BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tuntutan masyarakat terhadap penyediaan pelayanan puskesmas yang lebih baik terus meningkat. Hal ini sekaligus mengindikasikan perlunya peran serta masyarakat dalam penyusunan desain pelayanan agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Namun pelibatan masyarakat oleh puskesmas selama ini lebih banyak bertujuan untuk penyampaian program pelayanan puskesmas dan belum secara signifikan terlibat dalam pengambilan keputusan. Penanganan keluhan masyarakat juga tidak melibatkan masyarakat. Upaya pemecahannya ditentukan sendiri oleh puskesmas tanpa mendialogkannya dengan masyarakat. Studi ini dimaksudkan untuk mengkaji proses partisipasi dalam pengambilan keputusan guna meningkatkan kualitas pelayanan puskesmas di Kota Yogyakarta. Proses partisipatif ini dilihat dari pendekatan deliberatif. Tidak banyak teori deliberatif yang menguraikan proses musyawarah yang sebenarnya (Gundersen, dkk 2006: 3), sedangkan studi ini memaparkan secara rinci musyawarah yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam studi partisipatif, telah banyak dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat. Melalui pendekatan deliberatif, studi ini dimaksudkan untuk melihat apakah proses partisipasi masyarakat berjalan, sejauh mana partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap
1
pengambilan keputusan, dan apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik dari pihak pemerintah, masyarakat, maupun fasilitator. Pendekatan
deliberatif
merupakan
salah
satu
pendekatan
dalam
pengambilan keputusan yang memberikan ruang bagi pelibatan masyarakat dengan merujuk pada proses komunikasi dan beorientasi pada pencapaian konsensus (Zakaria 2012: 18). Hal yang mendasari studi ini adalah penerapan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat di lingkup puskesmas di Kota Yogyakarta yang dilaksanakan pada pertengahan 2014 hingga awal 2015. Metode yang diamanatkan peraturan tersebut berfokus pada partisipasi masyarakat melalui prosedur yang menekankan aspek komunikasi dan interaksi antara masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan penjelasan mengenai konsep deliberatif dan metode yang dikembangkan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 di atas, ada tiga aspek yang mendasari pemilihan pendekatan deliberatif dalam studi ini. Pertama, metode ini memberikan penekanan pada partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan untuk perbaikan pelayanan publik. Selama ini keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan publik ketika isu telah dibingkai bahkan keputusan telah dibuat (Yang & Kathe 2007: 249). Salah satu ciri khas deliberasi adalah keterlibatan atau partisipasi masyarakat. Masalah publik merupakan preferensi utama dalam pengambilan keputusan. Mekanisme deliberatif lebih menjamin pengaruh masyarakat dalam pengambilan keputusan
2
sehingga keputusan yang diambil sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat (Conover, dkk 2002: 24, Rowe dan Frewer 2004: 515, Faishal 2007). Mekanisme partisipasi masyarakat yang digunakan dalam Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 berupa survei dan mekanisme kelompok diskusi (lihat Bierle 1998, Wang 2001, Rowe dan Frewer 2004). Selain keterlibatan langsung dalam proses, mekanisme ini memberi ruang yang cukup luas pada partisipasi masyarakat dalam bentuk pengaduan. Pengaduan masyarakat menjadi dasar atau sumber informasi bagi pihak-pihak yang berinteraksi untuk pengambilan keputusan perbaikan pelayanan publik. Kedua, metode yang dikembangkan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 menekankan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan untuk perbaikan pelayanan publik. Sejauh ini, pengambilan keputusan untuk perbaikan pelayanan menjadi kewenangan penuh dinas/instansi penyelenggara pelayanan publik (Utomo 2008: 165). Komunikasi dan interaksi yang dimaksud tentunya merupakan komunikasi yang seimbang. Sementara itu, pendekatan deliberatif menawarkan formulasi keputusan/kebijakan yang didasarkan pada komunikasi yang adil dan seimbang antarpemangku kepentingan (Habermas dalam Hardiman 2009, Dryzek dalam Warren 2011). Penggunaan pendekatan deliberatif dapat membantu memahami komunikasi dan interaksi tersebut, yaitu bagaimana setiap pihak saling menerima dan bertukar informasi, mendengar perspektif lain dan memodifikasi pandangan mereka, memeriksa secara kritis masalah, dan mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan (NCC 2008:1, Singer 2008, Fearon dalam Gauvin 2009: 1).
3
Ketiga, hasil keputusan mengenai perbaikan layanan yang diamanatkan oleh Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 merupakan hasil kesepakatan bersama antara masyarakat dan para pengambil kebijakan/penyedia layanan. Pendekatan deliberatif berorientasi pada konsensus (Habermas dalam Hardiman 2009). Adanya konsensus atau kesepakatan bersama ini diharapkan dapat lebih mengikat, baik bagi masyarakat, penyelenggara pelayanan publik, maupun pihak lain, untuk menjalankan keputusan tersebut. Penekanan pada partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan pelayanan publik menguat seiring dengan isu governance, yang mulai dipopulerkan Bank Dunia pada tahun 1992. Governance berarti mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah publik. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan sekaligus redefinisi pada peran warga. Warga negara, yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat, harus mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi sebagai pelaku (Krina 2003:3). Perubahan aspek from government to governance menandakan bahwa orientasi kekuasaan tidak lagi berpusat pada penguasa, tetapi pada proses dengan rakyat memegang yang peran utama dalam kebijakan dan pelayanan publik. Ada perubahan model pengambilan keputusan, dari model elitis yang menempatkan saran ahli sebagai sumber otoritatif menuju pendekatan yang menempatkan warga memiliki suara dalam pembuatan keputusan (Rowe dan Frewer 2004). Masyarakat terlibat sejak merumuskan hingga evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik (Purwanto 2008: 190, Rooney 2013: 4).
4
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat adalah pengaduan atau keluhan (Brewer 2007). Keluhan atau pengaduan masyarakat merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap pelayanan (NAO dalam Allsop & Kathryn 2007: 235). Keluhan atau pengaduan masyarakat ini dapat menjadi kesempatan bagi lembaga publik untuk meningkatkan pelayanan dan reputasinya, jika ditangani dengan baik (The Parliamentary and Health Service Ombudsman 2009: 3). Salah satu bentuk penanganannya
adalah
dengan
mengembangkan
mekanisme
pengelolaan
pengaduan. Hampir semua instansi pemerintah menyediakan media penampung aspirasi masyarakat, seperti kotak saran atau nomor telepon yang dapat diakses masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau aduan. Beberapa pemerintah daerah juga telah melakukan inovasi dalam pengembangan mekanisme pengelolaan
pengaduan.
Misalnya,
membuka
dialog
interaktif
antara
kepala/pejabat daerah dengan masyarakat melalui media radio, SMS pengaduan, penyelenggaraan citizen’s charter, dan pembentukan institusi penanganan pengaduan pelayanan publik (Cendikia, dkk 2007). Di lingkup puskesmas di Kota Yogyakarta, mekanisme atau prosedur pengelolaan pengaduan masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama ini telah diatur dalam Standar Pelayanan Publik. Kritik, saran, atau keluhan masyarakat dapat disampaikan langsung kepada petugas atau melalui media yang telah disediakan, seperti kotak saran, pesan singkat/short message system (SMS), telepon, maupun e-mail. Di samping itu, keluhan atau pengaduan masyarakat juga dapat disampaikan melalui layanan Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan
5
(UPIK)1. Berbagai keluhan atau pengaduan tersebut kemudian direkap dalam form keluhan pelanggan dan dianalisis oleh Tim Kepuasan Pelanggan yang terdiri dari para personel penyelenggara pelayanan publik. Berdasarkan hasil analisis, Tim
menentukan
tindak
lanjutnya.
Tindak
lanjut
tersebut
kemudian
diinformasikan kembali kepada masyarakat melalui e-mail, telepon, SMS, atau temu pelanggan, serta diumumkan di papan informasi. Apabila keluhan tidak dapat ditindaklanjuti oleh puskesmas, maka dikonsultasikan terlebih dulu ke Dinas Kesehatan; untuk selanjutnya dirumuskan tindak lanjutnya. Berdasarkan paparan di atas tampak bahwa dalam prosedur penanganan keluhan di puskemas tidak ada pelibatan masyarakat. Partisipasi masyarakat berhenti pada tahap pertama, yaitu penyampaian keluhan atau aduan, sedangkan analisis masalah dan keputusan tindak lanjut hanya dilakukan oleh puskesmas. Masyarakat hanya menerima informasi mengenai tindak lanjut tersebut. Itu pun hasil tindak lanjut atas keluhan juga tidak pernah diinformasikan kembali kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki ruang untuk mengawal proses pembahasan ataupun tindak lanjutnya. Mekanisme yang dibangun tidak transparan dan pengambilan keputusan cenderung bias terhadap kepentingan birokrasi (Sennett 2003 dan Serber 1980 dalam Allsop & Kathryn 2007: 236-237). Akibatnya, masyarakat tidak memiliki jaminan bahwa keluhan yang disampaikan diterima dan direspons dengan baik oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kebijakan perbaikan layanan. Studi mengenai efektivitas 1 UPIK merupakan institusi yang dibentuk Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai wujud transparansi informasi sejak tahun 2003 untuk menampung semua informasi, keluhan, pertanyaan, usul/saran dari dan untuk masyarakat, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
6
pengelolaan pengaduan masyarakat dengan penyelenggaraan pelayanan publik menyatakan bahwa partisipasi masyarakat selama ini belum ideal karena tidak dapat mempengaruhi desain dan kebijakan pelayanan publik (Utomo 2008). Keluarnya Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat didasari pertimbangan bahwa peningkatan kualitas pelayanan harus dengan tindakan nyata perbaikan, perlunya partisipasi masyarakat pengguna pelayanan, dan informasi yang transparan kepada masyarakat pengguna pelayanan tentang tindakan perbaikan pelayanan. Metode yang ada dalam permenpan tersebut berupa rangkaian tindakan sistematis yang dimulai dari pengelolaan pengaduan masyarakat pengguna pelayanan sebagai dasar awalan (orientasi), merumuskan tindakan nyata perbaikan pelayanan, memantau dan mengevaluasi keberhasilan dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat, khususnya masyarakat pengguna pelayanan. Gambar 1.1 menunjukkan keterkaitan sekuensial lima komponen utama yang ada dalam metode ini (Lampiran Permenpan Nomor 13 Tahun 2009).
Gambar 1.1 Metode Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat berdasarkan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 Sumber: Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, 2009 7
Beberapa
daerah
telah
mengembangkan
mekanisme
pengaduan
berdasarkan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 ini. Tahun 2012, sebelas kabupaten/kota di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur, yang didampingi Konsil LSM Indonesia bekerja sama dengan USAID-KINERJA mengembangkan metode tersebut, khususnya dalam pelayanan pendidikan,
kesehatan,
dan
pelayanan
peningkatan
iklim
usaha
(http://konsillsm.or.id/?p=357). Instansi lain yang didampingi adalah RSUD A.M Parikesit Tenggarong dan BP2TPM Kota Banjarmasin.2 Namun belum ada studi yang mengkaji penerapan peraturan tersebut. Pada pertengahan 2014, Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta memfasilitasi delapan belas puskesmas di Kota Yogyakarta untuk menerapkan metode yang diatur dalam Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 tersebut. Fasilitasi itu dimaksudkan guna meningkatkan kualitas pelayanan puskesmas, khususnya pelayanan usaha kesehatan perorangan yang dilakukan di dalam gedung puskesmas. Selanjutnya fasilitasi tersebut melibatkan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada sebagai fasilitator selama proses. Aktivitas fasilitasi mencakup tahapan kegiatan berikut (Gambar 1.2).
2 Lokakarya Mekanisme Pengaduan Masyarakat di RSUD A.M. Parikesit, Tenggarong (15-16 Juli 2009) (http://diklataparatur.blogspot.com/2009/10/lokakarya-mekanisme-pengaduan_09.html). Lokakarya Mekanisme Pengaduan Masyarakat di BP2TPM Kota Banjarmasin (16-17 Juli 2009) – (http://diklataparatur.blogspot.com/2009/10/lokakarya-mekanisme-pengaduan_07.html).
8
Tahap 2 Survei
Tahap 1 Lokakarya
Tahap 3 Analisis Masalah
Tahap 4 Lokakarya
Partisipan: Masyarakat, LSM, LSM, masyarakat, Puskesmas, puskesmas, Instansi lain: Dinkes, instansi lain, DBGAD, BKD, DPDPK, dan Bappeda
Partisipan: Masyarakat masyarakat
Partisipan: Masyarakat, LSM, LSM, masyarakat, Puskesmas puskesmas
Partisipan: Masyarakat, LSM, LSM, masyarakat, Puskesmas, puskesmas, Instansi lain: Dinkes, instansi DBGAD, BKD, DPDPK, dan Bappeda
Tujuan: Mengidentifikasi mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan pelayanan puskesmas
Tujuan: Mengumpulkan data data mengumpulkan mengenai keluhan atau pengaduan masyarakat
Tujuan: Mengidentifikasi mengidentifikasi penyebab keluhan dan rumusan pemecahan berdasarkan IPM
Tujuan: Merumuskan janji janji merumuskan perbaikan pelayanan dan rekomendasi kebijakan
Output: Masukan penyusunan penyusunan masukan instrumen survei
Output: Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM)
Output: Alternatifsolusi solusi alternatif pemecahan masalah
Output: Rumusanjanji janji rumusan perbaikan pelayanan, rekomendasi
Gambar 1.2 Tahapan Fasilitasi Pelaksanaan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 di Puskesmas di Kota Yogyakarta oleh PSKK UGM Sumber: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM 2014, diolah Kegiatan diawali dengan lokakarya yang melibatkan puskesmas dan masyarakat pengguna layanan untuk mengetahui permasalahan dan kebutuhan pelayanan puskesmas. Selain puskesmas, instansi pemerintah lain yang dilibatkan adalah Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Bangunan, Gedung, dan Aset Daerah (DBGAD); Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK); serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta. Instansi-instansi tersebut memiliki kewenangan dalam alokasi sumber daya manusia, anggaran, dan barang dalam
9
rangka peningkatan kualitas pelayanan puskesmas. Hasil lokakarya ini menjadi masukan bagi penyusunan instrumen survei kepada masyarakat pengguna. Survei bertujuan untuk menggali lebih banyak keluhan atau pengaduan masyarakat. Hasil survei berupa indeks pengaduan masyarakat. Langkah selanjutnya adalah menganalisis hasil survei untuk diketahui akar masalah atau penyebab keluhan dan menentukan alternatif solusi untuk merespons keluhan atau pengaduan tersebut. Analisis dilakukan oleh penyedia pelayanan dan juga masyarakat pengguna. Hasil analisis ini menjadi dasar untuk menghasilkan kesepakatan atau konsensus berupa rumusan janji perbaikan layanan antara penyedia layanan dengan masyarakat serta rekomendasi kebijakan bagi instansi pemerintah lain yang terkait.
1.2
Rumusan Masalah
Partisipasi masyarakat yang dimaksud dalam studi ini berupa keluhan atau pengaduan. Di lingkup puskesmas di Kota Yogyakarta, keluhan masyarakat selama ini dikelola melalui mekanisme yang telah diatur dalam Standar Pelayanan Publik. Namun penanganan keluhan selama ini bersifat kasuistik (case by case), insidental, personal, dan reaktif. Meski telah diatur dalam Standar Pelayanan Publik, tetapi kebanyakan puskesmas tidak menyelenggarakan temu pelanggan. Kalaupun menyelenggarakannya, lebih bersifat untuk menggali dan/atau menginformasikan persoalan pelayanan puskesmas, tetapi tidak untuk membuat keputusan bersama dalam rangka perbaikan pelayanan. Keluhan masyarakat yang masuk tidak pernah dikaji dan dirumuskan pemecahannya secara bersama-sama
10
antara masyarakat dan puskesmas. Menurut penuturan beberapa kepala puskesmas dan perwakilan masyarakat, pelibatan masyarakat oleh puskesmas selama ini juga lebih banyak bersifat penyampaian informasi dari puskesmas kepada masyarakat, bukan pelibatan dalam pengambilan keputusan. Metode dalam Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 menekankan pada partisipasi dan komunikasi dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Diakui oleh pihak puskesmas dan masyarakat, metode tersebut dirasakan sebagai hal baru di lingkup puskesmas. Penerapan permenpan tersebut akan dikaji melalui pendekatan deliberatif. Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas di Kota Yogyakarta berdasarkan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 dilihat dari pendekatan deliberatif? Rumusan masalah ini dapat diturunkan dalam beberapa pertanyaan berikut. 1.
Bagaimana
mekanisme
partisipasi
masyarakat
dalam
pengambilan
keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas? 2.
Sejauh mana partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan? Mengapa?
3.
Apa yang menjadi determinan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas?
11
1.3
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan menjelaskan proses pengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas di Kota Yogyakarta dari pendekatan deliberatif. Secara spesifik, tujuan penelitian adalah sebagai berikut. 1.
menjelaskan
mekanisme
partisipasi
masyarakat
dalam
pengambilan
keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas 2.
menjelaskan pengaruh partisipasi masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas
3.
menjelaskan determinan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pelayanan puskesmas.
1.4
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Teoretis: diharapkan hasil studi ini dapat digunakan sebagai informasi pembanding dan referensi bagi studi tentang partisipasi dan studi kebijakan dan pelayanan publik, khususnya dari pendekatan deliberatif.
2.
Praktis: hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan memahami proses peningkatan kualitas pelayan publik berdasarkan partisipasi masyarakat. Selanjutnya, informasi tersebut dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, baik secara teknis maupun substansif, khususnya dalam penerapan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 pada jenis pelayanan publik lainnya.
12
1.5
Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian yang dimaksud dibandingkan dengan beberapa studi sebelumnya di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, belum ada studi yang mengkaji mengenai penerapan metode berdasarkan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009. Kedua, aspek penting dalam permenpan tersebut adalah partisipasi masyarakat berupa pengaduan masyarakat. Kebanyakan studi mengenai pengaduan masyarakat dari aspek manajemen pengelolaan yang ada di instansi pengelola pengaduan masyarakat. Ketiga, terkait dengan studi partisipasi, secara metodologis, belum banyak dilakukan studi partisipasi masyarakat yang menganalisis data sekunder selama proses pengambilan keputusan. Studi sebelumnya kebanyakan dari pendekatan kuantitatif. Keempat, kebanyakan studi deliberatif berkaitan dengan resolusi konflik. Studi ini menggunakan pendekatan deliberatif yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik. Tabel 1.1. Keaslian Penelitian No
Peneliti (Tahun)
Fokus/Kajian Penelitian
A. Studi terkait dengan Penerapan Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 Belum ada B. Studi di Indonesia terkait dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan 1. Suroso, dkk (2014) Melihat derajat partisipasi atau kekuasan yang dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan keputusan serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Desa Banjaran Kecamatan Driyorejo, Kab. Gresik. Derajat partisipasi dilihat berdasarkan teori Arnstein. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal (usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, lama tinggal) dan faktor eksternal (komunikasi dan kepemimpinan). Studi ini menggunakan metode kuantitatif eksplanasi.
13
No 2.
Peneliti (Tahun) Erawati, Intan & Mussadun (2013)
Fokus/Kajian Penelitian Menjelaskan tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung dengan menggunakan metode kuantitatif. Faktor yang mempengaruhi partisipasi adalah faktor internal (usia, jenis kelamin, pengetahuan, tanggungan keluarga, pekerjaan, dan penghasilan) dan faktor eksternal, yaitu para pemangku kepentingan terhadap program.
C. Studi di Indonesia terkait dengan Pengelolaan Pengaduan Masyarakat 1 Prasetya, dkk (t.t.) Menjelaskan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pengaduan di Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Malang. Melalui pendekatan new public service, studi ini menjelaskan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pengaduan dipengaruhi oleh faktor internal organisasi, seperti sarana dan prasarana, sumber daya manusia, sistem, dan kewenangan. 2 Afidah (2013) Menjelaskan efektivitas pelaksanaan mekanisme komplain di RSU Haji Surabaya. Studi ini menggunakan indikator empathy, fairness, accesible, dan responsiveness untuk menjelaskan efektifitas mekanisme komplain. 3 IGI (a) (2012) Menjelaskan pengelolaan pengaduan masyarakat di Puskesmas Kauman Tulungagung. Studi ini melihat pengelolaan pengaduan sebagai bagian dari citizen’s charter (Kontrak Layanan) untuk meningkatkan pelayanan publik. 4 IGI (b) (2012) Menjelaskan peran advokasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kabupaten Jeleponto melalui Lembaga Pengaduan Masyarakat. 5 Utomo (2008) Mengkaji kinerja Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) Kota Semarang dalam menangani pengaduan masyarakat, sekaligus menganalisis tingkat partisipasi masyarakat melalui P5. Studi menggunakan pendekatan tangga partisipasi masyarakat. 6 Purwanto (2008) Mengkaji efektivitas pengelolaan pengaduan di Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) DIY. Efektivitas pengelolaan pengaduan diukur berdasarkan standar operasional dan penilaian umum masyarakat, yang dilihat dari kemudahan akses masyarakat menyampaikan keluhan, peran dan fungsi mediasi lembaga pengaduan, serta netralitas dan independensi lembaga pengaduan.
14
No
Peneliti (Tahun)
Fokus/Kajian Penelitian
D. Studi di Indonesia terkait dengan Pendekatan Deliberatif 7 Gibson, Christoper Mengkaji pelaksanaan Program Pengembangan & Michael Kecamatan (PPK) menggunakan pendekatan kontestasi Woolcock (2008) deliberatif untuk melihat manajemen konflik yang ditimbulkan oleh program. Studi ini dalam kerangka pemberdayaan masyarakat marginal. 8 Kusuma (2012) Mengkaji forum warga di Kabupaten Bandung, yaitu FKKB (Forum Konstituen di Kabupaten Bandung) dengan menggunakan teori demokrasi deliberatif dan teori demokrasi asosiatif; untuk melihat relasi lembaga tersebut dengan aktor demokrasi lain di Kabupaten Bandung. 9 Sutomo & Deditiani Mengkaji pengelolaan penambangan pasir besi di Tri Indrianti (2013) Kabupaten Lumajang dengan fokus pada pola interaksi antarpemangku kepentingan, pola kebijakan, dan strategi kebijakan deliberatif dalam pengelolaan penambangan pasir besi. 10 Sufianti (2014) Mengkaji relokasi PKL di Kota Surakarta yang menekankan pada peran kepemimpinan dalam perencanaan kolaboratif, dimana perencanaan deliberatif menjadi bagian dari perencanaan kolaboratif.
15