11
BAB 1 PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Paul Virilio dalam buku infotainment mengatakan bahwa televisi diibaratkan seperti sebuah bola raksasa yang melaluinya kita dapat melihat sudutsudut terpencil, ruang –ruang terjauh serta rahasia-rahasia terdalam dari setiap manusia yang masuk ke dalam jaringannya. Hanya dengan melihat televisi maka kita dapat menyaksikan keseluruhan dunia (Nugroho, 2005: 21). Televisi adalah salah satu media komunikasi massa elektronik yang dominan pada saat ini. Hadirnya media televisi, mau tidak mau harus diterima karena sudah merupakan satu kebutuhan informasi bagi masyarkat agar kita tidak tertinggal oleh kemajuan peradaban teknologi sekaligus mengetahui perubahanperubahan yang terjadi di belahan dunia lain. Dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Stasiun televisi masing-masing bertahan dengan menghadirkan berbagai program acara. Salah satu di antaranya adalah program acara infotainment. Infotainment termasuk dalam salah satu program acara hiburan televisi. Infotainment berasal dari kata “Informasi” dan “entertainment”. Infotainment sebenarnya adalah tayangan program televisi yang menyampaikan sebuah informasi yang disajikan dalam bentuk hiburan. Namun di Indonesia infotainment berubah dari tayangan informasi tentang dunia hiburan menjadi tayangan informasi mengenai kehidupan para artis di dunia hiburan.
12
Saat ini, stasiun televisi di tanah air banyak menyuguhi para pemirsa dengan tayangan berupa infotainment yang mengupas kehidupan para selebriti, mulai dari kehidupan karir sampai kepada kehidupan pribadi artis itu. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh satu stasiun televisi saja tetapi oleh beberapa stasiun televisi. Acara-acara infotainment ini juga di tayangankan setiap hari dengan jam tayang yang berbeda mulai dari pagi sampai sore hari. Tayangan infotainment pun bertebaran hampir diseluruh stasiun televisi di tanah air. Data AGB Nielsen menunjukkan bahwa infotainment mempunyai porsi jam tayang yang paling besar di antara program informasi lainnya, yaitu 41% dari total jam tayang program informasi di 10 stasiun televisi. Hal ini setara dengan 13 jam sehari. Masduki (2008) mengatakan bahwa liputan infotainment pada umumnya hanya mengedepankan unsur gosip, sensasionalisme dan tidak berorientasi pada kepentingan publik yang lebih luas. Dalam kasus program tayangan infotainment, kepentingan ekonomi rumah produksi (laba) dan televisi (rating) lebih dominan sehingga aktifitas teknik jurnalistik yang dilakukan pekerja kreatifnya mengalami degradasi kualitas dan menempatkan mereka tidak lebih sebagai “kuli gosip” saja. Program infotainment merupakan pilihan masyarakat ketimbang berita atau News. Rata-rata penonton infotainment dari bulan Januari-Maret 2008 mencapai 533 ribu tiap harinya sedangkan berita hanya 285 ribu. Dan menurut Andini, Communication Executive AGB Nielsen Media Research, dominasi tayangan infotainment lebih banyak jika dibandingkan dengan berita yang bisa mencapai 29 jam per hari (Tempo 27 Mei 2008).
13
Program infotainment semakin berkembang dan juga semakin marak memberitakan
perceraian
di
kalangan
selebritis.
Tiap-tiap
infotainment
menghasilkan kisah yang hampir sama. Tayangan yang menggambarkan kehidupan dunia selebriti ini sering kali diwarnai dengan banyak kasus perceraian dan perselingkuhan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan para selebritis. Kasus-kasus seperti ini banyak di bahas dalam tayangan infotainment bahkan tidak jarang bila ada satu kasus yang sedang hangat akan dibicarakan dalam beberapa kali tayangan. Kehidupan memang manusia tidak luput dari berbagai persoalan. Mulai dari persoalan-persoalan kecil sampai pesoalan-persoalan yang mungkin begitu rumit untuk diselesaikan. Salah satu persoalan yang tengah marak terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah semakin meningkatnya kasus perceraian. Sekretaris Badan Pengadilan Agama (Badilag), Farid Ismail mengatakan bahwa tahun 2009 lalu, perkara perceraian yang diputuskan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah mencapai 223.371 perkara. Namun demikian, selama Sembilan tahun terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 161.656 kasus perceraian di Indonesia. ”Artinya jika diasumsikan setahun terdapat dua juta peristiwa perkawinan, maka 8% di antaranya berakhir dengan perceraian.” Dengan demikian, meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan fakta yang tidak dapat dibantah lagi. (detikokezone.wordpress.com/2009/12/26/). Soyo Mukti (2008) berpendapat bahwa dalam tayangan infotainment, kawin cerai kalangan artis selebriti atau Public Figure menjadi menu utama yang
14
disajikan yang memiliki rating tinggi. Jurnalis acara infotainment berlomba-lomba mengejar informasi ekslusif mengenai kisah kawin cerai tersebut. Tayangan infotainment biasanya membahas dari penyebab perceraian hingga terkadang konflik rumah tangga artis tersebut.
Mereka ingin meliput
mulai dari penyebab perceraian, menyelidiki siapakah pihak ketiga, pengajuan gugatan di pengadilan, proses persidangan hingga keputusan majelis hakim. Hal ini menjadikan televisi seolah-olah hanya sebuah ruang yang di dalamnya apa-apa yang dirahasiakan secara sosial di dunia nyata, di dalamnya ditelanjangi untuk massa. Ia adalah sebuah tempat yang di dalamnya rahasia pribadi seseorang dapat dibongkar, dan dipertontonkan di dalam ruang publik. Berita-berita semacam itulah yang menjejali kita setiap harinya, tiap jam dan bisa saja tiap menit sampai-sampai seorang wartawan Jawa Pos pernah menyebut infotainment sebagai “Ceritatainment” karena dominannya berita perceraian di dalam tayangan kaca yang nyaris mengisi ruang kaca 24 jam sehari. Pemberitaan ini tidak hanya disiarkan sekali dalam seminggu tetapi bisa lebih dari lima kali dalam sehari melalui media televisi. Hal ini disebabkan banyaknya program infotainment yang hadir sebut saja dalam sehari mulai pagi terdapat Insert Pagi, Espresso, KISS, I-Gossip Pagi, Halo Selebriti dilanjutkan dengan Insert Siang, Silet, Hot Spot, Kasak-kusuk, Selebriti Update, I-Gosip Siang. Kemudian Sore hari ada Kros Cek, Cek&Ricek, Insert Investigasi, status selebriti. Dari beberapa infotainment yang disebut di atas sudah jelas kebanyakan isi berita yang disampaikan setiap harinya hampir sama.
15
Tabel I.1: Jadwal Tayang Beberapa Acara Infotainment di Televisi Nama Stasiun televise
Nama Tayangan
Hari penayangan
Jam Tayang
Was-was
Senin-Minggu
06.30-07.30
Halo Selebriti
Senin-Minggu
09.30-10.00
Status Selebriti
Senin-Minggu
11.30-12.30
Ada Gosip
Senin-Kamis
13.30-14.00
Kasak-kusuk
Senin-Kamis
14.30-15.00
Insert Pagi
Senin-Minggu
06.30-07.30
Insert Siang
Senin-Minggu
11.00-12.00
Insert Investigasi
Senin-Jumat
12.30-13.00
Go Spot
Senin-Minggu
06.00
Intens
Senin-Minggu
11.00-12.00
Kabar-kabari
Senin/Kamis/Minggu
15.00
Cek&ricek
Selasa/Rabu/Jumat/Sabtu
15.30-16.00
Indosiar
Kiss
Senin-Jumat
15.00
Trans 7
Selebriti Pagi
Senin-Jumat
07.30-08.30
Selebriti Siang
Senin-Jumat
12.00-12.30
Sabtu&Minggu
12.00
Minggu
12.30
SCTV
Trans TV
RCTI
Selebriti
On
the
weekend Pop Twitt
16
Sumber: Harian Kompas, Internet(Google)&Televisi Melalui tabel jam tayang acara infotainment di atas dapat kita lihat bahwa fakta tentang banyaknya tayangan infotainment yang setiap hari disajikan kepada pemirsa mulai dari pagi hari sampai sore hari oleh beberapa stasiun televisi dan hal ini adalah merupakan satu fakta yang tak bisa dibantah lagi. Bahkan ada beberapa stasiun televisi yang pada waktu bersamaan juga menayangkan infotainment dengan nama acara yang berbeda. Jadi setiap hari selalu ada tayangan infotainment yang mengisi ruang kaca pemirsa dengan durasi tayang 3060 menit setiap harinya. Berita perceraian selebritis yang selalu heboh ditayangkan di infotainment salah satunya dapat kita lihat saat berita perceraian Pasha “Ungu”. Hampir setiap hari, setiap jam, tiap infotainment menghadirkan berita yang sama bahkan berulang-ulang. Gambar yang dapat dilihat adalah “Pasha dikerubuti banyak wartawan untuk dimintai konfirmasi. Begitu pula dengan istrinya Okie. Dalam pemberitaan juga disebutkan bahwa ada pihak ketiga yakni Acha Septriasa dan Aura Kasih. Selain isu orang ketiga juga terdapat isu lain yakni kekerasan dalam rumah tangga. Semua orang yang bersangkutan dimintai keterangannya akan masalah tersebut. Belum lagi, isu yang dihadirkan dalam infotainment tersebut mempertajam konflik yang ada antara pihak yang terlibat. Kehidupan privasi antara Pasha, Okie, dan Acha pun diumbar di dalam televisi dan itu menjadi tontonan banyak orang. Bukan hanya Pasha tapi masih
17
banyak lagi artis lainnya seperti Dewi Persik/Aldi Taher, Kridayanti/Anang dan banyak lagi. Di samping fakta marak dan tingginya rating tayangan infotainment, terdapat juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya berita-berita perceraian dalam infotainment tersebut. Hal ini wajar saja mengingat sebagian masyarakat kita masih menganut pemahaman bahwa perceraian itu adalah hal yang privasi dan dianggap tabu/ tidak baik dibukakan kepada public. Protes-protes tersebut banyak yang ditunjukkan oleh berbagai kalangan mulai dari kalangan selebriti hingga MUI dan NU. Bahkan PBNU pernah mengeluarkan Fatwa Infotainment karena infotainment dianggap tergolong Qhibah yang artinya “bergunjing”. Informasi yang menghibur memang sangat baik, tetapi yang menjadi pertanyaan sejak kapan informasi harus menghibur sampai-sampai mengobokobok kehidupan pribadi seseorang yang sebenarnya memiliki wilayah privasinya sendiri? Apakah mengolok-olok kehidupan pribadi dapat dikatakan menghibur? Bukankah seharusnya kita malah prihatin dengan apa yang mereka alami? Mungkin kita tidak menyadari dampak infotainment yang bisa saja memunculkan perpecahan, saling curiga, saling menjatukan dan fitnah. Namun demikian dari beberapa kontra yang mencuat ke permukaan, terdapat pula beberapa pihak yang pro pada infotainment. Merdy R, Secretary Director Perempuan Indonesia mengatakan bahwa infotainment dapat berfungsi sebagai saluran aspirasi selebritis dan aktivitas perempuan dalam mempertemukan
18
ide-ide mereka dengan masyarakat dalam kemasan santai dan mudah dipahami (Kompas, 2008). Butet Kertadjasa mengatakan bahwa tayangan infotainment di televisi lambat laun akan kehilangan “Pasar”. Apabila tidak lagi diminati oleh masyarakat itu dikarenakan masyarakat merasa hal itu tidak pantas lagi untuk dinikmati. Biarlah masyarakat sendiri yang memilih yang mana yang pantas dan jika masyarakat tidak lagi menyukai tentu akan ditinggalkan. Berangkat dari persoalan pro/kontra tentang infotainment khususnya yang membahas tentang masalah perceraian tersebut membuat peneliti merasa tertarik untuk melihat bagaimana mayarakat memberi pandangan/persepsi tentang perceraian itu tersendiri setelah dijejali dengan berbagai tayangan-tayangan infotainment yang banyak kali berbicara tentang perceraian di kalangan selebritis. Walaupun sangat disadari bahwa persepsi seseorang tidak hanya ditentukan oleh informasi yang ia terima tetapi juga tergantung kepada banyak faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal maupun eksternal individu itu sendiri. Berdasarkan latarbelakang di atas peneliti merasa tertarik untuk melihat hubungan antara terpaan acara infotainment di televisi dengan persepsi ibu rumah tangga Lingkungan III Kelurahan Sunggal, Medan tentang fenomena perceraian. I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan perumusan masalah yakni: “Sejauh manakah Terpaan Acara Infotainment membentuk
Persepsi Ibu Rumah Tangga
Kelurahan Sunggal Medan tentang fenomena Perceraian.”
Lingkungan III,
19
I.3 Pembatasan Masalah Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan terlalu mengambang, peneliti merasa penting untuk melakukan pembatasan masalah yang lebih spesifik agar dapat menjadi lebih jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini hanya terbatas pada Terpaan Acara infotainment di kalangan Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan tentang fenomena Perceraian. Acara infotainment yang dipilih adalah semua infotainment di stasiun televisi swasta. 2. Yang dimaksud dengan persepsi adalah terbatas pada atensi, sensasi dan intepretasi Ibu Rumah tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan tentang fenomena Perceraian. 3. Responden adalah berjenis kelamin perempuan, karena menurut data AGB Nielsen tahun 2009 penonton infotainment terbanyak itu adalah perempuan. Rentang usia yang dipilih adalah mulai dari 20-50 tahun dan sudah menikah. 4. Penelitian ini akan dilaksanakan di Lingkungan III Keluarahan Sunggal Medan dan penelitian akan dilaksanakan pada awal bulan Maret sampai selesai.
20
I.4 Tujuan Penelitian 1) Untuk menganalisis terpaan Acara infotainment di kalangan Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan 2) Untuk menganalisis persepsi Ibu Rumah Tangga Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan mengenai fenomena perceraian. 3) Untuk melihat hubungan terpaan acara infotainment dengan persepsi Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan tentang fenomena Perceraian. I.5 Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang positif kepada kalangan akademisi lain khususnya mahasiswa FISIP Universitas Sumatera Utara
Departemen Ilmu Komunikasi
dalam
penelitian mengenai terpaan Media dan Persepsi. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menunjukkan penggunaan teori kultivasi dalam menganalisis terpaan acara infotainment 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca khususnya ibu rumah tangga dan mahasiswa perempuan agar lebih cerdas dalam menonton tayangan infotainment. I.6 Kerangka Teori Kerangka teori adalah merupakan kemampuan peneliti menggunakan pola pikirnya di dalam menyusun teori secara sistematis (Nawawi, 1991: 41). Teori mengandung tiga hal: pertama, teori adalah serangkaian proposisi antarkonsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu
21
fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antarkonsep. Ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya (Singarimbun 1995: 7). Dengan demikian teori diperlukan sebagai acuan, pedoman dan kerangka berpikir untuk mendukung pemecahan suatu masalah secara jelas dan sistematis. Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah: I.6.1 Teori Kultivasi
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania. Riset pertamanya pada awal tahun 1960‐an tentang Proyek Indikator Budaya (Cultural Indicators Project) untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Di mana Gerbner dan koleganya di Annenberg School for Communication ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan dan dipersepsikan penonton televisi. Tradisi pengaruh media dalam jangka waktu panjang dan efek yang tidak langsung menjadi kajiannya. Argumentasi awalnya adalah, “televisi telah menjadi anggota keluarga yang penting, anggota yang bercerita paling banyak dan paling sering” (dalam Severin dan Tankard, 2001:268). Dalam riset proyek indikator budaya terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya (Baran, 2003:324‐325). Pertama, televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi terdapat di lebih daripada 98 persen rumah tangga Amerika. Televisi tidak menuntut melek
22
huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara. Kedua, medium televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi. Ketiga, persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama). Keempat, fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual (ritual view/ berbagi pengalaman) daripada hanya sebagai medium transmisi (transmissional view). Kelima, observasi, pengukuran, dan kontribusi televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan. Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain untuk mengetahui dunia nyata macam apa yang dibayangkan, dipersepsikan
oleh
pemirsa
televisi.
Atau
bagaimana
media
televisi
mempengaruhi persepsi pemirsa atas dunia nyata. Asumsi mendasar dalam teori ini adalah “terpaan media yang terus menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya.” Artinya, selama pemirsa kontak dengan televisi, mereka akan belajar tentang dunia (dampak pada persepsi), belajar bersikap dan nilai‐nilai orang. Fokus utama riset kultivasi pada tayangan kriminal dan kekerasan dengan membandingkan
23
kepada prevalensi (frekuensi) kriminal dalam masyarakat. Salah satu apsek yang menarik dari Kultivasi adalah “mean world syndrome”. Nancy Signorielli (dalam Littlejohn, 2005:289) melaporkan kajian sindrom dunia makna dimana tayangan kekerasan dalam program televisi untuk anak‐anak dianalisis. Lebih dari 2000 program acara dalam tayangan prime time dan week ends dari tahun 1967 sampai 1985 dianalisis dengan hasil yang menarik. Kurang lebih 71 persen program prime time dan 94 persen program week ends terdapat aksi kekerasan. Bagi pemirsa pecandu berat televisi (heavy viewers) dalam jangka waktu lama ternyata hal ini memberi keyakinan bahwa tak seorang pun bisa dipercaya atas apa yang muncul dalam dunia kekerasan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pecandu berat televisi cenderung melihat dunia ini sebagai kegelapan/ mengerikan serta tidak mempercayai orang. Apa yang terjadi di televisi itulah dunia nyata. Televisi menjadi potret sesungguhnya dunia nyata. Gerbner dan koleganya berpendapat bahwa televisi menanamkan sikap dan nila tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat yang kemudian mengikatnya bersama‐sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing‐masing penonton itu meyakininya, sehingga para pecandu berat televisi itu akan mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu sama lain (Nurudin, 2003 :159). Sementara McQuail (2001:465) mengutip pandangan Gerbner bahwa televisi tidak hanya
24
disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari‐hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan. Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi ini merupakan yang sebenarnya. Kekerasan yang ditayangkan televisi dianggap sebagai kekerasan yang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang ditayangkan televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini. Inilah yang kemudian dalam analisis kultivasi televisi memberikan homogenisasi budaya atau kultivasi terjadi dalam dua hal mainstreaming (pelaziman) dan resonance (resonansi). Garbner melakukan penelitian dampak televisi dengan menggunakan metode survey analisis, dimana populasi dan sample adalah penonton pria dan wanita yang dibedakan berdasar usia yaitu; dewasa, remaja, dan anak-anak. Juga diperoleh data bahwa rata-rata orang menonton TV di Amerika Serikat adalah 7 jam sehari. Maka muncul istilah heavy viewers (pecandu berat televisi), Medium Viewer(penonton
dalam
intensitas
yang
sedang),
light
viewers
atau
viewers(penonton biasa). Para pecandu berat televisi akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, menanggapi perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan
25
mengatakan bahwa sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang sering ia tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena faktor cultural shock dari tradisional ke modern. Contoh lainnya yaitu pecandu berat televisi mengatakan bahwa 20% penduduk dunia berdiam di Amerika, padahal kenyataannya cuma 6%. Dengan kata lain, penilaian, persepsi, opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu.
Media
mempengaruhi
penonton
dan
masing-masing
penonton
meyakininya. Dengan kata lain pecandu berat televisi mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu dengan lainnya. Televisi, sebagaimana diteliti oleh Garbner dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” seseorang.
Ia juga
berpendapat bahwa gambaran adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan. Dengan kata lain perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian disekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi , bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga begitu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli Sidik, dll. Di sana terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat.
26
Dalam prespektif kultivasi adegan yang terjadi dalam acara-acara itu menggambarkan dunia kita yang sebenarnya. Bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah demikian luas dan mewabah. Acara itu menggambarkan dunia kejahatan yang sebenarnya yang ada di Indonesia (Nurudin, Komunikasi Massa:2003). Tuduhan munculnya kejahatan di dalam masyarakat disebut dengan “sindrom dunia makna”. Pecandu berat televisi memandang dunia sebagai tempat yang buruk, tidak demikian dengan pandangan pecandu ringan. Efek kultivasi memberikan kesan bahwa televisi mempunyai dampak yang sangat kuat pada diri individu. Mereka beranggapan bahwa lingkungan sekitarnya sama seperti yang tergambar di televisi. I.6.2 Terpaan Media ( Media Exposure ) Rosengren mengemukakan bahwa terpaan tayangan diartikan sebagai penggunaan media oleh khalayak yang meliputi jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis media, jenis isi media, media yang dikonsumsi dan berbagai hubungan antara khalayak dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan (Rakhmat, 2004:66). Terpaan media berusaha mencari data khalayak tentang penggunaan media baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan atau longevity. Frekuensi penggunaan media mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seorang menggunakan media dalam satu minggu (untuk meneliti program harian), berapa kali seminggu seseorang menggunakan media dalam satu bulan (untuk program mingguan) serta berapa kali sebulan seseorang
27
menggunakan media dalam satu tahun (untuk program bulanan), dalam penelitian ini program yang diteliti merupakan program harian. Untuk pengukuran variabel durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari) atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program. Sedangkan hubungan antara khalayak dengan isi media meliputi attention atau perhatian. Kenneth E. (2005) Andersen mendefinisikan perhatian sebagai proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol atau kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Penelitian dari Sulistyadewi (1995:23) menyatakan bahwa intensitas menonton dapat dihitung memakai parameter- parameter baku seperti frekuensi, durasi, dan atensi pemirsa. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa terpaan media dapat diukur melalui frekuensi, durasi, dan atensi. Berdasarkan pengertian terpaan media yang telah dijelaskan oleh Rosengren dalam Rakhmat (2001:66), maka cara mengukur terpaan media (acara infotainment) diukur dari durasi dan intensitas menonton.
I.6.3 Persepsi Persepsi pada dasarnya merupakan suatu proses yang terdiri dari pengamatan seseorang terhadap sesuatu informasi yang disampaikan oleh orang lain yang sedang saling berkomunikasi, berhubungan, atau bekerjasama, jadi setiap orang tidak terlepas dari proses persepsi. Persepsi dianggap lebih mendalam jika dibandingkan dengan opini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Le Boueuf yang mengatakan bahwa, “Persepsi adalah pemahaman kita
28
terhadap apa yang kita alami. Penafsiran kita terhadap apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar yang dipengaruhi oleh kombinasi pengalaman masa lalu, keadaan, serta psikologi yang benar-benar sama. Bagi setiap orang apa yang dipersepsikannya itulah kenyataan.” Menurut Mc Mahon (Adi, 1994:55), Persepsi diartikan sebagai proses menginterpretasikan rangsangan (input) dengan menggunakan alat penerima informasi (Sensory Information). Sedangkan Mergen, King, dan Robinson (Adi, 1994:55), berpendapat bahwa persepsi menunjuk pada bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, mengecap, dan mencium dunia sekitar kita. Dengan kata lain persepsi dapat pula didefenisikan sebagai sesuatu yang dialami oleh manusia. William James (Adi, 1994: 55) menambahkan bahwa persepsi terbentuk atas dasar data-data yang kita peroleh atau pengolahan ingatan (memory) kita diolah kembali berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Menurut Hindley dan Thomas (Adi, 1994:58), memberikan defenisi bahwa persepsi diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang menerima, memilih atau menafsirkan informasi. Kimbal Young mengatakan,”persepsi adalah sesuatu yang menunjukkan aktivitas merasakan, menginterpretasikan dan memahami objek baik fisik maupun sosial” (Walgito, 1986:89). Defenisi ini menekankan bahwa persepsi akan timbul setelah seseorang atau sekelompok orang terlebih dahulu merasakan kehadiran suatu objek dan setelah dirasakan akan menginterpretasikan objek yang dirasakan tersebut. Pendapat Young ini sejalan dengan William James (Adi 1994:55) yang mengatakan bahwa persepsi terbentuk atas dasar data-data yang kita proses dari
29
lingkungan yang diserap oleh indera kita serta sebagian lainnya diperoleh kembali berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu hal yang penting yyang dialami oleh setiap orang. Setiap orang akan menerima segala sesuatu berupa informasi ataupun segala rangsangan yang dating dari lingkungannya, dalam batas-batas kemampuannya. Segala rangsangan yang diterimanya tersebut diolah dan selanjutnya di proses. Persepsi seseorang tidaklah timbul begitu saja. Tentu ada faktor-faktor yyang mempengaruhi. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberi interpretasi yang berbeda tentang apa yang dilihatnya itu. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang: 1. Diri orang yang bersangkutan sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individu yang turut mempengaruhi seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya. 2. Sasaran Persepsi tersebut. Sasaran tersebut mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran tersebut biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Dengan kata lain gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan ciri-ciri lain dari sasaran persepsi itu turut menentukan cara pandang orang melihatnya.
30
3. Faktor situasi. Persepsi harus dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam pertumbuhan persepsi seseorang (Siagian,1989:101). Sejalan dengan ini (Kasali, 1994:23) mengemukakan faktor-faktor yang menentukan persepsi yaitu: a) Latar Belakang Budaya b) Pengalaman Masa Lalu c) Nilai-nilai yang dianut d) Berita-berita yang berkembang Jalalluddin Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi (2005) mengungkapkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor struktural yang berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu dan factor fungsional yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Dalam Sobur (2003:446) dijelaskan bahwa dalam persepsi terdapat tiga komponen utama yaitu: 1. Seleksi, adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. 2. Interpretasi,
yaitu
proses
mengorganisasikan
informasi
sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Sejalan dengan pendapat Rehan Khasali, menurut Sobur interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman masa lalu, system nilai yang dianut, motivasi kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang
31
untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. 3. Reaksi, yaitu persepsi yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. I.7 Kerangka Konsep Kerangka Konsep sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2001: 73). Sedangkan Kerangka Konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil yang akan dicapai (Nawawi,1991:40). Kerangka konsep memuat komponen-komponen yang akan diteliti beserta indikatornya untuk memperjelas penelitian yang akan dicapai. Berdasarkan kerangka teori yang telah ada dapat ditentukan pernyataanpernyataan yang bersifat konseptual. Kerangka konsep merupakan defenisi yang dipakai untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena ataupun fenomena alam.
Agar konsep-konsep
dapat
diteliti
secara
empiris,
maka
harus
dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas atau Independent variabel (X) Variabel bebas adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang menentukan dan mempengaruhi ada atau munculnya gejala atau faktor atau unsur yang lain (Nawawi,1995:57). Variabel Bebas dalam penelitian ini adalah Pola Konsumsi Acara Infotainment
32
2. Variabel Terikat atau Dependent Variabel (Y) Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang ada atau muncul dipengaruhi atau ditentukan oleh adanya variabel bebas dan bukan karena variabel lain (Nawawi, 1995:57). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Persepsi tentang Perceraian. I.8 Model Teoritis Variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut:
Variabel Bebas(X)
Variabel Terikat(Y)
Terpaan Acara Infotainment di Televisi
Persepsi Tentang Fenomena Perceraian
Gambar I.1. Model teoritis I.9 Operasional Variabel Berdasarkan kerangka teoori dan kerangka konsep di atas, maka dapat dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian sebagai berikut:
33
Table I.2. Operasional Variabel Variabel Teoritis
Variabel Operasional
Variabel Bebas(X)
a. Durasi:
Terpaan Acara Infotainment di
• Heavy Viewer
televise
• Medium Viewer • Light Viewer b. Intensitas Menonton
Variabel Terikat(Y)
•
Sensasi
Persepsi Tentang Perceraian
•
Atensi
•
Interpretasi
I.10 Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Defenisi operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur variabelvariabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995:46). Defenisi operasional variabel penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas (Terpaan Acara Infotainment) terdiri dari: 1) Durasi: Waktu yang dihabiskan dalam menonton. a) Heavy Viewer: Pemirsa yang menonton lebih dari 4 jam sehari
34
b) Medium Viewer: Pemirsa yang menonton tidak lebih dari 2-3 jam sehari c) Light Viewer: penonton biasa yang menonton tidak lebih dari 1-2 jam. 2) Intensitas menonton: frekuensi dalam menonton 2. Variabel Terikat (Persepsi Tentang Perceraian) terdiri dari: a) Sensasi: melalui alat – alat indra kita ( indra perasa, indra peraba, indra pencium, indra pengecap, dan indra pendengar). Makna pesan yang dikirimkan ke otak harus dipelajari. Semua indera itu mempunyai andil bagi berlangsungnya komunikasi manusia. Penglihatan menyampaikan pesan nonverbal ke otak untuk diinterprestasikan. Pendengaran juga menyampaikan pesan verbal ke otak untuk ditafsirkan. Penciuman, sentuhan dan pengecapan, terkadang memainkan peranan penting dalam komunikasi, seperti bau parfum yang menyengat, jabatan tangan yang kuat, dan rasa air garam dipantai.
b) Atensi : proses secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan, proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumber daya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Atensi dapat merupakan proses sadar maupun tidak sadar.
c) Interpretasi: proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Sejalan dengan pendapat Rehan Khasali, menurut Sobur interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi kepribadian dan kecerdasan. Tingakat pemahaman akan apa yang di sajikan dalam infotainment.
35
I.11 Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Champion, hipotesis merupakan penghubung antara teori dan dunia empiris (Kriyantono,2004:43). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ho:
Tidak terdapat hubungan antara terpaan acara tayangan infotaiment dengan persepsi Ibu Rumah Tangga Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan tentang fenomena Perceraian.
Ha:
Terdapat hubungan antara terpaan acara tayangan infotainment dengan persepsi tentang perceraian di kalangan Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal, Medan.
I.12 Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode ini bertujuan untuk meneliti sejauhmana variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variabel lainnya (Kriyanto, 2004:27). Metode Korelasional digunakan untuk meneliti hubungan diantara variabel-variabel. Dalam penelitian ini, metode korelasional digunakan untuk mencari hubungan antara Terpaan Acara Infotainment dengan Persepsi Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan tentang fenomena Perceraian. I.12.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan.
36
I.12.2 Populasi Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan dan tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam penelitian (Nawawi, 1997:141). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan. I.12.3 Sampel Sampel harus memenuhi unsur
representative dari seluruh sifat-sifat
populasi. Sampel yang representative dapat diartikan bahwa sampel tersebut mencerminkan semua unsur semua unsur dalam populasi secara proporsional atau memberikan kesempatan yang sama pada semua unsur populasi untuk dipilih, sehingga dapat mewakili keadaan yang sebenarnya dalam populasi (Kriyantono, 2006:115). Mengenai ukuran sampel, tidak ada ukuran pasti bagi periset (Kriyantono, 2009:161). Para ahli berpendapat jika jumlah populasi berkisar 100 ke atas maka ukuran sampel dapat diambil 10% atau 15% atau sampai 20% sampai 25% (Arikunto, 2006:134). Karena keterbatasan peneliti dilihat dari segi
waktu,
tenaga, dan dana, sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, besar kecilnya risiko yang ditanggung peneliti dalam penelitian, untuk menentukan besarnya sample dalam penelitian ini, maka digunakan rumusan dari Arikunto yakni ukuran sampel sebanyak 15% dari populasi. I.12.4 Teknik Penarikan Sampel
37
Teknik Penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Simple Random Sampling Teknik ini digunakan dalam penelitian yang anggota populasinya dianggap homogen. Pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi tersebut. I.12.5 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Penelitian Lapangan Pengumpulan data yang meliputi kegiatan survei di lokasi penelitian pengumpulan
data dari responden melalui:
1. Kuesioner yaitu alat pengumpul data dalam bentuk sejumlah pertanyaan tertulis yang harus dijawab secara tertulis pula oleh responden (Nawawi, 1995:117). Dalam hal ini peneliti akan menyebarkan kuesioner kepada Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sungga, Medan. 2. Wawancara yaitu alat pengumpul data yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan pula oleh responden (Nawawi, 1995:111). Dalam hal ini peneliti akan berdialog atau mewawancarai pihak-pihak terkait dengan permasalahan yang hendak diteliti. b. Penelitian Kepustakaan Dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dalam hal ini, penelitian kepustakaan dilakukan melalui buku, majalah, internet dan sebagainya.
38
I.12.5 Teknik Analisis Data Analisis data sebagai proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipresentasikan (Singarimbun, 2008:263). Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dalam beberapa tahap analisis yaitu: a. Analisis Tabel Tunggal Suatu analisis yang dilakukan dengan membagi-bagikan variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisis data yang terdiri dari dua kolom sejumlah frekuensi dan kolom persentase untuk setiap kategori (Singaribmun, 2006: 266). b. Analisis Tabel Silang Teknik yang digunakan untuk menganalisis dan mengetahui variabel yang satu memiliki hubungan dengan variabel lainnya sehingga dapat diketahui apakah variabel tersebut bernilai positiif atau negatif (Singarimbun, 1995: 273). c. Uji Hipotesis Uji hipotesis adalah pengujian data statistik untuk mengetahui data hipotesis yang diajukan dapat diterima atau ditolak. Untuk menguji tingkat hubungan antara kedua variabel yang dikorelasikan dalam penelitian digunakan Koefisien Korelasi Tata Jenjang oleh Spearman (Spearman’s Rho Rank-Order Correlation Coeficient). Spearman Rho Koefisien menunjukkan hubungan antara variabel X dan Y yang tidak diketahui sebaran datanya. Koefisien korelasi non
39
parametrik ini digunakan untuk menghitung data dua variabel yang ditetapkan peringkatnya dari yang terkecil sampai terbesar. Rumus untuk koefisien korelasinya adalah :
Rs = 1 −
6∑ d 2 N(N 2 − 1)
(Kriyantono, 2006:176)
Keterangan : Rs (rho) = koefisien korelasi rank-order Angka 1 = angka satu, yaitu bilangan konstan 6
= angka enam, yaitu bilangan konstan
d
= perbedaan antara pasangan jenjang
∑
= sigma atau jumlah
N
= jumlah individu dalam sampel
Spearman Rho Koefisien adalah metode untuk menganalisis data dan untuk melihat hubungan antara variabel yang sebenarnya dengan skala ordinal. Jika rs < 0,05 maka Ha ditolak Jika rs > 0,05 maka Ha diterima Untuk menguji tingkat signifikansi korelasi, jika N > 10, digunakan rumus ttest pada tingkat signifikansi 0,05 sebagai berikut :
t = Rs
N −2 1 − Rs 2
Keterangan :
(Suparman, 1990:218)
40
t
= nilai thitung
Rs/rho = nilai koefisien korelasi N
= jumlah sampel
Jika thitung > ttabel, maka hubungannya signifikan Jika thitung < ttabel, maka hubungannya tidak signifikan Selanjutnya
untuk
melihat
derajat
hubungan
(Kriyantono,
2006:170) sebagai berikut: Kurang dari 0,20
= hubungan rendah sekali; lemas sekali
0,20-0,39
= hubungan rendah tetapi pasti
0,40-0,70
= hubungan yang cukup berarti
0,71-0,90
= hubungan yang tinggi, kuat
lebih dari 0,90
= hubungan yang sangat tinggi; kuat sekali