BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Fungsi Ruang terbuka Publik (RTHP) dan Taman Kota Ruang terbuka merupakan entitas dari keberadaan kota. Penciptaan ruang terbuka sangat penting bagi eksistensi kemanusiaan karena merupakan tempat komunikasi masyarakat, baik formal maupun non formal (John, 2011). Minimnya keberadaan Ruang terbuka Publik di sebuah kota biasanya dikarenakan adanya beberapa faktor eksternal dari pihak swasta, yaitu minimnya investor yang memiliki kesadaran untuk menyediakan wadah sosial interaksi warga kota, dan lebih memilih untuk menyediakan bangunan yang bersifat komersial. Beberapa kendala juga berkaitan dengan buruk atau minimnya kualitas arahan desain Ruang terbuka Publik sehingga berimbas kepada tidak tertariknya warga kota untuk menggunakan fasilitas publik tersebut, dan kemudian berimbas kepada rendahnya intensitas interaksi sosial warga kota. Sebagai salah satu ruang publik, taman kota telah memberikan ruang yang memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender, dan usia saling bercampur baur dan saling berinteraksi (Madanipour, 1996; dalam Hariyono, 2007). Peraturan Menteri PU No. 05 Tahun 2008 menjelaskan beberapa fungsi ruang taman kota / ruang terbuka publik. Salah satu fungsi taman kota adalah ruang kota yang berfungsi sosial sekaigus mengemban fungsi estetik sebagai sarana kegiatan rekreatif, edukasi, atau kegiatan lain di kota. Sedangkan luasan standar sebuah taman kota adalah 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota sehingga didapatkan luas minimal taman kota adalah 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk sebagai ruang terbuka yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80%-90%.
1
Taman kota memiliki peran sebagai salah satu sarana dalam menciptakan kehidupan kota yang ideal. Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau merupakan sebuah komponen desain kawasan yang penting dan perlu dipertimbangkan dengan baik, bukan hanya sekedar pemanfaatan ruang sisa di kota setelah desain arsitektur selesai (Permen PU 6/2007). Taman adalah salah satu sistem yang mempunyai manfaat dalam meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota, menciptakan integrasi, meningkatkan kualitas estetis, karakter, dan orientasi visual dalam sebuah lingkungan binaan. Bahkan Taman Kota memiliki peran dalam menciptakan iklim mikro dalam lingkungan dan meningkatkan sustainability dalam sebuah kawasan. Atmojo (2007) memberikan manfaat-manfaat taman, antara lain 1. Fungsi 2. Hidrologis 3. Ekologis 4. Kesehatan 5. Estetika 6. Rekreasi. Pada fungsi hidrologis, taman kota, melalui perakaran pohonpohonnya meresapkan air ke dalam tanah untuk menjaga pasokan air dan mengurangi air permukaan. Taman kota juga memiliki fungsi bagi kesehatan yakni sebagai paru-paru kota. Selain itu, taman kota juga dapat menjadi habitat bagi burung-burung dan pelestarian plasma nutfah. Lebih lanjut, Atmojo menambahkan bahwa lingkungan yang indah dan sehat dapat menjadi daya tarik kota bagi wisatawan maupun investor, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan ekonomi kota. Hal ini sejalan dengan pendapat Hakim (2012) yang menjelaskan bahwa sebagai sub-sistem dari keseluruhan kota, taman kota merupakan
2
salah satu bentuk ruang terbuka yang memiliki peran dan fungsi penting bagi kota dan masyarakatnya, baik ditinjau dari segi ekologi, sosial, ekonomi dan estetis. Secara ekologi, taman kota memberikan kontribusi dalam pengaturan iklim mikro kota, menyegarkan udara sebagai paru-paru kota, mengambil CO2 dalam proses fotosintesis tanamannya dan menghasilkan oksigen, menurunkan suhu kota, sebagai daerah resapan dan tangkapan air, sebagai ruang hidup satwa, penyangga dan perlindungan permukaan air dari erosi, menyuburkan tanah, dan lain sebagainya. Sedangkan ditinjau dari segi sosial, taman kota berfungsi sebagai wadah interaksi sosial antar warga kota dan dapat menjadi sarana rekreasi. Kemudian dari segi ekonomi, taman kota dapat menjadi ruang ekonomi sekaligus dapat meningkatkan citra kota, yang nantinya dapat meningkatkan iklim investasi pada kota itu sendiri. Hakim (2012; 33) menambahkan bahwa taman juga memiliki nilai estetika. Nilai estetika pada taman diperoleh dari perpaduan antara warna daun, batang, dan bunga. Elemen lansekap lain seperti sclupture, kolam, maupun area duduk juga dapat menambah nilai estetika dari taman itu sendiri. Tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara langsung maupun tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial. Berdasarkan fungsi-fungsi taman yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa taman kota memiliki 4 fungsi, yaitu fungsi ekologi, fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi estetis. Kemudian dari keempat fungsi ini terbagi lagi menjadi fungsi yang membutuhkan ruang (spasial need) dan fungsi yang akan muncul dengan sendirinya apabila ruang tersebut terpenuhi. Fungsi sosial dan fungsi ekologi adalah fungsi dari taman kota yang membutuhkan ruang taman kota itu sendiri. Lebih lanjut, sebagaimana disebutkan di awal, bahwa keterbatasan lahan perkotaan memberi tantangan
3
tersendiri. Sebuah taman kota yang ideal seperti yang disyaratkan pada Permen PU No. 5/2008 (luas minimal 144.000 m2) nampaknya akan sulit terwujud, khususnya di pusat kota yang memiliki lahan yang terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kajian yang spesifik untuk menilai dan memunculkan kriteria taman kota yang efektif untuk menunjang fungsi ruang terbuka dan ruang sosial bagi masyarakat. 1.1.2 Ruang terbuka Publik di Yogyakarta sebagai Tempat Interaksi Sosial Perkembangan Ruang terbuka Publik di Yogyakarta sebenarnya bisa dibilang tidak sesuai dengan Permen PU di atas. Pada kasus Yogyakarta, yang menjadi kendala utama adalah terlalu begantungnya pengadaan tamantaman ruang publik tersebut terhadap dana dari Pemerintah. Sedangkan alokasi dana dari pemerintah bisa dibilang sangat terbatas. Pada tahun 2006-2011, Pemerintah Kota Yogyakarta mencanangkan program pengadaan Ruang Publik pada masing-masing kelurahan di Yogyakarta. Targetnya, ada 45 Kelurahan yang ada di Yogyakarta untuk kemudian dibebaskan sebagian dari Tanahnya dengan tujuan untuk dikembalikan lagi ke warga sebagai tempat untuk berinteraksi dan Berekreasi. Namun, realisasinya hanya 32 Ruang Terbuka Publik yang bisa diwujudkan. Bentuk Ruang Publik ini tidak selalu berbentuk sebagai Taman/Ruang terbuka Publik. Pada kasus Yogyakarta, ruang terbuka yang ada bisa difungsikan sebagai lapangan olahraga, ruang terbuka , dan tempat kegiatan warga bersama. Kasus tidak terpenuhinya target pengadaan Ruang Terbuka Publik di 13 Kelurahan di Yogyakarta disebabkan adanya kesulitan oleh Pemerintah untuk menemukan lahan kosong di dalam kota, dan terkendala biaya pembebasan tanah yang relatif tinggi. Berbanding terbalik dengan sedikitnya Ruang Terbuka Publik yang ada, kebutuhan warga akan sebuah ruang sosialisasi antar warga cenderung tinggi. Salah satu kelurahan dari 13 kelurahan yang masih belum memiliki
4
Ruang Publik, Kelurahan Pringgokusuman, Gedongtengen misalnya. Lurah Pringgokusuman
Lucia
Daning
Krisnawati
beranggapan
warga
membutuhkan ruang untuk warga agar bisa saling bersosialisasi antar sesama warga Kelurahan, sekaligus melakukan aktiivitas olahraga, maupun aktivitas bersama lain. Dari sebuah perspektif dengan lingkup yang lebih kecil lagi, kebutuhan Ruang Publik lingkup RW di Yogyakarta justru sangat memprihatinkan. Dari data Komisi C DPRD Yogyakarta, hanya 20% RW di Yogyakarta yang memiliki kualitas Ruang terbuka Publik yang memadai. Sedangkan seharusnya setiap RW memiliki ruang publik sebagai sarana bersosialisasi, dengan luas lahan minimal 300-600 m2. Menurut Ketua Komisi C DPRD Yogyakarta, Zuhrif Hudaya, pemenuhan kebutuhan akan fasilitas publik di Yogyakarta belum mencapai lingkup yang kecil, yaitu kampung. Menurut beliau, kondisi ruang Publik di Yogyakarta masih sangat jauh dari kata ideal, sehingga perlu adanya perumusan yang lebih baik mengenai kebuuhan ruang publik di Yogyakarta Pada beberapa kasus, pengadaan ruang Publik di Yogyakarta mendapat sambutan baik dari komunitas warga. Salah satu contoh konkrit adalah adanya Gajah Wong Educational Park, ketika sebuah ruang publik dibangun bersama-sama oleh warga dengan bantuan dana dari Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pekerjaan Umum. Menurut Kepala Bappeda Edy Muhammad, dari sektor Ruang Terbuka Publik di Yogyakarta masih berada dibawah standar nasional, yaitu baru mencapai 17,7% dari target 20%. Jadi Bappeda mendukung ketika ada partisipasi warga masyarakat dan komunitas di Kampung Pandeyan untuk membuat sebuah ruang publik sebagai wadah aktivitas sosial warganya. Dengan adanya lembaga komunitas sebagai penggerak dan pihak pengelola, Bapedda dan pemerintah akhirnya membantu pengadaan melalui dana untuk pembebasan dan pembangunan fisik di lahan 5000 m2 di Bantaran Sungai Gajah Wong.
5
Gambar 1 Ruang terbuka Publik Gajah Wong. Sumber: www.kampunghijau.com (2013)
Serupa dengan Gajah Wong, Ruang Terbuka Publik baru juga ada di daerah Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo. RTH dengan sebutan Karangwaru Riverside Sae Saestu ini dibangun sebagai fasilitas pejalan kaki, dan tempat
6
duduk untuk interaksi komunitas, baik komunitas warga maupun komunitas pesinggah. Kawasan ini adalah sebuah contoh ruang publik yang dibangun dan dikelola oleh komunitas. Kawasan RTH publik ini adalah sesuatu yang disebut oleh Moore (2003) sebagai proses adaptif oleh warga. Bagaimana ruang publik didesain, untuk kemudian dipersonalisasi oleh warga pengguna RTH tersebut. Personalisasi ini menjadi penting dikarenakan dalam proses penggunaan, akan ada proses panjang
yang sangat mugkin aktivitas
pengguna akan berubah sepanjang rentang waktu, sehingga akan sangat mungkin akan ada pergeseran fungsi dan penambahan fungsi. Penambahan fungsi tersebut, bukan tidak mungkin berakibat pada perubahan RTH Publik tersebut, baik perubahan fisik, maupun non fisik yang berupa perubahan manajemen pemakaian. Saat ini, RTH publik Karangwaru ini lebih digunakan untuk potensi pementasan budaya dan aktivitas perekonomian, dan untuk kedepannya Program penataan RTH publik Karangwaru ini juga mengemban fungsi untuk meningkatkan kualitas ekologi, dan sedang bersiap untuk mengemban fungsi pariwisata untuk para warga kota yang singgah. Potensi pariwisata ini akan menjadi sebuah proses baru, dan pada proses ini sebuah adaptibilitas ruang publik akan diperlukan.
7
Gambar 2 Ruang Publik Karangwaru Riverside Sae Saestu. Sumber: www.greenermagz.com (2013)
Gambar 3 Peta Persebaran Ruang Terbuka Publik Yogyakarta . Sumber: www.kampunghijau.com (2014)
8
1.1.3 Rencana Pengembangan Stadion Kridosono menjadi Area Komersial Publik dan Ruang terbuka Publik di Kotabaru. Kawasan Kotabaru merupakan sebuah kawasan kota yang dibangun oleh Belanda, lengkap dengan karakteristik arsitektur Hindis yang masih melekat kuat pada bangunan-bangunan yang ada di dalamnya. Mayoritas bangunan yang ada pada kawasan ini masih mempertahankan karakteristik arsitektural yang asli, dengan jumlah lantai bangunan mayoritas 1 lantai dan beberapa gedung baru berjumlah 3 lantai-5 lantai. Bangunan pada kawasan ini masih memiliki keaslian arsitektur hindis yang terjaga dengan baik. Beberapa bangunan yang sudah melewati tahap renovasi biasanya adalah bangunan yang mulai beralihfungsi dari yang awalnya merupakan sebuah fungsi hunian menjadi fungsi komersial atau bahkan campuran.
Bentuk
renovasi yang dilakukan juga biasanya berupa facelifting dan tidak merusak kondisi bangunan asli, sehingga karakteristik arsitektur hindis masih kuat di dalam kawasan sekitar Kridosono.
Gambar 4 Kondisi Bangunan pada Kawasan Kotabaru . Sumber: Dokumentasi MDKB UGM angk. 28 (2013)
Land Use kawasan Kotabaru sendiri pada awalnya adalah sebuah kawasan yang memiliki fungsi sebagai kawasan hunian. Hal itu terlihat dari bangunan-bangunan yang memiliki karakteristik tipologi rumah tinggal dengan skalayang kecil, ketimbang bangunan dengan skala yang besar. Pada kawasan Kotabaru saat ini mulai terjadi peralihan fungsi lahan. Pada kasus Kotabaru, fungsi hunian mulai beralihfungsi menjadi sebuah kawasan yang memiliki fungsi komersial ataupun campuran. Perubahan ini dimungkinkan karena adanya pengaruh dari letak Kotabaru sebagai kawasan yang berada di
9
dekat dengan pusat kota, dan mudah diakses oleh warga kota sehingga memiliki potensi ekonomi yang besar, dan mungkin berkaitan juga dengan Jalan Sudirman yang memiliki Land use Komersial. Aktivitas Komersial di Jalan Sudirman dan kawasan di sekitar Kotabaru ini mungkin memicu adanya perubahan fungsi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, kendati perubahan fungsi tersebut tidak diikuti dengan perubahan bentuk bangunan.
Gambar 5 Fungsi Komersial/ Bisnis dan Pendidikan dalam Kawasan. . Sumber: Dokumentasi MDKB UGM angk. 28 (2013)
Seiring dengan tingginya aktivitas bisnis dan komersial yang ada di Kotabaru, ada beberapa fungsi pelayanan publik yang ada di sana dan memiliki fungsi laten dalam kota. Beberapa fungsi tersebut berupa adanya bangunan yang memiliki aktivitas pendidikan di sekitar Kridosono, yakni SMAN 3 dan fasilitas pendukung berupa lapangan, beberapa bimbingan belajar, dan SMPN 5. Fungsi-fungsi pendukung pendidikan ini sampai saat ini juga perlu hal penting dalam kawasan Kotabaru pada khususnya, dan Kota Yogyakarta pada umumnya. Aktivitas pendidikan tersebut sama halnya dengan aktivitas komersial yang banyak terdapat dalam kawasan Kotabaru, merupakan sebuah aktivitas yang menjadi penggerak bagi aktivitas kawasan tersebut. Namun, aktivitas perkantoran/ bisnis yang terdapat di Kotabaru
10
merupakan sebuah aktivitas yang hanya berjalan sepanjang 8-12 Jam. Sehingga aktivitas yang terjadi bisa dibilang sangat mirip jam aktivitasnya, dan memiliki sifat seperti kawasan dengan yang single use, yakni tidak adanya aktivitas yang terjadi pada jam-jam tertentu (dalam hal ini di malam hari). Tidak adanya aktivitas yang berarti di malam hari menyebabkan kawasan Kotabaru cenderung sepi pada jam-jam tersebut. Stadion Kridosono terletak di pusat kawasan Kotabaru. Kotabaru, yang dirancang berdasarkan skema Garden City oleh Howard (1902), idealnya didesain memusat terhadap ruang terbuka . Dalam hal ini, Kridosono merupakan pusat dari Garden City Kotabaru tersebut, dan Kridosono merupakan blok hijau yang berfungsi sebagai tempat untuk menikmati elemen alam. Saat ini, blok Stadion Kridosono sendiri adalah sebuah blok yang berfungsi sebagai fasilitas publik di dalam kawasan Kotabaru. Blok Kridosono saat ini berfungsi sebagai bangunan dengan fungsi olahraga (GOR dan Lapangan Sepakbola) dan memiliki fungsi pendukung berupa fungsi komersial yang memiliki proporsi cukup besar didalamnya. Fungsi komersial yang saat ini berupa fungsi leisure seperti restoran dan tempat makan skala kecil dan menengah. Fungsi komersial ini merupakan fungsi yang jadwal operasionalnya justru lebih konstan dan panjang daripada fungsi olahraga di Blok Kridosono. Tahun 2011, untuk meningkatkan kuantitas ruang publik di Yogyakarta, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana mengalihfungsikan Stadion Kridosono menjadi Kawasan Publik yang berfungsi sebagai Kawasan Bisnis dan Ruang terbuka Publik. Letak Kridosono yang berada di simpul pusat area bisnis dan pendidikan ini dianggap strategis untuk melayani fungsi kota yang penting dan memiliki potensi tinggi sebagai kawasan fasilitas publik. Diharapkan, fungsi Ruang Terbuka Publik yang akan dibangun tidak bergerak terlalu jauh dari fungsi awal, yaitu tempat olahraga dan rekreasi.
11
Menurut Bapak Zuhrif Hudaya, Ketua Komisi C DPRD kala itu, penataan Kridosono dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota sebagai Ruang terbuka , sebuah taman kota dalam upaya mengurangi polusi di kawasan tersebut yang meningkat setiap tahunnya. Pada rencana tahun 2010, Direktur Utama PT. AMI , Gatot Murcahyo Nugroho , selaku pengelola
mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota
Yogyakarta akan merobohkan Stadion yang saat ini sudah ada untuk kemudian membangun taman kota dan area publik yang dilengkapi sarana publik seperti ruang komunitas, gedung pertemuan, dan fasilitas untuk mengakomodasi aktivitas olahraga yang ada di kawasan tersebut. Sedangkan di masa depan, kebutuhan ruang untuk melakukan aktivitas olahraga juga akan digalakkan di Mandala Krida. Usulan desain Fungsi Publik dan Bisnis Kridosono dibawah adalah usulan desain terakhir yang diajukan dan dipublikasikan dalam media massa. Pada desain tersebut, terlihat fungsi bisnis publik diterjemahkan menjadi sebuah blok massa dengan skala tunggal dan masif, dengan ketinggian massa 3 lantai. Penggabungan fungsi antara fungsi sosial dengan bisnis ini, dianggap sebagai respon terbaik untuk menangkap peluang bisnis di sebuah kawasan yang memiliki potensi ekonomi dan bisnis yang baik sekaligus memberikan warga kota tempat interaksi sosial yang baik. Fungsi-fungsi sosial dan publik ini diharapkan akan berjalan beriringan dan saling mendukung satu sama lain. Sedangkan ekspresi arsitektur kawasan Kotabaru seperti yang telah disampaikan
pada RTBL 2014 dikategorikan sebagai Kawasan Cagar
Budaya. Pada Kawasan ini, ekspresi arsitektur pada kawasan Kotabaru pada umumnya dan Kridosono pada khususnya harus memiliki ekspresi bangunan yang mendukung gaya arsitektur indis. Padahal, jika menilik dari arahan desain terakhir dengan skala besar dan massif seperti di atas tidak sesuai dengan arahan desain Indis di Kotabaru yang memiliki skala yang manusiawi.
12
Gambar 6 Usulan Desain Ruang Publik dan Bisnis Kridosono . Sumber: www.krjogja.com (2010)
Ketinggian dan ukuran massa yang besar tidak sesuai dengan konteks ketinggian bangunan di Kotabaru. Di Kotabaru ketinggian lantai dominan satu lantai , dan hanya dalam jumlah kecil yang memiliki skala ketinggian 2 lantai atau lebih. Mengingat adanya fungsi ruang publik di sekitarnya dengan tingkat kebutuhan interaksi sosial yang tinggi, ketinggian bangunan ini memiliki masalah dikarenakan tidak mendukungnya skala bangunan. Menurut Lennard (1987), skala bangunan di sekitar ruang publik harus memiliki skala yang manusiawi untuk mendukung adanya interaksi sosial. Dengan ketinggian bangunan yang relatif tinggi (3 lantai), maka skala bangunan bisnis yang bersifat sebagai bangunan pelingkup ini menjadi tidak sesuai jika dihubungkan dengan interaksi sosial yang diharapkan terjadi pada ruang publik tersebut. Bentuk Massa bangunan yang cenderung single entities pada kawasan juga tidak sesuai dengan kajian yang dikemukakan oleh Lennard (1987) bahwa sebuah Ruang Publik yang memiliki konfigurasi massa yang jamak cenderung meningkatkan keinginan pengguna untuk bergerak dan menjelajahi ruang publik. Jadi sebuah massa yang bersifat tunggal sebenarnya menimbulkan permasalahan dengan tidak adanya ‘misteri’ untuk mendorong
13
pengguna ruang publik untuk menjelajah, dan massa bangunan itu harus ditata untuk meningkatkan mobilitas warga pengguna Ruang Publik Kridosono di atas adalah salah satu produk Rancang Kota yang dirujuk Jon Lang (2005:71) sebagai individual item yang berperan sebagai elemen kota yang memiliki potensi untuk berfungsi sebagai katalis pembangunan daerah sekitarnya. Apabila Ruang Publik Kridosono ini didesain terintegrasi dengan sistem yang sudah ada di sekitarnya, maka metode desain bisa dikategorikan Jon Lang termasuk pada type plug-in Rancang Kota dikarenakan adanya efek katalistik yang mungkin disebabkan olehnya. Desain Ruang Terbuka yang ada disekitar bangunan utama dalam arahan desain di atas pun merupakan sebuah produk Rancang Kota karena idealnya, sebuah ruang terbuka publik didesain dengan memperlakukannya sebagai satu kesatuan dengan bangunan disekitarnya
(Lang, 2005:77).
Sedangkan Massa bangunan yang ada, idealnya harus didesain dengan dengan mempertimbangkan komponen perkotaan yang ada di sekitarnya, karena memiliki tujuan untuk menyatukan berbagai fungsi yang merespon kondisi sekitarnya. Sehingga kendati bangunan berperan sebagai objek arsitektural, idealnya pertimbangan dalam proses desain harus dilihat dalam skala meso dikarenakan fungsinya yang diharapkan menjadi katalis dalam pembangunan di sekitarnya, dan terintegrasi dengan sistem kota yang ada di sekitarnya. Maka penting kiranya untuk meletakkan perspektif meso dalam proses mendesain untuk memastikan bahwa Desain Ruang Publik Kridosono ini memiliki imbas positif tidak hanya untuk pengguna ruang publik dalam tataran internal, namun kawasan secara menyeluruh. Penggabungan fungsi ekonomi dan sosial ini sedikit banyak menimbulkan tarik-menarik dalam proses desain sebuah kawasan yang memegang peranan penting dalam sebuah kota. Pada satu sisi, optimalisasi fungsi bisnis harus menjadi pertimbangan dalam proses mendesain, namun
14
optimalisasi fungsi tersebut tidak bisa serta merta melupakan aktivitas interaksi sosial yang terjadi di sekitarnya. Karena bagaimanapun, sebuah ruang publik harus mampu mengakomodasi berbagai macam aktivitas yang ada di dalamnya, termasuk aktivitas sosial dan berbagai aktivitas lain seperti olahraga dan aktivitas komunal lainnya. Maka dari itu, perlu adanya tinjauan yang lebih mendalam mengenai seberapa besarkah proporsi aktivitas yang menjadi prioritas dalam sebuah ruang publik, dan bagaimana respon desain yang baik pada sebuah ruang publik berkaitan dengan optimalisasi fungsi ekonomi dan sosial didalamnya. Sedangkan pada tahun 2013, ada perubahan arahan pembangunan Kridosono. Kridosono yang pada awalnya direncanakan untuk dipugar dan dialihfungsikan, tidak lagi direncanakan untuk dipugar dan hingga saat ini tidak ada arahan yang lebih konkrit dan menyeluruh mengenai Kridosono sebagai salah satu fasilitas yang mengakomodasi aktivitas warga dalam skala yang lebih besar, yaitu seluruh Kota Yogyakarta. Satu-satunya pertimbangan yang dijadikan dasar adalah dengan alasan bahwa Kridosono merupakan bangunan dalam kategori Cagar Budaya yang keasliannya harus dijaga agar tidak melenceng jauh dari bentuk asalnya. Maka dari itu, pada 2014 arahan mengenai revitalisasi Kridosono hanya berkutat pada penataan area parkir dan area komersial (jual-beli makanan) saja.
15
Gambar 7 Peta Bangunan Cagar Budaya. Sumber:RTBL Kawasan Kotabaru (2014)
Hal di atas, ternyata juga tidak sesuai dengan yang tercantum pada RTBL Kawasan Kotabaru 2014. Berdasar dokumen RTBL yang dihimpun dari Tim Penyusun RTBL Kawasan Kotabaru, Kecamatan, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, bahwa Kridosono bukan merupakan bangunan cagar budaya, namun posisinya terletak didalam sebuah Kawasan Cagar Budaya. Selain itu, fungsi blok Kridosono yang dirumuskan dalam RTRW berperan sebagai area kawasan inti zona hijau yang diharuskan memiliki nilai ekologis yang baik. Maka dari itu seharusnya pembangunan Kotabaru memiliki misi untuk menciptakan ruang terbuka publik yang belum dimanfaatkan secara maksimal, tanpa melupakan pergerakan Kotabaru yang bergerak ke arah kawasan yang memiliki potensi ekonomi tinggi menjadi sebuah kawasan bersifat campuran. Sebab saat ini, aktivitas olahraga dalam skala besar mulai diarahkan pada Stadion Mandala Krida, dan Kridosono hanya mengakomodasi aktivitas olahraga skala kecil (renang, gym, badminton, basket, dan sekolah sepakbola)
16
Revitalisasi Kridosono secara khusus dan pembangunan di Kotabaru secara umum juga harusnya dilaksanakan melalui penyediaan prasarana dan sarana penunjang aktivitas warga kota yang mendukung dan relevan. Maka dari itu, peneliti beranggapan perlu untuk menggali lebih dalam mengenai relevansi Kridosono yang saat ini merupakan sarana pendukung perkotaan yang berbasis kepada olahraga dan even-even okasional, dan mengetahui dengan pasti bagaimana posisi Kridosono saat ini, dan harapan warga kota sebagai pengguna Kridosono sebagai fasilitas publik di Kota Yogyakarta, mengingat relevansi menjadi sebuah kunci yang ditekankan dalam RTBL Kawasan dan RTRW yang sudah ada. 1.2 Perumusan Masalah 1. Belum adanya studi untuk mengetahui bagaimana peran, fungsi, dan kedudukan ideal
Kridosono dan Tanggapan warga kota terhadap
Kridosono 2. Belum adanya arahan desain untuk peningkatan kualitas Kridosono sebagai ruang publik dan optimalisasi fungsi komersial dan sosial yang ada 3. Belum adanya perumusan kriteria sebuah ruang publik untuk optimalisasi aktivitas komersial dan sosial di sebuah kawasan yang saling terintegrasi dengan sistem kota sekitarnya. 4. Belum adanya pengembangan kriteria tersebut menjadi arahan penataan berupa pedoman desain skematik. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana kedudukan ideal Kridosono dan tanggapan warga kota mengenai peran dan fungsi Kridosono? 2. Seberapa jauh kualitas Kridosono sebagai ruang publik yang seharusnya mampu mengakomodasi kegiatan sosial dan komersial? 3. Strategi desain seperti apa yang mampu meningkatkan fungsi sosial dan komersial di Ruang Publik Kridosono agar bisa berjalan lebih optimal?
17
1.4 Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk merumuskan arahan penataan Kridosono Baru yang tidak hanya memiliki kualitas baik dan sesuai dengan konteks yang ada, namun juga merespon kebutuhan warga kota akan ruang aktivitas untuk melakukan interaksi sosial dan merespon isu potensi ekonomi yang dimiliki Kridosono, sehingga pada arahan Kridosono Baru nanti interaksi sosial dan aktivitas komersial akan berjalan lebih optimal. Sedangkan sasaran penelitian ini adalah: 1. Mengetahui peran, fungsi, dan, kedudukan ideal Kridosono dan Tanggapan warga kota mengenai Kridosono. 2. Mengetahui seberapa jauh kualitas Kridosono sebagai ruang publik yang seharusnya mampu mengakomodasi kegiatan sosial dan komersial, untuk kemudian merumuskan kriteria meningkatkan kualitas interaksi sosial dan komersial agar bisa berjalan lebih optimal. 3. Merumuskan strategi desain yang mampu mengoptimalisasikan fungsi sosial dan komersial di Kridosono Baru. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis: Memberikan masukan studi mengenai desain Ruang Terbuka Publik dengan berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan di dalamnya, konteks, kebutuhan dan juga potensi berdasarkan lokasi tempat ruang terbuka publik itu berada. 2. Manfaat Praktis: Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan, pertimbangan strategi desain dan arahan dalam mendesain ruang publik Kota Yogyakarta pada umumnya, dan Kridosono pada khususnya. 1.6 Tata Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN
18
Bab ini berisi Latar Belakang, perkembangan ruang terbuka
publik di
Yogyakarta, rencana pengembangan Kridosono sebagai fungsi ruang publik dan bisnis skala menengah-besar, Perumusan Permasalahan, Pertanyaan Penelitian, Tujuan dan Sasaran Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penelitian BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas teori-teori yang digunakan. Teori-teori tersebut dikategorikan menjadi teori umum, yaitu: teori elemen perancangan ruang publik, konfigurasi spasial massa ruang terbuka dan pengaruhnya terhadap ruang publik, dan kriteria penataan fisik untuk penentuan kualitas ruang publik serta teori spesifik, yaitu: teori ruang publik dan aktivitas yang diakomodasi didalamnya berupa aktivitas sosial dan komersial (aktivitas bermotif ekonomi). BAB 3 METODE PENELITIAN Bab ini akan membahas tipe penelitian, tempat dan waktu penelitian, variabel dan indikator penelitian, lingkup penelitian, populasi, sampel, jumlah sampel, dan unit analisis dan amatan, serta teknik pengumpulan data. BAB 4 GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN Bab ini akan membahas mengenai gambaran umum Kota Yogyakarta dan Kotabaru sebagai wilayah penelitian. BAB 5 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Bab ini memaparkan hasil identifikasi dan temuan di lapangan. Hasil temuan tersebut kemudian dianalisa untuk ditemukan alternatif-alternatif untuk kemudian disintesa menjadi arahan desain final. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini akan membahas mengenai hasil kesimpulan dari analisa pada Bab 5. Dari kesimpulan tersebut kemudian diterjemahkan menjadi saran yang lebih elaboratif berupa strategi desain.
19