BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada tahun 2012 media massa ramai memberitakan promosi jabatan yang memantik kontroversi. Azirwan, seorang mantan narapidana kasus korupsi, dipromosikan menjadi pejabat eselon II di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri). Dulu, Azirwan adalah seorang sekretaris daerah (sekda) Kabupaten Bintan. Sekda merupakan jabatan struktural eselon IIa, puncak karir PNS di pemerintah kabupaten. Azirwan bersama seorang anggota DPR ditangkap oleh KPK dalam kasus penyuapan pada tahun 2008. Setelah divonis 2 tahun 6 bulan, tahun 2010 Azirwan bebas dan kemudian menduduki posisi salah satu komisaris BUMD di Bintan. Di tengah giat-giatnya upaya pemberantasan korupsi dan ucapan manis presiden untuk memimpin sendiri berperang melawan korupsi, promosi tersebut merupakan sebuah tamparan. Di satu sisi, pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), dan Pemprov Kepri tidak mempersalahkan. Menpan dan RB menyerahkan urusan ini kepada masing-masing daerah dan pemerintah pusat tak bisa membatalkannya dengan alasan otonomi daerah. Sedangkan mendagri menyatakan kebolehannya karena tidak ada undang-undang yang melarang hal itu. Hal ini senada dengan sikap Pemprov Kepri yang mendasarkan pada tiadanya peraturan yang dilanggar.
1
Menciptakan pemerintah yang bersih ternyata menghadapi tantangan berat. Buktinya, sebagian dari ratusan PNS yang divonis bersalah karena kasus korupsi malah masih aktif sebagai PNS, bahkan dipromosikan menduduki jabatan eselon II di provinsi/kabupaten. Pejabat yang bekas terpidana korupsi rupanya tidak hanya bercokol di wilayah Kepulauan Riau. Bahkan, berdasarkan informasi Mendagri Gamawan Fauzi, jumlahnya sangat fantastis. Data sementara, PNS yang masuk penjara karena korupsi ada 153 orang dalam lima tahun terakhir. Kemendagri mempunyai data nama dan daerahnya dan masih terus meng-update. Juga masih ditelusuri apakah para terpidana tersebut diberi jabatan atau tidak. Sebagian dari PNS yang menjadi terpidana korupsi dan telah menjalani hukuman itu justru mendapat promosi dan menduduki jabatan eselon II di tingkat provinsi atau kabupaten. Setidaknya ada 14 PNS bekas terpidana korupsi yang justru mendapat promosi jabatan strategis di daerah (Kompas, 5/11). Tabel 1.1. Bekas Terpidana Korupsi yang Dipromosi Jabatan Dipromosikan No. Nama Kasus Promosi Oleh 1. Azirwan Korupsi pelepasan hutan Kepala Dinas Gubernur lindung di Bintan. Kelautan dan Kepulauan Riau Divonis 2,5 tahun Perikanan Muhammad penjara Provinsi Sani Kepulauan Riau 2. Yan Indra Korupsi pembebasan Kepala Dinas Bupati Karimun lahan untuk PT Saipem Pemuda dan Nurdin Basirun Indonesia tahun 2007. Olahraga Divonis 1,5 tahun Karimun penjara 3. Raja Faisal Korupsi pembangunan Kepala Badan Walikota Yusuf gedung serba guna Pelayanan dan Tanjung Pinang Tanjung Pinang. Divonis Perizinan Suryatati Manan 2,5 tahun penjara Terpadu Tanjung Pinang 4. Senagip Korupsi dana bagi hasil Kepala Badan Bupati Natuna migas. Divonis 30 bulan Keselamatan Ilyas Sabli penjara Bangsa Natuna 2
5.
Yusrizal
6.
Iskandar Ideris
7.
Dedy ZN
8.
Togi Simanjutak
9.
Jabar Ali
10. Rusdi Ruslan
11. Masnyur T
Korupsi dana bagi hasil migas. Divonis 30 bulan penjara Korupsi pembangunan dermaga Rejai
Korupsi pencetakan sawah di Singkep Barat. Divonis 16 bulan penjara Korupsi pembangunan dermaga Rejai Korupsi pembangunan gedung di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Divonis 20 bulan penjara Korupsi pembangunan air (drainase) di Nongsa, Batam
Korupsi dana alokasi khusus. Divonis 20 bulan penjara
12. Imran Chalil Korupsi dana darurat sipil. Divonis 2 tahun penjara 13. Arief Armayin
14. Hakim Fatsey
Kepala Dinas Pariwisata Natuna Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan Lingga Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Lingga Kepala Satpol Pamong Praja Lingga Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Lingga
Bupati Natuna Ilyas Sabli
Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Kota Batam Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Majene Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Provinsi Maluku Kepala Badan Penanggulangan Bencana Maluku Utara
Walikota Batam Ahmad Dahlan
Korupsi pembangunan keraton kesultanan Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat. Divonis 1 tahun penjara Korupsi dana alokasi Pelaksana Tugas khusus pendidikan 2006. Kepala BKD Divonis 1 tahun penjara Kabupaten Buru Sumber: Kompas, 5 November 2012
Bupati Lingga Daria
Bupati Lingga Daria
Bupati Lingga Daria
Bupati Majene Kalma Katta
Gubernur Maluku Utara Thaib Armayin Gubernur Maluku Utara Thaib Armayin
Bupati Buru Ramly Umasugi
3
Promosi jabatan bagi mantan narapidana korupsi tentu saja membawa dampak sosial. Selain bagi masyarakat juga berdampak di lingkungan internal birokrasi. Pertama, PNS yang selama ini telah terbiasa melakukan korupsi kecilkecilan mendapatkan “legitimasi tak langsung”. Korupsi akan dilakukan secara terus-menerus bahkan semakin membesar. Kedua, PNS yang selama ini tidak melakukan korupsi menjadi berpikir untuk melakukannya juga. Logika yang dibangun adalah ternyata korupsi tidak membawa efek kemandegan karir. Kalaupun tertangkap toh bisa bekerja kembali sebagai PNS dan mendapatkan promosi jabatan. Di dalam penjara pun meskipun tidak bekerja tetap mendapatkan gaji (sebagai konsekuensi tetap berstatus sebagai PNS). Ancaman sanksi tampaknya tidak lagi membuat efek jera. Ketiga, bagi PNS yang bersih akan merasa diperlakukan tidak adil. Sebagai bangsa timur, sebuah jabatan masih dianggap menjadi simbol status sosial. Apalagi secara ekonomi diikuti pula dengan penambahan pendapatan dengan meningkatnya tunjangan dan fasilitas dinas. Maka, kompetisi di antara PNS dalam memperebutkan jabatan sebenarnya menjadi sesuatu yang baik, apalagi bentuk kompetisi itu tidak hanya dalam bentuk profesionalitas kerja namun juga moralitas. Promosi bagi mantan terpidana korupsi menjadi antitesis kompetisi sehat di antara PNS. Kasus rekrutmen yang terjadi di lingkungan birokrasi sangat beragam, mulai dari nepotisme artinya orang/pegawai yang direkrut merupakan sanak saudara, anak, teman dekat, dan lain sebagainya dari orang yang merekrut. Kasus demikian sudah menjadi rahasia umum, karena kenyataannya proses demikian yang melanda bangsa saat ini. Kalaupun dia tidak mempunyai orang dalam atau saudara, calon
4
tersebut dikenakan biaya atau istilahnya sumbangan yang sekarang nilainya sangat tinggi (Yuliani, 2004: 149). Menurut Prasojo (2006: 2), akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting yakni persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri yang terdiri dari rekrutmen, penggajian dan reward, pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan. Selain persoalan internal, permasalahan yang lain lahir dari persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara, termasuk di antaranya isu politisasi birokrasi. Terkait dengan isu politisasi birokrasi, terdapat hal menarik yang diceritakan oleh mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno. Sebagai pejabat yang pernah menjadi orang nomor 2 di dalam sebuah pemda, tentunya ia memiliki pengalaman, baik yang dirasakannya sendiri maupun dirasakan koleganya. Disebutkannya bahwa di sebuah kabupaten, karena saat pilkada menjadi anggota tim sukses, ada seorang guru kelas biasa yang langsung diberi jabatan Kepala Dinas Pendidikan. Di sebuah kota di Jawa Tengah, seorang anggota mantan tim sukses walikota, dari Kepala SD diangkat menjadi camat. Ada seorang guru yang dikenal tidak disiplin, berperilaku preman, karena ia adalah orang dekat sekda yang mendukung bupati terpilih, maka guru tersebut pun langsung diangkat menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan. Lebih lanjut disampaikan, sebaliknya bupati/walikota menghukum lawanlawan politiknya dengan penuh dendam kesumat. Di sebuah kabupaten di Karesidenan Surakarta, karena lawan politiknya dalam pilkada adalah Kepala Dinas Pendidikan, maka begitu selesai pilkada jabatan-jabatan di Dinas Pendidikan dibersihkan dari lawan-lawan politiknya, sampai-sampai jabatan di Dinas
5
Pendidikan hampir semua diisi oleh orang-orang non-pendidikan (Supeno, 2009: 157-158). Kejadian-kejadian tersebut bila mau ditelusuri akan ditemui pula di daerahdaerah lain. Hawari (dalam Margono, 2007: 347-348) mengungkapkan beberapa fenomena dalam pengangkatan (rekrutmen) jabatan di lingkup birokrasi: 1. Pengangkatan pejabat yang tidak sesuai dengan peraturan. Data yang ditemukan menunjukkan adanya pengangkatan jabatan yang kepangkatannya pada saat dilantik lebih rendah dari yang dipersyaratkan oleh peraturan; 2. Pengangkatan yang dilakukan karena kepentingan politik. Hal ini menyangkut adanya kenaikan pangkat prestasi kerja luar biasa sehingga seseorang bisa menduduki posisi tertentu. Namun, data yang ditemukan menunjukkan bahwa kenaikan tersebut karena adanya kepentingan politik tertentu; 3. Penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan; 4. Penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan pendidikan dan latihan teknis yang pernah diikutinya; 5. Pengangkatan yang dilakukan tanpa pertimbangan Baperjakat.
Selain itu Muslim (2007: 48-49) mencatat pula beberapa penyimpangan yang ditemukan dalam praktek sebagai berikut: 1. Diabaikannya DUK (Daftar Urutan Kepangkatan) sebagai acuan dalam mengurutkan tingkat kepejabatan struktural; 2. Diabaikannya analisis jabatan dalam penempatan SDM aparatur; 3. Diabaikannya prinsip the right man on the right place dalam penempatan SDM; 4. Berkembangnya spoil system dalam tatanan birokrasi lokal;
6
5. Mutasi jabatan dalam lintas kepejabatan fungsional-struktural.
Hal-hal tersebut tentu saja akan membawa akibat seperti menimbulkan kecemburuan dari pegawai lain, menurunkan motivasi pegawai lain karena merasa penempatan pegawai bukan didasarkan atas kemampuannya, terganggunya kinerja birokrasi secara keseluruhan, bahkan yang lebih fatal adalah tidak optimalnya pelayanan terhadap publik (Muslim, 2007: 19). Pengalaman yang hampir sama terjadi di Pemerintah Kabupaten Ngawi. Setiap menjelang dan seusai pelantikan pejabat struktural, selalu muncul isu jual beli jabatan. Memang selama ini tidak pernah bisa dibuktikan, namun isu yang menyebar di kalangan pegawai (bahkan masyarakat luas) seolah membenarkan jika ingin mendapatkan jabatan tertentu, apalagi promosi, pegawai harus menyediakan sejumlah uang. Selain itu faktor kedekatan dan kekerabatan juga amat berpengaruh. Dan yang tak kalah penting adalah faktor dukungan politik terhadap kepala daerah. Kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, berdasarkan peraturan, memiliki kewenangan mutlak untuk mengangkat pejabat di daerahnya. Secara teoritis,
pemimpin
bisa dilahirkan
dan diciptakan.
Untuk
menciptakan kepemimpinan birokrasi yang handal, perlu dibangun dan disemai lingkungan yang bisa menumbuhkan budaya kepemimpinan yang profesional. Kepemimpinan menuntut adanya orang yang tepat. Salah satu cara efektif untuk itu adalah melalui perbaikan melalui rekrutmen sumber daya manusia dalam birokrasi. Dengan adanya calon yang benar-benar memenuhi syarat, diharapkan yang bersangkutan mampu menjadi pemimpin di dalam birokrasi (Pramusinto, 2009: 324).
7
Rekrutmen pejabat struktural sudah seharusnya menjadi proses mencari dan mendapatkan pemimpin yang berkualitas dalam organisasi birokrasi. Dalam tataran daerah (kabupaten/kota), jabatan struktural eselon II merupakan jabatan yang paling strategis karena merupakan puncak karir tertinggi dalam pemerintah daerah maupun pimpinan teratas dalam satuan kerja (satker). Jabatan ini terdiri dari eselon IIa yakni sekretaris daerah dan eselon IIb yakni kepala satker (kepala badan, kepala dinas, sekretaris DPRD, direktur RS, inspektur) termasuk pula staf ahli dan asisten sekda. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan rekrutmen jabatan struktural eselon II pada Pemerintah Kabupaten Ngawi.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan rekrutmen pejabat struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ngawi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan rekrutmen pejabat struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ngawi.
8
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritis sebagai kajian kebijakan publik terutama terkait dengan pelaksanaan rekrutmen pejabat struktural eselon II di daerah. 2. Secara praktis sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Ngawi dalam melaksanakan kebijakan pelaksanaan rekrutmen pejabat struktural eselon II.
9