BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Iklim tropis yang ada di Indonesia diakibatkan karena letak Indonesia berada tepat di garis ekuator, yang berarti dekat dengan matahari. Dipengaruhi letaknya ini, matahari dapat bersinar di wilayah Indonesia selama 12 jam per hari, mengakibatkan radiasi yang dipancarkan oleh matahari sangat tinggi. Radiasi matahari bersifat panas, semua wilayah serta makhluk hidup yang berada di bawahnya akan terpengaruhi oleh panas yang muncul. Negara Indonesia dikelilingi oleh lautan yang luas. Panasnya radiasi matahari dapat menguapkan air di lautan tersebut dan menyebabkan curah hujan menjadi tinggi. Penguapan air laut karena radiasi matahari juga menyebabkan udara akan menjadi lembab. Letak Indonesia yang berada di garis ekuator juga berpengaruh pada pergerakan mataharinya. Pergerakan matahari termasuk tinggi, jadi jeda suhu antara waktu siang hari dan waktu malam hari tidak jauh. Suhu di Indonesia cukup tinggi yaitu 26oC-28oC. Berbeda dengan negara yang beriklim mediterania, jeda suhu antara siang hari dengan malam hari akan sangat jauh. Pada saat siang hari suhunya bisa sangat tinggi, sedangkan saat malam hari suhunya bisa mencapai titik terendah dalam derajat celcius. Jeda suhu yang tidak berbeda jauh antara siang dan malam hari di Indonesia mengakibatkan pergerakan anginnya rendah. Angin akan mengalir dari suhu yang dingin ke panas, sedangkan di Indonesia perbedaan suhunya tidak terlalu jauh antara siang dan malam, jadi udaranya akan terasa panas. Ditambah dengan curah hujan yang
1
2 tinggi menyebabkan udaranya lembab, jadi dapat dikatakan bahwa udara di Indonesia termasuk panas serta lembab. Dengan kondisi udara yang seperti itu, bangunan yang ada di Indonesia, yang beriklim tropis, akan menggunakan penghawaan buatan berupa Air conditioner (AC) sebagai solusi dari temperatur dan kelembaban udara yang tinggi. Orang yang berada di dalam bangunan dalam beraktifitas akan terganggu juga karena udara/suhunya tidak nyaman, karena itu penggunaan Air conditioner (AC) dirasakan baik untuk penghawaan dalam bangunan. Akan tetapi penggunaan AC ternyata memakan energi listrik yang sangat besar, terutama dalam bangunan apartemen dan gedung perkantoran, penggunaan AC memakan 40-50% dari total penggunaan listrik. Hal ini merupakan pemborosan energi dan berakibat buruk bagi sumber daya yang ada. Seringkali
terjadi pemadaman
secara silih ganti, dengan tujuan penghematan energi listrik. Dengan adanya pemadaman secara silih ganti di beberapa daerah tentunya akan menghambat kegiatan/aktivitas masyarakat, terutama pekerjaan mereka. Pemborosan energi yang diakibatkan penggunaan penghawaan buatan seperti AC mengharuskan adanya desain bangunan yang hemat energi. Sesuai dengan teori Ken Yeang (1996) tentang arsitektur bioklimatik, bangunan didesain dengan penggunaan teknik hemat energi yang berhubungan dengan iklim setempat. Jadi desain yang diharapkan ada pada bangunan di Indonesia juga harus dapat beradaptasi dengan iklim tropisnya, semua faktor seperti radiasi matahari yang tinggi, kelembaban udara yang tinggi dan kecepatan angin yang rendah, semua faktor ini harus dipertimbangkan dalam desain agar menghasilkan bangunan yang tanggap akan iklim setempat. Salah satu perwujudan teori itu adalah dengan penghematan energi yang difokuskan pada pengoptimalan
3 penghawaan alami, dimana setiap ruangan dalam unit mendapat akses langsung dengan udara alami sehingga kegiatan penghuni dalam unit tidak bergantung sepenuhnya kepada penggunaan penghawaan buatan dan dapat menghemat energi bagi penggunaan penyejuk ruangan. Hunian dengan lingkungan beriklim tropis terutama yang memiliki kelembaban tinggi, kenyamanan penghuni tidak hanya tergantung pada intensitas tersedianya udara segar ke dalam ruangan, namun juga pada kecepatan angin (Prianto dan Depecker, 2001). Pada bangunan didesain ventilasi dan bukaan yang banyak agar angin dapat mengalir masuk ke dalam. Ventilasi merupakan strategi untuk mencapai kualitas udara di dalam ruang yang merupakan dasar untuk mensuplai udara segar dalam ruang dan untuk meminimalkan konsentrasi polusi dalam ruang, jumlah bukaan ventilasi diperlukan untuk menjaga kualitas udara tergantung dari kondisi alam dan dominasi sumber polusi pada ruang tersebut (Allard,1998). Kelembaban tinggi dapat membuat tubuh merasa kurang nyaman penguapan keringat. Aliran angin dapat membantu menguapkan keringat serta memberi rasa sejuk, sehingga dituntut untuk mampu melintasi dalam ruang agar dapat mempercepat pendinginan secara evaporasi (evaporative cooling). Selain itu, aliran angin juga penting dalam segi kesehatan untuk ketersediaan udara segar, sirkulasi udara yang baik, pengeluaran panas dan gas yang tidak diinginkan. Dengan perputaran udara yang lancar, udara panas dalam ruangan dapat dialokasikan keluar bangunan. Natural ventilation digunakan tidak hanya untuk mensuplai udara segar untuk kebutuhan pengguna (occupants) dan untuk kebutuhan menjaga level kualitas udara (maintain acceptable air quality), tetapi juga untuk pendinginan (Santamouris, 1996). Untuk mencapai kondisi thermal comfort pada daerah yang beriklim tropis lembab, dimana kelembaban mencapai
4 80% dan temperatur di luar ruangan dapat melebihi kondisi thermal comfort, strategi pendinginan pasif dengan sistem ventilasi merupakan strategi yang paling optimal. Sistem pendinginan pasif memiliki dua prinsip yaitu untuk penghapusan panas dan untuk physiological cooling. Penghapusan panas dalam ruang adalah udara panas dalam ruang terganti, sedangkan untuk kecepatan angin (air velocity) merupakan pendinginan secara fisik terhadap pengguna bangunan. Diharapkan dengan dibuatnya ventilasi serta pengoptimalan penghawaan, setiap ruangan dalam unit mendapat akses langsung dengan udara alami. Untuk mendapatkan penghawaan alami yang optimal bagi ruangan hunian apartemen perlu diketahui besaran arah angin yang paling dominan berasal dari mana. 1.2 Masalah/isu pokok Jakarta, sebagai ibukota Negara Indonesia, merupakan pusat seluruh kegiatan pemerintahan, pekerjaan, bisnis, perdagangan, hiburan dan yang lainnya. Dengan adanya seluruh kegiatan tersebut, kota Jakarta juga didukung dengan adanya pembangunan gedung dan tempat-tempat untuk mendukung terlaksananya seluruh kegiatan tersebut. Termasuk juga rumah tinggal bagi masyarakat yang hidup di Jakarta. Dengan banyaknya kegiatan yang berpusat di Jakarta, pasti akan melibatkan banyak orang di dalamnya. Dengan begitu, orangorang akan menjadikan Jakarta tujuan utama mereka untuk bekerja serta tinggal disitu juga, termasuk yang berasal dari luar daerah. Semakin banyak orang yang datang ke Jakarta dan tinggal disitu juga, kepadatan penduduk akan semakin bertambah. Menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah penduduk di Jakarta pada November 2011 sudah mencapai angka 10.187.595 dan termasuk kota terpadat di Asia Tenggara. Selain kepadatan penduduk yang bertambah,
5 kebutuhan akan tempat tinggal juga bertambah. Banyaknya pembangunan di Jakarta tidak hanya untuk rumah tinggal, tetapi untuk kegiatan bisnis, pusat hiburan dan yang lainnya. Dengan begitu, lahan yang tersedia untuk orang tinggal akan semakin berkurang dan sempit. Munculnya pemukiman kumuh yang tidak beraturan dikarenakan keterbatasan lahan yang ada di Jakarta dan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Jakarta. Akibatnya kota Jakarta terlihat seperti tidak terurus dan tidak beraturan serta menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Kepadatan penduduk juga akan berdampak pada keadaan lalu lintas di kota Jakarta. Dari rumah ke tempat bekerja/tujuan, orang membutuhkan kendaraan untuk bisa mencapainya. Semakin banyak orang yang tinggal di Jakarta, volume kendaraan juga akan semakin bertambah, akhirannya timbul kemacetan. Hal ini menyebabkan waktu terbuang banyak di jalan karena kepadatan dan kemacetan yang terjadi setiap harinya. Masyarakat yang hendak berangkat ke tempat tujuan masing-masing, seperti kantor, sekolah, pusat perbelanjaan dan yang lainnya, menjadi terhambat karena terjebak macet. Bermaksud ingin cepat sampai di tempat tujuan masing-masing, tetapi malah menghabiskan waktu di jalan dan itu sia-sia. Jarak antara rumah dengan tempat tujuan menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam memilih tempat tinggal. Daripada waktu terbuang sia-sia di jalan karena macet, masyarakat akan mencari tempat tinggal yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tujuan sehari-hari, terutama orang yang bekerja di kantor. Faktor kepadatan penduduk, keterbatasan lahan serta kemacetan yang terjadi di Jakarta menjadi pertimbangan pembangunan hunian vertikal berupa apartemen. Apartemen terdiri dari beberapa unit yang disusun ke atas dan tidak
6 akan memakan lahan yang luas untuk pembangunannya. Selain itu apartemen dapat menampung banyak orang untuk tinggal di dalam 1 bangunan, dibandingkan dengan rumah tinggal, efisiensi lahan untuk bangunan apartemen jauh lebih berhasil. Karena itu apartemen dapat dikategorikan sebagai solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal di Jakarta. Pembangunan hunian vertikal (apartemen) juga termasuk dalam program pemerintah DKI Jakarta. Diadakannya program 1000 rusunami/rusunawa di Jakarta dalam 5 tahun oleh pemerintah dapat mengatasi kemacetan, mengurangi kawasan permukiman liar dan kumuh, serta mereduksi kekurangan hunian. Pembangunan hunian vertikal/apartemen diharapkan dapat dibangun dengan tetap memperhatikan sisi arsitekturalnya yang baik agar tercipta bangunan yang nyaman bagi penghuninya serta berdampak baik bagi lingkungan di sekitarnya. Tetapi kebanyakan dari apartemen yang sudah dibangun sayangnya hanya sekedar memperhatikan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal dan kepentingan bisnis para investor. Desain apartemen yang sesuai dengan kaidah arsitektural tidak terwujud pada bangunan apartemen yang ada di Jakarta. Berangkat dari teori arsitektur bioklimatik bahwa bangunan didesain dengan penggunaan teknik hemat energi dan beradaptasi dengan iklim di sekitar, bangunan apartemen yang ada malah tidak beradaptasi dengan konsep tersebut. Akibatnya pemakaian energi listriknya melonjak dengan faktor terbesarnya yaitu penggunaan AC sebagai penghawaan buatan. Selain itu desain denah tipikal dalam apartemen juga tidak diolah dengan baik sehingga air flow atau pergerakan udara dalam unit tidak mengalir lancar. Fakta itu yang terjadi di kebanyakan apartemen yang ada di Jakarta. Dari isu pokok ini, sebagai desainer bangunan, pembangunan apartemen sebagai solusi dari masalah kepadatan penduduk dan
7 yang lainnya juga perlu memperhatikan iklim setempat dan meminimalisir penggunaan energi khususnya pada penghawaan, harus dioptimalkan.
1.3 Formulasi masalah Dari isu pokok yang sudah dibahas, dapat ditarik beberapa poin menjadi formulasi masalah dalam laporan tugas akhir ini yaitu: 1. Apakah orientasi massa bangunan apartemen di kawasan Senopati, Jakarta Selatan berpengaruh pada tercapainya pengoptimalan penghawaan alami di bangunan tersebut? 2. Apakah pengoptimalan penghawaan alami pada bangunan apartemen di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, dapat dicapai dengan adanya ruang terbuka untuk mengarahkan angin yang masuk ke dalam bangunan? 3. Apakah pengoptimalan penghawaan alami pada bangunan apartemen di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, dapat dicapai dengan memaksimalkan bukaan/ventilasi pada unit?
1.4 Ruang lingkup Lingkup pembahasan dalam laporan tugas akhir ini yaitu berfokus pada pendesainan
apartemen
yang
mengoptimalkan
penghawaan
alami agar
pertukaran udara dalam ruangan mengalir lancar dan terasa sejuk. Dengan solusi desain yaitu membuat ventilasi/bukaan yang cukup sesuai dengan arah angin datang serta adanya ruang terbuka di beberapa lantai, diharapkan suhu di dalam bangunan tetap terasa sejuk.
8 1.5 Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam perancangan Apartemen ini yaitu merancang hunian yang beradaptasi sesuai dengan iklim tropis dan menghasilkan hunian yang hemat energi dengan mengoptimalkan penghawaan alaminya sehingga suhu di dalam bangunan tetap terasa sejuk.
1.6 Tinjauan pustaka (State of the art) Tinjauan pustaka yang digunakan diambil dari jurnal penelitian milik Carolline (2012) yang berjudul: Apartemen subsidi dengan pendekatan optimalisasi penghawaan alami di Pulogadung, Jakarta Timur. Jurnal tersebut dirangkum dan hasilnya sebagai berikut: Jurnal yang digunakan ini membahas tentang pembangunan apartemen bersubsidi bagi masyarakat sebagai salah satu solusi untuk memecahkan masalah kebutuhan perumahan untuk hunian yang murah namun sehat. Penulis menyatakan bahwa apartemen bersubsidi memungkinkan masyarakat dengan daya beli rendah untuk mendapatkan kesempatan memiliki rumah mereka sendiri. Apartemen bersubsidi memberikan manfaat yang signifikan dalam beberapa aspek, yaitu aspek sosial dan ekonomi. Di lain pihak, pembangunan yang terus dilakukan akhirnya membawa dampak buruk bagi lingkungan dan sumber daya bumi. Pola hidup masyarakat yang mengkonsumsi energi sudah sangat sulit dibendung, dimana konsumsi energi terbesar berasal dari penggunaan alat penyejuk ruangan mekanik. Untuk itu perlu dilakukan penerapan arsitektur hemat energi pada pembangunan masa kini, yang akan diterapkan pada perencanaan dan perancangan apartemen bersubsidi ini. Dalam laporan penelitian dibahas tentang penerapan sistem ventilasi silang pada apartemen bersubsidi
9 untuk tetap memperoleh kualitas udara yang baik dan nyaman .Pembahasan tersebut meliputi bagaimana dengan ruang yang terbatas bukaan didesain agar mengoptimalkan penghawaan alami. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa penerapan penghawaan alami pada unit-unit hunian apartemen bersubsidi dapat dicapai dengan keseimbangan desain, baik dari orientasi bangunan, bentuk massa bangunan, kuantitas dan kualitas bukaan pada hunian, letak ventilasi, dan sebagainya. Dengan penerapan sistem penghawaan alami yang disediakan, diharapkan biaya listrik yang dihasilkan dari pemakaian penghuni dapat ditekan seoptimal mungkin. Selain untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam bidang penghematan energi, tentu akan sangat menguntungkan bagi para penghuni untuk mengalokasikan biaya lebih pada penghawaan ke kebutuhan kehidupan lain.