BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Program perbaikan gizi masyarakat telah berjalan puluhan tahun, namun permasalahan gizi masih cukup kompleks dan terjadi di setiap siklus kehidupan, sejak kandungan (janin) hingga usia lanjut. Permasalahan ini berada pada satu sisi, sementara pada sisi yang lain masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu. Menurut Roesli (2008), untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu, maka salah satu tujuan pembangunan adalah membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas agar dapat melanjutkan perjuangan pembangunan nasional untuk menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Sumber daya manusia yang berkualitas dipengaruhi oleh status gizi dan kesehatan yang baik serta pendidikan dan pengetahuan. Kurang gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas, dan meningkatkan kesakitan/kematian (Depkes RI, 2010). Tujuan pembangunan kesehatan, seperti digariskan dalam sistem kesehatan nasional (SKN), adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.Departemen Kesehatan telah menentapkan 5 (lima) upaya untuk mewujudkan tujuan di atas yang dirumuskan dalam Panca Karya Husada. Karya kedua dari panca karya husada yaitu:
pengembangan tenaga kesehatan yang diarahkan untuk menyediakan tenaga bermutu dalam jumlah dan jenis yang sesuai sehingga mampu mengadakan perubahan, pertumbuhan dan pembaharuan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat (Ilyas, 2012). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan tujuan perbaikan gizi adalah untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Mutu gizi akan tercapai antara lain melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan professional di semua institusi pelayanan kesehatan. Salah satu pelayanan kesehatan yang penting adalah pelayanan gizi di puskesmas, baik pada Puskesmas Rawat Inap maupun pada Puskesmas Non Rawat Inap. Pendekatan pelayanan gizi dilakukan melalui kegiatan spesifik dan sensitif, sehingga peran program dan sektor terkait harus berjalan sinergis. Pembinaan tenaga kesehatan/tenaga gizi puskesmas dalam pemberdayaan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan dan terdekat dengan masyarakat. Puskesmas merupakan penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan tingkat pertama.Puskesmas dan jejaringnya harus membina Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat. Salah satu strategi untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan di puskesmas khususnya tenaga gizi atau tenaga pelaksana gizi (TPG) di puskesmas. Pelaksanaan pelayanan gizi di puskesmas diperlukan perlayanan yang bermutu, sehingga dapat menghasilkan status gizi yang optimal. Pelayanan gizi yang
bermutu dapat terlaksana jika tenaga pelaksana gizi puskesmas mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan gizi di Puskesmas (Kemenkes, 2014).Setiap puskesmas dibangun untuk mencapai tujuan tertentu, dimana puskesmas mengemban misi untuk memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bermutu bagi masyarakat. Menurut Wibowo (2014), untuk mencapai keberhasilan tujuan suatu institusi atau organisasi, diperlukan landasan yang kuat berupa: kompetensi kepemimpinan, kompetensi pekerja, dan budaya organisasi yang mampu memperkuat dan memaksimumkan kompetensi. Kompetensi adalah suatu kemampuan yang dilandasi oleh keterampilan dan pengetahuan yang didukung oleh sikap kerja serta penerapannya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan ditempat kerja yang mengacu pada persyaratan kerja yang ditetapkan (Sutrisno, 2015).Kompetensi tenaga pelaksana gizi yang baik menjadi sangat berguna untuk membantu puskesmas menciptakan budaya kinerja tinggi. Kompetensi sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan program perbaikan gizi masyarakat. Semakin baik kompetensimaka akan meningkatkan kinerja tenaga pelaksana gizi di puskesmas. Kinerja tenaga pelaksana gizi dinilai berdasarkan tugas pokok tenaga pelaksana gizi di puskesmas yaitu : melakukan penimbangan anak balita secara rutin di posyandu, melakukan pemantauan status gizi, melakukan pelacakan anak balita gizi buruk, memberikan PMT (program makanan tambahan) kepada anak balita bawah garis merah, mendistribusikan Vitamin A dosis tinggi di bulan Februari dan Agustus, mendistribusikan tablet Fe kepada ibu hamil, mendistribusikan kapsul
garam yodium, dan pemantauan garam yodium (Kemenkes, 2013). Kompetensi tenaga pelaksana gizi sendiri mencakup pengetahuan tentang penilaian status gizi anak balita, keterampilan untuk melakukan penilaian status gizi anak balita, dan sikap tanaga pelaksana gizi dalam melaksanakan penilaian status gizi anak balita. Menurut Guilbert yang dikutip oleh Hasibuan (2001), kinerja adalah sesuatu yang dapat dikerjakan seseorang sesuai dengan tugas pokoknya dimana tugas dan fungsinya yang dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan keterampilan. Suatu hal yang semakin disadari pada dasawarsa ini adalah sumber daya manusia merupakan asset yang paling bernilai tinggi dibandingkan sumber daya lainnya. Tingkat manfaat sumber daya lainnya, baik finansial ataupun non-finansial sangat tergantung kepada tingkat efektivitas pemanfaatan sumber daya manusia. Semakin tinggi kualitas dan manajemen sumber daya manusia, maka semakin tinggi hasil guna sumber daya lainnya. Saat ini sarana pelayanan kesehatan menghadapi dua tekanan secara simultan. Pertama, tekanan atau tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan harga terjangkau. Kedua, sulitnya mendapatkan sumber daya manusia di bidang kesehatan yang semakin terbatas untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pada kondisi seperti ini kualitas tenaga kesehatan sangat menentukan terhadap tingkat kinerja dalam memberikan pelayanan kesehatan. Balitbangkes (2005) menginformasikan bahwa ada indikasi rendahnya kinerja tenaga pelaksana gizi di lapangan. Puskesmas adalah sarana kesehatan terdepan yang memberi pelayanan kesehatan dan gizi kepada masyarakat di seluruh pelosok tanah
air. Tenaga pelaksana gizi puskesmas merupakan ujung tombak pelaksana program gizi, dan berhadapan langsung dengan masyarakat, karena itu perannya menjadi sangat penting adanya. Menurut LAN (2011), penilaian kinerja merupakan alat yang bermanfaat dalam upaya mencapai tujuan, melalui penilaian kinerja dapat dilakukan proses penilaian terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan penilaian kinerja dapat memberikan penilaian yang obyektif dalam pengambilan keputusan manajemen. Jadi penilaian kinerja dapat membantu meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya yang timbul dari kegiatan pemerintah, seperti halnya dengan kegiatan pemantauan status gizi di puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2005), bahwa pengetahuan dan keterampilan berkorelasi kuat dengan kinerja dan penelitian ini didukung oleh penelitian Riwayatuli yang menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Penelitian Adil menyatakan bahwa umur memiliki hubungan bermakna dengan kinerja dan menurut Kindangan terdapat hubungan yang bermakna antara pengembangan diri dengan kinerja tenaga kesehatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, besaran masalah gizi pada balita di Indonesia yaitu 19,6% gizi kurang, diantaranya 5,7% gizi buruk; gizi lebih 11,9%, stunting (pendek) 37,2%. Proporsi gemuk menurut kelompok umur, terdapat angka tertinggi baik pada balita perempuan dan laki-laki pada periode umur 0-5 bulan dan 6-11 bulan dibandingkan kelompok umur lain. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak masyarakat khususnya ibu balita yang mempunyai persepsi tidak benar terhadap balita gemuk.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan disetiap puskesmas, sarana dan prasarana untuk kegiatan pemantauan status gizi seperti dacin dan mikrotoa (microtoise) sudah tersedia. Tetapi dari hasil analisa data penilaian status gizi (PSG) yang diperoleh dari 14 puskesmas yang ada, ternyata sebanyak 5 puskesmas (35,7%) yang hasil analisa datanya salah, dimana hasil laporan dari puskesmas dievaluasi kembali oleh tenaga kesehatan di bidang gizi pada dinas kesehatan kabupaten aceh tamiang dan ternyata hasilnya masih ada kesalahan. Status gizi balita yang seharusnya baik tetapi dinyatakan buruk. Hasil penilaian status gizi dari 56 anak (0,51%) dengan katagori sangat kurus, setelah dilakukan analisa ulang dengan WHO Anthro 2005 ternyata hanya 29 anak (0,26%) yang katagori sangat kurus dan dari 529 anak (4,84%) yang status gizi dengan katagori kurus ternyata 533 anak (4,88%) yang status gizi kurus. Selain hasil analisa data yang berbeda, hasil pengukuran ulang terhadap anak yang katagori status gizi sangat kurus juga berbeda. Seperti anak yang seharusnya berat badan (BB) 10,5 Kg, tertulis di catatan 9,7 Kg yang pada akhirnya mempengaruhi hasil interpretasi status gizi anak. Masalah gizi pada anak balita masih di temukan di wilayah kerja Kabupaten Aceh Tamiang. Hasil pemantauan status gizi tahun 2014 ditemukan kasus gizi buruk sebanyak 1,16%, gizi kurang 10,97%, dan gizi lebih 2,42%. Masalah gizi yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah intake makanan yang rendah, penyakit infeksi dan tingkat ekonomi yang rendah, di samping itu kesalahaan pengolahan data yangakan mempengaruhi interpretasi data status gizi anak balita juga menjadi penyebab timbulnya angka kasus gizi (masalah gizi).
Tenaga pelaksana gizi yang ada di 14 puskesmas di Kabupaten Aceh Tamiang adalah 25 orang yang penyebarannya tidak merata di setiap Puskesmas. Tenaga pelaksana gizi yang ada diseluruh Puskesmas tidak semuanya berlatar belakang pendidikan Gizi. Sekitar 10 orang berpendidikan gizi (40%), 6 orang berpendidikan bidan (24%), dan 9 orang berpendidikan perawat (36%) (Dinkes Kabupaten Aceh Tamiang, 2014). Kegiatan pemantauan status gizi merupakan kegiatan rutin yang harus dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi dalam rangka untuk perencanaan kegiatan selanjutnya. Apa bila hasil yang diperoleh salah, maka perencanaan kegiatan di tahun berikutnya tidak mencapai sasaran atau target yang diharapkan. Misalnya anak yang seharusnya katagori gizi buruk akan mendapatkan PMT, tetapi karena hasil interpretasinya salah, maka anak tersebut tidak mendapatkan PMT. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti merasa perlu untuk mengetahui tentang Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015.
1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah kompetensi tenaga pelaksana gizi dapat mempengaruhi kinerja tenaga pelaksana gizi puskesmas tentang penilaian status gizi anak balita di Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2015.
1.3. Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) terhadap kinerja tenaga pelaksana gizi puskesmas tentang penilaian status gizi anak balita di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) terhadap kinerja tenaga pelaksana gizi di puskesmas tentang penilaian status gizi anak balita.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan untuk meningkatkan kompetensi terhadap tenaga pelaksana gizi dalam rangka perbaikan data dan kinerja tenaga pelaksana gizi. 2. Sebagai dasar pengambilan keputusan dalam menentukan strategi dan kebijakan untuk meningkatkan kinerja tenaga pelaksana gizi di puskesmas.