BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kualitas,
kuantitas dan mobilitas penduduk (BKKBN, 2011). Dilihat dari sisi kuantitas penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk 2010 berjumlah 237,6 juta jiwa. Jumlah penduduk ini masih menjadi permasalahan, sehingga untuk menekan laju pertumbuhan penduduk diperlukan adanya program Keluarga Berencana dan peningkatan usia perkawinan. Usia perkawinan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya fertilitas. Menurut Davis dan Blake (1956) dalam Mantra (2008), usia perkawinan menjadi variabel antara yang berpengaruh secara langsung terhadap fertilitas. Jika seorang perempuan memiliki usia kawin pertama rendah, maka kemungkinan untuk memiliki anak akan lebih panjang. Sebaliknya, jika seorang perempuan memiliki usia kawin pertama tinggi maka kemungkinan untuk memiliki anak semakin pendek. Oleh sebab itu, dalam menekan laju pertumbuhan penduduk salah satu cara dengan menekan usia perkawinan. Penekanan usia perkawinan tidak hanya bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Namun, penekanan usia perkawinan ini bertujuan untuk melihat kematangan fisik dan mental perempuan untuk melakukan pernikahan dan mempunyai anak. Kematangan fisik terkait dengan kesehatan reproduksi, sedangkan mental terkait dengan psikologis si perempuan.
1
2
Pada teori biologis (Hartono, 1996) menyatakan bahwa wanita usia dini masih dalam tahap tumbuh kembang, karena bila wanita ini hamil maka kebutuhan gizi tidak hanya diperlukan untuk perkembangan janin yang dikandungnya, akan tetapi diperlukan guna memenuhi perkembangan dirinnya sendiri. Oleh sebab itu, maka sering muncul masalah anemia pada ibu hamil, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada bayi, bahkan terjadi kematian ibu. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Hartono (1996) menunjukkan bahwa ibu hamil di usia dini mempunyai risiko BBLR lebih dari dua kali lipat bila dibandingkan dengan ibu yang hamil berusia 20 tahun atau lebih. Selain itu, Hanum (1997) mengatakan bahwa perkawinan usia dini selain berakibat secara fisik juga akan berakibat secara mental, khususnya kesiapan untuk berumah tangga. Usia yang masih muda akan rentan untuk menghadapi permasalahan dalam rumah tangga mereka. Hal ini dikarenakan sifat dari usia muda masih cenderung labil dalam menghadapi permasalahan-permasalahan. Apalagi permasalahan rumah tangga yang sewajarnya dihadapi oleh orang dewasa dengan kemapanan dan kesiapan mereka. Menurut hasil penelitian Ishartono (1991) dalam Nurwati (2003) pada penelitiannya mengenai perbedaan pola perceraian dan kaitannya dengan fertilitas di Jawa Barat menghasilkan wanita yang kawin pertama pada umur yang lebih muda cenderung mengalami perkawinan yang lebih banyak yang dilatarbelakangi pada pendidikan dan tempat tinggal. Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa menikah diusia muda banyak mengakibatkan dampak negatif baik itu untuk si ibu maupun si anak
3
yang dilahirkan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyarankan usia kawin pertama yang ideal yaitu usia 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk pria (BKKBN, 2004). Usia ini dianggap matang baik secara fisik yaitu sistem reproduksi maupun non fisik yaitu terkait dengan kesiapan mental. Namun hal ini masih bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk pria. Jika mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 dan Konvensi Hak-hak Anak Pasal 1, mendefinisikan anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Jadi usia yang ditetapkan oleh UU Perkawinan usia 16 tahun merupakan usia anak. Hal ini menandakan
bahwa
dengan
adanya
Undang-undang
perkawinan,
maka
perkawinan anak di Indonesia dilegalkan. Padahal pada pasal 9 ayat 1 pada Undang-undang Perlindungan Anak, menyatakan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu pada pasal 26 ayat 1c Undang-undang Perlindungan Anak, menyatakan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Usia anak merupakan usia sekolah, usia produktif untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki. Seharusnya dengan adanya undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak Anak yang mengikat tidak terjadi perkawinan pada anak. Namun kenyataannya banyak pada usia tersebut, mereka sudah menikah dan harus melaksanakan kewajibannya dalam sebuah keluarga.
4
Menurut data Statistik Kesejahteraan Rakyat, pada tahun 2010 persentase perkawinan pertama di Indonesia dengan usia 10-18 tahun sebesar 44,71 persen, sedangkan pada tahun 2012 persentase perkawinan pertama usia 10-18 tahun sebesar 43,23 persen. Persentase ini terjadi penurunan sebesar 1,48 persen, namun angka ini masih tergolong besar karena hampir 50 persen penduduk perempuan Indonesia yang pernah menikah dilakukan oleh anak-anak. Data ini juga terlihat di Provinsi Jawa Tengah, persentase usia perkawinan 10-18 tahun pada tahun 2010 sebesar 47,99 persen, pada tahun 2012 sebesar 46,3 persen (Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2010 dan 2012). Besarnya persentase usia perkawinan anak di Jawa Tengah lebih besar dibanding dengan persentase perkawinan anak di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah masih perlu perhatian khusus terkait permasalahan perkawinan anak. Tren perkawinan anak pada lingkup kabupaten dapat dilihat pada data Statistik Sosial dan Kependudukan Jawa Tengah tahun 2010 sampai 2012 usia kawin 10 sampai 18 tahun (lihat lampiran). Pada tahun 2010 Kabupaten Banjarnegara menduduki peringkat 7 di Jawa Tengah dengan besarnya persentase 57,75, terus naik pada tahun 2011 dengan menduduki peringkat 4 dengan besarnya persentase 60,81, selanjutnya tahun 2012 terlihat Kabupaten Banjarnegara menduduki peringkat 2 dengan besarnya persentase 62,51. Jika dibandingkan dengan persentase rata-rata provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 46,3 persen, maka persentase perkawinan usia 10-18 tahun di Kabupaten Banjarnegara jauh lebih besar dibanding dengan persentase rata-rata Provinsi Jawa Tengah.
5
Menurut data dari Kantor Kementrian Agama Kabupaten Banjarnegara tahun 2012 terjadi perkawinan pada perempuan usia di bawah 19 tahun sebesar 3310 perempuan, dengan jumlah tertinggi di Kecamatan Punggelan sebesar 390 perempuan. Pada tahun 2013 jumlah perempuan yang menikah di bawah 19 tahun meningkat menjadi 3705 perempuan, dengan jumlah tertinggi di Kecamatan Punggelan sebesar 357 perempuan. Meningkatnya persentase perkawinan anak di Kabupaten Banjarnegara menjadi perhatian khusus, sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan perkawinan anak di Kabupaten Banjarnegara. Terkait penyebab naiknya angka perkawinan anak di Banjarnegara, dan faktor yang melatarbelakangi perkawinan anak tersebut. 1.2
Perumusan Masalah Perkawinan anak masih menjadi perhatian khusus di Indonesia, yang
menunjukkan persentase perkawinan anak masih tinggi. Tingginya persentase perkawinan anak juga dapat dilihat di Kabupaten Banjarnegara, dimana persentase perkawinan anak terus meningkat dari tahun 2010 sampai 2012. Data menunjukkan bahwa persentase perkawinan anak di Kabupaten Banjarnegara lebih dari 50 persen, angka ini jauh dari rata-rata persentase provinsi yang menunjukkan di bawah 50 persen. Peningkatan perkawinan anak ini yang menjadi perhatian peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang penyebab dari naiknya perkawinan anak di Kabupaten Banjarnegara, khususnya dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di Kecamatan Punggelan. Sehingga, penelitian ini merumuskan faktor apa yang mempengaruhi terjadinya perkawinan anak di Kecamatan Punggelan Kabupaten Banjarnegara?
6
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan anak di Kecamatan Punggelan Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Fokus penelitian diarahkan pada faktor individu yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam
pengembangan ilmu dan kebijakan pembangunan. 1.4.1 Memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kependudukan dalam hal faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan anak. 1.4.2 Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Banjarnegara terhadap masalah perkawinan anak di Kabupaten Banjarnegara, khususnya tentang faktor yang mempengaruhi perkawinan anak. 1.5
Keaslian Penelitian Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan
perkawinan usia dini: Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No.
1.
Judul Perkawinan Anak di Kabupaten Grobogan (Norma Kartika) Tahun 2013
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor predisposisi (status ekonomi rumah tangga, pendidikan anak, persepsi dan pengetahuan anak tentang perkawinan, budaya dan karakteristik orang
Metode Metode dalam penelitian ini adalah metode kombinasi, yaitu penelitian kuantitatif yang menggunakan data sekunder dan kualitatif dengan wawancara mendalam. Adapun
Hasil Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status ekonomi rumah tangga, persepsi dan pengetahuan anak tentang perkawinan, serta persepsi dan pegetahuan orang tua tentang perkawinan mempunyai hubungan bermakna dengan perkawinan anak.
7
Lanjutan Tabel 1.1
tua), faktor pendukung (pekerjaan orang tua) dan faktor penguat (sikap tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemangku kebijakan) yang menjadi penyebab tingginya perkawinan anak di Kabupaten Grobogan.
jumlah responden sebanyak 83 rumah tangga yang melakukan perkawinan anak dan tidak melakukan perkawinan anak.
2.
Analisis Status Ekonomi sebagai Salah Satu Faktor Risiko Pengambilan Keputusan Menikah Usia Dini Remaja Puteri di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul (Muktiani Asrie Suryaningrum) Tahun 2009
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi usia pernikahan dan faktor penyebab terjadinya pernikahan dini dengan melihat status ekonomi keluarga dan faktor sosial demografi di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul
Metode yang digunakan yaitu dengan penelitian observasional dengan rancangan unmatched case control study. Responden dipilih secara purposive sampling dari daftar wanita menikah tahun 2007 sebanyak 50 kasus dan 50 kontrol.
3.
Perkawinan Usia Belia (Sri Handayani Hanum) Tahun 1997
Tujuan penelitian (1) Memperoleh gambaran tentang peran ego yang bersangkutan dalam proses menuju perkawinan, khususnya keterlibatan diri dalam menentukan pasangan hidup (2) dinamika hidup
Lokasi penelitian : di Desa Harapan makmur, Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Utara. Jumlah responden sebanyak 290 rumah tangga dengan teknik pengumpulan data melalui
Variabel pendidikan anak, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua tidak mempunyai hubungan bermakna dengan perkawinan anak. Hasil dari analisis kualitatif menunjukkan budaya menjadi faktor penyebab utama terjadinya perkawinan anak di Kabupaten Grobogan. Hasil dari penelitian ini yaitu status ekonomi keluarga yang rendah berisiko terjadinya pernikahan dini dibandingkan pernikahan tidak dini. Pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua terbukti mempunyai hubungan yang bermakna dengan menikah dini. Jumlah saudara kandung dan persepsi orang tua tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan menikah dini. Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua dengan menikah dini. Variabel jumlah saudara kandung dan persepsi orang tua tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan menikah dini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur 16 tahun banyak ditentukan oleh perjodohan dari orang tua. Anak hampir tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan pasangannya. Faktor nilai budaya yang memandang bahwa
8
Lanjutan Tabel 1.1 rumah tangga, khususnya beberapa konsekuensi yang dihadapi wanita kawin usia belia (3) pandangan dan tanggapan orang tua terhadap perkawinan usia belia.
wawancara. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif yang menggunakan statistik deskriptif seperti distribusi frekuensi, mean, tabel silang.
menstruasi merupakan tanda kedewasaan wanita menjadi pemicu kasus. Dalam banyak hal, perkawinan usia belia menunjukkan situasi yang tidak menguntungkan bagi wanita, seperti pendidikan, partisipasi kerja, mobilitas, dan aktivitas sosial. Menjadi ibu pada usia belia akan menempatkan wanita pada posisi yang tersubordinasi, ketergantungan yang tinggi, dan powerlessness. Memburuknya status kesehatan ibu dan anak, yang bercermin dalam tingginya masalah kehamilan dan kelahiran, menjadi konsekuensi lain yang menyertai perkawinan. Wanita yang dikawinkan pada usia belia seringkali mengalami ketegangan emosional yang hebat, seperti husband syndrome, nervous, takut, malu, penyesalan, dan ketidakstabilan rumah tangga.
Pada penelitian di atas merupakan penelitian tentang perkawinan usia dini yang memfokuskan pada latarbelakang terjadinya perkawinan usia dini. Perkawinan Anak di Kabupaten Grobogan (Norma Yuni Kartika) Tahun 2013 Penelitian Kartika bertujuan untuk mengetahui faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor penguat pada rumah tangga. Sama halnya dengan penelitian ini menggunakan teori Green dengan faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat. Namun perbedaanya, pada penelitian Kartika
9
mengacu pada rumah tangga yang memiliki anak menikah dini dan rumah tangga yang tidak menikah dini. Sedangkan pada penelitian ini mengacu pada individu sendiri baik yang melakukan perkawinan anak dan tidak melakukan perkawinan anak. Terkait dengan variabel yang tersusun pada penelitian Kartika menggunakan variabel status ekonomi rumah tangga, pendidikan anak, persepsi dan pengetahuan anak tentang perkawinan, budaya dan karakteristik orang tua, pekerjaan orang tua, dan sikap tokoh masyarakat. Berbeda dengan variabel penelitian ini menggunakan variabel pengetahuan anak, sikap anak, akses informasi, peran pemerintah, peran orang tua dan peran tokoh masyarakat.. Perbedaan selanjutnya yaitu terkait penggunaan data, pada penelitian Kartika mengacu pada data sekunder yaitu hasil Survei Pernikahan Dini yang dilakukan oleh PSKK UGM bekerjasama dengan PLAN Indonesia tahun 2011, sedangkan penelitian ini menggunakan data primer yang diambil secara langsung pada responden. Analisis Status Ekonomi sebagai Salah Satu Faktor Risiko Pengambilan Keputusan Menikah Usia Dini Remaja Puteri di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul (Muktiani Asrie Suryaningrum) Tahun 2009 Pada penelitian kedua bertujuan untuk mengidentifikasi usia pernikahan dan faktor penyebab terjadinya pernikahan dini dengan melihat status ekonomi keluarga dan faktor sosial demografi di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul. Jadi penelitian kedua ini melihat latar belakang keluarga responden dilihat dari status ekonomi dan sosialnya. Sedangkan pada penelitian ini faktor individu sebagai latar belakang terjadinya perkawinan anak.
10
Pada penelitian Asrie merupakan penelitian observasional unmactched case control-study, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hal ini terdapat kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu peneliti akan memulai dengan mengidentifikasi kelompok kasus yaitu kelompok yang melakukan perkawinan anak, sedangkan pada kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak melakukan perkawinan anak. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu terletak pada batasan responden, pada penelitian Asrie dilakukan pada remaja putri yang menikah dini yaitu responden dengan usia di bawah 20 tahun, sedangkan yang tidak menikah dini yaitu usia 20 tahun ke atas. Perkawinan Usia Belia (Sri Handayani Hanum) Tahun 1997 Pada penelitian Hanum mempunyai tujuan untuk (1) memperoleh gambaran tentang peran ego yang bersangkutan dalam proses menuju perkawinan, khususnya keterlibatan diri dalam menentukan pasangan hidup (2) dinamika hidup rumah tangga, khususnya beberapa konsekuensi yang dihadapi wanita kawin usia belia (3) pandangan dan tanggapan orang tua terhadap perkawinan usia belia. Perbedaan dengan penelitian Hanum yaitu terletak pada tujuan penelitiandan variabel yang digunakan. Analisis penelitiannya hampir sama yaitu menggunakan metode campuran, analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.