BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin sering masyarakat mengetahui dan mendengar berita mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang mengetahui perihal kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence. Pacaran (dating) dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran (Tucker, 2004). Pacaran atau dating didefinisikan sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini (Straus, 2004). Terdapat beberapa fungsi dating dalam kehidupan seseorang, yaitu rekreasi dan hiburan, meningkatkan status, belajar bersosialisasi, kesempatan eksplorasi, dan salah satu cara untuk memilih pasangan hidup (Green dalam DeGenova, 2008). Cate & Lloyd, dalam DeGenova tahun 2008 berpendapat bahwa masa pacaran (dating) penting untuk dilalui karena tujuan dari dating itu sendiri adalah saling mengenal pasangan lebih lanjut, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan setelah menikah.
Dilihat dari pernyataan di atas, timbul anggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Pemuda-pemudi juga merasa kalau tidak memiliki pacar rasanya tidak lengkap. Ada di antara mereka yang baru putus cinta dalam waktu 2 hingga 3 bulan saja sangat ingin memiliki pacar lagi. Namun ternyata pada kenyataannya tidak semua hubungan pacaran merupakan hubungan yang harmonis penuh keindahan dan kegembiraan. Terbukti dari wawancara singkat yang dilakukan oleh penulis dengan salah satu korban kekerasan dalam pacaran sebagai sebuah studi awal. Peneliti melakukan wawancara terhadap salah seorang responden yang mengalami kekerasan dalam pacaran. Responden yang bernama Carissa (nama samaran) mengalami dua kekerasan yaitu kekerasan psikologis dan kekerasan fisik. “Gue dikatain pernah, dibilang macem-macem dengan bahasa kasar. Merasa terhina banget gue, sempat ngerasa rendah banget harga diri gue. Ditampar juga pernah pas berantem.Gara-gara dia ngga mau gue ngebela diri. Pokoknya gue salah aja. Dari nangis melulu sampai akhirnya diem aja pasrah.” Carissa hanya bercerita kepada sahabat terdekatnya akan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Orang tua Carissa sendiri tidak mengetahui bahwa anak mereka mengalami kekerasan dalam pacaran. “Gue nggak berani cerita sama nyokap bokap lah, pasti bakal merembet ke yang lain-lain. Gue takut. Cuma sahabat gue aja yang bener-bener gue percaya. Gue pernah nekat minta putus, dia minta maaf terus mohon-mohon sampai lebay kayak emang nyesel beneran. Dan gue maafin karena gue berharap dia bisa berubah. Gue terima, gue sayang banget sama dia soalnya.” Sejauh ini, Carissa sedang berusaha untuk tegas terhadap pelaku dan berniat melaporkan ke pihak berwajib apabila pelaku mulai berlaku kasar kembali.
KDP merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan definisi kekerasan terhadap perempuan itu sendiri, menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994 pasal 1, adalah “Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.” (Komnas Perempuan, 2002). Namun
demikian,
walaupun
termasuk
dalam
kekerasan
terhadap
perempuan, sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan saja, lelaki pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya (Mulford & Giordano, 2009) tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan dengan lelaki. Menurut Poerwandari (2006) ideologi gender menyebabkan dilestarikannya mitos serta pembedaan atau diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan dianggap lebih rendah, lemah, objek, hak milik, tidak mampu dan tidak memiliki hak untuk mengatur diri sendiri dan kepentingan lelaki. Pandangan demikian mengakibatkan timbulnya suatu keyakinan dimana perempuan dianggap lebih rendah dan rentan mengalami kerasan dibandingkan dengan laki-laki. Werdiono (2004) mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 1.663 perempuan di Jawa Tengah yang menjadi korban kekerasan berbasis jender sepanjang November 2003-Oktober 2004. Sebanyak 62 orang di antaranya meninggal dunia, sementara 1.601 orang lainnya menderita luka fisik dan trauma psikologis akibat tindak kekerasan. Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) melaporkan, selama setahun setidaknya ada 557 kasus
kekerasan berbasis jender di Jawa Tengah. Koordinator Divisi Monitoring LRCKJHAM, Fatkhurozi mengatakan, kasus perkosaan menduduki urutan teratas, disusul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual, dan pelanggaran hak tenaga kerja wanita (TKW). Tabel 1.1 Tabel Kekerasan Jender di Jawa Tengah 2003-2004 Kasus Kekerasan Berbasis Jender Selama November 2003-Oktober 2004 No. 1.
Jenis Kekerasan
Jumlah Korban
Jumlah Pelaku
181
254
269
Jumlah Korban yang Meninggal 8
137
203
200
22
108
112
116
17
74
944
tamu, aparat kepolisian
1
44
129
majikan, agen, aparat
14
7
7
8
0
6
14
15
0
Jumlah Kasus
Perkosaan Kekerasan dalam 2. Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan dalam 3. Pacaran (KDP) Kekerasan 4. Terhadap Pekerja Seks Kekerasan 5. Terhadap Tenaga Kerja Wanita 6. Pelecehan Seksual Perdagangan 7. Manusia Sumber: Suara Merdeka, 2004.
Kasus kekerasan dalam pacaran masih cukup tinggi, baik itu yang bersifat psikologis maupun fisik. Berdasarkan catatan Rinaldi (2008), kekerasan pada perempuan berada pada urutan kedua setelah kekerasan terhadap istri. Data kasus kasus kekerasan terhadap pacar yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1994 hingga tahun 2007 mencapai 703. Jumlah ini lebih rendah dibanding kekerasan terhadap istri yang mencapai 2.425. Kasus kekerasan pada perempuan lainnya adalah perkosaan sebanyak 281 kasus dan pelecehan seksual sebanyak
174 kasus. Pada tahun 2007 tercatat ada 37 kasus kekerasan dalam pacaran, sedangkan hingga bulan November tahun 2008 ada 19 kasus. Statistik Mitra Perempuan (2010) memaparkan bahwa pada tahun 2011 (hingga 10 Desember) di Jabodetabek, mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan terbanyak dilakukan oleh laki-laki yang mempunyai relasi perkawinan dengan perempuan yang menjadi korbannya. Diantaranya, suami, mantan suami, orang tua, anak, bahkan saudara atau kerabat. 90,43% dari 209 kasus kekerasan yang dialami perempuan tersebut merupakan kasus KDRT. 75,60% (158 orang) pelakunya adalah suami, 6,70% (14 orang) pelakunya adalah mantan suami, 8,13% orangtua/anak/saudara (17 orang). Terdapat juga 9.09% pelaku adalah pacar atau teman dekat. Dapat dilihat bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pacar atau teman dekat (9.09%) merupakan kekerasan urutan tertinggi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami (75,60%). Sembilan dari 10 perempuan yang melaporkan kasus kekerasan dalam pacaran terhadap Mitra Perempuan, mengalami dampak kekerasan terhadap kesehatan jiwa (mental health) termasuk seorang mencoba bunuh diri. Selain itu dampak lainnya ialah pada kesehatan fisik (35,41%) dan kesehatan reproduksi (1,44%). Lain lagi dengan data yang dimiliki oleh Kusumastuti (2012) yang menyebutkan bawa di tahun 2011 telah didapatkan sekitar 2.400 kasus kekerasan termasuk tindak kekerasan anak muda, tawuran, bullying serta pemerkosaan. Beberapa data lain tentang kekerasan yang terjadi pada anak muda dari hasil pantauan Prambors lewat internet, yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menemukan sebanyak 385 kasus dalam pacaran dari total 1.683 kasus kekerasan yang ditangani selama 1994-2011 (Kusumastuti, 2012). Selain itu, selama bulan
Januari hingga Juni 2011 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta juga menemukan 27 kasus kekerasan dalam pacaran. US Departement of Justice Statistics (2012) mengatakan bahwa, anak perempuan dan perempuan yang berada di antara usia 16 tahun dan 24 tahun termasuk dalam tingkat tertinggi yang mengalami kekerasan dari pasangan intimnya. Satu dari 5 anak perempuan sekolah menengah atas secara fisik atau seksual terluka oleh pasangan mereka. Hanya 33% dari remaja yang diketahui dan melaporkan tentang kekerasan yang mereka alami di dalam hubungan. Ironisnya, 82% orang tua dari remaja tersebut tidak mengetahui bahwa terjadi kekerasan dalam hubungan pacaran anak mereka (Women’s Health, 2004). Mulford & Giordano (2009) menyebutkan bahwa dari 77 remaja sekolah menengah yang mengaku mengalami kekerasan saat sedang berpacaran, 66% dari mereka mengaku bahwa selain mengalami kekerasan, mereka juga melakukan kekerasan itu sendiri pada pasangan mereka (mutually violent relationship). Kekerasan yang dialami perempuan sangat banyak bentuknya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat ekonomis. Seperti yang dipaparkan oleh Komnas Perempuan (2002), bentuk-bentuk kekerasan ini hadir dalam seluruh jenis hubungan sosial yang dijalani seorang perempuan, termasuk dalam hubungan pacaran. Bentuk-bentuk kekerasan fisik yang terjadi dalam konteks relasi personal yang
dialami
perempuan
mencakup,
antara
lain,
tamparan,
pemukulan,
penjambakan, pendorong-dorongan secara kasar, penginjak-injakan, penendangan, pencekikan, lemparan benda keras, penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti
pisau, seterikaan, serta pembakaran. Bentuk-bentuk penyiksaan psikologis yang dialami perempuan mencakup makian dan penghinaan yang berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang diberi untuk memunculkan rasa takut, larangan ke luar rumah atau bentuk-bentuk pembatasan kebebasan bergerak lainnya. Terakhir, kekerasan yang bernuansa seksual termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual, atau sering disebut ‘pelecehan seksual’, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks yang sering disebut sebagai perkosaan, menimbulkan kesakitan pada alat kelamin, pemaksaan hubungan seks kepada korban yang berada dalam kondisi terbius sehingga tidak dapat menolak, mengelak maupun melawan (Komnas Perempuan, 2002). Kasus yang nampak hanya kasus-kasus yang dilaporkan atau tanpa sengaja terbukti dan diketahui. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang tampak berupa fenomena gunung es (iceberg), dimana kasus sebenarnya masih jauh lebih besar lagi namun banyak hal yang membuatnya tidak muncul ke permukaan salah satunya adalah karena tidak dilaporkan (Women’s Health, 2004). Korban dan pelaku berusaha menutupi fakta yang ada dengan berbagai cara atau dalih, walaupun terkadang tanpa sengaja terungkap. Hanya 33% dari korban yang mengakui bahwa terdapat kekerasan dalam hubungan pacaran mereka (US Departement of Justice Statistics, 2012). Kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran kerap terjadi disebabkan karena
korban
menerima
diperlakukan
dengan
kasar
oleh
pasangannya.
Acceptance atau penerimaan terhadap kekerasan yang dialami korban memiliki pengertian yang sama dengan sikap seseorang yang membenarkan atau toleransi
terhadap kekerasan itu sendiri (Foshee et al., 1992 dalam Kaura & Lohman, 2007; Kaura, Lohman, & Scnurr, 2010). Namun menurut Kaura & Lohman (2007), sedikit penelitian yang meneliti mengenai pengaruh acceptance of dating violence pada korban kekerasan dan masalah kesehatan mental. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk meneliti hal tersebut ialah penelitian yang dilakukan oleh Jackson et al. (2000, dalam Kaura & Lohman, 2007) yang fokus melakukan penelitian terhadap perempuan,
dikarenakan
perempuan
lebih
rentan
mengalami
kekerasan
dibandingan dengan laki-laki. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat penerimaan kekerasan dan tingkat kesehatan mental korban. Artinya, jika seseorang adalah korban kekerasan kencan dan menerima diperlakukan dengan kasar, disimpulkan kesehatan mental mereka (depresi, kecemasan, dan somatik) terganggu. Penelitian secara konsisten di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penerimaan korban akan kekerasan dalam pacaran berhubungan negatif dengan kesehatan mental. Dalam sebuah studi nasional kesehatan perempuan di Amerika, dengan sampel acak perempuan berumur 18 sampai 64 tahun, perempuan yang mengalami kekerasan lebih dilaporkan memiliki diagnosis depresi atau gangguan kecemasan dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan (Plichta, 1996, dalam Tolman & Rosen, 2001). Sementara kesehatan mental meliputi berbagai gejala dan jenis yang difokuskan menjadi 3, diantaranya: depression, anxiety, and somatic health effects (Whitson & El-Sheikh 2003). Masalah kesehatan yang paling sering dilaporkan adalah depresi (Riger et al., dalam Goodkindet al., 2003). Carlson et al. (2003) melaporkan bahwa korban yang mengalami kekerasan lebih dari empat kali, lebih mungkin untuk melaporkan
depresi yang dialaminya dibandingkan orang yang tidak mengalami kekerasan sama sekali. Masalah kesehatan mental yang paling umum kedua yang terjadi dan telah dikaji adalah anxiety (kecemasan). Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa korban kekerasan pacaran melaporkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari kecemasan yang dialami oleh orang biasa yang tidak mengalami kekerasan dalam pacaran. Cascardi et al. (1995), yang memeriksa korban mahasiswa dalam hubungan
pacaran
mereka,
menemukan
bahwa
10%
melaporkan
tingkat
kecemasan yang signifikan. Carlson et al.(2003) menemukan bahwa lebih dari seperempat dari para korban kekerasan dalam pacaran dalam penelitian mereka telah mengalami tingkat kecemasan yang signifikan. Masalah kesehatan mental yang ketiga adalah gejala somatik. Gejala tersebut biasanya meliputi perubahan berat badan, sakit perut, sakit kepala, dan kegelisahan atau pusing (Coker et al., 2002). Gejala somatik cenderung tumpang tindih dengan gejala depresi dan kecemasan. Sebagai contoh, Kimerling & Calhoun (1994) menemukan bahwa tekanan psikologis dan keluhan somatik sering tumpang tindih dengan gejala depresi dan kecemasan pada korban perkosaan. Didukung dengan hasil penelitian Kaura & Lohman (2007) yang menyebutkan bahwa kecemasan dan somatis yang berdampak paling signifikan diantara 3 gelaja tersebut. Campbell et al. (2006) mengatakan bahwa perempuan yang berada dalam hubungan yang mengandung kekerasan juga akan mengalami peningkatan dalam stres dan kecemasan yang dapat menyebabkan dampak panjang pada kesehatan. Didukung dengan hasil penelitian Kaura & Lohman (2007) dengan responden mahasiswa yang tidak mengalami kekerasan dalam pacaran disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran tidak berhubungan dengan kepuasan dalam hubungan.
Kekerasan dalam pacaran terbukti berdampak negatif pada kesehatan mental yaitu depresi, kecemasan, dan somatis terhadap korban. Patut diketahui bahwa kekerasan dalam pacaran, bagaimanapun bentuknya, adalah suatu hal yang tidak pantas terjadi. Hubungan yang terdapat kekerasan di dalamnya tidak hanya menghambat kesejahteraan pasangan, tapi juga dapat membahayakan kesejahteraan pasangan (Whitson & El-Sheikh 2003). Sebagai manusia kita memiliki hak asasi untuk hidup tenang, aman, dan damai. Kekerasan harus dilaporkan, dengan demikian pelaku dapat mendapatkan penanganan yang tepat (konseling dan terapi) begitu pula dengan korban. Selain itu, dengan adanya penelitian ini, diharapkan bisa membuka pemikiran siapapun yang membacanya dan membuat mereka yang membacanya tidak memandang sebelah mata perihal kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran pada masa kini dan pelaku maupun korban harus ditangani secara khusus dan sesegera mungkin. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti hubungan antara kecemasan dengan penerimaan dari korban kekerasan dalam pacaran. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “Apakah terdapat hubungan antara kecemasan dengan acceptanceof dating violencepada diri perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran di Jakarta?”.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui mengenai hubungan antara kecemasan dengan acceptanceof dating violence pada diri perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran di Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian kekerasan dalam pacaran diharapkan memiliki dua manfaat, antara lain ; 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat
penelitian
ini
dari
segi
teoritis,
diharapkan
dapat
menyumbang referensi teoritis dalam bidang studi Psikologi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya, khususnya mengenai ketahanan diri perempuan dewasa muda yang mengalami kekerasan dalam pacaran. 1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi Dewasa Muda Memberikan informasi kepada perempuan dewasa muda khususnya mengenai kekerasan yang umumnya terjadi dalam hubungan pacaran dan lebih mawas diri atas tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi.
1.4.2.2 Bagi Orangtua Memberikan informasi kepada orangtua sebagai pengetahuan awal mengenai tindakan kekerasan yang ternyata dapat terjadi dalam hubungan pacaran, agar orang tua juga dapat memantau anaknya dalam hubungan pacaran. 1.4.2.3 Bagi Praktisi Psikologi & Lembaga Swadaya Masyarakat Penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi pihak lain dalam ranah konsultasi psikologis, proses konseling remaja, dan hubungan interpersonal lainnya yang berkaitan dengan bidang tersebut untuk dapat melakukan penanganan lebih lanjut.