BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Media massa menjadi alat komunikasi massa dalam menyampaikan pesan
secara massal, yang berarti mengarahkan pesan langsung ke sejumlah orang banyak tanpa tahu dengan pasti siapa saja yang sudah menerima pesan yang disiarkan oleh media. Media massa menurut Hall, pada dasarnya tidak memproduksi, melainkan menentukan ( to define ) realitas melalui kata-kata yang terpilih.1 Salah satu wujud media massa adalah televisi. Munculnya pertelevisian Indonesia dimulai saat Ketetapan MPRS No. II/MPRNS/1960, tertulis pada Bab I, Pasal 18, bahwa Pembangunan siaran televisi untuk keperluan pendidikan, yang dalam tahap pertama dibatasi pada tempat-tempat yang ada pada universitas di Indonesia. Atas dasar inilah, pemerintah pada 1961 memutuskan untuk mengadakan medium televisi disingkat P2TV.2 Siaran televisi (percobaan) di Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1962 saat ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Siaran resmi TVRI dimulai 24 Agustus 1962 jam 14:30 WIB, menyiarkan langsung acara Asean Games dari Gelora Bung Karno. Selama 27 tahun Indonesia hanya dapat menonton satu saluran televisi yaitu TVRI. Pada tahun 1989, kemudian muncul RCTI disusul SCTV, Indosiar, ANTV dan TPI. 1
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal. 40 2 Hidajanto Djamal & Andi Fachruddin, Dasar-Dasar Penyiaran, Kencana , Jakarta ,2011, hal . 30
1
2
Menjelang tahun 2000 menyusul televisi swasta baru (Metro, Trans,TV7, Lativi, dan Global) serta beberapa televisi daerah yang saat ini jumlahnya puluhan stasiun lokal. televisi berlangganan yang menyajikan berbagai program dalam dan luar negri.3 Bicara mengenai televisi tentu tidak lepas kaitannya dengan para pekerja media itu sendiri. Pers salah satu pekerja dalam media, sedikit banyak telah mengurai cerita dalam perkembangan pers di Indonesia. Di Indonesia, pers memuat cerita atau sejarah mereka sendiri sejak masa Kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan sampai kepada Reformasi. Semua era tersebut meninggalkan catatan-catatan mengenai keberadaan pers dan fungsinya di masa-masa tersebut, termasuk menyangkut kepentingan penguasa untuk memanfaatkan pers dalam langkah politiknya. Pada masa kolonial misalnya, Medan Prijaji kebijakan redaksi yang diambil Tirto yang memberi kelonggaran kepada pembacanya menulis apa saja dan mengadukan hak-haknya yang dicurangi. Kemudian muncullah De Express milik Indische Partij asuhan tiga serangkai Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo membawa kata sakti “merdeka” dan kemudian menjadi musuh bebuyutan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Tidak berhenti dimasa kolonial saja, pers di Indonesia masih tetap meninggalkan cerita, Indonesia pada Masa Orde lama yang dipimpin oleh Soekarno menggunakan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai alat untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Selama rezim Soekarno itu pers Indonesia berpretensi seakan-akan Indonesia
3
Morissan, Manajemen Media Penyiaran:Strategi mengelola radio & televisi, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 9-10
3
menganut sistem pers bertanggung jawab sosial, namun pada kenyataannya yang dijalankan adalah sistem pers otoriter terselubung. Cerita baru hadir pada Orde Baru, dimana Indonesia dipimpin oleh Bapak Pembangunan yaitu Soeharto. Perubahan politik yang terjadi hanya mengubah sistem pers otoriter yang terselubung ke sistem pers otoriter yang terang-terangan.4 Hingga akhirnya pada masa pemerintahan B.J. Habibie, undang-undang yang membatasi kemerdekaan pers dicabut, termasuk pencabutan peraturan tentang SIUP dan sebagai gantinya diberlakukan UU Pers Nomor 40 tahun 1999.5 Sampai sekarang peristiwa politik adalah salah satu jenis berita yang kerap kali dapat dilihat di media massa. Dapat diketahui, pers tidak pernah lepas dari masalah politik, sebab kehidupan pers merupakan indikator demokrasi.6 Kasus korupsi menjadi salah satu berita politik dari sekian banyak berita politik. Berdasarkan catatan ICW selama tahun 2005 saja ada sebanyak 71 Perkara korupsi dengan 243 orang terdakwa yang diperiksa yang diputus oleh pengadilan diseluruh Indonesia mulai dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), kasasi hingga peninjauan kembali (MA).7 Sedangkan politik yang menjadi bahan kajian sebuah berita memiliki artinya tersendiri, seperti yang diungkapkan oleh Joice Mitchel, politik adalah pengambilan keputusan kolektif
4
Edi Purwanto dkk, Pers dan Demokrasi, Program Sekolah Demokrasi dan Aperos Press, Malang, 2009, hal. 2-9 5 Ibid hal. 9 6 Aris Badara, Analisis Wacana : Teori, Metode, Dan Penerapannya pada Wacana Media, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2012, hal. 11 7 Dwi saputra, Qonik Hajah Marfuah,Supraptiningsih, Hukuman Percobaan Kasus Korupsi, KP2KKN, Jawa Tengah, 2006, hal. 107
4
atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat secara menyeluruh.8 Sedangkan menurut Harold D. Lasweel lebih tegas merumuskan politik sebagai ilmu tentang kekuasaan “when we speak of the science of politics, we means the science of power.9 Posisi Pers yang bertugas mempersiapkan berita yang akan diberitakan kepada khalayak namun perlu diingat berita tidak selalu bersifat idealis seperti yang dikatakan oleh Tebba bahwa berita yang dilaporkan oleh media ada yang bersifat ideologis, politis, dan bisnis.10 Perlu diketahui juga, kebenaran yang dilahirkan oleh media massa harus diuji kebenarannya, dipertimbangkan kebimbangannya, dan dicermati akurasinya. Sebab, sebagian fakta di media massa ternyata tidak semuanya mengandung kebenaran “hakiki” sebagaimana diharapkan banyak khalayak. Bahkan parahnya, tidak sedikiti media massa yang sengaja berbohong kepada publik demi mengejar sebuah kemenarikan.11 Hal tersebut tentu membuat khalayak media memiliki tugas cukup besar, yakni membedakan dengan cermat mana berita yang bersifat idealis, ekonomis atau politis. Padahal, sumber berita adalah media namun, ternyata kembali lagi menjadi tugas khalayak untuk dapat membedakan berbagai berita. Kepemilikan
media (media ownership), saat
ini mencapai praktek
konglomerasi media, katakanlah Media Nusantara Citra (MNC) yang menguasai langit penyiaran di Indonesia melalui kepemilikan sahamnya di RCTI, TPI dan 8
Suyuti S. Budiharsono, Politik Komunikasi, PT.Grasindo, Jakarta 2003, hal. 1 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep,Teori, dan Strategi, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 27 10 Aris Badara, op cit, hal. 11 11 Kun Wazis, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Aditya Media Publishing, Yogyakarta, 2012, hal. 126 9
5
Global TV. Bahkan kelompok usaha disebut terakhir ini juga tidak segan-segan terjun ke “neraka” persaingan media cetak dengan menerbitkan Seputar Indonesia.12 Seperti yang diketahui, adalah Hary Tanoesoedibjo yang bergabung dengan partai Nasdem pada Oktober 2011 lalu, dengan pendiri ormas yang kemudian berubah menjadi partai adalah Nasdem yang resmi berdiri pada 26 Juli 2011 lalu.13 Surya Paloh yang juga memiliki media dibawah naungannya yaitu Metro TV dan Media Indonesia. Singkatnya kepemilikan televisi (media ownership) dimiliki oleh calon politisi negeri ini. Jika konglomerasi media menguat, maka proses demokrasi media yang sudah dan sedang dijalankan akan terganggu dan menjadi krusial.14 Masih berkaitan dengan media, sebagaimana yang dikutip oleh peneliti dalam metrotvnews.com yang memuat bahwa mantan presiden Habibie memberi kritik terkait kebebasan mendirikan media. Habibie menyindir pemilik media yang belakangan terjun ke dunia politik. Habibie juga menekankan masalah objektivitas pers dalam pemberitaannya. Ia juga berpendapat, kemungkinan pemberitaan yang disesuaikan dengan agenda politik pemilik media dan mengatakan seharusnya ada revisi II penyiaran agar tercipta pers yang merdeka dan bebas.15
12
Amir Effendi Siregar, Potret Manajemen Media di Indonesia, Kreasi Tota Media, Yogyakarta , 2010, hal. 185-186 13 Mujib Rahman ( 2013, 24 Januari ). Perang Petinggi Partai Nasdem, http://m.gatra.com/fokusberita/23575-perang-petinggi-partai-nasdem.html. diakses 15 Maret 2012 01:50 14 Henry subiakto, Rachman Ida, 2012, komunikasi politik , media, dan demokrasi, Jakarta, Media group Kencana Prenada , hal .141 15 Mufti Sholih (2013, 08 Maret). Habibie Kritik Pemilik Media. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/03/08/6/136875/Habibie-Kritik-Pemilik-Media diakses, jumat 09/3/2013, pukul 0:18
6
Dalam kurun waktu berbeda, Djoko Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan ( Menko Polhukam ) ini, juga pernah berpendapat perihal keberadaan media yang diingatkan untuk tidak mau dipolitisasi. Dia menjelaskan mengenai kekuatan media dalam mengkonstruksikan sebuah kejadian dan dapat membentuk opini publik. Djoko menjelaskan kekuatan media yang bisa menghasilkan macammacam sudut, frame, dan warna yang realistis di lapangan. Ia menekankan bahwa media adalah sendi demokrasi, jangan mau dipolitisasi. Djoko juga mengingatkan kepada pekerja media dalam menjaga integritas. Terakhir Ia juga menyebutkan kepercayaan publik kepada pers lebih banyak yakni 77 persen dibanding kepercayaan publik kepada pemerintah hanya 47 persen berdasarkan survei Indo Barometer.16 Kedua sumber tersebut kurang lebih menyebutkan saat ini, tepatnya pada massa kebebasan pers. Media dianjurkan untuk tetap netral dan jangan sampai disalahgunakan oleh agenda politik pemilik media, yang nantinya ikut membentuk sebuah cerita dalam pemberitaan media itu sendiri.
Konstruksi realitas yang
dilakukan oleh media menurut pendapat Brian McNair, terdapat banyak perbedaan pembentukan opini publik oleh masing-masing media. Berita (news) merupakan informasi yang layak disajikan kepada publik. Berita yang tergolong layak adalah informasi yang sifatnya faktual, aktual, akurat, objektif, penting dan tentu saja menarik perhatian publik. Media massa juga memiliki kekuatan menciptakan sebuah
16
Djoko: Media Pilar Demokrasi, Jangan mau Dipolitisasi. http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=42256-Djoko:-Media-Pilar-Demokrasi,Jangan-Mau-Dipolitisasi, diakses 27 Februari 2013; pukul 15:00
7
realitas.17 Karena, Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas.18 Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, diantaranya realitas politik.19 Karena hal yang telah disebutkan di atas, peneliti berkeinginan melakukan penelitian mengenai konstruksi realitas politik dalam berita terkait kasus korupsi. Kasus korupsi memang menjadi perhatian khalayak dikarenakan korupsi yang dilakukan para koruptor dianggap merugikan negara dan masyarakat. Terkait kasus korupsi yang ada dalam media massa, khususnya dalam program Metro Highlights, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan Analisis framing dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Dengan demikian, realitas sosial dipahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Melalui analisis framing akan dapat diketahui siapa mengendalikan siapa, siapa lawan siapa, mana kawan mana lawan, mana patron dan mana klien, siapa diuntungkan dan siapa dirugikan, siapa menindas dan siapa tertindas dan seterusnya.20 Dalam penelitian ini, MetroTV menjadi stasiun televisi dengan programnya Metro Highlights yang hadir dilayar kaca pemirsa seminggu sekali tepatnya setiap hari sabtu. Beberapa kasus dilengkapi dengan judul dan karikatur pelengkap yang mungkin bisa dikatakan berani, adalah bahan kajian yang diteliti oleh peneliti. 17
Edi Purwanto dkk , Op.cit, hal. 21 Indah suryawati, Jurnalistik suatu pengantar : teori dan praktik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal. 67 19 Alex Sobur, op.cit, hal. 88 20 Eriyanto, Analisis Framing:Konstruksi,Ideologi,dan Politik Media, Lkis, Yogyakarta, 2002, hal. vi 18
8
Persoalan inti dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana sebuah media menyajikan berita, dengan melalui tahap-tahap konstruksi realitas terlebih dahulu. Sejauh mana kekuatan media menyebarkan sebuah berita ataukah benar media memiliki kekuatan menunjukkan sebuah realitas dan membentuknya menjadi opini publik searah dengan konstruksi realitas politik dalam berita terkait dengan kasus korupsi serta bagaimana citra politik yang ditampilkan. Penelitian ini juga akan memberi gambaran mengenai bagaimana kasus-kasus korupsi mendapat perhatian khalayak media setidaknya belakangan ini seperti kasus korupsi Hambalang. Kasus korupsi merupakan berita politik dengan melibatkan para politisi dan mereka yang memiliki kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan. Anggota Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif adalah politisi dalam politik. Tindakan yang mereka lakukan akan selalu di pantau oleh media. Media massa (pers) tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa politik. Melihat kebebasan media saat ini dengan berita yang mereka tampilkan terutama kasus korupsi yang ikut menderek para politisi, seiring dengan kebebasan yang dimiliki. Maka bagaimanakah cara insan media melaporkan berita-berita politik tersebut. Maka dalam penelitian ini, ada dua episode yang akan diangkat oleh peneliti yaitu, “Diaspora Korupsi Hambalang” dan “Tikus”. Kedua episode ini diambil dengan pertimbangan tema yang diangkat cukup mewakili berita korupsi yang ingin diteliti. Secara ringkas, kedua episode ini membuat sebuah analogi dan karikatur (animasi) serta cerita yang dimuat oleh program Metro Highlights.
9
1.2.
Rumusan Masalah Bagaimana program Metro Highlights melakukan Konstruksi Realitas Politik
terkait kasus korupsi episode “Diaspora Korupsi Hambalang” dan “Tikus” ?
1.3. Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Konstruksi Realitas Politik terkait kasus Korupsi episode “Diaspora Korupsi Hambalang” dan “Tikus” yang dilakukan oleh program Metro Highlights.
1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis Kiranya mahasiswa Komunikasi khususnya Broadcasting dapat mengenal lebih dalam, mengenai bagaimana pengemasan dan pembentukan sebuah realitas sebelum ditayangkan kepada khalayak media itu sendiri. Sejauh mana media menciptakan sebuah citra yang diberitakan dalam pembentukan opini publik. 1.4.2. Manfaat Praktis Keberadaan media maupun pers menggambarkan kondisi dan sistem yang dianut oleh sebuah negara. Tetapi yang perlu diingat adalah bagaimana pers dapat bertanggung jawab dengan setiap berita yang diberikan kepada khalayak. Mudahmudahan penelitian ini bisa mengingatkan kembali para insan pekerja media agar mempertahankan diri sebagai cerminan demokrasi bangsa yang baik yaitu dengan sistem pers tanggung jawab sosial.