BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Luka perineum didefinisikan sebagai adanya robekan pada jalan lahir maupun karena episotomi pada saat melahirkan janin. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya. Perineum adalah merupakan bagian permukaan pintu bawah panggul, yang terletak antara vulva dan anus. Perineumterdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis (Wiknjosastro, 2007). Di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus robekan (ruptur) perineum pada ibu bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2020, seiring dengan bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik dan kurang pengetahuan ibu tentang perawatan
mandiri ibu di rumah (Hilmi dalam
Bascom, 2010). Di Amerika dari 26 juta ibu bersalin, terdapat 40% mengalami rupturperineum (Heimburger dalam Bascom, 2011). Di Asia masalah robekan perineum cukup banyak dalam masyarakat, 50% dari kejadian robekan perineum di dunia terjadi di Asia. Prevalensi ibu bersalin yang mengalami robekan perineum di Indonesia pada golongan umur 25-30 tahun yaitu 24%, dan pada ibu umur 32-39 tahun sebesar 62% (Campion dalam Bascom, 2011). Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama kematian ibu di Indonesia. Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada hampir setiap persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Sebagai akibat persalinan terutama pada seorang primipara, biasa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam, akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak (Prawirohardjo, 2009). Hasil studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bandung, yang melakukan penelitian dari tahun 2009-2010 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum akan meninggal dunia dengan proporsi 21,74% (Siswono dalam Bascom, 2011 ). Penelitian Sleep et al dalam Boyle (2009), menunjukkan bahwa episiotomi rutin yang dilakukan tidak bermanfaat bagi ibu dan bayi, dan bahkan menyebabkan banyak komplikasi potensial pada ibu. Temuan ini tidak hanya diterima di Inggris, tetapi juga diuji oleh pengujian Internasional (Carroli dan Belizan dalam Boyle, 2009). Garcia et al dalam Boyle (2009), menemukan bahwa dari total 1951 kelahiran spontan pervaginam, 57% ibu mendapat jahitan; 28% karena episiotomi dan 29% karena robekan. Episiotomirutin tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan : meningkatnya jumlah darah yang hilang dan risiko hematoma, sering meluas menjadi laserasi derajat tiga atau empat dibandingkan dengan laserasi derajat tiga atau empat yang terjadi tanpa episiotomi, meningkatnya nyeri pasca persalinan, dan meningkatnya risiko infeksi. Paradigma pencegahan, episiotomi tidak lagi dilakukan secara rutin karena dengan perasat khusus, penolong persalinan akan mengatur ekspulsi kepala, bahu dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi atau hanya
Universitas Sumatera Utara
terjadi robekan minimal pada perineum.Masalah ini didukung dengan SK 786/Menkes/SK/VII/1999, tentang Pelaksanaan Asuhan Persalinan Normal (APN) (JNPK-KR, 2012). Episiotomi dapat dilakukan atas indikasi/pertimbangan pada persalinan pervaginam pada penyulit (sunsang, distosia bahu, ekstraksi cunam, vakum), penyembuhan ruptur perineum tingkat III-IV yang kurang baik, gawat janin, dan perlindungan kepala bayi prematur jika perineum ketat/kaku (Saifuddin, 2004). Dampak dari terjadinya ruptur perineum pada ibu antara lain infeksi pada luka jahitan, dan dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir sehingga dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi pada jalan lahir. Selain itu juga dapat terjadi perdarahan karena terbukanya pembuluh darah yang tidak menutup sempurna.Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu postpartum mengingat kondisi ibu postpartum masih lemah (Manuaba, 2007). Pada masa nifas asuhan kebidanan lebih ditujukan kepada upaya pencegahan (preventif) terhadap infeksi, karena pada akhir hari kedua nifas kuman-kuman di vagina dapat mengadakan kontaminasi, tetapi tidak semua wanita mengalami infeksi oleh karena adanya lapisan pertahanan leukosit dan kuman-kuman relatif tidakvirulenserta penderita mempunyai kekebalan terhadap infeksi(Prawirohardjo, 2009).Salah satu upaya preventif untuk menurunkan angka kejadian infeksi pada ibu nifas dengan melakukan perawatan luka perineum. Perawatan perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
Universitas Sumatera Utara
mencegah kontaminasi dengan rektum, menangani dengan lembut jaringan luka, membersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau (Saifuddin, 2005) Smeltzer (2002), menyatakan bahwa penyembuhan luka perineum dapat di pengaruhi oleh nutrisi yang adekuat, kebersihan, istirahat, posisi, umur, penanganan jaringan, hemoragi, hipovolemia, edema, defisit oksigen, penumpukan drainase, medikasi, overaktifitas, gangguan sistemik, status imunosupresi, stres luka. Pernyataan yang serupa oleh Johnson & Taylor, (2005),bahwa faktor yang dapat memengaruhi penyembuhan luka perineum diantaranya status nutrisi, merokok, penambahan usia, obesitas, diabetes mellitus (DM), kortikosteroid, obat-obatan, gangguan oksigenasi, infeksi, dan stress luka. Berdasarkan penyataan Morison (2004), bahwa ada dua macam penyembuhan luka yaitu Intensi Primer dan Intensi Sekunder. Secara Intensi Primer yaitu jaringan granulasi yang dihasilkan, sangat sedikit. Dalam waktu 10-14 hari re-epitelialisasi secara normal sudah sempurna, dan biasanya hanya menyisakan jaringan parut tipis, yang dengan cepat dapat memudar dari warna merah muda menjadi putih. Sedangkan secara Intensi Sekunder terjadi pada luka-luka terbuka, dan terdapat kehilangan jaringan yang signifikan. Umur merupakan faktor resiko terjadi penyakit dan masalah kesehatan yang tidak dapat diubah (Rajab, 2009). Penambahan usia akan berpengaruh terhadap semua fase penyembuhan luka sehubungan dengan adanya gangguan sirkulasi dan koagulasi, respon inflamasi yang lebih lambat dan penurunan aktifitas fibroblas (Johnson & Taylor, 2005). Hasil penelitian Rezeki (2012),didapatkan tidak ada
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang signifikan faktor umur, penyakit yang diderita, status obstetri, kondisi luka jahitan, lingkar lengan atas, besar luka jenis luka dan lama hari rawat dengan penyembuhan luka perineum. Pada masa postpartum, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh karena itu, kebersihan diri (personal hygiene) sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Kebersihan tubuh, pakaian, tempat tidur, dan lingkungan sangat penting untuk tetap dijaga. Saat ibu mandi bersihkan seluruh tubuh sampai ke perineum dengan memakai sabun. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk membersihkan daerah disekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, kemudian membersihkan daerah sekitar anus (Saleha, 2009). Hasil
penelitian
Kurnianingtyas
(2009)
menyatakan
bahwa
tingkat
penyembuhan luka perineum sedang yaitu 92,8% sembuh di hari ke 6., dan ada hubungan yang signifikan antara perilaku
responden melakukan vulva hygiene
dengan tingkat penyembuhan luka perineum pada ibu nifas. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian Mariyatul (2006), bahwa kecepatan penyembuhan luka perineum dapat di pengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu nifas. Budaya akan mempengaruhi penyembuhan perineum, misalnya kebiasaan tarak (pantang makan) telur, ikan dan daging ayam, akan mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat mempengaruhi penyembuhan luka (Dayu, 2012). Di daerah Jawa, pantangan makanan pada masa kehamilan dan masa nifas, seperti pantangan makan-makanan yang setengah matang dan daging kambing, karena tidak baik bagi kesehatan sang ibu dan bayi, karena daging kambing bersifat panas. Menurut
Universitas Sumatera Utara
beberapa ibu-ibu yang bersuku Minang, perawatan ibu postpartum menurut budaya Minang meliputi: penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh), pemanasan batu bata (duduk di atas batu bata), meletakkan bahan-bahan alami di atas perut ibu (tapal), minum jamu dari bahan rempah-rempah, membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih (Nurazizah, 2010) Di daerah Aceh berdasarkan sumber informasi dari orangtua setempat bahwa ibu-ibu dalam masa nifas tidak boleh keluar rumah selama 40 hari, pantang makan antara lain telur, ayam, daging, ikan besar seperti tuna (lebih sering diberikan teri kering di goreng), nenas, pepaya, pisang, mangga, kangkung, sawi, terong, mie, dan sayuran lebih sering direbus, jika duduk ibu harus dengan posisi bersimpuh, dan dilarang banyak jalan karena akan mengakibatkan perut jatuh, tidak boleh makan pedas dan bersantan, dilarang banyak makan dan minum, juga harus banyak istrahat dan tidur. Berdasarkan penelitian Mas’adah (2009), terdapat hubungan antara kebiasaan berpantang makanan tertentu dengan penyembuhan luka perineum pada ibu nifas. yaitu mengalami penyembuhan luka perineumnya buruk 50%. Data tersebut sesuai dengan teori bahwa semakin baik konsumsi nutrisi semakin baik penyembuhan luka perineum karena makanan yang memenuhi syarat gizi dapat mempercepat penyembuhan luka (Manuaba, 2007). Menurut Iskandar (2006) dalam Suparyanto (2010) bahwa tarak atau pantangan makanan adalah kebiasaan, budaya atau anjuran yang tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu misalnya sayuran, buah, ikan dan
Universitas Sumatera Utara
biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik. Sesungguhnya budaya pantang makan sangat merugikan ibu, karena masa nifas merupakan masa pemulihan kesehatan ibu. Bila kekurangan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh maka kemungkinan ibu akan kekurangan gizi, akibatnya dapat terkjadi penyembuhan luka lambat, anemia, ASI kurang dan sebagainya Dukungan keluarga merupakan bagian dari seseorang untuk untuk dapat berbuat kearah negatif atau positif, hal ini sesuai dengan pernyataan Green dalam Notoadmojo (2010) tentang faktor reinforcing (penguat) yaitu faktor yang pendorong atau memperkuat seseorang melakukan tindakan antaranya dukungan keluarga, dan dukungan petugas. Menurut Cohen & Syme dalam Prasetyamati (2011), menyatakan bahwa dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu, diperoleh dari oranga lain yang dapat dipercaya sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya. Pernyataan ini didukung oleh Friedman (2010), dukungan keluarga merupakan bagian integral dari dukungan sosial. Dampak
positif dari dukungan keluarga adalah meningkatkan
penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam keluarga. Data dari Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen tahun 2011, terdapat ibu nifas sebanyak 7.466 orang, namun data tentang luka perineum ibu nifas belum ada pelaporan atau catatan yang lengkap dari setiap Puskesmas. Salah satu penyebabnya adalah karena lemahnya sistem pemantauan, pencatatan dan pelaporan petugas kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan ibu masa bersalin dan nifas.Dari Dinas Kesehatan taksiran mengalami robekan perineum sebanyak 1.864 orang.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan survey awal di 3 Puskesmas wilayah kota Bireuen dari bulan Oktober-Desember 2012 diketahui bahwa jumlah ibu bersalin sebanyak 447 orang, dan terdapat luka pada perineum karena episiotomi dan robekan spontan sebanyak 98 orang. Menurut petugas kesehatan untuk angka kejadian infeksi puerperium (infeksi masa nifas) tidak ada catatan tertulis, tetapi dari jumlah ibu nifas tersebut ada terdapat 9 orang mengalami penyembuhan luka diatas 10 hari yaitu luka belum tertutup (belum kering). Apabila ada kejadian tersebut bidan desa segera merujuk ke Puskesmas. Dari uraian diatas sebagai latar belakang maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktor yang memengaruhi penyembuhan luka perineum pada ibu pasca persalinan normaldi wilayah kerja puskesmas Jeumpa, Gandapura, dan Kutablang Kabupaten Bireuen. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang dapat memengaruhi penyembuhan luka perineum pada ibu pasca persalinan di wilayah kerja puskesmas Jeumpa, Gandapura, dan Kutablang Kabupaten Bireuen.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh faktor
umur,
kebersihan, budaya, dan dukungan keluarga terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu pasca persalinan normal.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Hipotesis Ada pengaruh faktorumur, kebersihan, budaya, dan dukungan keluarga terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu pasca persalinan normal.
1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, supaya dapat lebih memperhatikan tentang pentingnya pelayanan pada ibu nifas di rumah, serta untuk masukan dalam menentukan kebijakan operasional dan strategi yang efisien sebagai upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu pasca persalinan. 2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas, untuk lebih meningkatkan peran petugas dalam memberikan asuhan masa nifas di rumah pada ibu dengan luka perineum sesuai dengan peran dan tanggungjawab bidan.
Universitas Sumatera Utara