327
BAB IV PERGESERAN ETIKA KOMUNIKASI DALAM ACARA INFOTAINMENT DI TELEVISI
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1
Materi tayangan dalam acara Infotainment di televisi yang menggambarkan tentang pergeseran etika komunikasi.
Beberapa contoh materi acara infotainment yang menggambarkan tentang pergeseran etika komunikasi adalah sebagai berikut: 1. Nama acara dan stasiun TV yang menyiarkan: Go Spot di RCTI Siaran
:
Isi/materi :
25 Februari 2009 Cerita tentang pernikahan siri Dewi Persik (DP) dengan Aldiansyah Taher (Aldi). DP mengatakan kata-kata pedas kepada Uztadz Zainuri dan Syaipul Djamil (SD atau Ipul). Ustadz Zainuri adalah yang menikahkan Dewi Persik dengan Aldi dianggap sebagai pembocor pernikahan siri tsb. Demikian juga dengan Ipul mantan suami Dewi Persik juga dikatakan sebagai pembocor pernikahan siri tsb. Dewi mengatakan bahwa dirinya ditalak – dicerai, ditalak dicerai. Siapa lagi kalau bukan Ipul yang mengatakannya. Ipul didampingi Melinda, pacarnya, mengatakan jangan sembarangan menuduh, hati-hati karena Syaipul Djamil juga tidak mau namanya tercemar. Dewi Persik dan Aldi
328
menganggap
bahwa
SD
ikut campur dalam urusan
mereka dan merupakan dalang di balik semua kebocoran atau terkuaknya pernikahan siri mereka. Ipul sering menyindir pernikahan mereka walaupun dengan cara guyonan, Tapi Ipul membantahnya, katanya Ipul tidak mau melakukan hal-hal yang dituduh-kan kepadanya, karena dia
tidak
mau
menyakiti
hati
perempuan.
Narasi
mengatakan bahwa Ipul merasa menjadi manusia paling bodoh ketika dia menemani DP ketika DP dirawat di Rumah Sakit. Karena ternyata DP saat itu sudah berstatus sebagai istri Aldi. Kenyataannya digambarkan bagaimana SD berbicara dengan Melinda, bahwa nikah siri itu murah, dianalogikan dengan harga daun sirih. Cowok-cowok yang menikah siri adalah pengecut, banci. Dia tidak mau menikahi siri pada Melinda. Menurut narator, bahwa masing-masing pasangan suka mengusik pasangan yang lain, sepertinya ada luka masa lalu yang masih terbawa sampai sekarang. Luka itu kini meledak tanpa kendali, padahal masing-masing sudah punya daerah teritorinya. Aldi mengatakan bahwa Ipul cemburu karena DP kini jatuh kepelukannya. Dia meminta orang masa lalu tidak usah ikut campur urusannya, kecuali keluarga. Urus saja jerawatnya itu. SD menjawab bahwa dia memang berjerawat, mungkin
329
karena belum ketemu seseorang dan kalau sudah sah dinikahi barangkali jerawatnya akan hilang, katanya. Kedua belah pihak selalu saling melontarkan serangannya. SD sudah berencana untuk mengadukan DP & Aldi ke aparat untuk dibawa ke pengadilan
karena mereka telah
menuduhnya sebagai pembocor rahasia nikah siri mereka melalui media.
2. Nama acara dan stasiun TV yang menyiarkan: Was Was di SCTV Siaran
:
Isi/materi :
21 November 2011 Cerita tentang mantan isteri Ustadz Solmed akui sering diajak “ML” (Making Love) oleh mantan suaminya. Mantan istri Ustadz Solmed yaitu Dewi, mengungkapkan tetang siapa sebenarnya Ustadz tsb. Dewi berbicara kepada para wartawan, bahwa dia merasa menderita ketika masih menjadi istri ustadz Solmed. Kemudian setelah bercerai, Ustadz masih sering menelepon dan ngajak jalan untuk makan, tapi sering diajak untuk berhubungan layaknya suami istri. Dewi beberapa kali turun di jalan dan naik taksi karena menghindari hal-hal yang tidak dibolehkan oleh agama. Sepupu Dewi bernama Diana membenarkan kalau Ustadz suka menelepon Dewi, dan awalnya selalu baikbaik ngajak jalan atau makan, dan kadang-kadang Diana diajak Dewi jalan untuk menemani Dewi. Dewi menyam-
330
paikan ceritanya dengan nada yang emosional atau terengah-engah/gemetar bicaranya dan sesekali mengusap air matanya dengan tissue, didampingi oleh penasehat hukumnya dan salah satu keluarganya. Katanya selama ini dia masih tutup mulut saja atas semua ulah pak Ustadz. Cerita Dewi malah berbalik menjadi boomerang baginya, karena dianggap bahwa Dewi mau mencari sensasi mendompleng ketenaran Ustadz, dan sakit hati karena Ustadz berbahagia. Narator terkesan membenarkan pernyataan Dewi tersebut, bahwa kejadian apa yang diceritakan dan dialami oleh Dewi dan Ustadz Solmed memang benar terjadi. Narator berkata bahwa Dewi beberapa kali diajak berhubungan seolah suami istri ketika mereka tidak lagi berstatus sebagai suami dan istri. Menurut narator, apakah karena Dewi masih mencintai Ustadz Solmed? Ustadz Solmed yang semula masih bersabar dan berdiam diri, akhirnya iapun merasa gerah atas semua berita miring tentang dirinya, diapun lantas membantahnya.
3. Nama acara dan Stasiun TV yang menyiarkan : Silet di RCTI Siaran
:
Isi/Materi :
07 November 2010 Siaran tentang ramalan akan meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah / Yogyakarta yang narasinya dibacakan oleh Presenternya Feny Rose. Feny Rose mengatakan: ”Puncak
331
letusan Merapi kabarnya akan terjadi hari ini hingga esok hari pada bulan baru yang jatuh pada tanggal 8 November. Ahli LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) selalu mencatat hampir semua letusan dan guncangan gempa muncul pada bulan baru. Lantas apa yang akan terjadi dengan Yogyakarta? Mungkinkah Yogyakarta, kota budaya yang elok akan tergolek lemah tak berdaya? Benarkah Yogya yang dalam banyak lagu digambarkan begitu indah akan berubah menjadi penuh malapetaka?”. Selain membaca ramalan dari Ahli Lapan tersebut, tayangan Silet pada waktu tersebut juga menampilkan Paranormal Permadi, SH, yang menyatakan kondisi yang mungkin bisa terjadi dengan Gunung Merapi yang baru selesai
bergejolak.
Sementara
iringan
musik
yang
mengiringi narasinya adalah musik yang menegangkan (suspensi) yang membawa suasana menakutkan bagi penonton.
Selain menunjukkan terjadinya pergeseran nilai budaya, beberapa contoh materi infotainment yang dituliskan pada Sub Bab 3.1.1 juga menggambarkan terjadinya pergeseran atau perubahan etika komunikasi dalam acara infotainment, yaitu:
4. Nama acara dan Stasiun TV yang menyiarkan : Halo Selebriti di SCTV Siaran
:
Isi/Materi :
04 Juni 2012 Siaran tentang rumah tangga Hendrik Ceper, pesinetron dan komedian, diambang kehancuran. Diberitakan bahwa telah terjadi pertengkaran antara pesinetron Hendrik Ceper
332
dengan istrinya Nurzalifah. Istrinya marah dan melempari Hendrik dengan barang-barang yang ada di kulkas seperti toples, botol, gelas, dsb. Mereka menikah tahun 2009. Setelah 3 tahun berumah tangga, mulai terjadi keributankeributan. Sudah 3 bulan Hendrik keluar dari rumahnya karena khawatir terjadi KDRT lagi terhadap dirinya. Dia memilih mengontrak rumah di daerah Parung. Isterinya menuduh Hendrik mengeksploitasi peristiwa itu untuk mencari sensasi.
5. Nama acara dan Stasiun TV yang menyiarkan : Kabar-Kabari di RCTI Siaran
:
Isi/Materi :
02 Juli 2012 Siaran tentang masalah rumah tangga Hendrik dan Nurzalifah yang sudah menikah selama 3 tahun sejak 2009. Tetapi sudah 3 bulan mereka berpisah rumah.
Hendrik
mengontrak rumah di Parung. Hendrik melaporkan KDRT yang dialaminya akibat perbuatan isterinya. Namun Nurzalifah balik melaporkan Hendrik karena sudah 1 tahun Hendrik tidak memberikan nafkah kepadanya. Kru infotainment menyambangi rumah kontrakan Hendrik di daerah Parung. Hendrik menunjukkan baju-baju isterinya di almari. Dia merasa kangen dan memaafkan perbuatan isterinya. Dia cium-cium baju isterinya sebagai rasa kangennya. Dia sering mengibur diri dengan mengurus
333
burung-burung dan ayam-ayamnya.
Diperlihatkan isteri
Hendrik juga menangis, diapun masih rindu pada Hendrik, tetapi kalau masih “gini-gini” aja, katanya, ya gimana ya. Hendrik
menceritakan
awal
pertemuannya
dengan
isterinya, lalu melangkah ke pernikahan, sampai terjadinya perselisihan-perselisihan.
Dari contoh-contoh cuplikan materi infotainment televisi tersebut di atas, dapat terlihat jelas bagaimana pekerja infotainment menayangkan nyaris secara utuh masalah yang terjadi dalam rumah tangga artis. Hubungan antara Dewi Persik dengan Aldi yang dikabarkan telah menikah siri serta perselisihan mereka dengan mantan suami Dewi Persik yaitu Syaipul Djamil dan Ustadz yang menikahkan mereka, dikupas secara lengkap apa yang diungkapkan oleh masing-masing pihak. Selain itu, narasi dibuat sedemikian rupa untuk menguatkan pembenaran atas apa yang ditampilkan. Kemudian masalah antara Ustadz Solmed dengan mantan isterinya, Dewi. Dewi mengungkapkan kepada media tentang hubungannya dengan mantan
suaminya,
Ustadz
Solmed,
setelah
mereka
bercerai.
Dewi
menceritakan segala hal yang negatif tentang mantan suaminya itu, termasuk tentang ajakan Ustadz untuk ”ML” dengan Dewi. Was Was menayangkan cerita Dewi dengan narasi yang seolah-olah membenarkan cerita Dewi dan bahwa berita tersebut memang benar terjadi. Kasus tayangan Silet di RCTI pada tanggal 7 November 2010 yang
334
mengungkapkan tentang ramalan Ahli LAPAN yang menyatakan bahwa akan terjadi letusan besar Gunung Merapi pada tanggal 7 sampai 8 November 2010 yang diperkirakan akan meluluhlantakkan daerah Yogyakarta. Tayangan tentang ramalan tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Paranormal Permadi, SH. Akibat dari pemberitaan melalui Silet tersebut, telah membuat masyarakat di sekitar Gunung Merapi menjadi panik dan ketakutan bahwa akan terjadi lagi letusan Gunung Merapi yang lebih dahsyat. Ratusan warga masyarakat mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman. Eksodus terjadi di Kulonprogo, Sleman, dan daerah-daerah lain yang baru saja terkena musibah letusan Merapi. Kecemasan warga semakin menjadi setelah beredarnya SMS, BBM dan Twitter yang menyatakan bahwa ”Yogyakarta adalah kota malapetaka”. Presiden SBY menghimbau kepada warga masyarakat untuk tidak panik dan cemas atas pemberitaan tersebut. Demikian juga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat telah memberikan teguran kepada Stasiun TV RCTI untuk sementara waktu menghentikan tayangan acara Silet. Kenyataannya acara Silet tetap ditayangkan, sehingga Komisioner KPI Pusat melaporkan pelanggaran tersebut kepada Polri. Dampak yang ditimbulkan oleh berita tentang Merapi itu selain meresahkan masyarakat dan membuat warga banyak yang mengungsi, juga mengakibatkan para sukarelawan dan Tim SAR harus bekerja keras mengurus para pengungsi. 230 Pihak Silet melalui Presenter Feny Rose berkali-kali meminta maaf kepada masyarakat melalui acara Silet, tetapi kejadian itu jelas memperparah ___________________________________________________________________________ 230
ibid, http://www.kapanlagi.com/
335
trauma psikologis para pengungsi yang memang belum pulih dari penderitaan akibat meletusnya Gunung Merapi. Presenter Feny Rose berkilah bahwa dia hanya bertugas membaca naskah yang sudah disiapkan. Contoh berikutnya adalah berita atau cerita mengenai rumah tangga Hendrik Ceper yang oleh infotainment dikatakan diambang kehancuran. Perselisihan antara Hendrik Ceper dan isterinya Nurzalifah ditayangkan melalui acara Halo Selebriti di SCTV dan acara Kabar-Kabari di RCTI dan diungkapkan nyaris lengkap dilengkapi dengan visual dan narasinya yang heboh. Dari contoh kejadian tersebut semakin nyata bahwa telah terjadi pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment yang diakibatkan oleh tidak dipatuhinya kode etik jurnalistik dan rambu-rambu lainnya. Mengapa itu bisa terjadi? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa pemroduksi berita dalam infotainment bukanlah sebuah kantor berita atau organisasi berita dan pekerjanya bukan berasal dari jurnalis mainstream. Jadi jika dikatakan bahwa acara infotainment adalah non faktual, benar adanya. Melihat apa yang dibuat dan ditayangkan, selain mengkonstruksi masalah internal rumah tangga pesohor, ternyata juga memberitakan sesuatu secara tidak profesional karena tanpa mengecek kebenarannya dan sumbernya juga tidak ada.
Bahkan
dicampur dengan pendapat paranormal. Padahal berita itu harusnya faktual, aktual, dan jelas, serta penyampaiannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Barangkali yang tidak terpikirkan oleh kerabat kerja infotainment Silet adalah akibat yang ditimbulkan oleh berita yang cenderung sensasional tersebut.
336
4.1.2 Pergeseran etika komunikasi tinjauan privasi dan hak privasi menjadi ajang promosi diri.
Bahwa privasi dan hak privasi merupakan hak azasi manusia dan melekat pada diri pribadi setiap orang, dan dipengaruhi oleh adat, tradisi, lingkungan dan budayanya
masing-masing.
Oleh
karena
itu
sudah
seharusnya
privasi
dipertahankan sebagai hak individu untuk merahasiakannya dari orang lain. Tetapi perubahan zaman akibat kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah merubah gaya hidup manusia dan berujung pada berubahnya hak proteksi atas privasi menjadi ajang promosi pribadi di layar televisi. Informan Roy Suryo mengatakan bahwa selain unsur media atau teknologinya, maka unsur artis dan unsur kru produksi infotainment merupakan aspek-aspek yang memengaruhi budaya dan etika
terjadinya pergeseran atau perubahan nilai
komunikasi dalam acara infotainment. Infotainment sering
mengungkap masalah pribadi seseorang kepada publik tanpa sensor, sehingga terjadi missed value atas ketentuan-ketentuan jurnalistik. Informan Wina Armada menjelaskan mengenai missed value sebagai berikut: Yang ingin saya kemukakan, di buku saya juga disinggung, ada yang namanya missed value. Misalnya, apakah seseorang itu boleh dipublikasikan? Kalau The right of privacy itu kan antara lain adalah hak seseorang untuk menentukan kapan, bagaimana, dan apa yang boleh dipublikasikan dari pribadi, dirinya sendiri. Kalau memang demikian, kalau artis dipotret untuk cover, dia minta bayaran. Bahkan untuk tour kaset dia sendiri, dia minta bayaran. Lalu bagaimana kalau pejabat publik, seperti presiden, menteri, yang fotonya setiap hari ada di pampangkan, apakah dia minta bayaran. Lalu bagaimana dengan olahragawan, tiap hari muncul di TV. Begitu juga dengan artis, kapan dia sebagai pribadi dan kapan dia sebagai public figure. Nah kalau dia minta uang terus, lantas kapan dia boleh menolak tidak mau diberitakan?
337
Kalau saya lihat di dalam sejarah perkembangannya selalu ada tarik menarik dan tidak pernah selesai, apakah itu kepentingan pribadi atau itu kepentingan umum, kadang-kadang sesuatu menjadi pribadi kadangkadang menjadi umum. Hukumpun ikut campur. Tapi, tiba-tiba kok kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan itu menyangkut banyak hal, sampai isteri bisa melaporkan suaminya mau memperkosa dia. Padahal faktanya, dia nikah untuk itu. Jadi menurut saya itu tidak merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terkait dengan pokok masalahnya dan itu saling mempengaruhi. Bikin akselerasi, terus demikian, akhirnya muncul nila-nilai baru lagi.231 Masih masalah the right of privacy, Informan Roy Suryo menjelaskan mengenai hal itu sebagai berikut: Contohnya adalah, yah saya harus mengatakan kalau ini unsur yang kedua, unsur aktornya sendiri, kalau dia memang public figure, atau kalau dia memang tokoh, maka ketika dia keluar dari ruangannya atau dari rumah, itu sudah tidak ada lagi privasi. Dan itu harus dimaklumi. Artinya adalah orang itu memang harus “jaim” harus jaga imej betul. Kemana pergi tidak boleh sembarangan, ke Mal juga tidak bisa sembarangan pakai apa, atau pergi sama siapa. Tapi itupun baik untuk mengkontrol kepribadian yang bersangkutan. Artinya sisi privasi yang ketika dia berada di ruang publik. Meskipun demikian, masih harus tetap ada tempat-tempat yang tetap harus terhormati atau dihormati “space”nya, atau ruangannya. Misalnya ketika dia masuk ke kamar kecil, atau masuk ke ruangan yang memang bukan untuk umum, memang disitu “strick” betul untuk tidak boleh diekspose. Atau juga privasi yang ditentukan oleh pemilik tempat yang bersangkutan. Misalnya, seperti di KPK dimana orang masuk tidak boleh pakai kamera, artinya itu syarat dan ketentuan yang berlaku di tempat tersebut.232 Roy Suryo mengatakan lebih lanjut tentang the right of privacy bahwa setiap pribadi memiliki privasinya masing-masing atau privasi sebelum dia tampil di muka umum. Contohnya seperti mereka memiliki dokumen pribadi, memiliki cerita atau keluarga, ini juga perlu untuk di “protect”. Artis itu sering dikatakan sebagai public figure. Menurut Roy Suryo, jangan sampai infotainment menjadi ajang pembenaran. Kalau dari sisi media, yang di privatpun bisa bisa se_______________________________________________________________________________ 231 Wawancara dengan Informan Wina Armada Sukardi, pada hari Jumat, 18 Juni 2010 Pk.11:00 – 12:00 WIB di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jl. Kebun Sirih, Jakarta Pusat. 232 Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo, pada hari Kamis, 17 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Gedung Nusantara I DPR-RI, Senayan Lt.21, Ruang 2103.
338
muanya ditarik ke publik, atau kebalikannya menjadi pembenaran dari sisi narasumber atau artis, bahwa kalau yang namanya privat dia bilang privasi, tidak boleh disyut.233 Mengenai kasus visum Ariel dengan Luna Maya dan Cut Tari
yang
diangkat ke layar kaca meskipun di “blur”, Informan Bimo Nugroho juga menilai bahwa itu sesuatu yang dipaksakan. Seharusnya tetap tidak boleh ditampilkan. Maksud Bimo Nugroho hal itu harusnya tidak boleh sama sekali. Kalau mengenai Luna Maya sedang menyanyi, atau Ariel sedang menyanyi, boleh saja untuk ilustrasi kasus itu. Kasus tersebut tidak mungkin untuk ditutup-tutupi dan kita tidak mungkin dapat melarang berita muncul di media. Tetapi kalau kemudian video itu sendiri diangkat ke televisi meskipun sudah di”blur”kan, menurut Bimo Nugroho tetap tidak boleh. Karena ada batas antara ruang publik dengan ruang privat. Sesuatu yang privat, tidak boleh masuk ke ruang publik yang menggunakan frekuensi yang merupakan ranah publik. Promosi memang dibutuhkan oleh para artis karena persaingan yang semakin ketat dan semakin mahal. Tapi ada yang disebut fame (famous) yaitu terkenal dalam konotasi positif dan ada notorious terkenal tetapi konotasinya negatif. Sebagian artis kalau sudah tidak produktif lagi ada yang menggunakan cara-cara yang notorious, walaupun sesungguhnya beresiko. Bagaimana dengan kesan bahwa infotainment yang berisi masalah pribadi itu sering masuk ke ranah publik.234 Informan Ilham Bintang yang sudah sering menjadi penengah jika ada __________________________________________________________________ 233 234
ibid, Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo. Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo pada hari Rabu, 16 Juni 2010 Pk. 13:30 – 16:30 WIB di Kantor KPI Pusat, Gedung Bapeten Lt.6 Jl. Gajahmada No.38 Jakarta Pusat.
339
masalah dengan infotainment menjelaskan: Nah itu yang mau saya katakan, bahwa dengan masuk ke ranah publik itu seolah-olah infotainment itu masuk ke kamar tamunya orang. Sampai hari ini, tidak ada satupun infotainment yang berpraktik seperti aparatur, masuk ke dalam rumah orang. Dan mengenai etika komunikasi untuk mendapatkan berita itu normatif saja. Kita harus berpegang pada sistem nilai yang ada. Sering kita dihadapkan pada situasi, dimana seorang artis datang ke rumah produksi dan minta diekspos, dia kenalkan istrinya atau suaminya yang baru. Dan ketika itu di tayangkan oleh sebuah acara infotainment, maka ternyata yang timbul gossip. Lantas bagaimana? Saya sering katakan bahwa tidak ada pers yang tidak bersih, minimal bersih menurut versinya sendiri. Ada contoh, ketika anda sedang membawa kamera mau meliput acara, tiba-tiba ada artis yang terjatuh, mana yang akan anda lakukan terlebih dulu? Anda mengambil gambar orang yang terjatuh, atau menolongnya lebih dulu? 235 Uraian tersebut di atas menjelaskan tampak bahwa pelaku bisnis infotainment yang berangkat dari wartawan mainstream dan menjadi pengurus PWI tetap berpegang teguh pada rambu-rambu yang berlaku. Tetapi ketika operasionalisasinya sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar ataupun tuntutan pasar, maka prinsip-prinsip yang dipegangnya tersebut patut diragukan keteguhannya. Kondisi di lapangan tentu berbeda dengan aturan main yang tertuang di atas kertas. Karena apabila tidak mengikuti arus pasar, bisa jadi akan tersingkir dari peredarannya. Meski demikian, setidaknya rambu-rambu itu dapat menyelamatkannya dari imej negatif acara infotainment yang dikelolanya sehingga mampu bertahan cukup lama. Batasan-batasan telah ditetapkan, tetapi mekanisme pasar berbeda dengan yang direncanakan. Pemroduksi acara infotainment ada beberapa rumah produksi dan stasiun televisi dengan beberapa tim produksi.
Cara mendapatkan materi
______________________________________________________________________________ 235
Wawancara dengan Informan Ilham Bintang pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2010 Pk.12:00-14:00 WIB di Kantor Cek & Ricek Tayangan, Jl. Menara IV, Meruya, Jakarta Barat.
340
berita dan sasaran yang ingin ditarget dapat sama dan bisa juga berbeda. Sesuai dengan varian-varian yang telah ditetapkan oleh masing-masing produsen, maka ada pengkategorian konten infotainment berdasarkan hari siaran atau waktu tayang (dayparts). Ada kategori atau jenis konten infotainment, diantaranya investigasi, kasus artis atau figur publik, informasi tentang selebritis, event yang melibatkan selebritis, dan lain-lain. Dengan pengkategorian konten yang akan disajikan dalam infotainment tadi, maka produsen infotainment memberikan wadahbagi para artis atau figur publik untuk tampil di infotainment. Selanjutnya infotainment menjadi ajang promosi diri bagi para artis atau pesohor baik secara fame (famous) ataupun notorious. Terjadinya pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi terlihat dalam tayangan infotainment. Hal yang dahulu tabu, kini tidak tabu lagi. Sampai urusan pakaian dalam juga diperlihatkan, ruang-ruang pribadi di kasih lihat. Jika dilihat dari sisi itu, telah terjadi perubahan-perubahan norma sosial yang selama ini kita anut dan banggakan sebagai warisan leluhur kita. Tapi kalau membaca laporan tentang pengaduan-pengaduan dari masyarakat kepada KPI selama tahun 2009, ternyata dari 8000 sekian pengaduan, yang mengenai infotainment hanya 163 kasus, dan yang terkait masalah konten hanya 70. Apakah ini fenomena bahwa karena masyarakat kita sudah jenuh, atau sudah bisa menerima tayangan infotainment, atau karena sudah ada perbaikan dalam produksinya. Informan Marah Sakti Siregar menjelaskan sebagai berikut: Ya, perbaikan itu ada, sedikit-sedikit ada perubahan. Karena kita kan melakukan pembinaan-pembinaan. Kemudian ada fatwa-fatwa dari PBNU terkait ghibah. Jadi ada perbaikan dalam produksinya. Meskipun saya
341
sendiri nggak puas. Makanya dalam merekonstruksi realita itu kan tergantung wartawannya. Bagaimana kalau tidak belajar menambah pengetahuannya? Jadi bagaimana akan menyaring informasi dari gaya hidup yang seperti itu? Bagaimana memfilternya? Hal yang nggak cocok buat kita, harus kritis. Bagaimana mereka pakai baju, dsb. Anak infotainment sendiri ada yang pakai anting, jadi wartawan kita terpengaruh gitu. Jadi soal kualitas, ya berimbang sajalah. Sedangkan untuk berita entertainment dalam infotainment, pada umum-nya para pesohor itu sangat senang diekspos. Atau sering dikatakan sebagai eksibisionis dan bahkan kadang-kadang narsis. Mereka dapat mengatur bagaimana untuk tampil di media. Mereka juga sering datang ke infotainment, memberitahukan bahwa dia punya pacar baru, atau akan menikah, dsb. Mereka meminta untuk diliput, bahkan digosipkan. 236 Marah Sakti mengamati bahwa hubungan antara para selebriti dengan pekerja infotainment cukup dekat, akrab, sehingga tidak sulit untuk mendapatkan berita tentang mereka. Tidak perlu investigasi, tidak perlu persuasif atau membujuk untuk menjadi sumber berita seperti kepada para narasumber formal. Pada dasarnya mereka (para selebritis) mencari teman atau pendukung untuk popularitasnya. Selebritis perlu sekali media atau wartawan untuk bisa membantu dia dalam rangka untuk membesarkan namanya. Wartawan infotainment merasa punya kontribusi membesarkan mereka.237 Sekarang ini ketika seorang pesohor tidak ada prestasi, misalnya, atau tidak ada sesuatu yang bisa mencuatkannya, maka ruang privasinya yang diungkap ke publik. Selain itu juga mengajak kru infotainment jalan-jalan bahkan sampai ke luar negeri. Pesohor yang di satu sisi seharusnya menutupi hal-hal terkait masalah privasinya, namun di sisi lain dia harus mempertunjukkan dirinya di hadapan publik melalui ruang publik dan tentunya dengan memperlihatkan hal______________________________________________________________________________ 236
237
Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar pada hari Rabu, tanggal 23 Juni 2010 Pk. 10:00 – 11:30 WIB di Kantor PWI Pusat – Gedung Dewan Pers Lt.4 Jl. Kebun Sirih, Jakarta ibid, Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar.
342
hal yang seyogyanya tabu untuk diinformasikan kepada publik. Sifat narsis dan eksibisionis memaksa mereka untuk tampil di infotainment atau acara lain sesering mungkin meskipun sifatnya notorious. Kru infotainment sering mendapatkan informasi tentang perilaku ataupun masalah yang dihadapi oleh para pesohor. Ketika masalah tersebut menjadi domain publik, maka hampir semua kru infotainment dari berbagai rumah produksi ataupun stasiun televisi akan mengejar sampai di manapun sumber berita itu berada. Mengenai hal itu, Informan Marah Sakti Siregar menyatakan persetujuannya. Berikut kutipan wawancaranya: Iya itu betul, dia akan mengundang sensasi, mengundang macam-macam tanggapan, membuat stimuli lain, sehingga dia akan menjadi perhatian. Kadang-kadang mereka bikin pak, sengaja memanggil wartawan, tolong dong gosipin gue, itu ada yang seperti itu. Kesepakatan-kesepakatan itu ada, di bawah tangan gitu. Karena itulah seperti saya bilang tadi, kalau dengan seperti itu sebenarnya dalih aja, alibi saja yang mereka katakan. Misalnya seperti dia mau menikah dikasih tahu, dia pacaran sama siapa dikasih tahu, istrinya ngidam dikasih tahu, kemudian dimuat beritanya. Juga seperti ”gua dapat pacar cantik nih”, gua dapat segala macem, termasuk ganti-ganti pacar dikasih tahu. Nah ketika dia terbuka kepada wartawan, itu dalih saja sebenarnya, karena dia tidak merasa memiliki kehidupan pribadi, karena tidak memperjanjikan itu dengan wartawan. Saya bisa mengerti kenapa anak-anak infotainment itu mengejar sampai kerumahnya, memang sih dalam batas apa yang disebut privasi itu sih ada konvensi. Ketika ada suami istri, suaminya mengadu kepada kita, itu masih privasi. Tapi ketika kemudian dia mengadukan kepada pengacara, itu sudah menjadi ranah publik, karena pengacara udah pihak ketiga. Meskipun dia curhat kepada kita, tapi belum boleh, karena masih privat. Jadi meskipun dia berkelahi, mereka berkelahi itu belum bisa di ekspose. Tapi begitu dia ke pengacara, maka itu sudah menjadi publik. Itu batasan yang kita jadikan acuan.238 Batasan antara ruang privat dan ruang publik sering dikaburkan oleh para sumber berita yaitu artisnya sendiri. Pernyataan Informan Farid Ridwan Iskandar _______________________________________________________________________________ 238
ibid, Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar.
343
berikut ini menjelaskan masalah itu. Memang dalam banyak hal mestinya ada ketentuan atau pemahaman dan batasan antara mana ruang privat dan mana ruang publik. Disatu saat dia bilang ini masih ruang privat, tapi di lain saat kehamilan baru umur empat bulan dia sudah bikin konperensi pers. Nah dari sisi itu bagaimana kita menyikapinya? Bagaimana kita tahu bahwa betul dia telah hamil empat bulan. Contoh lain, saya selalu sampaikan ke teman-teman, bahwa ada kasus perceraian, nah kalau sudah sampai ke pengadilan berarti itu sudah menjadi ruang publik. Tapi kalau belum, dan sulit mencari pembuktiannya, sulit pertanggungjawabannya, maka tinggalin itu. Jadi kalau sudah masuk ke polisi, kejaksaan, pengadilan, sumber beritanya menyatakan apa atau seperti apa, itu bisa diambil, karena sudah jadi milik umum. Tapi kalau sampai mencari-cari, wah si anu dan si anu sudah pisah ranjang, sampai masuk-masuk ke wilayah itu, buktinya mana? Nah itu yang gak boleh. Kriteria mengukurnya gimana? Itu yang berkali-kali saya, pak Ilham dan pak Marah mencoba untuk mengingatkan terus menerus. Jangan sampai masuk ke wilayah ruang pribadi sebelum menjadi ruang publik.239 Informan Ilham Bintang, Marah Sakti Siregar dan Farid Ridwan Iskandar adalah para wartawan senior yang mengelola PH dan memroduksi baik tabloid maupun acara infotainment televisi. Sebagai perintis acara infotainment dan juga sebagai pengurus PWI Pusat, yang diantara tugas-tugasnya adalah memberikan pembinaan kepada para anggotanya, mereka senantiasa berpedoman pada peraturan yang berlaku. Oleh karenanya di dalam menjawab pertanyaan penelitian ini mereka selalu mengacu pada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Meskipun pada kenyataannya, mekanisme atau tuntutan pasar sering memperlihatkan yang dihasilkan tidak sepenuhnya sesuai dengan rambu-rambu tadi. Ketika ditanyakan mengenai dominasi artis DP (Dewi Persik) di layar kaca beberapa acara infotainment termasuk ketika DP berjalan-jalan berbelanja di Singapura, dan disiarkan sepanjang 30 menit, Informan Farid Ridwan Iskandar _______________________________________________________________________________ 239 Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar, pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 Pk.13:30 – 15:00 WIB di Kantor tabloid Cek & Ricek, Jl. H. Sa’aba 40, Meruya Selatan, Jakarta Barat.
344
menyampaikan pendapatnya sebagai berikut: Saya sebenarnya tidak terlalu sependapat dengan hal seperti itu, kalau misalnya sebagai cerita human interest okey-lah. Tapi tidak perlu sepanjang 30 menit waktu siaran atau berkali-kali. Kalau kita punya kriteria mestinya bisa di seleksi, tapi gak tahu apakah karena ada latar belakang atau ada komitmen sebelumnya, ya itu mereka yang tahu. Tapi kalau secara pribadi dan secara wartawan yang sudah senior saya tidak sependapat dengan pembeberan privasi dalam tayangan yang seperti itu yang sebenarnya tidak terlalu membawa manfaat bagi banyak orang. Yah, DP kalau hanya untuk satu segmen dua atau tiga menit oke-lah, tapi kalau satu paket kan ya gak tepat itu. 240
Tayangan tersebut menunjukkan bahwa dari pihak si artisnya sendiri menjadi berubah perilakunya, ada rasa atau nafsu untuk memamerkan diri atau apapun yang dilakukan dan bisa dia lakukan, mempromosi privasinya, dan beranggapan bahwa publik perlu tahu tentang dirinya. Diperlihatkan bagaimana DP berada di hotelnya, di jalanan, di Mal memilih-milih barang, pakaian, dan lain-lain, diperlihatkan bagaimana seolah-olah dia kehabisan uang dan meminjam uang
temannya,
bahkan
secara
tidak
disadari
atau
memang
disadari
diperlihatkannya bagaimana menjadi orang berkecukupan dan sebagainya. Di sisi ini perbuatan DP ataupun kru yang meliput dan menyiarkannya dapat melukai perasaan penonton yang kebetulan sedang dalam keadaan tidak beruntung atau berkekurangan. Farid Ridwan Iskandar menanggapi hal tersebut sebagai berikut. Memang benar ada beberapa kasus dimana artisnya sendiri merekayasa suatu peristiwa dengan suatu motif. Ada beberapa yang memang sengaja berbuat seperti itu. Ada beberapa yang datang kepada kami, minta untuk diliput, dengan berbagai alasan latar belakangnya. Kalau kami kebetulan hampir tidak pernah mengangkat DP terutama untuk hal-hal seperti itu. Saya tidak tahu persis apakah kategorinya jika beritanya seperti itu. Pernah satu kali diangkat tapi faktanya benar-benar kuat. Jupe juga pernah satu kali diangkat tapi karena memang faktanya layak untuk diangkat. _______________________________________________________________________________ 240
ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar.
345
Bahkan meskipun ada yang mengatakan bahwa Jupe ratingnya tinggi, tapi kami tetap lebih berpegang kepada prinsip-prinsip jurnalistik yang benar.241 Kembali ke masalah privasi, sebagaimana telah dibahas di muka, maka Informan Farid Ridwan Iskandar pada intinya juga berpendapat bahwa privasi adalah sesuatu hal yang seharusnya tidak di umbar di ruang publik. Farid Ridwan Iskandar menyatakan tentang hal tersebut sebagai berikut. Saya sih sebenarnya sudah lama ya menaruh perhatian pada masalah privasi yang sebenarnya tidak boleh diumbar. Menurut saya sih kalau suatu peristiwa masih berada di wilayah privasi ya itu masih privasi, tapi kalau memang sudah masuk ke ranah publik itu bisa diberitakan untuk konsumsi publik. Misalnya sebuah perceraian sudah masuk ke pengacara atau ke pengadilan, itu sudah masuk ranah publik. Seperti kasus video porno, kan begitu muncul di internet, internet kan ruang publik, jadi ya bisa kita punya hak untuk menanggapi atau kita kritisi. Patokan kita kalau sudah tidak intern di dalam, artinya sudah di ruang publik ya boleh diangkat ke layar. Ada kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi. Pernah ada orang datang kemari, dia katakan bahwa dia mau cerai, dsb. Ya saya katakan silahkan dilakukan, itu urusan anda sendiri. Tapi sebenarnya orang itu menginginkan masalahnya itu diberitakan kepada publik melalui kita, nah kalau ada kesepakatan-kesepakatan antara kita dengan yang bersangkutan, ya udah. Karena media juga adalah ruang publik. Nah akhirnya banyak yang datang kepada kami dan akhirnya seperti ruang konsultasi gitu. Nah karena sudah ada kesepakatankesepakatan itu tadi, dan pak Ilham bilang bisa di buka ke ruang publik ya kami angkat ke layar, meskipun demikian dengan tidak mengabaikan rambu-rambu jurnalistiknya.242 Kenyataan di lapangan menunjukkan sebenarnya seperti apa sih perilaku para artis atau pesohor itu. Banyak artis yang menginginkan dirinya dipromosikan atau diangkat melalui acara infotainment, tentunya dengan maksud-maksud tertentu. Sepertinya mereka memang haus media untuk mempromosikan dirinya. _______________________________________________________________________________ 241 242
ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar. ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar.
346
Menanggapi hal itu Farid Ridwan Iskandar berpendapat: Kalau masalah artis ingin dipromosikan itu sih sebenarnya sejak dari dulu ya, bukan baru sekarang aja. Tapi mungkin kalau dulu medianya belum ada dan mereka sendiri juga masih berpegang pada tradisi-tradisi atau budaya tidak mau menonjolkan diri. Tapi sekarang dengan tak terbatasnya bentuk media komunikasi dan informasi, termasuk adanya acara infotainment, maka menjadikan segala keinginan itu bisa terwadahi, terakomodasi dan bahkan menjadi sarana efektif untuk mencapai maksud tujuannya. Dalam hal ini, kalau dari sisi artisnya saya berharap mereka bisa me-rubah sikap perilakunya, tapi paling tidak mereka bisa menjadi public-figure yang tingkah laku, sikap, tindak tanduknya dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Sehingga makna hidup mereka menjadi nyata, dan paling tidak yang diangkat ke layar itu ya yang baik-baik saja. Tapi karena kita ini banyak mengadaptasi apa yang sesungguhnya banyak terjadi di masyarakat kita, maka ya itu tadi, banyak orang seperti artis-artis itu senang menceritakan tentang keadaan dirinya, siapa dirinya, sedang atau mau ngapain, bahkan sampai hal-hal pribadinya diceritakan ke publik. Inilah yang katakan celebriti syndrom atau primadona syndrom. Primadona syndrom atau celebrity syndrom itu seperti artis merasa, kalau di jabatan-jabatan itu seperti post power syndrom. Terutama seperti keinginan apa ya, seperti pernah ngetop, pernah berada di puncak kejayaan, kemudian kehilangan itu semua, kehilangan perhatian, nah seperti kehilangan apa gitu. Karena pada akhirnya ada kaitannya dengan masalah ekonomi, konstekstualnya kuat sekali. Jadi begitu seorang selebriti tidak diperhatikan lagi, maka prospek ekonominya menurun, maka dia harus menjaga itu. Sedangkan sekarang ini persaingan sangat ketat sekali, semakin banyak orang yang menjadi artis dan dengan relatif mudahnya. Sehingga bisa jadi seorang artis masih beranggapan bahwa dia masih primadona seperti masa yang lalu, padahal sudah tidak lagi. Sudah digantikan oleh orang lain. Walaupun sebenarnya kalau memang dia bagus waktu itu, maka tentu masih ada orang-orang yang masih menghargainya sebagai bekas primadona, tapi untuk urusan ekonomi itu lain lagi.243 Bahwa infotainment telah menjadi ajang promosi diri pesohor dengan mengabaikan privasi dan hak privasinya, terdapat banyak alasan yang melatarbelakanginya. Mulai alasan popularitas yakni agar dikenal kembali, karena sifat ______________________________________________________________________________ 243
ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar.
347
narsis dan eksibisionis, sampai alasan-alasan lainnya. Sebagian orang berpendapat bahwa infotainment itu identik dengan gosip dan non faktual. Sebagian yang lain mengatakan bahwa infotainment adalah sebuah karya jurnalistik. Perdebatan berjalan terus, sementara tayangan juga mengudara terus, iklan masuk banyak karena rating tinggi, dan masyarakat menonton, menikmati dan tanpa komplain. Produser infotainment Robby T. Winarka menguraikan argumen mengenai gosip sebagai berikut: Kalau dibilang infotainment itu hanya gosip, gosip itu apa sih? Gosip itu adalah fakta yang tertunda atau tertinggal, artinya apa? Bahwa gosip itu bisa nyata, munculnya karena ada fakta. Tapi yang digosipin itu terutama artis, akan terpana, oh ketahuan rupanya. Sehingga ada yang semula teman, menjadi musuh, kemudian menjadi teman lagi, ada juga. Misalnya, ada gosip tentang perceraian, lalu dilakukan wawancara, tetapi ternyata yang ditayangkan kok tidak sama dengan yang diwawancarakan. Kemudian mereka mengajukan somasi, padahal sama-sama teman, lalu hubungan mereka jadi renggang. Nah kami dari infotainment mengatakan kok saudara menolak terhadap suatu kenyataan itu bagaimana? Padahal yang ngomong adalah istri dan ibu saudara sendiri, gimana? ini ada rekamannya, mereka mengatakan sebagai pihak yang dirugikan. Lantas dia katakan bahwa memang yang bicara ibunya, tapi kan kejadiannya sudah setahun yang lalu.Tapi kita katakan bahwa ada sesuatu yang baru lho yang dapat diungkap dan masih ada kaitannya. Lalu dia mengajukan somasi, akhirnya saling melalui pengacara, dan akhirnya melalui lika-liku dimana antara para pengacara saling tampil menyampaikan atau mengungkapkan kelemahan masingmasing. Ya jadinya para pengacara yang sering muncul di layar dan ngetop, dan dapat banyak duit juga.244 Gosip adalah fakta yang tertunda atau tertinggal, dan bisa menjadi nyata karena ada fakta yang muncul. Apapun alasannya, gosip tetaplah gosip. Gosip sudah menjadi komoditas ekonomi dalam acara infotainment. Karena produsen _______________________________________________________________________________ 244
Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka, pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Cafée Bean Senatan City’ Jakarta Pusat.
348
berpendapat, kalau infotainment tanpa gosip maka daya tariknya menjadi kurang. Daya tarik dianggap kurang karena masyarakat kita memang bersifat kolektif dan lebih berbudaya lisan daripada tulisan. Masyarakat kita tidak dikuasai oleh unsur
kesadaran,
tetapi
oleh
unsur
ketidaksadaran,
dikendalikan
oleh
“unconscious motive”. Meskipun agama menjadi panutan dalam kehidupan kita, namun kondisi-nya semakin permisif terhadap manifestasi libido. Masyarakat menerima sensasi-sensasi yang dilihatnya pada siaran infotainment, semakin lama semakin banal. Dalam konteks sudut pandang agama, gosip dan sejenisnya tidak dibolehkan untuk diumbar atau disebar-luaskan. Sesuatu yang belum jelas sebaiknya disimpan, apala-gi terkait masalah privasi seseorang. Berikut pendapat dari Informan Abdul Sattar Gani mengenai hal itu: Memang dari segi agama itu mengapa isu-isu yang terkait dengan masalah pribadi seseorang yang disebut dengan ghibah membicarakan aib seseorang itu dilarang. Cuma ada beberapa perkecualian, didalam salah satu kitab, misalnya memberitahukan perilaku seseorang yang walaupun dalam tanda petik “negatif” tapi motivasi untuk disiarkannya itu tidak dicontoh oleh orang lain, itu tidak termasuk ghibah. Jadi ada perkecualian. Atau misalnya perilaku negatif seseorang tapi diharapkan mereka itu bisa memperbaiki diri. Nah itu bisa dikategorikan tidak negatif atau tidak ghibah. Jadi artinya maksud saya kita lihat kontennya dulu, pergeseran seperti apa yang dikatakan negatif dan seperti apa yang positif.245 Pesohor memang senang kalau tersohor, ada kecenderungan mendapatkan kesenangan dan menikmatinya. Informan Urip Purwono menguraikan tentang faktor “satisfying” dan “histerical personality” yang dimiliki oleh para pesohor. Urip Purwono mengatakan: Kalau untuk menata proses berpikir, kalau psikologi, pada fenomena atau artis itu berfungsinya di level yang berbeda. Yang jelas, dia bisa berfungsi _______________________________________________________________________________ 245
Wawancara dengan Informan Abdul Sattar Gani pada hari Kamis, tanggal 14 Juni 2010 Pk. 16:00 – 17:00 WIB di Masjid Al Manar TVRI, Senayan, Jakarta.
349
sebagai psikoanalisis, atau “concept of analysis”, tetapi dia bisa berfungsi sebagai “the anal concept of analysis of motivation”, jadi kita bisa bertanya lalu membahas teori-teori psikologi, apa motivasinya seorang mau hal-hal yang bahkan sifatnya sangat pribadi dibuka ke ruang publik. Penjelasan itu adalah penjelasan psikologi yang disebut motivasi. Tetapi juga bisa “the concept of analysis of content”. Mencoba menjelaskan, memahami konten dari infotainment. Kok kontennya itu, bisa juga analisis secara psikologi. Lalu bisa dianalisis “on response”. Respon dari publik seperti apa, dan itu bisa juga dianalisis. Jadi di titik ini, motivasi, kemudian konten, dan respon. Itu bisa menjadi instrumen kita jika dianalisis dari sudut pandang psikologi. Karena psikologi ini hakekat sesungguhnya adalah analitik, sehingga jadi psikoanalisis.246 Mengenai kecenderungan pesohor menggunakan infotainment sebagai ajang promosi diri dan apakah dia dirugikan atau tidak, kita simak percakapan antara artis Group Keong Racun dengan Host Divi dalam acara Apa Kabar Indonesia Malam di TV One hari Rabu tanggal 28 Juli 2010 pada pukul 21:35 WIB sebagai berikut: DIVI
:
Kembali dalam Apa Kabar Indonesia Malam, kita masih membahas tentang Fatwa Haram MUI terhadap tayangan infotainment. Jadi pengaruh infotainment bagi artis, karena mereka rela untuk membuka aibnya untuk membuat mereka terkenal. Nah, kali ini saya akan coba berbincang dengan , tentu anda tahu Keong Racun, ini penyanyi aslinya Keong Racun, anda tahu bahwa banyak sekali orang mengakses lagu itu melalui You Tube, Twitter, dsb. Nah sebentar lagi mereka juga akan sangat terkenal. Nah, bagaimana pengaruh infotainment, apakah mereka juga akan terkena dampak dari fatwa haram MUI. Selamat malam semuanya, dengan siapa saja ini?
ARTIS 1 :
Saya Putri, dan ini Venelope, ini Rendy.
DIVI
Mbak ini penyanyi Keong Racun tentunya ya? Kalau mendengar Fatwa haram MUI tentang tayangan infotainment, mungkin punya pendapat tentang itu? Mbak Venelope?
:
_______________________________________________________________________________ 246
Wawancara dengan Informan Urip Purwono pada hari Jumat, tanggal 20 Mei 2011 Pk. 21:00 22:30 Waktu Kuala Lumpur di Putra World Center, Kuala Lumpur, Malaysia.
350
ARTIS 2 :
Ya gimana ya, kalau menurut saya sih sebenarnya biar aja, kenapa sih dilarang-larang?
DIVI
:
Jadi menurut mbak, mbak nggak keberatan kalau aib-aib mbak di liput dan disiarkan ke publik, supaya terkenal gitu?
ARTIS 2 :
Kalau masalah itu kita harus hati-hati, karena sebentar lagi akan ada kolaborasi antara Keong Racun dengan infotainment.
DIVI
Kalau mbak Putri bagaimana komentarnya?
:
ARTIS 1 :
Kalau masalah infotainment dilarang itu, kalau menurut aku tanpa infotainment itu artis bukan apa-apa.
DIVI
:
Tapi misalnya masalah pribadi mbak Putri seperti soal pernikahan atau masalah pribadi yang lain diungkap ke publik, keberatan nggak?
ARTIS 1 :
Lah kalau memang itu bener, kenapa keberatan? Kecuali kalau gak bener. Jadi gak masalah sih.
DIVI
:
Oke Tina, nanti kita tanyakan juga kepada Pak Ali Yacub, bagaimana kalau artisnya gak keberatan? Mungkin mas Rendy sebagai manager Keong Racun nih?
RENDY :
Kalau itu positif, mungkin bisa memberikan energi yang baik buat teman-teman, memberikan inspirasi yang bagus, apa salahnya?
DIVI
:
Sekarang saya akan coba berperan wartawan infotainment begitu, untuk mengungkap hal-hal yang ada di hati mbak. Jadi Keong Racun sendiri sangat ternama, tapi bukan anda yang muncul di You Tube, ataupun di Twitter, ini bagaimana ini.
ARTIS 1 :
Kalau buat Shinta dan Jojo-nya sendiri sih, sekarang sedang ada ketemuan dengan kita. Jadi gak ada masalah. Karena Charlie sudah membeli secara eksklusif lagu ini. Dan Charlie udah memberikan kepercayaan buat kita untuk menyanyikan aransemen ulang lagu ini.
DIVI
Tapi kan yang bawain orang lain yang terkenal orang lain, bagaimana ini?
:
ARTIS 1 :
Kita cuman ngikutin Bieber, jadi ini kita mungkin Keong Bieber…
351
ARTIS 2 :
Jadi yang menjelang ini adalah aransemen ulang Keong Racun, jadi tidak ada masalah antara pencipta lagu aslinya sama kita, aman-aman saja.
DIVI
:
Jadi bisa dikatakan ini penampilan perdana ya dari Keong Racun aslinya. Mas Rendy, kalau ini terkait masalah ini bakalan populer, tapi kembali kalau misalnya yang diungkap hal-hal yang tidak sesuai, atau yang terkait dengan aib-aib gitu, masih tidak keberatankah?
RENDY
:
Ya, kita lihat bagaimana ya..ee..
DIVI
:
Saya pernah mendengar bahwa karena ingin terkenal maka artis mendatangi pekerja infotainment untuk membuat berita sensasi yang luar biasa sampai kadang-kadang di luar etika, gimana menurut anda?
ARTIS 2 :
Itu tergantung orangnya, ada yang mau seperti itu ada yang tidak. Ada yang pengin terkenal tapi karena talentanya, ada yang karena itu tadi.. atau karena penampilannya.
DIVI
Nah ini gimana soal penampilan kalian? Karena ingin kelihatan seksi atau gimana?
:
ARTIS 2 :
Yah kalau dibilang seksi ya di Papua apa kabar?
DIVI
Itu beda lho mbak.
:
ARTIS 2 :
Ya enggak, ya kalau yang harus ditutupi ya kita tutupi, kalau yang seperti ini enggaklah kalau terlalu seksi.
DIVI
Nah mohon maaf nih secara pribadi saya tanya, udah menikah?
:
ARTIS 2 :
Aku pernah menikah, belum punya anak.
DIVI
Mbak Putri? Pernah menikah?
:
ARTIS 1 :
Nggak.
DIVI
Kalau aib-aibnya saya buka bagaimana?
:
ARTIS 1 :
Nah kalau itu memang nyata gimana?
DIVI
Jadi gak keberatan ya?
:
352
ARTIS 1 :
Enggak
DIVI
:
Mas Rendy gimana nih?
RENDY
:
Kalau jadi artis ya yang natural aja, apa adanya, kalau kita dalam karir kita baik, gak akan ada gosip.
DIVI
:
Ya oke, ini kan lagu Keong Racun sangat terkenal, Shinta sama Jojo di You Tube. Ini tentunya kan ada orang yang ingin mencari penyanyi aslinya kan? Akhirnya ketemu ini, bisa diceritakan sedikit mengenai kronologisnya?
RENDY
:
Jadi sebelum ketemu Putri dan Venelope itu, Charlie dan saya tuh denger soal lagu Keong Racun. Kemudian masih biasa-biasa aja. Suatu ketika buka You Tube wah kok heboh nih alay-alay gitu. Kata Charlie, kita harus cari, dan cari terus. Puter-puter Bandung, ketemulah sama penciptanya. Kemudian dikontrak lagu tersebut sama Charlie, dikontrak dan dalam satu hari lagu tersebut jadi sama Charlie. Kemudian kita mikir, siapa yang nyanyiin lagu itu? Kita pikir-pikir, inget, inilah oknum-oknum-nya. Kebetulan mereka sebelumnya sudah dekat dengan Charlie, kita kontak mereka, kita bawa ke studio di Bandung, dalam waktu nggak nyampai dua jam, prosesnya selesai.
DIVI
:
Jadi kembali ke fatwa MUI, kalau kita lihat mbak Venelope sudah punya anak ya. Belum? Oh ya belum. Tapi pernah menikah. Nah kalau misalnya ada yang mau mengorek-ngorek lagi masa lalu mbak, dan supaya jadi terkenal, itu kan bisa mengungkap aib mbak kan? Gimana?
ARTIS 2 :
Ya kan aku sudah buka-buka, kalau aku pernah menikah, dan kalau seorang janda, janda kembang, ya ….
DIVI
Kalau digosipkan pernah selingkuh atau pacaran dengan orang yang sudah beristri?
:
ARTIS 2 :
Nggak, nggak.. pacar aku nggak punya isteri.
DIVI
:
Nah kalau mbak Putri gimana kalau masalah pribadi kemudian diutak-atik? Tapi membuat anda terkenal, anda masih tetap setuju dengan itu?
ARTIS 1 :
Setuju sih asal masih sebatas wajar saja ya. Aku yakin kalau mereka mengutak-atik begitu maksud mereka itu mau diapain gitu? Mereka mengangkat aja gitu.
353
DIVI
:
Jadi ada akhirnya, memang senang digosipkan ya, supaya terkenal?
ARTIS 1 :
Ha..ha.. (tertawa riang) yah yang namanya gosip sih pasti masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Jadi ya udah..
DIVI
Jadi gimana sebenarnya?
:
ARTIS 1 :
Kalau dibilang senang digosipin, tergantung. Kalau digosipin yang bagus ya seneng. Tapi kalau gosipannya negatif ya ..gimana lagi?
DIVI
Yah terima kasih mbak Putri, mbak Venelope, mas Rendy, tapi kita ingin mendengar nih lagu Keong Racun..247
:
Berikut ini ilustrasi lain yang direkam dari Talkshow Jakarta Lawyers Club (JLC) di TVOne hari Selasa tanggal 27 Juli 2010 pukul 20:00 WIB dan disiarkan ulang pada Rabu tanggal 28 Juli 2010 jam 01:30 WIB.
Dialog terjadi
antara Host Karni Ilyas (KI) dengan artis Ayu Azhari (AA) dan Ketua PARSI Anwar Fuadi (AF), sebagai berikut: HOST KI :
Maksud saya bukan keuntungan yang anda dapatkan, tapi kerugian apa yang anda alami apa?
ARTIS AA:
Ya berarti kan saya nggak merasa kerugian, tidak, tidak pernah misalnya seperti di-oprek-oprek masalah pribadi saya..
HOST KI :
Belum, bukan nggak pernah..
ARTIS AA:
Nggak, nggak mau, bukannya belum, kalau belum berarti akan..nggak.. nggak pernah, Alhamdulillah.
HOST KI :
Jadi anda menganggap ini sebuah hal yang menguntungkan untuk karir anda?
ARTIS AA:
Ya, sejauh ini ya..
HOST KI :
Nah, yang banyak dibicarakan dari jagat infotainment adalah artis. Banyak yang merasa terganggu ruang privasinya. Kalau anda sendiri bagaimana?
_______________________________________________________________________________ 247
Acara “Apa Kabar Indonesia Malam” di TV One Siaran hari Rabu tanggal 28 Juli 2010 pada pukul 21:35 WIB;
354
ARTIS AA:
Kalau menurut saya, yang dijadikan obyek atau tema-tema infotainment kan yang jadi idola-idola masyarakat ya kan. Idola ibu-ibu. Biasanya yang lebih ke pribadi adalah orang-orang yang terkenal sekali. Katanya lebih menarik, hal-hal yang pribadi, dan mereka pengin tahu. Itu tidak hanya di Indonesia saja, tapi di luar negeri..
HOST KI :
Bagi anda itu bermanfaat apa tidak bermanfaat. Atau, satu kali mungkin pernah mengganggu anda?
ARTIS AA:
Ya menurut saya kalau kita bisa mewarnainya, ya bisa jadi cantik dan menarik. Artispun juga harus bisa mewarnai dirinya dalam infotainment. Kebetulan saya berteman sama infotainment, dan saya ganggu balik. Jadi artispun harus bisa memainkan, agar dapat bermanfaat bagi masyarakat. Ada simbiosis gitu.
PARSI AF:
Sebagai Ketua Persatuan Artis Sinetron Indonesia, PARSI, saya mendukung sepenuhnya adanya infotainment. Bayangkan, dengan adanya infotainment ini, para artis berhati-hati, di tempat shooting dsb, kelakuan anda dijaga sesama artis, nanti masuk infotainment. Nah bagaimana dengan adanya infotainment ini sajapun masih melakukan hal-hal yang tidak-tidak. Nah bagaimana kalau tidak ada infotainment? Dan mengenai gosip, buat artis-artis yang baik tidak pernah digosipkan. Yang digosipkan itu artis-artis yang punya masalah. Ah, salah sendiri, kalau punya masalah pasti akan dipermasalahkan, kalau takut dilanda ombak, jangan bikin rumah ditepi pantai. Kalau mau jadi artis, ya siap untuk digosipkan. Kalau tanpa gosip artis tidak akan terkenal, nah infotainment ini membuat artis-artis terkenal.248
Acara Cek and Ricek yang disiarkan di RCTI hari Jumat tanggal 30 Juli 2010 pukul 16:30 WIB terdapat pernyataan-pernyataan dari artis Syaiful Djamil (SD), artis Band Wali, dan artis Dewi Persik (DP) mengenai acara infotainment akan menjadi acara faktual sebagai berikut: SD
:
Jadi jangan sampai hilang gitu, ya tinggal dikurangi aja yang sifatnya menjelek-jelekkan itu. Jangan sampai ditutup. Saya rasa kalau seandainya masih ada dispensasi kesana, masih bisa dipikirin kesana, saya rasa bisa diselamatkan infotainment itu.
______________________________________________________________________________ 248
Acara Talkshow “Jakarta Lawyers Club” (JLC) di TVOne siaran hari Selasa tanggal 27 Juli 2010 pukul 20:00 WIB; disiarkan ulang pada Rabu tanggal 28 Juli 2010 jam 01:30 WIB.
355
VOICE OVER : Di antara itu pula, Dewi Persik memandang wacana untuk melarang infotainment adalah sangat berlebihan. Pasalnya tayangan infotainment justru disebut Dewi Persik sangat membantu kalangan artis untuk mengangkat karir mereka. Kondisi inipun telah dirasakan para personil Wali. WALI
:
Kalau nggak ada infotainment juga belum tentu Wali bisa seperti ini. Sekali lagi infotainment adalah bagian dari kita yang berseni dan kita selalu ingin menjaga silaturahmi dengan teman-teman infotainment, dan insyaallah tidak ada niat-niat lain, tidak ada batasan antara Band Wali dengan Infotainment. Infotainment adalah sahabat kami.
DP
:
Masyarakat Indonesia itu kan gak bodoh, gak boleh munafik juga. Ibu saya kalau lagi masak, walaupun itu tidak sesuai dengan pemberitaan mengenai anaknya, tetap aja akan ditonton. Aduh, deh, ntar dulu mau goreng tempe, ada anakku Dewi Persik. Atau ada lagi, ada Triad, ada Mulan Jamilah, ah mau nonton. Atau ada Bang Haji Oma Irama, misalnya. Pada nonton semua, oh ada pak Zainuddin MZ. Aku rasa berarti kan favorit.249
Mencermati ilustrasi-ilustrasi percakapan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pesohor yang senang jika dapat dimunculkan di infotainment, bahkan tidak keberatan apabila masalah pribadinya diungkap ke ruang publik. Infotainment sangat dibutuhkan oleh para artis untuk menunjang karir mereka. Para pesohor yang diliput selain alasan ekonomi juga karena popularitas. Karena popularitas
mendatangkan
keuntungan
ekonomi.
Informan
Roy
Suryo
menyatakan bahwa apa yang dilakukan artis dalam infotainment adalah lebih ke arah popularitas. Berikut ini pernyataannya: Memang, itu lebih ke alasan popularitas, karena popularitas dapat menghasilkan uang. Masalah privasi itu memang ada, yaitu privasi yang dimiliki mereka sebelum di tayang atau belum di mediakan, atau privasi yang katakanlah dari ketika mereka tampil ke publik. Maksudnya begini, ______________________________________________________________________________ 249
Acara ”Cek and Ricek” di RCTI siaran hari Jumat tanggal 30 Juli 2010 pukul 16:30 WIB.
356
yang namanya privasi ketika tampil ke publik, itu seiring dengan berjalannya waktu, saya harus katakan kalau untuk tayangan infotainment atau media biasa itupun sudah sangat tipis atau sudah sangat bergeser. Nah kalau tinjauannya dari sudut pandang nilai budaya, kan yang dinilai adalah bagaimana persepsi penonton terhadap tayangan itu? Apakah semua penonton tahu tentang hal itu? Kalau teman-teman dari media mungkin tahu kalau stasiun ini pemiliknya siapa, dan stasiun yang itu punya siapa. Dapat ditebak, sudah jelas pasti ini arahnya begini. Nah tapi kan banyak yang tidak tahu. Dan itulah keberhasilan dari si stasiun TV. Dia sudah dapat citra duluan, dapat nama duluan, apapun yang diberitakan itu sudah merakyat. Misalnya di Jakarta ada apa atau terjadi apa, orang akan langsung klik ke FM 90,0 Radio ElShinta, itu sudah terpatri. Demikian juga MetroTV atau TV One, orang akan nyari, atau di internet orang langsung buka Detik.com.250 Kru infotanment berusaha mengejar sumber berita yaitu para pesohor yang memerlukan investigasi untuk mendapatkan beritanya, atau pesohor yang memang haus akan promosi dirinya di layar kaca, sehingga tanpa dicaripun mereka datang ke redaksi infotainment. Tetapi ternyata tidak semua artis atau pesohor yang masalah pribadinya boleh dijadikan konsumsi publik. Contoh yang diberikan oleh Marah Sakti Siregar adalah Sophan Sophian dengan Widyawati. Ada juga. Kalau artis itu yang bagus-bagus, mereka keukeuh pada prinsip. Contoh: Sophan Sophian almarhum dengan Widyawati itu rapi, dia enak dan kita dekat sih, tapi terjaga mereka tidak mau mengumbar masalah pribadi segala macam. Jadi memang ada beberapa orang yang terseleksi hidupnya, bagus, makanya saya tidak mau pukul rata.251 Contoh lain adalah Informan Arif Rahman, seorang artis sinetron yang telah membintangi sinetron lebih dari 250 episode.
Ketika penulis tanya
bagaimana dia bisa bertahan tidak masuk infotainment dan juga bagaimana jika ketemu para pemburu berita tentang pesohor? Berikut penjelasan atau alasan yang disampaikan. ______________________________________________________________________________ 250 251
ibid, Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo. ibid, Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar.
357
Ya setengah menghindar, tapi kayaknya para wartawan infotainment itu sudah tahu kalau kayak saya atau teman-teman yang dibawah bendera PH. GB, itu diblok sama mereka. Jadi meskipun waktu itu produser saya mengundang wartawan infotainment untuk launching film saya, kelihatannya mereka tidak mau mengekspos saya sama teman-teman ke infotainment. Mereka bilang “Sorry Rif, bukannya gue gak mau ngangkat elu, tapi ada pembatasan-pembatasan dari produser elu”.252 Tampaknya peran produser sangat dominan terhadap para artis yang dikontrak di bawah bendera PH GB dan tidak menghendaki para artisnya masuk ke ranah gosip. Informan Arif Rahman menceritakan tentang pengalamannya bermain sinetron di bawah bendera PH GB sebagai berikut. Saya sudah lima tahun lebih pak. Kalau sinetron sudah 250 episode lebih ya, tapi kalau layar lebar baru sekali sih kesempatannya. Saya lebih banyak berperan protagonis, sering sebagai peran utama. Tapi kalau pas capek atau lagi nyelesein skripsi, saya minta peran sebagai peran pembantu saja, biar waktunya lebih longgar. Sebagai peran utama sering shooting semaleman sampe pagi.253 Mengenai bagaimana teman-temannya sesama artis yang berada di bawah bendera PH GB bereaksi terhadap aturan main yang dibuat oleh produser mereka, berikut kutipannya. Beda-beda sih pak, tapi kebanyakan sih pengin tampil di infotainment, karena bisa lebih ngetop. Tapi kalau saya berprinsip dari dulu, main di film untuk cari duit, bukan cari nama. Saya cuma takut masalah gosip saja, nanti lagi jalan sama teman cewek terus digosipin, dan lain-lain lagi efeknya. Saya gak suka urusan pribadi saya diumbar ke publik. Di satu sisi, wartawan infotainment banyak menguber artis untuk mengorek masalah pribadinya. Di sisi lain, ada artis, malah banyak, yang pengin diekspos apapun masalahnya asal dia bisa ngetop atau tambah ngetop lagi. Lihat saja peristiwa kasusnya Ariel, mobil mau jalan dihalangin, distopstop, giliran kelindes, jadi masalah. Begitu juga ketika kameranya kebentur mereka marah.254 ______________________________________________________________________________ 252
253 254
Wawancara dengan Informan Arif Rahman pada hari Senin tanggal 21 Juni 2010 Pk. 12:0013:00 WIB, di UPDM (B) Gedung Gotong Royong Lt.3, Jl. Hang Lekir I/No.8 Senayan, Jakarta Pusat. ibid, Wawancara dengan Informan Arif Rahman. ibid, Wawancara dengan Informan Arif Rahman.
358
Adanya pembatasan-pembatasan dari produser dan ketidaksediaan Arif untuk diekspos di infotainment, tentunya ada pengaruhnya. Seberapa besar pengaruh itu terhadap ketenaran para artis di bawah bendera PH GB, berikut kutipan wawancaranya. Pasti ada pengaruhnya pak, walaupun positif atau negatif. Untungnya produser saya dari dulu gak mau ganti-ganti pemain, kebanyakan kami sudah main 5 sampai 10 tahun sama dia. Ceritanya berganti-ganti, tapi orangnya kita-kita saja, Cuma perannya bergantian sesuai dengan ceritanya. Jadi memang sepertinya kita lebih kekeluargaan. Kebetulan sinetron-sinetron yang diproduksi oleh PH GB ratingnya termasuk bagus, sehingga kata produser, gak diekspos di infotainment aja rating sudah bagus, ya udah jalan terus seperti ini aja. Yang diutamain adalah rating programnya, bukan ngetopnya orang-perorang artis-artisnya. Memang sih di infotainment itu juga banyak nilai positifnya, tidak semuanya jelek. Secara manusiawi sih pengin diekspos, tapi kalau mau ekspos saya, saya sih gak mau masalah pribadi. Banyak teman-teman saya yang sudah ngetop dan sering diliput infotainment, kadang-kadang kita juga jalan bareng, tapi wartawan infotainment sudah tahu kalau saya gak mau dikorek-korek masalah pribadi. Jadi mereka ya nggak mau wawancara saya lagi. Walaupun begitu, hubungan saya dengan mereka sih baik-baik saja. Kita biasa bertemu, ngobrol-ngobrol, tapi memang tidak untuk peliputan. Kan kalau infotainment itu lebih untuk konsumsi TV, sedangkan kalau saya lihat, seperti tadi bapak bilang, di internet banyak juga sih ekspose tentang saya, utamanya di blog-blog. Ada juga sih blog saya. Kalau yang muncul di infotainment itu artis yang lagi ngetop apa karena ada kasus atau tidak, biasanya infotainmentnya ikutan ngetop, seperti Silet. Ada juga temanteman saya yang bilang pengin ngetop lewat liputan infotainment.255 Promosi melalui infotainment sudah menjadi kebutuhan para pesohor, namun ada juga artis yang tidak mau diangkat ke layar infotainment. Mereka yang tidak pernah terekspos di acara infotainment menjadi tidak begitu dikenal dalam tanda petik yang bersifat “famous” atau “notorious”. Sedangkan bagi artis yang _______________________________________________________________________________ 255
ibid, Wawancara dengan Informan Arif Rahman.
359
sering diekspos dalam acara infotainment banyak dikenal oleh masyarakat karena faktor “notorious”nya. Pesinetron dan model Iman Rifky Firmansyah yang lebih dikenal sebagai Aiman Ricky telah membintangi Sinetron Cinderella, Sinetron Bawang Putih Bawang Merah, Sinetron Pelangi, MTV, Sinetron Inayah, dan yang terakhir sebagai pemeran Mas Karyo dalam 550 Episode Sinetron Islam KTP. Aiman berpendapat memang benar ada artis yang memanfaatkan infotainment untuk promosi dirinya. Jadi memang ada sih artis yang sengaja ingin membuat dirinya tenar. Dia ingin diwawancarai oleh media, membuat berita tentang dirinya ada terus di media. Dia ingin dikenal luas oleh masyarakat. Sayapun juga ingin dikenal orang melalui media, tapi nggak semua masalah diungkap atau dibuka semuanya.256 Ketika ditanya pendapatnya tentang artis yang menyewa kru media, seperti cameramen atau editor untuk membuat informasi tentang dirinya, berikut penuturan dan pendapatnya: Ya.. ya bener sekali pak, ada yang seperti itu. Tapi kalau saya malah kebalikannya, saya pernah disewa sama media, pernah dua kali malah, saya disewa untuk suatu acara. Waktu itu kata orang media ada kapal pesiar yang minta diliput. Nah biar seru harus ada artisnya dong, katanya. Makanya saya diajak untuk memeriahkan liputan itu. Jadi saya dibayar sama orang media. Terus yang satu lagi sama ibu-ibu anggota partai politik. Dia ingin dikenal sama media. Dia punya kegiatan sosial di Yogjakarta. Cuma dalam rangka apa kan susah, jadi dia membawa saya untuk menemani ibu-ibu itu dan meramaikan acaranya.257 Demikian halnya dengan artis FTV serta model catwalk dan majalah, Moudyzania Zulkarnaen, mengatakan sebagai berkut: _______________________________________________________________________________ 256
257
Wawancara dengan Informan Aiman Ricky pada hari Kamis tanggal 31 Mei 2012 Pk. 14:0014:30 WIB di Ruang Perpustakaan, Fikom – UPDM (B), Gedung Perdamaian Lt.2, Jl. Hang Lekir I/No.8 Senayan, Jakarta Pusat. ibid, Wawancara dengan Informan Aiman Ricky
360
Kalau menurut pendapat aku, infotainment dijadiin untuk promosi diri itu sih tergantung masing-masing pribadi ya. Karena Infotainment di Jakarta nih ya, kayaknya harus siap nyari apapun untuk dijadiin berita. Meskipun sebenarnya nggak semua masyarakat bisa menerima isi beritanya. Bahan beritanyapun juga penting gak penting, pokoknya dia dapat bahannya. Memang sih ada juga yang jadiin itu untuk ajang promosi, bayar malah. Tapi biasanya sih untuk promosi film baru. Atau dia sudah gak ada namanya lagi, makanya dia pengin terlibat lagi di kegiatan produksi atau biar dapat job lagi. Tapi bener apa nggak ya, kalau sampai keluarganya dicari-cari, kayak kemarin aku nonton Julia Perez, sampai diketok pintunya, ngapain sih sampai begitu. Sampai sopirnya, satpamnya ditanyatanya. Saya sih kurang setuju ya seperti itu. Mungkin karena harus kejar tayang, setiap hari harus dapet materi, dan harus siaran stripping.258 Mengenai apakah benar artis-artis pada bersaing untuk dapat masuk ke infotainment, sampai-sampai ada yang mengajak kru liputan dan membayari semuanya? Berikut jawaban Moudy: Ya denger-denger sih kayak gitu. Biasalah di dunia entertainment. Jadi buat bisa diliput atau diwawancarai ya “katanya” sih sampai mau bayarbayar gitu. Yang penting bisa naikin namanya lagi. Memang sih, kalau lagi pada ngumpul sesama artis, kalau mengenai infotainment kayaknya sih pada “jaim” (jaga imej). Malah yang sering pengin itu ibunya, pengin anaknya diliput infotainment atau tabloid apa. Ada yang cuma karena naik kelas atau ulang tahun maka si anak diliput. Ada sih some people kayak gitu. Tapi memang sih, kadang-kadang saya ditanya-tanya, juga ke tementemen saya, kapan mau kawin atau apa gitu.259 Memperhatikan diskusi tersebut di atas, maka tampaknya bahwa terjadinya pergeseran etika komunikasi adalah karena antara pesohor dan media saling membutuhkan. Para artis memanfaatkan acara infotainment untuk ajang promosi dirinya, meskipun ada yang setuju dan ada yang tidak setuju masalah privasinya diungkap ke publik. _______________________________________________________________________________ 258
259
Wawancara dengan Informan Moudyzania Zulkarnaen pada hari Senin, tanggal 04 Juli 2012 Pk. 11:00-12:00 WIB, bertempat di ruang kelas Fikom UPDM (B), Gedung Merah Putih Lt.3. Jl. Hang Lekir I/8 Senayan,Jakarta Pusat. ibid, Wawancara dengan Informan Moudyzania Zulkarnaen.
361
4.1.3 Pemaknaan realitas sosial tentang masalah privasi ke ruang publik menurut perspektif Tim Produksi Infotainment.
Gambar televisi adalah ”manipulated pictures” yang tersusun dari visualvisual, shot by shot dan scene by scene sehingga memberikan makna tertentu, bercerita tentang sesuatu pesan dalam bentuk gambar dan suara. Gambar yang disajikan adalah hasil dari penataan set dekorasi dan properti, pengaturan posisi dan gerakan subyek, penataan komposisi dan pencahayaan, pengambilan gambar dengan angle yang bervariasi, pemilihan atau seleksi gambar yang baik dan sesuai. Gambar yang ada di layar disajikan oleh sutradara bersama kru-nya sesuai dengan jalannya cerita atau pesan yang ingin disampaikan. Sehingga dalam suatu kejadian atau adegan, maka gambar dan suara yang ditonton adalah hasil seleksi final oleh sutradara melalui switcher ataupun editor. Ketika gambar muncul di layar televisi, penonton di rumah tidak tahu ada apa saja sebenarnya di sekitar gambar yang dimunculkan. Oleh karenanya, Tim Produksi dalam hal ini Pengarah Acara mempunyai kekuasaan atas apa yang akan disajikan kepada penonton. Penonton bisa berada dalam posisi tawar yang lemah karena tinggal menerima terpaan gambar tersebut. Untuk acara-acara yang dramatik seperti cerita film, sinetron atau drama, maka adegan-adegan diatur sesuai dengan naskahnya (fully scripted show). Sedangkan untuk acara-acara non dramatik, apalagi peristiwa yang terjadi mendadak dan tanpa rencana, maka pengambilan gambarnya disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan tergantung pada kepiawaian pengarah acara maupun kameramennya. Untuk format-format feature atau magazine, teknik
362
penulisan naskahnya adalah naskah setengah jadi atau semi script production, yaitu naskah yang diawali dengan outline, baru bertahap dibuat naskah lengkapnya, khususnya untuk narasinya. Pengambilan gambar presenter infotainment, kecuali untuk gambar presenter yang satu orang dengan posisi statis dan berada di studio atau ruangan, perekaman gambarnya bisa diatur dulu sebelum take, atau langsung take tanpa pengaturan. Seringkali terjadi pembuatan acara infotainment menggunakan naskah setengah jadi (semi script production) karena materinya baru dicari sambil jalan. Dengan kondisi seperti itu, sering juga kru infotainment menggunakan metode kerja non scripted program, seperti akan meliput berita, yakni program yang tanpa naskah, atau disyut tidak berdasarkan naskah lengkap. Itu pula sebabnya, para pelaku bisnis infotainment menyatakan karyanya adalah karya jurnalistik atau program faktual. Pelaksanaan kegiatan liputan di lapangan kadang-kadang materi yang direncanakan tidak diperoleh, sedangkan materi yang tidak direncanakan malah didapat. Jika sampai saatnya (deadline) belum ada gambar yang diperoleh atau layak untuk diangkat, maka mulailah materi-materi re-run dipersiapkan untuk disiarkan dengan ramuan narasi dan asesori baru sebagai tambahan agar tidak terlihat repetisi konten. Disinilah, hegemoni kekuasaan kru produksi atas unsur kedua yaitu artisnya dapat terjadi, atau justru sebaliknya posisi kru infotainment berada dibawah pengaruh artisnya. Karena target khalayaknya adalah SES B, C atau D, maka materi yang akan diangkat disesuaikan dengan low taste content.
363
Bagaimana kru infotainment ketika merekonstruksi realitas sosial itu ke dalam media, mungkin tidak sama dengan jurnalis yang betul-betul berasal dari organisasi pemberitaan. Ketika infotainment merekonstruksi realitas dalam masyarakat adalah menurut sudut pandang mereka sendiri. Ada rekayasa, seperti membuat semi documentary atau docudrama.
Apakah benar ada kaitannya
dengan apa yang digariskan oleh owner, sehingga ada yang mengatakan bahwa infotainment itu
mempertahankan sistem kapitalisme baru? Informan Wina
Armada menyatakan bahwa untuk infotainment itu variable-nya tidak sederhana. Meskipun dikatakan bahwa infotainment itu membuatnya mudah dan biayanya murah. Wina Armada menuturkan sebagai berikut: Saya pernah menulis buku, bukunya “Menggugat Kemerdekaan Pers”, dalam salah satu Bab ada mengenai the right of privacy vs the right of publication. Nah disitu ada, meskipun ini buku lama, ada sedikit sejarah tentang kenapa “the right of privacy”, mengapa the right of privacy mencuat dan menjadi bagian dari masalah. Kalau kita lihat di Indonesia, itu sebenarnya konsep privacy bukan konsep Indonesia, bukan dunia timur, ini yang menarik, karena ternyata konsep dari barat. Kemudian diadop dari sana ke kita. Kemudian ada pergeseran nilai2 berbalik kembali, tadinya publik ke privasi, terus berbalik lagi privasi ke publik. Kalau lihat KDRT, dulu suami gampar istri, itu urusan internal, urusan rumah tangga sendiri, orang lain tak boleh ikut campur. Sekarang tidak, jika istri anda tidak setuju, istri anda bisa melapor, bisa jadi konsumsi publik. Kemudian juga banyak hal yang tadinya memang privasi sekarang balik ke publik. Kalau kita mau lihat infotainment itu mungkin variabelnya tidak sederhana.260 Kalau dilihat apakah itu inhouse atau PH, dalam merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat tentunya sesuai dengan perspektif mereka. Tentang hal ini Wina Armada mengatakan: _______________________________________________________________________________ 260
Wawancara dengan Informan Wina Armada Sukardi, pada hari Jumat, 18 Juni 2010 Pk.11:00 – 12:00 WIB di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jl. Kebun Sirih, Jakarta Pusat.
364
Pertanyaannya apakah mengkonstruksikan realitas sama saja dengan pers mengkonstruksikan realitas sesuai cara pandangnya?. Satu lagi yang menarik, seringkali terjadi satu kerjasama, dulu istilah kolaborasi itu negatif, tapi saya gak pakai istilah itu. Seringkali terjadi antara artis dengan infotainment, seakan akan sebuah berita, padahal ingin promosi filmnya, mengangkat popularitasnya. Contoh : waktu itu ada ribut-ribut antara Kiki Fatmala dengan Syaiful Djamil, ada yang pelecehan, ternyata itu baru mau untuk promosi film mereka. Kadang-kadang karena hal ini sering terjadi, maka terjadilah berbagai campuran, mana yang realitas mana yang bukan, mana yang promosi mana yang tidak, dan seterusnya kabur, semu. Itu dulu terjadi di media cetak, ketika infotainment belum ada. Artis-artis film itu digosipkan di media cetak. Jadi ini merupakan perpanjangan tangan. Tapi mungkin persentasenya berapa saya tidak menguasai.261 Waktu kru infotainment merekonstruksi suatu kejadian, ada item yang sebenarnya bukan berita, tapi dibuat seolah-olah seperti suatu berita dengan narasi yang menggebu-gebu, padahal nilai beritanya tidak ada. Misalnya, menelpon seseorang menanyakan sedang ngapain, lalu disyuting tentang keseharian si figur tadi. Ini adalah sebagian saja dari cara merekonstruksi realitas sosial ke dalam layar TV. Seperti yang dikatakan oleh Aiman Ricky, bahwa media itu pintar, dengan mem”blow up” suatu masalah yang biasa saja, karena dilebih-lebihkan maka membuat berita itu menjadi besar dan seolah-olah nyata. Jadi dengan keadaan seperti itu, susah membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Apakah karena mereka berangkat bukan dari sisi jurnalis mainstream, tetapi dari kru program non faktual?
Meskipun sudah diakui sebagai wartawan,
sudah dilakukan pelatihan-pelatihan, tapi masih ada yang memakai paradigma lama. Sedangkan dari sisi lain terutama dari para pelakunya, apakah ini karena ______________________________________________________________________________ 261
ibid, Wawancara dengan Informan Wina Armada Sukardi.
365
kecenderungan untuk mencari peluang yang bisa berdampak ekonomik, dan dari sisi mereka yang diberitakan yaitu para artis, selebritis, ini kadang-kadang kan mengadu, membantah, atau pamer hingga jalan-jalanpun juga diinfokan, di-cover. Terkait masalah tersebut, Informan Bimo Nugroho menyatakan bahwa: Produksi infotainment itu adalah produksi acara yang paling murah, dan paling mudah juga, dibandingkan dengan sinetron. Artinya kalau dia sinetron kan harus ada skrip, bayar untuk artisnya juga. Sedangkan kalau infotainment tidak, bahkan kalau jalan-jalan yang bayar artisnya. Lebih murah dari program berita. Bahkan artisnya memberikan amplop yang tidak termasuk kategori penyuapan kepada wartawan karena dia mengundang dan untuk keperluan sosial affair. Jadi ada batas yang jelas, jadi pekerja infotainment meskipun metode kerjanya itu sama dengan wartawan, dia bukan wartawan. Dia sama juga setara juga dengan peneliti. Peneliti kan metodenya sama dengan wartawan. Melakukan wawancara, investigasi, penelusuran data, memang lebih jauh lagi peneliti melakukan penyimpulan, memberikan opini. Tapi kalau wartawan dan pekerja infotainment kan tidak memberikan opini, tetapi mempunyai frame. Ini setara, jadi infotainment tidak lebih rendah atau lebih tinggi daripada jurnalistik. Kalau infotainment ini dipaksa masuk kedalam jurnalistik, dia akan kewalahan mengikuti kode etik jurnalistik. Kenapa? Karena memang tidak bisa dipenuhi. Banyak yang dilanggar, jadi akan kena bentak terus. Dianggap jelek, padahal tidak selalu jelek. Ini sama dengan cerita antara telur ayam – telur bebek. Jadi ada telur bebek yang tiba-tiba masuk ke sarang ayam, terus kemudian dierami oleh ayam, lalu menetas. Nah, yang lain-lain jadi ayam, yang satu jadi bebek. Bebek karena memang bebek, karena komunitasnya ayam, kan jadi tampak jelek, dan akan diolok-olok bebek jelek-bebek jelek. Padahal, kalau ini dikembalikan ke habitatnya atau dikembalikan ke industri infotainment, dia akan kelihatan bagus. Cerita si bebek tadi, dia kan akhirnya frustasi, keluar sendiri, dan mencari jati diri, ketemu dengan bebek-bebek yang lain, dan dikatakan wah kamu cantik sekali, bagus sekali. Dalam komunitas itu dia menemukan jati dirinya, menjadi dirinya sendiri. Saya berpendapat begitu.262 ______________________________________________________________________ 262
Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo pada hari Rabu, 16 Juni 2010 Pk. 13:30 – 16:30 WIB di Kantor KPI Pusat, Gedung Bapeten Lt.6 Jl. Gajahmada No.38 Jakarta Pusat.
366
Mengenai wartawan mainstream (arus utama) atau wartawan infotainment yang kedudukannya lebih rendah atau lebih tinggi, menurut Bimo Nugroho tidak perlu dimasalahkan, karena masing-masing memiliki karakternya sendiri-sendiri. Tidak bisa dipaksakan wartawan infotainment harus sama dengan wartawan mainstream. Perlu disadari bahwa yang penting adalah bagaimana wartawan dapat mensejajarkan diri dengan pihak narasumber. Kalau untuk wartawan mainstream itu harus meng-up date diri terus menerus karena dia harus bisa menggali informasi dari para narasumber yang mungkin cukup sulit untuk dimintai keterangan. Juga dia harus dapat menjelaskan tentang sesuatu data yang diperoleh secara ilmiah. Sementara untuk wartawan infotainment pertanyaan yang diajukan tidak memerlukan basic ilmu pengetahuan yang mendalam. Dalam masalah ini Informan Marah Sakti Siregar menyatakan sebagai berikut: Kalau saya merasa, wartawannya sendiri mestinya memiliki ciri. Kalau sekarang ini sepertinya sejajar, atau wartawan tidak berada pada posisi yang lebih cerdas daripada narasumber. Paling banter sama, atau bahkan berada di bawah. Ini yang menentukan arah komunikasinya disini. Narasumber yang menentukan, bukan wartawan infotainmentnya. Sehingga kami di PWI melakukan kajian-kajian, untuk mendorong mereka wartawan infotainment meningkatkan kompetensi, kemampuan, wawasan, dan etikanya sendiri. Nah dalam hal ini memang ada problem, kita harus akui itu. Mereka wartawan yang di mainstream nampaknya lebih waspada, lebih mau mengisi diri daripada anak-anak wartawan infotainment. Tapi kalau anak-anak infotainment, karena berteman lama, sehingga sampai apapun tidak ada lagi rahasia sudah begitu dekat, seperti dia mau kawin sama si ini, dia sama anak bininya atau sama lakinya sudah gak cocok, dsb. Berita macam itu tidak usah diinvestigasi sudah tahu, cuma inilah, kadang-kadang kerjanya kurang rapi. Karena gampang mendapat kan bahan, lalu nggampangin. Sehingga dia tidak teliti lagi, missed, sehingga kurang akurat, dan segala macem.263 ______________________________________________________________________________ 263
Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar pada hari Rabu, tanggal 23 Juni 2010 Pk. 10:00 – 11:30 WIB di Kantor PWI Pusat – Gedung Dewan Pers Lt.4 Jl. Kebun Sirih, Jakarta
367
Memperhatikan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa antara wartawan mainstream dan wartawan infotainment itu masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Namun wartawan mainstream karena dunia jurnalistiknya lebih serius, mereka harus senantiasa meng-update diri agar setidaknya mampu mengimbangi narasumbernya. Sedangkan wartawan infotainment karena sifat jurnalistiknya lebih ke hiburan, maka tidak harus meng-update diri terus menerus secara keilmuan. Bagaimana seharusnya kru infotainment merekonstruksi kejadian di lapangan dan menyajikannya di layar kaca, Informan Ilham Bintang menyatakan bahwa prinsipnya adalah bagaimana membuat berita yang mendekati akurat, karena akan ditonton oleh publik, sehingga bagaimana suatu peristiwa itu tidak dipelintir. Konsep operasionalnya harus tetap berpedoman pada kode etik jurnalistik. Kenyataannya menurut Ilham Bintang, dia sering menangani pengaduan-pengaduan dan keluhan para artis karena pemberitaan yang miring pada mereka. Di sisi lain, masih banyak artis yang datang ke infotainment minta diekspos. Selanjutnya Ilham Bintang menjelaskan terkait bahwa kondisi riil di lapangan sering menimbulkan masalah, bahwa semua itu tergantung pada niatnya. Para pekerja infotainment yang berasal dari non-mainstream sudah diajak dan dikategorikan sebagai wartawan hiburan dan dibekali dengan aturan-aturan main seperti Undang-Undang tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah, P3SPS, Kode Etik Jurnalistik, dll melalui sosialisasi dan pelatihan. Tapi kenyataannya masih terdapat kekurang-cermatan di dalam penyajiannya. Kata Ilham Bintang: “Bagaimana cara menyajikan hasil liputan yang kurang layak siar, seperti menampilkan
368
gambar atau merekam gambar untuk anak-anak dibawah umur yang terkena kasus kasus asusila, misalnya. Dengan di”blur” mukanya, atau suaranya diubah suaranya, misalnya. Tapi seperti kasusnya Cut Tari, anaknya digendong-gendong, awalnya tanpa di blur, nah ini anak-anak baru di infotainment”.264 Infotainment seringkali mendapat teguran dari KPI. Tetapi jika dibandingkan dengan kasus aduan yang lain yang masuk ke KPI, aduan untuk infotainment
hanya
sedikit.
Bagaimanapun,
rata-rata
Ilham Bintang
sebagai orang yang dianggap menjadi perintis munculnya acara infotainment televisi di Indonesia, merasa bertanggung jawab atas pengaruhnya terhadap generasi penerus bangsa. Dia selalu menekankan pentingnya mematuhi kode etik dan aturan main yang berlaku. Berikut kutipan pernyataannya: KPI banyak menegur infotainment, sesuai dengan aturan P3SPS memang iya, tapi infotainment itu mengangkat masalah dalam konteks berita. Sedangkan untuk sinetron, yang banyak menyajikan kemewahan gaya hidup, tidak diapa-apain. Semuanya menyangkut masa depan generasi kita. Jadi diantara para artis sendiri sering terjadi kontraversi, misalnya Dhani, ketika bercerai sama istrinya, apa yang dia lakukan? Sementara kasus Ariel, fakta, yang nyata-nyata ada gambarnya telanjang, dia bela. Demikian juga kasusnya Inul, bagaimana Camelia Malik terhadap itu sikapnya. Itulah akhirnya semuanya berdasarkan kepentingannya masingmasing. Ya, seperti saya katakan di awal pembicaraan, bahwa apakah saya juga termasuk di dalamnya sebagai yang ikut melakukan perubahan pergeseran nilai itu? Atau hanya merekam saja kejadian perubahan itu. Dari posisi wartawan, saya ingin berteriak bahwa saya “on track” lah. Makanya dapat bertahan sampai 15 tahun ini. Tapi bagaimana dengan yang lainnya? Percayalah, bahwa publik itu nggak bodoh. Segala sesuatu itu, termasuk penerbitan surat kabar, tabloid, atau siaran televisi, itu terkait aspek hukum, sosial, budaya, agama, dll. Boleh saja sih mencari informasi tambahan dari kanan kiri, kerabat, tetangga, dll. Tapi jangan melanggar kode etik dan sistem nilai yang ada.265 _______________________________________________________________________________ 264
265
Wawancara dengan Informan Ilham Bintang pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2010 Pk.12:0014:00 WIB di Kantor Cek & Ricek Tayangan, Jl. Menara IV, Meruya, Jakarta Barat. ibid, Wawancara dengan Informan Ilham Bintang.
369
Mengenai kasus di twitternya Luna Maya yang dia memaki wartawan infotainment karena ketika dia menggendong anaknya Ariel diuber-uber wartawan sehingga
kamera
wartawan
mengenai kepala
anak yang
digendongnya.
Bimo Nugroho menanggapi sebagai berikut: Saya, kalau dalam kasus terakhir ini melihat ada balas dendam. Balas dendam terhadap Luna Maya. Bukan karena kedekatan saya dengan para pekerja infotainment, kan kita sering ngobrol-ngobrol, nah mereka itu terus terang merasa punya dendam dengan Luna Maya. Saya mendeteksi itu juga tampak dari bagaimana presenter menanya penonton secara halus misalnya dengan mengatakan bahwa dulu Luna Maya mengatakan bahwa pekerja infotainment itu sama dengan pelacur, PSK. Itu kemudian kan ditanyakan ulang oleh presenternya, jadi siapa dong yang pelacurnya? Siapa yang tidak punya moral? dsb. Jadi unsur balas dendam itu ada. Nah ini kan sebetulnya yang perlu dihindari. Ada etika-etika meskipun itu dalam ruang privat perbedaan pendapat tetap dimungkinkan tetapi balas dendam tidak boleh.266 Apa yang dijelaskan oleh Informan Bimo Nugroho tersebut di atas menunjukkan bahwa kru infotainment masih layak disebut pekerja infotainment. Kenapa? Karena masih belum bisa menerapkan kode etik jurnalistik ataupun kode perilaku wartawan. Selain itu juga menunjukkan bagaimana kru infotainment merekonstruksi peristiwa yang ada atau yang diada-adakan ke layar TV. Faktafakta
di lapangan ada yang bersifat formal dan ada yang bersifat tidak formal.
Pekerja infotainment yang berasal dari non-mainstream bergerak di bidang jurnalistik hiburan yang sifatnya non formal. Bagaimana kru infotainment yang bergerak di bidang hiburan merekonstruksi realitas yang ada di masyarakat ke dalam ruang publik? Bagaimana mereka memaknai realitas sosial menurut pandangan mereka sendiri? Informan Farid Ridwan Iskandar memberikan tanggap an sebagai berikut: _______________________________________________________________________________ 266
ibid, Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo.
370
Dengan konsep dasar itulah Pak Ilham mencoba membuat acara dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang tidak berbeda, meskipun struktur ceritanya berbeda, dan dengan konsep cerita yang berbeda. Kenapa, karena kami kebetulan berangkat dari media yang serius (mainstream), sehingga itulah yang menjadi landasan kita berpikir. Dalam perjalanannya memang terjadi deviasi-deviasi yang tidak mungkin bisa kita lakukan kontrol, karena mereka memang beda-beda sehingga terjadi terdapat pro dan kontra karena memang cara berpikirnya berbeda, cara penyajiannya berbeda.267 Jika dibandingkan dengan acara-acara hiburan yang lain, untuk infotainment itu sendiri menurut para informan, materinya paling murah untuk diproduksi. Murah tentunya dalam pengertian jika dibandingkan dengan program non berita. Tetapi dibandingkan dengan program berita, seharusnya memang tidak ada pembiayaan apapun kecuali untuk transportasi petugas, BBM, sewa alat, dan bahan baku untuk rekaman dan editing. Marah Sakti Siregar mengatakan : Ya, karena kalau dia masuk dalam kategori sebagai berita, kan tidak ada pembayaran, free. Karena masuk dalam lahan berita, news, sehingga tidak ada hak artis minta dibayar, mau difoto atau apapun, kecuali untuk sejumlah majalah-majalah wanita sebagai cover misalnya, ya itu mesti ada bayarannya. Untuk wawancara biasa saja ya tidak ada bayarannya. Sehingga ya bisa dimengerti, untuk kategori lainnya, silahkan tanyakan ke Pak Ilham Bintang yang lebih tahu masalah itu. Karena buat sebuah produk infotainment kalau dibandingkan dengan kategori sinetron ya jauh sekali bedanya, semuanya harus dibayar. Sedangkan untuk infotainment kan hanya sewa peralatan, gaji pekerjanya, sehingga ya sangat jauh bedanya. Sehingga bisa dimengerti mengapa stasiun televisi itu mengambil alih, .. dulu kan infotainment itu hanya dibuat oleh rumah produksi saja, sekarang bergeser hanya tiga besar saja yang masih bertahan, yaitu Bintang Group, Shandika dan Indigo.268 Industri infotainment tidak hanya merubah perilaku para pesohor dan masyarakat, tetap juga perilaku wartawannya. Penataran, pelatihan dan sosialisasi sudah banyak dilakukan oleh pihak PWI, namun ketika rambu-rambu tersebut akan diterapkan dalam praktik produksinya, maka terdapat kebijakan-kebijakan _______________________________________________________________________________ 267 268
ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar. ibid, Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar.
371
internal yang kurang/tidak mendukung. Penjelasan Informan Marah Sakti Siregar sebagai berikut: Ada interupsi-interupsi atau masukan yang menyatakan bahwa apa yang harus dilakukan bagus, tetapi kalau diterapkan bisa turun ratingnya. Karena itu kerjanya agak susah, nanti kami akan menghadapi problem pada pemilik, pada quality control di televisi, karena mereka tidak menerapkan kode-kode itu. Sehingga sebenarnya political will-nya mesti seluruhnya. Perlunya kita semua sepakat, seluruh komponen bangsa ini termasuk pemerintahnya, dan utamanya pemiliknya ini juga harus sepakat. Tidak hanya profit, karena ini ranah publik sehingga sensitif sekali, kalau kita nggak hati-hati, kalau anda hanya mengumbar sensasi saja, atau cerita buruk seperti itu, ya nanti memang akan diminati masyarakat kita, tetapi apa pengaruhnya itu yang dia gak mikir. Demikian juga si wartawan, yah segala kelakuan mereka, oleh wartawan ya senang-senang aja, dia gak pikirin apa-apa, tulis aja apa yang ada. Apakah dia mengkritisi itu? Nggak. Maka dia bulat-bulat merekonstruksi saja apa yang ada semuanya, dieksposnya. Baik yang negatif atau hidup yang konsumtif, buka aja semua kepada publik. Ya kita (PWI) selalu mencoba, tapi kendalanya ya itu. Kita tahu kemunafikan banyak, di depan kita bilang okey, tapi kenyataan di lapangan tetap sama. Karena ditonton oleh 10 sampai 12 jutaan orang, ratingnya bagus. Jadi kalau difatwakan tayangan infotainment itu haram, ya kita gak bisa melarang. Tapi kalau sudah difatwakan begitu bisa kita buktikan gak bahwa tayangan itu ratingnya turun? Kenyataannya malah naik. Nah masalah itu haram atau tidak terserah masing-masing. Kecuali di tempat-tempat khusus seperti Pondok Pesantren bisa diberlakukan bahwa tayangan itu haram, dalam pengertian para santri tidak boleh menontonnya. Karena tayangan itu ada dimana-mana, hampir di setiap waktu.269 Selain sebagai jurnalis senior yang berangkat dari kalangan mainstream, Ilham Bintang, Marah Sakti Siregar dan Farid Ridwan Iskandar juga terlibat di pengurusan organisasi PWI Pusat. Namun sebagai perintis acara infotainment, mereka sering menjadi bemper ketika terjadi masalah di lapangan. Berikut penjelasan dari Farid Ridwan Iskandar : _______________________________________________________________________________ 269
ibid, Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar.
372
Nah selanjutnya ada beberapa ekses yang pada akhirnya membuat kami menjadi semacam bemper. Pak Ilham sering kali terlibat menengahi karena merasa memiliki kontribusi dalam pencetusan program semacam itu. Kalau bicara suka dukanya, sukanya kami berhasil membuat suatu program katakanlah yang baru dan menjadi trend dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dukanya ya itu kami sering menjadi bemper dalam setiap permasalahan, karena tidak semuanya terbuka. Misalnya, tiba-tiba ada persoalan kasus hukum terjadi clash antara sumber berita dengan kawan infotainment. Kan muncul ke permukaan, dan untuk mencoba menetralisir persoalan, maka kamilah akhirnya. Padahal yang punya hajat bukan kami, tapi media lain, PH yang lain. Tapi dalam beberapa perte-muan di PWI juga sekali-kali saya sudah sampaikan kepada mereka, tolong, dalam membuat program tayangan seperti itu dianggap sebagai program news, sehingga paling tidak ditunjuk orang-orang yang paham ilmu jurnalistik sehingga bisa memilah dan memilih mana yang layak ditayangkan atau tidak.Waktu itu kami menghimbau kepada seluruh dari kru dari infotainment itu untuk masuk dalam kategori wartawan. Dengan mereka masuk kategori itu, kita kan punya kaidah, punya kode etik. Sehingga lebih mudah mengarahkan mereka agar bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang ada.270 Merekonstruksi realitas sosial ke dalam acara infotainment adalah termasuk bagaimana mulai dari melihat, mengamati, mengambil gambar dan suara, mengedit, menarasikan, mereview, dan menyiarkan fakta-fakta yang ada untuk tujuan kemanfaatan bagi perbaikan mutu kehidupan masyarakat. Selain bisa menghibur, tentunya harus mengandung unsur informasi yang benar. Meskipun dikatakan mudah membuatnya, karena kategorinya acara faktual, namun dengan format feature, magazine atau dokumenter, maka infotainment adalah sesuatu yang rumit. Dia harus brersinggungan tidak saja dengan peraturan, kode etik jurnalistik, dan kode perilaku, tapi juga sangat ditentukan oleh kebijakan internal PH atau Stasiun TV yang bersangkutan. Selain itu juga bersinggungan dengan norma-norma sosial dan agama yang hidup di dalam masyarakat. Berikut kutipan wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar : _______________________________________________________________________________ 270
ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar.
373
Saya sangat percaya bahwa berita yang dikemas dengan benar, sumber beritanya benar, fakta informasinya betul, kemasannya betul, itu yang akan bertahan. Dari sisi rating ya, dan dalam rentang waktu yang lebih panjang mereka yang akan bertahan. Ada banyak media infotainment yang sering kita kritisi, saya dengan pak Ilham sering begitu, tapi katanya ini fakta, padahal itu fakta dan opini, bahkan kadang isu. Ada satu pendapat yang menyatakan fakta dan pendapat itu isu, saya belum percaya, karena bagi saya selama berita itu dikemas dengan benar, sumbernya benar, angle-nya bagus, itu baru benar. Saya tidak percaya berita-berita isu itu bisa bertahan. Paling tidak selama dua belas tahun ini saya dengan pak Ilham berkeyakinan selama beritanya bener, maka akan tetap dapat bertahan, bukan menjual isu, bukan menjual gosip, bukan paha.. Jadi berita yang disajikan harus bisa ada pencerahan kepada pemirsa atau pembaca, mereka bisa mengambil sesuatu dari situ, saya kira kita bisa berumur panjang.271 Jika pendapat-pendapat tersebut di atas berasal dari wartawan mainstream, berikut adalah pandangan atau perspektif produsen infotainment yang berangkat dari kalangan non mainstream. Informan Robby T.Winarka produser eksekutif dari salah satu PH yang masih bertahan mengerjakan infotainment memaparkan apa yang dilakukan oleh dia bersama Timnya. Ketika ditanyakan bagaimana mereka merekonstruksi realitas sosial ke dalam acara infotainment, Robby T.Winarka
menjelaskan bahwa yang penting bagaimana cara mengemasnya,
bagaimana mencari topik terhangat. Karena itu merupakan kuncinya. Kadangkadang
ada beberapa materi yang sama dengan acara lain, tetapi tinggal
mengemasnya, agar tetap beda dan menarik. Robby T.Winarka
juga
menerangkan bahwa setiap program ada produsernya sendiri. Produser atau produser pelaksana diberikan kebebasan untuk mengungkapkan ide-idenya, termasuk merealisasikannya. Tapi rencana materi biasanya sudah ditetapkan dari awal, sehingga kreativitasnya lebih ke artistik saja. _______________________________________________________________________________ 271
ibid, Wawancara dengan Informan Farid Ridwan Iskandar.
374
Mengenai sudut pandangnya selaku produser eksekutif sekaligus managing director pada PH pemroduksi infotainment yang sudah bertahan sepuluh tahun lebih, Robby T.Winarka menjelaskan bahwa pihaknya harus selalu berpikir mencari pola-pola baru, varian-varian baru agar
infotainment
produksinya tetap menarik dan ditonton orang. Isi infotainment adalah varian, bermacam-macam peristiwa, juga dalam satu program atau satu kali tayang, materi atau segmennya ada beberapa. Misalnya, segmen pertama tentang artis A, segmen kedua tentang artis B, segmen ketiga tentang artis C, segmen keempat tentang artis D. Tapi kadang-kadang satu segmen ada dua artis, tergantung dari itemnya. Pihak PH harus bisa membaca apa yang diinginkan oleh pemirsa. Robby T.Winarka mengupamakan seperti masyarakat atau adat Jawa, masih suka hal-hal yang mistik atau misteri. Selaku Produser Eksekutif berusaha membuat bentuk lain, varian baru, yang berbeda-beda. Hari Senin dibuat varian, hari Selasa untuk life-style, hari Rabu life-style lagi, dan hari Kamis misteri. Kenapa? Karena malam Jumat di kalangan masyarakat masih dianggap sebagai malam yang keramat. Pada hari Jumatnya disajikan varian lagi. Tinggal siapa yang akan diangkat ke dalam varian-varian dan ketegori tersebut.272 Robby T.Winarka menjelaskan lagi, bahwa dengan ditambahnya frekuensi tayang sehingga satu hari bisa beberapa kali episode dan durasi acaranya dari 30 menit menjadi 60 menit, maka hal itu semakin memberatkan. Tapi disanggupi juga. Oleh karena itu sering terlihat isi tayangan infotainment kurang berbobot dan sering terjadi pengulangan materi karena harus kejar tayang. Untuk mengatasi ______________________________________________________________________________ 272
Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka, pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Cafée Bean Senatan City’ Jakarta Pusat.
375
masalah yang timbul, pihak produsen mencari formula baru yaitu dengan mencari masukan-masukan yang banyak agar lebih baik dan menarik. Termasuk bagaimana suatu isu yang diangkat menjadi bertambah bobotnya karena adanya masukan, pendapat, atau apapun baik dari yang bersangkutan, kerabatnya, lingkungannya, masyarakat dan sebagainya. Jadi untuk acara satu jam dapat diisi dengan cara tadi. Suatu pemikiran yang simpel, tetapi diolah sedemikian rupa sehingga menjadi panjang dan menarik.273 Perspektif lainnya dari pihak pekerja infotainment adalah mengkategorikan para artis sebagai artis baru, artis sedang atau artis lama. Terkait dengan masa keartisannya, juga diperhatikan dari segi usia, yaitu artis muda, artis menengah, dan artis yang tua. Ada juga artis papan tengah. Yaitu yang tidak baru sekali, tapi tidak terlalu muda atau terlalu tua, atau kategori tengah atau yang sedang-sedang saja. Tetapi yang masih laku jual dan tentunya yang terkenal. Kalau sudah mulai tidak terkenal atau mulai redup pamornya, yang harus dipikirkan ulang, kecuali jika memang ada kasus yang menimpanya. Untuk artis-artis tertentu yang masih “menjual”, rating dan share-nya masih tinggi, disukai oleh penonton dan ditunggu-tunggu, maka akan selalu diperhitungkan untuk ditayangkan. Tapi untuk artis yang karena kelakuannya kemudian tidak disukai oleh penonton, apalagi kalau rating dan share-nya rendah, maka tidak akan ditayangkan. Mengenai rekonstruksi realitas sosial ke dalam acara infotainment, menurut Slamet Rahardjo mengemukakan bahwa harus dilihat apakah masih ranah _______________________________________________________________________________ 273
ibid, Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka
376
pribadi atau sudah ranah publik. Berikut pernyataannya: Misalnya saya punya pistol, untuk kepentingan pribadi gak apa-apa kan, tapi kalau sudah buat nembak orang? Itu sudah bukan pibadi lagi, tapi sudah ranah publik. Nah sekarang pertanyaannya, kamera punya pribadi, setiap orang bisa beli kamera, tapi kalau kamu berani merekam, teknologi itu menjawab, setelah itu harus ada tayangan, itu konsekwensinya dengan teknologi. Mungkin nanti dia mati nggak terbuka sampai sekarang, tapi nanti dibuka orang. Oh, ternyata dia tukang main porno, sama aja kan? Itu cuma “the matter of time”. 274 Asumsi atau asumsi pribadi adalah kata kunci. Apalagi ketika produser atau kru infotainment diberikan kebebasan untuk merealisasikan ide-idenya dalam membuat acara infotainment sebagaimana dikatakan oleh Informan Robby T.Winarka, berarti faktor selera (taste). Sedangkan target khalayaknya adalah SES D atau E, maka hasilnya juga low taste content. Di sisi lain, menurut Mariana Amiruddin, masyarakat sendiri tidak memahami mekanisme pembuatan acara dan tidak biasa bersikap kritis untuk menyatakan pendapatnya. Masyarakat sering tidak tahu perangkat-perangkat telekomunikasi apa untuk melakukan protes atau pengaduan kemana? Kalaupun ada yang protes mungkin untuk tujuan tertentu atau karena menggampangkan masalah.275 Sebagaimana dinyatakan oleh Informan yang lain, Informan Nani Indra Ratnawati Nurrachman juga berpendapat bahwa antara artis dengan infotainment terdapat
“simbiose
mutualistis”
yaitu
saling
memerlukan
dan
saling
menguntungkan. Tinggal sampai dimana batasan-batasan pengambilan gambar sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku,
kode etik
jurnalistik ataupun kode perilaku. Pesohor mungkin keberatan dengan masuknya _______________________________________________________________________________ 274
275
Wawancara dengan Informan Slamet Rahardjo Djarot pada hari Selasa, tanggal 29 Juni 2010 Pk.12:00-14:00 WIB di Teater Populer, Jl. Kebon Pala I No. 127 Tanah Abang – Jakarta Pusat. ibid, Wawancara dengan Informan Mariana Amiruddin.
377
infotainment ke ranah pribadinya, tetapi dia juga tidak mau diboikot oleh media, karena bisa kehilangan para pengidolanya. Jika kehilangan pengidola maka dia akan kehilangan popularitasnya.
Kehilangan popularitas dapat berpengaruh
terhadap masalah ekonominya. 276 “Bad news is a good news” masih cukup mendominasi
siaran acara
faktual di televisi kita. Termasuk juga dalam acara infotainment. Mengapa bisa terjadi? Karena jika materi yang diangkat biasa-biasa saja atau tidak ada konflik, maka menurut hukum drama, ceritanya tidak seru, tidak menarik. Jika acara tidak menarik maka tidak mendatangkan rating atau share yang bagus. Rating dan share rendah maka harga iklan spot juga rendah. Akibatnya pemasukan menjadi kurang, bisa jadi cash flow-nya minus. Selain itu bahwa pandangan masyarakat kita termasuk cara pandang pekerja infotainment adalah masih “people oriented”, bukan “problem oriented”, maka solusi yang ditawarkan adalah berupa pembenaran-pembenaran. Pengalaman Informan Aiman Ricky tentang masalah pribadi dan low taste content adalah sebagai berikut; Ya saya juga pernah ngalamin seperti itu, awalnya teman saya membuka dompet saya. Padahal dompet itu saya anggap masalah pribadi saya. Tapi karena teman saya yang lihat, tiba-tiba : hei buka dong dompetnya (Kru liputan infotainment berteriak). Saya sebetulnya gak suka hal seperti itu. Jadi walaupun kita tidak memberikan informasi tentang dompet itu, tapi nantinya yang akan dimunculkan, apa yang dapat membuat orang penasaran. Apa aja sih dalemnya. Ya akhirnya saya bilang ya udahlah, terserah. Karena katanya kalau yang diangkat cuma kegiatan yang biasa aja, takut ratingnya jatuh. Makanya dicari apa yang bikin orang penasaran. Saya dikasih tahu sama manajer saya, kamu itu artis, jadi kamu harus terima resikonya, ketika orang-orang harus tahu apa-apa tentang kamu, baik kegiatan kamu, daleman-daleman kamu. Sebenarnya saya merasa _______________________________________________________________________________ 276
ibid, Wawancara dengan Informan Nani Indra Ratnawati Nurrachman.
378
bahwa orang tidak perlu tahu semuanya tentang saya. Tapi karena terpaksa tadi, dipancing, akhirnya ya udah gitu. 277 Seharusnya, apapun yang disajikan oleh infotainment, seyogyanya juga mengandung unsur-unsur pendidikan. Karena tugas dan fungsi media massa itu antara lain sebagai sarana kontrol sosial dan ikut mencerdaskan bangsa. Kalau ada yang muncul di dalam informasi dan hiburan itu, menurut Informan Arief Rahman seorang praktisi dan pengamat pendidikan, harus ditanya, yang mana yang ditekankan? Apakah spiritualitasnya, intelektualitasnya, emosionalnya, sosialnya atau jasmaninya? Selain kelima potensi ini, ada lagi sudut pandang lain, harus ada sudut pandang apakah infotainment itu memakai dasar-dasar pemikiran yang logis atau tidak. Apakah memakai dasar-dasar aturan yang etis atau tidak. Atau memakai dasar-dasar aturan yang indah dan estetis atau tidak. Jadi estetika, etika dan logika ini harus menjadi pengendali di dalam penyajian acara infotainment. Informan Arief Rahman menjelaskan: Kalau kita lihat kepada tujuan pendidikan bahwa pendidikan itu untuk menciptakan orang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, cerdas, bertanggung jawab dan demokratis, saya pikir, segi pendidikan yang muncul di infotainment itu harus ada yang lima itu. Dan saya melihat mungkin ada satu penekanan yang kurang sehat; Umpamanya, membuka tentang rahasia keluarga, membuka tentang kesalahan-kesalahan orang, lalu membuka tentang kekurangan-kekurangan orang. Saya fikir, pada dasarnya membuka aib dari siapapun itu tidak mendidik. Nah itu harus dikemas sedemikian rupa, supaya orang nanti kalau melihat dia akan bisa belajar, oh ini nggak boleh, ini nggak boleh, ini boleh, ini boleh.278 Bagaimana pendapat Informan Mochamad Sobary yang budayawan dan pemerhati masalah sosial tentang rekonstruksi realitas sosial oleh Tim Produksi _______________________________________________________________________________ 277 278
ibid, Wawancara dengan Informan Aiman Ricky; ibid, Wawancara dengan Informan Nani Indra Ratnawati Nurrochman;
379
Infotainment? Berikut kutipan dari wawancara peneliti dengan informan Mochamad Sobary: Nah, lalu pada apa “infotainment” itu diletakkan, diatas landasan apa infotainment itu diletakkan. Landasannya bukan info, bukan membuat kita terinspirasi, bukan mengajak kita merenungkan hidup secara mendasar yang agak dalam. Terhadap hidup ini kita sedikit menarik jarak. Tetapi kenapa tidak satu kali infotainment itu membicarakan sastra, infotainment kenapa tidak bicarakan rohani, tapi juga bukan rohani dalam arti kitabkitab. Rohani dalam pengertian sikap hidup dan cara menata sikap dan cara hidup. Rata-rata itu hanyalah untuk membuat kita punya cita rasa hidup, membuat kita punya selera hidup, untuk membuat kita memandang suatu pandangan tertentu, pelan-pelan kita bawa. Kalau sekali-sekali kita turutilah selera rendah, selera umum, selera terlalu umum yang infotainment sekarang ini. Sebab yang namanya selera publik itu bisa pelan-pelan ditingkatkan. Dalam tindakan hidup kita menempatkan yang namanya infotainment jangan dilihat lain, jangan diberi kedudukan lain. Tapi kalau kita lihat sepertinya tidak ada tanggung jawab dari pengelolanya, saya geregetan kenapa tidak memfasilitasi publik untuk bersama-sama meningkatkan cita rasa hidup dan kebudayaan kita.279 Informan Mochamad
Sobary mengajak kita untuk memfasilitasi
perkembangan kebudayaan kita perlahan-lahan, kemudian membangun minat, membangun citarasa hidup. Dia menganggap bahwa sejak tahun tujuh puluh delapan puluhan, cita rasa film kita, citarasa estetika, citarasa literer, citarasa tentang ceritanya, citarasa tentang nilai di dalamnya, citarasa tentang ajaran di dalamnya, adalah nol melulu. Ini menjadi bahan perenungan yang bisa dijangkau oleh pengelola TV, apakah mereka bersedia untuk memberikan setidaknya dua kali dalam seminggu, suatu ruang yang tidak hanya berbicara tentang aib orang tetapi ruangan (acara) sebagai penyeimbang atau sebagai kontrol sosial.280 _______________________________________________________________________________ 279
280
Wawancara dengan Informan Mochamad Sobary pada hari Jumat, tanggal 2 Juli 2010 Pk. 16:30 – 18:30 WIB di Gedung Pusat Bahasa Kemendiknas, Rawamangun, Jakarta. ibid, Wawancara dengan Informan Mochamad Sobary.
380
Jadi letak atau landasan entertainment itu apa? Menurut Sobary, masalah seksual tergantung pada cara pandang atau level anutan nilai dan citarasa. Kalau citarasa kita hanya dikuasai oleh hal-hal yang rutin, maka kita hanya di titik duniawi. Meskipun kita sibuk, tetapi mestinya juga diisi titik ukhrowinya. Mungkin kita keliru karena sedang lalai, tapi Sobary berharap ya jangan lalai semuanya, masak seluruh bangsa lalai? Lalai semua boleh tapi ya jangan sepanjang masa. Nah kalau lalai semua dan sepanjang masa? Maka akan celakalah bangsa ini. Nah diperlukan tatanan idiil lagi. Ketika orang berkutat di rubrik-rubrik yang begitu banyak dan sifatnya duniawi , maka akan berhadapan dengan kemustahilan-kemustahilan. Namun dari banyak yang mustahil tadi mestinya ada salah satu dari yang banyak itu menjadi tidak mustahil. Menurut Sobary, infotainment seharusnya juga menampilkan tokoh-tokoh atau para master di bidang ilmu pengetahuan, atau orang-orang yang mempunyai mutiara dalam hidupnya. Tidak hanya berkutat di seputar kehidupan artis yang pada dasarnya adalah permasalahan seks atau libido. Kalau sekarang ini, lanjut Mochamad Sobary, yang dipentingkan itu pokoknya citra, dan pandai dalam urusan duit. Cerdik menipu publik dengan citra. Sehingga yang nampak itu bukanlah ujud manusianya, tetapi hanya gambar. Kita dihadapkan dalam siaran infotainment dan siaran lainnya, hanya pada gambar, imej. Nah kalau itu dibawa ke ruang kaca, bawalah dengan etika, juga perlu diolah dengan estetika, tidak boleh hanya memindah begitu semata-mata. Kemudian bagaimana memperkenalkan wilayah sakral ke dalam dunia baru yaitu ruang kaca yang akan ditonton oleh semua umur. Kita sebut sakral karena merupakan wilayah privacy. Itu mestinya ada etika dan estetikanya, ada cara
381
untuk menampilkannya. Estetika itu ialah ordonansi dari kesadaran etik dan kesadaran rohaniah, sekaligus kesadaran sosial. Kesadaran akan fenomena yang terjadi dalam kehidupan dunia sosial untuk dibawa ke dunia kaca memerlukan perenungan, memerlukan penciptaan. Tidaklah mudah bagi seorang wartawan tulis untuk menjadi wartawan gambar (jurnalis media televisi) karena harus struggling hard. Menurut Sobary, tahapnya baru sampai situ saja, belum menginjak pada esensi yang lebih jauh. Ini sebenarnya merupakan pangkal tolak filosofi dasar dalam menulis realitas menjadi suatu realitas baru. Suatu perpindahan dari dunia nyata menjadi dunia imajiner, dunia imajinasi baru itu namanya dunia estetika. Penampilan infotainment seharusnya adalah penampilan moralitas, etika dan estetika. Tapi, menurut Sobary, sebenarnya tidak hanya etika, lebih daripada itu:
“etika can be anything, many-many things”. Tapi kalau sudah
morality, tentu morality itu banyak pernak perniknya tapi lebih kepada tatanan moral. Kalau dengan tatatan sosial, menurut Sobary, adalah menyangkut kepentingan pemirsa. Kepentingan pemirsa sering dilupakan karena seolah tidak ada aturannya di media. Ada aturan kode etik pers, kode etik is ethic yang tidak punya gigi. Sobary mengatakan bahwa sekarang manusia semakin bebal, manusia itu sudah mengubah diri mereka menjadi orang yang simbolik halus dan lembut menjadi tembok. Diperlukan hantaman berkali-kali untuk menyadarkan manusia kembali ke awalnya. Tayangan infotainment di televisi harusnya dapat memberikan “kiblat” yaitu “the essence of life” sekaligus “ the inner essence” baik bagi para pelaku bisnis infotainmentnya maupun masyarakat penontonnya.281 _______________________________________________________________________________ 281
ibid, Wawancara dengan Informan Mochamad Sobary.
382
4.1.4
Pergeseran dan makna etika komunikasi bagi tim produksi dalam pembuatan dan penayangan acara infotainment.
Ruang untuk berkomunikasi tidak hanya di tempat pribadi, tetapi lebih luas lagi di tempat umum atau publik. Ruang publik bisa berupa ruangan tempat publik bertemu seperti jalan, terminal, pasar, mal, lobi hotel, kampus, sekolah, ruang seminar, dsb., Selain itu ruang-ruang media massa seperti siaran radio, siaran televisi, siaran TV kabel, internet, surat kabar, majalah, dll. Setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi di ruang publik yang dijamin oleh konstitusi dan demokrasi, dimana ada the right of expression dan the right of creation. Ada hak-hak untuk berekspresi dan berkreasi menggunakan ranah atau domain
publik.
Siaran
radio
dan
televisi
menggunakan
gelombang
elektromagnetik atau frekuensi radio yang jumlah terbatas sebagai domain publik. Selain hak seseorang untuk berekspresi dan berkreasi di ranah publik, maka setiap orang juga punya hak untuk dilindungi, hak privasi, dan hak untuk menyendiri atau tidak diganggu. The right of protection, the right of privacy, dan the right to be left alone, adalah hak-hak hakiki yang melekat pada diri setiap pribadi yang merdeka lahir dan batin. Di balik hak-hak perorangan itu ada hak orang banyak atau masyarakat secara umum yaitu publik. Hak publik diantaranya adalah menggunakan ranah publik dengan tidak mengganggu ranah pribadi. Ada otonomi demokrasi yaitu ada the public’s right to know.
Disinilah seringkali terjadi
pergesekan atau konflik kepentingan antara the public’s right to know dan the right of protection, serta the freedom of expression dengan the right of privacy.
383
Haryatmoko (2007:43-44) menyatakan bahwa: Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Ia tidak dibatasi pada deontologi jurnalisme. Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Maka aspek sarana atau etika strategi dalam bentuk regulasi sangat perlu. Haryatmoko (2007:45-46) menjelaskan mengenai dimensi deontologi sebagai berikut: Dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi, yaitu aksi komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi (politics). Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik untuk bertanggung jawab. Kehendak baik ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Tiga prinsip utama deontologi jurnalisme adalah: pertama, hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Masuk dalam kategori ini ialah perlindungan atas sumber berita; pemberitaan informasi yang benar dan tepat, jujur dan lengkap; pembedaan antara fakta dan komentar, informasi dan opini; sedangkan mengenai metode untuk mendapatkan informasi harus jujur dan pantas (harus ditolak jika ternyata hasil curian, menyembunyikan, menyalahgunakan kepercayaan, dengan menyamar, pelanggaran terhadap rahasia profesi atau instruksi yang harus dirahasiakan). Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara.Termasuk dalam hak ini ialah hak akan martabat dan kehormatan; hak atas kesehatan fisik dan mental; hak konsumen dan hak untuk berekspresi dalam media; serta hak jawab. Selain itu, harus mendapat jaminan juga ialah hak akan privacy, praduga tak bersalah, hak akan reputasi, hak akan citra yang baik, hak bersuara, dan hak akan rahasia komunikasi. Jadi hak akan informasi tidak bisa memberi pembenaran pada upaya yang akan merugikan pribadi seseorang. Setiap orang mempunyai hak untuk menerima atau menolak penyebaran identitasnya melalui media.
384
Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Unsur ketiga deontologi jurnalisme ini melarang semua bentuk provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil. Mengenai perubahan dan makna etika komunikasi bagi tim produksi dalam pembuatan dan penayangan acara infotainment,
Informan Roy Suryo
menggambar- kan tentang perilaku komunikasi para pekerja infotainment sebagai berikut: Saya sering melihat, bahwa memang etika jurnalistik yang diampu oleh teman-teman pekerja infotainment itu memang perlu ada pelunakan atau standarisasi, dibandingkan dengan teman-teman yang mainstream. Saya tahu pasti, misalnya mereka lagi ingin membenturkan suatu comment, karena sifatnya yang bisa cepat tadi, semua jadi ngaruh, si public figurenya juga sudah terbiasa dibenturkan begitu, seperti misalnya kasus Tamara Bleszinky dengan suaminya. Itu benar-benar, maaf, benar-benar jahatnya infotainment. Yang satu wawancara suaminya, yang satu wawancara si Tamara-nya, padahal dua-duanya belum pernah atau belum sempat konfirmasi, nah dua-duanya dikeluarkan (disiarkan) dan diadu. Tiap hari diadu terus.282 Selain kejadian tersebut diatas, mengenai sikap dan perilaku pekerja infotainment dituturkan juga oleh Roy Suryo sebagai berikut: Tapi lucunya kadang-kadang capai juga kita narasumber, diantara mereka itu ada yang bersaing, seperti tadi, wawancara siang tentang itu, saya tanya Mbak kok nggak ngrekam wawancara sekalian. Jawabnya: nanti deh pengin tersendiri aja. Padahal yang diomongkan kan sama. Tapi nanti keluarnya jadi wawancara ekslusif. Memang merekamnya beda, tapi kan intinya sama, dan enaknya kan kalau kita ngomong sekali untuk semuanya. Tapi kebalikannya, karena ada masalah teknologi tadi, dia juga bisa kadang-kadang agak nakal. Main copy-pasting juga. Dari ini, karena grup-nya sama, dicopy, tinggal nanti dibuat sedikit beda dengan narasi lain. Jadi karena ada 3 (tiga) parameter tadi, parameter bentuk acaranya, parameter tokohnya sendiri maupun parameter pekerjanya, itu yang membuat begitu.283 _______________________________________________________________________________ 282
283
Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo, pada hari Kamis, 17 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Gedung Nusantara I DPR-RI, Senayan Lt.21, Ruang 2103. ibid, Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo.
385
Usulan tentang pelunakan atau standarisasi kode etik bagi pekerja infotainment dibandingkan dengan jurnalisme mainstream, sepertinya akan mengatasi masalah. Tetapi sebenarnya dapat menimbulkan masalah baru. Karena dengan parameter yang berbeda-beda akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda pula. Adapun hasilnya juga akan menimbulkan kontraversi lagi. Apabila kita ingin menegakkan rambu-rambu, maka law enforcement harus dilaksanakan. Karena jika tidak, maka pemilik modal kuat akan menguasai dan mengendalikan dunia penyiaran menurut keinginan dan selera mereka. Meskipun ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang seharusnya mengikat, namun kekuasaan finansial dan sifat permisif masyarakat terhadap pembenaranpembenaran akan mengukuhkan mereka pada puncak kekuasaannya. Pengalaman yang dialami oleh Informan Roy Suryo sendiri menggambarkan bagaimana media mengimplementasikan kode etik jurnalistik menurut perspektif dan kepentingan mereka. Peristiwanya seperti telah dikemukakan di bab sebelumnya, yaitu tentang teriakan ”hu” Roy Suryo pada sidang Kasus Century di Komisi III DPR RI, dimana dia teriak dua kali, tapi bisa muncul berkali-kali di layar televisi. Namun ketika yang bersangkutan meminta maaf pada keesokan harinya pada sidang yang sama, maka hanya sekali saja muncul, itupun karena siaran langsung dan oleh satu stasiun saja. Terkait dengan masalah etika berkomunikasi, terutama pebisnis infotainment itu apakah cameramen, editor, produser, atau sutradaranya, dan juga para pesohornya, seolah-olah telah mengabaikan prinsip-prinsip deontologi jurnalisme,
386
terutama prinsip kedua, yaitu hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara. Diantaranya adalah hak akan martabat dan kehormatan dan hak akan privacy, praduga tak bersalah, hak akan reputasi, hak akan citra yang baik, hak bersuara, dan hak akan rahasia komunikasi. Jadi hak akan informasi tidak bisa memberi pembenaran pada upaya yang akan merugikan pribadi seseorang. Setiap orang mempunyai hak untuk menerima atau menolak penyebaran identitasnya melalui media. Adakah pemikiran dari pekerja infotainment tentang apakah ini masalah privasi atau bukan, apakah ini logik atau tidak,
bahwa ini pengaruhnya negatif atau tidak, sepertinya mereka
mengabaikan hal itu. Bahkan seolah-olah yang dilakukan itu boleh atau wajar. Informan Wina Armada menanggapi sebagai berikut: Saya rasa nggak, nggak boleh, tidak boleh diabaikan, karena dia bagian dari jurnalistik, dia harus tetap tunduk pada kode etik jurnalistik. Apakah dia hanya tunduk pada kode etik penyiaran, P3SPS atau kode etik jurnalistik. Kalau saya lihat di Undang-Undang Penyiaran, dia termasuk harus taat kepada kode etik jurnalistik ini, misalnya tadi masalah privasi harus dilindungi demi kepentingan umum, anak-anak masa depannya, dan seterusnya. Dia harus tunduk pada kode etik jurnalistik, tidak bisa tidak, ditambah dengan kaedah-kaedah penyiaran. Jadi dia nggak boleh menabrak rambu-rambu, gak boleh. Saya survey pada tahun 2007, hanya sekitar 20% wartawan kita yang membaca Kode Etik Jurnalistik. Karena infotainment juga menyangkut sesuatu yang terkait dengan imej orang, citra orang atau reputasi orang, sementara citra dan reputasi ini sangat penting dalam pengembangan karir dia, ekonomi dia, dst., makanya menurut saya tidak bisa tidak maka kalau di infotainment itu harus lebih tunduk kepada Kode Etik Jurna-listik. Dan untuk itu mungkin wartawannya harus, karena sekarang di Dewan Pers sudah memiliki Standar Kompetensi Wartawan, maka wartawan infotainment juga harus memenuhi standar kompetensi tersebut sebelum dia kesana.284 ______________________________________________________________________________ 284
ibid, Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo.
387
Kalau PWI dan Dewan Pers menganggap infotainment adalah karya jurnalistik, dan para pekerjanya dikategorikan sebagai wartawan hiburan, maka Informan Bimo Nugroho berpendapat berbeda. Saya mempunyai pendapat yang berbeda, saya menghormati pandangan teman-teman PWI yang mengatakan bahwa itu adalah produk jurnalistik. Saya berpendapat bahwa infotainment itu bukan jurnalisme, tetapi bukan berarti infotainment itu kedudukannya lebih rendah dari jurnalisme.Dia itu setara, seperti ayam dengan bebek, dia itu sama-sama kelompok unggas kan, sama dengan jurnalistik dan infotainment secara kelompok samasama mengangkat masalah faktual. Yang diangkat kan sesuatu yang benarbenar terjadi, ya kan, nah perbedaan mendasarnya adalah, kalau jurnalisme ini mempunyai tanggung jawab etika komunikasi kepada publik, kalau ini (infotainment) kalau ditanya, atau kalaupun dipertanyakan etika komunikasinya, maka tanggung jawab dan etika komunikasinya adalah secara privat, atau kepada ruang privat (privacy).285 Tetapi menurut peneliti, meskipun seandainya pekerja infotainment itu bukan bagian dari jurnalisme, namun bagaimana mereka merekonstruksi realitas sosial ke dalam acaranya tentu tetap memperhatikan etika komunikasi, baik itu dimensi deontologi, etika strategi maupun dan meta-etika. Karena aksi yaitu kesadaran moral atau nurani aktor komunikasi berhubungan dengan tatanan hukum dan institusi serta nilai-nilai demokrasi, hak untuk berekspresi, dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar. Beberapa Informan dalam penelitian ini
menyatakan bahwa infotainment itu produksinya murah dan
pembuatannya mudah. Namun Bimo Nugroho mengatakan bagaimanapun infotainment sebetulnya tingkat kesulitannya tinggi. Kalau strip sinetron bisa di disain, dirancang terlebih dahulu.Tapi kalau infotainment sulit untuk mendapatkan materinya. Bahkan karena frustasi kadang dengan sengaja mendorong-dorongkan _______________________________________________________________________________ 285
ibid, Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo.
388
mikrofon untuk mendapat komentar atau statement. Itupun tingkat kesulitannya tinggi. Kemudian mengemas ceritanya, dibutuhkan imajinasi yang luar biasa, yang kuat, dibandingkan dengan karya jurnalistik yang biasa. Jadi untuk membuat infotainment sebenarnya termasuk tidak mudah
dan karena format siarannya
stripping maka materinya juga harus selalu ada. Berikut kutipan uraian Bimo Nugroho : Kalau jurnalistik kan tidak dibutuhkan imajinasi, nggak boleh rekayasa. Kalau infotainment itu dituntut untuk mengimajinasikan sesuatu yang belum tentu terjadi, itu boleh, dan menariknya disitu. Apa yang dulu berkembang di radio yaitu “theater of mind”, atau teater dalam pikiran itu kemudian dikembangkan dalam bentuk visual oleh infotainment. Itu tingkat kesulitan kedua. Tingkat kesulitan ketiga adalah editing. Editing infotainment itu kan yang bagus dia mengasumsikan punya library yang cukup kuat, seharusnya. Katakanlah misalnya tentang Ariel atau Luna Maya. Program infotainment yang baik, dia menyimpan arsip-arsip itu dan meladeni semua kejadiankejadian itu sehingga ketika kasus baru terjadi, maka bisa di trace kebelakang. Nah media yang bagus, baik media infotainment maupun pemberitaan yang bagus itu menyimpan itu. Media jurnalistik, itu lebih mudah untuk mengklasifikasikan dokumentasi itu, infotainment sulit. Setiap saat bisa berubah, setiap pasangan bisa berubah.286 Jadi kalau dikatakan bahwa membuat infotainment itu murah dan mudah, menurut Farid Ridwan Iskandar, harus dilihat dulu. Mungkin mudah, tapi untuk berapa lama? Bayangkan jika harus membuat infotainment setiap hari satu jam atau lebih, bisa tidak untuk bertahan dengan tetap memperhatikan rambu-rambu itu? Oleh karenanya, jadi banyak kriteria dikendorkan agar dapat memenuhi quotanya. Itulah kenyataan dunia infotainment seperti yang kita lihat sekarang ini. Banyak hal yang tidak atau kurang benar namun karena diulang terus seolah-olah
_______________________________________________________________________________ 286
ibid, Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo.
389
menjadi benar. Kemudian terserah bagaimana pemirsa menyikapinya. Sama halnya yang dikatakan oleh Bimo Nugroho bahwa membuat infotainment itu tingkat kerumitannya sangat tinggi, dibandingkan dengan membuat program jurnalistik mainstream (arus utama). Informan Farid Ridwan Iskandar mengatakan bahwa dari usaha pelatihan dasar jurnalistik yang telah dilakukan, tampaknya ada perubahan dan perbaikan di dalam penyajian infotainment. Soal masih ada teguran-teguran dari KPI dianggapnya wajar saja. Menurutnya, bahwa program berita yang dilakukan oleh jurnalistik mainstream juga banyak terjadi pelanggaran. Masalah yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat atau media, juga dibahas dalam “Forum Check Infotainment” yang mereka adakan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Diskusi di atas membahas makna etika komunikasi dari sudut pandang para produsen infotainment yang berasal dari jurnalis mainstream. Berikut adalah pembahasan dari sudut pandang produsen Robby T.Winarka yang mempunyai konsep sendiri mengenai pemaknaan etika komunikasi. Ketika pertanyaan peneliti an disampaikan, pada dasarnya semua pihak menjawab bahwa mereka tetap berpedoman pada peraturan dan kode etik yang penafsiran dan kepentingannya masing-masing.
berlaku, namun menurut Misalnya, Informan Robby
T.Winarka menjelaskan terkait masalah tersebut, bahwa yang penting bagaimana mengemasnya, bagaimana mencari topik terhangat, karena itu sebagai kuncinya. Kadang-kadang terdapat materi yang sama dengan acara yang lain, maka dikemas agar menarik dan beda. Kemudian produsen membuat parameter sebagai acuan
390
untuk mengangkat artis ke dalam acara infotainment tertentu. Misalnya harus sudah pernah tampil di acara hiburan Indoors, Dahsyat, dll. Demikian juga dengan perolehan rating dan share bagi artis tertentu, kalau masih “menjual” atau rating tinggi, maka akan diangkat lagi ke acara tersebut, karena dianggap masih ditunggu-tunggu oleh publik. Untuk masalah pengungkapan suatu kasus, Robby T.Winarka menjelaskan: Nilai-nilai itu sebetulnya, antara positif dan negatif itu kan tergantung dari mana kita melihatnya. Konteksnya apa? Karena yang tadinya kita anggap negatif bisa menjadi positif dan yang tadinya positif bisa menjadi negatif juga. Nah disini dituntut kehati-hatian kita dalam mengupas suatu kasus. Benar-benar kehati-hatian, jangan sampai kita terarahkan oleh si pemberi berita itu. Makanya diperlukan check and balance. Kita perlu mendapatkan pendapat dari pihak lain yang tidak sependapat dengan dia. Nah itu perlunya disitu.287 Mengenai masalah privasi dan non privasi, Robby T.Winarka berargumen bahwa agak sulit untuk membedakannya karena batasannya kabur. Berikut penuturannya: Antara privasi dan non privasi itu sebenarnya bagi kami sulit untuk membedakan yang mana sih? Karena tidak ada pintu yang kalau masuk ke sebelah sini privasi dan kalau sebelah sana non-privasi. Tidak ada pintunya yang jelas. Jadi orang bisa bilang sama bisa juga berbeda, misalnya bilang yang sini privasi, atau yang sana non privasi. Terutama kalau masuk ruang publik. Kembali ke siapa yang memrotes, mereka melihatnya dari mana? Apa konteksnya? Nah kalau kita membaca apakah ada yang disebut privasi, tentu ada, namun pintunya yang mana, nah itu yang sulit. Terutama di lapangan, batasnya kabur, antara privasi dan non privasi.288 Pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai usaha pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh produsen dalam mengungkap kasus-kasus pribadi para _______________________________________________________________________________ 287
288
Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka, pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Cafée Bean Senatan City’ Jakarta Pusat. ibid, Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka.
391
pesohor dalam infotainment. Walaupun undang-undang tentang privasi di negara kita belum ada, tetapi telah banyak keterangan dan informasi tentang apa itu privasi dan hak privasi. Di sini tampak bagaimana sebenarnya hegemoni kekuasaan sistem industri yang kapitalistik mengendalikan isi program dengan tujuan untuk mencari keuntungan di atas sikap permisif, skeptis, dan apatisnya masyarakat. Misalnya, alasan bahwa kondisi di lapangan sulit atau tidak semua bisa dipantau, karena di lapangan bercampur baur dengan orang-orang lain yang bukan semuanya wartawan infotainment. Sedangkan dari sisi kondisi masyarakat, menurut Robby T.Winarka, penonton kita itu terlalu mudah dipengaruhi oleh tokoh. Yaitu orang yang lagi naik daun atau punya job. Padahal yang menaikkan juga infotainment, dan dia menggunakan infotainment untuk jadi alatnya agar tetap bisa bertengger di papan atas. Kalau dibilang infotainment itu hanya gosip, gosip itu apa sih? Robby T.Winarka mengatakan bahwa gosip itu adalah fakta yang tertunda atau tertinggal, artinya apa? Bahwa gosip itu bisa nyata, munculnya karena ada fakta. Mengenai apakah acara infotainment itu sudah memenuhi standar jurnalis tik? Robby T.Winarka menjawab: Kalau saya bilang tidak atau belum memenuhi standar jurnalistik yang benar, karena mereka yang turun ke lapangan banyak yang bukan berlatar belakang jurnalis. Saya sering ingatkan kepada teman-teman di lapangan, bahwa ketika mengambil gambar untuk berita, dalam hal ini infotainment, kalian harus tetap mengindahkan kode etik jurnalistik dan gramatika jurnalistik. Harus dijalankan, tidak hanya sekedar dipahami.289 Bahwa antara wartawan infotainment dengan wartawan mainstream itu pada dasarnya masing-masing punya karakter yang berbeda. Ketika ditanyakan apa____________________________________________________________________________ 289 ibid, Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka.
392
kah wartawan infotainment akan bergabung ke PWI atau lebih baik berdiri sendiri, dijawab sebagai berikut: Lebih baik bergabung. Karena banyak kaitan-kaitan yang terjadi. Begini, bahwa infotainment itu berada dibawah news, untuk tayang di televisi, untuk kategori berita tidak ada sensor. Artis atau narasumber yang dimintai berita untuk siaran pemberitaan tidak boleh meminta honor atau menerima honor. Aturannya ada di Undang-Undang Pers. Kalau seandainya kita berada di luar jalur news, maka kita harus mengeluarkan honor dan harus ke lembaga sensor dulu sebelum ditayangkan.290 Lebih lanjut Robby menjelaskan: Kami ikut dalam programnya PWI Pusat untuk training di bidang jurnalistik. Karena kami mengharapkan bahwa pada saat mereka berada di lapangan, maka mereka tidak akan mengalami kendala-kendala. Baik secara teknis, dari sisi artisnya ataupun dari lingkungan.Wartawan kami, dari Indigo, dilengkapi dengan seragam sehingga orang tahu siapa mereka, lengkap dengan tanda pengenal dan surat-suratnya. Kemudian diikuti oleh Sandhika, dan yang lain-lain.291 Jawaban tersebut mengindikasikan bahwa kemudahan dan faktor ekonomi menjadi alasan untuk bergabungnya PH tersebut ke PWI. Di satu sisi ada keinginan untuk menggunakan undang-undang tentang penyiaran dan kode etik jurnalistik sebagai rambu-rambu dan pedoman di dalam memproduksi acara infotainment. Di sisi lain, ada sudut pandang tertentu yang mengendalikan proses produksi acara
infotainment sehingga kepentingan untuk memperoleh profit
tetap dapat dilakukan. Dalam kaitan infotainment sebagai ruang publik yang harus bermanfaat tidak hanya bagi kepentingan industri media, tetapi juga bagi kepentingan masyarakat luas, berikut ini pandangan dari budayawan Mochamad Sobary: _____________________________________________________________________________ 290 291
ibid, Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka. ibid, Wawancara dengan Informan Robby T. Winarka.
393
Materi itu sangat penting, tapi tidak ada informasinya. Infotainment tidak jelek ya, tapi ini hanya dagang. Nah karena hanya karena media menampilkan kemewahan seperti itu, mestinya bisalah dimuati bahanbahan atau muatan-muatan lainnya. Kalau hanya untuk dagang tok itu alangkah muspronya (sia-sia). Ruang yang besar tapi tidak ada gunanya apa-apa, ibaratnya tidak digunakan secara semestinya. Nah ruang infotainment itu andaikata sesekali diisi pesan-pesan atau keputusan moral, atau keputusan politik, jangan itu-itu melulu. Jadi kalau yang ditampilkan itu murah, genit, dan busuk, bolehlah ditampilkan, tapi marilah kita diberi porsi. Ya, mereka merekonstruksi realitas dengan membuat gambaran baru, membuat citra baru, membuat kehidupan baru, membuat fenomena baru. Nah ini bahasa yang saya pelajari dari orang yang bernama Sukanto SA, beliau penulis, sastrawan, pengarang cerita anak-anak juga. Dan meskipun zaman sudah bergeser tapi saya anggap masih relevan untuk kita. Menurut beliau: Menciptakan kembali atau recreating social life, recreating image, recreating segala macam, adalah membangun dunia baru. 292 Mengenai pergeseran dan makna etika komunikasi dalam tayangan infotainment, Informan Mochamad Sobary menyatakan sebagai berikut: Dunia baru itu sama dengan yang kita pakai dalam cerpen (cerita pendek). Yang dipakai dalam cerpen sama yang dipakai oleh para wartawan untuk ditampilkan kembali dalam ruang kaca yang ada penyiarnya, ada gambarnya. One thing adalah sama sumbernya, inilah sumbernya, kehidupan. Variannya banyak. Dari berbagai macam kehidupan itu ada satu “angle”, yang saya lihat sebagai penulis cerpen, dan akan saya lahirkan dalam dunia baru yang namanya cerpen. Tapi tentu tidak hanya memindahkan itu plek begitu aja, kan jelek. Nggak ada estetika, nggak ada pengunyahan, tidak punya novelty, lalu dengan sendirinya tentu tidak inspiring. Kalau dari salah satu sudut di pasar ada kegiatan orang berjualan itu saya pindahkan apa adanya ke dalam cerpen, udah dia hanya jadi berita, tidak laku. Pun sebenarnya ketika suatu segmen kehidupan kecil dari kehidupan yang luas dipindah ke layar kaca, juga memerlukan rekreasi. Ada recreating process. Karena dari sana was created, dipindah ke TV jadi being recreated. Ini satu dunia yang dicipta menjadi satu dunia yang lain. Tidak boleh menodai estetika dalam hidup itu yang dibawa ke layar kaca, tidak boleh nilai dasar keagungan hidup dihancurkan di ruang kaca, tidak boleh. Keagungan yang di sana harus menjadi keagungan di sini. Persoalan! Persoalannya, kalau segmen kehidupan yang kita sorot semata kehi______________________________________________________________________________ 292
ibid, Wawancara dengan Informan Mochamad Sobary.
394
dupan pameran dada dan paha, bagaimana mau dipisah? Bisa dengan bikin taram temaram, sekilas saja, mempunyai daya tarik yang tidak begitu jelas orangnya, malah secara estetik membuat orang berdebar.293 Bahwa pergeseran atau perubahan etika komunikasi itu dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan gaya hidup masyarakat. Sebelum teknologi berkembang seperti sekarang ini, bila seorang bawahan akan menyampaikan sesuatu masalah kepada pimpinan atau pejabat yang lebih tinggi, harus melalui proses hirarki yang panjang dan makan waktu lama, bahkan mungkin tidak akan kesampaian. Namun dengan teknologi yang sekarang, siapapun dapat dengan mudah menyampaikan informasi kepada pimpinan yang tertinggi sekalipun seperti Presiden, Menteri, Ketua Lembaga Tinggi Negara, dll dengan sangat mudah. Perubahan cara berkomunikasi mempengaruhi etika berkomunikasi baik oleh warga masyarakat biasa maupun para aktor komunikasi seperti wartawan, produser, sutradara, editor, dsb.
Berubahnya etika komunikasi, mengutip
pemikiran Mochamad Sobary, seharusnya berupa rekonstruksi realitas sosial untuk membuat gambaran baru, citra baru, kehidupan baru, dan fenomena baru, yang akan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Acara infotainment identik dengan pengungkapan privasi orang. Menurut Henri Subiakto, privasi itu persoalan etika, misalnya,
apakah kalau hanya
persoalan nikah-cerai boleh-boleh saja diberitakan, tetapi itu tidak ada untungnya sama sekali. Henri Subiakto menambahkan: Privasi itu sebenarnya memang hak hidup dari semua orang, semua orang itu punya hak untuk memperoleh privasi. Hidup ini kalau tidak ada privasi tidak akan nyaman. Kalau anda tiap hari diikuti kamera, mau ke kamar mandi diikuti kamera, mau tidur diikuti kamera, itu hidup menjadi tidak ______________________________________________________________________________ 293
ibid, Wawancara dengan Informan Mochamad Sobary.
395
nyaman dan tidak normal. Nah tapi lalu ada asumsi bahwa orang-orang selebritis atau yang namanya tokoh-tokoh publik itu privasinya sudah memang sudah dimiliki oleh publik, disampaikan oleh media atas nama publik. Media sepertinya memiliki hak semacam itu. Nah cuma sebenarnya kalau menurut saya yang dilanggar itu etika tentang kegunaan bagi publik. Yang namanya hak publik itu hak seperti apa? Kepentingan publik itu yang mana? Apakah memang tanpa ada infotainment publik akan kehilangan? Apakah kalau tidak ada berita-berita kawin-cerai itu publik akan kehilangan? Tidak, tidak ada. Ini tidak menambah suatu peningkatan kualitas apapun untuk publik. Jadi itu saja yang jadi masalah. 294
Kalau privasi itu persoalan etika,
sementara infotainment adalah
identik dengan privasi, maka infotainment adalah persoalan etika. Disinilah ada pertemuan antara masalah etika berkomunikasi dari para aktor komunikasi dengan tuntutan hak-hak masyarakat akan privasi. Karena alasan popularitas dan ekonomi maka ada warga masyarakat yang tidak menuntut hak privasinya untuk dilindungi. Sementara itu, sebagian warga masyarakat yang lain, dengan berpijak pada norma sosial dan norma agama, menyatakan bahwa hak privasi tersebut seharusnya dilindungi, atau tidak diungkap ke ruang publik. Terjadilah kontraversi. Lama kelamaan, karena adanya pembenaran-pembenaran yang terus menerus, dan kondisi masyarakat semakin permisif dan banal terhadap agregasi siklus libido maka hal itu dianggap biasa dan bukan sesuatu yang perlu dimasalahkan. Infotainment yang seharusnya memperhatikan kepentingan pemirsa, tetapi malah mengabaikan “the essence of life” dan juga “the inner essence”. Informan Slamet Rahardjo mengatakan bahwa : “Kita harus belajar dari kesesatan kita ini, kita tersesat ini, biarkan itu menjadi dewasa, konon ceritanya ada negeri tersesat, tapi karena kita ada di dalamnya maka mudah-mudahan kita menjadi dewasa”. _______________________________________________________________________________ 294
ibid, Wawancara dengan Informan Henri Subiakto.
396
4.1.5
Bentuk siaran Infotainment apakah melanggar etika, norma dan logika, dan apakah termasuk kategori kejahatan?
Menurut Informan Roy Suryo Notodiprodjo, bahwa terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya dan etika komunikasi dimungkinkan karena pertama, unsur medianya atau acaranya, kemudian kedua, unsur manusianya yaitu artis/pesohor, dan ketiga, unsur pekerja media, wartawan atau kru infotainment. Ketika ketiga unsur digabung menjadi satu situasi yang saling memengaruhi, maka pelanggaran terhadap etika, norma dan logika akan mudah terjadi. Dalam industri media dengan sistem kapitalistik, maka yang tertulis di peraturan hukum positif akan sering dilanggar atau terlanggar disebabkan alasan ekonomi, popularitas, dan positioning yaitu rating dan share acara yang bersangkutan. Dalam pembahasan terdahulu ditemukan kenyataan bahwa memang infotainment itu banyak melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Dari pernyataan para informan jelas bahwa pelanggaran itu meliputi banyak hal termasuk instrusi terhadap masalah privasi dan hak privasi, masalah etika dan estetika, serta logika. Di sisi lain, para pengelola acara infotainment telah berusaha untuk senantiasa mematuhi rambu-rambu yang berlaku, misalnya dengan memberikan garis kebijakan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Selain itu juga usaha melakukan sosialisasi dan pelatihan jurnalistik bagi para ”wartawan” infotainment. Namun pada kenyataan di lapangan, para kru infotainment tidak sepenuhnya mengimplementasikan pengetahuannya tentang kode etik jurnalistik maupun peraturan-peraturan yang
397
berlaku yang membatasi gerak dan perilaku wartawan. Hal tersebut disebabkan banyak faktor, diantaranya karena terbatasnya waktu syuting, sementara mereka harus segera mendapatkan gambar untuk mengisi siaran yang ”stripping” setiap hari dan dengan episode waktu pagi, siang, sore atau malam hari. Demikian juga dengan penentuan kategori konten atau varian-varian yang telah ditetapkan oleh produser eksekutif atau produser, memberikan peluang kepada para pelaksana di lapangan untuk melakukan apa saja agar bisa memperoleh gambar yang diinginkan. Informan Henri Subiakto menyatakan bahwa persoalan infotainment adalah persoalan etika, tidak ada hubungannya dengan kejahatan. Sepanjang itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang terjadi menurut Henri Subiakto adalah
etika kegunaan bagi publik. Persoalan etika
bukanlah persoalan hukum. Namun menurut penulis, jika kemudian ada yang merasa dirugikan oleh isi tayangan infotainment dan melakukan somasi atau tuntutan, maka dapat masuk ke ranah hukum. Itu bisa terjadi antara sesama obyek berita yang merasa diadu domba oleh infotainment, contohnya kasus Dewi Persik dengan Jupe dan Tamara dengan suaminya, atau antara pengadu dengan pihak Production House atau stasiun yang menyiarkan. Ketika kasus pengaduan itu disiarkan lagi dan lagi oleh infotainment, maka kembali masalahnya adalah etika. Pengambilan gambar bisa secara terus terang, dilihat, disetujui dan diketahui oleh subyek gambar, bisa juga secara sembunyi-sembunyi atau (hidden camera) tanpa diketahui oleh obyek kamera. Padahal ada aturannya mana yang boleh dilakukan
398
atau tidak boleh dilakukan. Karena undang-undang yang khusus mengatur soal privasi di negara kita memang belum ada, barangkali ”hidden camera” dianggap sesuatu yang dibolehkan. Kembali masalah etika memegang peranan penting dalam membimbing nurani para ahli komunikasi untuk melakukan hal yang benar. Misalnya, hidden camera untuk menyelidiki sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan orang banyak, semacam acara investigasi. Dalam kenyataan di lapangan, seringkali terlihat reporter infotainment dalam posisi lebih rendah posisinya daripada narasumbernya. Pengertian lebih rendah adalah dalam kompetensi atau pengetahuannya. Walaupun dikatakan bahwa untuk wartawan infotainment tidak perlu banyak belajar tentang sesuatu topik yang akan diangkat dibandingkan dengan wartawan mainstream, tetapi setidaknya kompetensinya sejajar dengan narasumbernya. Berikut penuturan Informan Roy Suryo Notodiprodjo tentang pengalamannya: Pekerja infotainment merasa sebagai wartawan karena sudah dianggap sebagai wartawan oleh PWI, tapi AJI meskipun menerima tetapi tidak menyamakan seratus persen. Yah karena apa, karena kadang-kadang pertanyaannya memang tidak standard. Misalnya, Mas tadi apa yang dilakukan di dalam? Saya katakan bahwa tadi saya memberikan konsultansi begini-begini. Lalu dari infotainment menanyakan: Mas komentar anda terhadap OC Kaligis yang menyatakan anda sama pegang HP? Kalau orang news gak akan bertanya begitu. Tapi ya saya trenyuh, saya jawab, yah saya memaafkan atas komentar-komentar yang kurang tepat. Dalam hal ini saya kan membantu negara membantu Kepolisian, dan yang menunjuk saya adalah Mabes Polri.295 Narasumber Ilham Bintang dalam Talkshow Mata Najwa di Metro TV siaran tanggal 21 Juli 20110 jam 22:00 WIB menjawab pertanyaan Host Najwa Shihab sebagai berikut: __________________________________________________________________ 295
Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo, pada hari Kamis, 17 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Gedung Nusantara I DPR-RI, Senayan Lt.21, Ruang 2103.
399
Jika ada pelanggaran kode etik, tapi dalam konteks temen-temen seolaholah dia seperti paparazzi, saya bantah. Justru wartawan infotainment itu, pernah saya bicara di depan DPR, dia lebih cerewet dari nenek-nenek, kampungan lagi. Ya, dia seolah-olah pengawas moral kita, kayak neneknenek, kemudian orang kawin, dia beritakan kemudian dia tanya kapan merencanakan punya momongan, setelah setahun nggak punya momongan dia tanya ada apa? Kayak nenek-nenek kan? Itu kan kultur kita kan ketika orang kawin. Kemudian ketika sudah tiga kali tidak jalan, dia tanya ada apa sebenarnya. Itu tidak ada pelanggaran disitu.296 Jadi menurut Ilham Bintang jika wartawan menanyakan masalah pribadi bukanlah pelanggaran. Sama dengan yang dikatakan oleh Henri Subiakto bahwa infotainment adalah masalah etika, dan etika disini menyangkut privasi. Apakah acara yang banyak mengupas sisi-sisi pribadi seseorang seperti
infotainment
dimana terdapat pelanggaran terhadap etika atau kode etik, norma bahkan kadang logika bisakah dikategorikan suatu kejahatan? Tanggapan Roy Suryo Notodiprodjo mengenai hal itu sebagai berikut: Kalau dari sisi prinsip ilmu komunikasi, saya tidak boleh terlalu menilai moral. Tetapi bahwa media komunikasi itu dimungkinkan untuk membuat itu. Itu betul. Jadi artinya kalau memang sudah ada agenda setting sebelumnya atau katakanlah memang ada niatan sebelumnya untuk diambil seperti itu. Jangankan infotainment. Siaran berita TV biasapun bisa membuat itu. Seperti contoh kasus Century, ketika stasiun TV ingin menjerumuskan kasus itu, kita bisa melihat kok narasumber-narasumber yang di tanggap (= diundang/diwawancarai) itu-itu terus. Omongannya sudah bisa ditebak arahnya. Jadi memang benar bahwa itu bisa membawa perubahan kearah opini tertentu. Jadi kalau media itu sudah mendapat nama maka yang kasihan masyarakatnya. Meskipun itu pinter-pinternya media itu membungkusnya, sehingga sebelum sampai pada point of no return, dia sudah bisa mbalik, karena kalau sampai pada point of no return maka media itu akan ditinggalkan. Sehingga tampak tidak obyektif. Ya, karena memang sering terlihat pelanggaran etika, lha baru saja ditelpon kok tiba-tiba sudah muncul di TV, tanpa memberitahu terlebih dahulu. Iya kalau kita ngomongnya bener, lha kalau ngomongnya salah? Kan bisa jadi masalah. Tapi juga orang (artis atau narasumber) sering memanfaatkan itu, seolah-olah salah, padahal memang ingin mencerita kan itu. Begitu dipancing kearah sana, wartawan akan mengejar terus.297 _______________________________________________________________________________ 297 Acara Talkshow Mata Najwa di Metro TV siaran hari Rabu, 21 Juli 2010 jam 22:00 WIB 308 ibid, Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo.
400
Pelanggaran bisa terjadi juga akibat ulah unsur kedua yaitu artis atau pesohornya, yang seolah-olah keliru/salah, padahal memang ingin bercerita tentang sesuatu, tentunya dengan tujuan tertentu. Sementara wartawan karena butuh materi, maka dia kejar terus si subyek ceritanya. Akhirnya yang seperti “tumbu oleh tutup”. Mengenai kasus pelanggaran oleh kru infotainment, Informan Wina Armada menyatakan sebagai berikut: Pertama, kalau dia jurnalistik apakah dia melanggar kode etik atau tidak, dia melanggar Undang-Undang Pers atau tidak, dari sudut itu, kalau sepanjang dia tidak melakukan dengan itikad buruk, dia bisa kena sanksi moral dari Dewan Pers. Tapi KPI kan punya kewenangan untuk memberikan sanksi, dari peringatan tertulis sampai pencabutan ijin. Perusahaannya sendiri juga bisa terkena hukuman berbagai hukuman, bisa pidana umum, KUHAP, pers, penyiaran, konsumen, dan segala macamnya.298 Jadi, meskipun tidak ada anggota masyarakat yang mengadu atau mensomasi infotainment, maka dengan kewenangannya, KPI dapat melakukan sanksi baik sanksi teguran tertulis, atau sanksi administratif sesuai dengan bobot pelanggarannya. Wina Armada tidak mengkategorikan pelanggaran itu sebagai kejahatan, tetapi sesuai dengan aturannya bisa saja dikenakan sanksi. Sedangkan Bimo Nugroho Sekundatmo mengkategorikan pelanggaran oleh wartawan sebagai suatu kejahatan. Menurut Bimo Nugroho: Kalau menurut saya itu kejahatan, betul kejahatan terlepas dari siapa yang salah, saya melihat ada kejahatan disitu. Seharusnya pemerintah atau juga kepolisian memang perlu melakukan penyidikan. Ya, infotainment harus diminta berhenti untuk menyiarkan gambar meskipun sudah diblurkan. Yang kedua juga bahkan infotainment mestinya perlu untuk mengatakan bahwa itu tidak baik, itu tidak benar, sehingga masyarakat tahu mana yang benar dan mana yang salah, minimal itu. Secara etika yang paling sederhana sekalipun, jadi tidak menambah-nambahi dengan lagu-lagu atau _______________________________________________________________________________ 298
Wawancara dengan Informan Wina Armada Sukardi, pada hari Jumat, 18 Juni 2010, Pk.11:00 – 12:00 WIB di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jl. Kebun Sirih, Jakarta Pusat.
401
komentar-komentar yang.. atau narasi-narasi yang.. Yah itu .. tapi itu menarik. Narasinya itu. 299 Jika media memang jahat dalam konteks itu, banyak pelanggaran di dalam acara infotainment terhadap privasi maupun hak privasi, termasuk juga pelanggaran terhadap etika dan logika. Berikut pendapat Informan Arswendo Atmowiloto: Saya tidak berani mengatakan itu kejahatan, tapi itu adalah kebablasan dalam hal-hal tertentu. Seperti contoh: seorang artis yang tidak tahu juntrungannya, tiba-tiba ditanya bagaimana rasanya jadi wanita panggilan. Ya kalau saya pasti marah. Realitas ini yang ada. Ketika ditanya : lha kok kamu bisa mengatakan itu? Ya, menurut si A begitu, tapi apakah dia punya data? Kalau enggak kan ngacau, bisa dikatakan memfitnah, menuduh, apa saja.300 Pertanyaan bisa berubah menjadi tuduhan atau persangkaan terhadap narasumber dan itu bisa membuat orang marah. Jika yang ditanya tidak suka, maka dia bisa mengadukan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan, bahkan fitnah yaitu defamation baik slander atau libel. Banyak kasus yang muncul di infotainment yang diungkapkan ke ruang publik dengan menghadirkan wajahwajah baru dari sekitar tokoh utamanya, misalnya orangtua, kakak atau adik, pacar, suami atau istri, saudara, paman, tante, pembantu, sopir, Satpam, tetangga, Ustdaz, ahli hukum, bahkan bekas guru-gurunya, atau teman mainnya, dsb., hanya untuk melengkapi atau memperpanjang kisah yang sebenarnya simpel. Berikut cuplikan dari pernyataan Robby T.Winarka tentang masalah itu: “… termasuk bagaimana suatu isu yang diangkat menjadi bertambah bobotnya karena adanya masukan, pendapat, atau apapun baik dari yang bersangkutan, kerabatnya ______________________________________________________________________________ 299 300
ibid, Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo; ibid, Wawancara dengan Informan Arswendo Atmowiloto;
402
lingkungannya, masyarakat dan sebagainya”. Hal tersebut oleh Informan Veven Sp. Wardhana dianggap sebagai kebutuhan media saja. Karena kalau itu pelanggaran, harusnya dia tahu bahwa itu melanggar aturan atau kode etik. Sedangkan menurut M0chamad Sobary, bahwa infotainment adalah kerja etika, estetika, dan logika. Semuanya berujung pada morality. Moral apa sebenarnya yang ingin dibawa dan disampaikan oleh infotainment kepada masyarakat. Di sini peran KPI dipertanyakan oleh Nani Indra Ratnawati Nurrachman, seberapa jauh teguran-teguran KPI ditindak-lanjuti oleh PH atau Stasiun yang bersangkutan? Banyak acara-acara yang lebih bagus daripada infotainment, seperti Jelajah Nusantara, Kuliner, dan lain-lain, tapi ratingnya rendah. Sedangkan acara semacam infotainment, reality show, talkshow, yang semuanya menyentuh sisi pribadi dan privasi orang, ratingnya tinggi. Kenapa? Nani telah menjelaskan bahwa sifat masyarakat kita adalah masyarakat kolektif yang berbudaya bincang daripada baca. Artinya, suka menggunjingkan orang seperti halnya yang ada di dalam infotainment. Dalam acara Talkshow Jakarta Lawyer Club di TV One siaran tanggal 27 Juli 2010 jam 20:00 WIB, dengan topik: Infotainment Non Factual?, narasumber Ramadhan Pohan Anggota DPR RI menjawab pertanyaan Host Karni Ilyas sebagai berikut: Non faktual itu karena banyak sekali berita infotainment itu yang menabrak etika, norma-norma, etika jurnalistik, dan juga Undang-Undang Penyiaran, ditabrak semuanya. Kita dari dulu kita diajarin bahwa yang pertama pengabdian jurnalistik itu adalah kepada publik, itu. Nah sementara infotainment itu pengabdiannya kepada hiburan dan kemudian
403
orientasi uang tidak ada masalah, nah tetapi kemudian dia masuk kepada ranah-ranah pribadi. Seperti misalnya, pagi kita sudah dibombardir dengan siaran infotainment. Dan dalam catatan kami, itu ada sudah 14 jam sehari berdasarkan data dari Dewan Pers, dibombardir rakyat Indonesia dengan berita-berita yang ghibah, berita-berita tentang hubungan orang yang utuh rumah tangga tiba-tiba jadi bercerai, habis putus nyambung artis lain, lalu apa itu konteksnya dengan publik Indonesia. Itu bukan berita, berita itu based on fact, adalah fakta disitu. Tapi kalau sudah imajinasi, halusinasi, kemudian tidak berdasarkan fakta, dan ghibah disana, fitnah disana-sini, itu sudah menyimpang dari kepentingan publik, dan kemudian stasiun yang menyiarkan itu kan menggunakan frekuensi ranah publik, kenapa digunakan bukan untuk kepentingan publik, tetapi masuk kepada wilayahwilayah pribadi tadi.301 Ungkapan tersebut seperti yang juga diutarakan oleh para Informan, bahwa infotainment telah melakukan banyak pelanggaran. Namun apakah itu sebuah kejahatan atau bukan, tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Apabila diatur di Undang-undang, maka yang merasa dirugikan tentunya dapat melakukan penuntutan. Narasumber Ilham Bintang dalam Talkshow Mata Najwa di Metro TV yang siaran pada tanggal 21 Juli 2010 jam 22:00 WIB mengatakan: Justru itulah kami minta kepada otoritas dibidang pers dan penyiaran, mestinya dia tegur itu. Saya mempersilahkan, PWI mempersilahkan, bahkan saya sendiri punya rumah produksi mempersilahkan mereka untuk melakukan segala tindakan terkait dengan kewenangannya dia, bahkan penuntutan kepada polisi.302 Ilham Bintang juga menegaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh infotainment hanya seperberapa mil dibandingkan dengan ribuan pelanggaran yang dilakukan oleh media mainstream. Tapi terhadap media mainstream tidak ada penindakan. Menurut narasumber Yazirwan Uyun Anggota KPI Pusat, dalam _______________________________________________________________________________ 301
302
Acara Talkshow Jakarta Lawyers Club di TVOne siaran Selasa, tanggal 27 Juli 2010 Pk. 20:00 WIB dan siaran ulang Rabu, 28 Juli 2010 Pk. 01:30 WIB. Acara Talkshow Mata Najwa di Metro TV siaran Rabu, tanggal 21 Juli 2010 Pk. 22:00 WIB.
404
Talk-Show tersebut menyatakan bahwa memang banyak terjadi pelanggaran infotainment terhadap kode etik jurnalistik. Berikut pernyataannya: Karena bagaimanapun di antara tayangan infotainment tentu ada yang baik dan ada yang jelek. Walaupun kalau lihat hasil penelitian dari Universitas Indonesia yang menyebutkan setelah mereka melakukan penelitian selama enam bulan, bahwa kebanyakan, kalau kebanyakan berarti ada yang tidak dong. Kebanyakan melanggar kaidah-kaidah jurnalistik.303 Berdasarkan uraian diatas dan juga pada Bab sebelumnya, maka banyak sekali dibicarakan masalah pelanggaran yang dilakukan oleh infotainment terhadap kode etik, etika, estetika, logika, privasi dan lain-lain. Ada yang berpendapat bahwa itu dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan, ada juga yang tidak sependapat, atau menganggap bahwa perbuatan tersebut hanyalah kebablasan saja. Apakah diperlukan adanya suatu regulasi khusus yang berupa Undang-Undang tentang Privasi dan Hak Privasi (Privacy Act) untuk mengatur masalah perlindungan privasi dan hak privasi warga masyarakat termasuk para selebriti? Berdasarkan hasil penelusuran peneliti mengenai produk hukum yang berupa undang-undang sejak tahun 1945 di negara kita Indonesia, belum ada yang namanya Undang-Undang tentang Privasi atau Privacy Act. Yang ada, misalnya orang membuat situs internet, kemudian masing-masing membuat aturan-aturan mengenai privasi. Selain itu ada sedikit-sedikit disinggung di beberapa aturan seperti di di KUHP, UU KIP, dsb. Mengenai hal itu, berikut pendapat para Informan, di antaranya Informan Henri Subiakto, mengatakan: Memang belum ada, ya.. di UU KIP, KUHP, ada. Yang dikecualikan itu salah satu kalau menyangkut privasi. Yang khusus memang tidak ada, di Amerika ada, karena memang sebenarnya privasi itu termasuk hak asasi, karena hidup manusia itu tidak pernah akan bisa nyaman kalau tanpa ada privasi. 304 _______________________________________________________________________________ 303 ibid, Acara Talkshow Mata Najwa. 304 ibid, Wawancara dengan Informan Henri Subiakto.
405
Apakah rencananya akan ada undang-undang semacam itu? Henri Subiakto menjawab bahwa belum ada atau belum pernah ada wacana mengenai itu. Menurut Henri Subiakto, bahwa karena bandulnya adalah kebebasan, Privacy Act itu akan mengurangi kebebasan. Itu akan mendapatkan tentangan, pertentangan keras dari teman-teman (wartawan) yang lagi senang-senangnya dengan kebebasan. Bagi Roy Suryo
yang diperlukan adalah standarisasi
meskipun tidak bisa diharapkan bahwa
semua pekerja media termasuk
infotainment itu akan bisa sama kualitasnya. Mengenai wacana perlu tidaknya undang-undang tentang privasi, Informan Wina Armada menanggapi sebagai berikut: Selama ini sudah ada bukan dalam bentuk Undang-Undang, tapi diatur sebagai bagian dari Undang-Undang. Ini menjadi lebih rumit kalau dengan adanya teknologi informasi. Katakanlah apakah kalau BB (Black Berry) itu ruang publik atau ruang pribadi sih? Kalau e-mail itu ruang publik, kalau message itu pribadi. Misalnya saya menjelekkan seseorang, kemudian di forward lagi ke banyak orang. Saya beralasan itu pribadi, dari saya hanya untuk dia, soal kemudian dia sebarkan ke orang-orang lain, ya itu urusan dia. Yang menarik adalah pengaruh teknologi informasi, nilai ini belum ajeg, belum mapan, sudah muncul teknologi baru lagi. Inilah kalau secara sosiologis semacam nilai-nilai lama belum matang, nilai-nilai baru sudah datang. 305 Bagi Informan Marah Sakti Siregar masalah privasi sepertinya tidak perlu diatur di undang-undang, karena bisa diatur di kode etik. Yang menjadi masalah lagi adalah karena yang aktif itu artisnya, mendatangi kru infotainment atau redaktur untuk diliput atau bahkan minta digosipin. Dari sudut pandang Guru Besar Ali Mustafa Yaqub, masalah pelanggaran kode etik, etika, estetika dan logika atau privasi, harus ada kontrol dan tindakan. Menurutnya, harusnya ada kon_______________________________________________________________________________ 305
ibid, Wawancara dengan Informan Wina Armada Sukardi.
406
trol dan kontrol itu harus efektif betul. Sekarang apakah Undang-Undang itu efektif atau tidak?. Kalau Undang-Undang itu dikeluarkan secara tepat, mungkin keadaan bisa lebih bagus daripada keadaan yang sekarang. Kontrol itu sendiri termasuk masyarakat yang menonton yang seolah juga tidak ada yang peduli. Dulu MUI selalu memberikan masukan pada kepolisian, tapi polisi bilang mereka tidak bisa menindak karena tidak ada Undang-Undang tentang pornografi. Sekarang sudah ada Undang-Undangnya, tapi dilaksanakan tidak? kembali lagi kepada moral manusianya. Baik aparatnya maupun masyarakatnya. Makanya pembangunan moral itu sangat sulit. Dulu Bung Karno mengatakan pembangunan moral itu mutlak untuk pembangunan bangsa, nation and character building. Tapi dianggap retorika saja. Kalau tidak, hancur bangsa ini. Ada sebuah syair dari sufie: bangsa akan bertahan selama dia masih punya moral, jika moral pergi maka bangsa akan hancur.Ya, jadi ketika manusia misalnya, sudah tidak bisa dikontrol oleh alat-alat kontrol yang duniawi, polisi, aparat, maka satu-satunya kontrol yang paling efektif adalah dari Allah. Tapi kalau manusia sudah tidak bisa dikontrol oleh Allah, dia sudah merasa tidak dikontrol oleh Allah, ya sudah hancur. Sudah tidak ada artinya semua.306 Menurut Informan Arswendo Atmowiloto, bahwa undang-undang itu perlu. Tinggal penerapannya saja. Seperti artis kalau sudah masuk rumah, di dalam pagarnya, tidak boleh dikejar. Kalau mau wawancara harus jarak berapa meter, kalau artis sudah jawab no comment, tidak boleh didesak. Soal artisnya bodoh, itu soal lain, tapi itu yang harus di patuhi. Menurut Arswendo Atmowiloto, sederhana saja soal privasi dan non privasi itu. Sedangkan Narasumber Effendi Ghazali dalam acara Apa Kabar Indonesia di TV One segmen Infotainment siaran langsung dari Jl Thamrin Jakarta pada hari Senin tanggal 12 Juli 2010 jam 08:05 WIB mengatakan: Berbicara tentang infotainment, seharusnya ada yang namanya social distance, atau jarak sosial, yaitu ketika kamera mengambil gambar seseorang, tidak boleh terlalu dekat kepada obyek, juga dalam pengertian ______________________________________________________________________________ 306 Wawancara dengan Informan Ali Mustafa Yaqub pada hari Jumat, tanggal 25 Juni 2010 Pk.13: 00 – 14:00 WIB di Kantor Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
407
hal-hal yang bersifat privasi itu dihindarkan. Kemudian marilah kita robah, infotainment itu menjadi infotaining, artinya memberi informasi tapi yang menghibur. Kalau infotainment, maka anda terfokus hanya pada artis-artis atau selebriti. Apapun kasusnya, umumnya negatif. Tapi kalau infotaining, anda memberitakan yang paling sulit sekalipun tetapi dengan cara-cara yang menyenangkan. Jadi misalnya seorang artis tidak sematamata diberitakan dengan yang soal kasus ini kasus itu, yang umumnya negatif, tetapi juga dia misalnya ada orang yang terus menerus sebagai penyayang binatang.307 Pendapat dari Effendi Ghazali yang menyatakan bahwa seharusnya ada social distance antara kamera dengan obyek atau subyek gambar, baik secara denotatif maupun konotatif. Kenyataan di lapangan sering diperlihatkan oleh kameramen, bahwa seorang obyek apalagi jika sedang terkena kasus, maka akan dikerubuti oleh para wartawan, apakah itu dari mainstream atau infotainment, dengan menyodorkan mikrofon langsung ke arah mulut sumber berita tadi. Bahkan si obyek untuk bergerakpun kesulitan.
Jadi sulit untuk menerapkan
wacana jarak sosial tadi. Apalagi seperti dijelaskan oleh Marah Sakti Siregar dan Farid Ridwan Iskandar bahwa antara wartawan infotainment dengan para pesohor itu ada kedekatan sehingga tanpa ditanyapun informasi tentang pribadi si pesohor akan keluar dengan sendirinya. Penghayat Media Informan Veven Sp. Wardhana menyatakan bahwa terkait perlu tidaknya undang-undang tentang privasi, menurutnya kalau undangundang seperti itu sebenarnya tidak terlalu perlu, karena sudah terlalu banyak undang-undang yang memuat masalah itu. Seperti di Undang-Undang Penyiaran sudah ada aturan tentang itu, tetapi perlu lebih dijelaskan lagi dalam penjelasannya. Seperti misalnya privasi itu apa sih? Di penjelasan ditulis “cukup jelas”, pada _______________________________________________________________________________ 307 Acara Apa Kabar Indonesia di TV One segmen Infotainment siaran langsung dari Jl Thamrin Jakarta pada hari Senin tanggal 12 Juli 2010 jam 08:05 WIB.
408
hal sebetulnya belum jelas. Tetapi Informan Nani Indra Ratnawati menyatakan merasa perlu ada undang-undang yang mengatur tentang privasi, karena kalau tidak, maka dimana sebenarnya pengertian hak azasi manusia itu akan dimuat atau dielaborasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada yang setuju dan merasa perlu adanya undang-undang tentang privasi, dan ada juga yang tidak dengan alasannya masing-masing. Menurut peneliti, seandainya akan dibuat undang-undang tentang privasi,
maka harus jelas landasannya, besifat komprehensif dan tidak
bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945 dan Perubahan-perubahannya) serta segala aturan perundang-undangan yang sudah ada yang memuat masalah tersebut. Beberapa diskusi atau talkshow dan siaran berita di televisi dan radio membahas berkali-kali masalah infotainment, khususnya terkait dengan pelanggaran-pelanggaran
yang
dilakukan.
Meskipun
mengatakan bahwa mereka mematuhi rambu-rambu
para
produsernya
yang ada, namun
kenyataannya yang terlihat di layar kaca berbeda, dan itulah yang selalu diperdebatkan. Dikatakan bahwa infotainment adalah masalah etika, estetika, logika dan privasi. MUI Pusat sudah membuat fatwa bahwa infotainment itu haram hukumnya. Dalam siaran berita Apa Kabar Malam di TVOne siaran hari Rabu tanggal 28 Juli 2010 jam 00:10, Pembaca Berita membacakan
bahwa
dalam Rapat Kerja Nasional kedelapan MUI, setelah melakukan pembahasan selama tiga hari, akhirnya Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram bagi tayangan infotainment. Dalam fatwa tersebut, tayangan infotainment yang selama ini menceritakan, menyiarkan dan mengambil keuntungan dari aib kehi-
409
dupan pribadi orang, maka hukumnya adalah haram. Namun, Sekretaris Munas MUI, Niam Sholeh, juga menegaskan, tayangan infotainment diperboleh kan jika seluruh penayangan infotainment dipergunakan untuk proses penegakan hukum. Niam Sholeh mengatakan: Menceritakan aib orang, kemudian tentang kejelekan, gosip dan hal lain yang mungkin terkait dengan pribadi orang lain, itu haram. Ini obyeknya adalah seseorang yang menceritakan itu dilarang, kemudian yang kedua adalah upaya membuat berita, nah ini tentang pekerja-pekerja infotainment, membuat berita-berita gosip itu haram. Kemudian yang ketiga itu menayangkan, nah ini media penyiaran. Saya kira kan ada elemen-elemen seperti pembuat berita, sumber berita atau yang ketiga itu yang menayangkan dan menyiarkan berita-berita yang seperti itu, itu juga haram.308 Menurut Fanny Rahmasari, produser dan pembawa acara infotainment yang telah menangani acara infotainment selama 12 tahun, mengatakan bahwa wartawanpun (infotainment) sudah tahu tentang rules (peraturan) yang harus dia patuhi. Dalam diskusi Talkshow “Democrazy” Segmen “Infotainment Program Non Faktual?” di Metro TV siaran live Minggu tanggal 18 Juli 2010 jam 22:00 terjadi perbincangan seru antara Narasumber Fanny Rahmasari, produser dan pembawa acara infotainment, dengan Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers. Cuplikannya sebagai berikut: FR
:
Karena begini, kalau menurut aku, sebagai programmer infotainment yang sudah hampir duabelas tahun yang kita buat ya, kita juga merasa kok bahwa tidak semua infotainment itu ada kok memang.. tidak semua infotainment mempunyai kualitas yang bagus. Jadi selama duabelas tahun bekerja itu adalah tatanan-tatanan yang diganggu, dirombak segala macem dengan cara bagaimana mencari berita dan sebagainya. Saya juga konsen gitu, kalau infotainmentnya ada yang pergi ke selebritis atau artis tapi nggak pakai tata krama atau sopan santun.
______________________________________________________________________________ 308
Acara siaran berita “Apa Kabar Malam” di TVOne siaran hari Rabu tanggal 28 Juli 2010 pk. 00:10 WIB.
410
AS
:
Kalau jurnalistik, itu yang disampaikan benar-benar informasi yang bermanfaat buat masyarakat. Jadi informasi yang ada publiknya, bukan yang privat seperti infotainment. Karena infotainment itu mengangkat ke ruang publik masalah-masalah yang sebenarnya bersifat privat, dan sebenarnya hanya layak dibahas di ruang privat di keluarga, hubungan dua orang, misalnya seperti itu. Bahwa ruang publik seperti Democrazy ini kan harus digunakan untuk membahas hal-hal yang memang layak untuk dibahas untuk publik, ada nilai publiknya. Nah ini masalah utama dari infotainment, dan memang tidak semua, saya setuju, tapi banyak infotainment yang mengangkat ke permukaan hal-hal yang bersifat privat, itu masalah utama. Masalah yang kedua adalah masalah kode etik jurnalistik. Jadi misalnya, kalau kode etik jurnalistik mengatakan, karya jurnalistik itu harus mengandung “cover both side”, harus mengandung liputan dua sisi, harus mengandung konfirmasi dari narasumber dan seterusnya. Tiap wartawan Indonesia juga harus menghargai privasi, tidak boleh menekan narasumber untuk bicara, tidak boleh mengejar-ngejar, tidak boleh mendorong-dorong dan seterusnya. Nah ini aturan-aturan kode etik yang harus ditegakkan kalau misalnya infotainment itu mau dimasukkan kedalam kategori jurnalistik atau kalau pekerja infotainment itu ingin mendapatkan pengakuan sebagai jurnalis. Intinya Dewan Pers itu selalu terbuka, tetapi taati dulu itu kode etik jurnalistik, dan kelayakan untuk berkiprah di ruang publik.309
Kesimpulan dari subbab ini adalah bahwa benar infotainment telah melakukan pelanggaran terhadap etika (kode etik jurnalistik), estetika , logika dan privasi sebagaimana diperdebatkan atau dijelaskan oleh informan atau narasumber. Adapun ada pendapat yang mengatakan ”kebablasan” atau ”kebutuhan media” adalah berujung pada pelanggaran tadi. Mengenai apakah hal itu termasuk kejahatan atau bukan, tergantung apakah hal itu diatur di dalam undang-undang yang berlaku sekarang, yaitu sejauh mana ada pihak yang merasa dirugikan dan melakukan somasi atau pengaduan. _______________________________________________________________________________ 309
Acara Talkshow “Democrazy” Segmen “Infotainment Program Non Faktual?” di Metro TV siaran live Minggu tanggal 18 Juli 2010 jam 22:00.
411
4.2 Pembahasan tentang pergeseran etika komunikasi Kebebasan berekspresi dan beropini di alam keterbukaan seperti sekarang ini telah merubah sikap perilaku manusia pada umumnya, dan khususnya bagi para pelaku bisnis infotainment. Diasumsikan bahwa karena kepentingan bisnis dan ekonomi, maka para produsen infotainment membuat acara-acara infotainment yang lebih menyentuh ranah pribadi para pesohor maupun obyek berita yang dianggap relevan untuk diangkat ke layar kaca. Di lain pihak, para selebriti berlomba-lomba untuk dapat terangkat ke dalam acara infotainment. Berita dalam infotainment di televisi sering dikaitkan dengan sensasionalisme. Bahwa berita yang ditayangkan adalah sebagai akibat dari sensasi para pelakunya, baik para sumber berita maupun para pekerja infotainmentnya. Menurut Mitchell Stephens dalam bukunya ”The History of News” (2007:113) mengilustrasikan bahwa ”sensationalism” dapat ditemukan dalam ”the Roman Acta” dan sudah tersebar melalui entusiasme masyarakat yang belum melek media. Sensasionalisme, menurut Stephens dapat ditemukan di buku-buku abad ke 16 dan 17, namun sebenarnya ditujukan untuk pendidikan moral. Dia menyata kan, bahwa sensasionalisme telah membawa berita kepada para khalayak yang tergolong ”lower class” sebab mereka termasuk lapisan masyarakat yang tidak terlalu mengerti tentang masalah politik maupun ekonomi. Berita yang dibawakan adalah berita yang dapat dinikmati sebagai sebuah hiburan. Sensasionalisme sering dikaitkan dengan konsep bahwa khalayak massa itu adalah pasif.
Menurut Stephens ini adalah sebuah kekeliruan interpretasi
412
dengan menganggap bahwa khalayak adalah konsumen yang pasif. Walaupun demikian, pengertian segmen pasar ”lower class” menyuburkan berkembangnya sensasionalisme di kalangan pelaku bisnis infotainment.310 Jurnalisme mainstream (arus utama) adalah sebuah konsep ”hard news” yang berpedoman pada: pertama, ”seriousness”
atau keseriusan yakni berisi
masalah-masalah politik, ekonomi, kriminalitas, peperangan, atau bencana. Selain itu juga masalah hukum, bisnis, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, ”timeliness”, yaitu terkait alur waktu, menyangkut berita yang terjadi saat ini, seperti berlangsungnya peperangan, hasil suatu voting, berita kebakaran, pernyataan-pernyataan penting,
kaburnya terpidana, laporan ekonomi, dan
sebagainya. Sedangkan infotainment dikatakan sebagai
sebuah konsep ”soft
news” yang kadang-kadang menunjukkan suatu kemunduran atau pelanggaran atas sebuah informasi tentang hiburan. Infotainment memuat ”the least serious subjects” seperti seni dan hiburan, olah raga, gaya hidup, human interest, dan selebritis. Selain itu juga ”not timely”, tidak terikat waktu atau tidak ada kejelasan waktu kapan terjadinya. Tidak ada suatu peristiwa yang dapat memicu terjadinya berita, tergantung pada keinginan reporternya.311 Dalam konteks tersebut di atas, berdasarkan hasil pengamatan peneliti terhadap siaran-siaran acara infotainment di televisi sejak tahun 2008 sampai dengan 2012, serta hasil wawancara dengan para informan menunjukkan bahwa memang telah terjadi pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment tersebut. Para informan menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran etika komunikasi __________________________________________________________________ 310 311
http://en.wikipedia.org/wiki/sensationalism. Diunduh: 07-04-2010, pk. 21:40 WIB. ibid
413
dalam acara infotainment di televisi. Informan Roy Suryo telah menguraikan masalah unsur-unsur yang memengaruhi pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam acara infotainment televisi, yaitu unsur media atau teknologinya, unsur artisnya, dan unsur pelaku bisnis infotainmentnya. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sering terjadi pertentangan antara the right of protection ataupun the right to be left alone dengan the right of publication atau the right of expression. Wartawan dengan dalih the public right to know, sering mengungkap masalah pribadi seseorang kepada publik tanpa sensor sama sekali. Bahkan terkesan semakin dapat masuk ke wilayah pribadi maka semakin ekslusif. Dengan demikian maka tampak bahwa dalam mengekspresikan haknya, para pekerja infotainment mengabaikan norma-norma atau rambu-rambu etika berkomunikasi. Dijelaskan oleh Haryatmoko (2007:44), bahwa etika komunikasi memiliki tiga dimensi, yaitu: deontologi, etika strategi dan meta-etika. Deontologi adalah merupakan aksi yaitu kesadaran moral atau nurani aktor komunikasi, dan deontologi jurnalisme. Etika strategi berhubungan dengan sarananya, yaitu tatanan hukum dan institusi,
hubungan-hubungan kekuasaan, peran asosiasi,
lembaga konsumen, maupun komisi pengawas. Sedangkan meta-etika adalah tujuan, berupa nilai-nilai demokrasi, hak untuk berekspresi, dan hak publik akan informasi yang benar. Regulasi sangat perlu untuk memberikan rambu-rambu bagi pelaku bisnis media, khususnya bisnis infotainment yang melibatkan unsur teknologi/medianya, unsur aktor atau artisnya, dan unsur pekerja infotainmentnya. Tujuannya adalah
414
agar media dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada publik, berdasarkan norma sosial dan norma agama yang berlaku. Tetapi menurut hukum pasar, maka yang berlaku adalah dominasi kepentingan bisnis (pemilik modal) untuk mencari profit sebanyak-banyaknya dengan tujuan kapitalisasi modal dan pengembangan perusahaan. Disinilah sering terjadi pertentangan kepentingan, dimana para pihak sering sama-sama mengatasnamakan untuk kepentingan publik dan berpijak pada kode etik jurnalistik maupun aturan main yang berlaku. Regulasi dapat berbentuk hukum positif yang mempunyai sanksi hukum apabila terjadi pelanggaran, dan konvensi semacam kode etik atau kode perilaku yang tidak ada sanksi hukumnya, kecuali sanksi moral atau sanksi administratif yang dilakukan secara internal oleh perusahaan dan asosiasi profesi. Menurut Informan Roy Thaniago dalam acara infotainment di televisi, ada etika-etika yang tidak sesuai, banyak logika-logika yang tidak bisa menjadi parameter untuk kebijakan publik. Dia contohkan: “bad news is a good news”, adalah logika yang dimiliki oleh orang TV saja. Karena ada adagium uang, juga ada adagium-adagium lain, yaitu, masyarakat yang meminta,. Kata mereka: “Toh selama kami tidak melanggar hukum kan tidak masalah?” Dalam konteks ini, menurut Roy Thaniago,
artinya
bahwa
hukum berada di bawah etika,
seharusnya etika berada di bawah hukum. Tapi kadang-kadang hukum tidak mengakomodasi itu, tapi standar atau naluri dasar manusia itu secara etika mengerti bahwa ini baik atau tidak bagi masyarakat.312 Informan Wina Armada mengatakan bahwa mempelajari pergeseran nilai dari segi budaya dan etika komunikasi lebih rumit dari pada menganalisisnya dari segi _____________________________________________________________________________ 312
Wawancara dengan Informan Roy Thaniago pada hari Kamis, tanggal 24 Juni 2010 Pk.18:00 – 18:30 WIB di Studio 5 TVRI, Senayan Jakarta Pusat.
415
hukum. Infotainment hanya bagian khusus dari industri secara keseluruhan. Karenanya bagi para wartawan infotainment perlu mengetahui dan memahami Kode Etik Jurnalistik. Wina Armada mensinyalir bahwa yang perlu diwaspadai adalah presenter dan narasi dari infotainment. Barangkali pengambilan gambar ada perbaikan kualitas, tetapi pengantar dan narasinya sering bicaranya seperti yang bisa menghakimi, mengatakan sesuatu yang hanya menurut perkiraannya saja, tanpa didukung oleh bukti atau fakta.313
Di bagian depan informan
Huzaemah Tahildo Yanggo telah menguraikan masalah ghibah, bahwa ghibah atau menyebutkan keaiban orang itu tidak boleh. Gosip lebih banyak menggunjingkan tentang keadaan seseorang, dan keadaan yang dibicarakan adalah yang bersifat negatif atau semacam aib. Menurut Huzaemah, dari sudut pandang moral dan etika juga tidak bagus, tidak mendidik, apalagi dari segi agama.314 Sementara itu, Arswendo Atmowiloto menyatakan bahwa telah terjadi perubahan tata nilai privasi, “karena kita sendiri kurang membatasi privasi itu apa, apalagi tidak ada
undang-undangnya, sampai sekarang belum ada”.
Yang kita tahu adalah privasi menurut konvensi Amerika: “selama mereka dalam rumahnya, tidak boleh menerobos masuk”. Tapi kalau di halaman ada pesta perkawinan, misalnya dia naik helikopter, dia boleh ambil gambar, walaupun seharusnya melalui “prior consent” atau ijin terlebih dahulu. Informan Arswendo Atmowiloto pernah membuat acara yang sama tetapi menggunakan nama “newstainment”. Menurutnya istilah infotainment itu sendiri, _____________________________________________________________________________ 313
314
Wawancara dengan Informan Wina Armada Sukardi, pada hari Jumat, 18 Juni 2010, Pk.11:00 - 12:00 WIB di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jl. Kebun Sirih, Jakarta Pusat. Wawancara dengan Informan Huzaemah Tahildo Yanggo pada hari Sabtu, tanggal 3 Juli 2010 Pk. 09:00 - 10:00 WIB di Kantor Direktur Pascasarjana IIQ Jakarta, Jl. Ciputat Raya, Tanggerang Selatan.
416
sebenarnya istilah yang salah kaprah atau keliru. Karena info itu tidak selalu berdasar data dan fakta, bisa hanya berdasar info aja atau gosip saja. Dalam hal merekonstruksi realitas sosial juga termasuk bagaimana stasiun menayangkan suatu acara. Seringkali, menurut Arswendo, untuk materi yang sama disiarkan berulang kali baik oleh stasiun tersebut atau stasiun lainnya. Artinya, kalau dalam minggu yang sama si subyek membantahnya atau apa, itu jadinya panjang. Nah disini, menurut Arswendo, kesalahan atau sifat media massa seolah-olah beritanya menjadi banyak sekali, karena ada rerun-nya, karena di replay terus, diulangulang terus. Jadi kalau tayangan orang jatuh itu sepertinya jatuhnya puluhan kali. Kemudian mengenai bagaimana seharusnya berita itu diperoleh, Arswendo Atmowiloto menyatakan, harusnya tugas pers untuk mencari berita. Media bisa mendapatkan berita dari mana saja, misalnya dari konperensi pers. Tetapi di Indonesia, Arswendo Atmowiloto menambahkan, kita boleh bilang suka atau tidak suka, kadang yang terjadi adalah bukan pekerja infotainment atau wartawannya yang bergerak mencari artis, tapi kadang artis yang mencari kamera.315 Artis (pesohor), privasi dan gosip seolah merupakan serangkaian unsur yang tidak terpisahkan dengan kerja infotainment. Menurut Roy Thaniago, infotainment menganut prinsip bahwa pesohor yang dianggap sebagai figur publik layak untuk dikuras segala sesuatunya untuk konsumsi publik. Pekerja infotainment juga tidak tahu atau tidak menyadari mana yang privat dan mana yang publik. Mereka (media) tidak sadar bahwa artis bukan tokoh publik atau ______________________________________________________________________________ 315
Wawancara dengan Informan Arswendo Atmowiloto pada hari Sabtu, tanggal 19 Juni 2010 Pk. 09:00 – 10:30 WIB di Kantor P.H. Atmo Chademas Persada Jl. M.Saidi No.34A, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan.
417
bukan figur publik. Patut dipertanyakan perannya, karena mereka (artis) tidak punya dampak terkait kebijakan publik. Kalau tidak diungkapkanpun tidak apaapa, dan mereka masih bisa hidup. Dalam kaitan ini, Informan Roy Thaniago mengatakan bahwa mereka pakai parameter atau logika mereka sendiri. Mereka tidak punya data, mereka tidak pernah survey. Akhirnya mereka pakai asumsiasumsi yang dibuat seolah itu adalah kemauan atau kebutuhan masyarakat, padahal itu asumsi pribadi, logika mereka pribadi.316 Senada dengan informan lainnya, informan Mariana Amiruddin menyatakan bahwa infotainment sering terbalik-balik dalam menyajikan konten acaranya. Kehidupan pribadi disorot dan dimasukkan ke ruang publik, sedangkan yang bersifat publik malah tidak diberitakan. Mariana mengatakan bahwa merekonstruksi realitas sosial adalah sesuatu yang konsepsional, tidak boleh mengejar target semata-mata. Tapi yang kita lihat banyak yang tidak benar. Seperti menggunakan narasumber yang tidak benar karena ingin mengejar target semata, sehingga mengabaikan etika dan kebenaran. 317 Sebagaimana pendapat Roy Thaniago tentang berita infotainment, pandangan Nani Indra Ratnawati Nurrachman terhadap rekonstruksi realitas sosial yang dilakukan media khususnya kru infotainment ke dalam ruang publik juga sama. Menurut Nani, sangat tergantung dari motivasi mereka. Motivasi mereka adalah ingin menampilkan tokoh yang menurut mereka layak untuk diangkat. Jadi yang nomor satu akan selalu “bad news is a good news”. Lantas selanjutnya ______________________________________________________________________________ 316 317
ibid, Wawancara dengan Informan Roy Thaniago. Wawancara dengan Informan Mariana Amiruddin pada hari Senin, tanggal 5 Juli 2010 Pk.14:00-15:00 di Kantor YJP Jl. Tebet Barat Dalam 9A No.B-1 Komplek Kejagung Jakarta Selatan dan di Café Citrus Tebet, Jl. MT.Haryono, Jakarta Selatan.
418
seberapa dalam mereka mencabik-cabik kehidupan pribadi orang yang diangkat ke layar itu. Itu mau tidak mau juga dikaitkan dengan budaya masyarakat kita, seperti selektivitis, lalu budaya lisan, senang membicarakan orang. Kenapa, karena kita “people-oriented”, bukan “problem oriented”. Maka solusi yang ditawarkan adalah berupa pembenaran-pembenaran. 318 Jika melihat uraian tentang deontologi jurnalisme yang merupakan aksi yaitu kesadaran moral atau nurani aktor komunikasi, maka prinsip tersebut layak dikenakan pada acara infotainment. Secara umum dapat dilihat bahwa apa yang ditayangkan selama ini sebagian atau sebagian besar adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip dimaksud. Apakah unsur-unsur bisnis infotainment, diantaranya para artis dan kerabat kerja menyadari tentang konsep-konsep etika sebagaimana tertuang di dalam dimensi-dimensi etika komunikasi?. Etika yang terkait dengan nilai dan norma adalah etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Sedangkan etika normatif berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia, dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam hidup ini.319 Etika komunikasi telah bergeser karena peran media televisi dengan suguhan acara-acaranya. Infotainment sebagai bagian dari bentuk komunikasi _______________________________________________________________________________ 318
319
Wawancara dengan Informan Nani Indra Ratnawati Nurrachman pada hari Rabu, tanggal 7 Juli 2010 Pk.14:00- 15:00 WIB di Fakultas Psikologi Unika Atmajaya Gedung C Lt.4 Jl.Jendral Sudirman 51, Jakarta Pusat. http://etika-filsafat-komunikasi.blog spot.com/. Sabtu, 15 Maret 2008; 12:08 WIB
419
massa tidak lagi sepenuhnya merepresentasikan kebenaran dan nilai-nilai tradisi yang luhur, tetapi lebih bersifat praktik-praktik persuasi demi kuasa ekonomi dan politik. Haryatmoko (2007: 45-46) menjelaskan bentuk-bentuk dominasi dalam komunikasi media. Bentuk-bentuk dominasi tersebut ditopang oleh logika industri yang mewujud dalam kekerasan simbolik, kekerasan yang menyiratkan persetujuan sang korban. Berita sebagai komoditas dipasok tanpa henti karena naluri konsumsi yang ada dalam diri konsumen. Media televisi berlomba untuk menayangkan topik-topik yang menghangat dan dihangatkan oleh media itu sendiri. Jika suatu cerita tentang selebriti disiarkan terus menerus, maka topik tersebut dianggap bagus dan setiap kru infotainment mengganggap perlu untuk saling mendahului dalam penyajiannya, meskipun tanpa etika yang benar. Media menguasai dan merubah perilaku komunikasi manusia, serta mendorong terjadinya kecenderungan penguasaan ekonomi (kapitalisme) dalam industri media. Dalam kondisi seperti itu, maka terlihat melemahnya kepekaan komunikator dan komunikan terhadap etika jurnalisme. Ada kecenderungan pengabaian terhadap standar nilai atas prinsip pelayanan publik dan norma obyektif jurnalisme. Pandangan Informan Henri Subiakto terhadap bergesernya etika komunikasi para pekerja infotainment, adalah karena terjadinya perubahan status para pekerja infotainment yang dulunya bukan wartawan kemudian disebut sebagai wartawan. Yang namanya wartawan itu adalah orang-orang yang profesional yang memang tugasnya mencari berita dan beritanya itu mempunyai ukuran-ukuran tertentu, dan dilakukan oleh organisasi berita. Organisasi berita itu bisa kantor berita, koran, dsb. Sedangkan infotainment diproduksi oleh production
420
house, production house adalah bukan organisasi berita. Menurut Henri Subiakto, disitulah problema dari infotainment.
Mereka tidak paham tentang standar-
standar etika jurnalistik sehingga akhirnya sekedar factuality dalam artian bahwa faktanya ada, tetapi tidak relevan dengan tujuan pemberitaan. Tidak relevan dengan institusi media itu tujuannya apa? Itulah sebabnya terjadi pergeseran atau bahkan perubahan etika komunikasi di kalangan pemroduksi acara infotainment.320 Kalaupun mereka paham tentang rambu-rambu yang berlaku, baik yang bersifat hukum positif dengan sanksi hukum pidana maupun yang bersifat konvensi dengan sanksi moral saja, namun para kru infotainment harus mematuhi ramburambu internal yang dibuat oleh para pengelola perusahaan produksi dan penyiaran. Sebagaimana pemikiran Mitchell Stephens (2007:113) yang menyatakan, bahwa sensasionalisme telah membawa berita kepada para khalayak yang tergolong ”lower class”,
pendapat Informan Henri Subiakto mengenai materi
infotainment juga menyatakan bahwa infotainment itu bagian dari lowtaste content. Lowtaste content yaitu isi selera rendah, yang disebarkan kepada orang banyak, diterima oleh orang banyak dan disukai orang banyak, tetapi ikut menyumbangkan penurunan selera massa dan standar-standar moral. Karena berkaitan dengan perselingkuhan, berkaitan dengan kawin cerai, dan menurunkan standar-standar moral, dengan gambar-gambar porno yang menurunkan standarstandar moral dan menurunkan standar-standar budaya. Jadi berkontribusi terhadap penurunan-penurunan standar itu, tetapi disukai dan itulah infotainment. ____________________________________________________________________________ 320
Wawancara dengan Informan Henri Subiakto, pada hari Jumat, 11 Juni 2010 Pk. 13:30 – 14:00 WIB di Kantor Staf Ahli Menkominfo Bidang Media Massa, Lt.7, Jl. Merdeka Barat No. 4 dan 5 Jakarta Pusat.
421
Menurut Henri, media memberitakan sesuatu tidak pernah bisa obyektif seratus persen. Kalau mereka sudah tersubyektif, itu memang menjadi tidak nyaman dan itu nampak nyata. Dari sisi pengambilan gambar, seorang kameraman akan ambil angle tertentu dan tidak mengambil yang lain, itupun sebenarnya sudah subyektif. Itu tidak bisa dihindari, tetapi ketika unsur subyektivitas itu ditambah dengan opini, maka jadilah seperti yang ditayangkan di layar televisi. Media infotainment mem”blow up” sesuatu peristiwa di rumah tangga artis sedemikian rupa dan seolah-olah, serta ditunjang dengan gambar yang dipilih untuk membenarkan narasi yang dibuatnya. Seperti sudah ada agenda setting yang sangat kelihatan.321 Bahwa dalam pembuatan acara infotainment yang formatnya magazine, feature atau semi-documentary, maka rekayasa adegan ataupun rekayasa gambar dan suara adalah identik dengan rekonstruksi realitas. Rekayasa adegan atau materi acara diungkap ke ruang publik tentu mengandung resiko, karena ada pembenaran-pembenaran yang akhirnya ditelan begitu saja oleh khalayak penonton. Informan Roy Suryo mengalami rekayasa oleh awak media meskipun tidak dalam acara infotainment, dimana teriakannya “hu” yang hanya dua kali dalam sidang Century di Komisi III DPR RI, dalam satu hari bisa terulang sampai delapan kali, dan setiap kalinya diulang-ulang beberapa kali “hu”. Kemudian juga cerita Roy Suryo, ketika selesai dari membantu Bareskrim Polri dalam penelitian video porno, dia diikuti oleh kru infotainment ke mobilnya dan akan masuk ke dalamnya. Ketika ditanya kenapa mau ikut masuk mobil, alasannya karena ingin _______________________________________________________________________________ 321
Ibid, Wawancara dengan Informan Henri Subiakto.
422
tahu apa isi mobilnya Roy Suryo. Nah hal-hal seperti itulah salah satu gambaran bagaimana pekerja infotainment mencari materi untuk disiarkan. Jika diijinkan untuk diambil gambar dalam mobil Roy Suryo, tentu akan menjadi trend atau preseden. Sebetulnya, dalam mencari gambar untuk berita atau untuk apapun, jika itu menyangkut ranah pribadi seseorang maka harus ada “prior consent” atau ijin terlebih dahulu dari yang bersangkutan. Karena jika terjadi di negara yang ”law enforcement”nya sudah mapan, maka hal seperti itu akan dituntut atau diadukan ke pihak berwenang.322 Informan Roy Suryo menambahkan bagaimana cara kru media mengambil gambar atas peristiwa unjuk rasa dan lain-lainnya. Roy Suryo menuturkan, bahwa jika ada unjuk rasa,
maka yang ditunggu adalah tawurannya.
Dia
pernah
bersama kru dari tiga stasiun TV yang ratingnya turun. Kru mengatakan karena mereka tidak memberitakan tawuran-tawuran itu maka ratingnya turun. Sementara dua stasiun TV yang memang kategorinya TV berita, isi beritanya ya sampai hal tawuran atau perkelahian. Yang harus dicermati, menurut Roy Suryo, teknologi memungkinkan isi siarannya live, artinya bahwa masalah censorshipnya terlewati. Ketika ada siaran langsung tentang kejadian-kejadian di daerah, atau seperti kejadian di Rawamangun, di Mbah Priok, dan lain-lainnya ditayangkan, dalam bentrokan ada yang digebuk, mobil-mobil dibakar, dsb itu menjadi trend, dan terbukti laku jual.
Sedangkan stasiun televisi yang punya siaran beritanya
“sopan”, atau berita yang positif, lantas menjadi kurang tertonton.323 Pemikiran ________________________________________________________________ 322
323
Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo, pada hari Kamis, 17 Juni 2010 Pk.17:00 – 19:00 WIB di Gedung Nusantara I DPR-RI, Senayan Lt.21, Ruang 2103 ibid, Wawancara dengan Informan Roy Suryo Notodiprodjo.
423
Mochamad Sobary merefleksikan betapa perlunya kualitas isi dari infotainment untuk ditingkatkan, tidak hanya mengikuti selera pasar. Karena sebenarnya selera pasar itu dibentuk oleh industri media itu sendiri. Ada dialektika yang saling memengaruhi antara industri media yang berbasis sistem kapitalistis dengan kondisi khalayak yang low level education, low level income, dan bahkan low level taste. Itu tentunya karena pengaruh dari tradisi masyarakat yang masih berbudaya lisan kuat, berkelompok (kolektivisme), people oriented, rapuh perilakunya, tidak memiliki prinsip-prinsip yang kuat, mengalami jumping kebudayaan, dan tidak memiliki parameter mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan menurut Mochamad Sobary, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu memberikan pemerataan keadilan kepada masyarakat. Sudut pandang Informan Mochamad Sobary cukup mendalam. Mengenai bagaimana seharusnya infotainment itu dibuat, adalah idealisme yang langka pada saat ini. Karena semua pihak bermain dan berargumentasi bahwa itu semua adalah tuntutan pasar, mekanisme pasar dan selera pasar. Infotainment itu, menurut Mochamad Sobary, seharusnya merupakan penampilan moralitas (morality), penampilan estetika, dan penampilan etika. Ada kode etik pers, kode etik penyi- aran, dan lebih dari itu etika “can be anything, many-many things”. Uraian dari Informan Mochamad Sobary adalah suatu bentuk kegelisahan akan kondisi riil dari isi infotainment yang merekonstruksi realitas sosial menurut perspektif para pekerja infotainment itu sendiri. Pemikiran Mochamad Sobary adalah keinginan idealis yang bertentangan dengan kehendak pasar. Sedangkan kehendak pasar itu dibentuk oleh para pemilik modal yang menguasai dunia penyiaran kita. Struktur
424
pasar penyiaran adalah oligopolistik. Sehingga marketplace dikuasai oleh beberapa kelompok bisnis yang kuat modal saja. Keinginan Mochamad Sobary adalah agar infotainment juga memiliki citarasa estetika, yaitu ordonansi dari kesadaran etik
dan kesadaran rohaniah, sekaligus kesadaran sosial. Apakah
nantinya dunia penyiaran kita khususnya tayangan infotainment di televisi akan dapat memberikan “kiblat” yaitu “the essence of life” sekaligus
“ the inner
essence”?. 324 Jawaban atas pertanyaan tersebut cukup sulit, karena dalam sistem industri yang kapitalistis, prinsip mencari profit sebanyak-banyaknya adalah prinsip dasar. Jadi kembali pada niat baik para pemegang kendali bisnis penyiaran di tanah air. Meskipun dikatakan oleh Informan Bimo Nugroho bahwa tidak ada agenda setting atau hidden agenda atas maraknya tayangan infotainment, tetapi kemunculannya yang co-incident telah menimbulkan pro dan kontra mengenai konten dan akibat yang ditimbulkannya.325 Jika diskusi di atas adalah berdasarkan pendapat para pengamat, bagaimana dengan pendapat para artis terhadap acara atau tayangan infotainment di televisi?. Selain mewawancarai pesinetron Arif Rahman, Peneliti juga mewawancarai
artis sinetron dan model Aiman Ricky dan Moudyzania Zulkarnaen.
Seperti pendapat Roy Suryo, pesinetron Aiman Ricky juga berpendapat bahwa infotainment dapat menaikkan pamor seseorang dengan cepat, tapi bisa juga menjatuhkan seseorang dengan cepat juga. Menurut Aiman, infotainment itu sekarang lebih sering ke arah ke”reality”an, mengikuti kegiatan selebritis kemana_______________________________________________________________________________ 324
225
Wawancara dengan Informan Mochamad Sobary pada hari Jumat, tanggal 2 Juli 2010 Pk. 16:30 – 18:30 WIB di Gedung Pusat Bahasa Kemendiknas, Rawamangun, Jakarta. Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho Sekundatmo pada hari Rabu, 16 Juni 2010 Pk. 13:30-6:30 WIB di Kantor KPI Pusat, Gedung Bapeten Lt.6 Jl. Gajahmada No.38 Jakarta Pusat.
425
kemana. Aiman sering diikuti kru infotainment, kadang dia mau, tapi kalau lagi tidak mau kadang dipaksa untuk liputan seperti soal rumah barunya. Dia tidak mau karena menurutnya opini orang kan berbeda-beda. Nanti dikira sombong atau sok. Aiman minta liputan yang lainnya saja, jangan soal rumah baru. Mereka memintanya terus, sampai titik jenuhnya dia bilang “maaf ya, saya nggak bisa liputan”. Akhirnya setelah itu kru media itu tidak mau meliputnya lagi, karena dia dikatakan sombong tidak mau diliput. Padahal dia hanya ingin menjaga ruang privasinya, tak mau diganggu. Menurut Aiman, begitulah kalau mereka mengejarngejar untuk mendapat berita. Dicontohkan lagi, dia sedang berkumpul sama teman-temannya. Itu sebenarnya biasa-biasa saja, karena kumpul sama temanteman. Tapi begitu ada liputan, dan waktu pas tayang, ada narasinya yang tidak enak didengar. Seperti, Aiman sekarang sedang off sinetron, dan jalan-jalan dengan teman-temannya, dan sebagainya. Menurutnya, opininya tidak enak, seharusnya tidak perlu dinarasikan begitu. Padahal mereka tidak tahu kegiatan apa yang sebenarnya sedang Aiman lakukan.326 Menyimak pernyataan pesinetron Aiman Ricky yang menjadi obyek berita infotainment terlihat betapa pemburu berita selebritis mengabaikan ramburambu jurnalistik demi memenuhi selera mereka. Mengenai terjadinya pergeseran etika komunikasi dalam proses pembuatan dan penayangan acara infotainment, Aiman Ricky berpendapat bahwa memang ada pergeseran etika itu. Demikian juga pendapat artis dan model Moudyzania Zulkarnaen yang menyatakan bahwa betul, menurutnya benar telah terjadi atau ada perubahan etika komunikasi dalam __________________________________________________________________ 326
Wawancara dengan Informan Aiman Ricky pada hari Kamis, tanggal 31 Mei 2012 Pk. 14:00 – 14:30 WIB di Ruang Perpustakaan Fikom UPDM (B), Gedung Perdamaian Lt.2, Jl. Hang Lekir I/8 Senayan,Jakarta Pusat.
426
acara infotainment. Menurut Moudy, kondisi
dahulu sepertinya lebih teratur
dalam mereka mencari berita. Sedangkan sekarang ini, katanya, kayaknya sudah terlalu berlebihan. Menurut Moudy memang sudah bergeser, antara lain karena faktor ekonomi, yaitu biar artisnya tetap eksis, dan rating acaranya tinggi. Tapi kadang-kadang melanggar kode etik, seperti masalah privasi yang dibuka untuk publik. Dia mengalami bagaimana kru liputan infotainment mencari sisi-sisi privasinya ketika dia dengan teman dekatnya sedang menonton konser di ancol. Dengan memancing wawancara seputar konser musik tapi merembet ke yang lainlain.327 Selain pengalaman tersebut di atas, Aiman Ricky juga mengalami wawancara tentang sesuatu hal yang dia tidak tahu. Misalnya, ditanya “tahu nggak kenapa Whitney Houston meninggal”. Terus, tahu nggak lagunya? Ada lagi misal kan tentang fenomena alam, nah seperti itu ketika dia ditodong langsung di lapangan. Sebenarnya dia tidak mau menjawab, tapi tidak enak, jadi dia harus menjawabnya. Kemudian Aiman diminta comment tentang kenapa Ariel bebas. Padahal, menurut Aiman, itu jelas bukan urusannya. Dia pernah ada liputan, mulanya tentang tempat kost-nya, tapi kemudian yang diangkat masalah negatifnya. Yah, ada masalah negatifnya yang menurutnya sangat tidak enak. Aiman tidak bersedia menceritakan apa isi narasi itu, karena memang terasanya tidak enak sekali. Jadi kalau menurut Aiman, kru infotainment sengaja menaikkan negatifnya untuk membuat orang penasaran. Setelah melihatnya, ada orang yang percaya dan ada yang tidak. Dari situ teman-temannya memberi comment bahwa ______________________________________________________________________________________________________________________ 327
Wawancara dengan Informan Moudyzania Zulkarnaen pada hari Senin, tanggal 04 Juli 2012 Pk. 11:00-12:00 WIB, bertempat di ruang kelas Fikom UPDM (B), Gedung Merah Putih Lt.3. Jl. Hang Lekir I/8 Senayan,Jakarta Pusat.
427
dia sombong sekali, punya mobil baru harus diliput segala. Padahal dari awalnya liputan itu adalah tentang kegiatan Aiman, tapi yang diangkat oleh infotainment justru membahas masalah mobilnya. Kemudian mengenai adanya liputan infotainment terhadap kasus-kasus yang sebenarnya kecil, tapi karena diulang-ulang atau dicecar terus, akhirnya menjadi seolah-olah atau bahkan benar kasusnya menjadi besar, Aiman berpendapat bahwa justru karena dilebih-lebihkan maka membuat berita itu menjadi besar dan seolah-olah nyata. Karena “blow up” media yang begitu pintar, maka urusannya jadi besar, dan yang mungkin timbul adalah adanya keributan antara suami isteri yang diliput. Kondisi keluarganya yang semula baikbaik saja, kini menjadi retak dan menjurus ke perceraian. Jadi sifatnya adu domba. Lebih lanjut Aiman mengatakan bahwa kalau sekarang media itu lebih bebas mau menyiarkan apapun mereka bisa bebas. Pemerintah tidak campur tangan lagi seperti dulu. Tidak ada tindakan tegas atau apapun. Yang penting rating naik, akan mereka lakukan. Jadi dengan keadaan seperti itu, susah membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Infotainment suka mem”blow up” seseorang, padahal orangnya belum tentu seperti itu atau setuju untuk di”blow up” apalagi jika konotasinya negatif. 328 Pengalaman dan pendapat kedua artis di atas memperkuat pendapat para pengamat atau informan sebelumnya bahwa memang telah terjadi pergeser an etika komunikasi para pelaku bisnis infotainment utamanya para kru peliputannya yang mengabaikan rambu-rambu kode etik demi mengangkat rating ______________________________________________________________________________ 328
ibid, Wawancara dengan Informan Aiman Ricky.
428
acara. Sedangkan Informan Ilham Bintang menyatakan bahwa prinsip membuat berita itu adalah yang mendekati akurat, karena akan ditonton oleh publik, sehingga bagaimana suatu peristiwa itu tidak dipelintir. Konsep operasionalnya harus tetap berpedoman pada kode etik jurnalistik. Ilham Bintang menyatakan bahwa setelah banyak yang meniru membuat infotainment, sering terjadi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Dia sering mengatakan kepada para pelaku bisnis infotainment untuk memperbaiki isinya, cara penyajiannya dan menghindari pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Ilham Bintang menguraikan bahwa yang pokok harus berpihak pada sistem nilai masyarakat. Karena wartawan itu hidup di masyarakat dimana dia tinggal, sehingga atmosfirnya adalah wartawan sebagai bagian dari proses komunikasi dalam media tetap menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya. Tapi situasi kemudian mengkondisikan, termasuk para artisnya, permisif terhadap apa yang dilakukan pekerja infotainment dan masyarakatpun terbawa permisif atas apa yang disiarkan infotainment. 329 Mengenai kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang dicanangkan oleh para perintis Infotainment Ilham Bintang, Marah Sakti Siregar dan Farid Ridwan Iskandar. Informan Marah Sakti mengatakan bahwa menjadi kewenang an PWI untuk membina anggotanya, menegur kalau misalnya ada hal-hal yang sensasi atau cabul. Ada item-item dalam kode etik yang harus ditaati. Tetapi memang, Marah Sakti Siregar menyadari bahwa di internal PH atau stasiun ada kekhawatiran kalau mengikuti aturan undang-undang atau kode etik jurnalistik, _______________________________________________________________________________ 329
Wawancara dengan Informan Ilham Bintang, pada hari Kamis, 1 Juli 2010 Pk. 12:00 – 14:00 WIB di Kantor Cek & Ricek Tayang, Jl. Menara IV, Meruya Selatan, Jakarta Barat.
429
ratingnya akan turun. Kenapa rating turun? Karena masyarakat sudah terlanjur terbiasa dengan keadaan yang ditampilkan oleh infotainment, sangat permisif.330 Benar yang disampaikan oleh Informan Ali Mustofa Yacob bahwa sistem rating telah menggeserkan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Demikian juga dengan pendapat Mariana Amiruddin bahwa sistem industri yang kapitalistik mempengaruhi pergeseran nilai budaya maupun etika berkomunikasi melalui media massa. Pendapat para informan: Roy Thaniago, Wina Armada, Huzaemah T. Yanggo, Arswendo Atmowiloto, Mariana Amiruddin, Ali Mustafa Yakub, Nani Indra Ratnawati Nurrachman, Henri Subiakto, Roy Suryo Notodiprodjo, Mochamad Sobary, serta Bimo Nugroho Sekundatmo
memberikan
gambaran bahwa memang telah terjadi pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi. Demikian juga pendapat Ilham Bintang, Marah Sakti Siregar dan Farid Ridwan Iskandar selaku para perintis acara infotainment mengakui adanya perubahan etika berkomunikasi di kalangan pekerja infotainment, meskipun mereka telah sering menyampaikan perlunya mematuhi rambu-rambu yang tetah ditetapkan. Jadi dengan gambaran seperti itu, maka sesungguhnya atau berarti infotainment itu bermain di beberapa ruang, yaitu: ruang publik, ruang privasi, ruang hukum atau legal aspect, dan ruang ekonomi, serta ruang pikiran atau mind. Mengutip pendapat informan Arief Rachman bahwa yang penting di dalam setiap ruang tersebut hendaknya mengandung unsurunsur pendidikan spiritualitas, intelektualitas, emosional, sosial dan jasmani. _______________________________________________________________________________ 330
Wawancara dengan Informan Marah Sakti Siregar pada hari Rabu, tanggal 23 Juni 2010 Pk. 10:00 – 11:30 WIB di Kantor PWI Pusat – Gedung Dewan Pers Lt.4 Jl. Kebun Sirih, Jakarta.