BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Di dalam kepustakaan demografi sosial, ( juga dikenal dengan studi kependudukan atau population studies), disebutkan bahwa, perubahan jumlah, komposisi, distribusi dan pertumbuhan penduduk dalam suatu daerah, dipengaruhi oleh sedikitnya lima komponen demografi, yaitu ; (1) kelahiran , (2) kematian, (3) migrasi, (4) mobilitas sosial dan (5) perkawinan (lihat : Bogue, 1969 : 4) Studi ini dengan sengaja memusatkan pada salah satu komponen demografi yang disebutkan oleh Bogue (1969) di atas, yakni tentang migrasi penduduk atau tepatnya perpindahan tenaga kerja sementara waktu ke luar negeri, yang lazim disebut migrasi sirkuler, yakni sebuah konsepsi yang membedakannya dengan migrasi permanen (perpindahan penduduk menetap di suatu daerah atau perpindahan permanen). Selama ini sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa, migrasi penduduk antar daerah pada umumnya disebabkan oleh terjadinya ketimpangan regional baik yang bersumber dari perbedaan kondisi demografis, budaya maupun model pembangunan ekonomi yang
1
2
diterapkan (lihat: Zelinsky, 1971 ;Titus, 1978, Tjiptoherianto, 1997, dan Nasution, 1998) Perbedaan model pembangunan ekonomi yang diterapkan sebagai misal; acapkali membawa konsekuensi (di dalam negeri) pada pesatnya peningkatan pendapatan sebagian penduduk yang memiliki akses pada pembangunan ekonomi – berhadapan dengan sebagian besar penduduk
yang
bertambah
miskin
akibat
tidak
memiliki
akses
pernah
secara
pembangunan ekonomi tersebut. Kondisi
sebagaimana
digambarkan
di
atas,
meyakinkan dikemukakan oleh Kusnetz, bahwa pada tahap-tahap awal dari proses pembangunan ekonomi suatu negara, akan menyebabkan distribusi pendapatan penduduk semakin memburuk. Dampak domino dari ketimpangan kesempatan kerja dan pendapatan seperti itu adalah timbulnya arus migrasi penduduk dari daerah-daerah miskin menuju pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pertumbuhan antar wilayah ekonomi, sosial dan kultural semacam itu, juga telah dialami oleh Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru mencapai perkembangan ekonomi yang relatif maju pada periode Repelita ke V yakni sekitar tahun
3
1994 *) Sejak periode tersebut arus perpindahan penduduk terutama dari desa ke kota dan daerah lainnya, terus meningkat sepanjang tahun (Tjiptoherijanto,1997: 2) Oleh karena itu para peneliti dan ahli kependudukan pada periode 1970-an hingga menjelang 1990-an lebih memusatkan perhatiannya pada migrasi internal, yaitu perpindahan penduduk antar propinsi atau dalam satu propinsi, khususnya pola migrasi desa-kota yang sedang tumbuh (lihat: Naim, 1979; Hugo, 1975; Mantra, 1979; Titus, 1988; dan Goldstein, 1980). Kondisi ini pula yang diduga menjadi sebab mengapa studi-studi migrasi
internasional,
(terutama
yang
mengkaji
tentang
proses
pengambilan keputusan di tingkat individu) masih belum banyak dikerjakan oleh peneliti Indonesia sendiri (Eki, 2002: 11 ). Mobilitas penduduk desa-kota seperti apa yang diuraikan di muka itu, sebenarnya sejalan dengan teori peralihan mobilitas penduduk dari Wilbur Zelinsky yang menyatakan, bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis dan tinggi rendahnya mobilitas geografis dengan fase *) Sebelum Repelita I dicanangkan, situasi perekonomian di Indonesia sangat tidak menggembirakan. Pendapatan perkapita penduduk pada saat itu diperkirakan hanya berkisar 70 US dolar, sedangkan laju inflasi rata-rata berada di atas 100 %, bahkan antara tahun 1961 – 1966, laju inflasi pada periode tersebut mencapai 330 %. Demikian pula pertumbuhan PDB (Produk Domestik Brutto) tergolong sangat rendah yaitu hanya mencapai 2,1 % pertahun. Tentang penjelasan yang lebih rinci mengenai perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan demografi di Indonesia pada saat itu, lihat selanjutnya uraian Prijono Tjiptiherijanto (1997 : 2 – 13).
4
modernisasi suatu masyarakat (Zelinsky, 1971: 5). Bahkan kemudian muncul kekhawatiran di kalangan para ahli ilmu sosial dan demografi pada periode itu, bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari proses modernisasi ekonomi dan industrialisasi perkotaan – akan menyebabkan beberapa kota di sejumlah negara sedang berkembang, menghadapi tekanan kepadatan penduduk yang luar biasa besar dan membawa permasalahan yang amat kompleks (lihat juga: Urban Bias dalam Backford, 1980 : 271) Kota Bandung misalnya, pada tahun 1985 lalu diproyeksikan mempunyai jumlah penduduk sebanyak 4,1 juta jiwa ; kemudian Sao Paolo (Brazil) diperkirakan memiliki jumlah penduduk 16,8 juta jiwa; sementara kota Jakarta diperkirakan akan mendekati jumlah penduduk kota Bombay (India) dengan 12,1 juta jiwa penduduk pada akhir abad 21 (Todaro, 1978; Titus, 1982 dan Nasikun, 1981). Kekhawatiran para ahli tersebut nampaknya memang beralasan, karena dampak dari urbanisasi berlebih seperti yang digambarkan oleh Nasikun (1981) lebih banyak menimbulkan sisi buruknya, dibanding sisi positifnya, baik dilihat dari sisi kehidupan migran sendiri di kota dan daerah asalnya maupun dari sisi kebijakan penataan ruang kehidupan perkotaan dimasa depan.
5
Berkaitan dengan kenyataan tersebut, maka antara periode 1971 – 2000, distribusi kota-kota di Indonesia cenderung bergerak kearah sistem perkotaan yang terpadu. Perkembangan kota-kota di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatra) cenderung menciptakan daerah-daerah “mega urban”. Beberapa contoh dari pola perkembangan ini adalah munculnya kota “Jabotabek” yang meliputi kota-kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi; kemudian di Sumatra; Medan – Lumbuk Pakam – Binjai – Stabat – Tebing Tinggi; begitu pula Bandung cenderung bergabung dengan kota Cimahi – Lembang – Banjaran – Majalaya, lalu Semarang – Kendal – Demak – Unggaran – Salatiga, sedangkan di Jawa Timur dengan konsep Gerbangkertosusila meliputi; Gresik – Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo dan Lamongan (Tjiptoherijanto, 1997: 59). Demikian pesat perkembangan kota-kota di Pulau Jawa khususnya, sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari migrasi desa – kota, maka sangatlah beralasan jika perhatian para peneliti dan pemerintah saat itu masih terpusat pada masalah-masalah migrasi di dalam negeri (migrasi internal). Migrasi internasional tenaga kerja Indonesia baru manjadi pusat perhatian serius berbagai pihak dalam dekade terakhir, karena banyaknya permasalahan TKI ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang
6
mulai terangkat ke permukaan. Adapun alasan mengapa isue ini penting diangkat menjadi bahan kajian adalah, karena ; Pertama, peneliti-peneliti yang memusatkan pada masalah migrasi internasional masih relatif baru, walaupun setelah tahun 1975 Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Tenaga Kerja, secara resmi sudah melakukan “pengiriman” Tenaga Kerja Indonesia -- yang umum disebut TKI -- ke luar negeri (Mantra dan Jeremias, 1999: 1). Kedua, beberapa sumber informasi menyebutkan bahwa, penelitian migrasi internasional di Indonesia, apalagi yang ilegal masih relatif
sedikit
dikerjakan
oleh
peneliti
Indonesia
(Tjiptoherijanto,
Bandiyono dan Alihar dalam Sukamdi, Abdul Haris dan Petrick Brownlee, 1999: 63–117). Ketiga, adanya fakta, bahwa migrasi tenaga kerja dari pedesaan Jawa ke luar negeri ini -- tidak lagi didominasi oleh tenaga kerja laki-laki (Spaan,1999: 14) -- dan hal ini dapat menjadi paradoks bagi hukum migrasi E.G.Ravenstein (1885) yang perlu dibuktikan. Tahun 1885, Ravenstein pernah merumuskan tujuh hukum migrasi, dan satu di antaranya menyatakan bahwa; “para wanita cenderung bermigrasi jarak pendek, sedangkan laki-laki cenderung bermigrasi jarak jauh” (Munir, dalam Wirosuhardjo, 1981: 122) Keempat, semakin banyak wanita di pedesaan yang teremansipasi dan kemudian keluar dari “ tembok tradisi “ hegemoni patriarchi yang selama ini membatasinya dalam pengambilan
7
keputusan
penting
keluarga.
Kenyataan
ini
dapat
kecenderungan wanita desa yang mulai meninggalkan
dilihat
dari
peran -peran
domestiknya dengan cara bermigrasi ke kota-kota besar (Wattie, 2002:73,) termasuk bekerja di luar negeri. Atas dasar kenyataan dan alasan sedemikian itulah, maka permasalahan migrasi internasional
yang dilakukan oleh para TKW
khususnya penduduk wanita asal pedesaan di Jawa Timur ini diangkat sebagai bahan kajian -- karena tidak hanya menarik untuk dikritisi -- tetapi juga penting dikaji mengingat posisi dan peran wanita dalam rumah tangga tani di Pedesaan yang bias gender. Selama beberapa dekade sebelumnya, peran wanita pedesaan amatlah tidak berarti, terutama yang berhubungan dengan pengambilan keputusan - keputusan penting keluarganya
termasuk keputusan sendiri untuk bekerja di luar negeri
(Daulay, 2001: 8-11) Di samping itu, berbagai persoalan, antara lain; para TKW ini tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam menghadapi diskriminasi upah, tindak kekerasan, pelecehan seksual, pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum bahkan ancaman kematian di negara tujuan, seperti yang dialami oleh TKW Wiwin Widaningsih (20 th) yang tewas di Saudi Arabia tahun 1999 (Daulay, 2001: 3). Selain banyak TKW Indonesia yang menjadi korban
8
kekerasan seksual, tidak sedikit di antara mereka yang bekerja atau dipekerjakan di sektor-sektor yang bisa menjurus ke pelacuran. Di Kuwait misalnya, banyak TKW yang lari dari majikannya, lalu bekerja di Night Club atau ‘rumah karaoke’ karena gajinya jauh lebih besar dibandingkan menjadi PRT, dan pekerjaan pun lebih ringan, tetapi banyak kemudian di antara mereka yang terjebak ke dalam bisnis pelacuran (Jawa Pos,21 Maret 2004). Ada yang menerima panggilan kencan, sampai menjadi wanita simpanan laki-laki hidung belang. Tidak sedikit pula di antara mereka yang secara sengaja menceburkan diri ke bisnis seks. Memang agak sulit dibayangkan bagaimana mereka bisa beroperasi dalam bisnis kotor seperti itu, justru di negara yang begitu ketat menerapkan aturan Hukum Islam (Jawa Pos, 21 Maret 2004; http://www.search.jawapos.com/index.php?act) Sementara itu, menurut Menko Kesra Jusuf Kalla saat itu, (Kompas, 2 September 2002) , selama bulan Juli - Agustus 2002, jumlah TKI yang meninggal dunia di Nunukan-Kalimantan Timur hanya 29 orang TKI ilegal . Menurut Jusuf Kalla, jika ada yang menyebutkan jumlah TKI meninggal dunia mencapai 68 orang, itu adalah data sejak bulan JanuariAgustus, terutama yang menimpa anak balitanya. Sebagian besar TKI khususnya balita yang meninggal itu, karena berbagai penyakit yang
9
dideritanya sejak masih di Malaysia, seperti infeksi saluran pernafasan (http://www.kompas.com/utama/news/0209/02/101202.htm) Selama ini, baik Pemerintah Indonesia (c.q.Ditjen Binapenta), maupun lembaga Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dan Asosiasi Pungusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) secara konkrit tidak banyak memberikan perlindungan baik dalam bentuk MoU maupun ketentuan-hukum terhadap berbagai masalah yang menimpa TKI ini di Malaysia (Jawa Pos, 1 Februari 2002: 8). Disisi lain, sumbangan devisa yang diberikan oleh para TKI yang berasal dari Malang saja misalnya; tahun 2004 nilainya mencapai Rp. 130 Milyar dan tahun 2005 naik menjadi Rp. 200 Milyar (Jawa Pos, 16 September 2005) Permasalahan emigran Tenaga Kerja Indonesia terutama yang dilakukan secara ilegal tersebut tidak hanya dialami -- setelah mereka berada di negara tujuan, akan tetapi ketika di dalam Kamp Penampungan dan perjalanan menuju negara tujuan pun, ancaman dapat muncul secara tidak terduga. Contoh mengenai ancaman ini dapat diingat dalam peristiwa tenggelamnya Kapal Tongkang pada kamis malam tanggal 24 Agustus 2000 di perairan selat Malaka yang menewaskan 70 penumpang dari 104 orang penumpangnya yang seluruhnya akan bekerja sebagai TKI di Malaysia (Jawa Pos, Sabtu 26 Agustus 2000:1). Persoalan tidak berhenti
10
sampai disitu, sebab secara kultural ada pembatas dan bahkan larangan tertulis bagi Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dinyatakan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Juli 2000 yang lalu. Intinya bahwa, “adalah haram hukumnya (Fatwa Haram) mengirim TKW ke luar negeri tanpa didampingi oleh Muhrimnya “ (Republika , 30 Juli 2000 : 2). Berdasarkan data yang tersedia *, TKI yang bekerja di luar negeri, baik itu kategori legal maupun yang ilegal lebih banyak melibatkan tenaga kerja wanita (TKW). Hal ini juga diakui oleh Khofifah Indar Parawansa (saat itu masih Menteri Tenaga Kerja Pemberdayaan Perempuan /Kepala BKKBN) sebab, sekitar 70 % dari Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri terdiri dari wanita (TKW). Dari jumlah tersebut, ada sekitar 60 % di antaranya yang bekerja di sektor informal yaitu
sebagai pembantu
rumah tangga atau inang pengasuh (Baby Sitter) dan semacamnya (Kompas, 11 Juli 2000 : 10) Diakui pula oleh Khofifah, bahwa karena _________________ *) Jumlah migran pekerja asal Indonesia ke luar negeri selama Pelita II adalah sebesar 3.817 wanita; 13.235 laki-laki.Jumlah TKI naik drastis sejak Pelita III menjadi 55.000 wanita dan 41.410 laki-laki. Selama Pelita IV jumlah tersebut naik lagi menjadi 198.735 wanita dan 98.527 laki-laki, sementara Pelita V jumlah tersebut bertambah hampir tiga kali lipat menjadi 442.310 wanita dan 209.962 laki-laki.Data selengkapnya dapat dilihat dalam Jurnal Perempuan edisi (05),1998, halaman 36.Data ini juga dikutip oleh Daulay Harmona (2001 :5) dalam tulisannya; Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran,Yogyakarta ; Galang Press.
11
keterbatasan manajerial, maka jaminan perlindungan terhadap (TKW) hampir tidak ada (Kompas, 11 Juli 2000 : 10). Persoalan yang justru lebih ironis lagi adalah, pengiriman tenaga
kerja
wanita
yang
berlatar
belakang ikatan primordial Agama (Islam) ke Arab Saudi secara legal (resmi). Di negara yang dianggap sebagai tumpuan harapan baik dilihat dari sisi “Keimanan” (karena menganut keyakinan yang sama) maupun dari sisi ekonomi (baca : income), juga ternyata tidak ada jaminan kepastian akan perlindungan hukum terhadap para TKW ini. Hukum “pancung” bagi empat orang TKWI di kota Riyadh misalnya; adalah merupakan satu bukti betapa lemahnya perlindungan hukum itu. Bahkan Pemerintah Indonesia c.q. KBRI di Riyadh telah menolak membuat kerjasama
perlindungan TKI
dengan
Pemerintah
Arab Saudi, dengan alasan yang sangat inkonstitusional (Surabaya Post, 6 Juli 2000: 8). Nampaknya, kenyataan ini pula yang mendorong Din Syamsuddin (mantan Dirjen Binapenta -- Depnaker) untuk mengusulkan kepada Pemerintah R.I agar menghentikan sementara pengiriman TKW/TKI ke Arab Saudi (Surabaya Post, 3 Juli 2000:2). Meskipun demikian, selama Repelita VI, pemerintah Indonesia telah mentargetkan 1,2 juta tenaga kerja Indonesia yang akan dikirim ke luar negeri. Antara tahun 1969 – 1993 yang lalu, pemerintah Indonesia
12
telah berhasil mengirimkan 877.310 TKI ke luar negeri, dengan rincian; 62,9 % ke Arab Saudi ;19,7 % dengan tujuan Malaysia; dan 6 % di kirim ke Singapura. Dalam tahun 1996 tidak kurang dari 220.162 TKI yang telah mendaftarkan diri untuk bekerja di luar negeri, sebagian besar wanita (Tjiptoherijanto, 2000: 67-8). Dari sebagian kecil data tentang TKI yang ditunjukkan ini, sekali lagi memperlihatkan , betapa besarnya minat penduduk dari pedesaan untuk mencoba ikut ‘mengadu’ untung di negari orang, meskipun resiko yang harus mereka hadapi tidak dapat dikatakan ringan. Salah satu daya tarik dari migrasi internasional (jangka pendek) ini adalah, karena sukses migran “lama” di negara tujuan, yang dapat dilihat dari kriteria ekonomi (baca: remittance) yang mereka kirimkan ke daerah asalnya. Kenyataan tersebut di atas, sebenarnya sejalan dengan teori migrasi Lee, (1970) yang pernah dominan di dalam analisis-analisis pengambilan keputusan migrasi ditingkat individu, periode 1970 hingga menjelang awal 1990 an. Menurut Everett S. Lee (1970); ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi. Ke empat faktor tersebut, yakni ; (1) faktor – faktor yang terdapat di daerah asal, (2) faktor-faktor
yang terdapat di daerah tujuan, (3) faktor
13
penghambat atau rintangan migrasi dan (4) faktor individu pelaku migrasi.
1.2 Perumusan Masalah Sekalipun begitu banyak
hambatan kultural (karena
harus
mengambil keputusan penting untuk ber-emigrasi yang sebelumnya amat tidak lazim dilakukan oleh wanita di pedesaan) dan rintangan politis administratif, serta resiko yang harus dihadapi oleh para calon TKW baik saat akan berangkat maupun setibanya di negara tujuan, tetapi para TKW ini tetap mengambil keputusan untuk ber-emigrasi jangka pendek ke luar negeri, bahkan dengan cara-cara ilegal. Disinilah sesungguhnya letak keunikan sekaligus sisi menarik dari studi ini. Berdasarkan pada latar belakang dan realitas tersebut di atas, studi ini dikerjakan untuk menjawab beberapa permasalahan pokok sebagai berikut ; 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengambilan keputusan TKW asal pedesaan di Jawa Timur, untuk bermigrasi ke luar negeri secara legal ataupun ilegal ? 2. Bagaimanakah proses pengambilan keputusan bermigrasi (Legal ataukah Ilegal) yang telah dilakukan oleh TKW asal Jawa Timur untuk menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri ?
14
3. Dampak apakah yang timbul sebagai konsekuensi dari pilihan migrasi secara legal atau ilegal terhadap keluarga di daerah asal ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Secara umum studi-studi tentang mobilitas tenaga kerja yang
dikerjakan selama ini, baik yang bersifat permanen (disebut migrasi) maupun yang tidak permanen (disebut: sirkulasi) lazimnya, kebanyakan memusatkan pada satu atau dua dari tiga isue pokok mobilitas penduduk tersebut. Ketiga isue pokok mobilitas itu adalah ; (1) isue tentang determinan migrasi; (2) isue tentang proses migrasi, dan (3) isue tentang dampak migrasi baik bagi daerah asal maupun daerah tujuan. Studi ini berbeda dengan studi-studi terdahulu itu, dalam arti; bahwa studi yang dikerjakan ini, tidak hanya meneliti salah satu dari ke tiga isue migrasi tersebut, akan tetapi mecoba mengkaji ketiga isue pokok mobilitas penduduk tersebut secara simultan. Studi ini berasumsi bahwa, semua keputusan ber-emigrasi yang dilakukan oleh TKW ini mengandung resiko. Bahwa TKW yang memutuskan beremigrasi secara ilegal -- berarti akan menghadapi resiko melawan hukum di daerah tujuan -- sementara TKW yang memutuskan
15
ber-emigrasi secara legal, berarti telah menempuh resiko finasial yang harus dibayarnya sebagai biaya migrasi serta konsekuensi - konsekuensi lain dari keputusan beremigrasi jangka pendek ini, termasuk ‘social cost’ yang harus dibayar oleh para emigran tersebut selama mereka berada di negara tujuan, antara lain seperti; perpisahan sementara dengan suami dan anak tercinta, suami berpaling pada wanita lain, perubahan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, ketegangan dalam keluarga migran, bahkan perceraian dengan suami tercinta.
1.3.2
Tujuan Khusus Secara khusus, studi ini bertujuan untuk menemukan bukti-bukti
empirik, guna menjawab permasalahan penelitian sebagaimana di paparkan di muka. Secara rinci, penelitian ini ingin menemukan bukti antara lain tentang : 1.
Ada tidaknya perbedaan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi yang melatar belakangi pengambilan keputusan migrasi secara legal ataukah ilegal TKW yang berasal dari desa – desa di Jawa Timur ini.
2.
Untuk mengetahui dasar rasionalitas dari TWK asal pedesaan di Jawa Timur ini untuk mengambil keputusan
16
migrasi sementara ke luar negeri secara legal maupun ilegal. 3.
Untuk mengetahui peran jaringan dan proses pengiriman TKW dari pedesaan Jawa Timur ini ke luar negeri, baik secara legal maupun ilegal.
4.
Untuk mengetahui dampak migrasi yang timbul sebagai konsekuensi dari perpindahan (perpisahan) sementara wanita desa terhadap kehidupan keluarga migran di desa asalnya.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan pemahaman dan temuan data tersebut di atas, secara lebih spesifik
diharapkan
akan
dapat
diketahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pengambilan keputusan migrasi wanita ditingkat individu serta persoalan-persoalan yang menyangkut proses migrasi (jaringan migrasi TKW) dari daerah asal ke luar negeri, serta dampak atau efek multiplier yang timbul dari kegiatan ini, bagi daerah asal. Sementara itu, pada tataran praksis, hasil studi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perencanan atau penyusunan sinergi kebijakan ditingkat Direktorat
Jenderal
dengan
Lembaga-Lembaga
terkait,
khususnya
17
menyangkut peran PJTKI yang melakukan perekrutan, pengiriman, penempatan, pengawasan dan perlindungan terhadap TKI ini di dalam maupun di luar negeri di masa yang akan datang.
***