BAB II LETTER OF CREDIT BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP SYARIAH
A.
Tinjauan Umum Tentang Letter of Credit
1.
Letter Of Credit Pada Umumnya
Letter of Credit atau yang biasa disingkat dengan L/C bukanlah merupakan suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri. L/C lahir dari adanya perjanjian lain, biasanya jual beli barang jarak jauh antara penjual dan pembeli yang belum saling mengenal dengan baik, bahkan tidak pernah bertemu sebelumnya. Perjanjian atau kontrak inilah yang menjadi dasar lahirnya L/C. Menurut
C.F.G.
Sunaryati
Hartono,
secara
harfiah
L/C
dapat
diterjemahkan sebagai Surat Hutang atau Surat Piutang atau Surat Tagihan, tetapi sebenarnya L/C lebih merupakan suatu janji akan dilakukannya pembayaran, apabila dan setelah terpenuhinya syarat-syarat tertentu. 74 Sementara, UCP mengatakan bahwa L/C adalah janji dari bank penerbit untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atas penyerahan dokumen-dokumen (misalnya konosemen, faktur, sertifikat asuransi) yang sesuai dengan persyaratan L/C. Inti dari pengertian L/C menurut UCP ialah bahwa L/C merupakan ”janji pembayaran.” Bank penerbit melakukan pembayaran kepada penerima baik 74
Ramlan Ginting, Op.cit, hal.15
Universitas Sumatera Utara
langsung ataupun melalui bank lain atas instruksi pemohon yang berjanji membayar kembali kepada bank penerbit. 75 Ketentuan tentang L/C diatur dalam Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP) International Chamber of Commerce (ICC) Pulication No.600 pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut: ”The Uniform Customs and Practce for Documentary Credits, 2007 Revision,ICC Publication No.600 (UCP) are rules that apply to any documentary Credit (credit) including, to the extent to which they may be applicable, any standby letter of credit when the text of the credit expressli indicates that it is subject to this rules.they are binding on all parties thereto unless expressly modified or excluded by the credit” 76 L/C berdasarkan fungsi, terdiri dari 2 (dua) klasifikasi yaitu L/C sebagai alat pembayaran dan L/C sebagai alat penjaminan. Sebagai alat pembayaran., L/C memberi rasa aman kepada pihak penerima, sedangkan sebagai alat penjamin, L/C memberi rasa aman kepada pihak terjamin.L/C sebagai alat pembayaran dapat dilaksanakan jika semua dokumen yang telah diminta L/C telah dipenuhi penerima, sebaliknya L/C sebagai alat penjaminan dapat dilaksanakan jika pelaksanaan kontrak dasar yang dijamin L/C tidak dapat dilakukan oleh pihak yang terjamin. 77 Lebih jelas berikut ini diuraikan keuntungan masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan L/C sebagai berikut: 1. Bagi
pembeli/pembuka
L/C,
dengan
menggunakan
sarana
L/C,
kepentingannya akan terjamin, karena ia akan memperoleh kepastian dalam 75
Ibid Uniform Customs and practice for Documentary Credit (UCP),2007 Revision,ICC Publication No.600 77 Ibid 76
Universitas Sumatera Utara
penerimaan barang yang dibelinya sesuai yang dipersyaratkan dalam L/C (jumlah/jenis barang/kualitas, waktu pengapalan/penyerahan, harga dan dokumen-dokumen), sepanjang semua persyaratan L/C dipenuhi oleh beneficiary. Dengan demikian pembeli benar-benar terjamin kepentingannya karena memiliki hak untuk menolak membayar dan atau menolak untuk menerima barang apabila persyaratan dalam L/C tidak dipenuhi. 2. Bagi penjual/beneficiary, dengan menggunakan sarana L/C ia akan terjamin kepentingannya,
karena
ia
akan
memperoleh
kepastian
penerimaan
pembayaran atas barang yang dijualnya, sepanjang ia dapat memenuhi semua persyaratan yang diminta dalam L/C. 3. Bagi bank pembuka L/C (opening bank),dengan L/C bank akan terjamin keamanannya karena uang telah dan atau akan dibayarkan kepada eksportir melalui korespondennya (negotiating bank) akan dapat diterima kembali dari pembuka L/C (pembeli), sepanjang semua persyaratan L/C telah dipenuhi. 4. Bagi negotiating bank, dengan L/C bank akan terjamin keamanannya karena uang yang telah/akan dibayarkan kepada beneficiry/penjual akan dapat diterima kembali dari opening bank, sepanjang semua persyaratan L/C dipenuhi. 78
78
Tjarsim Adisasmita,Op.cit, hal.32
Universitas Sumatera Utara
2. Independensi L/C Terhadap Kontrak Dasar Secara hukum L/C merupakan perjanjian yang terpisah (independen) dari kontrak dasarnya, yaitu kontrak (perjanjian) pembelian dan perjanjian pembukaan L/C itu sendiri. Namun demikian eksistensi L/C sangat tergantung pada adanya kedua kontrak dasar tersebut, sebab perjanjian L/C tidak mungkin ada tanpa adanya kontrak penjualan dan perjanjian pembukaan L/C. Dengan kata lain. Kontrak penjualan merupakan dasar penerbitan permintaan pembukaan L/C, dan penerbitan pembukaan L/C menjadi dasar bagi perjanjian L/C itu sendiri. Independensi L/C terhadap kontrak dasarnya dapat dilihat dari ketentuan UCP 600 pada artikel 4 yang berbunyi sebagai berikut: ”a credit by its nature is a separate transaction from the sale or other contract on which it may be based. Banks are in no way concern with or bound by such contract, even if any reference whatsoever to it is included in the credit. Consequently, the undertaking of a bank to honour, to negotiate or to fulfil any other obligation under the credit is not subject to claims or defences by the applicant resulting from its relationships with the issuing bank or the beneficiary...” Independensi L/C dapat dilihat dari realisasinya yang hanya berkaitan dengan pemenuhan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C. Secara hukum apabila pelaksanaan kontrak penjualan tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka L/C tetap harus dilaksanakan. Sepanjang semua dokumen yang dipersyaratkan L/C dapat dipenuhi oleh penerima, maka bank penerbit atau kuasanya wajib membayar L/C tersebut, walaupun barang yang menjadi objek dalam perjanjian dasar(kontrak penjualan) tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam kontrak
Universitas Sumatera Utara
penjualan tersebut. Mengenai hal ini, UCP 600 secara tegas menyatakan pada artikel 5: ”Banks deal with documents and not with goods, services or performance to which the documents may relate.” Ketentuan artikel 5 tersebut mencerminkan bahwa bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen, sedangkan barang-barang, pelayanan maupun performa yang mungkin berhubungan dengan dokumen itu sendiri, tidak menjadi urusan bagi bank yang bersangkutan.
3. Pihak-pihak yang terkait dengan transaksi L/C Pihak-pihak yang terkait dengan transaksi L/C diatur dalam pasal 2 UCP 600 tentang definisi, yaitu: 1. Applicant Applicant/pemohon/pembuka
L/C
adalah
pihak
yang
meminta
dan
memerintahkan kepada bank untuk membuka L/C untuk keuntungan penerima L/C (beneficiary/penjualbarang/eksportir). Dalam perintah kepada bank untuk membuka L/C, pemohon menyatakan bertanggungjawab untuk membayar dokumen sepanjang semua persyaratan yang tertera di dalam L/C dipenuhi. 2. Opening Bank Opening/issuing Bank yaitu bank yang membuka L/C untuk kepentingan beneficiary (penerima L/C). Di dalam L/C dicantumkan persyaratan yang diminta oleh pembuka, persyaratan mana harus dipenuhi oleh beneficiary (penerima L/C).
Universitas Sumatera Utara
3. Advising Bank Advsing Bank adalah bank yang menerima dan meneruskan L/C kepada beneficiary 4. Beneficiary Beneficiary (penerima L/C) adalah penjual/eksportir yang diberi hak untuk menarik sejumlah uang yang tertera dalam L/C dengan memenuhi semua persyaratan yang diminta. 5. Negotiating Bank Negotiating Bank adalah bank yang mengambil alih dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C. Menegosiasi/mengambil alih adalah membayar terlebih dahulu kepada beneficiary atas dokumen yang disyaratkan dalam L/C dan kemudian menagih (mereimburs) kepada bank pembuka L/C dengan mengirimkan dokumen yang telah diambil alih. 6. Confirming Bank Confirming Bank adalah bank yang ikut menjamin terhadap suatu L/C atas permintaan atau otorisasi dari issuing bank. 79
4. Mekanisme Letter of Credit Adapun mekanisme transaksi menggunakan sarana L/C sebagai berikut: 1. Eksportir / penjual/ beneficiary menandatangani kontrak jual beli (sales contract) dengan pembeli/importir luar negeri. 79
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP),2007 Revision, ICC Publication No.600
Universitas Sumatera Utara
2. Importir /pembeli/account meminta kepada banknya (bank devisa) untuk membuka suatu L/C untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor seperti keharusan adanya surat ijin impor, maka bank melakukan kontrak valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening/issuing bank. Pembukaan L//C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di laur negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara kedua ini disebut sebagai
advising bank atau notifying bank.
Advising bank memberitahukan kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut. Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary. 3. Eksportir menghubungi instansi terkait dalam rangka pengiriman/pengapalan barang dan pengurusan perijinan serta dokumen-dokumen yang diperlukan. 4. Eksportir menerima konosemen (Bill of Lading) setelah menyerahkan barang ke Carrier. 5. Eksportir menyerahkan dokumen yang disyaratkan dalam L/C (Wesel,Faktur, Konosemen/Airway bill, Certificate of Origin, Certificate of Quality,dll) kepada negotiating bank. 6. Bank membayar kepada eksportir setelah melakukan pemeriksaan dokumen yang diserahkan oleh eksportir, bahwa semua persyaratan L/C dipenuhi (tidak ada discrepancy)
Universitas Sumatera Utara
7. Bank dalam negeri (sebagai negotiating bank) mengirimkan dokumen ke bank pembuka L/C di luar negeri dan menginstruksikan untuk membayar dan mentransfer pembayaran kepada bank yang ditunjuk. 8. Bank di luar negeri memeriksa dokumen dan menyerahkannya kepada importir untuk mengambil barang di pelabuhan tujuan. Penyerahan dokumen dilakukan setelah importir memenuhi kewajibannya. 80 5. Klasifikasi Letter of Credit Menurut Ramlan Ginting, berdasarkan fungsinya L/C terdiri dari 2(dua) klasifikasi yaitu L/C sebagai alat pembayaran dan L/C sebagai alat penjaminan. Sebagai alat pembayaran, L/C memberi rasa aman kepada penerima, sedangkan L/C sebagai alat penjamin, L/C memberi rasa aman bagi pihak terjamin. L/C sebagai alat pembayaran dapat dilaksanakan jika semua dokumen yang diminta L/C telah dipenuhi oleh penerima. Sebaliknya L/C sebagai alat penjamin dapat dilaksanakan jika kontrak dasar yang dijamin L/C tidak dapat dilakukan oleh pihak yang dijamin. 81 a. L/C Sebagai Alat Pembayaran Terdiri Dari: 1. Irrevocable L/C Irrevocable L/C adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan selama jangka berlaku (validity) yang ditentukan dalam L/C tersebut dan opening bank tetap menjamin untuk menerima wesel-wesel yang ditarik atas L/C tersebut. Pembatalan hanya dapat dilakukan jika atas persetujuan semua pihak yang 80 81
Tjarsim Adisasmita,Op.Cit, hal.34 Ramlan Ginting, op.cit,hal 36.
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan dengan L/C tersebut. 82 Dalam UCP 600, hanya dikenal L/C jenis ini sebagaimana tertera pada pasal 2 tentang definisi: ”Credit means any arrangement, however named or described, that is irrevocable and thereby constitutes a definite presentation.” 83 2. Revocable L/C Revocable L/C adalah L/C yang sewaktu-waktu dapat dibatalkan atau diubah secara sepihak oleh opener atau oleh issuing bank tanpa memerlukan persetujuan dari beneficiary. 3. Irrevocable dan confirmed L/C L/C ini dianggap paling sempurna dan paling aman dari sudut penerima L/C (beneficiary) karena pembayaran atau pelunasan wesel yang ditarik atas L/C ini dijamin sepenuhnya oleh opening bank maupun oleh advising bank, bila segala syarat-syarat dipenuhi, serta tidak mudah dibatalkan karena sifatnya yang irrevocable. 4. Confirmed L/C Adalah
L/C
yang
atas
permintaan
Bank
pembuka
L/C
dibubuhi
konfirmasi/penegasan dari bank lainnya yang ditunjuk (confirming bank), penegasan mana menyatakan bahwa bank tersebut ikut bertanggungjawab untuk membayar dokumen yang diserahkan sepanjang seluruh persyaratan L/C dipenuhi. Confirming bank akan membubuhkan kalimat ”we confirm the
82 83
http://wikipedia.org/wiki/letter of credit Tjarsim Adisasmita,Op.cit, hal.36
Universitas Sumatera Utara
credit and hereby undertake that all draft drawn and presented will be honored” dalam L/C yang diadviskan ke beneficiary. 5. Clean Letter of Credit Dalam L/C ini tidak dicantumkan syarat-syarat lain untuk penarikan suatu wesel. Artinya, tidak diperlukan dokumen-dokumen lainnya, bahkan pengambilan uang dari kredit yang tersedia dapat dilakukan dengan kuitansi biasa. 6. General L/C Adalah L/C yang dapat dinegosiasi di bank mana saja, biasanya terdapat dalam klausul ”this credit can be negotiated at any bank in Indonesia”. 7. Restricted L/C Restricted L/C adalah L/C yang hanya dapat dinegosir oleh bank tertentu yang ditunjuk dalam L/C, biasanya terdapat klausul ”this credit negotiable with bank A only” atau ”negotiation of this credit is restricted to bank A” 8. Sight Payment L/C Sight Payment L/C adalah L/C yang mensyaratkan adanya penyerahan sight draft dan dokumen yang disyaratkan. UCP tidak mengatur lebih lanjut mengenai sight payment L/C ini. Jika bank penerbit menerbitkan sight payment L/C, maka bank penerus diisntruksikan untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
pembayaran kepada penerima seketika (at sight) pada saat pengajuan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C. 84 9. Usance L/C Usance L/C adalah L/C yang mensyaratkan adanya penyerahan wesel berjangka (usance draft) dan dokumen yang disyaratkan dalam L/C. Bank penerbit L/C akan melakukan akseptasi pada wesel berjangka sepanjang semua persyaratan L/C dipenuhi dan akan melakukan pembayaran pada waktu jatuh tempo wesel (on maturity date) berjangka tersebut. Dalam wesel biasanya tertera kalimat”pay at 60 days after B/L date”, atau kalimat serupa yang menunjukkan kapan wesel tersebut harus dibayar. 85 Usance L/C disebut juga dengan acceptance L/C. UCP tidak mengatur mekanisme pembayaran dengan akseptasi. Pada prakteknya akseptasi dilakukan atas wesel berjangka yang ditarik oleh penerima. Akseptasi atas wesel berjangka berarti jaminan pembayaran pada saat jatuh tempo. 86 10. Negotiation L/C UCP memberikan batasan pengertian negotiation berikut ini: Negotiation means the purchase by the nominated bank of drafts (drawn on a bank other than the nominated bank) and/or documents under a complying presentation, by advancing or agreeing to advance fund to the beneficiary on or before the banking day on which reimbursement is due to the nominated bank. 87
84
Ramlan Ginting, Op.cit, hal.39 Tjarsim Adisasmita, Op.cit, hal.37 86 Ramlan Ginting, Op.cit, hal.40 87 UCP No.600, artikel 2 85
Universitas Sumatera Utara
Dari ketentuan UCP tersebut diatas dapat diartikan bahwa negotiation L/C adalah L/C yang pembayarannya dengan cara membeli wesel dan/atau dokumen-dokumen yang diajukan penerima.Tujuan negosiasi adalah untuk memberi kesempatan kepada bank untuk menegosiasi (membeli) wesel dan atau dokumen-dokumen dari penerima dan kemudian mengajukannya kepada bank penerbit untuk memperoleh pembayaran sesuai dengan persyaratan L/C. Penerima dapat pembayaran segera dan bank penegosiasi dijanjikan untuk memperoleh pembayaran dari bank penerbit sepanjang diajukan dokumendokumen sesuai dengan persyaratan L/C. 88 11. Transferable L/C pengertian transferable L/C terdapat dalam pasal 38 huruf b UCP 600 yang berbunyi sebagai berikut: ”transferable credit means a credit that spesifically states it is transferable. A transferable credit may be made available in whole or in a part to another beneficiary (second beneficiary) at the request of the beneficiary (first beneficiary). Dengan demikian transferable L/C memberikan hak kepada beneficiary untuk memindahkan atau menguasakan haknya kepada pihak lain (beneficiary kedua) 12. Red clause L/C Red clause L/C ini termasuk jenis-jenis L/C yang tidak diatur dalam UCP namun berkembang dalam praktek.
88
Ramlan Ginting, Op.cit, hal.41
Universitas Sumatera Utara
Red Clause L/C adalah L/C yang mengandung syarat bahwa beneficiary diberi hak untuk menerima sebagian atau seluruh jumlah L/C sebelum pengiriman barang (dibayar dimuka). 89 fasilitas pembayaran dimuka dilakukan dengan penyerahan kuitansi biasa atau dengan penarikan wesel tanpa memerlukan dokumen lainnya, sedangkan sisanya dilaksanakan seperti dalam hal L/C pada umumnya. 90 13. Revolving L/C Revolving L/C juga termasuk salah satu jenis L/C yang tidak diatur dalam UCP. Revolving L/C adalah L/C yang memberikan hak kepada beneficiary untuk memakai ulang kredit yang tersedia tanpa harus mengadakan perubahan syarat khusus pada L/C tersebut. Misalnya untuk jangka waktu enam bulan, kredit tersedia setiap bulannya US$ 1.200, berarti secara otomatis setiap bulan (selama enam bulan) kredit tersedia sebesar US$ !.200, tidak persoalan apakah jumlah itu dipakai atau tidak. 91 14. Back to Back L/C Adalah L/C yang dibuka berdasarkan dan dijamin dengan L/C yang diterima (master L/C). Semua persyaratan yang tertera dalam back to back L/C (jumlah, jenis dan kualitas barang, pelabuhan tujuan serta jenis-jenis dokumen dll) sama dengan persyaratan yang diminta dalam master L/C, kecuali harga yang tertera dalam wesel dan faktur tidak sama. 92 Dalam L/C ini, penerima
89
Tjarsim Adisasmita, Op.cit, hal 38. http://wikipedia.org/wiki/letter of credit 91 Ibid. 92 Tjarsim Adisasmita, Op.cit. 90
Universitas Sumatera Utara
(beneficiary) biasanya bukan pemilik barang, tetapi hanya perantara. Oleh karena itu, penerima L/C ini terpaksa meminta bantuan banknya untuk membuka L/C untuk pemilik barang yang sebenarnya dengan menjaminkan L/C yang diterimanya dari luar negeri. 93
b. L/C Sebagai Alat Penjaminan 1. Standby L/C Adalah jaminan yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan pemohon (applicant) untuk menjamin kepentingan beneficiary bahwa apabila pihak yang dijamin wan prestasi maka bank penerbit akan membayarnya atas beban pemohon. 94 2. Demand Guarantee Demand guarantee adalah jaminan yang dibayar berdasarkan pengajuan dokumen-dokumen tertentu kepada
bank, gunanya menjamin kewajiban
penerima dan pemohon. Pembayaran demand guarantee bukan disebabkan adanya wan prestasi atas kontrak dasar,tetapi pembayaran dilakukan atas dasar pengajuan klaim dilengkapi persyaratan formal dari demand guarantee itu sendiri. 95
93
http://wikipedia.org/wiki/letter of credit Tjarsim Adisasmita, Op.cit. 95 Ramlan Ginting, Op.cit, hal.54. 94
Universitas Sumatera Utara
B. L/C Menurut Hukum Islam
1. L/C Sebagai Salah Satu Bentuk Akad Dalam Hukum Islam
L/C merupakan perjanjian yang dalam konteks hukum Islam dinamakan akad, dan akad termasuk dalam lapangan muamalat. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Al Quran dan sunnah Rasul. 96 Jadi sepanjang tidak ada larangan dalam al Quran maupun dalam sunnah Rasul, segala bentuk muamalat diperbolehkan, karena hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. 97 Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa L/C merupakan perjanjian yang mubah hukumnya, yaitu boleh dilaksanakan selama memenuhi syarat dan rukun akad, serta dalam pelaksanannya tidak mengandung halhal yang diharamkan. Akan tetapi mekanisme transaksi L/C impor maupun L/C ekspor yang merupakan salah satu jasa perbankan dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Penentuan biaya pelaksanaan L/C yang kurang transparan dan adanya unsur bunga demi keuntungan bank terkait pemberian fasilitas pinjaman bagi importir yang tidak mempunyai dana yang cukup di bank merupakan suatu hal yang bertentangan dengan konsep muamalat. Maka untuk memenuhi prinsip bermuamalat tersebut, dan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk penerapan prinsip syariah 96
KH. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal.15 97 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam kegiatan bisnis, termasuk dalam perdagangan internasional kemudian muncul L/C dalam perbankan syariah yang berbasis hukum syariah. 98 L/C yang syar’i haruslah memenuhi prinsip-prinsip muamalat. KH. Ahzar Basyir mengemukakan prinsip-prisip muamalat sebagai berikut: 99 1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Al quran dan Sunah rasul. Berdasarkan prinsip ini maka dalam perjanjian L/C Syariah hukumnya adalah mubah atau boleh, namun apabila dalam perjanjian L/C tersebut mengandung hal-hal yang dilarang maka hukumnya menjadi haram. 2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Berdasarkan prinsip ini maka dalam perjanjian L/C harus diperhatikan kebebasan kehendak pihak-pihak yang bersangkutan. Pelanggaran terhadap kebebabasan kehendak berakibat tidak dapat dibenarkannya perjajian L/C tersebut. 3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup masyarakat. Berdasarkan prinsip ini maka L/C haruslah memberi manfaat kepada para pihak dalam perjanjian, yaitu memberikan rasa aman pada beneficiary bahwa ia akan memperoleh kepastian pembayaran demikian pula sebaliknya, pembeli (importir) mendapatkan
98
Alamsyah, Eksistensi Letter http://www.badilag.net. 99 KH.Ahzar Basyir, Op.Cit, hal.16.
Of
Credit
dan
Permasalahan
Hukumnya,
Universitas Sumatera Utara
kepastian akan penyerahan barang-barangnya dan pihak bank memperoleh manfaat berupa keuntungan dari upah yang ditentukandalam perjanjian L/C. 4. Muamalat
dilaksanakan
dengan
memelihara
unsur-unsur
keadilan,
menghindari unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Misalnya dalam perjanjian L/C, bank tidak boleh mengambil keuntungan yang berbentuk riba yang memberatkan pembuka L/C, sebagai contoh apabila importir pembuka L/C tidak mampu membayar L/C nya dalam jangka waktu yang ditentukan, maka hutang tersebut diubah menjadi bentuk kredit yang pembayarannya menggunakan bunga yang tidak ditentukan sebelumnya di awal perjanjian. Apabila hal ini terjadi maka L/C tersebut tidak dapat dibenarkan secara syariah karena mengandung unsur penindasan. Menurut Syed Nawab Heidar Naqwi, prinsip-prinsip ekonomi Islam meliputi: 100 1. Tauhid Tauhid adalah asas filsafat ekonomi Islam yang menjadi orientasi dasar dari ilmu ekonomi dan praktek bank syariah. Nilai-nilai Tauhid ini harus diaplikasikan dalam berbagai praktek transaksi ekonomi Islam, termasuk perjanjian L/C. Dengan aplikasi tauhid dalam perjanjian L/C, maka para pihak harus berkeyakinan bahwa perjanjian yang mereka buat bukan hanya bertendensi duniawi namun juga ukhrawi, sehingga masing-masing pihak dalam perjanjian dituntut tanggungjawabnya untuk melaksanakan hak dan 100
Muhamad, Aspek Hukum dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal.82.
Universitas Sumatera Utara
kewajibannya, karena dengan dilandasi tauhid tentunya para pihak sadar bahwa Allah juga menjadi saksi atas perjanjian yang mereka buat bersama. 2. Keseimbangan Prinsip keseimbangan dalam ekonomi menuntut para pelaku ekonomi untuk meyakini bahwa setiap transaksi yang mereka buat memiliki fungsi sosial. Demikian dengan perjanjian L/C harus berdampak bagi kemaslahatan para pihak pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan proses pelaksanaan L/C yang syar’i dan profesional, diharapkan mampu mendorong laju ekspor impor yang tentunya menguntungkan bagi negara, karena dengan perdagangan yang saling menguntungkan, akan meningkatkan utility (manfaat) bagi pihak-pihak yang terlibat. 3. Kehendak Bebas Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar manusia meyakini bahwa Allah telah menganugerahkan manusia untuk berfikir dalam memilih jalan yang baik atau yang buruk. Dalam melakukan kegiatan ekonomi, tentunya banyak pilihan yang dapat ditempuh untuk mencari keuntungan, apakah dengan jalan yang halal, syubhat, maupun haram. Manusia telah dibekali Allah SWT akal fikiran untuk memutuskan bagi dirinya sendiri akan menempuh jalan yang terbaik. Demikian halnya dengan perjanjian L/C, para pihak dituntut untuk lebih berhati-hati menilai L/C yang syar’i, yang tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah.
Universitas Sumatera Utara
2. Klasifikasi L/C Berbasis Syariah Dalam ranah pembahasan L/C berbasis syariah dikenal dua jenis L/C yaitu L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah. Pengaturan kedua jenis L/C tersebut hanya berupa Fatwa Dewan Pengawas Syariah, yaitu Fatwa Dewan Pengawas Syariah Nasional No.34/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah dan Fatwa Dewan Pengawas Syariah Nasional No.35/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah. Berdasarkan Fatwa Dewan Pengawas Syariah MUI No.34/DSN-MUI /IX/2002 tentang L/C Impor Syariah, yang dimaksud dengan L/C Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan syarat tertentu sesuai dengan prisip syariah. Sedangkan L/C Ekspor Syariah menurut Fatwa Dewan Pengawas Syariah MUI No.35/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
3. Dasar Hukum L/C Syariah Berdasarkan fatwa Dewan Pengawas Syariah No.34/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 35/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah ,dasar hukum L/C Syariah adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Firman Allah QS. Nisa (4):29: ”Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta saudaramu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling rela diantara kalian...” 2. Firman Allah QS. Al Maidah (5) :1: ” Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” 3. Firman Allah QS. Al Kahfi (18) ;19: ” Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini. Dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan yang lebih baik bagimu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun..” 4. Firman Allah QS Yusuf (12):55: ”Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” 5. Firman Allah QS Al Baqarah (2): 283: ”...Maka jika sebagian kamu mempercayai sebahagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya...” 6. Firman Allah QS. Al Qashash (28): 26 ” Salah seorang dari kedua wanita itu berkata :”Hai ayahku ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dipercaya.” 7. Firman Allah QS. Yusuf (12):72: ” Penyeru-penyeru itu berseru : Kami kehilangan piala raja, dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) unta, dan aku menjamin terhadapnya.” 8. Firman Allah QS. Al Baqarah (2):275: ”...Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
Universitas Sumatera Utara
9. Firman Allah QS. Shad (38):24: ”...dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini...” 10. Hadist Nabi SAW riwayat at Thabrani dari Ibn Abbas: Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya, agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasululullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas). 11. Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib: Nabi bersabda: ”Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jejawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” 12. Hadis Nabi Riwayat ’Abd ar Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Said al Khudri, Nabi SAW, bersabda: ”Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” 13. Hadis Nabi Riwayat Dawud dan Al-Tirmidzi: Nabi SAW menyerahkan satu dinar kepada Hakim bin Hizam untuk membeli hewan qurban. 14. Hadis Nabi Riwayat Tirmidzi dari ’Amr bin Auf: ” Perjanjian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 15. Kaidah Fiqh: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Universitas Sumatera Utara
16. Kaidah Fiqh : ”Dimana terdapat kemaslahatan disana terdapat hukum Allah.” 17. Kaidah Fiqh : ” Kesulitan dapat menarik kemudahan.” 18. Kaidah Fiqh : ” Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” 19. Kaidah Fiqh : ”Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).
4.
Beberapa Kontrak/Akad Yang Berkaitan Dengan L/C Syariah a. Wakalah
Pengertian wakalah
Secara etimologi wakalah berasal dari kata ”wakil” yang artinya menjaga. Pengertian tersebut diambil dari firman Allah: ”Wa qaalu hasbunallahu wa ni’mal wakiil” yang artinya:”Maha Suci Allah Dialah yang memberikan segala nikmat dan Allah adalah sebaik-baik wakil.(QS, Ali Imran:173). Kata wakil disini berarti Al Hafizh: Yang Menjaga” 101
wakalah juga dapat diartikan tafwiidh, yaitu
mempercayakan, menyerahkan mandat atau menjadikan wakil. Dengan mewakilkan sesuatu urusan kepada seseorang, maka orang yang diwakili akan merasa cukup
101
HM.Hasballah Thaib, Op.cit, hal.91.
Universitas Sumatera Utara
dengannya, pengertian ini diambil dari firman Allah dalam QS Hud:56 yang berbunyi: ’Inni tawakkaltu ’alallahi rabbi wa rabbikum’, yang artinya sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. 102 Ada dua definisi yang dikemukakan para ahli fikih tentang wakalah. Menurut ulama mazhab Hanafi, al wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain yang bertindak sebagai wakil. Sementara menurut ulama mazhab Syafi’i, al wakalah yaitu pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang bisa diwakilkan kepada orang lain selagi ia hidup. Ungkapan ’selagi dia hidup’ dalam definisi mazhab Syafi’i menunjukkan ada perbedaan antara al wakalah dengan wasiat. 103 Menurut Abu Bakar Jabir El-Jazairi, al wakalah adalah mewakilkan seseorang atas wewenangnya dalam hal yang dibolehkan untuk diwakilkan, seperti dalam jual beli dan lain-lainnya. 104 Menurut naskah akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang disusun oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada pasal 516 menyatakan bahwa ijin dan persetujuan sama dengan pemberian kuasa untuk bertindak sebagai penerima kuasa. Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam mengartikan wakalah sebagai mewakilkan seseorang atas wewenangnya dalam hal yang dibolehkan untuk diwakilkan, seperti dalam jual beli dan lain-lain. 105 102
Ibid Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hal.1911 104 Abu Bakar El-Jazairi, Op.cit, hal.102. 103
Universitas Sumatera Utara
Hukum Wakalah Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.10/DSN-MUI/IV/2000 yang menjadi dasar hukum wakalah adalah:
1. Firman Allah QS. Al Kahfi (18):19: ”Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka:’sudah berapa lamakah kamu berada (disini)? Mereka menjawab:’kita sudah berada disini satu atau setengah hari.” berkata yang lain lagi: Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu disini. Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekalikali menceritakan halmu kepada seseorangpun.” 2. Firman Allah dalam QS. Yusuf (12):55 tentang ucapan yusuf kepada Raja: ”Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” 3. Firman Allah QS.al-Baqarah (2):283: ”...maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...” 4. Firman Allah QS.Almaidah (5):2: ”Dan tolong menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.” 5. Hadis-hadis Nabi, antara lain: ”Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah ra.”(HR. Malik dalam Muwaththa’) 105
Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, op.cit, hal.102.
Universitas Sumatera Utara
”Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untu menagih hutang kepada beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk menanganinya. Beliau bersabda;”biarkan dia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara,” lalu sabdanya, ”Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta seumur setahun seperti untanya (yang dihutang itu).” mereka menjawab, ”kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.” Rasulullah kemudian bersabda:”berikanlah kepadanya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). ”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ’Amr bin ’Auf). 6. Ijma’ umat Islam atas bolehnya wakalah, bahkan memandangnya sebagai sunnah, karena hal itu termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang diperintahkan oleh al Qur’an dan Hadis. 7. Kaidah fiqh: ”Pada dasarnya semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Menurut Persepakatan Ulama dalam hukum Islam, hukum wakalah adalah boleh, berdasarkan Al Quran dan Sunnah. 106 Demikian pula pendapat Abu Bakar El Jazairi yang menyatakan bahwa menurut ijma umat, wakalah adalah jaiz dan masyru’ (disyariatkan). 107
106 107
Persepakatan Ulama dalam HUkum Islam, Op.cit, hal.102. Abu bakar El-Jazairi, Op.cit, hal.783.
Universitas Sumatera Utara
Berakhirnya Wakalah Ulama fikih menyatakan bahwa akad al wakalah dianggap berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut: 108 1. Wakil diberhentikan oleh orang yang mewakilkannya. Dalam hal ini ulama mazhab hanafi mengemukakan beberapa syarat dalam memberhentikan wakil tersebut, yaitu (a) wakil mengetahui bahwa tugasnya dicabut, baik secara lisan maupun tulisan; (b)dalam perwakilan itu tidak ersangkut hak orang lain, seperti perwakilan dalam menjual harta yang digadaikan untuk membayar utang orang yang diwakilkan. Dalam kasus ini, orang yang mewakilkan tidak boleh mencabut wakilnya kecuali atas seijin orang yang mempunyai piutang. 2. Orang yang mewakilkan melakukan suatu tindakan hukum terhadap objek yang telah diwakilkan. 3. Tujuan yang ingin dicapai dari pewakilan telah tercapai atau dengan kata lain masa perwakilannya telah berakhir. 4. Salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) berubah status menjadi tidak cakap bertindak hukum seperti gila atau dikenakan status dibawah pengampuan. 5. Salah satu pihak (wakil) atau yang mewakilkan meninggal dunia. 6. Orang yang mewakilkan itu, menurut ulama mazhab hanafi, keluar dari agama Islam (murtad), maka perjanjian perwakilan menjadi batal dengan sendirinya. 7. Wakil murtad. Menurut ulama mazhab maliki perwakilan yang demikian batal, akan tetapi menurut ulama mazhab syafi’i, hanafi dan hambali, perwakilan tidak batal. 8. Wakil mengumumkan pengunduran dirinya sebagai wakil dan diketahui oleh yang mewakilkan. 9. Hilangnya barang yang menjadi objek perwakilan. 10. Barang yang menjadi objek perwakilan tidak lagi menjadi milik yang mewakilkan. 11. Orang yang mewakilkan jatuh pailit. 12. Terjadinya penipuan oleh masing-masing pihak. Hal ini dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i. 13. Munculnya tindakan sewenang-wenang dari masing-masing pihak terhadap objek yang diwakilkan. Hal ini dikemukakan oleh mazhab Syafi;i dan Hambali.
108
Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hal.1915
Universitas Sumatera Utara
14. Menurut ulama mazhab Syafi’i dan hambali, perwakilan akan berakhir apabilawakil menjadi orang yang fasik dalam hal akad yang mensyaratkan wakil tidak fasik. 15. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri masa perwakilan. Larangan Dalam Wakalah
Abu Bakar Jabir El Jazairi berpendapat mewakilkan jual beli kepada orang kafir dilarang karena dikhawatirkan akan melakukan yang haram, begitu pula seorang muslim tidak diperbolehkan menjadi wakil orang kafir, karena dikhawatirkan si kafir akan merasa lebih unggul daripadanya. 109 Mengenai larangan mengadakan perjanjian wakalah dengan orang kafir juga diperkuat oleh Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam 110
Ketentuan Wakalah Fatwa Dewan Syariah Nasional no.10/DSN-MUI/IV/2000 memberikan ketentuan tentang wakalah: 1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). 2. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Wakalah juga harus diatasnamakan kepada orang yang memberi kuasa, hal ini dapat dilihat dari naskah akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 525 ayat (2):
109 110
Abu Bakar Jabir El Jazairi, Op.cit, hal.102. Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
” jika transaksi tersebut diatas tidak merujuk untuk diatasnamakan kepada orang yang memberikan kuasa, maka transaksi itu tidak sah.” Wakalah juga harus dilaksanakan sendiri oleh penerima kuasa, sebagaimana terdapat dalam naskah akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 531 ayat (1): ” seseorang yang telah ditunjuk sebagai penerima kuasa untuk suatu masalah trertentu, tidak berhak menunjuk yang lain sebagai penerima kuasa tanpa izin yang memberikan kuasa.” Rukun dan Syarat Wakalah Adapun rukun dan syarat wakalah dinyatakan pada bagian kedua Fatwa Dewan Syariah Nasional No.10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, yaitu: 1. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan), adalah: a. Harus pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan. b. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. 2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili) a. Cakap hukum. b. Dapat mengejakan tugas yang diwakilkan kepadanya. c. Wakil adalah orang yang diberi amanat. 3. Hal-hal yang diwakilkan a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili. b. Tidak bertentangan dengan syariat Islam. c. Dapat diwakilkan menurut syariat Islam. Perjanjian pembukaan L/C pada bank syariah pada prisipnya merupakan perjanjian (akad) al wakalah, dimana nasabah menunjuk bank sebagai wakil dalam hal pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor hingga urusan
pembayaran
kepada beneficiary (penerima L/C). Secara sederhana prinsip ini dapat terlaksana apabila nasabah memiliki dana cukup dan membayar lunas tepat waktu sehingga
Universitas Sumatera Utara
proses L/C selesai dan bank memperoleh keuntungan berupa upah atau fee atau ujrah yang sudah disepakati bersama sejak awal perjanjian, dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase. Sehingga terdapat kejelasan upah atau keuntungan yang diperoleh bank melalui akad wakalah. Tetapi dalam praktek tidak selalu proses L/C berjalan sederhana seperti itu, seringkali nasabah tidak mempunyai cukup dana sehingga akad wakalah yang ada menjadi lebih kompleks, sehingga akad yang dipergunakan dalam perjanjian L/C dikembangkan dalam berbagai bentuk akad. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Fatwa Dewan Pengawas Syariah MUI No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah pada bagian pertama tentang Ketentuan Umum huruf kedua yang berbunyi: ”L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: wakalah bil ujrah, Murabahah, Salam/Istishna’ Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah. Sedangkan untuk L/C Ekspor Syariah Fatwa Dewan Pengawas Syariah MUI No. 35/DSN-MUI/IX/2002 menyatakan pada bagian pertama tentang Ketentuan Umum huruf kedua: “L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akadakad:Wakalah bil Ujrah, qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al Bai’”
b. Murabahah Pengertian Murabahah Menurut beberapa kitab fiqih, murabahah adalah salah satu dari bentuk jual beli yang bersifat amanah. Pelaksanaan akad murabahah adalah berdasarkan harga barang dimana harga asli pembelian si penjual yang diketahui pembeli dan
Universitas Sumatera Utara
keuntungan si penjual pun diberitahu kepada pembeli. Dalam transaksi murabahah ini tidak ada tawar menawar sebagaimana jual beli musawwamah. 111 Menurut Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, yang dimaksud dengan akad murabahah adalah: 112 ”transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli”. Dalam keuangan Islam, dimana jalur kredit berbunga dilarang, jalur kredit alternatifnya adalah murabahah, yang menggunakan jual beli barang dengan kenaikan harga sebagai keuntungan dimasukkan ke dalam harganya. Tambahan marjin laba tersebut dapat mencakup apa saja yang dipilih penjual untuk dimasukkan ke dalam harga, tanpa harus dipersoalkan atau diperlukan pembenaran. 113 Mengenai hal ini, empat Mazhab sepakat membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga menjadi komponen biaya. Para ulama empat azhab ini juga sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang semestinya dilakukan oleh penjual. Pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu memang harus dikerjakan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan tersebut dilakukan sendiri oleh penjual, maka menurut ulama mazhab Maliki, tidak boleh dimasukkan sebagai komponen
111 112
HM.Hasballah Thaib,Op.cit, al.121. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah,Direktorat Perbankan Syariah Bank
Indonesia,2008. 113
Frank E.Vogel, Samuel L.Hayes,III,Op.cit,hal 34.
Universitas Sumatera Utara
biaya, sedangkan ketiga ulama mazhab lainnya membolehkan. Para ulama empat mazhab ini sepakat bahwa pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna tidak diperbolehkan. 114 Murabahah merupakan salah satu bentuk muamalah yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. 115
Dasar Hukum Murabahah
1. Firman Allah QS An Nisa(4):29: ”Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu...” 2. Firman Allah QS.al Baqarah(2) :275: ...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” 3. Firman Allah QS.al Maidah (5):1: ”Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...” 4. Firman Allah Qs al Baqarah (2):280: ”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai ia berkelapangan...”
114 115
Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal.114. Ibid, hal.113.
Universitas Sumatera Utara
5. Hadis-hadis Nabi: Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR.al-Baihaqi dan Ibnu Majah,dan dinilai shahih oleh Ibnu hiban).
Nabi bersabda:”ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib)
Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalakan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ’Amr bin ’Auf)
”Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah kezaliman...”(HR. Jama’ah)
”Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”(HR.Nasa’i Abu dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
”Rasulullah ditanya tentang ’urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.” (HR.’Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam).
6. Ijma mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara murabahah 7. Kaidah fiqh: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Murabahah Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan umum murabahah dalam bank syariah adalah: 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharaman oleh syariat Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalah gunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank. Ketentuan murabahah kepada nasabah: 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank. 2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli) nya sesuai dengan perjanjian yangtelah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontak jual beli. 4. Dalam jual beli inibank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika kemudian nasabah menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6. Jika uang muka kurang dari keruian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak ’urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
Universitas Sumatera Utara
a) b)
jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Rukun dan Syarat Murabahah Rukun-rukun murabahah terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5.
Ba’i, yaitu penjual (pihak yang memiliki barang) Mustari, yaitu pembeli (pihak yang akan membeli barang) Mabi’, yaitu barang yang akan diperjualbelikan Tsaman yaitu harga Ijab qabul, yaitu pernyataan timbang terima. 116
Sedangkan syarat-syaratnya adalah: 117 1. Pihak yang berakad yaitu ba’i dan musytari harus cakap hukum atau balig (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela). Abu Bakar Jabir El Jazairi menambahkan untuk penjual haruslah pemilik harta barang yang dijualnya atau orang yang diberi kuasa untuk menjualnya. 118 2. Khusus untuk Mabi’ persyaratannya harus jelas dari segi sifat, jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram. 3. Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula sistem pembayarannya, semuanya ini dinyatakan di depan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis. Aplikasi akad murabahah dalam perjanjian L/C adalah, bank bertindak sebagai pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi, namun pengurusan dokumen serta pembayaran dilakukan oleh bank. Setelah barang diterima dan menjadi milik bank, maka bank menjual kembali barang tersebut kepada
116
Hasballah Thaib, Op.cit, hal.125. Ibid. 118 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.cit, hal.40. 117
Universitas Sumatera Utara
importir dengan pembayaran tunai atau cicilan. Dalam hal ini, untuk keuntungan bank maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
c. Salam Pengertian salam Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2000 yang dimaksud dengan salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan terlebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu. Di dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah terdapat pengertian akad salam, yaitu transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebh dahulu secara penuh.
Dasar Hukum Salam 1. Firman Allah QS. Al Baqarah (2):282: ”Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...” 2. Firman Allah QS. Al-maidah(5):1: ”Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...” 3. Hadis Nabi SAW ”Dari Abu Sa’id Al- Khudri bahwa Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. Al Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Universitas Sumatera Utara
”Barangsiapa melakukan salaf (Salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui.” (HR.Bukhari) ”Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman...”(HR.Jama’ah) ”Menunda-nunda ( pembayaran ) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” ”Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali pedamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmzi dari ’Amr bin ’Auf) 4. Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (Ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Disamping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat.
5. Kaidah fiqh: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Ketentuan Salam Ketentuan tentang salam diatur oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang salam sebagai berikut: Ketentuan tentang pembayaran: 1. Alat bayar harus diketahui bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. 3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan tentang barang: 1. 2. 3. 4.
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang L/C Impor Syariah, aplikasi perjanjian L/C dengan menggunakan akad salam adalah : 1. Bank melakukan akad salam atau istishna’ dengan mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut. 2. Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank. 3. Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan. 4. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
d. Istishna’
Pengertian Istishna’ Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 yang dimaksud dengan istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mushtashni’) dan penjual (pembuat, shani’). Pengertian sejalan juga terdapat dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang menyatakan istishna’ sebagai transaksi jual beli barang dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah muajjal. Perbedaannya, jual beli murabahah barangnya diserahkan di muka, sedangkan pembayarannya dilakukan secara cicilan, sedangkan pada jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun pembayarannya sama-sama dilaksanakan secara cicilan. Perbedaan antara kedua akad tersebut terletak pada waktu penyerahan barang. 119 Adapun perbedaan istishna’dengan salam adalah dalam hal pembayaran. Pada akad istishna’ pembayaran dilakukan secara cicilan, sedangkan pada akad salam pembayaran dilakukan secara tunai.
Dasar Hukum Istishna’ 1. Hadis Nabi: ”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalan yang haram.”(HR.Tirmizi dari ’Amr bin ’Auf). ”Tidak boleh membahayakan diri sediri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah, daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri). 2. Kaidah Fiqh: ”Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
119
Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal.126.
Universitas Sumatera Utara
3. Pendapat Ulama Menurut Mazhab Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.
Ketentuan tentang Istishna’
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000 tenang jual beli istishna’ telah menetapkan ketentuan tentang istishna’ sebagai berikut: Ketentuan tentang pembayaran: 1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. 3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. Ketentuan tentang barang: 1. 2. 3. 4.
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli (Mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan. 7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tdak sesuai denan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Ketentuan Lain: 1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
Universitas Sumatera Utara
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula pada jual beli istishna’ 3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Aplikasi jual beli istishna’ dalam perjanjian L/C sama dengan penerapan akad salam sebagai mana telah disebutkan di atas. e. Mudharabah Pengertian Mudharabah Mudharabah atau disebut juga qiradh menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No 07/DSN-MUI/IV/2000 adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahib al-mal,LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (’amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha bagi mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah memberikan definisi mudharabah sebagai berikut: Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Selanjutnya Kodifikasi Produk Perbankan Islam membagi mudharabah menjadi:
Universitas Sumatera Utara
1. Mudharabah muthlaqah, yaitu mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintan pemilik dana. 2. Mudharabah muqayyadah, yaitu mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana. Mudharabah terdiri dari dua unsur penting yaitu produksi dan usaha berupa dana dan kerja, dimana salah satu pihak memiliki dana yang cukup namun tidak memiliki keahlian maupun kesempatan untuk mengelola dana tersebut, sementara pihak lain memiliki potensi untuk melakukan usaha namun terbentur pada ketiadaan dana. Oleh karena itu, mudharabah termasuk dalam kategori bekerja, dimana kerja adalah salah satu sebab sah seseorang untuk memperoleh harta. Berdasarkan hal ini, maka pengelola dalam perjanjian mudharabah berhak memiliki harta yang merupakan hasil keuntungan dari transaksi mudharabah karena kerjanya, yang besarnya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 120
Dasar Hukum Mudharabah 1. Firman Allah QS An Nisa’ (4):29: ”Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu...” 2. Firman Allah QS. Al Maidah (5):1: ”Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...” 3. Firman Allah QS Al-Baqarah (2):283:
120
HM.Hasballah Thaib, op.cit, hal.114.
Universitas Sumatera Utara
”...Maka, jika sebagian kau mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah...” 4. Firman Allah QS Al Jumu’ah(62):10: ”Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) tuanmu...” 5. Hadis-hadis Nabi SAW: ”Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas). ”Nabi SAW bersabda:”Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jejawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”(HR.Ibnu Majah dari Shuhaib). ”Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan yang menghalalkan yang haram.”(HR.Tirmizi dari ’Amr bin ’Auf) ”Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari abu Sa’id al-Khudri) ”Sesungguhnya orang-orang yang mengelola harta Allah dengan tidak benar, maka bagi mereka api neraka di hari kiamat.” (HR.Bukhari) Rukun dan Syarat Mudharabah Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah: 1. Pelaku yaitu orang yang mengadakan akad, terdiri dari pemilik modal (shahibul mal) dan pelaksana usaha (mudharib). 2. Objek mudharabah (modal dan kerja). 3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan kabul).
Universitas Sumatera Utara
4. Nisbah (keuntungan) 121 syarat mudharabah: 1. Syarat untuk orang yang mengadakan akad adalah cakap bertindak hukum. 122 Pihak yang melakukan usaha dalam mudharabah harus memiliki keterampilan yang diperlukan dalam mengelola usaha. 123 2. Syarat modal yang digunakan dalam mudharabah: harus berupa barang, uang, dan atau barang yang berharga, modal harus diserahkan kepada pihak yang berusaha (mudharib), dan jumlah modal dalam mudharabah harus dinyatakan dengan pasti. 124 3. Syarat untuk keuntungan adalah: keuntungan hasil usaha antara shahibul mal dengan mudharib dinyatakan secara jelas dan pasti.125
Adapun fitur dan mekanisme akad mudharabah di bank syariah sebagai berikut: 126 1. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya; 2. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah, antara lain 121
Adiwarman A. Karim,Op.cit, hal.204. HM.Hasballah Thaib, Op.cit,hal.117. 123 Naskah Akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 218. 124 HM.Hasballah Thaib,Loc.cit. 125 Naskah Akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal.220 126 Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, bagian B-3 huruf Ic 122
Universitas Sumatera Utara
bank dapat melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha
nasabah
berdasarkan
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 3. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yang disepakati; 4. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak; 5. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah; 6. Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan; 7. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya; 8. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya; 9. Pengembalian Pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah;
Universitas Sumatera Utara
10. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana
(mudharib)
dengan
disertai
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 11. Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung
oleh bank selaku pemilik dana (shahibul mal) adalah
maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan (ra’asul maal). Secara konsepsi mudharabah adalah persekutuan, tetapi mudharabah tidak mengharuskan agar suatu perusahaan (badan hukum atau bukan) didirikan secara resmi; tanpa satu perusahaan mudharabah pun bank dapat menanamkan investasi mudharabah ke perusahaan apapun yang ada, selama keuntungan investasi tersebut dapat ditentukan secara terpisah. 127 Adapun aplikasi akad mudharabah dalam perjanjian L/C Syariah dapat dilihat dari ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah yaitu: a) Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran. b) Bank dan importir melakukan akad mdharabah dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor. Sedangkan untuk L/C ekspor syariah ditentukan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.35/DSN/MUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah sebagai berikut:
127
Frank E. Vogel dan Samuel L. hayes,III, Op.cit, hal.169.
Universitas Sumatera Utara
a) Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir. b) Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor. c) Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit (issuing bank). d) Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance). e) Pembayaran dari bank penerbit (issuing bank) dapat digunakan untuk: 1. Pembayaran ujrah. 2. Pengembalian dana mudharabah. 3. Pembayaran bagi hasil. f) Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
f. Musyarakah Pengertian Musyarakah Fatwa Dewan Syariah Nasional No.08/DSN-MUI/IV/2000 menjelaskan pengertian musyarakah sebagai pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah atau syirkah merupakan salah satu sistem dasar bagi bank-bank syariah. Dengan konsep musyarakah semakin menegaskan keberadaan bank-bank syariah yang tidak hanya sebagai penyandang dana, namun juga mitra atau partner bagi para nasabah. 128 Akad musyarakah ini menghendaki keterlibatan kedua belah pihak yang berakad, yaitu masing-masing memiliki kontribusi modal dan majemen.
128
HM.Hasballah Thaib, Op.cit, hal.98.
Universitas Sumatera Utara
Proses pengambilan keputusan untuk pembagian dana dilakukan bersama-sama, yang dilakukan berdasarkan proporsi investasinya. 129 Musyarakah (syirkah) dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama modal (syirkah al amwal), kerjasama keterampilan (syirkah al abdan) dan kerjasama karena kepercayaan (syirkah al wujuh). 130 Berdasarkan Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, musyarakah adalah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.
Dasar Hukum Musyarakah 1. Firman Allah QS Shad (38):24: ”...Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini...” 2. Firman Allah QS Al Maidah (5):1: ”...Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...” 3. Hadis Nabi SAW ”Allah SWT berfirman:”Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama satu pihak tidak mengkhianati yang pihak ang lain.jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR.Abu Daud, yang dishahihkan oleh Al Hakim, dari Abu Hurairah). 129 130
Frank E. Vogel dan Samuel L. hayes,III, Op.cit, hal.235. Naskah Akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,, pasal 161.
Universitas Sumatera Utara
”Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan yang menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmizi dari ’Amr Bin ’Auf). 4. Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu. 5. Ijma’ Ulama atas bolehnya musyarakah. 6. Kaidah Fiqh: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Syarat Dan Rukun Musyarakah Rukun Musyarakah Menurut jumhur ulama, rukun musyarakah ada 3 (tiga) yaitu: 131 1. Shigat (ijab dan qabul) 2. Pihak yang berakad (shahibul maal) dan pelaksana (musyarik) 3. Objek akad (proyek/usaha). Adapun mengenai syarat-syarat musyarakah para ulama mazhab berbeda pendapat. Menurut ulama mazhab Syafi’i musyarakah yang sah hanyalah musyarakah
’inan yaitu perserikatan antara dua orang dalam permodalan untuk
melakukan perdagangan dengan bagi hasil termasuk untung dan rugi, dimana masingmasing
anggota
131
musyarakah
sama-sama
memperoleh
keuntungan
maupun
HM.Hasballah Thaib, Op.cit, hal.104.
Universitas Sumatera Utara
menanggung kerugian. Sedangkan bentuk perserikatan lain di luar bentuk ’inan ini hukumnya batal. 132 Berdasarkan pendapat ulama mazhab Hanafi, syarat-syarat musyarakah dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Semua yang berhubungan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterma sebagai perwakilan dan yang berhubungan dengan keuntungan (pembagian keuntungan), harus jelas dan dapat diketahui kedua belah pihak. 2. Modal yang dijadikan objek akad adalah merupakan alat pembayaran seperti rupiah, dollar dan sebagainya, atau asset yang likuid (mudah segera dicairkan), kemudian yang dijadikan modal (harta pokok) harus ada ketika akad musyarakah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda. 3. Apabila musyarakah berbentuk muwaffadah (dimana masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya serta melakukan tindakan hukum yang sama), maka persyaratannya modal (pokok harta) yang dimasukkan harus benar-benar sama jumlahnya antara masing-masing pihak, syarat bagi yang berakad harus ahli untuk kafalah, dan yang dijadikan objek akad disyaratkan musyarakah umum, yaitu pada semua macam jual beli atau perdagangan. 4. Adapun syarat yang berkenaan dengan musyarakah ’inan sama dengan syaratsyarat musyarakah mufawwadah. 133
132 133
Hendi Suhendi,Op.cit, hal.128. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Ulama mazhab Maliki berpendapat syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan musyarakah adalah merdeka, baligh dan pintar (rusyd). 134 Adapun fitur dan mekanisme musyarakah di bank syariah adalah sebagai berikut: 1.
Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.
2.
Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah bedasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati.
4.
Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.
5.
Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan.
6.
Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyaakan secara jelas jumlahnya.
134
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7.
Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberkan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyakan secara jelas jumlahnya.
8.
Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.
9.
Pengembalian pembiayaan atas dasar akad musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah.
10. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing. 135
Aplikasi akad musyarakah dalam perjanjian L/C syariah dapat dilihat dari ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 34/DSN-MUI/IX/2002 Tentang L/C Impor Syariah yaitu: Bank dan importir melakukan akad musyarakah, dimana keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang. Sedangan untuk L/C Ekspor Syariah dapat dilihat dari ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional N0.35/DSN-MUI/IX/2002 Tentang L/C Ekspor Syariah yaitu:
135
Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, BagianB-4, Huruf C
Universitas Sumatera Utara
a) Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; b) Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; c) Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank); d) Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (ussance); e) Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank), dapat digunakan untuk: 1. Pengembalian dana musyarakah; 2. Pembayaran bagi hasil.
g. Hawalah
Pengertian Hawalah Hawalah atau hiwalah berasal dari kata tahwil yang artinya pemindahan dari satu tempat ke suatu tempat. 136 Menurut Abu Bakar Jabir El-Jazairy , Hawalah adalah pemindahan hutang dari tanggungjawab seseorang kepada tanggungjawab orang lain. 137 Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, pengertian hawalah adalah akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar) nya.
Dasar Hukum Hawalah 1. Hadis Nabi ”Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika sesorang diantara kamu dialihkan hak
136
Abdul Halim El-Muhmmady, Undang-undang Muamalat & Aplikasinya Kepada Produk-produk Perbankan Islam, (Malaysia: Fakulty Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), 2006), , hal.143. 137 Abu Bakar Jabir El-Jazairi,Op.cit, hal.91.
Universitas Sumatera Utara
penagihan piutangnya (dihawalahkan) epada pihak yang mampu, terimalah (HR. Bukhari). ”perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan yang menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan yang menghalalkan yang haram.”(HR.Tirmidzi dari’Amr bin ’Auf). 2. Ijma. Para Ulama sepakat atas kebolehan akad hawalah. 3. Kaidah fiqh: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” ”Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
Syarat dan Rukun Hawalah Menurut Ulama mazhab Hanafi rukun hawalah hanya satu, yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghawalahkan dengan yang menerima hawalah sedangkan menurut Ulama mazhab syafi’i , rukun hiwalah ada empat yaitu: 138 1. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan hutang, muhil adalah orang yang berhutang sekalugus berpiutang. 2. Muhtal atau muhal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil. 3. Muhal ’alaih, yaitu orang yang menerima hawalah.
138
Hendi Suhendi, Op.cit, hal.103.
Universitas Sumatera Utara
4. Shighat hawalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya:”aku hiwalahkan hutangku yang hak bagi engkau kepada anu” dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya: ”Aku terima hawalah engkau.”
Syarat Hiwalah Syarat-syarat hawalah menurut Ulama mazhab Hanafi yaitu: 139 1.
Untuk subjek yang mengadakan akad hawalah :para
pihak yang
mengadakan akad hawalah harus mempunyai kecakapan hukum, baik yang memindahkan hutang (muhil), yang menerima hawalah (muhal ’alaih) dan orang yang dihawalahkan (muhtal). Maka apabila salah satu pihak dalam
akad hawalah
masih kecil atau gila atau dibawah
pengampuan, maka hawalah yang diadakan tersebut hukumnya adalah batal. 2.
Kerelaan pihak yang dihawalahkan.
3.
Adanya hutang muhil kepada muhal alaih.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, syarat-syarat hawalah adalah: 140 1.
Kerelaan pihak muhil, sementara kerelaan pihak muhtal/muhal tidak dipersyaratkan, sebagaimana sabda Rasulullah : ”Dan jika salah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya, maka terimalah.”
139 140
Ibid, hal.101. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2.
Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
3.
Kesanggupan pihak muhal ’alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang adalah batal.
4.
Bahwa hak tersebut diketahui secara jelas. Adapun syarat hawalah yang berkenaan dengan hutang adalah: hutang yang
ada di tangan peminjam (muhal) adalah hutang yang sudah jelas menjadi tanggungjawab pihak pemberi pinjaman (muhil) yang hendak memindahkan pinjamannya kepadanya. 141 Ketentuan pengaplikasian akad hawalah dalam perjanjian L/C impor syariah dapat dilihat pada ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.34/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah : 1. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor. 2. Importir dan bank mengadakan akad wakalah untuk pengurusan dokumendokumen transaksiimpor. 3. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. 4. Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor. Untuk L/C ekspor Syariah tidak ada ketentuan penggunaan akad hawalah.
141
Abu Bakar jabir El-Jazairi, Op.cit, hal.92.
Universitas Sumatera Utara
h. Qardh Pengertian qardh Abu Bakar Jabir El Jazairi mengatakan al-qardh sama dengan al-qath’u (memotong), sedangkan menurut istilah syara’, al qardh adalah penyerahan harta kepada orang yang akan mengambil manfaatnya, untuk kemudian dikembalikan lagi. 142 Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 19/DSN-MUI/IX/2000 yang dimaksud dengan qardh adalah suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah pada waktu yang telah disepakati oleh Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah. Menurut Naskah Akademik Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, akad qardh adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Karnaen Perwataatmadja, menyebut qardh sebagai qardhul hasan, dan mengartikannya sebagai pinjaman lunak yang diberkan atas dasar kewajiban sosial semata dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. 143
142 143
Ibid, hal.119. Karnaen Perwataatmadja, Op.cit, hal.33.
Universitas Sumatera Utara
Landasan hukum qardh 1. Firman Allah SWT QS Al Baqarah(2):282: ”Hai orang yang beriman! Jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...” 2. Firman Allah SWT QS. Al Maidah (5):1: ”Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...” 3. Firman Allah QS. Al Baqarah (2):280: ”Dan jika ia (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia berkelapangan...” 4. Hadis Nabi ”Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Alah senantiasa menolong hambaNya selama ia (suka) menolong saudaranya.” (HR.Muslim). ”Penundaan (pembayaran ) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya...” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad). ”Orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutangnya.” (HR.Bukhari). ”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mngharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ’Amr bin ’Auf) 5. Kaidah Fiqh ”Setiap piutang yang mendatangkan manfaat ( bagi yang berpiutang, muqridh) adalah riba.”
Universitas Sumatera Utara
Syarat dan Rukun qardh Rukun Qardh Menurut Abdul Halim El-Muhammady, rukun atau elemen yang harus ada dalam akad qardh adalah adanya penawaran dan penerimaan (sighah), yang bermaksud memberi hutang dan menerima hutang. 144 Kemudian ada dua pihak yang berakad, satu pihak sebagai yang memberi hutang, pihak lain sebagai penerima hutang.
Syarat Qardh Persyaratan Qardh menurut Abu Bakar Jabir El-Jazairi adalah: 145 1. Kadar pinjaman harus diketahui dengan timbangan atau bilangan (hitungan), 2. Jika barang yang dipinjam itu berupa binatang, maka harus diketahui sifat dan umurnya, 3. Pinjaman harus merupakan milik sah dari orang yang memberi pinjaman. 4. Para pihak yang mengadakan akad qardh haruslah memiliki kecakapan berbuat hukum.
Terdapat sedikit perbedaan diantara para fuqoha tentang harga atau barang yang boleh dijadikan hutang. Ulama Mazhab Hanafi membolehkan jenis-jenis barang bernilai (mithali) dimana antara barang yang satu dengan yang lain yang masih
144 145
Abdul Halim El- Muhammady,Op.cit, hal.140. Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.cit, hal.119.
Universitas Sumatera Utara
sejenis, tidak begitu prinsip perbedaan unsur-unsurnya, misalnya telur dan buahbuahan. Akan tetapi terhadap benda-benda yang dapat dihitung namun memiliki banyak perbedaan unsur walaupun sejenis ulama mazhab Hanafi tidak mengharuskan untuk dijadikan hutang, misalnya binatang, bangunan. Jumhur ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali menyatakan bahwa hutang dibolehkan terhadap semua jenis barang, baik yang ditimbang, seperti makanan, emas dan perak, maupun barangbarang yang dinilai, sepert binatang, stok perniagaan dan sebagainya. 146 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh mengatur ketentuan yang harus dipatuhi dalam melaksanakan akad qardh: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Nasabah al Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bilaman dipandang perlu. Nasabah AlQardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat: a) memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau b) menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya. Adapun sumber dana pendanaan al Qardh berasal dari : a) bagian modal
pemberi pinjaman LKS; b) keuntungan pemberi pinjaman (LKS) yang disisihkan; dan
146
Abdul Halim El -Muhammady, Op.cit, hal.140.
Universitas Sumatera Utara
atau c) lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaknya kepada pemberi pinjaman (LKS). 147 Fitur dan mekanisme pembiayaan atas dasar akad qardh di bank syariah menurut Kodifikasi Produk Perbankan Syariah adalah: 1.
Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan.
2.
Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai akad.
3.
Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran pembiayaan atas dasar qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran.
4.
Pengembalian jumlah pembiayaan atas dasar qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati.
5.
Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah. Manfaat pembiayaan atas dasar akad qardh bagi bank adalah sebagai
salah satu bentuk penyaluran dana termasuk dalam rangka pelaksanaan fungsi sosial
147
Naskah Akademik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 668.
Universitas Sumatera Utara
bank, disamping itu bank memiliki peluang untuk mendapakan fee dari jasa lain yang disertai dengan pemberian fasilitas qardh. 148 Aplikasi pembiayaan atas dasar akad qardh dalam perjanjian L/C Syaria dapat dilihat dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah, yaitu: 1. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor, 2. bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank). 3. Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor. 4. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. 5. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad. 6. antara akad wakalah bil ujrah dan akad qardh, tdak boleh adanya keterkaitan.
148
Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Bagian B-14.
Universitas Sumatera Utara