BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hampir selama satu dekade terakhir ini Indonesia bergejolak. Relasi antarumat beragama mengalami ketegangan yang tak luput mendorong terjadinya disharmonisasi sosial. Masyarakat dihantui oleh rasa takut, cemas, khawatir, dan saling curiga karena berbagai konflik yang terjadi. Tak jarang konflik atau pertikaian itu diwarnai dengan kerusuhan yang berujung pada kekerasan dan radikalisme. Kenyataan sebagai masyarakat yang majemuk dengan segala keberagaman (perbedaan) agama yang ada, telah mengantarkan pada tantangan bagaimana menyatukan keberagaman agama tersebut dalam kehidupan seharihari. Disatu sisi, keanekaragaman (perbedaan) agama hadir sebagai pemersatu atau perekat sosial (social glue). Namun disisi lain, agama justru seringkali terperangkap dalam berbagai isu konflik dan kekerasan (violence) yang mengatasnamakan agama. Masih teringat jelas dalam memori publik bagaimana konflik berdarah yang terjadi di Poso dan Ambon. Poso sebagai kota dengan masyarakatnya yang hidup damai dan tenang, dikejutkan dengan insiden berdarah yang melibatkan dua orang remaja beda agama. Namun, tak lama kemudian masyarakat sependapat bahwa penyebab utama insiden itu adalah alkohol, seketika masalah tersebut pun tak lagi diperpanjang. Akan tetapi, pada bulan Mei 2000, konflik semakin memanas setelah ditemukan insiden berdarah yang menewaskan sekitar delapan
1
puluh orang Muslim oleh pasukan Kristen di sebuah daerah kantong Muslim kecil yang tengah berlindung di sebuah Masjid Walisongo, tak jauh di selatan Kota Poso (Klinken, 2007:120). Pertikaian pun terus berlanjut, korban semakin banyak berjatuhan, hingga memunculkan stigmatisasi sentimen agama sebagai faktor penggeraknya. Hal serupa dengan Poso turut terjadi di Ambon. Kekerasan yang ‘mengatasnamakan’ agama mewarnai konflik berdarah di Ambon. Laporan Pemeritah Daerah kepada Pemerintah Pusat (2000) dalam Mujib dan Rumahuru (2010:4) menunjukkan bahwa konflik dengan kekerasan yang mengerikan di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya antara Januari 1999 hingga letusan terakhir pada April tahun 2004, telah memberikan ingatan mengerikan akan mudahnya konflik yang awalnya adalah murni peristiwa kriminal, kemudian bermutasi dan bereskalasi secara cepat dan meluas hingga menimbulkan semakin banyak korban berjatuhan. Ratusan jiwa melayang dan sebagian dari mereka tidak mengetahui mengapa harus binasa, dibisukan dan dihilangkan. Yang mereka tahu hanyalah yang lain adalah musuh, yang lain memerangi mereka, dan mereka juga memerangi yang lain. Ketegangan yang terjadi pasca reformasi tersebut masih sering dijumpai hingga saat ini. Konflik-konflik yang berakar dari agama juga terlihat pada peristiwa yang belum lama ini terjadi, yakni peristiwa GKI Yasmin, Bogor, Jawa Barat dan Gereja HKBP Filadelfia terkait izin pembangunan tempat ibadah (Gereja) yang kemudian meluas dan menjadi perhatian semua elemen masyarakat. Meski tidak sekuat konflik yang terjadi di Poso dan Ambon, peristiwa-peristiwa
2
semacam ini tetap harus di waspadai. Hal ini dikarenakan, ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam relasi antarumat beragama dapat menjadi duri tajam yang akan mengancam terciptanya integrasi sosial dalam kehidupan bersaudara. Dalam konteks permasalahan diatas, Yogyakarta dengan the City of Tolerance-nya sebagai sebuah harapan bersama tak luput dari ancaman potensi konflik bernuansa agama. Sejak dibangun oleh Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta merupakan kota yang plural dengan komposisi penduduk yang beranekaragam. Keanekaragaman etnis, suku, dan agama turut mewarnai kehidupan masyarakat yang tinggal di Yogyakarta. Sebagai kota yang dikenal sebagai kota pelajar, tentu Yogyakarta menjadi salah satu daerah tujuan utama bagi lanjutan pendidikan tinggi pelajar. Dengan munculnya banyak pendatang baru, bukan hanya berdampak pada bidang sosial ekonomi, namun juga sosial budaya. Secara otomatis, akan terjadi akomodasi kebudayaan Jawa terhadap kebudayaan luar. Relasi penganut kepercayaan atau pemeluk keyakinan di Yogyakarta sampai saat ini memang berjalan dengan baik dan harmonis. Hal ini diperkuat dengan cita-cita masyarakat Jawa dalam tradisi kejawennya yang terletak pada keselarasan. Di satu sisi masyarakat Yogyakarta diuntungkan dengan posisi historis yang melekat dengan kehidupan sehari-harinya. Namun disisi yang lain, meskipun keselarasan telah menjadi jantung kehidupan masyarakat Yogyakarta, bukan berarti pula Yogyakarta selalu adem ayem dan tidak pernah terpecik oleh aksi kekerasan dan konflik, baik bernuansa agama, politik, maupun etnis. Meskipun konflik dan aksi kekerasan yang ‘mengatasnamakan’ agama
3
sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta tidak berskala besar seperti yang terjadi di Poso dan Ambon, namun keadaan ini telah membuktikan bahwa Yogyakarta tidak terlepas dari kerentanan dan ancaman potensi konflik bernuansa agama. Berikut sekilas deretan panjang kasus konflik dan aksi kekerasan bernuansa agama di Yogyakarta: Tabel 1. Konflik Bernuansa Agama di Yogyakarta. No
Waktu Kejadian
Deskripsi Kasus
1
16 November 1997
Gereja Persekutuan Injili Baptis Indonesia (GPIBI) Bantul-Yogyakarta di desak untuk menutup rumah ibadahnya dan didesak oleh 500 massa didukung oleh aparat (Muspika).
2
22 November 1997
Pepanthan (cabang) Gereja Kristen Jawa (GKJ) “Modalan”
dan
“Babadan
Gedongkuning”
di
Kotagede-Yogyakarta di bakar massa. Setelah sebelumnya
mengintimidasi
Gereja-Gereja
di
Bantul. 3
24 November 1997
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kotagede-Yogyakarta, dilempari.
4
November 1997
Gereja Pentakosta di Indonesia (GpdI)
Pakem
Incident, Turgo Yogyakarta ditutup oleh pemerintah. 5
28 Maret 1998
Gereja Perhimpunan Injili Baptist Indonesia Church (PIBI) di Kedung Kuning Incident, Yogyakarta
4
dilempari batu oleh massa. 6
2000
Protes pendirian Gereja Kristen di Banguntapan, Bantul.
7
2000
Protes FUI terhadap Gereja Injil di Indonesia (GIDI), di Kalasan, Sleman.
8
2000
Protes
pendirian
Gereja
Kristen,
Tegalrejo-
Yogyakarta. 9
26 Januari 2000
Masjid Gede, Kauman Yogyakarta dibakar oleh orang tak dikenal dan ditemukan bukti kejahatan yang hendak digunakan untuk membakar masjid, berupa detonator, sebatang bahan peledak padat TNT 200 gram, baterai 9 volt, serta botol air mineral berbau bensin, baik yang ditemukan maupun dikemas dalam kotak kayu.
10
9 Juni 2004
Kapel Santo Yosef di Dusun Gatak, Desa Sendang Sari, Minggir, Sleman, Yogyakarta, dilempar bom molotov
oleh
orang
tak
dikenal.
Hal
itu
mengakibatkan pintu utama Gereja terbakar dan tembok hangus. 11
4 Oktober 2006
Forum Umat Islam (FUI) Pondokredjo memprotes pembangunan Kapel St. Antonius di Dukuh Mlesen, Desa Pondokredjo, Kabupaten Sleman. Sumber, Subkhan, 2007:62-63
5
Mengingat ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam relasi antarumat beragama, sangat diperlukan upaya pencegahan potensi konflik, kekerasan dan kerusuhan bernuansa agama yang semakin hari kian mengkhawatirkan. Dialog merupakan salah satu upaya yang relevan dan saat ini tengah semangat digerakkan. Jalan ini ditempuh guna membangun harmonisasi relasi antarumat beragama dan perbaikan terhadap kondisi sosial masyarakat yang kini menjadi kebutuhan dan tidak bisa ditunda. Dalam konteks permasalahan diatas, Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta merupakan wilayah yang tak luput dari ancaman potensi konflik bernuansa agama. Secara demografis masyarakat yang mendiami dusun ini adalah masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan di antaranya memeluk agama Islam, Katolik dan Kristen. Pasca Erupsi Merapi tahun 1994, Dusun Turgo menjadi sasaran oleh banyak kepentingan lembaga donor yang disinyalir membawa misi syiar agama (misionaris) dengan membentangkan bendera keagamaannya masing-masing melalui aksi kemanusiaan. Lembaga donor
berbondong-bondong
datang
memberikan
bantuan
dan
berusaha
mendapatkan simpati warga masyarakat di Dusun Turgo. Ketika itu, masyarakat memang dihadapkan pada kondisi bencana dan mengalami depresi sosiopsikologis akibat kerugian yang ditimbulkan dari bencana Erupsi Merapi. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh lembaga donor tersebut untuk menarik simpati warga masyarakat. Hingga pada akhirnya kondisi ini memunculkan isu “kristenisasi” dan “islamisasi” kepada warga masyarakat di Dusun Turgo. Dalam situasi ini, warga di Dusun Turgo banyak ditunggangi oleh kepentingan-
6
kepentingan agama tertentu dan rentan untuk dimobilisasi. Kerentanan tersebut berpotensi menimbulkan ancaman terjadinya benturan-benturan kepentingan keagamaan yang berlangsung di Dusun Turgo. Benturan kepentingan keagamaan tersebut dapat menjadi polemik konflik bernuansa agama yang mampu mengancam keselarasan sosial di Dusun Turgo. Berangkat dari permasalahan tersebut, FPUB masuk menjadi mediator tanpa membawa kepentingan salah satu agama sebagai yang utama. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), merupakan forum lintas iman yang berupaya untuk membangun ruang dialog melalui forum komunikasi yang melibatkan para agamawan lintas iman di Yogyakarta. FPUB concern dan commited terhadap berbagai persoalan-persoalan relasi antarumat beragama yang kini semakin mengkhawatirkan mengancam keselarasan sosial. Kegiatan-kegiatan yang gencar dilakukan bertujuan untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup umat beragama yang berlandaskan perdamaian dan persaudaraan sejati. FPUB tampil sebagai ruang dialog yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan agama tanpa mengurangi esensi dan nilai substansi yang ingin dituangkan. Melalui ruang dialog, FPUB membangun harmoni lintas iman di wilayah yang rentan akan potensi konflik bernuansa agama ini. Dalam mengatasi permasalahan tersebut, FPUB membangun ruang dialog melalui dua pendekatan, yaitu; dialog sarasehan dan dialog karya. Pada konteks warga Dusun Turgo sendiri, ruang dialog yang banyak dibangun oleh FPUB yaitu dengan menggunakan model dialog karya. Model dialog ini dibangun melalui pendekatan
7
kultural (local wisdom) yang melibatkan semua elemen agama tanpa menonjolkan kepentingan agama tertentu melalui aksi kemanusiaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghindari adanya dominasi kepentingan kelompok agama tertentu. Dusun Turgo, Yogyakarta, merupakan salah satu wilayah kerja khusus FPUB. FPUB concern dan commited untuk membangun ruang dialog di wilayah tersebut dikarenakan potensi konflik agama yang kuat dan kental. Ruang dialog karya yang dibangun FPUB antara lain seperti; doa lintas iman, pengajian dan misa akbar yang dilakukan pada momentum keagamaan serta pendekatan-pendekatan sosio-kultural seperti pembangunan jembatan, pembangunan cangkruk, pasar murah dan pengobatan gratis, lampah wening, doa lintas iman dan orasi budaya, pagelaran wayang kulit dan lain sebagainya. Pendekatan ini merupakan upaya dalam membangun semangat spiritualitas dan nasionalisme persaudaraan sejati. Hal ini dimaksudkan pada persaudaraan yang dibangun oleh masyarakat lintas iman dengan tidak menjadikan agama sebagai akar persoalan sosial dalam bermasyarakat yang dapat menjadi ancaman keselarasan sosial. Sehingga diharapkan dengan hadirnya ruang dialog FPUB mampu membangun rasa toleransi untuk menciptakan kehidupan lintas iman yang harmonis. Akan tetapi, meskipun ruang dialog karya yang dibangun FPUB telah mampu membangun toleransi dan menetralisir ketegangan-ketegangan relasi antarumat beragama, namun ditengarai masih terdapat variasi konstruksi terhadap ruang dialog karya FPUB. Variasi konstruksi ini dapat dilihat dari respon masyarakat yang variatif. Di antaranya ada yang menilai bahwa FPUB memiliki
8
peranan penting dalam membangun keharmonisan warga masyarakat lintas iman di Turgo serta menanamkan rasa toleransi lintas iman bahwa “kita saudara” melalui ruang dialog tersebut. Sehingga, upaya ini telah mampu mempersatukan dan menekan potensi konflik yang disebabkan oleh sentimen agama. Namun disisi lain, adapun yang menilai bahwa jalan yang ditempuh FPUB telah menodai kemurnian agama dan telah mengancam persatuan kelompok agama tertentu. Tentu hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan percikan konflik bernuansa agama dan bisa menjadi kerikil tajam yang menghambat keberlanjutan dan visi ruang dialog FPUB. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konstruksi sosial masyarakat lintas iman di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta, terhadap pembangunan jembatan suropanggah sebagai media ruang dialog karya FPUB ? 2. Apa faktor yang mendorong lahirnya konstruksi sosial tersebut ?
1.3 Tujuan Penelitian Selama ini belum ada pendekatan pencegahan maupun penyelesaian konflik bernuansa agama yang mampu memberikan pencerahan dan perubahan bagi kondisi negeri yang semakin carut marut oleh serangkaian pertikaian yang mengemuka. Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang tidak terlepas dari
9
percikan konflik bernuansa agama. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) hadir membangun ruang dialog lintas iman (interfaith) di Yogyakarta yang mengakomodasi para pemuka agama dan segenap elemen masyarakat untuk aktif terlibat secara bersama-sama mewujudkan dan menjaga perdamaian dengan membangun persaudaraan lintas iman. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami dan mendeskripsikan secara komprehensif model ruang dialog karya yang dibangun oleh FPUB dan sekaligus mengkaji dampak serta konstruksi masyarakat terhadap ruang dialog FPUB tersebut. Konstruksi tersebut didapatkan melalui kajian tentang respon dan adaptasi masyarakat lintas iman di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta, yang mendorong lahirnya konstruksi sosial terhadap ruang dialog yang dibangun FPUB. Respon dan adaptasi warga masyarakat di Dusun Turgo dapat menjadi landasan dalam melihat dinamika dan model ruang dialog dalam studi tentang konflik bernuansa agama. 1.4 Tinjauan Pustaka Kenyataan akan keberagaman (perbedaan) agama tidak dapat ditolak dan dipungkiri keberadaannya. Untuk itu, mengelola keberagaman menjadi hal yang penting dalam menciptakan keselarasan sosial antarumat beragama. “Membangun Persaudaraan Sejati” merupakan visi dasar FPUB dalam membangun harmonisasi lintas iman di Yogyakarta. Merangkul seluruh elemen masyarakat tanpa memandang status dan latar belakang agama serta melalui aksi-aksi kemanusiaan menjadikan esensi dari persaudaraan sejati tersampaikan.
10
Berangkat dari latar belakang di atas, upaya yang dikembangkan oleh FPUB dalam mengobarkan semangat perdamaian di tengah isu konflik dan kerusuhan sosial yang seringkali mengatasnamakan agama menjadi menarik untuk diteliti. Widiyono (2009) mengkaji tentang visi dialog Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta dalam tesisnya. Penelitian ini lebih menekankan pada aspek perbandingan visi dialog FPUB dengan visi dialog korelasional Paul F. Knitter sebagai titik yang utama. Widiyono (2009) memaparkan secara mendalam bahwa keprihatinan akan berbagai macam kerusuhan tersebut telah melahirkan berbagai pemikiran maupun gerakan konkret yang berupaya untuk mencegah maupun melakukan upaya dalam mengatasi konflik yang telah menjamur, termasuk FPUB. FPUB muncul sebagai forum yang mencoba untuk menerjemahkan ruang dialog lintas iman ke dalam gerakan konkret. Visi dasar dialog yang dikembangkan Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta (FPUB) dirumuskan dengan motto “persaudaraan sejati” dan diteguhkan ke dalam rangkaian kegiatan bersama melalui pendekatan pada aksiaksi kemanusiaan. Aktivitas-aktivitas yang diprakarsai FPUB tersebut misalnya saja seperti doa bersama, dialog kehidupan dalam bentuk sharing pengalaman, live in interfaith bersama, serta aksi-aksi perdamaian yang mengobarkan kampanye nir-kekerasan. Di sisi lain, visi dialog korelasional dan tanggung jawab global yang dibangun oleh Knitter (2005) dalam Widiyono (2009:6)
menekankan pada
perjumpaan antara religious and suffering Others sebagai proses kesetiaan terhadap perwahyuan Allah dalam Yesus dan dalam dunia keseharian di sekitar
11
kita. Di dalam visi dialog korelasional ini, persamaan hak akan setiap partner dialog diakui. Melalui istilah korelasional ini, pluralitas agama dilihat bukan pada pertama-tama pluralitas itu baik di dalam dirinya sendiri melainkan karena merupakan kenyataan hidup dan unsur penting dalam suatu relasi. Relasi dialogis yang terjalin di antara komunitas agama-agama mengandaikan percakapan yang dilandasi pada kejujuran dan mendengarkan secara utuh. Tujuan dialog bukan pada kesempatan untuk saling mendorong pertobatan orang lain, agama dalam arti tradisional, akan tetapi lebih kepada pertobatan dari dalam diri sendiri dengan meningkatkan keimanan mereka yang justru setelah mereka mengenal bagaimana orang lain dalam menghayati agama yang diyakininya. Visi dialog Knitter tidak bertujuan untuk menyatukan seluruh agama di mana secara filosofis dan teologis saling berbeda. Melainkan membentuk kesatuan
yang lebih besar namun tetap menghasilkan serta
menikmati indahnya keberagaman. Baik FPUB maupun Knitter (2005) menempatkan manusia
dan
martabatnya sebagai titik temu sekaligus titik berangkat sebuah dialog. Akan tetapi, kesamaan visi ini terwujud dalam karya yang berbeda. Visi dan komitmen FPUB diwujudkan dalam doa bersama, gerakan kultural, dan spiritual Jawa yang mengarah pada persaudaraan sejati. FPUB berupaya untuk membangun persahabatan religius dengan mengenalkan atau mengetahui persamaan maupun perbedaan yang tidak disamakan dan tidak disembunyikan serta justru diperkenalkan sejak awal. Sedangkan visi dan komitmen Knitter terwujud dalam sebuah pemikiran teologis yang melingkupi cakupan global dengan empat
12
langkah
dialognya,
yaitu;
compassion,
conversion,
collaboration
dan
comprehension. Tujuan dari penelitian perbandingan visi dialog antara FPUB dan Paul F. Knitter adalah untuk membukakan sebuah wawasan dialog yang memungkinkan komitmen seseorang terhadap agamanya sekaligus membuka peluang kerja sama antarumat beriman atas dasar suatu persoalan humanity. Sedangkan tujuan dari penelitian
konstruksi
umat
beragama
adalah
untuk
memahami
dan
mendeskripsikan secara komprehensif bentuk ruang dialog yang dibangun oleh FPUB dan sekaligus mengkaji dampak serta konstruksi masyarakat terhadap ruang dialog FPUB tersebut. Konstruksi tersebut didapatkan melalui kajian tentang respon dan adaptasi masyarakat lintas iman di Dusun Turgo. Kesimpulan penelitian perbandingan visi dialog antara FPUB dan Paul F. Knitter yakni pendekatan pemikiran Knitter telah membantu untuk memahami dialog yang otentik dan jujur, dan gerakan FPUB telah membantu untuk melihat salah satu praktik dialog yang bersifat alamiah, non partisipan dan non politis. Sehingga studi ini semakin memperjelas suatu arah baru dalam dialog yang kreatif tanpa mengingkari iman peserta dialog. Ada peluang dalam sebuah dialog antaragama yang tidak melahirkan masalah teologis yang berkepanjangan. Dialog kehidupan yang intensif akan menumbuhkan persaudaraan sejati bahkan sampai pada suatu persahabatan religius di mana persahabatan ini dimulai dengan mau mengenal dan menghargai yang lain. Sedangkan penelitian terkait konstruksi umat beragama terhadap ruang dialog lintas iman yang dikembangkan oleh FPUB, lebih menekankan pada aspek
13
model ruang dialog karya yang dikembangkan serta bagaimana users atau penerima manfaat ruang dialog tersebut yakni masyarakat di Dusun Turgo memberikan respon serta stimulan respon terhadap tindakan. Variasi respon dan adaptasi tersebut merupakan landasan dalam melihat dinamika dan model ruang dialog dalam studi tentang konflik bernuansa agama.
1.5 Kerangka Konseptual Agama sendiri dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan, praktik, dan nilai-nilai filosofis yang berkepedulian dengan ketentuan-ketentuan dari yang suci, pemahaman hidup, dan penyelamatan dari masalah keberadaan manusia (Theodorson & Theodorson, 1970: 344; Kuper & Kuper, 1989: 698-701) dalam Kelsay (2007:xviii). Dengan demikian, agama merupakan keyakinan yang dimiliki oleh setiap individu, di mana keyakinan tersebut mengandung nilai dan dijadikan individu sebagai pedoman yang dipercaya dan diteguhkan ke dalam sebuah tindakan baik yang bersifat individual maupun kolektif. Setiap agama secara kodrati memang cenderung menegaskan dan menyatakan klaim kebenaran teologis yang dimilikinya. Namun, ketika agama-agama itu hadir secara historis, ia berhadapan dengan pluralisme keberagaman sebagai realitas sosial yang tumbuh dan hidup di tengah masyarakat. Keberagaman agama seringkali menimbulkan ketegangan-ketegangan di antara relasi umat beragama. Sehingga diperlukan suatu pendekatan untuk mencegah potensi tersebut, salah satunya melalui dialog agama.
14
Dialog agama-agama, setidaknya memiliki lima kunci dasar dalam berdialog. Kelima kunci dasar tersebut antara lain; pengetahuan untuk berdialog (Knowledge of dialogue), kesadaran berdialog (the awareness of dialogue), media berdialog (media of dialogue), model atau bentuk dialog yang dilakukan (understanding the model of dialogue), dan pendekatan dialog (approach to dialogue) (Mujib, 2010:7). Pengetahuan untuk berdialog dimaksudkan pada pemahaman akan tujuan diadakannya komunikasi sebagai media pertukaran maksud dan tujuan, sebagai pertimbangan pengambilan keputusan demi kepentingan umat banyak, bukan mengedepankan kepentingan pribadi ataupun kelompok tertentu. Selanjutnya, kesadaran berdialog dimaksudkan kemauan yang muncul secara sadar, bukan karena paksaan, sehingga komunikasi dapat berjalan dan bermanfaat dengan tidak ada tuntutan dan tekanan di dalamnya. Hal ini ditujukan pula untuk mempertegas posisi tujuan dialog bahwa tidak ada yang menang dan yang kalah, serta tidak ada yang salah. Dialog tidak akan berjalan tanpa adanya media atau tempat yang kondusif, serta bentuk dialog yang dilakukan akan sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil yang dicapai. Pendekatan sangat penting dilakukan tatkala upaya dialog harus dilakukan dengan memahami setiap karakter yang ada. Kunci dasar berdialog kemudian dipertegas oleh Littlejohn & Domenici (2001) dalam Kelsay (2007), komunikasi terbuka juga berarti bahwa semua kelompok yang ikut serta memiliki hak dan keinginan untuk mengungkapkan diri mereka sendiri dan mendengarkan pihak liyan. Menimbang keadilan dalam bersuara dan memberikan sumbangsih dalam berdialog bagi perdamaian tanpa
15
mengurangi hak pihak liyan (yang lain). Meskipun agama dalam sisi gelapnya turut memberikan sumbangan pada konflik bernuansa agama, akan tetapi pesan normatif yang paling dasar dari agama dan diyakini oleh sebagian penganutnya adalah perdamaian. Perdamaian yang harus diciptakan dan dijaga sebagai salah satu bentuk ibadah demi terciptanya kehidupan yang tenang. Kemudian, Littlejohn & Domenici (2001) dalam Kelsay (2007:Ixii) melanjutkan dialog sendiri merupakan suatu percakapan yang bersifat membangun dan penuh kedamaian yang menyediakan lingkungan bagi setiap pihak yang berbeda (agama, keyakinan, ideologi, dan juga kepentingan) untuk mengungkapkan diri mereka sendiri dan belajar dari liyan, yang memungkinkan penjajagan terhadap landasan bersama. Dialog antar komunitas agama menuntut antara lain, bahwa antara partisipan bersifat moderat dan mampu mengendalikan diri, memiliki sifat toleran yang tinggi, dan mempunyai keinginan untuk terlibat di dalam pertukaran pandangan dan gagasan dengan liyan yang berlatar belakang amat berbeda. partisipan dari dialog haruslah bebas dan mampu mengungkapkan pendapat, perasaan, nilai-nilai dan kepentingan mereka, tetapi mereka juga harus memiliki keinginan
untuk mendengarkan secara terbuka kepada pendapat,
perasaan, nilai-nilai, dan kepentingan liyan (Littlejohn & Domenici, 1995:47) dalam Kelsay (2007). Dialog antarumat beragama tidak dapat berjalan baik apabila tidak ada rasa saling menghargai, masih terdapat prasangka dan kecurigaan di antara umat beragama. Sehingga, kejujuran dan ketulusan merupakan aspek penting berjalannya dialog dengan baik. Hal ini dikarenakan, dialog antarumat beragama
16
berfungsi sebagai sarana untuk berbagi pengalaman. Melalui mekanisme dialog itulah terjadi proses saling memperkaya dan mendalami pengalaman serta tradisi keagamaan masing-masing guna menumbuhkan sikap toleransi sesama umat manusia. 1.5.1 Teori Konstruksi Sosial Dalam sosiologi, fenomena sosial bukan berada pada ruang vacuum, atau tidak muncul secara mendadak dan tiba-tiba. Untuk itu, penelitian ini mencoba menggunakan kerangka teori dalam bingkai social costruction dalam mengurai perbedaan konstruksi umat beragama terhadap ruang dialog lintas iman. Diadopsi dari Pettenger (2007:6) dalam Usman (2012) social construction menekankan pada dua elemen penting yaitu kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge). Asumsi dasar yang melekat pada pendekatan ini adalah bahwa dalam masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan (forces) yang bersifat material dan ideational yang memfasilitasi sekaligus memberi energi agen dan struktur menjadi ajang proses sosial (Pettenger, 2007:6). Social construction mencoba untuk menyampaikan atau menjelaskan bahwa sesuatu yang secara luas sudah dianggap berada di luar lingkup pengaruh sosial sesungguhnya adalah hasil dari proses-proses sosiohistoris atau interaksi sosial tertentu. Dalam pendekatan social construction anggota masyarakat dilihat sebagai aktor-aktor yang memiliki kemampuan untuk memberi respon sekaligus stimulan bagi perubahan sosial. Hal ini dikarenakan, social construction cenderung menggarisbawahi beragam makna yang diberikan oleh aktor-aktor sosial (baca: anggota masyarakat) terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Sehingga ketika 17
aktor-aktor tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa tertentu yang berbeda dengan sebelumnya, memiliki energi untuk memberikan respon dan tidak duduk berdiam diri atau pasrah. Respon tersebut didasarkan pada pengetahuan akan realitas sosial yang dihadapi dan refleksi dalam bentuk tindakan. Berangkat dari uraian diatas, yang perlu diperhatikan bahwa pendekatan social construction memberikan tekanan pada faktor yang bersifat material sekaligus yang bersifat ideational. Faktor yang bersifat material sama pentingnya dan tidak bisa dipisahkan dari faktor yang bersifat ideational. Hal ini dikarenakan keduanya saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. misalnya saja dalam melihat fakta sosial seperti konflik, konflik merupakan sesuatu yang nyata, sebuah kenyataan sosial karena selalu memiliki konsekuensi material seperti jumlah dan tingkat kekerasan. Kemudian, social construction juga memperhatikan persoalan agent/structure duality. Dalam konteks ini, aktor bisa berperan sebagai agen yang memiliki identitas atau jati diri tertentu. Dan dalam diri setiap aktor terdapat pandangan, keinginan dan kepentingan tertentu yang ingin dicapai. Sedangkan struktur merupakan lingkungan sosial yang hadir membingkai kehidupan aktor-aktor tersebut. Dalam struktur terdapat nilai-nilai dan norma sosial, pengetahuan serta wacana yang tumbuh dan berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dalam social construction sendiri, discurses atau wacana merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam memahami dan menjelaskan tentang keberadaan sebuah fenomena sosial dan proses sosial. Untuk menjelaskan keterkaitan antara agent dan structure perlu dilihat kembali keberadaan dan peran aktor sebagai agen. Sehingga antara agent dan
18
structrure memiliki keterkaitan satu sama lain dan tidak bisa di pisahkan untuk menjelaskan suatu fenomena sosial. Hal ini dikarenakan “In human behavior , agency cannot exist without structure, and structure cannot exist without agency (Hegmon 2003, this volume; Joyce and Lopiparo 2005) dalam Varien and Potter (2008:6). Artinya, dalam perilaku manusia, lembaga tidak bisa ada tanpa struktur, dan struktur tidak dapat eksis tanpa badan. Sehingga keduanya memiliki keterkaitan secara fungsional. Aktor sebagai agen memiliki kekuatan untuk memilih dan memilah berbagai macam norma dan alternatif-alternatif tindakan sosial. Agen merupakan aktor yang aktif dan bebas. Aktor memiliki kebebasan untuk mendefinisikan sebuah fenomena sosial tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sehingga aktor tersebut tidak dengan sertamerta tunduk dan mengikuti kemauan struktur. Dalam social structure aktor diyakini memiliki kemampuan untuk membangun rumusan yang disusun berdasarkan makna subyektif (subjective meanings) yang dihasilkan oleh relasi-relasi sosialnya. Meski demikian, definisi tersebut tidaklah lepas dari konteks sosial. Sehingga fenomena sosial tidak dapat dipahami dengan hanya melihat teks belaka melainkan memiliki konteks sosial (of the contexts). Hal ini dikarenakan konteks menciptakan kesadaran aktor dan relasi interaksi antar aktor. Selanjutnya, social construction menekankan pada persoalan proses sosial. Proses sosial sendiri dapat terjadi karena bekerjannya faktor realitas material dan bisa juga karena produk konstruksi aktor (kreasi aktor) yang berkembang dalam kondisi sosial tertentu (setting). Dan produk atau hasil konstruksi aktor tersebut
19
tumbuh dan berkembang melalui sesuatu yang diwacanakan dalam bingkai struktur lingkungan sosialnya yang menjadi referensi sikap serta tindakan sosial. Dengan demikian, di satu sisi proses sosial dapat dibahas dalam kaitannya dengan faktor material dan ideational, dan di sisi yang lain sebetulnya dapat dibahas pula dalam kaitannya dengan peran agent-structure. Berdasarkan uraian tersebut, setidaknya terdapat tiga macam sumber yang dapat dijadikan referensi aktor dalam membangun dan mengembangkan konstruksi terhadap fenomena sosial tertentu. Pertama, sebuah konstruksi sosial bisa ditentukan oleh identitas aktor tersebut, namun bisa juga ditentukan oleh bagaimana
aktor
memerankan
diri
dalam
struktur
yang
membingkai
kehidupannya. Kedua, sebuah konstruksi sosial juga dapat ditentukan oleh norma sosial tertentu (Folkways, mores dan law), namun bisa juga ditentukan oleh nilainilai kultural tertentu seperti adat istiadat dan kepercayaan lokal masyarakat. Norma sosial merupakan konsep yang mengedepankan ‘benar-salah’ dan dilembagakan dengan cara; (1) membuka jalan tertentu dan menutup jalan-jalan lainnya, atau (2) menutup jalan tertentu dan membuka jalan-jalan lainnya. Ketiga, konstruksi sosial juga bisa ditentukan oleh kepentingan aktor. Dalam social construction perbedaan kepentingan aktor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cara aktor dalam memaknai kenyataan sosial yang dihadapi atau yang diketahui. Dan hal ini selanjutnya berpengaruh pada perbedaan pola dan cara aktor dalam memerankan diri di lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini, teori dalam bingkai social construction akan digunakan untuk mengurai perbedaan nalar dan kepentingan warga masyarakat
20
lintas iman di Turgo, Yogyakarta terkait respon dan adaptasi terhadap ruang dialog FPUB. Teori ini menempatkan posisi aktor sama pentingnya dengan lingkungan sosial. 1.5.2 Jalan Dialog Hans Küng Kemudian untuk melihat ruang dialog agama itu sendiri, penelitian ini mencoba menggunakan perspektif Jalan Dialog Hans Küng (2007) dalam Martiam (Ed, 2010:51) bahwa “Tak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian antaragama, tidak ada perdamaian antaragama, tanpa dialog antaragama” serta “Tidak ada perdamaian antaragama tanpa penyelaman terhadap fondasi agama-agama”. Didasari atas keberagaman agama yang tumbuh dan hidup di tengah masyarakat serta pertanyaan bagaimana harus bersikap kepada dia yang lain, mereka yang berbeda, agama-agama yang berbeda (liyan). Bagi Küng dalam Elga et al., (Ed, 2004:74), mendefinisikan agama (religion) sama sulitnya dengan mendefinisikan seni. (“Religion is as hard to difine as art”). Agama bukan untuk didefinisikan, apalagi diperdebatkan karena agama dihayati dan dihidupi. Istilah agama merupakan terma problematis yang telah banyak diperdebatkan terutama para sarjana agama dan teolog. Memahami agama, cukup memahaminya melalui analogi karena agama memiliki kesamaan dan ketidaksamaan. Perlu adanya keterlibatan konstruktif dengan agama lain di dunia, demi terciptanya sebuah perdamaian di dunia karena hal ini sangatlah penting untuk bertahan hidup. Agama bukan merupakan “sesuatu” yang berada di luar diri dan hidup manusia. Untuk itu, seluruh agama di dunia saat ini harus menyadari andil mereka untuk perdamaian dunia. Yang perlu dicatat adalah 21
perdamaian akan hadir seiring dengan kokohnya perdamaian antarbangsa yang tercipta karena perdamaian antaragama. Sehingga, perdamaian antaragama merupakan faktor yang tidak dapat disingkirkan dalam menciptakan sebuah perdamaian. Dan cara untuk menempuh perdamaian agama adalah melalui penyelaman terhadap fondasi agama-agama. Penyelaman tersebut menurut Küng dalam Martiam (Ed, 2010:26) dilakukan melalui jalan dialog dan “Tidak ada dialog agama tanpa pengkajian hingga kedasar-dasarnya”. Dalam konteks ini, menuntut untuk menyadari tanggung Jawab satu sama lain, untuk meninggalkan sifat keras kepala ketika berhubungan dengan pihak liyan. Hal yang perlu dipahami adalah bagaimana situasi keagamaan besar saat ini, saat di mana umat manusia mengalami transformasi memasuki milenium ketiga, dan apa sesungguhnya yang harus dipertahankan serta apa yang dapat dan harus dirubah. Kemudian harus dipahami pula substansi iman yang tetap dan paradigma yang berubah. Menurut Küng, perlu juga mencari tahu di mana letak pertentangan dan di mana letak persamaan, di mana letak perbedaan dan di mana titik temu, di mana pusat konflik dan di mana awal bagi percakapan. “Jika seseorang beragama, dia tahu apa yang sedang dilakukannya di dunia, dia tahu makna hidup dan tindakannya, penderitaan dan kematiannya. Dia tahu standar-standar etik dan dasar moral yang harus dipatuhinya. Dia juga tahu dalam jemaat mana rohaninya merasa krasan...” Hans Küng dalam Elga et al., (Ed, 2004:72)
22
Yang menarik dari konsep Hans Küng ini adalah sesungguhnya umat beragama memiliki kesadaran akan jalan dan tindakannya yang dipilihnya. Bukan terbelenggu dan terperangkap ke dalam keadaan yang memaknai agama berada di luar diri manusia. Dalam bentuk yang sangat umum, Küng dalam Elga et al., (Ed, 2004:86) menunjukkan tiga aspek arah dari setiap dialog: a. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. b. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan dan yang berubah-ubah. c. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama - meskipun ada perbedaanya – dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia secara damai. Dialog pada dasarnya tidak hanya dapat meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman transformatif untuk saling memperkaya antarpihak yang terlibat. Bagi Küng dalam Elga et al., (Ed, 2004:87), dalam dialog tidak hanya membiarkan orang lain ada, tetapi juga turut serta mengadakannya secara afektif. Dialog semacam ini menuntut sikap terbuka daripada defensif, semangat untuk belajar satu sama lain daripada mentalitas ‘self-sufficient’, sikap rendah hati dan daripada perasaan dirinya selalu benar, etc. Dalam penelitian ini, konsep K ng akan digunakan untuk melihat urgensi dialog antarumat beragama dalam menciptakan perdamaian, dan bagaimana
23
seharusnya dialog itu berlangsung. Dialog bukan semata-semata berkumpul dan saling menonjolkan nilai keagamaannya masing-masing. Melainkan bagaimana bisa duduk bersama-sama untuk saling berbagi dan menumbuhkan rasa toleransi dalam melihat dan memahami pihak liyan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Küng, bahwa dialog antaragama tidak hanya bertentangan dengan iman, melainkan justru menjadi tantangan bagi setiap orang yang terlibat untuk mengembangkan kejujuran dan otentitas imannya. Konsep ini akan digunakan untuk melihat dan memahami sejauh mana dialog berlangsung dan upaya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dalam membangun ruang dialog lintas iman sebagai bagian dari upaya menciptakan perdamaian umat beragama di Turgo. 1.6 Metode Penelitian Dalam tema penelitian ini, metode penelitian yang dipakai adalah penelitian studi kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Sehingga diskripsi uraian tentang tendensi-tendensi dalam penelitian ini lebih banyak diwarnai narasi. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial (Rudito dan Famiola, 2008:78). Sedangkan studi kasus merupakan metode penelitian terhadap satu kasus yang dilakukan secara intensif dan mendalam dalam lingkungan sosial tertentu (Narbuko, 2003:164). Artinya, penelitian studi kasus merupakan kegiatan yang ingin melihat dan mempelajari suatu keunikan fenomena sosial. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan
–
nyata
seperti
siklus 24
kehidupan
seseorang,
proses-proses
organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial dan lain sebagainya (K. Yin, 2011). Peneliti adalah instrumen penelitian utama dalam pendekatan kualitatif, sehingga harus terlibat dengan objek secara intensif. Penelitian ini akan menganalisis data dengan mendeskripsikannya di awal kemudian memilahmilahnya berdasarkan parameter teori yang telah disusun. Secara umum, pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang bertujuan untuk memahami makna secara mendalam tentang apa dialami subyek dalam penelitian. Asumsi dasarnya adalah tidak ada fenomena yang terjadi secara mendadak, pasti terdapat makna yang melatarbelakanginya. Secara spesifik, Kirk dan Miller (1986:9) dalam Moleong (2007:4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai bentuk tradisi tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasan maupun dalam peristilahannya. Usman (2005:21) menjelaskan sedikitnya ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian studi kasus. Pertama, inti atau hakekat sebuah kasus yang diteliti. Maksudnya, suatu kasus dalam fenomena sosial tidaklah muncul secara mendadak dan tiba-tiba. Hal ini dikarenakan setiap kasus memiliki akar untuk diidentifikasi. Kedua, latar belakang terjadinya kasus tersebut. Artinya, lahirnya sebuah kasus diwarnai oleh serangkaian proses di mana proses tersebut melibatkan banyak anggota masyarakat (respon dan stimulan). Ketiga, lokasi atau setting kasus yang diteliti di mana melihat kasus sebagai entitas yang unik karena tidak ditemukan ditempat yang lain. Keempat, konteks
25
kasus. Dalam hal ini konteks membuat kasus menjadi menarik untuk diteliti sehingga apabila konteks itu diabaikan maka kasus menjadi tidak menarik. Kelima, sumber yang bisa memberikan informasi kasus yang diteliti. Metode tersebut diartikulasikan dalam skema kerangka penelitian untuk melihat konstruksi umat beragama terhadap ruang dialog lintas iman. Skema 1. Research Framework Faktor-Faktor Eksogen
FaktorFaktor Endogen (Latar Belakang Historis)
Respon Ruang Dialog karya di Dusun Turgo
Dampak
konstruksi
POSISI RISET
(Positif, Negatif) Adaptasi (Lemah, Sedang, Kuat)
Posisi Penelitian
Skema diatas mengilustrasikan proses penelitian yang berlangsung. Untuk Relasi Sosial
mempelajari dan memahami konstruksi umat beragama terhadap ruang dialog lintas iman FPUB, kiranya perlu merentangkan faktor-faktor pendorong munculnya konstruksi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam memahami kasus yang diteliti. Dasar asumsi yang dibangun bahwa fenomena sosial tidak berada pada ruang yang vacuum dan tidak terjadi secara mendadak sehingga terdapat faktor yang melatar belakanginya.
26
Dalam konteks ini, ruang dialog agama dengan model dialog karya yang dibangun oleh FPUB di Dusun Turgo memberikan dampak sosial. Dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat kemudian memberikan stimulan terhadap lahirnya respon dan refleksi dalam bentuk tindakan (adaptasi). Lahirnya respon dan adaptasi tersebut tidaklah terjadi secara tiba-tiba melainkan dipengaruhi oleh latar belakang historis yang merupakan faktor pendorong yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan faktor eksogen yang berasal dari luar masyarakat. 1.6.1 Forum
Lokasi Penelitian Persaudaraan
Umat
Beriman
(FPUB)
merupakan
forum
komunikasi lintas iman yang lahir atas keprihatinan terhadap kondisi bangsa Indonesia, yang dilanda konflik dan kebanyakan dilatarbelakangi oleh persoalan agama. FPUB berupaya untuk membangun ruang dialog sebagai jalan tengah untuk membangun kehidupan harmonis antar lintas iman khusunya di Dusun Turgo. Pemilihan masyarakat lintas iman dengan Dusun turgo sebagai unit analisisnya dikarenakan lokasi yang rentan konflik bernuansa agama ini merupakan wilayah kerja khusus FPUB dalam upaya membangun ruang dialog. Secara ekologi Dusun Turgo terletak di Lereng Pegunungan Merapi. Secara administratif,
Dusun
Turgo
masuk
ke
dalam
batasan
wilayah
Desa
Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan secara demografis masyarakat yang mendiami Dusun ini adalah masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan di antaranya memeluk agama Islam, Katolik dan Kristen.
27
1.6.2
Jenis dan Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari data yang langsung diambil melalui kegiatan lapangan penelitian seperti observasi lapangan, dokumentasi lapangan, dan wawancara mendalam (In depth interview). Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak lain yang bukan merupakan sumber utama dan digunakan untuk melengkapi data primer serta memperkuat analisis dan kesimpulan hasil penelitian. Data sekunder tersebut berupa studi literatur. 1.6.2.1 Observasi Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1984:136). Digunakan sebagai langkah awal dan pendalaman untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian sebagai penguat data primer. Observasi dilakukan pada awal penelitian dalam penyusunan proposal penelitian dan kajian awal. Hasil observasi sebagai pintu gerbang untuk melihat permasalahan dilapangan. 1.6.2.2 Wawancara mendalam ( In depth Interview ) Metode wawancara mendalam digunakan untuk wawancara langsung ke domain objek studi kasus penelitian ini, yakni:
28
Masyarakat
lintas
iman
di
Dusun
Turgo,
Desa
Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta yang terdiri dari warga beragama Islam, Kristen dan Katolik.
Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB).
Aparatur Desa seperti RT, RW, Dukuh, dan Sekdes.
Pemilihan informan pada warga tersebut didasarkan pada kategori elit agama dengan massa agama, di mana akan dipilih berdasarkan status dan peran informan dalam agama masing-masing. Elit agama dalam konteks penelitian ini dimaksudkan pada warga yang mempunyai posisi strategis seperti pimpinan agama, yang mempunyai basis massa dan aktif dalam kegiatan keagamannya, serta mengetahui atau terlibat dalam kegiatan ruang dialog yang dibangun oleh FPUB ataupun tidak. Sementara massa agama dimaksudkan pada warga yang berposisi sebagai penganut agama tertentu dan tidak mempunyai posisi strategis dalam struktur agama baik yang terlibat ataupun tidak terlibat dalam berbagai kegiatan ruang dialog FPUB. Sehingga diharapkan akan ditemukan variasi Jawaban konstruksi warga terkait ruang dialog FPUB tersebut. Proses pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling di mana penentuan informan akan dipilih berdasarkan petunjuk/rekomendasi dari informan sebelumnya. Dalam menentukan pemilihan informan juga akan memperhatikan variasi informan untuk memperkaya data lapangan. Data yang sudah dikumpulkan akan diolah menggunakan prinsip triangulasi, di mana data yang diperoleh dari informan akan di crosscheck kepada informan lain untuk memperoleh data yang valid.
29
1.6.2.3 Dokumentasi lapangan Keadaan dan setting dari FPUB ini didokumentasikan agar didapatkan data sekunder sebagai penguat data primer. Dokumentasi dilakukan pada saat observasi dan proses pengumpulan data dengan cara mendokumentasikan kejadian atau gambar yang dapat digunakan sebagai instrument atau suplemen untuk memperkuat analisis data informan. 1.6.2.4 Studi Pustaka Hasil dari data primer juga diperkuat dengan data-data yang bersifat literatur seperti jurnal, buku, e-book, dan internet. Pustaka tersebut terkait dengan masalah keagamaan di Yogyakarta. 1.7 Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif (Bodgan & Biklen, 1982) dalam Moleong (2007:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam melakukan pembahasan temuan lapangan atau menganalisis data, yang pertama kali dilakukan adalah mengidentifikasi semua hasil social mapping dari observasi, wawancara, dan teks yang ditafsirkan relevan dengan topik dalam rumusan masalah. Hal ini dilakukan guna menyeleksi data-data yang terkadang tidak diperlukan. Eksplanasi yang di buat berupa pembahasan tentang bentuk, 30
akar, proses dan implikasi dari ruang dialog yang di bangun oleh FPUB dan bagaimana masyarakat lintas iman di Dusun Turgo mengkonstruksinya. Eksplanasi tersebut sedikitnya dapat diekspresikan melalui deskripsi, formulasi (observasi), dan interpretasi. Dalam tahap deskripsi hal yang dilakukan adalah membuat uraian berupa penjabaran tentang perbedaan dan persamaan
karakteristik fenomena sosial.
Misalnya saja merentang perbedaan dan persamaan respon serta adaptasi masyarakat lintas iman di Dusun Turgo terhadap ruang dialog FPUB. Untuk memudahkan membuat deskripsi, data kualitatif tersebut bisa direntang dalam bentuk tabel sederhana. Selanjutnya, setting yang dipilih adalah Dusun Turgo. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah membuat formulasi (observasi) dengan melihat kecenderungan dari variasi informasi (data) yang telah dideskripsikan. Setelah diketahui kecenderungannya, langkah berikutnya adalah membuat interpretasi dengan menafsirkan mengapa terjadi kecenderungan tersebut.
31