UNSUR KEKERASAN DALAM PROGRAM ACARA DI TELEVISI Ester Krisnawati, S.Sos., M.I.Kom
[email protected] Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISKOM, UKSW
Abstrak Televisi sebagai salah satu media penyiaran sudah menjadi media massa yang tidak hanya memberikan informasi tapi juga mendidik, menjadi kontrol social dan tentunya memberikan hiburan. Munculnya banyak stasiun televisi baik swasta nasional maupun televise lokal menjadikan pengusaha televisi saling berlomba untuk menyajikan program-program acara yang menarik untuk dapat merebut perhatian pemirsa. Namun, ketatnya persaingan justru menggeser paradigma pihak pengelola stasiun untuk menyajikan program acara yang hanya mementingkan rating. Karena kepentingan rating itulah para pengelola televisi tidak lagi memperhatikan konten acara yang diproduksi. Kebanyakan program acara masih berorientasi pada upaya memanjakan pemirsa dengan totalitas hiburan hingga mengurangi aspek edukasi. Misalnya komedi yang marak pada awal tahun sampai pertengahan 2014 hampir tidak menyisakan pelajaran konstruktif bagi pemirsa, tetapi sekadar gelak tawa. Untuk menciptakan nuansa lucu, beragam cara dilakukan hingga pada tingkat pelecehan nilai kemanusiaan seperti olok-olok dengan kata-kata melecehkan, permainan (gaming) menyakiti dan membahayakan, bahkan mempersamakan manusia dengan hewan. Demikian halnya sinetron, film, dan variety show yang masih menonjolkan unsur kekerasan, pronografi, kata-kata kasar, dan beragam konstruksi nilai budaya yang membahayakan perilaku anak dan remaja. Fenomena ini menjadi studi kasus yang dapat dianalisa untuk memberikan gambaran bagaimana unsur kekerasan sudah sangat kental mewarnai penyiaran program acara di televisi. Beberapa kekerasan terlihat sangat jelas baik kekerasan secara verbal maupun kekerasan fisik. Meskipun dalam serian adegan kekerasan fisik tersebut selalu ada peringatan namun esensi dari pesan yang ditangkap penonton bukan masalah properti yang tidak berbahaya tetapi adegan yang ditampilkan jelas mengandung unsur kekerasan yang tidak patut dipertontonkan.Pada akhirnya bagaimana sikap KPI ataupun KPID dalam kasus tersebut. Kata Kunci : Televisi, Program Acara, Kekerasan, Hiburan
A. PENDAHULUAN
30
Televisi bukanlah barang mewah lagi bagi masyarakat di Indonesia, setidaknya setiap rumah minimal mempunyai satu televisi. Televisi sebagai media penyiaran tidak hanya mempunyai fungsi untuk menyampaikan informasi kepada khalayak tapi sekaligus berfungsi untuk mendidik, kontrol sosial dan sekaligus memberikan hiburan. Kelebihan televisi yang menyajikan gambar visual dan suara menjadikan televisi sebagai media yang diminati masyarakat dari pada media massa lainnya. Beragam stasiun televisi baik nasional maupun swasta menyajikan aneka program siaran yang disajikan dengan kualitas gambar dan tata suara yang baik sehingga menarik perhatian khalayak sebagai penonton. Penyiaran melalui televisi terlihat lebih kompleks jika dibandingkan dengan penyiaran melalui radio, namun jika dilihat dari esensi isi program relatif hampir sama antara siaran televisi dan siaran radio, perbedaannya hanya terletak pada audio visual pada siaran televisi sedangkan radio bersifat auditif. Siaran televisi memiliki keunggulan yang menyebabkan masyarakat harus tetap terpaku 4 sampai 6 jam sehari di depan layar kaca bahkan bisa lebih dari 6 jam. Bagi anak-anak yang sering menonton televisi, memberikan dampak malas belajar, yaitu sebanyak 53,4% mereka mengakui bahwa waktu belajarnya lebih sedikit dibandingkan dengan lama waktu menonton televisi (Suprapto, 2006: 1). Keunggulan televisi sebagai salah satu media yang banyak dikonsumsi oleh kalangan masyarakat, membuat televisi selalu berinovasi secara terus menurus dalam membuat
31
program-program baru yang menarik perhatian khalayak. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran, sehingga setiap stasiun televisi mempunyai kebebasan untuk membuat program acaranya sendiri. Muncul banyaknya stasiun televisi baik televisi swasta nasional maupun televisi lokal menjadikan para pemiliki stasiun televisi saling berlomba untuk menyiarkan programprogram acara yang menarik untuk dapat merebut perhatian pemirsa. Program acara merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan stasiun televisi. Namun, dengan adanya persaingan yang ketat antar stasiun televisi justru menggeser paradigma pihak pengelola stasiun untuk menyiarkan program acara yang hanya mementingkan rating saja. Selain menaikkan rating program acara, para pemilik televisi juga berlomba menarik perhatian pengiklan. Apabila televisi memiliki audiens dalam jumlah besar dan audiens tersebut memiliki karakteristik yang dicari oleh pemasang iklan maka pendapatan dan keuntungan akan meningkat juga. Televisi swasta nasional yang memiliki coverage area dan service area lebih luas daripada televisi lokal telah mendominasi perolehan iklan dan jumlah penonton televisi di Indonesia. Menurut data AGB Nielsen bahwa televisi nasional menguasai hampir 97,6% dan 2,4% hanya dikuasai oleh televisi lokal. Jadi pendapatan dan keuntungan stasiun televisi sangat dipengaruhi oleh program acara. Hal ini berdampak pada usaha penyiaran dan
32
persaingan antar stasiun televisi. Karena kepentingan rating dan komersial tersebut para pengelola televisi tidak lagi memperhatikan konten acara yang diproduksi. Kebanyakan program acara yang disiarkan masih berorientasi pada upaya memanjakan pemirsa dengan totalitas hiburan sehingga mengurangi aspek edukasi. Akibatnya konten dari setiap program yang disiarkan oleh televisi saling bersaing secara ketat dan seperti halnya komoditas barang dagangan maka konten dari siaran televisi semakin mementingkan hiburan semata dan berpotensi melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Kelebihan secara audio visual dalam penyiaran televisi dalam beberapa hal menjadikan media televisi mampu mendramatisasi, termasuk kemampuan televisi dalam memberikan efek dramatis agar tayangan program acara semakin laku dan banyak penontonnya. Sayangnya program acara yang kerap kali muncul dilayar kaca justru kurang memperhatikan unsur informasi, pendidikan, sosial budaya, etika dan norma masyarakat. Ironisnya lagi beberapa program acara yang sifat hiburan semata, ternyata banyak mengandung unsur kekerasan baik melalui verbal maupun non verbal (fisik). Misalnya saja adegan-adegan kekerasan fisik dengan cara memukul menggunakan benda (meskipun benda tersebut berbahan lunak), bantingan, jeweran, menyiran sesuatu seperti tepung atau air, adegan bertengkar (meskipun hanya berpura-pura) dan juga lontaran kata-kata kasar, hinaan,
33
sumpah, makian ataupun ejekan. Jadi munculnya kekerasan tidak hanya pada adegan laga dalam film-film atau sinetron tapi juga muncul dalam program acara komedi. Fenomena inilah yang terjadi di televisi Indonesia dan tidak mengherankan jika tayangan kekerasan sudah menjadi sesuatu yang dianggap biasa oleh masyarakat sebagai penonton. Bahwakan masyarakat tidak berpikir dan tidak mengetahui apakah tayangan tersebut mempunyai dampak yang berbahaya atau tidak. Bagi pemirsa dalam hal ini masyarakat, tayangan kekerasan ditelevisi hanyalah sebuah hiburan dan tidak membahayakan, tapi yang perlu dikawatirkan pemirsa bisa saja mencontoh apa yang dilakukan oleh pelakupelaku kekerasan di televisi. Permasalahan sekarang, masyarakat tidak kritis menanggapi fenomena ini, bagaimana unsur kekerasa begitu kental mewarnai peyiaran program acara ditelevisi. Kemudian yang perlu diketahui juga adalah sejauh mana KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sudah mengatasi permasalahan ini.
B. KAJIAN TEORI Teori Kultivasi Gerbner mengatakan, dalam Rasyid (2013: 31) bahwa televisi dimiliki oleh hampir setiap orang, efeknya menjadi seperti memandang dunia dengan cara yang sama. Gerbner menyebutnya dengan efek kultivasi, karena televisi dipercaya dapat membuat budaya yang
34
homogen. Analisis kultivasi membahas masalah totalitas pola yang dikomunikasikan secara kumulatif oleh televisi dalam waktu terpaan yang panjang, dan bukan oleh suatu isi atau efek tertentu. George Gerbner memfokuskan penelitiannya beserta rekan-rekannya pada media televisi. Ia menyatakan bahwa televisi menyajikan kepada penonton suatu cara yang sama dalam memandang dunia : Television is centralized system of story-telling. It is part and parcel of our daily lives. Its dramas, commercials, news, and other programs bring a relatively coherent world of common image and messages to every home. Television cultivates from infancy to very predispositions and preferences that used to be acquired from other primary sources. Transcending historic barriers of literacy and mobility, television has become the primary common source of socialization and everyday information (mostly in the form of entertainment) of an otherwise heterogeneous population. The repetitive pattern of television’s mass-produced messages and images forms the mainstream of common symbolic environment. Gerbner menyebut efek televisi ini sebagai kultivasi (cultivation), yang artinya “penanaman”, istilah yang pertama kali dikemukakan pada tahun 1969. Televisi dengan segala pesan dan gambar yang disajikannya merupakan proses atau upaya untuk ‘menanamkan’ cara pandang yang sama terhadap realitas dunia kepada khalayak. Teori kultivasi adalah teori yang memperkirakan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian, dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil dari mengkonsumsi pesan media dalam jangka panjang. Televisi dipercaya sebagai instrumen atau agen yang mampu menjadikan masyarakat dan budaya bersifat homogen (Littlejohn & Foss, 2005:299). Dengan
35
kata lain, realitas yang khalayak media terima adalah realitas yang diperantarai (mediated reality). Teori kultivasi tidak membahas efek dari suatu tayangan tertentu (apa yang akan dilakukan seseorang setelah menonton suatu tayangan), tetapi mengemukakan gagasan mengenai budaya secara keseluruhan (Morrissan dkk., 2010 : 106-109). Tiga asumi dasar teori kultivasi :
1) Televisi adalah media yang sangat berbeda. Televisi merupakan media yang memiliki akses paling besar untuk menjangkau masyarakat. Televisi mampu menarik perhatian kelompok-kelompok masyarakat yang
berbeda
namun
sekaligus
menunjukkan
kesamaannya.
Televisi
menggabungkan pesan yang bersifat audio dan visual. 2) Televisi membentuk cara mayarakat berpikir dan berinteraksi. Asumsi ini masih berkaitan dengan pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak membujuk kita untuk benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi, berdasarkan asumsi ini, Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan kekerasan di Televisi. 3) Pengaruh Televisi bersifat terbatas.
36
Berdasarkan observai yang terukur dan independen, pengaruh televisi terhadap individu dan budaya ternyata relatif kecil. Meski begitu, pengaruh itu etap ada dan signifikan. Gerbner menyatakan bahwa menonton televisi pada umumnya akan menghasilkan pengaruh yang berifat kumulatif dan luas dalam hal bagaimana kita memandang dunia. Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Media massa menanamkan dan memperkuat ide-ide dan nilai-nilai yang telah terbentuk sebelumnya di dalam masyarakat atau budaya yang telah terbentuk. Media mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai tersebut diantara anggota-anggota kebudayaan tersebut, dan mengikatnya menjadi sebuah kesatuan. Kekerasan 1. Kekerasan Fisik Ketika kita mendengar kata kata kekerasan fisik maka kita akan berpikiran mengenai tindakan yang dilakukan dengan adanya sentuhan fisik dari pelaku terhadap korban
37
bagaimanapun caranya. Menurut Sunarto (2009:137) “Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ketubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan”. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dijelaskan mengenai kekerasan fisik pada pasal yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang : a. Menampilkan secara detail peristwa kekerasan, seperti : tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutlasi, terorisme, pengrusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, atau bunuh diri. b. Menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, terpotongpotong atau kondisi yang mengenaskan akibat dari peristwa kekerasan. c. Menampilkan peristwa dan tndakan sadis terhadap manusia. d. Menampilkan peristwa dan tindakan sadis terhadap hewan. e. Menampilkan adegan memakan hewan dengan cara yang tidak lazim. Kekerasan verbal (verbal violence) diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan jorok dan menghina dan dilakukan secara
38
lisan. Esensi dari tindakan yang tergolong dalam kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan lambang bahasa dan dilakukan secara lisan. (Effendy, 1989:381) sedangkan menurut Waruwu (2010:29) mendefinisikan kekerasan verbal secara umum berupa penghinaan dengan kata-kata, fitnah, menjelek-jelekkan orang lain, dan pembunuhan karakter. Sementara, menurut Baryadi dalam Azma (2012:122) kekerasan verbal adalah perilaku berbahasa kasar seperti memaki, mengancam, mengusir, memfitnah, memaksa, menghasut, membuat orang malu, menghina dan sebagainya. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dijelaskan mengenai kekerasan verbal pada pasal 24 yang berbunyi sebgai berikut: Pasal 24 A. Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan. B. Kata-kata kasar dan makian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) di atas mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Pedoman Perilaku Penyiaran
39
Pedoman prilaku penyiaran bisadikatan pedoman hidup seseorang yang bekerja di dunia media massa, khususnya televisi. “Pedoman Perilaku Penyiaran adalah ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional”. (Pasal 1Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (2012: 5). Tujuan dari pedoman perilaku penyiaran dijelaskan dalam pasal 4 Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (2012: 8-9) Pedoman Perilaku Penyiaran memberi arah dan tujuan agar lembaga penyiaran: a. Menjunjung tinggi dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia b. Meningkatkan kesadaran dan ketaatan terhadap hukum dan segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia c. Menghormati dan menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multkultural d. Menghormati dan menjunjung tinggi etika profesi yang diakui oleh peraturan perundang-undangan e. Menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi f. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
40
g. Menghormati dan menjunjung tinggi hak dan kepentingan public h. Menghormati dan menjunjung tinggi hak anak-anak dan remaja i. Menghormati dan menjunjung tinggi hak orang dan/atau kelompok masyarakat tertentu j. Menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik
C. PEMBAHASAN Unsur Kekerasan dan Pelanggaran dalam Program Acara Televisi Beberapa tahun terakhir, layar pertelevisian di Indonesia diwarnai dengan program acara yang mayoritas didominasi oleh acara hiburan, sinetron dan variety show. Beberapa acara sejenis yang memiliki konsep yang sama biasanya mengikuti acara yang telah sukses sebelumnya kemudian latah mengikuti konsep yang serupa bahkan cast yang sama agar rating acara tersebut laku ditonton pemirsa. Setiap program acara dikemas dengan menarik, kreatif dan inovatif agar menarik perhatian pemirsa untuk menontonnya. Akan tetapi kekreatifitasan dalam memproduksi program acara tersebut mulai diwarnai dengan unsur kekerasan, baik secara verbal maupun non verbal. Sehingga tayangan kekerasan merupakan tayangan yang paling sering muncul di televisi. Unsur kekerasan tersebut muncul di berbagai program acara,
41
tidak hanyak film laga saja, bahkan dalam acara sinetron, reality show, games show, bahkan acara komedi. Program acara komedi yang hadir sekarang ini jelas berbeda dengan acara komedi lima tahun silam. Acara komedi sekarang ini tidak hanya menyajikan adegan-adegan gelak tawa yang menghibur penontonnya tapi juga banyak mengekspos kekerasan verbal semisal ejekan yang sengaja ditujukan pada cast yang memiliki kekurangan secara fisik dengan sebutan yang kasar (misalnya, pesek, tonggos, bokir, dll). Kekerasan lainnya melalui perilaku non verbal misalnya mendorong cast sampai terjatuh, mengguyur cast dengan tepung, atau memukul dengan properti lunak atau melakukan hal-hal yang dianggap berlebihan dan dapat menyakiti orang yang menjadi sasaran kejahilannya tersebut. Semua itu dilakukan dengan maksud untuk menjadi bahan tertawaan audience. Program acara lainnya selain komedi, yang juga mengandung unsur kekerasan verbal dan non verbal adalah sinetron, ftv, ataupun film. Misalnya saja sinetron, kerap kali dalam sebuah sinetron menonjolkan karakter pemain yang berlebihan seperti terlalu menderita terlalu jahat, terlalu naïf atau terlalu agresif. Karakter protagonis digambarkan sangat menderita namun selalu beruntung, karakter antagonis digambarkan terlalu jahat dan licik sehingga menghalalkan segala cara untuk menjebak si protagonis, karakter naif akan selalu
42
diolok-olok dan menjadi bahan tertawaan karena kekurangan fisik yang dimiliki dan karakter agresif tidak jauh berbeda dengan karakter antagonis. Kekerasan verbal yang terdapat dalam program acara televisi, dapat dikelompokkan sebagai berikut : A. Hardikan Tindakan menghardik yaitu mengata-ngatai dengan kata-kata keras atau membentak. Bagi anak kecil atau remaja, hardikan dapat menjadi tekanan psikologis yang mengakibatkan trauma berkepanjangan. B. Ancaman Mengancam merupakan maksud untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihal lain. C. Umpatan Mengumpat yaitu memburuk-burukkan orang, mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dsb), mencerca, mencela keras, mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik, atau memaki-maki. D. Ejekan
43
Kekerasan verbal yang berupa ejekan bisa menyebabkan orang yang diejek tersinggung dan membalasnya dengan ejekan lain atau malah terpancing untuk melakukan tindak kekerasan fisik. E. Makian Secara psikologis, orang yang mendapat makian merasakan tekanan psikologis dan serangan terhadap dirinya. F. Pelecehan Pelecehan adalah memandang rendah (tidak berharga), menghinakan, atau mengabaikan. Pelecehan dapat menyakitkan hati orang yang dilecehkan karena merasa terhina dan tidak berharga. G. Tuduhan Menuduh adalah tindakan menunjuk dan mengatakan bahwa seseorang berbuat kurang baik, melanggar hukum, atau mendakwa. H. Paksaan Paksaan adalah tindakan memaksa orang lain untuk berbuat (melakukan) sesuatu. Paksaan biasanya diikuti dengan ancaman. I. Intimidasi
44
Intimidasi adalah tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu), gertakan, atau ancaman. J. Hinaan Kekerasan verbal yang berupa hinaan ini bisa menimbulkan sakit hati bagi orang yang mendengarnya. Hinaan biasanya berkaitan dengan kekurangan atau kelemahan seseorang. Kekerasan non verbal berarti kekerasan yang berupa kekerasan kepada fisik seseorang melalui perilaku atau sikap. Misalnya seperti mendorong hingga jatuh, memukul (meskipun dengan benda tumpul atau lunak, mencoret-coret wajah orang lain, dan masiah banyak lainnya yang berkaitan dengan fisik. Adegan kekerasan tersebut teridentifikasi melakukan pelanggaran isi siaran. Berikut ini beberapa contoh adegan kekerasan baik dalam program acara komedi, film, sinetron, variety show atau berita yang dikatakan sebagai pelanggaran :
Jodha Akbar : Program tersebut menayangkan adegan dua orang pria berkelahi menggunakan pedang, yang dalam perkelahiannya terlihat pedang dan wajah salah seorang pria tersebut berlumuran darah. Selain perkelahian, juga ada beberapa adegan pemukulan seperti menampar, memukul dengan senjata, menyeret, menarik rambut.
Sinetron “Aisyah Putri The Series: Jilbab in Love” : Program sinetron tersebut menayangkan adegan seorang remaja perempuan menyuruh temannya untuk mencium
45
sandalnya yang telah terkena kotoran kucing, namun karena menolak suruhan itu, akhirnya kedua remaja perempuan tersebut saling menjambak rambut.
Shafiyah Anak Jamilah : Program tersebut menampilkan adegan dua anak perempuan (Shafiyah dan Louisa) saling berteriak, kemudian Shafiyah memukul wajah Louisa dan menjambak rambutnya juga.
Pesbukers : program acara ini banyak menayangkan adegan melempar tepung ke muka seseorang jika orang tersebut melakukan kesalahan, ada juga adegan memukul dengan benda lunak.
OVJ (sekarang Kangen OVJ) : sejak mulai tayang di Trans7, OVJ banyak menampilkan adegan kekerasan, misalnya mendorong seseorang hingga terjatuh diatas sebuah barang meskipun barang tersebut terbuat dari bahan lunak. Melempar rumput palsu dan juga tepung ke wajah seseorang. Melempar kue ulang tahun setelah yang bersangkutan meniup lilin. Pada program acara komedi terkadang kekerasan fisik sudah direncanakan sebelum
pemain pentas dipanggung, tetapi terkadang juga diluar scenario yang ada. Bagi para pelaku seni, kekerasan adalah bagian dari cerita atau skenario yang sengaja di buat untuk memunculkan konflik, hingga pada akhir cerita mencapai sebuah klimaks. Tetapi pada
46
tayangan komedi kekerasan yang mereka lakukan adalah bentuk improvisasi secara spotanitas yang dilakukan para pelawak diluar dari naskah atau skenario. Apapun alasannya menurut penulis kekerasan tidak boleh di jadikan nilai jual dari sebuah tayangan televisi, karena sangat bertentangan dengan ketentuan Agama dan peraturan perundang-undangan, akan tetapi hal ini masih kurang diperhatikan oleh pengusaha stasiun televisi. Perhatian masih tertuju pada keuntungan ekonomi yaitu jika suatu acara manarik perhatian masyarakat banyak maka akan banyak pula iklan yang akan dipasang oleh para produsen barang dan atau jasa. Menurut teori kultivasi yang diungkapkan oleh Gerbner menjelaskan bahwa persepsi seperti apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi (Nurudin, 2013 : 167). Hal ini berarti penonton belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya. Begitu juga apa yang disampaikan melalui televisi, itu juga yang akan dipelajari dan ditiru oleh penontonnya. Maraknya tayangan televisi di Indoensia dengan adegan kekerasan yang secara eksplisit dipertontonkan dalam berbagai acara tentunya akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Jadi, bisa dikatakan televisi merupakan media yang paling berperan dalam perkembangan tindak kekerasan.
47
Telah ditemukan beberapa data mengenai pengaduan terhadap tayangan hiburan televisi yang makin bobrok dan tidak sehat, mencerminkan adegan kekerasan baik verbal maupun non verbal (fisik) serta akibat nyata dari tayangan yang ditonton tanpa pengawasan orang dewasa. Merujuk pada Jurnas.com (2014) dengan judul “Hampir 12 Ribu Aduan Penyiaran Diterima KPI”, diberitakan bahwa dalam tujuh bulan terakhir, 11.959 aduan diterima Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), banyak diantaranya yang merupakan acara hiburan. Terkait dengan kekerasan baik verbal maupun fisik, pada tahun 2014 ada beberapa sinetron, FTV atau variety show yang teridentifikasi melakukan pelanggaran oleh KPI, yaitu : 1) Pashmina Aisha (RCTI) Pelanggaran ditemukan pada tayangan 22 April 2014, pukul 20.45 WIB. Program tersebut menayangkan adegan seorang perempuan dewasa tengah memukul perut dan kaki temannya dengan menggunakan tongkat baseball. 2) Sinema Keluarga "Antara Ibu dan Istriku" (MNCTV) Pelanggaran ditemukan pada tayangan 17 April 2014, pukul 08.46 WIB. Program tersebut menayangkan adegan seorang menantu yang melempari baju kotor kepada ibu mertuanya dan mendorongnya, memaki kasar dengan sebutan pembantu serta adegan penamparan oleh ibu mertua. 3) ABG Jadi Manten (SCTV)
48
Pelanggaran ditemukan pada tayangan 17 April 2014, pukul 17.07 WIB. Program tersebut menayangkan adegan murid berseragam sekolah tengah memukul kepala temannya dengan balok kayu 4) Ayah Mengapa Aku Berbeda (RCTI). Pelanggaran ditemukan pada tayangan 17 April 2014, pukul 18.35 WIB. Program tersebut menayangkan adegan anak berpakaian seragam sekolah sedang mengintimidasi salah seorang temannya dengan mengeluarkan kata-kata makian tidak pantas "anak pembawa celaka, muka tembok, rambut besi, badan batako". 5) Diam-diam Suka (SCTV) Pelanggaran ditemukan pada tayangan 13 April 2014 pada pukul 18.28 WIB. Program tersebut menayangkan secara eksplisit adegan perkelahian dan saling pukul antar remaja. 6) FTV Sinema Pagi "Aku Ditinggal Anak Istri Karena Ibu" (Indosiar) Pelanggaran ditemukan pada tayangan 16 April 2014, pukul 07.57 WIB. Program tersebut menayangkan adegan anak yang hamil di luar nikah yang menangis sambil memegang test pack dan ibunya menyuruh anaknya menggugurkan kandungannya. 7) Ganteng-ganteng Serigala (SCTV)
49
Pelanggaran ditemukan pada tayangan 26 April 2014, pukul 19.20 WIB. Program tersebut menayangkan secara eksplisit adegan murid berseragam sekolah seolah-olah tengah memakan kelinci hidup dengan mulut yang berdarah-darah. 8) Yuk Keep Smile (TransTV) Tayangan yang sempat merajai rating selama akhir 2013 sampai awal 2014 ini cukup sering mendapat teguran dari KPI, sampai pada puncaknya pada bulan Juni yang lalu, KPI menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara kepada YKS selama 1 bulan penuh terkait dugaan pelecehan terhadap seniman betawi Benyamin Sueb. Terkait sanksi tersebut, akhirnya TRANSTV memutuskan untuk menghentikan tayangan ini karena dari segi rating juga pada saat itu YKS sangat meredup. 9) Dahsyat (RCTI) Variety show di pagi hari ini sering mendapat sanksi dari KPI. Diantaranya, sanksi penghentian tayang selama 3 hari pada Maret 2013 karena dianggap memuat unsur pelecehan agama. Selain itu, pada Januari 2014 Dahsyat juga mendapat sanksi berupa pengurangan durasi tayang selama 30 menit per hari selama 3 hari berturut-turut. 10) Pesbukers (ANTV) Pada Juli 2013, KPI mengeluarkan surat teguran kedua kepada Pesbukers terkait pelanggaran kode etik penyiaran. Dalam 5 episode saja, KPI menemukan 40 adegan yang
50
masuk dalam unsur pelanggaran, seperti melecehkan orang dengan kondisi fisik dan orientasi seks tertentu, melanggar perlindungan anak, dan melanggar norma kesusilaan dan kesopanan. Pesbukers juga mendapat hukuman berupa pengurangan durasi tayang selama 30 menit per hari selama 3 hari berturut-turut pada Januari 2014 yang lalu, terkait adegan berpelukan antara 2 presenter selama 3 menit. 11) D'Terong Show (Indosiar) Terkait episode 15 Juli 2014, KPI merilis surat teguran karena menemukan pelanggaran etika. Pada episode tersebut, Irfan Hakim menyebut Rina Nose sebagai janda 7 kali, dan juga meledek Saipul Jamil dengan julukan duda dibawah umur. Selain itu, KPI juga mengeluarkan teguran pada September 2014 terkait lagu Belah Duren yang dibawakan oleh Julia Peres dan Saipul Jamil yang mengandung kata-kata yang tidak santun. Banyak program acara yang masih suka melakukan pelanggaran atas isi siarannua. Padahal, didalam aturan Standar Program Siaran (SPS) KPI Tahun 2012 Pasal 24 Ayat (1) dinyatakan bahwa program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, atau yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan. Di ayat (2) kembali ditegaskan, kata-kata kasar dan makian tersebut mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing
51
Kekerasan dalam perspektif Teori Kultivasi Adanya unsur kekerasan pada banyak program acara di televisi telah memunculkan kecemasan banyak pihak mulai dari orang tua, guru, bahkan sampai pemerhati media. Tapi kita sendiri harus tahu sejauh mana sesuatu hal dikatakan sebagai unsur kekerasan. Garbner membuat kategori kekerasan dengan seperangkat pengukuran yang oyektif dimana Garbner memilaha mana yang termasuk siaran televisi yang dikatakan ‘bersahabat” dan mana yang bisa dikatakan sebagai “musuh”. Gerbner merumuskan bahwa kekerasan di media televisi adalah : “ekspresi atau tampilan yang nyara dari pamer kekuatan fisik (dengan atau) senjata termasuk didalamnya menyakiti diri sendiri atau orang lain), adegan-adegan pemaksaanyang menyebabkan orang lain menderita dan terluka serta bentuk-bentuk ancaman terhadap orang lian (Griffin 2003 : 381). Dari kutipan diatas, berarti termasuk dalam kekerasan disini adalah kekerasan fisikal yang ditampilkan dalam film kartun ataupun film anak, misalnya pada film Tom & Jerry dimana si Tom yang mengejar dan memukul Jerry hingga gepeng, atau misalnya lagi pada film Power Rangers dengan adegan mereka menghabisi musih-musihnya yang jahat. Termasuk juga tayangan-tayangan bencana, kecelakaan, perang, pembunuhan, karena walaupun setiap adegan tersebut sudah diperhalus sedemikian rupa tapi tetap saja tayangan tersebut bukan suatu kebetulan, karena penulis naskah dan juga sutradara telah menyisipkan efek dramatis bahkan traumatis karena ada pemeran atau karakter yang terciderai sampai mati.
52
Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual. Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut. Beberapa program acara televisi, seperti Pesbukers, YKS, Kangen OVJ, sinetron (misalnya : ganteng-ganteng serigala) tentunya mereka mempunyai target sebagai program hiburan keluarga. Sebagai program acara keluarga berarti tidak ada batasan umur bagi yang menontonnya, bahkan usia anak-anak dan remaja juga ikut menonton acara-acara tersebut, padahal didalam program acara tersebut banyak unsur kekerasan didalamnya baik verbal maupun non verbal. Dapat dibayangkan akibatnya jika anak-anak maupun remaja secara terus menerus menyaksikan acara tersebut. Setiap adegan-adegan yang ada jika disaksikan secara
53
terus menerus pastinya akan memiliki dampak buruk bagi psikis ataupun perilaku penontonnya. Menurut Gerbner televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik, dengan kata lain perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Kekerasan yang ditayangkan televisi dianggap sebagai kekerasan yang terjadi di dunia ini. Berdasarkan perspektif kultivasi, penulis mencoba mengkelompokkan tayangan kekerasan yang ada ditelevisi, yaitu sebagai berikut : 1. Tayangan Kekerasan dalam Bentuk Komedi 2. Tayangan Kekerasan dalam Bentuk Film dan Sinetron 3. Tayangan Kekerasan dalam Bentuk variety atau reality show 4. Tayangan Kekerasan dalam Bentuk Iklan 5. Tayangan Kekerasan dalam Bentuk Berita Kekerasan sendiri memiliki dimensi estetik mendalam yang membuatnya, sampai batasbatas tertentu, dapat dikategorikan sebagai seni. Ciri estetik dari kekerasan membuat penonton yang menyaksikannya merasa terhibur. Aspek menghibur dari adegan kekerasan juga semakin meningkatkan efek kenikmatan ketika kekerasan itu diramu dalam bentuk humor. Kekerasan
54
yang dibalut dalam bentuk humor seolah bisa memangkas ciri destruktif dari kekerasan tersebut, terlebih lagi dengan penayangan yang diulang terus menerus, baik langsung maupun lewat media, mengakibatkan pemirsa yang menikmati adegan tersebut menjadi tumpul dan hilang kepekaannya terhadap korban kekerasan di dalamnya dan mungkin pada akhirnya di dalam realitas sehari-hari. Pada akhirnya kekerasan pun tidak lagi dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai hal yang wajar saja.
Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Sistem Penyiaran Televisi di Indonesia Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia atau biasa disingkat KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat. Hal yang menarik adalah kedudukan lembaga KPI baik dari sisi Hukum maupun politik, dimana KPI diberi pisisi dan kedudukan sebagai lembaga kualisi negara atau auxilarry state institution sehingga posisi tersebut menyetarakan posisi KPI dengan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK, Lembaga Arbitrase, BPSK, ataupun KPPU. Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua proses kegiatan penyiaran,
55
mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan tugasnya tersebut, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya. Dengan demikian KPI berhak mengeluarkan sebuah pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan penyiaran sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Penyiaran bahwa KPI berhak mengeluarkan Strandar Program Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut: 1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; 2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; 3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
56
4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; 5. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan 6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Melihat ketentuan dalam ketentuan tersebut, maka KPI berkewajiban melakukan pengawasan dan mengontrol program-program dari semua lembaga penyiaran. Disamping itu, Undang-undang memberikan kebebasan seluas-luas bagi peranan masyarakat untuk melakukan pemantauan terhadap program-program penyiaran yang ada. Hadirnya KPI sebagai lembaga independen (bukan pemerintah, atau pelaku penyiaran atau siapapun yang berkepentingan secara langsung) yang berfungsi sebagai pengatur dunia penyiaran merupakan langkah maju dalam sistem penyiaran Indonesia. Di berbagai negara, lembaga semacam ini juga ditemukan untuk mengatur penyiaran. Beberapa lembaga sejenis, diantaranya adalah : Federal Communications Commision/ FCC (Amerika Serikat), Independent Televisi Commision (Inggris), Canadian Radio-Televisi and Telecommunications Commision (Kanada), Australian Broadcasting Athority (Australia), Independent Broadcasting Autority (Afrika Selatan), Conseil Superieur De L’Aaudio-viseul (Perancis), dan masih banyak lagi.
57
KPI merupakan wujud dari peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Sistem penyiaran Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesarbesarnya bagi kepentingan publik. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah prinsip Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Wewenang KPI adalah (1) Menetapkan standar program siaran; (2). Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi atau masyarakat penyiaran kepada KPI); (3) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; (4) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; (5) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Menyikapi fenomena pelanggaran isi penyiaran televisi, KPI sudah melakukan tugasnya untuk memberikan teguran, peringatan, bahkan jika tetap diindahkan maka KPI secara tegas mencabut ijin penyiaran dari program acara yang bermasalah tersebut. Berikut ini contoh surat teguran yang ditujukan untuk program acara “Jodha Akbar” : Peringatan Tertulis Untuk Program "Jodha Akbar" ANTV Rincian
58
Diterbitkan pada Jum'at, 27 Maret 2015 19:04 Ditulis oleh RG Dilihat: 550 Tgl Surat
27 Maret 2015
No. Surat Status
/K/KPI/03/15 Peringatan
Stasiun TV
ANTV
Program Siaran
"Jodha Akbar"
Deskripsi Pelanggaran
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) berdasarkan kewenangan menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), pengaduan masyarakat, pemantauan, dan hasil analisis menilai Program Siaran “Jodha Akbar” yang ditayangkan oleh stasiun ANTV pada tanggal 15 Maret 2015 mulai pukul 12.36 WIB, tidak memperhatikan ketentuan tentang perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan adegan kekerasan dan penggolongan program siaran sebagaimana telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012. Program tersebut menayangkan adegan dua orang pria berkelahi menggunakan pedang, yang dalam perkelahiannya terlihat pedang dan wajah salah seorang pria tersebut berlumuran darah. KPI Pusat menilai adegan tersebut tidak pantas untuk tayangkan dan dapat menimbulkan kengerian pada khalayak. Berdasarkan hal tersebut, KPI Pusat memutuskan untuk memberikan peringatan agar saudara melakukan evaluasi internal atas program ini dengan tidak lagi menayangkan adegan serupa baik di program yang sama maupun program lainnya, karena sesungguhnya pelanggaran terhadap ketentuan pelarangan adegan kekerasan sebagaimana termuat dalam Pasal 23 SPS KPI Tahun 2012 dapat berimplikasi pada penghentian sementara mata acara yang bermasalah. Saudara wajib menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. Demikian agar peringatan ini diperhatikan dan dipatuhi. Terima kasih.
59
Dalam upaya mengurangi dampak buruk dari penayangan-penayanan program acara televisi yang kurang mendidik, KPI perlu menguatkan kembali perannya sebagai penyelenggara ijin dalam penyiaran di Indonesia. Teguran-teguran yang sudah diberikan seyogyanya terus diikuti dengan kepastian bahwa pelanggaran yang terjadi tidak akan terulang kembali. Hal ini harus sangat diperhatikan dengan terang dan jelas demi kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Harus ada hubungan timbal balik yang erat dalam mengatasi masalah ini, baik dari sisi penyiar dan dari mereka yang menikmati tayangan-tayangan tersebut. Ini adalah tugas kita bersama untuk memastikan tujuan KPI yang sebenar-benarnya tercapai, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam dunia penyiaran Indonesia.
D. KESIMPULAN Dahulu adegan kekerasan hanya menjadi bumbu sebuah program acara, biasanya hanya terdapat dalam film atau sinetron saja, tapi kita dalam program acara seperti komedi, variety show bahkan program musikpun ada unsur kekerasan. Kekerasan verbal dan non verbal (fisik) yang muncul dalam acara televisi akhir-akhir ini nampaknya tidak cukup sekadar sebagai bumbu, tetapi menjadi menu utama. Padahal, acara-acara ditelevisi tidak
60
hanya menjadi makanan sehari-hari orang dewasa, anak kecil pun setiap hari menikmatinya. Lama-kelamaan kekerasan verbal ini menjadi hal yang biasa dan terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala masyarakat diterpa oleh pesan kekerasan, masyarakat menganggap realitas media tidak berbeda dengan realitas nyata. Terkadang pengelola televisi merasa tidak sadar apa yang dilakukannya kepada masyarakat, demi kepetingan mereka sendiri, Mereka telah mengabaikan kepentingan pihak lain. Meski Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan regulasi atau aturan tentang penyiaran televisi tapi terkadang praktisi televisi bisa menantang, bahwa peraturan itu berlaku di dataran etis saja. Sebagai aturan etis maka sanksinya adalah moral. Melanggar aturan etis, ternyata bukan hal yang menakutkan bagi praktisi televisi. karena aspek moralitas bukanlah faktor yang sangat penting bagi praktisi media di Indonesia. Seharusnya regulasi yang dibuat oleh negara mengenai kekerasan jelas dan tidak simpang siur serta memiliki batas-batas kekerasan yang jelas dalam media massa. Sejauh mana kekerasan dalam media bisa menyebabkan traumatisme, kekecauan kepribadian, stres, kegelisahan dan rasa malu (Haryatmoko, 2007:126). Namun program televisi lawakan yang menghasilkan adegan kekerasan, sangat di gemari oleh masyarakat Indonesia, seharusnya kita harus lebih teliti untuk mimilih program mana yang sangat layak untuk ditonton dan kita
61
sebagai masyarakat Indonesia harus lebih kritis terhadap dunia pertelevisian Indonesia demi kemajuan pertelevisian di negara kita. Sedangkan pertelevisian Indonesia harus kembali jalur aman untuk memberikan informasi yang fakta dan hiburan yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA Morissan, M.A. 2008. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Littlejohn, Stephen W; Karen A.F. 2005. Theories of Human Communication. Thomson. McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga. Morrisan; Andy C.W & Farid H.U. 2010. Teori Komunikasi Massa. Bogor : Ghalia Indonesia. Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Devito, Joseph A., 1997. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books. Dominick, Joseph R. 1990. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House. Griffin, Emory A. 2004. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill.
62
Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Massa (Kontroversi, Teori, dan Aplikasi). Bandung : Widya Padjajaran. Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang : Cespur. Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Werner dan James, 2008, Teori Komunikasi. Jakarta : Prenada Media. Anderson, C.A., Leonard Berkowitz, Edward Donnerstein,Niel M. Malamuth, & Ellen Wartella.(2003). KPI. Siaran Pers Tayangan-tayangan yang Bermasalah. www.kpi.go.id diakses pada tanggal 25 Maret 2015 pukul 20:57. Standar Program Siaran KPI. 2012.
CURRICULUM VITAE Ester Krisnawati, S.Sos., M.I.Kom., lahir di kota Kudus 26 Mei 1986. Sekarang ini tinggal dan menetap di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Bekerja sebagai staff pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana sejak tahun 2012. Lulus dari Program studi Komunkasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW tahun 2009 dan Menyelesaikan Studi di Megister Ilmu Komunikasi jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2011. Bidang keahlian yang diminati yaitu bidang Komunikasi Pemasaran, Manajemen Program Komunikasi, Komunikasi Pariwisata.
63