1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terus mengalami peningkatan prevalensi dan berkontribusi terhadap peningkatan angka kematian akibat penyakit tidak menular (Soegondo, 2009). Penyakit DM telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan prevalens penyakit ini terus bertambah terutama di negara sedang berkembang dan negara yang telah memasuki budaya industrialisasi (Arisman, 2013). Peningkatan prevalensi DM di beberapa negara berkembang dipengaruhi oleh peningkatan kemakmuran, peningkatan pendapatan perkapita, dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar (Soegondo, 2009). Global status report on non communicable diseases tahun 2014 yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa prevalensi DM di seluruh dunia diperkirakan sebesar 9%. Proporsi kematian akibat penyakit DM dari seluruh kematian akibat penyakit tidak menular adalah sebesar 4%. Kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah dengan proporsi sebesar 80%. Pada Tahun 2030 diperkirakan DM menempati urutan ke-7 penyebab kematian di dunia. Dalam Diabetes Atlas edisi ke enam tahun 2014 yang dikeluarkan oleh International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita DM semakin bertambah.
1
2
Menurut estimasi IDF (2014) 8,3% penduduk di seluruh dunia mengalami DM, prevalensi ini meningkat dari tahun 2011 yaitu 7,0% dan diprediksikan pada tahun 2035 prevalensi DM akan meningkat menjadi 10,0%. Diperkirakan proporsi penderita DM yang tidak terdiagnosis adalah sebesar 46,3%. Satu dari dua penderita diabetes tidak mengetahui bahwa mereka telah terkena penyakit tersebut. Menurut WHO (2014) prevalensi DM tertinggi terdapat di wilayah Mediterania Timur (14%) dan terendah di Eropa dan wilayah Pasifik Barat (8% 9%). Secara umum negara dengan penghasilan rendah menunjukkan angka prevalensi DM terendah dan negara dengan penghasilan menengah atas menunjukkan prevalensi DM tertinggi di dunia. Prevalensi DM di negara dengan pendapat menengah atas terbanyak di Negara Cooks Island (29,1%), disusul Negara Niue (27,6%). Prevalensi DM pada negara penghasilan menengah bawah terbanyak pada Negara Samoa (25,2%), disusul Negara Micronesia (22,5%). Prevalensi DM pada negara dengan pendapatan tinggi/atas terbanyak pada Negara Qatar (23%), disusul Negara Kuwait (20,1%) dan prevalensi DM pada negara dengan pendapatan rendah terbanyak pada Negara Taj Ikistan (12,1%) disusul Negara Gambia dan Chad yaitu masing-masing 9,9%. Menurut American Diabetes Association (ADA) (2014) prevalensi penderita DM di Amerika adalah sebesar 9,3%, meningkat dari tahun 2010 yaitu sebanyak 25,8 juta jiwa, dimana 8,1 juta orang penderita tersebut tidak terdiagnosa. Insidens DM pada tahun 2012 adalah sebanyak 1,7 juta jiwa. Penyakit ini merupakan ke tujuh penyebab utama kematian di Amerika pada tahun 2010.
3
Prevalensi DM di Asia Tenggara pada tahun 2014 adalah sebesar 8,3%, dengan kasus tidak terdiagnosa sebesar 52,8%. Kematian akibat DM pada penderita yang berusia dibawah 60 tahun adalah 53,8%. Diprediksikan pada tahun 2035 prevalensi DM di Asia Tenggara meningkat menjadi 10,1% (IDF, 2014). Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 menunjukkan peningkatan prevalensi DM dari tahun 2001 sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2004. Sementara itu hasil survei Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 menyatakan prevalensi DM di perkotaan mencapai 14,7% dan di pedesaan mencapai 7,2% (Hotma, 2014). Menurut IDF (2014), jumlah penduduk dewasa di Indonesia (umur 20-79 tahun) adalah sebanyak 1 56,7 juta jiwa. Prevalensi penderita DM di Indonesia pada usia 20-79 tahun adalah sebesar 5,8% dengan jumlah kematian sebanyak 176 ribu orang. Peningkatan angka kasus DM ini menyebabkan pengeluaran biaya kesehatan meningkat. Biaya perawatan yang dikeluarkan penderita DM per orangnya adalah sebesar 174,7 dolar Amerika. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita DM berdasarkan wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami peningkatan dari 1,1% (tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter dan atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), dan Sulawesi Selatan (3,4%). Proporsi penduduk umur ≥15 tahun dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan semakin banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk menderita DM (Balitbangkes, 2013).
4
Prevalensi
penderita
DM
di
Indonesia
semakin
meningkat
sesuai
bertambahnya umur namun mulai umur ≥65 tahun prevalensi DM cenderung menurun. Prevalensi DM berdasarkan diagnosa dan gejala tertinggi berada pada kelompok umur 55-64 tahun yaitu 5,5%. Prevalensi DM berdasarkan diagnosa dan gejala cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan kuintil indeks penghasilan tinggi atau teratas (3,0%), semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan prevalensi DM semakin meningkat jumlah penderita DM. Prevalensi DM lebih banyak pada daerah perkotaan (2,5%) dari pada pedesaan (1,7%) (Balitbangkes, 2013). Disini terlihat ada perbedaan antara urban dan rural yang menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian penyakit DM (Soegondo, 2009). DM adalah sekumpulan gejala yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah sebagai akibat defisiensi insulin baik relatif maupun absolut (Soegondo, 2009). DM umumnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus di negara maju. Di negara sedang berkembang, hampir seluruh diabetesi tergolong sebagai penyandang DM tipe 2, dimana 40% diantaranya terbukti berasal dari kelompok masyarakat yang telah mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern. Gaya hidup modern yang dapat dilihat pada sebagian keluarga di perkotaan sarat dengan alat bantu elektronik sehingga meminimalkan gerak fisik. Berkurangnya kerja otot lurik yang disertai semakin meningkatnya asupan pangan padat kalori dan kaya akan lemak, yang dapat menyebabkan obesitas yang akan memicu timbulnya DM tipe 2 (Arisman, 2013).
5
Peningkatan prevalensi DM dipengaruhi oleh faktor risiko yang dapat di modifikasi/ diubah khususnya akibat kurangnya aktivitas fisik, berat badan berlebih dan obesitas (WHO, 2014). Gaya hidup merupakan variabel utama penyebab berbagai masalah kesehatan khususnya masalah DM. Sembilan puluh delapan persen dari keseluruhan faktor risiko penyak it DM tipe 2 adalah gaya hidup. Gaya hidup yang terkait dengan pola makan yang tidak seimbang dan pola aktivitas fisik yang tidak optimal menjadi kontributor utama timbulnya penyakit DM (Hotma, 2014). Menurut Suyono (2008) penyakit DM merupakan penyakit degeneratif yang sangat terkait dengan pola makan. Pola makan merupakan suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Perubahan gaya hidup dalam hal konsumsi makanan khususnya di kota besar dipicu oleh perbaikan/peningkatan di sektor pendapatan (ekonomi), kesibukkan kerja yang tinggi, dan promosi makanan ala barat fast food maupun health food yang populer di Amerika dan Afrika, namun tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran gizi yang mengakibatkan budaya makan berubah menjadi tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro serta jadwal makan yang tidak teratur (Suiraoka, 2012). Persaingan antar restoran cepat saji dan rumah makan yang semakin banyak dipasaran membuat para usahawan berinovasi menyajikan makanan/ minuman porsi besar dengan harga yang relatif murah. Sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan kemasan dan porsi besar yang ekonomis serta terpaksa mengkonsumsi habis tanpa
6
memperhitungkan keseimbangan dan kecukupan gizinya (Nathan dan Linda, 2009). Pola makan tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro ini akan menyebabkan kegemukan dan kegemukan meningkatkan risiko terserang DM (Suiraoka, 2012). Hasil penelitian Irawan (2010) di daerah urban di Indonesia orang yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman manis memiliki risiko 2 kali terjadi DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan/minuman manis. Hasil penelitian Permanasari dan Rika (2011) orang dengan berat badan berlebih yang mengkonsumsi kurang serat berisiko menderita DM sebanyak 2 kali lebih besar di banding dengan yang mengkonsumsi cukup serat (OR=2,02). Pola makan bukan saja terkait dengan nilai dan kualitas makanan tetapi juga keteraturan asupan makanan yang dikonsumsi. Diabetes UK (2010) menganjurkan pola makan yang teratur 3 kali sehari bahkan lebih dengan jumlah asupan kalori yang seimbang dan dengan jadwal yang teratur. Keteraturan makan sangat penting dalam mengkondisikan sekresi insulin yang teratur dan konsisten (Hotma, 2014). Selain berat badan berlebih akibat pola makan yang salah, faktor risiko utama lain yang dapat memacu DM adalah aktivitas fisik yang kurang. Menurut WHO aktivitas fisik yang tidak cukup atau kurang adalah salah satu dari sepuluh faktor risiko utama yang dapat menyebabkan kematian di seluruh dunia. Orang dewasa yang memiliki aktivitas fisik kurang memiliki 20-30% peningkatan risiko dari semua penyebab kematian dibandingkan dengan orang yang melakukan paling tidak 150 menit aktivitas fisik yang cukup atau rutin setiap minggunya. Kurang aktivitas fisik
7
cenderung menyebabkan resistensi terhadap insulin dan pradiabetes. (Nathan dan Linda, 2009). Latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan kualitas pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek metabolik, termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki toleransi glukosa (Hotma, 2014). Menurut Wicaksono (2011) orang yang kurang olahraga memiliki risiko 3 kali terjadi DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang cukup olahraga. Berkaitan dengan faktor risiko tersebut diatas Riskesdas (2013) melaporkan bahwa proporsi rerata nasional yang melakukan kegiatan fisik yang kurang aktif sebesar 26,1%, yang melakukan aktivitas sedentari (perilaku duduk atau berbaring dalam sehari-hari) antara 3-5,9 jam sehari yaitu 42%.
Proporsi rerata nasional
konsumsi kurang sayur atau dan buah adalah sebesar 93,5%, yang mengkonsumsi makanan berisiko seperti mengkonsumsi makanan manis >1 kali sehari adalah 53,1%. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mengkonsumsi makanan berlemak ≥1 kali sehari sebesar 40,7% dan yang mengkonsumsi makanan berpenyedap ≥1 kali sehari adalah 77,3% (Balitbangkes, 2013). Menurut data Badan Pusat Statistik penduduk Indonesia yang berumur 10 tahun ke atas yang melakukan olahraga tahun 2009 yaitu 21,76% meningkat pada tahun 2012 menjadi 24,9%. Diabetes melitus selain dikenal sebagai penyakit, juga merupakan faktor risiko berbagai penyakit penting seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke (Arisman, 2013). Komplikasi DM dapat berupa akut yaitu hipoglikemia dan kronis seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal, gangguan penglihatan (mata), impotensi, ulkus kaki dan gangren (Ditjen PP dan PL, 2008).
8
Menurut ADA (2014) penderita DM memiliki risiko 40% menderita glukoma dan 60% berisiko terjadinya katarak pada mata dibanding dengan bukan penderita DM. Orang dengan DM memiliki risiko 1,5 kali terkena stroke. Risiko kematian pasien stroke dengan DM 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami DM. Menurut IDF (2014) orang dengan diabetes berisiko 25 kali untuk diamputasi dibanding dengan orang bukan penderita DM. Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010, berdasarkan peringkat 10 besar penyakit tidak menular yang menyebabkan rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia,
penyakit DM berada pada peringkat ke tujuh yaitu 2,6%.
Berdasarkan peringkat 10 besar jumlah kematian penyakit tidak menular yang dirawat inap di rumah sakit tahun 2009 dan tahun 2010, penyakit DM menduduki posisi ke enam dengan persentase 7,33% pada tahun 2009 dan 7,89% pada tahun 2010 (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2012) Hasil Riskesdas tahun 2007 berdasarkan kabupaten/kota di Sumatera Utara prevalensi penderita DM terbanyak terdapat di Kabupaten Pakpak Barat sebesar 1,6% diikuti Kota Medan dan Kota Tebing Tinggi yaitu masing-masing 1,5% (Balitbangkes, 2008). Menurut Riskesdas (2013) prevalensi DM di Sumatera Utara berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 2,3%, jumlah ini meningkat dari survei tahun 2007 sebesar 1,21% (Balitbangkes, 2013). Berdasarkan hasil survei pendahuluan dari rekam medis di RSU Dr. Pirngadi Kota Medan diketahui bahwa jumlah penderita DM tipe 2 pada tahun 2012 adalah
9
sebanyak 1.133 orang, tahun 2013 sebanyak 993 orang dan tahun 2014 meningkat menjadi 1.488 orang. Data di atas memberikan gambaran bahwa masalah penyakit DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik, mengingat prevalensinya yang tinggi dan meningkat, dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berat ditambah besarnya biaya yang diperlukan dalam penanganan penderita. Dengan mengetahui adanya faktor risiko lebih awal maka pengendalian faktor risiko tersebut dapat dilakukan lebih dini yang pada akhirnya prevalensi DM dapat ditekan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih tepat maka diperlukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana faktor umum seperti faktor pola makan dan aktivitas fisik dapat menimbulkan penyakit DM dan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap kejadian DM. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pola makan dan aktivitas fisik terhadap kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015.
1.2 Permasalahan Berdasarkan kasus Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pola makan dan aktivitas fisik terhadap kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015.
10
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pengaruh pola makan dan aktivitas fisik terhadap kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengaruh pola konsumsi karbohidrat terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan b. Untuk mengetahui pengaruh pola konsumsi lemak terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan c. Untuk mengetahui pengaruh pola konsumsi serat (sayur dan buah) terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan d. Untuk mengetahui pengaruh keteraturan makan terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan e. Untuk mengetahui pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan f. Menganalisis faktor risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan.
11
1.4 Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : a. Ada pengaruh pola konsumsi karbohidrat terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan b. Ada pengaruh pola konsumsi lemak terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan c. Ada pengaruh pola konsumsi serat (sayur dan buah) terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan d. Ada pengaruh keteraturan makan terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan e. Ada pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan.
1.5 Manfaat Penelitian a. Bagi pihak rumah sakit, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai sumber
informasi mengenai kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan sehingga memberikan masukan untuk dapat disusun langkah nyata menurunkan serta menanggulangi kasus Diabetes Melitus. b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk menambah wawasan tentang pengaruh pola makan dan aktivitas fisik terhadap kejadian DM tipe 2.
12
c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.