nilai persentase daya tumbuh tanaman paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan temperatur pengeringan lainnya. Berdasarkan uji lanjut, perlakuan 300 C dan 45 0C tidak berbeda nyata terhadap persentase daya tumbuh bawang. Perlakuan jemur matahari memiliki nilai penyusutan bobot umbi paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan temperatur pengeringan lainnya. Perlakuan kontrol, (jemur matahari) memberikan nilai persentase daya tumbuh yang paling kecil untuk semua perlakuan temperatur pengeringan. Hal ini diduga karena penyusutan yang terjadi, melebihi batas ambang kandungan air yang seharusnya dimiliki oleh bawang. Penyusutan umbi bawang pada perlakuan jemur matahari,
terjadi secara bertahap selama 7 hari sehingga menyebabkan tingginya penyusutan bobot umbi. Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa perlakuan temperatur pengeringan terendah (30 °C) menghasilkan persentase daya tumbuh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan temperatur pengeringan yang paling tinggi (45 °C). Menurut Brewster (1994), bahwa temperatur tinggi yang diaplikasikan segera setelah panen dapat meningkatkan kecepatan berkecambah dibandingkan dengan temperatur yang lebih sejuk. Perlakuan suhu 300 atau 350C yang diaplikasikan pada umbi yang dipanen setelah tiga minggu, mempercepat pertunasan saat penyimpanan kering pada suhu 150C. Perlakuan penyusutan bobot
temperatur
pengeringan
yang
dilakukan
menyebabkan
umbi bibit bawang merah. Setelah perlakuan temperatur
pengeringan diberikan, kedua kultivar mengalami penurunan bobot umbi bibit. Pengeringan menyebabkan transpirasi, pada saat proses pengovenan maupun pada saat konservasi sebelum umbi ditanam, sehingga umbi bibit kehilangan air. Kedua kultivar yang digunakan untuk percobaan memiliki karakter berbeda dan memiliki kandungan biokimia yang berbeda pula. Berikut gambar kedua kultivar :
a
b
Gambar 1. Bawang Merah Kultivar (a) Lampung Tembaga dan (b) Batu Kultivar Lampung Tembaga memiliki ukuran yang lebih kecil dengan berat rata-rata 2.9 gram per umbi, dibandingkan dengan kultivar batu yang memiliki ukuran lebih besar dengan berat rata-rata 26.2 gram per umbi. Bose dan Srivasta (1961); De Miniac (1970) dalam Sumiati et al., (2004) menyatakan bahwa karbohidrat merupakan bahan kimia yang dominan mengisi umbi bawang merah seperti halnya juga pada bawang bombay. Karbohidrat merupakan bahan baku untuk pertumbuhan dan perkembangan umbi bibit pada periode tumbuh
generasi selanjutnya. Semakin besar ukuran umbi, diasumsikan semakin banyak kandungan karbohidratnya. Sehingga umbi yang memiliki ukuran yang lebih besar untuk persentase tanaman tumbuh akan memberikan hasil yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena proses perkecambahan atau munculnya daun–daun pertama pada umbi yang lebih besar akan lebih cepat dibandingkan dengan umbi yang memiliki ukuran yang lebih kecil.
Tinggi Tanaman Pada
umumnya
penanaman
bawang
merah
dilakukan
dengan
menggunakan umbi yang ditanam secara utuh sebagai bahan perbanyakan. Teknologi perbanyakan umbi bawang merah secara konvensional, yaitu dengan menggunakan umbi, masih disukai petani karena caranya yang relatif lebih mudah (Sumiati et al., 2004). Tinggi tanaman bawang merah meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 15, 30, 45, 60, dan 75 HST, dengan cara mengukur tanaman bawang merah dari permukaan tanah sampai ujung daun yang terpanjang. Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2), kultivar memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman bawang merah. Tabel 5. Pengaruh Kultivar terhadap Peubah Tinggi Tanaman Umur
Kultivar Lampung Tembaga
Batu
------------- cm ------------15 HST
12.13b
20.61a
30 HST
20.91b
38.65a
45 HST
24.13b
51.56a
60 HST
37.95b
66.18a
75 HST
48.64b
68.64a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %
Keadaan bahan tanam sangat menentukan keragaman pertumbuhan pada tanaman yang dikembangbiakkan dari bagian vegetatif. Hal ini dikarenakan
susunan genetik dari bahan tanam yang berasal dari bagian vegetatif adalah sama, maka perbedaan pertumbuhan tanaman yang ditanam dalam keadaan demikian dapat dihubungkan dengan perbedaan bahan tanam (Sitompul dan Guritno, 1995). Perlakuan temperatur pengeringan yang diberikan pada umbi bawang merah, tidak memberikan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan terhadap tinggi tanaman. Hingga akhir pertanaman, respon tinggi tanaman akibat perlakuan temperatur pengeringan tidak berbeda nyata berdasarkan hasil sidik ragam. Respon tanaman terhadap pemberian perlakuan temperatur pengeringan berupa pengeringan ditunjukkan dengan susutnya bobot umbi yang mengakibatkan umbi kehilangan kandungan airnya. Hal ini menyebabkan tanaman berada pada kondisi yang tidak optimum untuk tumbuh. Setelah ditanam di lapang, diberikan penyiraman serta pemupukan, umbi bawang tumbuh dengan hampir seragam pada kondisi yang optimum untuk tumbuh. Jumlah Anakan Pada rekapitulasi data hasil (Tabel 2), jumlah anakan dipengaruhi nyata oleh kultivar. Pengaruh kultivar dan semua perlakuan temperatur pengeringan tidak memberikan hasil yang nyata terhadap jumlah anakan. Tabel 6. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Jumlah Anakan Perlakuan Temperatur Pengeringan
Jemur Matahari (kontrol) 30 0C 35 0C 40 0C 45 0C Rata-rata
Kultivar Rata-rata
Lampung Tembaga
Batu
2.76b
10a
6.38
3.16b 3.23b 2.63b 2.63b 2.88
9.63a 9.80a 8.03a 8.86a 9.26
6.39 6.51 5.33 5.74
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %
Jumlah anakan cenderung berpengaruh terhadap ukuran umbi. Rata – rata jumlah anakan pada kultivar Lampung Tembaga adalah 9.3 dan 2.8 pada kultivar Batu (Tabel 6). Umumnya semakin banyak jumlah anakan, semakin kecil
umbinya dan sebaliknya. Jadi, semakin sedikit jumlah anakan cenderung semakin besar ukuran umbi per anakan. Kultivar bawang merah menentukan proses pembentukan umbi. Ukuran bahan tanaman, jumlah tunas lateral dan waktu tanam mempengaruhi jumlah anakan per tanaman, ukuran umbi dan hasil umbi (Cohat, 1982; Ryu et al., 1998 dalam Rabinowitch, 2002). Penanaman bawang merah menggunakan umbi bibit yang umumnya mengandung 1-10 tunas (tergantung kultivar), yang masing-masing dilindungi oleh lapis dan membentuk lingkaran konsentris terpisah pada umbi. Setelah masa dormansi berakhir, tunas-tunas tersebut akan tumbuh dan muncul dari umbi membentuk kelompok 1-10 tanaman Pembentukan umbi lapis pada bawang merah terjadi akibat mobilisasi karbohidrat ke pangkal daun muda. Disini terjadi penghambatan pertumbuhan meristem apikal dan akar, umumnya terjadi bersamaan dengan penghentian pembesaran sel dan pangkal daun muda. Tanaman bawang merah dapat menghasilkan umbi yang baik, pada suhu udara agak panas, yaitu antara 20-30 0C dengan suhu udara rata-rata yang optimal sekitar 24 0C. Di daerah yang bersuhu 22 0C, tanaman bawang merah dapat membentuk umbi, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang bersuhu udara antara 25-32 0C, dan yang paling baik di daerah yang mempunyai suhu udara ratarata tahunannya 300C (Sumarni dan Rosliani, 1995). Saat panjang hari bertambah lebih lama dan temperatur meningkat, tanaman bawang mulai membentuk umbi. Selama proses ini, terjadi perubahan morfologi yang secara umum terjadi akibat dari mobilisasi cadangan makanan. Pembesaran umbi bawang merupakan kejelasan pertama dari penebalan dasar daun. Selama pembentukan umbi, perkembangan daun yang terletak dekat dengan shoot apex menggugurkan bilah daunnya dan dasar daun membesar. Saat umbi telah dewasa, tiga atau empat kulit terluarnya mengering dan menghilang atau tersisa sebagai pembungkus (Brewster, 1994). Bobot Basah Pada rekapitulasi data hasil (Tabel 2), kultivar maupun perlakuan temperatur pengeringan tidak memberikan pengaruh yang nyata untuk peubah bobot basah tanaman bawang merah. Hal ini berkaitan dengan jumlah anakan
yang dihasilkan, dimana kultivar Lampung Tembaga memiliki jumlah anakan yang lebih banyak meski ukurannya lebih kecil dari kultivar Batu. Kultivar Batu memiliki jumlah anakan yang lebih sedikit namun berukuran lebih besar, sehingga untuk kedua kultivar memiliki bobot basah yang tidak berbeda nyata. Tabel 7. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Bobot Basah Bawang Merah Kultivar Perlakuan Temperatur Pengeringan
Jemur Matahari (kontrol) 30 0C 35 0C 40 0C 45 0C Rata-rata
Lampung Batu Tembaga -------------g---------------
Rata-rata
86.73
127.33
107.03
107.87 94.48 72.97 82.66 88.94
124.39 138.53 114.67 147.02 130.39
116.13 116.50 93.82 114.84
Bobot basah rata-rata pada bawang merah kultivar Batu adalah sebesar 130.39 g dan 88.94 g untuk kultivar Lampung Tembaga. Panen bawang merah dilakukan pada umur 96 hari setelah tanam. Pada dataran tinggi bawang merah biasanya dipanen lebih lama yaitu pada umur 80-100 hari, dibandingkan dengan bawang pada dataran rendah yaitu pada umur 60-70 hari setelah tanam (Permadi dan Meer, 1994); sampai dengan ketinggian 1500 m di atas dipermukaan laut (dataran tinggi), bawang merah cenderung berumur lebih lama, ukuran umbinya lebih kecil, warnanya kulitnya kurang cerah sehingga kurang memikat (Ashari, 1995). Tanaman dipanen saat leher batang pada umbi telah rebah, mengempis serta daun yang mulai merebah dan berwarna kekuningan. Hasil penelitian berbagai ukuran diameter umbi dan kerapatan jarak tanam bibit bawang merah menunjukkan bahwa bobot basah dan kering hasil umbi bawang merah nyata dipengaruhi oleh ukuran umbi dan kerapatan tanam umbi bibit (Suwandi dan Hilman, 1995).
Bobot Kering Kotor Pengaruh
kultivar
dan
perlakuan
temperatur
pengeringan
tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap peubah bobot kering kotor pada bawang merah. Tanaman bawang merah yang telah dipanen, dijemur dibawah sinar matahari selama satu minggu sampai kering hingga menimbulkan bunyi gemerisik pada kulit luarnya. Bobot kering yang dihasilkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji nyata antar perlakuan temperatur pengeringan yang diberikan pada umbi bibit bawang merah. Perlakuan temperatur pengeringan dengan suhu 450 C memiliki nilai bobot kering yang paling tinggi, yaitu 53.40 g dibandingkan dengan perlakuan temperatur pengeringan lainnya (Tabel 8), meski tidak berbeda nyata antar perlakuan melalui uji lanjut. Tabel 8. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Bobot Kering Kotor Bawang Merah Kultivar Perlakuan Temperatur Pengeringan
Rata-rata Lampung Batu Tembaga --------------g--------------
Jemur Matahari (kontrol) 30 0C 35 0C 40 0C 45 0C Rata-rata
37.64 44.33 44.49 32.19 49.52 41.63
46.46 53.41 50.83 45.10 56.96 52.09
42.05 48.87 47.39 38.64 53.40
Menurut Asandhi et al., (2005), bobot kering dan kadar hara pada umbi ditentukan oleh serapan hara oleh tanaman bawang merah. Waktu panen berpengaruh kuat terhadap hasil panen maupun daya simpan. Umbi hasil panen tertinggi dicapai ketika tanaman tetap utuh sampai daunnya benar-benar telah kering. Di negara berkembang, untuk untuk daya simpan yang lebih lama, panen dilakukan ketika tanaman mencapai 50-90 % bagian atasnya telah rebah (Gubb dan MacTavish, 2002).
Bobot Kering Bersih Pengaruh
kultivar
dan
perlakuan
temperatur
pengeringan
tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap peubah bobot kering bersih per tanaman, namun pada bobot kering bersih per petak, kultivar memberikan pengaruh nyata terhadap hasil kering bersih. Setelah dilakukan penjemuran hingga kering, bawang dibersihkan dari daun dan kotoran yang mengering. Tabel 9. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Bobot Kering Bersih Bawang Merah Per Tanaman Perlakuan Temperatur Pengeringan
Jemur Matahari (kontrol) 30 0C 35 0C 40 0C 45 0C Rata-rata
Kultivar Lampung Batu Tembaga --------------g---------------
Rata-rata
31.18
35.80
33.49
34.37 35.62 23.86 30.45 31.09
46.18 40.46 42.93 42.37 41.55
40.27 38.04 33.39 36.41
Berat kering bersih per tanaman yang dihasilkan kedua kultivar tidak berbeda nyata. Berdasarkan jumlah anakan yang dihasilkan, dimana kultivar Lampung Tembaga memiliki jumlah anakan yang lebih banyak meski berukuran kecil dibandingkan dengan kultivar Batu yang menghasilkan jumlah anakan yang sedikit namun umbinya berukuran lebih besar. Sehingga tidak berbeda nyata untuk bobot kering per tanaman yang dihasilkan.
Tabel 10. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap Bobot Kering Bersih Bawang Merah Per Petak Perlakuan Temperatur Pengeringan
Jemur Matahari (kontrol) 30 0C 35 0C 40 0C 45 0C Rata-rata
Kultivar Lampung Batu Tembaga --------------g---------------
Rata-rata
678.0b
1477.3a
1062.6
716.7b 767.3b 733.0b 454.7b
1520.3a 1640.0a 1634.0a 1480.7a
1118.5 1203.6 1183.5 967.7
669.9b
1550.0a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 %
Tanaman bawang merah yang telah dipanen dan dijemur selama 2 minggu hingga kering, dibersihkan dari daun-daunnya hingga menghasilkan umbi protolan yang bersih. Kultivar Lampung Tembaga menghasilkan bobot kering bersih per petak yang lebih rendah dibandingkan dengan kultivar Batu, yaitu 669.9 g dan 1550.0 g. Dari hasil produksi per petak, umbi bawang merah yang dihasilkan pada percobaan untuk kultivar Lampung Tembaga adalah 5.0752 ton/ha, sedangkan untuk kultivar Batu sebesar 11.74 ton/ha. Yang menentukan tinggi rendahnya hasil produksi bawang merah diantaranya adalah umbi bibit yang digunakan. Faktor yang menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah diameter umbi. Diameter umbi bibit yang besar cenderung dapat menyediakan cadangan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya di lapangan (Suwandi dan Hilman, 1995). Kultivar Batu mempunyai ukuran umbi yang lebih besar dibandingkan dengan kultivar Lampung Tembaga. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan ukuran daun yang dihasilkan selama pertumbuhan tanaman di lapang. Daun pada kultivar Batu berukuran lebih besar dan lebih panjang dari bawang kultivar Lampung Tembaga. Tanaman yang mempunyai daun yang lebih luas pada awal pertumbuhan akan lebih cepat tumbuh karena kemampuan menghasilkan fotosintat yang lebih tinggi dari tanaman dengan luas daun yang lebih rendah. Produksi fotosintat yang lebih besar memungkinkan membentuk seluruh organ
tanaman yang lebih besar seperti daun dan akar yang kemudian menghasilkan produksi bahan kering yang semakin besar juga (Sitompul dan Guritno, 1995). Bahan kering tanaman bawang merah terdiri dari 70-85 % karbohidrat, terutama fruktan, glukosa, fruktosa dan sukrosa (Messiaen et al.,1993 dalam Rabinowitch, 2002). Pertanaman bawang merah yang dilakukan di masa kemarau yang tidak diiringi dengan irigasi yang baik, akan menurunkan hasil produksi bawang merah. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat menentukan keberhasilan panen bawang merah. Bila tanaman mengalami stress air secara luas, maka stomata akan menutup dan perlawanan difusif terhadap CO2 meningkat yang menyebabkan penurunan efisiensi fotosintesis (Brewster, 1994). Menurut Singgih (1999), tanaman bawang merah memiliki sifat tidak tahan kekeringan karena sistem perakarannya pendek. Sementara itu, kebutuhan air yang diperlukan cukup banyak, terutama selama pertumbuhan dan pembentukan umbi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlakuan jemur matahari (kontrol), memberikan nilai penyusutan bobot umbi yang paling tinggi untuk kedua kultivar yaitu 19.95 % untuk Lampung Tembaga dan 8.09 % untuk kultivar Batu. Perlakuan temperatur memberikan pengaruh terhadap persentase daya tumbuh tanaman pada 10 HST. Perlakuan temperatur jemur matahari (kontrol), memberikan hasil persentase daya tumbuh yang paling rendah, yaitu sebesar 57.13 %. Perlakuan temperatur 30 °C dan 45 °C memberikan hasil persentase daya tumbuh yang lebih tinggi, yaitu sebesar 80.94 % dan 82.86 % dari perlakuan 35 °C dan 40 °C yang memiliki persentase daya tumbuh sebesar 73.40 % dan 72.20 %. Kultivar Batu menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik ditunjukkan dengan persentase tanaman tumbuh sebesar 98.40 %, sedangkan kultivar Lampung Tembaga sebesar 73.32 %. Berdasarkan berat kering bersih per petak, umbi bawang merah yang dihasilkan pada percobaan untuk kultivar Lampung Tembaga adalah 5.0752 ton/ha, sedangkan untuk kultivar Batu sebesar 11.74 ton/ha.
Saran Untuk mengetahui pengaruh perlakuan temperatur lebih lanjut, dapat digunakan kisaran suhu yang lebih tinggi yang dikombinasikan dengan kultivar lain.
DAFTAR PUSTAKA Balitsa, 1996. Pengeringan. Teknologi Produksi Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman sayuran Lembang, Bandung. Hal 100. Ameriana, M dan T.A. Sutiarso. 1996. Persebaran, Produksi dan Konsumsi dalam Teknologi Produksi Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung. Hal 3-7. Asandhi, N dan Sumarni. 2005. Optimasi Pupuk dalam Usahatani LEISA Bawang Merah di Dataran Rendah. J.Hort .15(3): 199-207. Asgar, A, dan R.M. Sinaga. 1992. Pengeringan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan Menggunakan Ruangan Berpembangkit Vorteks. J.Hort .12(1): 48-55. Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta : UI Press. 285 hal. Brewster, J.L. 1994. Onions and Other Vegetable Alliums. CAB International, UK. 228 pages. Gubb, I.R, dan H.S. MacTavish. 2002. Onion Pre-and Postharvest Considerations. H.D Rabinowitch dan L.Currah (Eds.). Allium Crop Science : Recent Advances. CABI Publishing, UK. p 233-256. Histifarina, D, dan D Musaddad.1998. Pengaruh Cara Pelayuan Daun, Pengeringan dan Pemangkasan Daun Terhadap Mutu dan Daya Simpan Bawang Merah. J.Hort 8(1): 1036-1047. Justice, L.O. dan L. Bass. 1990. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. (Terjemahan). Rajawali Press. Jakarta. 446 hal. Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Ed.1.Cet.1. PT.Raja Grafindo Perkasa : Jakarta.xvi, 218 hal. Musaddad, D. dan R.M Sinaga. 1994. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.). Bul. Penel.Hort. Vol. XXVI No. 2. Mujumdar, Arun S. 2001. Panduan Praktis Mujumdar untuk Pengeringan Industrial. Sakamon Devahastian (Ed.). Alih Bahasa: Armansyah H. Tambunan. IPB Press. Bogor, Indonesia. 223 hal. Permadi, Anggoro H. dan Q.P. Van der Meer. 1994. Allium cepa L. Cv. Group Aggregatum. J.S Siemonsma dan Kasem Piluek (Eds.). Prosea Plant Resources of South East Asia 8 Vegetables. Bogor Indonesia.
Rabinowitch, H.D, dan R. Kamenetsky. 2002. Shallot (Allium cepa, Aggregatum Group). H.D Rabinowitch dan L. Currah (Eds.). Allium Crop Science: Recent Advances. p 409-426. Rubatzky, V.E dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 2. Prinsip, Produksi dan Gizi. ITB. Bandung. Rosliani, R., Suwandi, dan N.Sumarni. 2005. Pengaruh Waktu Tanam dan Zat Pengatur Tumbuh Mepiquat Klorida terhadap Pembungaan dan Pembijian Bawang Merah (TSS). J.Hort.15(3) : 192-198. Salisbury, Frank B., dan Cleon W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3. Alih Bahasa : Diah R Lukman dan Sumaryono. ITB, Bandung. 343 hal. Sitompul, S. M. dan Bambang Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 412 hal. Soedomo, P. 1992. Pengaruh Pemotongan Ujung Umbi dan Lama Penyimpanan Umbi Bibit bawang Merah (Allium ascalonicum L.) terhadap Hasil Umbi di Brebes, Jawa Tengah. J.Hort.2(1): 43-47. Statistics Indonesia. 2007. [23 April 2007]
Horticulture
Statistics
http://www.bps.go.id
Sumarni, Sumiati E., dan Suwandi. 2005. Pengaruh Kerapatan Tanaman dan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh terhadap Produksi Umbi Bibit Bawang Merah Asal Biji Kultivar Bima. J.Hort.15(1): 208-214. Sumarni, N dan R. Rosliani. 1996. Ekologi Bawang Merah. Teknologi Produksi Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung. Hal 12-17. Sumiati, E., N. Sumarni dan A. Hidayat. 2004. Perbaikan Teknologi Produksi Umbi Benih Bawang Merah dengan Ukuran Umbi, Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh, dan Unsur Hara Mikroelemen. J.Hort.14(1): 25-32. Sunaryono, H., P. Soedomo dan E.Reny. 1984. Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dari Bibit Dataran Rendah dan Dataran Tinggi. Buletin Penelitian Hortikultura. Vol XI (2):4-10. Lembang Suwandi, dan Y. Hilman. 1996. Budidaya Tanaman Bawang Merah. Teknologi Produksi Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung. Hal 51-56. Wibowo, S. 1999. Budidaya Bawang Bawang Putih, Bawang Putih, Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta. 194 hal.
Tabel Lampiran 1. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah Derajat Bebas Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 18.99, KK (b) = 23.50 Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat 15.407 336.385 5.455 250.195 120.295 66.775 794.514
Kuadrat Tengah 7.703 336.685 2.727 62.548 30.073 4.173
F- Hitung
Pr > F
1.85 123.32 0.65 14.99 7.21
0.1900 0.0080 0.5335 0.0001 0.0016
Tabel Lampiran 2. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Persentase Daya Tumbuh Tanaman Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F- Hitung
Pr > F
10.80 15.62 2.76 12.08 0.75
0.0011 0.0585 0.0932 0.0001 0.5750
0.29 96.42 0.34 1.18 1.13
0.7489 0.0102 0.7155 0.3554 0.3768
---------------10 HST---------------Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar *Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 16.22, KK(b) = 9.76
1106.153 553.076 2210.380 2210.380 283.054 141.527 2474.366 618.591 152.772 38.193 819.578 51.22 7046.305
---------------30 HST----------------Ulangan
2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar *Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 8.14, KK(b) = 13.93
84.255 42.127 4717.798 4717.798 97.856 48.928 677.470 169.367 647.539 161.884 2289.487 143.092 8514.407
Tabel Lampiran 3. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Tinggi Tanaman Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
FHitung
Pr > F
1.28 539.667 4.981 3.589 0.970 1.268
1.01 108.33 3.93 2.83 0.77
0.3853 0.0091 0.0410 0.0597 0.5632
0.920 2359.597 18.630 30.493 45.866 23.784
0.04 126.65 0.78 1.28 1.93
0.9621 0.0078 0.4736 0.3182 0.1547
92.363 5644.957 95.926 15.608 2.882 11.926
7.74 58.85 8.04 1.31 0.24
0.0044 0.0166 0.0038 0.3087 0.9105
46.137 5973.891 40.613 10.946 8.966 6.824
6.76 147.09 5.95 1.60 1.31
0.0074 0.0067 0.0117 0.2217 0.3070
-----15 HST----Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 13.63, KK (b) = 6.88
2.56 539.667 9.963 14.356 3.881 20.29 590.732 -----30 HST-----
Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 14.49, KK(b) = 16.37
1.840 2359.597 37.260 121.974 183.467 380.544 3084.685 -----45 HST-----
Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 25.87, KK (b) = 9.12
184.726 5644.957 191.853 62.435 11.528 190.816 6286.317 -----60 HST-----
Ulangan Kultivar (A) Galat (a) Temperatur (B) Kultivar * Temperatur Galat (b)
2 1 2 4 4 16
92.275 5973.891 81.226 43.784 35.864 109.193
Total 29 KK (a) = 12.23, KK (b) = 5.01 Sumber Keragaman
6336.236
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
FHitung
Pr > F
23.487 2908.508 63.072 6.509 13.212 8.5621
2.74 46.11 7.37 0.76 1.54
0.0946 0.0210 0.0054 0.5662 0.2373
-----75 HST-----
Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 13.57, KK (b) = 5.00
46.974 2908.508 126.145 26.036 52.848 136.998 3297.51
Tabel Lampiran 4. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Jumlah Anakan Derajat Bebas Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 29.75, KK(b) = 18.28 Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat 4.834 305.283 6.536 6.308 2.628 19.742 345.333
Kuadrat Tengah 2.417 305.283 3.268 1.577 0.657 1.233
FHitung 1.96 93.42 2.65 1.28 0.53
Pr > F 0.1734 0.0105 0.1015 0.3196 0.7137
Tabel Lampiran 5. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur Terhadap Bobot Umbi Bawang Merah Sumber Keragaman
Derajat Jumlah Kuadrat Bebas
Kuadrat Tengah
FHitung
Pr > F
4738.451 12884.110 2359.751 560.079 432.606 1116.891
4.24 5.46 2.11 0.50 0.39
0.0332 0.1445 0.1534 0.7352 0.8146
Bobot Basah Kotor Ulangan Kultivar (A) Galat (a) Temperatur (B) Kultivar *Temperatur
Galat (b) Total
2 1 2 4 4 16 29
KK (a) = 44.29, KK(b) = 30.47
9476.902 12884.110 4719.503 2240.319 1730.425 17870.262 48921.524
Bobot Kering Kotor Sumber Keragaman
Derajat Jumlah Kuadrat Bebas
Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar *Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 27.26, KK (b) = 19.79
Kuadrat Tengah
FHitung
Pr > F
1014.251 809.848 326.069 534.140 190.447 1375.179 4249.936
507.125 809.848 L163.034 133.535 47.611 85.948
5.90 4.97 1.90 1.55 0.55
0.0120 0.1556 0.1823 0.2345 0.6991
742.164 819.645 380.652 211.019 215.782 1275.970 3645.23
371.082 819.645 190.326 52.754 53.945 79.748
14.65 4.31 2.39 0.66 0.68
0.0255 0.1736 0.1239 0.6276 0.6181
0.04 31.06 4.55 1.30 0.31
0.9650 0.0307 0.0273 0.3134 0.8664
Bobot Kering Bersih per Tanaman Ulangan 2 Kultivar (A) 1 Galat (a) 2 Temperatur (B) 4 Kultivar * Temperatur 4 Galat (b) 16 Total 29 KK (a) = 37.97, KK (b) = 24.58
Bobot Kering Bersih per Petak Ulangan 2 2936.599 1468.300 Kultivar (A) 1 5815042.133 5815042.133 Galat (a) 2 374454.066 187227.033 Temperatur (B) 4 213311.800 53327.950 Kultivar * Temperatur 4 51214.866 12803.716 Galat (b) 16 658633.333 4116.583 Total 29 7115592 KK (a) = 38.97, KK (b) = 18.27
Tabel Lampiran 6. Data Cuaca di Kebun Percobaan Lembang (1.250 m dpl ) dari bulan Juli – Oktober 2006
Bulan
Suhu
Kelembaban
Curah Hujan
( 0C )
(%)
(mm/bulan)
Juli Agustus September Oktober Rata-rata
22.0 24.5 24.5 24.2 23.8
85.0 87.7 87.0 87.3 86.75
27.5 6.875
Gambar Lampiran 1.
(a) Lahan sebelum dan sesudah ditanami
(b) Awal pertumbuhan tanaman
(c) Masa dewasa dan bunga tanaman bawang
Gambar Lampiran 1. Kondisi Pertanaman di Lapangan
Gambar Lampiran 2.
Gambar Lampiran 2. Hasil Umbi Kultivar Lampung Tembaga Berbagai Perlakuan
Gambar Lampiran 3.
Gambar Lampiran 3. Hasil Umbi Kultivar Batu Berbagai Perlakuan