BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sometimes it feels like life is an uphill race, sometimes it feels like a losing battle, but we need to shine on. No matter who’s trying to turn off our light. (transgender anonim)
Kutipan di atas mewakili suara hati kaum transgender yang seringkali mengalami diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahwa mereka dianggap menyalahi kodrat dan tatanan heteronormativitas adalah kenyataan yang membuat kaum transgender seringkali dianggap berbeda dan akhirnya termarjinalkan. Istilah transgender sendiri dapat didefinisikan sebagai seseorang yang hidup sebagai anggota gender selain yang diharapkan masyarakat berdasarkan jenis kelamin anatomis. Orientasi seksual pun beraneka ragam dan tidak bergantung pada identitas gender (Green dan Peterson, 2004 : 9). Dari uraian tersebut, istilah transgender dilekatkan pada orang-orang yang mempunyai identitas, ekspresi dan perilaku gender berbeda dengan peran gender
yang
diasosiasikan masyarakat terhadap jenis kelaminnya. Masyarakat berharap bahwa peran gender tercermin dari jenis kelamin bawaannya. Orang-orang yang tidak
1
2
menyesuaikan peran gender dan jenis kelamin kemudian dianggap abnormal dan seringkali mendapat perlakuan yang tidak adil. Kehadiran transgender semakin termarjinalkan dalam masyarakat yang memiliki sistem patriakat dengan oposisi biner antara maskulin dan feminin. Oleh karena maskulinitas dianggap lebih tinggi dari femininitas, transgender laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan (male to female transgender) kemudian menjadi korban dari sistem oposisi biner tersebut. Seringkali, mereka dilekatkan dengan stereotip negatif seperti banci, pelacur, penyakit HIV AIDS, narkoba dan berbagai macam stigma negatif lainnya. Oleh karena ‘ketidaknormalan’ itu, diskriminasi terhadap transgender seringkali
ditemui dalam berbagai sisi kehidupan. Diskriminasi terhadap
transgender di Indonesia, misalnya tampak dalam hal pekerjaan. Secara umum, bidang yang digeluti oleh transgender masih terbatas pada dunia tata rias, pengamen jalanan atau bahkan mucikari dan pelacur. Selain itu, dalam dunia hiburan dan industri pertelevisian, transgender pun biasanya muncul sebagai objek penderita dan bahan tertawaan. Dalam hal ini, Udasmoro menyatakan bahwa “hal ini karena segregasi terhadap transgender dibentuk secara sosial, yakni sebagai kelompok yang marjinal. Mereka seakan menjadi sentral, tetapi sebetulnya justru identitas mereka adalah periferi, yakni sebagai guyonan saja dalam masyarakat (Udasmoro, 2015: 6). Studi kasus yang diterbitkan oleh lembaga bantuan hukum Arus Pelangi pada tahun 2008 mencatat berbagai data mengenai diskriminasi terhadap
3
transgender di Indonesia. Di antara catatan tersebut, penyiksaan terhadap waria (transgender male to female) pernah terjadi pada 17 November 2008 yaitu ketika Elly Susana ditemukan hanyut tak bernyawa di sungai Cideng, Gambir Jakarta Selatan. Banyak saksi mata menyatakan bahwa ia diceburkan oleh Satpol PP yang merazia Taman Lawang, tempat Ely berkumpul bersama teman-temannya. Selain itu, kasus pemukulan waria juga terjadi di kafe Liquid, Yogyakarta pada 1 Maret 2008. Pelakunya adalah petugas keamanan yang melarang 3 orang waria berjoget di panggung kafe. Kasus penembakan waria juga terjadi di Jl. Latuharhary Jakarta Pusat. Pelaku mengendarai Kijang dan memberondong para waria yang sedang berada di Taman Lawang. Kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum transgender itu kebanyakan mengambang atau mentah dalam peradilan karena para korban takut memperpanjang masalah. (Arianto dan Triawan, 2008). Di Amerika, diskriminasi terhadap transgender pun tidak bisa terelakkan. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1965, 150 orang transgender melakukan protes terhadap kedai kopi Dewey di Philadelphia dikarenakan pihak kafe menolak melayani konsumen transgender. (Avery, 2011). Kemudian pada tahun 1968, terjadi diskriminasi terhadap transgender dalam ranah hukum. Beberapa transgender (anonim) memohon perubahan nama dan jenis kelamin setelah melakukan operasi plastik. Namun, permohonan mereka itu ditolak karena tidak sesuai dengan hukum. Selanjutnya pada tahun 1973, seorang transgender bernama Beth Eliot dilarang ikut serta dalam konferensi West Coast Women karena dianggap bukan perempuan normal. Diskriminasi terhadap transgender juga kembali terjadi pada tahun 1991 ketika seorang talenta transgender bernama
4
Nancy Burkholder diberhentikan dari keikutsertaannya dalam ajang pencarian bakat Michigan Women’s Music Festival karena identitas gendernya. (Katz, 1976). Seiring berjalannya waktu, memang jaminan terhadap hak transgender (LGBT rights) di Amerika termasuk hak keluarga, menikah dan hukum anti diskriminasi telah disahkan sejak sekitar tahun 2003. Pernikahan sesama jenis, bahkan telah disahkan di seluruh negara bagiannya pada 26 Juni 2015. 1Namun pada praktiknya, diskriminasi terhadap transgender masih terus terdengar. Dalam hal ini, Wilson menyatakan bahwa seperti kaum gay 30 tahun yang lalu, transgender male to female (waria) dilaporkan mengalami stigma, diskriminasi dan kekerasan dengan frekuensi yang cukup tinggi dikarenakan keengganan mereka untuk mematuhi norma gender yang telah disepakati (Wilson, 2008 : 1). Pada tahun 2014, contohnya, seorang transgender bernama Honey Andrews dilarang melakukan tribute kepada artis latin Selena di Texas hanya karena identitas gendernya. (Nichols, 2014). 2 Kemudian, di Kansas seorang narapidana transgender bernama Chelsea Manning mengalami diskriminasi dalam penjara Fort Leavenworth sehingga ia tidak diperkenankan memanjangkan rambut dan menyuntikkan hormon. Di Florida, kaum transgender pun mengalami pelecehan dan kekerasan secara verbal atau pun fisik ketika mereka dianggap melanggar aturan penggunaan fasilitas umum. Pada survey yang dilakukan pada tahun 2012, sekitar 53% transgender mengalami kekerasan pada saat mereka 1
Chapell, Bill. 2015. Supreme Court Declares Same-Sex Marriage Legal in All 50 States. dikutip dari laman www.npr.org/sections/thetwoway/2015/06/ pada 15 Agustus 2015 pukul 14.45 WIB.
2
Nichols, James. 2014.Honey Andrews, Transgender Woman, Allegedly Banned from Performing Selena Tribute. dikutip dari laman www..huffpost.com/us/entry/4957443 pada 6 Juli 2015 pukul 19.37 WIB.
5
mengunjungi fasilitas publik seperti rumah sakit, ruang tunggu, pusat perbelanjaan dan bahkan saat mereka menggunakan toilet. Dilaporkan pula bahwa sekitar 22% transgender berkulit hitam juga mengalami kekerasan secara fisik di tempat umum. (Mosbergen, 2013). 3 Berbagai fakta di atas merupakan bukti bahwa diskriminasi terhadap transgender masih berlaku dalam berbagai bidang kehidupan. Kekangan normatif masyarakat terhadap transgender seringkali menjadi penghalang bagi kaum transgender untuk bertahan. Oleh karena itu, berbagai media digunakan kaum transgender untuk menyalurkan ekspresi mereka. Salah satu media yang mereka gunakan untuk menyuarakan pikiran mereka adalah sastra. Dalam dunia sastra, fitur transgender seringkali dimunculkan dalam novel atau autobiografi. Tema yang diangkat kebanyakan berupa ketidakdilan terhadap terhadap transgender dan pergulatan batin mengenai identitas gender yang dihadapkan dengan tekanan dari hukum normatif dalam masyarakat. Novel-novel yang menampilkan fitur transgender misalnya Almost Perfect karya Delacorte, Embrace my Reflection karya T.A. Chase, A Rose is A Rose karya Jet Mykels dan Dress to Thrill karya Kimberly Gardner. Namun demikian, kebanyakan karya tersebut masih menampilkan sosok transgender yang tertekan dengan stigma normatif terhadapnya. Misalnya saja dalam novel Dress to Thrill, sang tokoh utama hanya menjadi transgender ketika malam hari di klub gay. Di siang harinya, ia menjadi lelaki maskulin karena takut mendapat penolakan dari 3
Mosbergen, Dominique. 2013. Transgender Discrimination in USA. Diakses dari laman www.huffpost.com/us/entry/35/486041 pada tanggal 13 Juli 2015 pukul 20.30 WIB.
6
lingkungannya. Diskriminasi terhadap transgender juga tampak dalam novel Almost Perfect; sang tokoh utama menjadi korban bullying dan tersisih dari pergaulan karena ia seorang transgender. Dari genre autobiografi, ada pula Enough Rope karya Popy Z. Brite yang menulis tentang pergulatan batin seorang transgender yang merasa identitas gendernya berbeda dengan yang diasosiasikan masyarakat terhadap jenis kelaminnya. Contoh-contoh karya dengan fitur transgender tersebut hampir semuanya masih menampilkan sosok transgender yang pasrah dan seringkali kalah oleh kekangan masyarakat normatif. Berbagai ulasan mengenai diskriminasi terhadap kaum transgender di atas, baik dalam realita ataupun representasi kehidupan transgender dalam karya sastra, menunjukkan bahwa kaum transgender masih terkungkung dalam bayang-bayang diskriminasi oleh masyarakat karena ‘ketidaknormalan’ mereka. Hal ini menunjukkan bahwa posisi transgender masih terlalu lemah dalam masyarakat sehingga diskriminasi menjadi momok yang bersifat laten bagi mereka. Jangankan untuk mendapat pengakuan dan mendapatkan hak untuk berkreatifitas, tak jarang ancaman maut dan pelanggaran HAM masih menghantui kehidupan transgender sehingga perjuangan untuk bertahan hidup perlu dilakukan. Tak bisa dipungkiri, hal itu menuntut kaum transgender untuk berstrategi demi kebertahanan mereka dalam masyarakat. Novel Hiding My Candy karya Lady Chablis adalah sebuah novel semi autobiografi yang merepresentasikan upaya transgender survival tersebut. Novel ini berbeda dengan novel-novel yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Alih-alih menunjukkan fitur transgender yang pasrah dan kalah oleh keadaan, Lady Chablis menampilkan tokoh utama
7
transgender yang berstrategi untuk kebertahanan dalam menghadapi kekangan masyarakat. Dalam karya Lady Chablis yang berjudul Hiding My Candy, sang penulis menceritakan kembali kisah hidupnya sebagai transgender yang mampu bertahan dari diskriminasi yang ditemuinya dalam kehidupan bermasyarakat. Awalnya, Lady Chablis menampilkan tokoh utama yang bernama Benjamin Knox atau ‘The Doll’ sebagai seorang pria berjiwa perempuan yang mengalami masa-masa pahit karena adanya diskriminasi oleh lingkungannya. Namun, yang membedakan novel ini dari novel bertema transgender lain, sang tokoh utama digambarkan begitu ulet berstrategi untuk menampilkan identitas trangendernya dengan berbagai cara sehingga ia mampu bertahan. Tak seperti rekan-rekan sesama transgender lain yang diceritakan menjadi pecandu narkotika, menderita penyakit HIV/Aids, atau bahkan ada yang bunuh diri karena depresi, The Doll mampu bangkit dari kehidupan kelamnya dan unjuk gigi sebagai transgender berprestasi. The Doll terlahir sebagai seorang laki-laki berkulit hitam dengan nama Benjamin Edward Knox. Namun saat ia beranjak remaja, ia mulai menunjukkan kecenderungan untuk berperilaku seperti seorang perempuan. Siksaan fisik ia terima dari sang Ibu sebagai hukuman atas perilaku menyimpang yang ia lakukan hingga ia diusir dari rumah dan kemudian diasuh oleh sang nenek. Beranjak dewasa, identitas sebagai transgender semakin melekat pada diri ‘The Doll’, julukan yang ia pilih untuk menunjukkan identitas diri. Ia pun berdandan sebagai perempuan dan sempat mengajukan permohonan untuk berganti nama, tetapi tidak dikabulkan oleh pengadilan. Ia pun berpindah-pindah tempat bekerja yang
8
acapkali memecatnya ketika mereka tahu kecenderungan The Doll untuk berperilaku seperti perempuan. Seiring kehidupannya yang kacau, The Doll sempat mengonsumsi narkotika. Namun, ia berhenti dari kecanduannya itu setelah ia melihat rekannya yang kecanduan obat terlarang tewas karena overdosis. Perlahan hidupnya berubah ketika ‘The Doll’ menemukan passionnya dan menjalani pekerjaan sebagai transgender entertainer di klub gay ‘Club One’ di Savannah. Di situ ia menunjukkan kreatifitasnya. Ia unjuk gigi dan menampilkan kepiawaiannya dalam menghibur (penyanyi dan stand up comedy) hingga ia kemudian menjadi primadona di klub tersebut. Kemudian, ia mengikuti sebuah kontes kecantikan transgender dan keluar sebagai juara, sehingga berhak atas gelar The Grand Empress of Savannah. Sejak itu, The Doll semakin terkenal dan bahkan menjadi artis film yang tenar dan diundang dalam berbagai acara variety show. Dalam kehidupan sehari-hari, secara konsisten The Doll selalu menampilkan identitas transgendernya dengan cara mengenakan kostum perempuan yang mencolok dan juga berdandan layaknya wanita seutuhnya. Uniknya, The Doll tidak melakukan operasi alat kelamin sehingga ia masih mempunyai penis. Ia menyebut hal itu dengan istilah 'Hiding My Candy'. Hal-hal yang telah disinggung di atas merupakan perwujudan dari strategi The Doll untuk bertahan dan menampilkan identitasnya kepada masyarakat. Dari sinopsis novel Hiding My Candy diatas, terlihat bahwa representasi strategi bertahan transgender merupakan fitur yang begitu kuat ditampilkan Lady
9
Chablis melalui perjuangan tokoh The Doll untuk mencapai social visibility. Peneliti merasa tertarik untuk mengulik lebih lanjut tentang muatan strategi bertahan seorang The Doll dalam novel Hiding My Candy. Oleh karena itu, penulis menjadikan novel Hiding My Candy sebagai objek penelitian dalam tesis. Penelitian akan difokuskan pada strategi yang dilakukan oleh tokoh ‘The Doll’ untuk kebertahanannya dalam masyarakat. Secara spesifik, strategi bertahan transgender sesuai dengan teori Camp Moe Meyer yang juga merupakan sub teori queer. Dalam sejarah, Camp bukan merupakan kosa kata bahasa Inggris asli melainkan berasal dari bahasa Perancis ‘campagne’ yang berarti daerah kota yang menyuguhkan hiburan dari rombongan pantomim. (Breedbeck dalam Meyer, 1994: 45). Maka, dari asal kata itu, Ware kemudian berargumen bahwa nilai-nilai representasi, peran dan gaya yang dilebih-lebihkan tak bisa dilepaskan dari Camp (Ware dalam Meyer, 1994: 65). Dari beberapa referensi, Meyer melandaskan definisi Camp dari pemikiran Thomas A. King yang menyatakan bahwa Camp merupakan sinyal tantangan ontologis yang membantah pemikiran kaum burjois yang menganggap individu bersifat unik, absolut dan berkesinambungan dengan menyuguhkan konsep individu yang menurutnya lebih bersifat performatif, improvisasional, tak berkesinambungan, dan secara proses dibentuk melalui aksi pengulangan yang konsisten (King, 1994: 65). Subjek yang melakukan gestur Camp di sini adalah kaum homoseksual. Meyer kemudian menyimpulkan bahwa Camp sejak awal selalu terkait dengan upaya kaum marjinal yang menerapkan strategi untuk mempertunjukkan identitas homoseksual/queer mereka.
10
Dengan demikian, bagi kaum marjinal, Camp dapat dikatakan sebagai strategi yang mampu menampilkan identitas kaum marjinal di hadapan masyarakat normatif. Meyer menyatakan dalam hal ini, Camp adalah keseluruhan praktik dan strategi performatif yang digunakan untuk menampilkan identitas queer, yang dipertunjukkan untuk memproduksi social visibility (Meyer, 1994:4). Dari pernyataan itu jelas bahwa Camp adalah strategi yang dilakukan oleh kaum marjinal, dalam hal ini transgender untuk mengupayakan visibilitas sosial demi kebertahanan mereka dalam masyarakat normatif. Dalam perspektif Camp, prinsip ‘laughter in tears’ adalah salah satu kunci utama dalam strategi Camp. Alih-alih menjadikan olok-olok dan cemoohan sebagai aib, kaum marjinal yang berpatokan Camp akan menjadikan hal itu sebagai keunikan dan bahkan identitas mereka. Dalam strategi Camp itu, kaum transgender pun sekaligus menyelipkan kritik pada kaum dominan dengan menyatakan bahwa mereka tidak terhina oleh diskriminasi yang ada. Justru hinaan, cemoohan, dan diskriminasi yang mereka terima akan ditransformasikan sebagai kekuatan tersembunyi dari kaum transgender ini. Isherwood adalah seorang pengarang yang pertama kali mengaitkan Camp dan Queer. Dalam novelnya The World in Evening, ia menyatakan bahwa, You see, true High Camp always has an underlying seriousness. You can’t camp about something you don’t take seriously. You’re not making fun of it; you’re making fun out of it. You’re expressing what’s basically serious to you in terms of fun and artifice and elegance. (Isherwood dalam Cleto, 1999: 51) (Kau lihat, Camp luhur selalu menggarisbawahi keseriusan. Kamu tidak bisa melakukan Camp atas sesuatu yang tidak kamu anggap serius. Kamu tidak mengolok-olok sesuatu hal. Kamu bersenang-senang atas hal tersebut. Kamu
11
mengekspresikan apa yang sebenarnya serius di matamu dalam cara yang menyenangkan, bercita rasa seni, dan elegan). (Isherwood dalam Cleto, 1999: 51)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Camp menjunjung semangat penyimpangan dan kritik melalui media yang ringan seperti lelucon atau parodi. Suatu perbuatan yang jika dilihat dari permukaan tampak main-main, mengundang tawa dan seakan tak berarti apa-apa ternyata memuat konten tertentu yang jauh lebih serius. Namun, itu lah keunikan cara bekerja strategi Camp yang digunakan oleh kaum marjinal khususnya transgender. Mengkritik tanpa membuat sakit hati, menyuarakan pikiran tanpa menyinggung dan mengancam dominasi kaum heteroseksual adalah misi penting Camp yang diupayakan oleh kaum transgender. Strategi Camp dijalankan, misalnya, ketika seorang transgender diejek karena berpakaian seperti perempuan, maka mereka justru akan semakin menjadi dan bahkan mungkin akan mengenakan pakaian yang lebih mencolok. Dalam tindakan mereka tersebut sekaligus juga terselip kritik terhadap masyarakat normatif bahwa semakin mereka terinjak, pada saat itu juga mereka semakin kuat. Newton menyatakan, “dengan berbagai cara, kaum homoseksual menciptakan Camp, yaitu dengan cara menampilkan ketidaklayakan atau merenungkan ketidaklayakan tersebut” (Newton, 1979: 10). Pernyataan Newton dan Meyer di atas mengindikasikan bahwa Camp merupakan strategi bertahan transgender dengan tujuan untuk tampil dan berarti dalam masyarakat normatif. Asumsi yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa strategi Camp dilakukan oleh tokoh transgender dalam novel Hiding My Candy dengan tujuan
12
agar ia mampu bertahan dalam masyarakat. Untuk menjabarkan strategi bertahan transgender (strategi Camp) tersebut, peneliti akan menggunakan teori Queer, khususnya sub teori Camp dari Moe Meyer. Sementara itu, tujuan pengarang dalam menyelipkan fitur strategi Camp dalam novel Hiding My Candy juga akan coba dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas terlihat bahwa
adanya oposisi biner antara maskulinitas dan femininitas dalam masyarakat patriarki yang menganggap maskulinitas lebih tinggi daripada femininitas menghasilkan praktik diskriminasi terhadap kaum transgender male to female (waria). Diskriminasi itu dapat berupa cemoohan, stigma negatif, kekerasan fisik, seksual atau juga pelanggaran HAM. Seringkali praktik diskriminasi tersebut menjadikan transgender sebagai korban karena mereka pasrah akan keadaan. Hal tersebut direpresentasikan dalam beberapa novel seperti Almost Perfect karya Delacorte, Embrace my Reflection karya T.A. Chase, A Rose is A Rose karya Jet Mykels dan Dress to Thrill karya Kimberly Gardner. Adapun beberapa contoh kasus diskriminasi terhadap transgender di Indonesia dan Amerika juga telah dicantumkan pada bagian latar belakang. Namun, tidak seperti trangender lain yang kalah oleh kekangan heteronormatif, dalam novelnya yang berjudul Hiding My Candy, Lady Chablis menuliskan kembali kisah hidupnya sebagai transgender berkulit hitam di
13
Amerika yang mampu bertahan. Dalam novel Hiding My Candy, Lady Chablis menampilkan sosok transgender bernama The Doll yang melakukan serangkaian strategi bertahan (strategi Camp) untuk meraih visbilitas sosial. Ia pun diceritakan berhasil lepas dari diskriminasi dan pelabelan negatif dari masyarakat sehingga ia dapat menunjukkan berbagai prestasi. Ia mampu menjadi transgender entertainer yang sukses dan bahkan menjadi artis film. Dari rumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang akan coba dijawab dalam tesis ini adalah: 1. 2.1 Bagaimana bentuk-bentuk strategi Camp yang direpresentasikan pengarang melalui tokoh transgender The Doll dalam novel Hiding My Candy? 1. 2.2 Apa tujuan pengarang menggambarkan strategi Camp dalam novel Hiding My Candy?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara teoretis, penelitian ini ditujukan untuk menjabarkan bentuk-bentuk
strategi bertahan kaum transgender yang direpresentasikan oleh tokoh The Doll dalam novel Hiding My Candy karya Lady Chablis. Untuk menjabarkan strategi bertahan transgender itu, teori Camp dari Moe Meyer akan dijadikan sebagai acuan. Penelitian juga dilakukan untuk mengungkap alasan dan tujuan karakter transgender dalam melakukan strategi bertahan tersebut. Selain itu tujuan pengarang dalam merepresentasikan strategi Camp dalam novel Hiding My Candy juga akan coba diulas lebih dalam.
14
Sementara itu, tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan
studi mengenai transgender dan menambah wawasan
mahasiswa, pengajar, peneliti atau pun pembaca mengenai isu terkait. Selama ini, penelitian mengenai transgender lebih banyak mengekspos tentang diskriminasi dan pelabelan mereka sebagai korban. Penelitian yang mengulas tentang kebertahanan transgender ini diharapkan dapat bermanfaat dengan cara menyajikan isu transgender dari sudut pandang lain sehingga referensi studi mengenai isu terkait dapat semakin berkembang.
1.4
Tinjauan Pustaka Dalam hal tinjauan pustaka, sejauh pengamatan peneliti, belum ada studi,
skripsi, tesis atau pun yang menggunakan novel Hiding My Candy karya Lady Chablis sebagai objek materialnya. Namun demikian, ada sebuah artikel mengenai novel Hiding My Candy yang diunggah oleh Sabrina Simone dalam transmuplanet.blogspot.co.id. Dalam blog pribadinya itu, Simone mengulas novel Hiding My Candy sebagai book of the month. Review yang ditulis oleh Simone menyoroti keberhasilan Lady Chablis dalam menyajikan sebuah kisah perjalanan hidup transgender berkulit hitam dari Selatan yang mampu bertahan dalam kerasnya hidup di Savannah. Simone menulis “Kita menyaksikan bagaimana seorang gadis trans yang tadinya limbung, kehilangan arah dan kebingungan dapat menemukan jalannya, bertemu panutan positif dan ia akhirnya mampu
15
bertransformasi menjadi seorang wanita trans kulit berwarna yang kuat dan berpengaruh.” (Simone, 2013).4 Sementara itu, peneliti menemukan cukup banyak referensi tinjauan pustaka terkait topik transgender. Penelitian mengenai transgender telah dilakukan oleh Paramita Ayuningtyas dalam sebuah tesis berjudul Identitas Diri yang Dinamis : Analisis Identitas Gender dalam Breakfast on Pluto karya Patrick Mc Cabe. Dalam tesisnya itu, Ayuningtyas membahas identitas gender yang bisa didekonstruksi dengan acuan teori identitas Stuart Hall. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui tokohnya, Patrick Barden, Breakfast on Pluto menawarkan wacana identitas yang dinamis atau fleksibel. Menurut Ayuningtyas, identitas adalah proses menjadi yang akan tejadi terus menerus dalam kehidupan manusia. (Ayuningtyas, 2009). Studi dengan topik transgender juga pernah dilakukan oleh tim penelti Aquarini P. Prabasmoro, Ekaning Krisnawati dan Eva Tuckita Sari dalam sebuah artikel berjudul Identitas Queer dalam Enough Rope yang diterbitkan pada tahun 2004.. Dalam penelitiannya ini, mereka menggarisbawahi identias queer tokoh “I” yang telahir sebagai perempuan tetapi berjiwa laki-laki dan mempunyai orientasi seksual terhadap sesama laki-laki. Tokoh ‘I’ awalnya mengalami kebingungan untuk melabelkan identitas diri karena ia merasa identitas gender dan identitas seksualnya berbeda. Ia akhirnya memilih melepaskan pelabelan akan identitas
4
Simone, Sabrina.2012. Review Hiding My Candy as the Book of this Month.Diakses dari laman www.transmuplanet.blogspot.co.id pada tanggal 21 Juni 2015 pukul 22.15 WIB.
16
seksualnya dan menikmati identitas diri yang tidak berlabel, kecuali label queer yang sifatnya taksa. Teori Queer Judith Butler digunakan sebagai acuan penelitian. Pada tahun 2012, Arbani juga menuliskan skripsi bertopik trangender dengan judul Kejahatan Kebencian (Hate Crime) terhadap transgender (Male to Female) dan Waria. Dalam penelitian kualitatif dengan perspektif feminis ini, Arbani menemukan fakta bahwa banyak terjadi kekerasan fisik, seksual serta diskriminasi
yang
dialami
oleh
beberapa
transgender
yang
menjadi
narasumbernya. Kejahatan-kejahatan itu misalnya pemukulan, pengeroyokan, pemaksaan melakukan perbuatan seksual, pengusiran, pemecatan dari tempat kerja dan penghambatan ikut ujian di perguruan tinggi. Sementara itu, pada tahun 2010, penelitian yang terkait dengan teori Camp pernah ditulis oleh Lauren Alexandra Ross dalam tesisnya yang berjudul Camp it Up : Camp in the Portrait of Photography of Daniella Rossell and Pierre et Gilles. Ross mengapresiasi foto-foto bidikan dari Daniel Rossell dan Pierre et Gilles dari perspektif teori Camp. Dari hasil pembacaannya, foto-foto Daniel Rossell dan Pierre et Gilles yang menyajikan masing-masing potret pria maskulin dan wanita seksi menunjukkan kualitas Camp di dalamnya. Kualitas Camp itu dapat dilihat dari karakteristik ‘gay sensibility’ (dalam foto karya Pierre et Gilles) dan ‘popcamp appropriation’ (dalam foto karya Daniel Rossell). Dari tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnya, secara garis besar isu-isu transgender yang banyak diangkat masih terbatas pada persoalan identitas gender, seksual dan diskriminasi yang membayangi kehidupan mereka. Isu-isu
17
tersebut jelas berbeda dengan isu kebertahanan transgender lewat strategi Camp yang akan dijabarkan dalam penelitian ini. Memang, persoalan diskriminasi masih tetap akan dibahas dalam penelitian ini, tetapi isu tersebut bukan menjadi topik utama, melainkan sebagai titik pijakan. Diskriminasi yang dialami oleh tokoh transgender dalam novel Hiding My Candy merupakan keadaan yang mengilhami sang
tokoh
untuk
berstrategi
demi
kebertahanannya
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Maka, penelitian akan lebih berfokus kepada strategi bertahan yang diupayakan oleh tokoh transgender tersebut. Sementara itu, tesis yang ditulis oleh Lauren Alexander Ross menggunakan acuan teori Camp oleh Fabio Cleto. Walaupun penelitian ini juga akan menggunakan teori Camp, tetapi teori Camp yang akan digunakan tidaklah sama karena teori Camp yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori Camp menurut Moe Meyer. Fabio Cleto lebih membahas Camp sebagai nilai estetis dari sebuah produk, baik itu lukisan, karya sastra, atau fotografi. Sementara Moe Meyer lebih menonjolkan nilai politis dari Camp yang dapat menjadi kritik sosial dari kaum marjinal. Maka, sesuai dengan teori Cleto, tesis Ross lebih ditujukan untuk membahas ciri-ciri estetis Camp dalam sebuah hasil fotografi yang kemudian menjadikan foto-foto tersebut sebagai produk Camp. Berkebalikan dengan tesis Ross, penelitian ini mengacu pada teori Camp menurut Moe Meyer yang menasbihkan Camp sebagai semangat kritik sosial yang nantinya diwujudkan dalam strategi bertahan kaum marjinal seperti transgender dalam kehidupannya.
18
1.5
Landasan Teori Landasan teori yang akan digunakan dalam tesis ini adalah teori camp dari
Moe Meyer. Melalui bukunya, The Politics and Poetics of Camp, Meyer meletakkan dasar pemikiran bahwa Camp berakar dari teori queer. Selanjutnya penjelasan singkat mengenai teori queer dan penjabaran secara komprehensif mengenai definisi Camp, perkembangan teori Camp, cara kerja Camp dan bentukbentuk strategi Camp akan dijelaskan dalam sub bab ini.
1.5.1
Teori Queer sebagai Produk Kaum Marjinal Apabila diartikan secara harfiah queer sama artinya dengan sesuatu yang
aneh atau ganjil, dan mempunyai nilai rasa yang cenderung negatif. Istilah tersebut dilabelkan pertama kali oleh kaum heteronormatif yang anti terhadap kaum homo (homophobic). Mereka menganggap kaum gay, lesbian dan biseksual sebagai penyimpangan dan layak untuk mendapatkan stereotip negatif. Marjinalisasi dan diskriminasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi kaum homoseksual. Kendati demikian, alih-alih menerima label queer sebagai cemoohan, kaum marjinal seperti gay, lesbian dan biseksual malah merengkuh queer sebagai identitas mereka. Seiring dengan mengemukanya gerakan feminisme, queer akhirnya resmi dijadikan sebagai payung pergerakan kaum gay, lesbian dan biseksual pada sekitar awal tahun 1970 dan 1980an.
19
Berdasarkan fakta tersebut, queer merujuk pada semangat kaum marjinal untuk mencanangkan ideologi mereka sendiri di tengah kekangan kaum dominan atau burjois. Mereka sadar bahwa label ‘aneh’ yang disematkan oleh kaum dominan kepada kaum mereka adalah bentuk opresi, tetapi justru opresi itu yang mereka angkat sebagai media pemberdayaan. Adopsi queer sebagai payung untuk pergerakan kaum gay, lesbian dan biseksual sekaligus juga merupakan perwujudan dari kritik kaum marjinal terhadap kaum dominan. Dalam hal ini, Tyson menyatakan, perilaku yang menjadikan sebuah istilah sebagai referensi yang dilekatkan kepada dirinya sendiri merupakan sebuah pergerakan yang kuat, yang seakan juga menyuarakan pikiran bahwa “kami tidak takut untuk terlihat’, “kamu tidak berhak mengatakan siapa kami’, dan “kami bangga terlahir berbeda” (Tyson, 2006 : 334).
Meyer meradikalkan pemikiran yang tadinya hanya mengasosiasikan ruang lingkup queer dalam ranah perilaku dan orientasi seksualitas saja menjadi lebih luas dengan merangkul ranah gender pula. Menurut Meyer, sebagai kritik terhadap kelas dominan dalam masyarakat, ruang lingkup queer bukan hanya meliputi praktik seksualitas saja tetapi juga gender. Oleh karena itu, identitas gender seorang individu pun merupakan bagian dari teori Queer. Hal tersebut mengemuka karena tidak setiap individu dapat terdefinisi identitasnya hanya dari aktivitas seksualnya. Contohnya saja gay yang selibat, dan pasangan lesbian butch-femme (hubungan antar perempuan yang mempunyai karakter maskulin dan feminin). Dalam skala sosial, identitas gender mereka hanya dapat terlihat dari apa
20
yang mereka tampilkan (performatifitas) secara konsisten. Dalam hal ini Meyer mengatakan, As the rejection of a social identity based upon the differentiation of sexual practices, queer identity must be more correctly aligned with various gender, rather than sexual... queerness contains the knowledge that social identities, including those of sex, but especially those of gender, are always accompanied by some sort of public signification in the form of specific enactments, embodiments, or speech acts which are nonsexual or, in the very least, extrasexual. (Meyer, 1994 : 3) (Sebagai penolakan terhadap identitas sosial berdasarkan praktik seksual, identitas queer tentu lebih bisa disejajarkan dengan bermacam-macam gender, dibanding seksual... queer memuat pengetahuan mengenai identitas sosial, termasuk di dalamnya jenis kelamin, tetapi khususnya identitas yang terkait dengan gender yang selalu mengikutsertakan penampilan publik dalam bentuk pertunjukkan spesifik, perwujudan, atau speech act yang bersifat non seksual atau setidaknya ekstraseksual). (Meyer, 1994 : 3)
Dengan demikian, teori queer tidak hanya berfokus pada orientasi seksual belaka
dan
juga
tidak
bisa
hanya
diringkas
dalam
oposisi
simpel
homoseksual/heteroseksual. Queer menyatakan bahwa seksualitas dan identitas gender individu bersifat cair, dan mempunyai kemungkinan pilihan yang cukup beragam. Dari pernyataan tersebut, cakupan teori queer menjadi semakin luas. Maka kaum gay, camp, drag, butch lesbian, femme lesbian juga merupakan isu yang dibicarakan dalam teori queer. Building on deconstruction’s insights into human subjectivity (selfhood) as a fluid, fragmented, dynamic collectivity of possible “selves,” queer theory defines individual sexuality as a fluid, fragmented, dynamic collectivity of possible sexualities. (Tyson, 2006 : 352). Membangun sebuah pandangan dekonstruksi terhadap subjektivitas manusia (konsep diri) sebagai sesuatu yang cair, terfragmentasi, koletivitas dinamis akan kemungkinan diri yang jamak, teori queer mendefiniskan seksualitas individual sebagai sesuatu yang cair, terfragmentasi, kolektivitas dinamis atas bermacam seksualitas yang dimungkinkan. (Tyson, 2006 : 352).
21
Dalam hal ini, menurut Meyer, “Queer” muncul sebagai tantangan terhadap pelabelan kaum dominan terhadap kaum
marjinal seperti transgender,
homoseksual dan lesbian. Queer tidak mengindikasikan seks biologis atau gender dari seorang subjek. Queer bukan merujuk pada jenis kelamin tertentu atau pelabelan spesifik dari suatu kaum. Queer merupakan payung besar yang menaungi bukan saja perilaku seksual, orientasi seksual tetapi juga preferensi gender yang dianggap lain dari apa yang telah disepakati oleh kaum heteronormatif. Meyer menyatakan, Queer tidak terbatas hanya mengindikasikan seks biologis atau gender dari seorang subjek belaka. Istilah ini lebih jauh merujuk pada tantangan terhadap pelabelan secara filosofis, terutama kiasan pembedaan pada istilah “homoseksual,” dan juga tantangan terhadap kategori pembedaan gender yang dilekatkan pada frasa “gay dan lesbian.” (Meyer, 1994: 2).
1.5.2
Asal Muasal Teori Camp dan Keterkaitannya dengan Queer/Gay
Sensibility Referensi mengenai terminologi Camp muncul pertama kali pada kamus bahasa slang yang ditulis oleh J. Redding Ware pada tahun 1909 berjudul Passing English of the Victorian Era: A Dictionary of Heterodox English, Slang, and Phrase. Dalam kamus tersebut, Ware mendefinisikan Camp sebagai ‘aksi dan gestur dengan penekanan exaggeration (sesuatu yang dilebih-lebihkan). Ia menambahan bahwa kemungkinan besar berasal dari bahasa Perancis, dan biasanya digunakan oleh orang-orang yang tersisihkan. Breedbeck menambahkan dalam hal ini bahwa menurut sejarahnya, Camp bukan merupakan kosa kata
22
bahasa Inggris asli melainkan berasal dari bahasa Perancis ‘campagne’ yang berarti daerah kota yang menyuguhkan hiburan dari rombongan pantomim. (Breedbeck dalam Meyer, 1994: 45). Mark Booth dalam bukunya yang berjudul Camp mengomentari hal ini dengan menyatakan bahwa etimologi dari kata Camp sendiri diklaim berasal dari akar kata dalam bahasa Italia campeggiare dan Perancis se camper yang kira-kira dapat diartikan ‘menampilkan seseorang dalam mood yang meluap-luap tetapi mempunyai sikap lemah lembut—dengan sisipan unsur teatrikal, jumawa, bergaya dan provokatif. (Booth, 1983:75). Dari uraian di atas dapat ditelaah bahwa pada mulanya istilah Camp merupakan istilah slang yang digunakan oleh kaum yang terpinggirkan dalam kosa kata bahasa Inggris di era Victoria. Dari segi etimologis, Camp adalah kata kerja aktif yang mempunyai kaitan erat dengan aspek pertunjukkan, exaggeration, teatrikal, gaya dan bersifat provokatif. Dari definisi mengenai istilah Camp dalam kamus Ware seperti yang telah diuraikan di atas tersebut bahwa pengguna istilah Camp adalah kaum yang terpinggirkan. Penulis mengasumsikan kaum yang dimaksud Ware adalah kaum homoseksual atau transgender.Hal ini diperkuat juga oleh pernyataan Booth yang menyatakan bahwa kata Camp dapat dilekatkan dengan satu sosok yang mempunyai sifat lemah lembut dengan semangat yang meluap-luap. Sifat-sifat tersebut menunjukkan unsur sensibilitas gay. Isu sensibilitas gay ini tidak bisa dilepaskan dari queer. Menurut Fabio Cleto dalam bukunya yang berjudul Camp: Queer Aesthetic and the Performing Subjects, sejak awal, Camp tidak bisa dilepaskan
23
dari keterkaitannya dengan queer. Camp muncul secara tertulis pertama kali pada tahun 1869, dalam sebuah proses surat-menyurat antara dua figur transvestif, bernama Lord Arthur Clinton dan Frederick Park (aka “Fanny”). Fanny mengatakan bahwa “My campish undertakings are not at present meeting with the success they deserve. Whatever I do seems to get me into hot water somewhere”. (Tindakan bersifat camp yang kuupayakan sekarang belum membuahkan kesuksesan. Apa pun yang kulakukan sepertinya selalu membawaku ke dalam kesuliatan (Cleto, 1999: 21). Dari pernyataan tersebut, figur transvestif adalah figur agen queer yang menggunakan istilah Camp dalam bahasa percakapan mereka. Selain itu, penggunaan istilah Camp sebagai bagian dari queer juga bermula dari novel yang ditulis oleh Christopher Isherwood yang berjudul The World In the Evening yang diterbitkan pada tahun 1954. Novel itu sekaligus juga menandai novel canon bertema Camp yang pertama di dunia sastra. Novel karya Isherwood tersebut bercerita tentang kehidupan seorang pria Inggris bernama Stephen Monk. Babak baru kehidupan Stephen Monk setelah kegagalan ke dua dalam pernikahannya adalah titik penting dari perjalanan selfsearching dan juga sexual self-discovery. Yang dimaksud sexual self-discovery adalah kenyataan yang coba ia tampik mengenai orientasi seksualnya yang mengarah pada biseksual. Sementara itu, Camp sendiri muncul dalam sebuah perbincangan Monk dengan salah satu karakter novel bernama Charles.
24
When Charles asks Stephen if he has ever overheard the word “camp” used in conversation inhis “voyages au bout de la nuit,”Stephen admits that he has heard the word used on several occasions in nightclubs. Charles retorts, “you thought it meant a swishy little boy with peroxided hair, dressed in a picture hat and a feather boa, pretending to be Marlene Dietrich? Yes, in queer circles they call that camping. It’s all very well in its place, but it’s an utterly debased form.” (Isherwood dalam Cleto, 1999: 51) (Ketika Charles bertanya kepada Steven apakah ia pernah mendengar kata ‘camp’ dipergunakan dalam perjalanan “voyages au bout de la nuit”, Stephen mengaku bahwa ia pernah mendengar kata itu dipergunakan dalam beberapa kesempatan di klub malam. Charles menyahut, ‘kamu pikir kata itu berarti seorang bocah lakilaki kemayu dengan rambut silver, berkostum mencolok dengan topi motif dan kalung bulu-bulu, berpura-pura menjadi Marlene Dietrich? Iya dalam lingkup queer mereka menganggap itu sebagai Camping. Peran itu ditampilkan dengan sangat baik, tapi ada penyimpangan atau cemoohan di balik itu). (Isherwood dalam Cleto, 1999: 51).
Dari dialog itu, istilah Camp dimaknai sebagai gaya anti mainstream yang biasa digunakan dalam lingkaran queer (yang dimaksud dalam hal ini adalah kaum homoseksual). Monk menggambarkan figur anak laki-laki yang bergaya bak perempuan dengan dandanan kemayu ala Marlene Dietrich beserta rambut diwarnai, topi bergambar dan kalung bulu. Dari dialog ini lah, keterkaitan antara Camp dan queer atau homosexual sensibility bermula. Maka, peran Isherwood dalam sejarah Camp cukup besar karena ia adalah penulis yang pertama kali mendefiniskan keterkaitan antara Camp dengan sensibilitas gay (queer). Perdebatan kalangan akademis mengenai definisi dan klasifikasi Camp pun muncul dari buah pemikiran Isherwood ini. Dalam dialog lanjutan, Isherwood lewat karakter dalam novelnya Charles melanjutkan bahwa ada dua kategori Camp yaitu Low Camp dan High Camp. Low Camp adalah segala sesuatu bersifat campy yang terkait dengan queer atau homoseksual sensibility sementara High Camp adalah segala sesuatu yang terkait dengan kesenian bernilai tinggi (fine art).
25
Setelah Isherwood, Susan Sontag adalah akademisi yang menuliskan tentang definisi dan pengklasifikasian Camp dalam sebuah essay berjudul Notes On Camp yang terbit pada tahun 1964. Sontag menuliskan 58 karakteristik Camp baik pada orang ataupun benda yang ia temukan dalam film, teater, visual art dan sastra. Secara ringkas, seperti halnya Isherwood, Sontag mengklasifikasikan Camp dalam dua kategori yaitu ‘deliberate Camp’ dan “pure Camp’. Deliberate Camp adalah Camp yang sifatnya naif atau asal-asalan, sedangkan pure Camp adalah Camp yang serius. Tentu pembedaan Camp yang dilakukan oleh Sontag ini mengingatkan kita pada dua kategori Camp ala Isherwood yaitu High dan Low Camp. Namun, akhirnya Sontag memutuskan untuk mengkombinasikan makna dari deliberate dan pure Camp itu hingga menghasilkan definisi tunggal Camp yang dimaknai sebagai ‘failed seriousness’. Hal yang mendasari peleburan itu, menurut Sontag, adalah karena karakteristik esensial dari Camp sejatinya adalah keseriusan yang gagal dan sesuatu yang dibesar-besarkan (exaggeration). Pemikiran Sontag itu menghasilkan sebuah pemaknaan baru terhadap Camp. Sebuah keseriusan yang dipelintir atau dipermainkan hanya akan menyisakan tampak luar atau ‘superficial result’ yang terlihat lebih mencolok dibanding isi. Oleh karena itu, Sontag menyimpulkan bahwa Camp merupakan suatu sensibilitas, yang bisa terlihat dari benda, orang atau perilaku seseorang yang bersifat apolitis, estetis, dangkal dan hanya mementingkan gaya dibanding isi. Sontag berpendapat bahwa Camp adalah segala “sesuatu dalam tanda kutip… untuk memahami Camp dalam objek dan orang adalah untuk mengerti keadaan bermain peran”. (Sontag, 1964:56). Di samping itu, sejalan dengan apa yang telah
26
ditulis oleh Isherwood sebelumnya, Sontag juga menuliskan bahwa Camp terlahir dan ditemukan oleh kaum homoseksual (gay sensibility). Meskipun demikian, ia tidak terlalu yakin akan hal itu karena dalam kalimat selanjutnya ia mengatakan bahwa jika bukan kaum homoseksual yang menemukan Camp, akan ada pihak lain yang menemukannya. Pernyataan Sontag itu kemudian dibantah oleh Meyer yang menjabarkan bahwa Camp tidak bisa dilepaskan dari gay sensibility. Merujuk pada fakta tersebut, sesuai dengan pola berpikir queer, Meyer menyatakan bahwa sesuatu yang terlahir dari kaum marjinal tentu bukanlah sesuatu yang main-main atau asal-asalan tetapi memiliki sebuah tujuan tertentu. Begitu pun Camp, yang terlahir dari kaum gay, tentu berpotensi menjadi sebuah kritik terhadap kaum dominan. Dengan demikian, Camp tidak bisa dilepaskan dari muatan politik di dalamnya. Dalam hal ini, Meyer mempertegas bahwa hanya ada satu Camp, yaitu Camp sebagai sebuah proses atau strategi parodi queer untuk menampilkan identitasnya ke dalam masyarakat dominan. Apa yang dituliskan oleh Sontag, dengan demikian, adalah jejak-jejak Camp (Camp traces) yang kurang mencerminkan inti Camp yang sesungguhnya. Meyer menyatakan, Instead, what emerges from Sontag’s essay is the birth of the camp trace, or residual camp, a strategy of un-queer appropriation of queer praxis whose purpose, as I will demonstrate, is the enfusement of the un-queer with the queer aura, acting to stabilize the ontological challenge of Camp through a dominant gesture of reincorporation. Thus there are not different kinds of Camp. There is only one. And it is queer. (Meyer, 1994 : 4). (Sebaliknya yang muncul dari esai Sontag adalah lahirnya jejak Camp, atau residu Camp, strategi apropriasi non-queer dari praksis queer yang tujuannya adalah menanamkan praktik unqueer dengan berkedok aura queer, untuk menetralkan tantangan ontologis dari Camp melalui gestur penolakan oleh kaum
27
dominan. Dengan demikian, tidak ada berbagai jenis Camp. Hanya ada satu Camp. Dan itu terkait dengan queer). (Meyer, 1994 : 4).
Dalam tesis ini, teori Camp yang dikembangkan oleh Moe Meyer akan digunakan sebagai acuan dengan argumen bahwa Camp sebagai produk kaum marjinal bukan merupakan sensibilitas belaka yang bersifat apolitis, estetis dan asal-asalan, tetapi ada muatan kritik dan politis di dalamnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai Camp Moe Meyer akan dibahas lebih terperinci dalam sub bab muatan kritis dan politis dalam Camp.
1.5.3
Muatan Kritik dan Politis dalam Teori Camp Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara lebih spesifik, sub teori
Camp adalah acuan yang akan digunakan sebagai landasan berpikir dan menganalisis objek material dalam penelitian ini. Camp merujuk pada semangat kaum marjinal untuk social visibility. Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa Camp merupakan media queer yang menunjukkan karakter-karakter queer mana saja yang bisa diperlihatkan kepada kaum dominan. Teori Camp yang dituliskan oleh Moe Meyer dalam bukunya yang berjudul The Politics and Poetics of Camp akan dijadikan sebagai acuan utama dalam penelitian ini. Namun demikian, selain pemikiran Meyer, pemikiran Esther Newton dan Jack Babuscio yang diambil dari buku Camp: Queer Aesthetic and the Performing Subject mengenai Camp juga akan disajikan dalam landasan teori ini. Peneliti memasukkan pemikiran kedua akademisi tersebut dengan tujuan untuk
28
memperkuat argumen Moe Meyer yang menyatakan Camp sebagai strategi kaum marjinal dengan tujuan transgender survival melalui social visibility. Pada sub bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa Meyer mengkritik deskripsi mengenai Camp yang telah diungkapkan oleh Susan Sontag (Notes on Camp). Sontag mendefiniskan Camp sebagai sensibilitas yang ditemukan oleh kaum homoseksual, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada orang lain yang akan menemukan Camp (1964). Sebagai sensibilitas, Camp, menurut Sontag, bersifat apolitis, estetis, dangkal dan hanya mementingkan gaya dibanding isi. (Sontag, 1964:53-54). Dalam perspektif Meyer, Camp tidak bisa dilepaskan dari peran homoseksual yang menemukannya. Maka, Camp tetap saja berakar dari queer. Sebagai bagian dari queer, bisa dikatakan bahwa Camp lahir dari kaum marjinal. Berangkat dari titik tersebut, wacana yang muncul dari kaum marjinal tentu akan bersifat politis dan mempunyai intensi untuk mengkritik kaum dominan (kulit putih, kaum burjois dan model identitas normatif). Camp bersifat politis; Camp adalah wacana queer; dan khususnya Camp mewujudkan kritik queer terhadap budaya (Meyer, 1994:1). Dari perspektif yang telah dipaparkan sebelumnya, Meyer kemudian mendefinisikan Camp secara umum sebagai strategi dan taktik parodi queer. Atau dengan kata lain, Camp merupakan praktik dan strategi yang dilakukan oleh subjek untuk menampilkan identitas queernya dalam masyarakat. Camp didefinisikan oleh Meyer sebagai, “total keseluruhan praktik dan strategi performatif yang digunakan untuk
menampilkan identitas queer; strategi
penampilan identitas queer itu ditujukan agar ia terlihat oleh masyarakat (social
29
visibility). (Meyer, 1994: 4). Social visibility ini diupayakan dengan tujuan akhir survival atau kebertahanan dari sang kaum marjinal dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kerangka berpikir Camp, persoalan bertahan hidup kaum marjinal ini tidak lagi hanya sebatas hidup dalam keadaan sehat, selamat tanpa ancaman diskriminasi dan pelecehan tetapi juga bagaimana sang kaum marjinal tersebut dapat unjuk gigi dalam berbagai prestasi. Meyer menyelipkan sebuah premis bahwa dengan mengupayakan social visibility, kaum marjinal dapat diterima dengan segala keunikan dan ‘normalitas’ ala mereka, sehingga diskriminasi dan pelabelan negatif terhadap mereka juga dapat terelakkan. Sementara itu, sejalan dengan pemikiran Meyer, Newton juga menyatakan bahwa Camp merupakan sebuah strategi yang dimunculkan oleh kaum marjinal (homoseksual) sebagai tantangan terhadap pelabelan negatif yang diberikan kaum dominan terhadap mereka. Camp, bagi Newton bukan semata merujuk kepada seesuatu benda atau orang tetapi lebih merupakan hubungan antara sesuatu, baik benda, orang dan aktivitas atau kualitas dengan homoseksualitas. Artinya, kita tidak bisa menghakimi seseorang atau sesuatu sebagai ikon Camp tanpa melihat secara keseluruhan meliputi keterkaitan sifat atau perilaku dan aktivitasnya dengan homoseksualitas. Pemikiran Newton terilhami dari hasil penelitiannya terhadap komunitas drag queen atau female impersonator (entertainer dari kalangan homoseksual). Para drag queen ini bagi Newton adalah contoh seseorang yang dapat mempunyai
30
kualitas Camp dalam dirinya. Drag adalah simbol performatif yang menyatakan bentuk oposisi maskulin/feminin secara implisit. Ketika seorang laki-laki dapat tampil feminin bak perempuan dengan dandanan dan pakaian yang sengaja dibuat untuk pertunjukkan, maka logikanya sex role behavior adalah sesuatu yang dapat dihasilkan atau bahkan dimanipulasi, bukan murni sesuatu yang diwariskan oleh jenis kelamin ‘sebenarnya’. Dalam hal ini, Newton menyatakan, Drag suggests: “if sex-role behavior can be achieved by the ‘wrong’ sex, it logically follows that it is in reality also achieved, not inherited by the ‘right’ sex…The gay world, via drag, says that sex-role behavior is an appearance; it is ‘outside.’ It can be manipulated at will. (Newton, 1999 : 98). (Drag menunjukkan: “jika perilaku peran jenis kelamin tertentu dapat diraih oleh jenis kelamin yang ‘salah’, secara logis diikuti sebuah premis bahwa peran jenis kelamin dalam realitas juga merupakan sesuatu yang dapat diraih, bukan diwariskan dari jenis kelamin yang ‘benar’... dunia kaum gay, melalui drag, menyatakan bahwa perilaku peran jenis kelamin adalah sebuah pertunjukkan, hal itu terlihat dari luar. Implikasinya adalah peran jenis kelamin tersebut dapat dimanipulasi sesuka hati). (Newton, 1999 : 98).
Seorang drag yang mempunyai kualitas Camp tidak sekedar menghias diri menjadi female impersonator hanya untuk hiburan saja atau untuk mencari nafkah. Lebih dari itu, mereka mendedikasikan diri sebagai peniru peran gender yang ‘salah’ dengan tujuan utama mengkritik pelabelan negatif dari kaum dominan. Ketika berbicara tentang drag, karakter yang muncul adalah female impersonator yang suka berdandan dengan warna-warna mencolok dan heboh, mengenakan aksesoris yang tidak biasa seperti bulu-bulu, kalung emas dan anting panjang, serta tampil dengan segala pertunjukkan yang memancing tawa. Namun, penampilan yang dari penampakkan luar terlihat aneh, exagerrrated dan seolah mengundang cemoohan atau tertawaan itu sejatinya adalah keunikan drag yang
31
sekaligus juga merupakan senjata kaum homoseksual untuk menampakkan diri di antara kaum dominan. Apa yang mereka tampilkan itu adalah strategi Camp, yang secara implisit memuat tantangan terhadap pelabelan negatif dari kaum dominan terhadap mereka. Dalam hal ini Newton menjelaskan bahwa humor Camp adalah sistem tawa dalam tangis atas posisi ketidaklayakan seseorang. Oleh karena itu, humor dalam Camp tidak menutupinya, tetapi bertransformasi. (Newton, 1999 : 97). Sementara itu, Jack Babuscio memandang Camp sebagai strategi terhadap situasi. Ia menjelaskan bahwa Camp bukan semata sesuatu benda atau seseorang saja tetapi lebih merupakan hubungan atau dialog antara pemirsa dan objek, film, sastra, visual art dengan homosekusalitas. Babuscio mengatakan, ‘hal tersebut (camp) tidak pernah merupakan benda atau orang semata, tetapi lebih merupakan keterkaitan antara aktivitas, individual, situasi dan homoseksualitas (Babuscio, 1977 : 117). Artinya, Camp adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menampilkan aspek homoseksualitas (queer quality) melalui strategi tertentu. Menurut Babuscio ada fitur-fitur tertentu yang menjadi ciri khas Camp, yaitu ironi, nilai estetis, teatrikal, dan humor. Keterkaitan antara fitur-fitur tersebut dengan gayness yang nantinya akan menghasilkan sebuah keadaan aneh (incongruous) dan mungkin bahkan situasi yang tidak nyaman adalah aspek-aspek Camp yang akan ditampilkan kepada khalayak umum. Misalnya saja aspek Camp yang muncul dari dandanan heboh seorang transgender yang memang sengaja dilebih-lebihkan dan mungkin akan menimbulkan reaksi takjub, heran dan bahkan
32
cibiran. Ironi juga muncul dari aksi perilaku homoseksual yang memilih orientasi seksual sesama jenis yang menjadi metafor dari incongruous (tak layak, aneh). Tentu, dalam hierarki seksualitas normatif dalam masyarakat, perilaku semacam itu dianggap sebagai penyimpangan moral, dan heteroseksual ditampilkan sebagai norma yang berlaku. Namun, itu lah tujuan Camp, yaitu untuk mennunjukkan ketidaklayakan sebagai alternatif pilihan yang sah-sah saja untuk dilakukan. Nilai estetis juga terkandung dalam Camp sebagai cara pandang terhadap seni, cara pandang terhadap hidup dan tendensi praktis dari seseorang atau sesuatu. Babuscio menyatakan, It is the irony of the incongruity of camp, which appeals to the “gay sensibility,” that some of the consistently used contrasts in camp include: masculine/feminine, youth/old (age), spirit/flesh and high/low (social status). Sebuah ironi muncul dalam ketidaklayakan yang ditampilkan oleh Camp, yang menarik bagi sensibilitas kaum gay, bahwa camp menyajikan penggunaan perbandingan yang konsisten antara maskulinitas/femininitas, muda/tua (umur), jiwa/fisik dan tinggi/rendah (status sosial). Aestheticism is the second inherent feature of camp, the most vital aspect of which is Camp’s “opposition to puritan morality.”Most importantly, camp invokes its aesthetic nature in three ways: “as a view of art, as a view of life; and as a practical tendency in things or persons. (Babuscio, 1977 : 119-120). Estetisme adalah fitur koheren Camp yang ke dua, hal ini adalah aspek paling penting yang juga menunjukkan oposisi Camp terhadap moralitas puritan.Yang lebih penting lagi, camp melibatkan sifat estetis dalam tiga hal : perspektif terhadap seni, perspektif terhadap hidup dan tendensi praktis terhadap benda atau orang. (Babuscio, 1977 : 119-120).
Seseorang yang berhaluan Camp akan melihat dunia dalam lensa Camp, sebuah lensa yang menyoroti ketidaklayakan atau penyimpangan sebagai sebuah pengalaman estetis. Menertawakan hal-hal yang pahit, merayakan cemoohan dan ketidaklayakan adalah cara seorang Camp menikmati hidup. Sebagai ‘other’ cara
33
itu justru lebih ampuh untuk mengenyahkan omongan-omongan negatif kaum dominan daripada menyerah pada nasib. Maka, menurut Babuscio, fitur being in palying role atau menganggap hidup bagaikan dalam layar pertunjukkan juga merupakan sarana Camp untuk social visibility. Penampilan mereka dalam peran lawan jenis adalah fitur being in a role playing yang semakin mengukuhkan semangat Camp kaum marjinal untuk being what-is not (menjadi apa yang bukan dilabelkan orang terhadap dirinya). Fitur terakhir Camp adalah humor, sarkasme dan sindiran merupakan alat dalam Camp untuk membalikkan cemoohan dan ejekan menjadi sebuah keunikan. Dari pemaparan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa baik Meyer, Newton atau pun Babuscio mendefinisikan Camp sebagai perilaku aktif atau proses dalam bentuk strategi yang dilakukan oleh agen queer (kaum transgender) untuk menampilkan diri ke dalam masyarakat (social visibility). Camp menunjukkan respon kritis dan politis kaum marjinal dalam menghadapi diskriminasi dan peng-‘other’-an oleh kaum dominan. Alih-alih pasrah dengan segala cibiran, cemoohan dan pelabelan negatif, kaum transgender justru mentransformasikan segala diskriminasi itu menjadi sebuah keunikan dan ‘normalitas’ ala mereka. Transformasi itu mereka lakukan dengan memanfaatkan strategi Camp yang akan diuraikan lebih lanjut dalam sub bab selanjutnya.
34
1.5.4
Beroperasi dari Balik Jubah Gaib Ala Camp Meyer menyatakan bahwa strategi Camp berprinsip sama dengan parodi.
Parodi yang dimaksud Meyer diambil dari idiom parodi Linda Hutcheon dalam teori posmodernismenya. Linda Hutcheon mendefinisikan parodi sebagai suatu bentuk tiruan atau imitasi yang di dalamnya mengandung unsur-unsur kritik. Parodi merupakan sebuah relasi bentuk atau struktural antar dua teks yang kemudian berpotensi untuk menghasilkan sebuah teks hibrid. Lahirnya teks hibrid dari kritik terhadap teks asli ini memiliki implikasi kultural dan bahkan ideologis. Dalam hal ini, parodi tidak dipahami hanya sebagai alat sindiran saja tetapi juga memiliki potensi untuk menyumbang pemikiran baru ke dalam dunia ilmu pengetahuan. Berdasarkan alasan bahwa parodi Linda Hutcheon dapat dimanfaatkan sebagai perantara bagi pemikiran baru itu lah Meyer menyatakan bahwa strategi Camp mempunyai cara kerja yang sama dengan parodi. Pemikiran Meyer yang juga diilhami oleh teori kekuasaan Foucoult dan strukturasi Giddens menganggap bahwa wacana marjinal berpotensi untuk menentang wacana dominan dengan cara melakukan parodi terhadap pengetahuan yang dianggap ‘asli’. Diasumsikan yang ‘asli’ adalah segala pengetahuan yang ditemukan dan telah dilegitimasi oleh kaum dominan (heteroseksual). Meyer mengatakan bahwa, Camp mengemuka sebagai strategi parodi queer mempunyai potensi analitik ideologis dan budaya, membawa makna baru yang berimplikasi pada munculnya teori kritik queer oposisional (Meyer, 1994: 8).
35
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, parodi dilakukan dengan cara meniru bentuk teks terdahulu atau dalam hal ini pengetahuan asli. Namun, proses peniruan itu bukan semata meniru pengetahuan yang asli secara mentah-mentah. Selalu ada kritik yang terselip dalam peniruan itu, baik yang diwujudkan dalam bentuk plesetan, penyimpangan atau sindiran terhadap teks terdahulu. Selanjutnya, hasil peniruan dengan kritik itu terkristal menjadi sebuah teks hibrid yang baru, yang mempunyai implikasi kultural atau ideologis dan mempunyai potensi untuk menjadi teks oposisi bagi yang asli. Begitu pula dalam strategi Camp, parodi merupakan satu-satunya cara agar suara kaum marjinal dapat terdengar oleh kaum dominan. Meyer menambahkan bahwa, Beroperasi dari balik jubah gaib, queer mengerti praktik mana saja yang telah dilegitimasi, dan queer secara otomatis tahu praktik yang dilakukannya akan; dan harus diterima. Sebagai produk agensi Queer, tugas Camp adalah menyeleksi dan memilih aspek queer mana saja yang akan ditampilkan ke dalam budaya dominan. (Meyer, 1994: 8-9).
Namun demikian, Meyer menggarisbawahi bahwa parodi yang dimaksud Meyer dalam teori Camp ini berbeda dengan apa yang telah dirumuskan Linda Hutcheon sebelumnya. Alih-alih menganggap parodi sebagai ‘form’ (bentuk) tiruan atau peleburan antara dua teks asli dan teks baru yang memuat kritik di dalamnya, Meyer lebih melihat konsep parodi tadi sebagai proses. Proses yang dimaksud adalah bagaimana agen queer meniru sebuah pengetahuan original dan menyelipkan sebuah penyimpangan sebagai bentuk kritik terhadap kaum dominan. Untuk memperjelas perbedaan itu, maka selanjutnya konsep parodi Linda Hutcheon tersebut akan dituliskan sebagai praktik parodi queer.
36
When parody is seen as process, not as form, then the relationship between texts becomes simply an indicator of the power relationships between social agents who wield those texts, one who possesses the “original,” the other who possesses the parodic alternative. (Meyer, 1994 : 9). Ketika parodi ditilik sebagai proses, dan bukan sebagai bentuk, maka keterkaitan antara kedua teks akan menjadi indikator hubungan kekuasaan antara agen sosial yang memegang kedua teks tersebut, mana yang ‘asli’, dan mana yang mempunyai alternati parodi. (Meyer, 1994 : 9).
Selanjutnya, Meyer menekankan bahwa peran agen queer tidak bisa dihapuskan dari wacana Camp. Transgender, sebagai salah satu agen queer adalah subjek yang berperan secara signifikan sebagai pelaku strategi Camp. Strategi Camp itu dilakukan dengan cara parodi Camp. Sementara, cara kerja Camp menurut Babuscio dan Newton adalah memandang segala sesuatu dari lensa Camp. Dalam lensa Camp, hidup diibaratkan sebagai sebuah pertunjukkan. Semua aktivitas dalam dunia Camp adalah performance. Maka, untuk menjalani kehidupannya, agen queer menampilkan aspek-aspek mana saja yang dapat mereka tampilkan sebagai kritik terhadap kaum dominan dan juga untuk menunjukkan social visibility mereka.
1.5.5
Strategi Camp untuk Social Visibility Strategi Camp yang akan disajikan dalam sub bab ini adalah rangkuman
yang telah disarikan dari pemikiran ketiga teoris yang telah peneliti sajikan dalam sub bab sebelumnya. Adapun, strategi-strategi Camp yang dilakukan oleh agen Queer adalah sebagai berikut.
37
1. 5.5.1 Parodi Camp Parodi Camp terhadap yang asli itu, menurut Meyer dapat dilakukan melalui peniruan dari sebuah pengetahuan tertentu yang telah wajar dan dilegitimasi dalam budaya dominan. Misalnya, strategi Camp dalam novel Hiding My Candy dilakukan oleh tokoh utama dengan ikut serta dalam kontes kecantikan khusus transgender. Kontes kecantikan merupakan ajang pencarian bakat yang lazim keberadaannya dalam tradisi kaum dominan. Para wanita cantik menjadi kontestan dan kriteria penilaian juri biasanya didasarkan pada brain, beauty dan behavior sang kontestan. Dalam novel, para transgender memparodikan kontes kecantikan itu dan alih-alih diikuti oleh para wanita ‘normal’, kontes kecantikan ini dikhususkan bagi kaum mereka. Penilaian juri pun didasarkan pada kriteria cantik, berbakat dan perilaku versi mereka sendiri. Artinya, dengan melakukan parodi, kaum transgender menyelipkan sebuah kritik dan bahkan menentang kaum dominan dengan mengatakan bahwa kaum transgender pun bisa menjadi cantik dan berprestasi dalam versi mereka sendiri. Parodi yang dilakukan oleh agen queer dengan mengambil suatu bentuk pengetahuan atau budaya asli dari kaum dominan merupakan upaya social visibilitydan pembentukan normalitas alternative ala Camp. Peniruan bentuk pengetahuan asli dilakukan dengan tujuan ‘appropriation’, maksudnya adalah bahwa kaum dominan akan familiar dengan bentuk tiruan yang dilakukan oleh
38
agen queer ini sehingga masyarakat dapat menerima keberadaan mereka melalui parodi tersebut yang kemudian mungkin akan dianggap sebagai sebuah hiburan, atau bahkan cibiran. Namun tanpa mereka sadari, ada muatan kritik dalam peniruan yang dilakukan oleh agen queer. Kritik yang disampaikan melalui media parodi tersebut mau tak mau pasti akan menimbulkan respon atau setidaknya kesan dalam benak penikmatnya. Meyer menyatakan, In that case, parody becomes the process whereby the marginalized and disenfranchised advance their own interests by entering alternative signifying codes into discourse by attaching them to existing structures of signification. Without the process of parody, the marginalized agent has no access to representation, the apparatus of which is controlled by the dominant order (Case 9). Camp, as specifically queer parody, becomes, then, the only process by which the queer is able to enter representation and to produce social visibility. (Meyer, 1994 : 9). Dalam hal ini, parodi menjadi sebuah proses dimana yang termarjinalkan dan tercabut hak memilihnya mengedepankan kepentingan mereka dengan cara memasuki kode penanda alternatif ke dalam sebuah wacana dengan melekatkannya ke dalam struktur tanda yang telah mapan. Tanpa proses parodi, agen marjinal tidak akan mempunyai akses terhadap representasi, aparatus yang dikontrol oleh tatanan dominan. Camp, sebagai parodi queer menjadi satusatunya proses yang dapat memasukkan queer ke dalam representasi untuk memproduksi visibilitas sosial. (Meyer, 1994 : 9).
1.5.5.2
Humor Camp Seperti namanya, strategi humor Camp yang mempunyai semboyanlaugh
in tears mengindikasikan tawa yang muncul dari sebuah tangis. Begitu banyak pelabelan negatif diterima oleh kaum marjinal, maka untuk menghadapi hal tersebut, strategi untuk mengubah cemoohan menjadi tawa adalah salah satu alasan yang membuat kaum marjinal tetap bertahan. Seperti halnya transformasi label queer sebagai identitas, suatu kata yang tadinya bermakna negatif dan
39
dimaksudkan
sebagai
olok-olok
terhadap
mereka,
ternyata
mereka
transformasikan sebagai sebuah keunikan. Tyson menyatakan dalam hal ini, “We’re not afraid to be seen,” “You don’t tell us who we are—we tell us who we are!”. “We’re here, we’re queer –get used to it!”. (Tyson, 2006 :334). And thus it’s a way of transforming victimhood into power (Tyson, 2006 : 331). “Kami tidak takut untuk terlihat,” “Kamu tidak mengatakan siapa kami—kami yang berhak mengatakan siapa kami!”. “Kami hadir, kami queer--- terbiasalah dengan hal itu!”. (Tyson, 2006 :334). Dan dengan demikian itulah cara untuk mengubah korban menjadi kekuatan (Tyson, 2006 :331).
Ungkapan di atas mewakili sikap kaum marjinal sebagai agen queer yang alih-alih menjadi korban dan pasrah atas pelabelan negatif oleh kaum dominan, justru menonjolkan label itu dengan cara mereka sendiri. Hal itu, sekaligus juga menghindarkan diri mereka dari sebutan objek dan korban (victimhood). Dengan mengubah perspektif pelabelan dari lensa berpikir kaum dominan ke lensa Camp, mereka bertransformasi sebagai subjek. Sebagai subjek, pelabelan apa pun yang akhirnya mereka sematkan akhirnya akan menyimbolkan sebuah kekuatan (power). Newton juga menyatakan bahwa humor adalah strategi Camp yang digunakan oleh agen queer untuk bertahan dari kekangan heteronormatif. Humor yang digunakan oleh agen queer ini pun bukan humor yang menyakiti orang lain. Humor yang mereka tampilkan justru adalah humor yang mengangkat keunikan atau dalam perspektif kaum heteroseksual ketidaklayakan (incongruity) dari kaum queer sendiri. Humor yang mencemooh diri sendiri menurut Newton akan
40
bertransformasi pula menjadi kekuatan tersembunyi untuk agen queer. Dengan menampilkan diri sebagai sesuatu yang seolah-seolah sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat heteroseksual, kemudian agen queer akan mendapatkan poin social visibility tanpa menyalahi tatanan ‘normatif’ yang telah ada. Newton mengatakan, Newton also suggests that the camp ideology is one that works to undermine the negatif connotations and marginality of being othered by society, through a specific brand of humor. Camp humor is, Newton maintains,“a system of laughing at one’s incongruous position instead of crying. That is,the humor does not cover up, it transforms.” (Newton, 1999 : 100). (Newton juga menyatakan bahwa ideologi Camp adalah suatu hal yang bekerja dengan cara meruntuhkan konotasi negatif dan marjinalitas dari praktik pengother-an oleh masyarakat, melalui sebuah brand spesifik dari humor. Humor Camp adalah ‘sistem tawa atas ketidaklayakan posisi seseorang dibanding menangisinya. Jadi, humor tidak menutupinya, tetapi bertaransformasi). (Newton, 1999 : 100).
Dalam perspektif queer parodi, apa yang dilakukan oleh agen queer dalam strategi humor Camp adalah juga sebuah peniruan terhadap pengetahuan asli yang telah dilegitimasi oleh masyarakat dominan. Sebagai bentuk penyimpangan, agen queer dapat menyelipkan kritik terhadap tatanan normatif dalam kemasan humor, misalnya dalam bentuk stand-up comedy. Selain mengolok-olok diri sendiri, agen queer yang melakukan stand-up comedy juga dapat menyelipkan kritikan sosial dalam bahan lawakannya. Humor, menurut Babuscio merupakan fitur terakhir Camp. Yang dimunculkan dalam humor camp adalah penyimpangan atau ketidaklayakan antara objek, orang, atau situasi dan konteksnya. Biasanya humor camp diwujudkan dalam bentuk penyampaian ironi, sarkasme dan sindiran yang
41
dimaksudkan sebagai kritik terhadap tatanan normatif. Namun, yang perlu digarisbawahi, menurut Babuscio, humor Camp selalu mengangkat isu yang menyangkut kehidupan kaum homoseksual sendiri sehingga secara otomatis tidak akan menyinggung kaum dominan dan tujuan social visibility juga akan tercapai. Humor, the last feature of camp, is also the result of a strong incongruity between an “object, person, or situation and its context.”This means that camp humor is often based on a kind of comic irony, one that can be identified as almost painful, but not so uncomfortable as to reduce the effect of the humor. Sarcasm and “bitter-wit” are means of dealing with the often-hostile environment faced by the gay population. So the camp humor is a metaphor for the humor that homosexuals employ in life. (Babuscio, 1977 : 112). (Humor, fitur terakhir camp .juga merupakan hasil dari penyimpangan antara objek, orang, atau situasi dan konteksnya. Artinya adalah bahwa humor camp biasanya muncul berdasarkan komik ironi, sesuatu yang bisa dicirikan sebagai hal yang hampir bersifat menyakitkan, tetapi tidak terlalu tidak nyaman untuk mengurangi efek humor. Sarkasme dan sindiran adalah media yang digunakan untuk menghadapi lingkungan yang seringnya tidak bersahabat dengan populasi gay. Jadi, humor camp adalah metafor yang digunakan oleh kaum homoseksual dalam hidupnya). (Babuscio, 1977 : 112).
1.5.5.3
Strategy of Posing (strategi dalam bersikap: gestur, kostum, gaya bicara) Menurut Meyer bentuk strategi posing dalam Camp dapat diwujudkan
dalam bentuk exaggerated gesture, dress and speech. Perumusan Meyer tentang strategi parodi queer ini terilhami dari tokoh Oscar Wilde, penulis yang juga dianggap sebagai icon klasik Camp. Ia dianggap sebagai agen queer (homoseksual) pertama yang dianggap sukses dalam mengupayakan social visibility. Dalam upaya meraih visibilitas sosial itu, Wilde menunjukkan identitas dan kualitas queer yang dimilikinya lewat exaggerated gesture, dress, speech dan textual (melalui karya sastra yang ditulisnya).
42
Oscar Wilde dikenal sebagai sosok yang unik, dan memiliki selera estetis tersendiri, yang kemudian dimaknai sebagai aestethicism (art for its own sake). Sekembalinya ia dari perjalanan studi banding ke Amerika pada tahun 1882, ia tiba-tiba saja meninggalkan aspek aestethicism tersebut dan memilih untuk menghidupkan kembali dandysm ala Balzac. Menurut Meyer, kedua aliran itu sejatinya merupakan upaya Wilde untuk menunjukkan aspek homoerotic desire dalam dirinya selaku penganut homoseksual. Meyer menyatakan, “Adalah Wilde yang mentransformasikan dandyism menjadi mediakehadiran hasrat homoerotik dan simbol seksual terdahulu, ia menawarkan versi baru yang berbeda jauh dari sebelumnya.(Meyer, 1994 : 85). Dandyism yang dianut Wilde ini ternyata tidak sama dengan dandyism ala Balzac. Dandyism Balzac menawarkan empat aspek signifying code yaitu posture, speech, gesture dan costume. Dalam konsep Balzac, kepribadian (interior) seseorang dapat dikenali dari ke empat aspek yang tampil di luar. Wilde mengadaptasi pemikiran Balzac dengan menambahkan pemikiran Delsarte yang mengemukakan teknik untuk memposisikan seseorang sebagai a living work of art (seni berjalan). Maka dandyism versi Wilde dirangkum menjadi penampilan dress, gesture and speech yang senantiasa memperhatikan fashion, kadang lintas gender dan menjunjung nilai-nilai seni yang tinggi. Dandyism ala Wilde memang sengaja dilebih-lebihkan dan memuat nilai-nilai kritik berupa penyimpangan terhadap norma maskulinitas dan heteroseksualitas yang berlaku saat itu. Jika ditarik analogi ke masa kini, apa yang dilakukan oleh Wilde dapat disamakan dengan apa
43
yang dilakukan oleh para pria metroseksual yang mengutamakan fashion dan penampilan lebih dari segalanya. Namun, yang menandai keberhasilan Wilde untuk menunjukkan identitas homoseksualnya bukan semata dari performance yang ia lakukan saja, ia mendapatkan label homoseksual dalam pengadilan ketika ia dituntut dalam perbuatan sodomi. Menurut Meyer, dalam perspektif Camp, dalam posisinya yang menjadi tersangka dan mendapat hukuman, justru keberhasilan Wilde untuk social visibility tampak nyata, karena ada publisitas besar-besaran oleh media yang menyebutnya sebagai homoseksual. Ia dianggap berhasil mengangkat identitas homoseksual ke dalam pengadilan yang mewakili lembaga dominan, yang kemudian melegitimasi untuk pertama kali identitasnya sebagai homoseksual. Yet, as I have outlined, the only visible aspects of the homosexual sign were Wilde’s own signifying codes of dress, gesture, and speech that were built upon and preserved as the signifier of the new identity. I suggest that the performance of these codes is what became known as “Camp,” a new word that appeared along with the identity during the years immediately following the trials, a word that was entered into J.Redding Ware’s 1909 slang dictionary and defined as “actions and gestures of exaggerated emphasis.” (Meyer, 1994 : 108). (Namun, saya telah menggarisbawahi, satu-satunya aspek yang dapat terlihat dari tanda homoseksual adalan kode penunjuk Wilde seperti kostum, gestur dan speech act yang dibangun sebagai penanda dari identitas baru. Saya menyatakan bahwa pertunjukkan kode-kode tersebut adalah apa yang kita sebut sebagai "camp", sebuah kata baru yang muncul seiring dengan identitas pada tahun-tahun menjelang proses peradilan, kata camp kemudian masuk ke dalam kamus slang J. Redding ware yang terbit tahun 1909 yang berarti aksi dan gestur dengan penekanan gaya yang dilebih-lebihkan). (Meyer, 1994 : 108).
Kata kunci dari strategi parodi queer untuk social visibility yang terkait dengan gesture, speech dan dress ini adalah being what is not, imitation dan exaggerating feature. Kaum marjinal, seperti halnya Wilde sebagai agen Queer atau kaum transgender menunjukkan penampilan, gaya bicara dan gestur yang
44
berbeda dari apa yang dianggap normal sebagai bentuk kritik mereka terhadap tatanan normatif. Gestur seorang The Doll dalam novel Hiding My Candy, contohnya, selalu luwes dan feminin, tidak menunjukkan bahwa ia sejatinya adalah seorang laki-laki. Gaya berbicaranya pun memiliki keunikan sendiri yang tidak sama dengan yang digunakan oleh orang lain. Apalagi jika ditilik dari kostum, The Doll tidak pernah memakai baju yang biasa, ia selalu mengenakan pakaian yang gemerlap atau beraksen bulu-bulu, yang juga bertujuan untuk menampilkan kualitas Camp.
1.5.5.4 Strategi Life in Performance (Hidup dalam Pertunjukkan) Strategi Camp berikutnya adalah life in performance. Maksud dari strategi ini adalah bahwa agen queer selalu memposisikan diri seakan berada dalam pertunjukkan. Mereka melakukan hal tersebut sebagai strategi situasi. Oleh karena pemosisian mereka dalam sistem masyarakat heteronormatif dikesampingkan, maka yang dapat mereka upayakan adalah menyesuaikan diri dengan situasi. Tampil dalam peran yang sengaja menyimpang dari apa yang diharapkan oleh masyarakat dominan adalah senjata yang mereka lakukan untuk social visibility. Maka mereka bermain peran lintas gender, menjadi apa yang bukan didiktekan normatif terhadap dirinya, dan hal itu lah yang mereka tonjolkan. Keunikan diri, penyimpangan dari norma heteronormatif dan peran yang ikonik adalah fitur-fitur Camp yang coba mereka tonjolkan.
45
Dalam hal ini, Newton menyatakan bahwa ada tiga karakteristik dari Camp yaitu incongruity (ketidaklayakan, teatrikal dan humor). Dalam karakteristik teatrikal, Newton menyatakan bahwa apa yang ditampilkan, misalnya oleh drag queen adalah incongruity (ketidaklayakan), berpenampilan feminin padahal ia berjenis kelamin laki-laki atau sebaliknya. Strategi bermain peran juga dapat dilakukan dengan menirukan gaya seorang artis terkenal, tetapi dengan melebih-lebihkan. Misalnya saja seorang drag queen yang meniru Madonna dan mengenakan bra di luar sebagai simbol penyimpangan atas tatanan normatif. By this logic, camp becomes a “strategy for a situation.”Newton defines camp as having three recurrent characteristics: “incongruity, theatricality, and humor. All three are intimately related to the homosexual situation and strategy. Incongruity is the subject matter of camp, theatricality its style,and humor is strategy.” (Newton, 1997 : 102). (Secara logis, camp menjadi strategi situasi. Newton mengatakan bahwa camp mempunyai tiga karakteristik yang muncul berulang-ulang: "ketidaklayakan, teatrikal, dan humor. Ketiga hal tersebut erat kaitannya dengan situasi dan strategi homoseksual. Ketidaklayakan adalah subjek camp, teatrikal adalah gaya, dan humor adalah strategi). (Newton, 1997 : 102).
Kritik yang termuat dalam strategi hidup dalam pertunjukkan adalah bahwa identitas gender seseorang bukanlah identitas terberi. Ketika drag queen dapat memodifikasi penampilan wanita hanya dari penampilan luar yang feminin, maka demikian juga identitas gender yang dapat diperoleh dengan upaya performatifitas. Hal ini sekaligus juga menggarisbawahi bahwa sebagai kaum marjinal, mereka mempunyai hak untuk menampilkan identitasnya dalam role playing yang mereka upayakan dalam keseharian mereka.
46
The gay world, via drag, says that sex-role behavior is an appearance; it is ‘outside.’ It can be manipulated at will.”More complexly, drag is a “double inversion” that states: although my sartorial surface reads as feminine, my interior “essence” is masculine. However, in the same instance drag also symbolizes the opposite inversion: “my appearance ‘outside’ [my body, my gender] is masculine but my essence ‘inside’ [myself] is feminine.” (Newton, 1997 : 98). (Dunia homoseksual, via drag, menyuarakan bahwa perilaku peran jenis kelamin dapat terlihat dari penampilan luar. Hal itu dapat dimanipulasi sesuka hati. Lebih kompleks lagi drag adalah inversi ganda yang sekaligus menyatakan : meskipun penampakan luar saya terlihat feminin, esensi interior saya adalah maskulin. Namun demikian, dalam situasi yang sama drag juga menyimbolkan inversi berlawanan: penampakan luar (tubuh saya, gender saya) adalah maskulin tetapi esensi dalam diri saya adalah feminine). (Newton, 1999 : 98).
Babuscio mengomentari strategi hidup dalam pertunjukkan ini sepenuhnya sebagai simbol kritik terhadap kaum borjuis. Ia menyatakan bahwa agen Camp melihat segala sesuatu sebagai performance. Apa yang mereka tampilkan dalam bentuk gesture, dress dan speech ditujukan untuk mendalami peran yang ia lakukan dalam kehidupannya bermasyarakat. Namun, peran yang mereka tampilkan bukan sembarang peran. Seperti halnya yang telah diulas oleh Newton, mereka berperan lintas gender dan menonjolkan unsur ketidaklayakan sebagai kritik Camp terhadap tatanan normatif. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa peran yang mereka tampilkan, misalnya sebagai drag queen dengan kualitas camp, bukanlah peran yang bisa dilepas manasuka. Peran di sini adalah peran konsisten yang terus menerus dilakukan dengan tujuan social visibility. Theatricality, the third feature of camp, is related to the belief in living life-astheatre, or “being versus role-playing, reality and appearance.” Camp sees everything as a kind of performance. Babuscio suggests thata “role” is the societal norm we are expected to play on a daily basis, our appropriate behavior depending on the place we occupy in society. (Babuscio, 1977 : 111).
47
(Teatrikal, fitur ke tiga camp terkait dengan keyakinan diri untuk hidup seperti dalam dunia teater, atau menjadi versus peran, reaita dan penampilan. Camp melihat segalanya sebagai sebuah pertunjukan). (Babuscio, 1977 : 111).
Babusico percaya bahwa peran yang ada dalam masyarakat selalu dilekatkan atas dasar tatanan normatif. Oleh karenanya, kaum homoseksual seringkali terpinggirkan karena dianggap tidak menaati norma peran seksual yang diharapkan oleh masyarakat. Menanggapi hal tersebut, strategi being in a role playing dalam Camp justru menantang label negatif masyarakat tersebut dengan berperan sebagai yang menyimpang (being what-is-not). The very theatricality of “passing for straight,” is also inherent to camp’s love of the being-what –it-is-not. It is camp’s mimicry of such gender stereotypes that draws attentuon to their very social construction. (Babuscio, 1977 : 111). (Yang sangat teatrikal mengenai mempertunjukkan kepada kaum heteroseksual, juga menjadi sifat camp yang suka tampil dalam peran yang salah (menjadi sesuatu yang tidak dikehendaki masyarakat). Hal itu adalah bentuk peniruan camp atas salah satu stereotipe gender yang menarik dalam konstruksi sosial mereka). (Babuscio, 1977 : 111).
1.6
Metode Penelitian
1.6.1
Metode Pengumpulan Data Metodologi yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup langkah-
langkah pengumpulan data, klasifikasi data, pemilihan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan. Langkah pertama yang berupa pengumpulan data dilakukan dengan cara menentukan data primer dan sekunder. Data primer berasal dari objek material penelitian yaitu novel Hiding My Candy karya Lady Chablis.
48
Sementara itu, objek formal dalam penelitian ini adalah strategi Camp yang akan dianalisis dengan menggunakan acuan teori Camp Moe Meyer. Data sekunder nantinya diperoleh dari buku-buku teori pendukung seperti buku the Politics and Poetics of Camp karya Moe Meyer, jurnal-jurnal penelitian, dan buku teori pelengkap lain yang dapat menunjang topik penelitian. Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian adalah melakukan studi pustaka dan melakukan pembacaan intens terhadap novel untuk menghasilkan korpus data yang akan digunakan dalam penelitian. Korpus data yang dimaksud berupa keseluruhan narasi cerita dan dialog-dialog, pikiran tokoh yang terangkum dalam novel. Isi cerita dan dialog yang digunakan sebagai korpus data meliputi kata-kata, kalimat dan paragraf yang mengandung unsur strategi Camp transgender dalam menghadapi kekangan masyarakat heteronormatif. Selain itu, korpus data juga diperoleh dari isi cerita yang menunjukkan tujuan pengarang dalam merepresentasikan strategi Camp dalam novelHiding My Candy. Selanjutnya, klasifikasi data dilakukan dengan melakukan identifikasi korpus data yang menunjukkan bagaimana cara tokoh berstrategi dalam masyarakat. Selain itu, identifikasi korpus data yang menunjukkan tujuan pengarang untuk menampilkan fitur strategi Camp juga dilakukan oleh penulis. Klasifikasi data tersebut dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek teoretis berikut: 1. Strategi parodi Camp 2. Strategi humor Camp; laughter in tears(tawa dalam tangis)
49
3. Strategy of posing (strategi dalam bersikap) 4. Strategi life in performance (hidup dalam pertunjukkan) 5. Kebertahanan transgender melalui social visibility 6. Pemberdayaan transgender 7. Wacana Normalitas alternatif ala Camp
1.6.2
Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Landasan teori akan digunakan untuk menganalisis tokoh, interaksi antar tokoh dan latar belakang tokoh dalam melakukan strategi Camp lewat narasi dan dialog dalam novel. Konsep Camp Moe Meyer yang menjadi acuan penelitian akan digunakan untuk menguraikan tujuan pengarang dalam memasukkan strategi Camp dalam novel Hiding My Candy. Selain itu, buku, artikel, jurnal, atau data lain yang terkait dengan fokus penelitian juga akan dijadikan acuan dalam menganalisis data.
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I adalah pendahuluan
yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika
50
penulisan. Bab II dan Bab III merupakan bagian analisis dalam penelitian dan akan berisi jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dituliskan sebelumnya dalam bagian rumusan masalah. Bentuk-bentuk strategi Camp transgender yang diupayakan oleh tokoh akan diuraikan dalam bab II. Sementara bab III menjabarkan analisis mengenai tujuan pengarang dalam memasukkan fitur strategi Camp dalam novel Hiding My Candy. Bab IV adalah bab penutup yang akan berisi kesimpulan dari hasil penelitian.
